Anda di halaman 1dari 8

STUDI KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DAN STRATEGI PENGELOLAANNYA


(STUDI KASUS PERAIRAN TELUK BAKAU KABUPATEN
BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU)
Oleh
Chandra Joe Koenawan, Soeharmoko, Dony Apdillah dan Khodijah
ABSTRAK
Tingginya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumber daya
memberikan tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang juga akan semakin
meningkat dan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem terumbu
karang dan biota yang hidup di dalamnya. Tujuan dan Manfaat Kegiatan a)
Mengetahui kondisi terumbu karang di perairan Teluk Bakau Kabupaten Bintan
Provinsi Kepulauan Riau. b) Mengetahui penyebab kerusakan yang terjadi di
ekosistem terumbu karang. c) Membuat strategi pengelolaan ekosistem terumbu
karang di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau yang lestari dan berkelanjutan.
Metode dan Analisis Data Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan cara
pengamatan Snorkelling dan Manta Tow, pengamatan juga dilakukan terhadap mega
bentos dan ikan karang. Dapat dicatat bahwa persentase tutupan karang di pesisir
Bintan Timur (Pantai Trikora) masih kateori baik dan persentase tutupan karang hidup
tertinggi dicatat di pesisir Pantai Trikora yaitu di ST.2 yaitu 54,63%, dan didominasi
oleh karang jenis Acropora cytherea dengan bentuk pertumbuhan seperti meja
(tabulate).
Pengelolaan terumbu karang meliputi, inkonsistensi dalam implementasi
kebijakan yang diambil, metode pengelolaan yang kurang memadai, instrumen
penegakan hukum yang belum memadai, kurangnya kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman masyarakat terhadap nilai ekonomis dan arti strategis terumbu karang
serta sulitnya mencari alternatif mata pencaharian di luar laut yang sesuai dan
diminati oleh masyarakat.
Ekosistem terumbu karang
merupakan bagian dari ekosistem laut
yang penting karena menjadi sumber
kehidupan bagi beraneka ragam biota
laut. Di dalam ekosistem terumbu
karang ini biasa hidup lebih dari 300
jenis karang, yang terdiri dari sekitar
200 jenis ikan dan berpuluh-puluh
jenis moluska, crustacean, sponge,
alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri,
2000).

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber
daya
pesisir,
Kabupaten Kepulauan Riau memiliki
potensi sumberdaya yang cukup andal
bila dikelola dengan baik. Perairan ini
memiliki berbagai ekosistem laut yang
merupakan tempat hidup dan memijah
ikan-ikan laut seperti ekosistem
mangrove, lamun dan terumbu karang.
Mengingat 95,7% wilayah Provinsi
Kepulauan Riau berupa laut, ekonomi
kelautan dapat menjadi keunggulan
kompetitif menuju Provinsi Kepulauan
Riau yang maju, adil-makmur, dan
bermartabat.

Pertambahan penduduk yang


menghuni daerah pesisir, memberikan
tekanan yang serius untuk terumbu
karang.
Rendahnya
tingkat
pengetahuan dan kesadaran akan
1

pentingnya fungsi terumbu karang,


ditambah lagi tidak mudahnya mencari
alternatif pekerjaan menambah tekanan
terhadap terumbu karang semakin
tinggi
dan
kompleks.
Cara
pemanfaatan yang tradisionalpun,
misalnya pemakaian bubu dibeberapa
tempat karena dipakai dalam jumlah
yang banyak telah menyebabkan
kerusakan terumbu karang dalam skala
yang relatif luas.

Tujuan dan Manfaat Kegiatan


a) Mengetahui kondisi terumbu
karang di perairan Teluk Bakau
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
Riau.
b) Mengetahui
penyebab
kerusakan yang terjadi di ekosistem
terumbu karang.
c) Membuat strategi pengelolaan
ekosistem terumbu karang di
Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau secara lestari
dan berkelanjutan

1)

Makalah Seminar Penelitian Dosen


FIKP-UMRAH, 2) Ketua Peneliti, 3)
Anggota Peneliti
Rusaknya terumbu karang
dapat mengakibatkan terganggunya
fungsi-fungsi ekologis terumbu karang
yang sangat penting, yaitu (1)
hilangnya habitat tempat terumbu
karang dapat berkembang dengan baik
didaerah
tropis.
memijah,
berkembangnya larva (nursery), dan
mencari maka bagi banyak sekali biota
laut yang sebagaian besar mempunyai
nilai ekonomis tinggi dan (2) hilangnya
pelindung pulau dari dampak kenaikan
permukaan laut. Jika tidak ada karang
batu yang menghasilkan sedimen
kapur, maka fungsi terumbu karang
sebagai
pemecah
ombak
akan
berkurang karena semakin dalamnya
air sehingga abrasi pantai akan secara
perlahan semakin intensif (Mahmudi,
2003).

Data-data yang dihasilkan


penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan rujukan sebagai bahan
pertimbangan
dalam
pengambil
kebijakan
pengelola
sumberdaya
pesisir dan lautan khusunya ekosistem
terumbu karang oleh Pemerintah
Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan
Riau.
METODOLOGI
Gambaran Umum Wilayah
Secara geografis Kabupaten
Bintan terletak pada 20 00 Lintang
Utara, 10 20 Lintang Selatan 1040 00
Bujur Timur sebelah Barat,1080 30
Bujur Timur sebelah Timur, dimana
sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Natuna, sebelah Selatan
berbatasan
dengan
Kota
Tanjungpinang dan Lingga, sebelah
Timur berbatasan dengan Provinsi
Kalimantan Barat, dan sebelah Barat
berbatasan dengan Kota Batam.

Dengan latar belakang dan


permasalahan tersebut maka menarik
untuk dilakukan studi yang bertujuan
untuk melakukan kondisi terumbu
karang Selain itu, dalam penelitian ini
juga mengambarkan dan strategi
pengelolaanya. Adanya data dasar dan
data hasil pemantauan pada masa
mendatang sebagai data pembanding,
dapat dijadikan bahan evaluasi yang
penting bagi keberhasilan penelitian
ini.

Kabupaten Bintan memiliki


Luas Wilayah 87.717,84 Km2 dimana
luas daratan 1.319,51 Km2 ( 1,49%)
dan luas lautan 86.398,33 Km2
(98,51%), memiliki jumlah pulau 240
Pulau dengan 49 Pulau Berpenghuni
dan 191 pulau tidak berpenghuni.

Pengamatan terumbu karang


dilakukan dengan cara pengamatan
Snorkelling dan Manta Tow, yaitu
pengamatan dengan menggunakan
perahu dan papan manta yang
berfungsi sebagai tempat mengikat tali
dari perahu ke pengamat. Selain itu
juga berfungsi sebagai tempat menulis
sampel serta contoh gambar dari jenisjenis terumbu karang. Peneliti ditarik
oleh perahu dengan tali 12 meter
sepanjang terumbu karang yang telah
disurvei
awal.
Bila
tidak
memungkinkan sebagai alternatif lain
digunakan pelampung agar pengamat
tetap berada di permukaan air untuk
memudahkan
dalam
melakukan
pengamatan.

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada
bulan Oktober - Desember 2008.
diperairan Teluk Bakau Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Lokasi penelitian dapat dilihat pada
(Gambar 3.1), dimana lokasi penelitian
di bagi atas 2 stasiun pengamatan
terdiri dari Stasiun I (Side A) dan
Stasiun II (Side B), setiap stasiun
memiliki 1 titik stasiun.
Data yang dikumpulkan terdiri
atas data primer dan data sekunder.
Kebutuhan data primer biofisik
dilakukan dengan cara metode survei
di lapangan. Kegiatan dilapangan
meliputi survei tentang data sekunder
dan kegiatan wawancara dengan
masyarakat setempat.

Analisis data yang dilakukan


dalam penelitian ini dimana untuk
mencari persentase penutupan terumbu
karang menggunakan rumus menurut
UNEP (1993), yaitu :

Metode dan Analisis Data


Panjang penutupan jenis spesies-i
% Penutupan (C) =

x 100%
Total panjang jalur

Menurut Bachtiar (2001) yang


menyatakan
bahwa
persentase
penutupan terumbu karang dapat
dibagi menjadi lima kategori, yaitu :

besar. Pengambilan dengan metode


Manta Tow yang telah dilakukan
seluruhnya berjumlah 2 stasiun dengan
masing-masing 1 titik stasiun yang
meliputi daerah pesisir Pantai Teluk
Bakau

(1) Kategori Sangat Jelek : 0 - 10


%
(2) Kategori Jelek : 11 - 30 %
(3) Kategori Sedang : 31 - 50 %
(4) Kategori Baik : 51 - 75 %
(5) Kategori Sangat Baik : 76 - 100

Hasil pengamatan stasiun I,


periaran teluk bakau dengan pantai
berpasir putih ditumbuhi oleh vegetasi
kelapa dan perdu. Panjang rataan
terumbu sekitar 300 m ke arah laut.
Pada saat pengamatan kondisi perairan
berombak dan berarus dengan jarak
pandang sekitar 10 m. Dasar perairan
terdiri dari pasir dan karang mati yang
ditumbuhi alga (TA) juga terdapat
hamparan padang lamun. Karang
didominasi oleh karang Acropora sp.
dengan bentuk pertumbuhan seperti

%
Pantai Teluk Bakau merupakan daerah
wisata pantai yang sering dikunjungi
oleh wisatawan dari manca negara
maupun masyarakat setempat. Pantai
ini memiliki hamparan pasir yang
diselingi dengan teresterial rock
(batuan darat) dengan ukuran yang

meja (tabulate), bentuk pertumbuhan


bongkahan (massive), juga karang nonAcropora yang didominasi oleh
Diploastrea heliopora dan Porites
lutea dengan diameter koloni sekitar 2
m.
Karang
dengan
bentuk
pertumbuhan seperti daun (foliosa)
dijumpai dari jenis Pacyseris rugosa.
Bentuk pertumbuhan seperti jamur
(mushroom) didominasi oleh Fungia
sp.

Kondisi penutupan terumbu


karang di stasiun I rata-rata masih
tergolong baik yaitu 52,83% dimana
jenis Acropora menempati persentase
tertinggi 23,09%. Namun demikian
tingkat kerusakan terumbu karang
sudah mencapai 47,16%. Kondisi ini
tidak boleh didiamkan saja harus
segera ada tindakan yang dapat
mencegah ke arah kerusakan yang
lebih parah lagi.

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Tingkat Tutupan Karang di Stasiun I


Tutupan
Karang
%
1

Tutupan
Karang
%

Coral Submassive

2
3
4
5
6
7
8
9

Acropora Branching
Acropora Tabulate
Zoanthids
Ascidians
Coral millepora
Aropora digitate
Coral massive
Coral mushoorm
Jumlah

9.22
8.57
11.85
3.41
1.72
2.28
2.67
7.24
5.87
52.83

Pertumbuhan karang umumnya berupa


kelompok-kelompok kecil dengan
bentuk
pertumbuhan
bercabang
(branching),
seperti
bongkahan
(massive) dan mengerak (encrusting).
Lereng terumbu landai , dengan jarak
pandang di dalam air (visibility) ratarata 5-7 m. Pertumbuhan karang
ditemukan hanya sampai 4 10 m,

Dead
coral
algae
Dead coral

32.41
14.75

Jumlah

47.16

setelah itu dasar perairan tertutup pasir


dan pecahan karang mati. Pada II
stasiun diperoleh persentasi tutupan
karang hidup antara 1,32 % - 13,02 %
dengan rerata persentase tutupan
karang hidup 54,63 % dengan kategori
baik. Data penutupan terumbu karang
dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Tingkat Tutupan Karang di Stasiun II


Tutupan
Karang
%
1
2
3

Coral Submassive
Acropora Branching
Acropora Tabulate

10.05
5.88
13.02

Tutupan
Karang
%
Dead
coral
algae
Dead coral

31.44
13.92

4
5
6
7
8
9

Zoanthids
Ascidians
Coral millepora
Aropora digitate
Coral massive
Coral mushoorm
Jumlah

3.41
1.42
1.32
5.54
6.87
7.12
54.63

Jumlah

45.36

Menurut COREMAP (2007)


frekuensi relatif kehadirannya, hanya 1
jenis yang tingkat kehadirannya rendah
yaitu
Abudefduf
septemfasciatus
dengan nilai frekuensi 39,13 %.
Sepuluh jenis lainnya memiliki
frekuensi relatif kehadiran lebih dari
50%. bahwa kelompok ikan major
masih mendominasi perairan dan
kehadirannya lebih dari 50 %.

Megabentos
Tingginya Coral Mushrom
kelimpahan terutama dijumpai pada
Stasiun II. Kelompok bulu babi
(Diadema setosum) dijumpai dalam
jumlah banyak dimana kelimpahannya
tertinggi dicatat di stasiun II.
Sedangkan Kima (Giant clam)
dijumpai dalam jumlah yang sedikit,
dan banyak dijumpai hanya tinggal
cangkangya. Selama
pengamatan
dilakukan, dijumpai sedikit tripang
(holothurian) hanya yang berukuran
kecil, untuk moluska (gastropoda)
kelompok Drupella sp. Ditemukan
dalam jumlah kecil, dan lola (Trochus
niloticus) juga dalam kisaran kecil.

Penyebab
Karang

Kerusakan

Terumbu

Kerusakan terumbu karang di


daerah ini disebabkan oleh dua hal
yaitu proses secara alami dan adanya
kegiatan manusia. Kerusakan yang
disebabkan dari proses alami adalah
adanya blooming predator bintang laut
dan bencana alam seperti tsunami.
Sedangkan
penyebab
kerusakan
terumbu karang yang kedua adalah
diakibatkan oleh adanya kegiatan
manusia yang secara langsung maupu
tidak langsung merusak terumbu
karang, seperti penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan seperti dengan
bahan peledak dan bahan beracun,
penggalian karang untuk batu kapur
dan limbah beracun yang masuk ke
perairan, juga adanya kegiatan wisata
pantai.
Dari hasil penemuan di lokasi,
masalah kerusakan terumbu karang
yang diakibatkan oleh manusia dari
akar permasalahan yang meliputi,
inkonsistensi dalam implementasi
kebijakan yang diambil, metode
pengelolaan yang kurang memadai,
instrumen penegakan hukum yang
belum memadai, kurangnya kesadaran,

Ikan Karang
Dari 2 stasiun yang dilakukan
pengamatan ikan karang dengan
metode Manta tow diperairan Bintan
Timur, ikan karang jenis Chaetodon
octofasciatus dan Paraglyphidodon
melas merupakan jenis yang paling
sering dijumpai selama pengamatan.
Kemudian
diikuti
oleh
jenis
Choerodon anchorago dan Lutjanus
carponotatus
Jenis Chaetodon octofasciatus
merupakan ikan indikator kesehatan
terumbu karang, yang kehadirannya
dapat menunjukkan kondisi suatu
terumbu karang, apakah dalam
keadaan baik atau sebaliknya. Jenis
Lutjanus carponotatuss merupakan
ikan target, yang biasa dikonsumsi.

pengetahuan
dan
pemahaman
masyarakat terhadap nilai ekonomis
dan arti strategis terumbu karang serta
sulitnya mencari alternatif mata

pencaharian di luar laut yang sesuai


dan diminati oleh masyarakat sekitar.
Secara rinci dapat dilihat pada Tabel
4.4.

Tabel 4.3. Matrik kondisi, penyebab kerusakan dan akar permasalahan dalam
pemanfaatanan ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan
Penyebab Kerusakan
A. KEGIATAN MANUSIA
Penambangan
dan
pengambilan karang
Penangkapan ikan dengan
bom dan potas
Wisata pantai
Limbah dan bahan pencemar

B. ALAMI
Pemangsaan berlebih
predator

Surut yang lama


Strategi
Karang

Pengelolaan

Akar Permasalahan

Inkonsistensi
dalam
implementasi
kebijakan yang diambil

Metode pengelolaan yang kurang


memadai
Instrumen penegakan hukum yang belum
memadai
Kurangnya kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman masyarakat terhadap nilai
ekonomis dan arti strategis terumbu karang
Sulitnya mencari alternative mata
pencaharian di luar laut

blooming bintang laut dan mahkota


oleh
berduri
terjadi bleeching (pemutihan karang)

ditetapkan secara nasional berdasarka


pertimbangan-pertimbangan
daerah
yang menjaga antara upaya ekploitasi
dan upaya pelestarian lingkungan.
Ketiga,
mendorong
kesadaran,
partisipasi dan kerjasama/kemitraan
dari masyarakat, pemerintah daerah,
antar daerah dan antar instansi dalam
perencanaan
dan
pelaksanaan
pengelolaan terumbu karang.

Terumbu

Suatu pengelolaan yang baik adalah


yang memikirkan generasi mendatang
untuk dapat juga menikmati sumber
daya yang sekayang ada. Dengan
demikian dalam pengelolaan terumbu
karang haruslah mempertimbangkan
hal sebagai berikut : Pertama,
melestarikan,
melindungi,
mengembangkan, memperbaiki dan
meningkatkan kondisi atau kualitas
terumbu karang dan sumber daya yang
terkandung di didalamnya bagi
kepentingan
seluruh
lapisan
masyarakat serta memikirkan generasi
mendatang. Kedua, mendorong dan
membantu pemerintah daerah untuk
menyusun dan melaksanakan programprogram pengelolaan sesuai denga
karakteristik wilayah dan masyarakat
setempat serta memenuhi standar yang

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Secara garis besarnya, dari
hasil Manta tow dapat dicatat bahwa
persentase tutupan karang di pesisir
Bintan Timur (Pantai Trikora) masih
kateori baik dan persentase tutupan
karang hidup tertinggi dicatat di pesisir
Pantai Trikora yaitu di ST.2 yaitu

54,63%, dan didominasi oleh karang


jenis Acropora cytherea dengan bentuk
pertumbuhan seperti meja (tabulate).

bergantung pada pengelolaan


terumbu karang.
2. Mengurangi laku degradasi
kondisi terumbu karang yang
ada saat ini.
3. Mengelola terumbu karang
berdasarkan
karakteristik
ekosistem,
potensi,
pemanfaatan
dan
status
hukumnya.

Biota megabentos didominasi


oleh CMR dan bulu babi Diadema
setosum. Kelompok ikan major
mendominasi
lokasi
pengamatan
dengan metode Manta tow maupun
metode UVC. Sedangkan ikan karang
jenis Chaetodon octofasciatus dan
Paraglyphidodon melas merupakan
jenis yang paling sering dijumpai
selama pengamatan. Kemudian diikuti
oleh jenis Choerodon anchorago dan
Lutjanus carponotatus

Saran
Hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini mungkin belum cukup
untuk
menggambarkan
kondisi
perairan di Kabupaten Kepulauan Riau
secara
keseluruhan
mengingat
penelitian kali ini difokuskan hanya
pada beberapa kawasan yang berada di
Pesisir Bintan Timur.

Kerusakan terumbu karang di


daerah ini disebabkan proses alami
yaitu adanya blooming predator
bintang laut dan mahkota berduri, serta
kerusakan terumbu karang yang
diakibatkan oleh penangkapan ikan
dengan bahan peledak dan bahan
beracun, penggalian karang untuk batu
kapur dan adanya kegiatan wisata
pantai.

Secara umum, kondisi perairan di


lokasi penelitian ini dapat dikatakan
relatif masih baik untuk kehidupan
karang serta biota laut lainnya.
Keadaan
seperti
ini
perlu
dipertahankan bahkan jika mungkin,
lebih
ditingkatkan
lagi
daya
dukungnya, untuk kehidupan terumbu
karang dan biota lainnya. Pencemaran
lingkungan dan kerusakan lingkungan
harus dicegah sedini mungkin,
sehingga kelestarian sumberdaya yang
ada tetap terjaga dan lestari, dengan
adanya COREMAP di Kabupaten
Bintan sangat membantu dalam
melestarikan sumber daya perikanan
khusunya ekosistem terumbu karang
yang memberikan fungsi kehidupan
ikan-ikan,
sehingga
masyarakat
nelayan dapat meningkatkan dan
memenuhi kebutuhan ekonominya.

Akar
permasalahan
pengelolaan terumbu karang meliputi,
inkonsistensi dalam implementasi
kebijakan yang diambil, metode
pengelolaan yang kurang memadai,
instrumen penegakan hukum yang
belum memadai, kurangnya kesadaran,
pengetahuan
dan
pemahaman
masyarakat terhadap nilai ekonomis
dan arti strategis terumbu karang serta
sulitnya mencari alternatif mata
pencaharian di luar laut yang sesuai
dan diminati oleh masyarakat.
Strategi pengelolaan terumbu
karang berdasarkan permasalah yang
ditemukan dilokasi secara garis besar
adalah sebagai berikut :

DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, 2001. Pengelolaan Terumbu
Karang.
Pusat
Kajian
Kelautan,
Universitas
Mataram. NTB.

1. Memberdayakan
masyarakat
pesisir yang secara langsung

Mahmudi M, 2003. Studi Kondisi


Ekosistem Terumbu Karang
Serta Strategi Pengelolaannya
(Studi Kasus Di Teluk Semut
Sendang
Biru
Malang)
Pengantar
Falsafah
Sains
(PPS702)
Program
Pascasarjana/S3
Institut
Pertanian Bogor.

COREMAP, 2007 Studi Baseline


Ekologi
Pulau
Bintan
Kabupaten Kepulauan Riau
Tahun 2007
Dahuri,
R.
2000.
Pendayagunaan
sumberdaya
kelautan untuk kesejahteraan
masyarakat.
LISPI.
Jakarta.

UNEP, 1993. Pengamatan terumbu


karang dalam perubahan. Ilmu
Kelautan. Australia. Hal. 8 29.

Anda mungkin juga menyukai