Anda di halaman 1dari 13

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
DALAM UPAYA PENYEMBUHAN /PERAWATAN
MENURUT HUKUM KEDOKTERAN

I. PENDAHULUAN
Hak atas pemeliharaan dan perawatan medis merupakan hak individu. Hak pasien
tersebut bertolak dari hubungan asasi antara dokter dan pasien. Sejak permulaan sejarah umat
manusia sudah dikenal adanya dua insane . yaitu sang pengobat dan sang penderita, yang pada
jaman modern ini disebut dengan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
Hak atas perawatan pemeliharaan medis tersebut, pada prinsipnya bertumpu pada dua
dasar asasi, yaitu : pertama hak atas perawatan pemeliharaan kesehatan (the right to health care)
dan kedua, hak untuk menentukan nasib sendiri (theright to selft-determinanation).Hukum medik
(Kedokteran) pun bertumpu pada kedua dasar asasi tersebut. Atas dasar kedua tumpuan hukum
medik itu, maka dalam membahas hukum dan masalah medik; hak manusia dalam kesehatan
adalah tidak dapat dilepaskan. Hak manusia atas kesehatan ini oleh Harold Himsworth dirumus
an Kan sebagai expectation in respect to matter effecting the interest of individuals within a
particular society which the consensus of opinion in that society accept as justiable (Periksa
Hermien Hadati Koeswadji, 1984 :13)
II. PENDEKATAN MEDIKOLEGAL
Pada dasarnya pendekatan medikolegal ini merupakan pendekatan hukum mengenai
masalah-masalahyang timbul di bidang pelaksanaau kesehatan (medicolegal approach is an
trougn profesi medic dan at law concerning medicolegal approach is an throughlaw concerning
medical question). Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Henry Campbell Blackn dalam
Blacks Law Dictionary, yang memberi batasan terhadap medical approach} sebagai an
approach relating to law concerning medica question (suatu pendekatan yang berkaitan dengan
hukum mengenai permasalahan medik).
Pendekatan medikolegal ini merupakan pendekatan yang masih relative muda, yang lahir
tahun lima puluhan karena adanya friksi /pertentangan dalam praktek dalam praktek antara

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

antara profesi medik. Pertentangan itu tidak mungkin diselesaikan melalui pendekatan hokum
secara murni. Di samping itu, pendekatan medik secara murni tidak mungkin dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh kedua profesi tertua di dunia itu. Oleh
karena itu, pendekatan yang rasional sistematis , multi-interdisipliner, dan tidak lain merupakan
pendekatan system. Karena merupakan system maka yang penting di sini ialah keterkaitan antar
kompnen dari sistem, yang terdiri dari tujuan, masukan, proses transformasi, umpan balik,
perangkat keras (Hard-ware), dan perangkat lunak (Soft ware).
Sebagai upaya penyembuhan ialah agar si sakit/pasien (sebagai masukan) sembuh dari
penyakitnya. Kemudian, setelah itu masukan diproses, dalam arti dilakukan proses transformasi
upaya penyembuhan. Dalam transformasi upaya penyembuhan ini dipengaruhi oleh perangkat
keras (Hard ware) dan perangkat lunak (Soft ware). Perangkat keras itu terdiri dari dokter
keluarga atau gantinya, dokter

specialis atau gantinya, fisio terapeut, apotik dan rumah

sakit. Sedangkan sebagi perangkat lunak ialah hak yang ada dalam diri si sakit. Sedangkan
sebagi perangkat lunak ialah hak yang ada dalam diri si sakit /pasien itu sendiri, yaitu dua hak
yang sifatnya asasi. Hak tersebut ialah hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas
informasi. Walaupun hak ini sudah diakui dan dicantumkan edalam dokumen-dokumen
internasional, tetapi rupanya semuanya baru merupakan jaminan bagi berlakunya hukum
normatif , maka masih perlu dituangkan dalam konstitusi Negara yang bersangkutan, atau tidak
perlu dituangkan dalam hukum kongkrit yang berlaku dalam suatu neagra karena hak itu secara
otomatis telah ada dalam diri manusia sejak manusia itu lahir. Kedua hak tersebut mempunyai
pengaruh yang besar sekali dalam upaya penyembuhan pasien. Sebab dengan hak sadar itu,
pasien bersama-sama dokter dapat menemukan terapi yang paling tepat. Bila terapi yang telah
tepat itu sudah ditemukan oleh kedua belah pihak dalam transaksi terapeutik, maka keduabelah
pihaklah yang bertanggungjawab atas segala akibat yang mungkin timbul/terjadi sebagai efek
sampingan dari terapi tersebut. Persetujuan oleh pasien agar dokter melakukan terapi tersebut.
Persetujuan oleh pasien agar dokter melakukan terapi yang telah dicari dan ditentukan serta
disepakati bersama itulah yang disebut Informed consent (Persetujuan yang didasarkan atas
informasi tentang penyakit, upaya penyembuhan, beserta akibatnya). Di samping berangkat
lunak sebagaimana disebutkan dan dijelaskan di muka, ada perangkat lunak lainnya, yaitu faktor
lingkungan EKSOSBUD.

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

Kemudian sebagai hasil/output/keluaran setelah dialkukan upaya penyembuhan ialah


berupa kegagalan atau keberhasilan. Kegagalan di sini mungkin si pasien tidak berhasil sembuh
atau mungkin meninggal. Sedangkan keberhasilan di sini ialah si apsien sembuh dari sakitnya.
Kegagalan atau keberhasilan itu dijadikan umpan balik, sebagai masukan dalam upaya
penyembuhan berikutnya dalam proses trnasformasi upaya penyembuhan.
III. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan upya peningkatan kesehatan secara luas untuk seluruh
masyarakat. Kesehatan itu sendiri meliputi kesehatan badan, rohani dan sosial, dan bukan hanya
keadaan bebas dari penyakit, cacat, kelemahan. Kesehatan suatu perikehidupan taraf tertentu
dalam masyarakat . Perikehidupan itu harus sedemikian rupa, sehingga setiap warga masyarakat
mempunyai kemampuan yang cukup untuk :
1. memelihara dan memajukan kehidupannya sendiri;
2. memelihara dan memajukan kehidupan keluarganya dalam masyarakat yang memungkinkan
bekerja, beristirahatlah dan menikmati hiburan pada waktunya.
(Periksa. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan Nasional).
Selanjutnya dalam UU Nomor 23 Tahun 1993, sebagai pengganti UU Nomor 9 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan Nasional, kesehatann ialah keadaan sejahtera dari badan ,
jiwa dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomis
(Pasal 1 angka 1).
Dalam Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 1993 , ditentukan bahwa Untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal bagi kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (prefentif), penyembuhan penyakit(kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitative), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan Untuk

melaksanakan upaya kesehatan Pasal 10 tersebut , dilaksanakan

kegiatan-kegiatan seperti tersebut dalam pasal 11 yaitu sebagai berikut :


1.
2.
3.
4.

Kesehatan Keluarga
Perabaikan gizi
Pengamanan Makanan dan Minuman
Kesehatan Lingkungan

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

5. Kesehatan Kerja
6. Kesehatan Jiwa
7. Pemberantasan Penyakit
8. Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
9. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
10. Penagamanan Sediiaan Farmasi dan Alat Kesehatan
11. Pengamanan Zat Adiktif
12. Kesehatan Sekolah
13. Kesehatan Olah raga
14. Pengobatan Tradisional
15. Kesehatan Matra
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut, diatur dalam pasal 15 ayat (1 dan 2),16 ayat (2),
21 ayat (2 dan 4), 23 ayat (3), 26 ayat(1),32 ayat (4), 34 ayat (1 dan 2),35 ayat (1), 36
ayat (1),37 (1),40 ayat (1 dan 2),41 ayat (1 dan 2),44 ayat (2), 47,55 a(1), 59 ayat (1),63
ayat (1),66 ayat (2), dan 3),69 ayat (2 dan 5) 70 ayat (2).
Kgiatan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1. Tindakan medis tertentu (Pasal 15 ayat 1);
2. Upaya kehamilan di luar cara alami (Pasal 16 aya 2)
3. Pengamanan makanan dan minuman (Pasal 22 ayat 1);
4. Pemberian tanda atau label makanan dan minuman yang dikemas (Pasal 22 ayat
2)
5. Penyelenggaraan kesehatan kerja;
6. Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa yang mengganggu keamanan
dan ketertiban umum;
7. Pengobatan dan perawatan oleh tenaga kesehatan yang ahli dan berwenang (Pasal
34 ayat 4);
8. Transplantasi organ tubuh dan atau jaringan tubuh serta transfuse darah (Pasal 33
ayat 2, 34 ayat 1 dan 2 , 35)
9. Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia (pasal 36);
10. Bedah plastic dan rekonstruksi (pasal 37);
11. Pemberian izin sediaan farmasi dan alat kesehatan (Pasal 40 ,41);
12. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan , produksi dan distribusi dan pelayanan
sediaan farmasi (Pasal 43 dan 63);
13. Pengamanan Zat adiktif (Pasal 44);
14. Pengobatan tradisional (Pasal 47);
15. Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (Pasal 66 ayat 3);
16. Penelitian dan pengembangan kesehatan (Pasal 69);
17. Bedah mayat (Pasal 70 ayat 2).
Dengan demikian, pada dasarnya kesehatan itu menyangkut semua segi
kehidupan, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang, sehingga
jangkauannya sangatlah luas. Dalam sejarah perkembangannya pun telah terjadi perubahan

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

orientasi nilai dan pemikiran tentan upaya memecahkan masalah kesehatan, yang pada
hakekatnya berkembang sejalan dengan proses perkembangan teknologi dan sosiologi
budaya.
Pelayanan kesehatan yang pada hakekatnya merupakan upaya penyembuhan itu
telah mengalami perkembangan. Pada mulanya, pada jamannya HIpocrates upaya
penyembuhan/upaya kesehatan hanya terbatas atau menitik beratkan pada segi kuratif
(saja) dan hanya menyangkut hubungan interpersonal antara sang pengobat dan sang
penderita. Sekarang hal itu telah berkembang kea rah kesatuan upaya kesehatan yang
mencakup upaya pramatif (peningkatan), preventif (pencegahan) kuratif (penyembuhan)
dan rehabilitative (pemulihan) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Ini menyangkut hubungan dengan seluruh anggota masyarakat sebab untuk seluruh
masyarakat dan dengan peran serta seluruh masyarakat.
Upaya yang luas dan kompleks tersebut dipengaruhi oleh factor social budaya,
lingkungan ekonomi, lingkungan ekonomi, lingkungan fisik dan bialogi yang bersifat
dinamis dan kompleks. Hal ini sangat berkaitan erat dengan cara pandang dari masyarakat
dan dengan perubahan nilai dan perilaku yang dianggap tepat oleh masyarakat.kait
Dengan demikian, upaya tersebut juga terkait dengan segala ketentuan norma
yang berlaku dalam masyarakat atau mungkin norma satu dengan lainnya berlaku tumpang
tindih (misalnya :antara norma agama, norma etik/kesusilaan dan norma hokum). Sehingga
pelaksanaan profesi medic tidak mungkin diselesaikan dengan norma etik saja. Keterkaitan
itu (tumpang tindih) memperluas yurisdiksi hokum. Norma-norma tersebut mempunyai
perbedaan dan persamaan, yang bila dikaji akan menimbulkan ketegangan-ketegangan
antara bidang medic dan hukum, Salah satu cara agar ketegangan itu tidak terterjadknya
dk-tidai atau setidak-tidaknya dieliminir, yaitu dengan pendekatan medikolegall (Periksa .
Hermien Hadiati Koeswadji:27).
IV. Transaksi Terapeutik Dokter-Pasien
Pada jaman dahulu hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien merupakan
hubungan interpersonal, karena memang tujuannya adalah penyembuhan pasien saja.
Keadaan itu kini telah berubah yaitu Pasien tidak hanya sebagai person tetapi pasien dalam
keseluruhan integritasnya, Pasien sebagai supra sistemnya. Hal ini disebabkan karena
tujuan utamanya yang ganda, yaitu preventif kuratif,promotif dan rehabilitatif.

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

Hubungan transaksi terapeutik antara dokter pasien pada asasnya bertumpu pada
hak menentukan nasib sendiri (the right self-determination) dan hak informasi (the riht to
information). Oleh karena itulah, dalam hubungan/transaksi terapeutik ini hak pasien
damping dilindungi oleh kedua hak tersebut. Hak menentukan nasib sendiri tidak mungkin
terwujud secara optimal apabila tidak didampingi oleh hak atas informasi. Sebab keputusan
akhir mengenai penentuan nasib sendiri tersebut dpat diberikan apabila untuk pengambilan
keputusan itu memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung ruginya bila
sesuatu keputusan telah diambil.
Jadi sekali lagi, dengan kedua hak tersebutlah hak pasien bertumpu. Dengan
kedua hak itu Pasien bersama-sama dengan dokter menemukan terapi yang paling tepat
untuk kesehatannya, dan bila terapi yang paling tepat itu telah ditemukan oleh kedua
belah pihak, maka dia berdualah yang bertanggung jawab atas segala akibat yang
mungkin terjadi sebagai efek sampingan dari terapi tersebut. Persetujuan pasien inilah
yang dalam Hukum Kedokteran disebut Informed consent.
Berdasarkan transaksi terapeutik itulah, lahir hak dan kewajiban antara pasien dan
dokter secara timbale balik. Dokter di satu pihak dan pasien di pihak lain dalam satu
hubungan transaksi terapeutik ialah berkedudukan sama sebagai subyek hukum, dan
dalam memanggung hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban dokter pasien dapat dirinci sebagai berikut :
A. Kewajiban dan Hak Dokter
1. Kewajiban Dokter
Kewajiban dokter dapat dibedakan dalam tiga kelompok,yaitu(periksa
.Fred Ameln,1991:56-57)
a. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan(health care);
b. Kewajiban yang berhubungan dengan hak pasien, meliputi:
1) Hak atas informasi;
2) Hak memberikan persetujuan;
3) Hak memilih dokter;
4) Hak memilih sarana kesehatan(RS);
5) Hak atas rahasia kedokteran;
6) Hak menolak pengobatan /perawatan;
7) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu;
8) Hak untuk menghentikan pengobatan;
9) Hak atas second opinion(pendapat kedua);
10) Hak melihat rekam medis.

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

c. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi kedokteran


dan

kewajiban yang timbul dari standar profesi kedokteran.

2. Hak Dokter
Hak dokter meliputi antara lain ,sebagai berikut:
(periksa.Fred Ameln,1991:64-66)
a. Hak untuk bekerja menurut standarmedik;
b. Hak menolak pelaksanaan tindakan

medik,karena

secara

profesional tidak dapat dipertanggungjawabkannya;


c. Hak melakukan tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak
baik;
d. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien ;
e. Hak atas privacy dokter;
f. Hak atas informasi pertama dalam menghadapi pasien yang tidak
puas terhadap dokter;
g. Hak atas balas jasa;
h. Hak atas pemberian penjelasan yang lengkap oleh pasien tentang
penyakitnya;
i. Hak membela diri;
j. Hak memilih pasien;
k. Hak menolak memberi keterangan tantang pasien di pengadilan.
B. Hak dan Kewajiban pasien
1. Hak Pasien
Menurut

H.j.j. Leenen,hak pasien yang bersifat umum dapat dirinci sebagai

berikut:
(Periksa Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto,1991:66-67)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Hak atas perawatan dan pengurusan perawatan;


Hak menolak cara perawatan tertentu;
Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit;
Hak atas informasi;
Hak menolak cara perawatan tanpa ijin;
Hak atas rasa aman dan tidak diganggu (privacy);
Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan ;
Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.

Selain hak- hak pasien yang bersifat umum tersebut ada juga hak- hak pasien
psikiatris hak pasien psikiatrisini dibagi menjadi dua ,yaitu hak pasien psikiatris yang
dirumah sakitkan secara sukarela dan yang dipaksakan .

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

Hak hak pasien psikiatrisyang dirumah sakitkan secara sukarela adalah sebagai
berikut
(Periksa. Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto,1991:68)
a.
b.
c.
d.
e.

Hak untuk mengadakan komunikasi secara bebas;


Hak atas perlindungan pasien lain yang membahayakan ;
Hak atas perlindungan terhadap paksaan ;
Hak untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukannya;
Hak memiliki barang- barang yang diperolehnya dirumah sakit
karena bekerja.

Bagi pasien yang dirumahsakitkan secara terpaksa (dipaksa)mempunyai hak-hak


sebagai berikut:( Periksa .Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto,1991:68)
a. Hak untuk mendapatkan penjelasan tentang hak dan kewajiban
hukum;
b. Hak mendapatkan perawatan ahli lain (di luar rumah sakit tempat ia
dirawat).
Sedangkan menurut keputusan hukum kesehatan ,kewajiban pasien dirinci sebagai
berikut :(Periksa. Fred Ameln,1991: 40-41)
a. Hak atas informasi ;
b. Hak memberikan persetujuan ;
c. Hak memilih dokter;
d. Hak memilih sarana kesehatan (RS);
e. Hak atas rahasia kedokteran ;
f. Hak menolak pengobatan /perawatan;
g. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu;
h. Hak untuk menghentikan pengobatan ;
i. Hak atas second opinion (pendapat kedua);
j. Hak melihat rekam medis.
Hak butir a dan b tersebut dinamakan informed Consent.
Dari hak-hak pasien tersebut dimuka ,ada dua hak yang sangat penting ,sebagai
dasar atau tumpuan hukum kedokteran ,yaitu hak menentukan nasib sendiri dan hak
atas informasi.
2. Kewajiban Pasien
Selain mempunyai hak pasien juga mempunyai kewajiban. Suatu kewajiban moral
pasien ialah memelihara kesehatannya . Kewajiban pasien ini merupakan hak bagi
dokter /rumah sakit . Kewajiban pasien menurut hukum dapat dirinci sebagai
berikut : (Lihat Soerjono Soekanto,1989:162-163)dan Fred Ameln,1991 :53-54)

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

a. Kewajiban memberikan informasi secara lengkap kepada dokter / tenaga


kesehatan tentang penyakitnya;
b. Kewajiban melaksanakan nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter / tenaga
kesehatan (mentaati petunjuk dan instruksi dokter);
c. Kewajiban menghormati kerahasiaan diri dan dokter/ tenaga kesehatan wajib
menyimpan rahasia kedokteran;
d. Kewajiban memberikan ganti rugi bila tindakannya (pasien) merugikan pihak
lain ;
e. Kewajiban berterus terang bila timbul masalah (dalam hubungannya dengan
tenaga kesehatan);
f. Kewajiban mentaati aturan rumah sakit ;
g. Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter/ tenaga profesional yang telah
diberikan oleh dokter/tenaga kesehatan;
h. Kewajiban melunaskan biaya rumah sakit.
Dari penjelasan dimuka ,jelaslah bahwa akibat transaksi terapeutik dokte pasien
ialah lahirlah hak dan kewajiban masing- masing pihak (dokter-pasien ).
Salah satu syarat agar transaksi terapeutik itu sah menurut hukum ialah adanya
persetujuan ,yaitu persetujuan untuk dirawat dengan menggunakan cara /teknik/terapi
tertentu yang sudah disepakati bersama berdasarkan informasi yang lengkap dan
akurat tentang penyakit yang dideritanya tentang kemungkinan akibat yang bisa
timbul,yang akhirnya berdasarkan informasi tersebut menentukan sendiri sikap
terhadap salah satu dari sekian banyak cara /teknik/terapi yang diinformasikan
kepadanya.
Dalam transaksi terapeutik upaya penyembuhan merupakan perjanjian yang
sifatnya memberikan bantuang pertolongan . Dengan demikian merupakan upaya
yang hasilnya belum pasti . Dan yang penting ialah bahwa bantuan pertolongan itu
harus dengan hati-hati dan penuh ketegangan(medzorg on inspanning). Upaya
penyembuhan hanyalah satu inspanningsverbintenis,satu perjanjian mengupayakan
penyembuhan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh ketegangan
.Akibatnya bila upaya penyembuhan gagal,maka kesalahan tidak hanya ditimpahkan
kepada dokter saja,karena sejak semula upaya yang berupa terapi itu dicari bersama
sama dan disepakati bersama dalam memilih yang paling tepat ,jadi kegagalan

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

10

merupakan konsekuensi bersama antara Dokter Pasien (Periksa. Hermien Hadiati


Koeswadji,1984: 31-33 dan Fred Ameln,1991:42).
Informed Consent sebagai persetujuan sepihak dari pasien tidak mungkin
diberikan bila tidak didasarkan atas informasi tentang penyakit dan upaya
penyembuhan yang lengkap ,jelas,serta tindakan tindakan apa yang dapat
dilakukan , serta kemungkinan- kemungkinan apa saja yang dapat terjadi. Informed
Consent inilah yang dijadikan dasar bagi pasien untuk akhirnya memutuskan secara
mandiri atau tidak ada tindakan terapeutik yang akan diambil. Kedudukan Informed
consent yang demikian itu harus dicatat dan direkam dalam Rekam Medik
/Kesehatan (RM/K), yang dalam kepustakaan disebut medical record Dengan
demikian persetujuan merupakan dasar bagi pembenaran dilakukannya salahsatu
tindakan terapeutik tertentu karena persetujuan baik tertulis maupun diam-diam
mempunyai arti diatas hukum ,sebab dalam perjanjian peresetujuan merupakan syarat
bagi berlakunya persetujuan .
Dalam transaksi terapeutik , para pihak dalam perjanjian itu bukan hanya dokterpasien saja secara pribadi. Sebab pasien /penderita akan berusaha mendatangi baik
dokter sebagai

orang perseorangan maupun orang dalam bentuk badan

hukum(rumah sakit ,yayasan,atau lembaga lain ).Sehingga dapat dibedakan antara


kelompok pasien yang memang secara nyata mengadakan perjanjian dan kelompok
pasien yang tanpa mengadakan suatu perjanjian . Pembedaan ini memperjelas
hubungan yang dapat ditimbulkan secara langsung dari adanya perjanjian yang
membebankan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam perjanjian . Hal ini
penting dalam kaitannya bila terjadi kesalahan yang disengaja ,yang dapat
diselesaikan secara langsung oleh pihak yang dirugikan kepada pihak yang
menyebabkan kesalahan tadi. Pentingnya hal tersebut,karena dalam hukum ada pihak
pihak yang tidak mampu bertindak dalam perjanjian (seperti : anak dibawah
umur,orang yang cacat jiwanya),sehingga mereka tidak mampu bertindak secara
mandiri sebagai pihak dalam perjanjian. Disamping itu dari pihak dokter pun ,dalam
perjanjian dapat terjadi pada seorang perawat yang tidak mempunyai kewenangan
bertindak tetapi menjalankan tugasnya karena perintah dokter atau rumah sakit .

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

11

Perjanjian dengan rumah sakit akan mempunyai efek yang berbeda.Lebih- lebih bila
dalam penanganan pelayanan kesehatan tersebut pihak yang dimaksud berupa tim.
Sedangkan syarat lainnya agar transaksi terapeutik itu sah menurut hukum , harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian , sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 1320
KUH Perdata (BW), yaitu antara lain : adanya kata sepakat para pihak, para pihak
mampu untuk bertindak , isi perjanjian jelas , dan apa yang diperjanjikan tidak boleh
bertentangan dengan undang undang maupun hukum yang berlaku pada saat
perjanjian itu dibuat (Periksa syarat umum perjanjian di dalam 1320 KUH Perdata
/BW). Disamping itu ,isi dan pelaksanaan perjanjian pada hakekatnya berisikan halhal :tidak bertentangan dengan kepatutan , berdasarkan etikad baik, dan mencakup
kepentingan para pihak. Kepatutan dan etikad baik itu dikaitkan dengan tolak ukur
yang berlaku dalam masyarakat setempat.
V. Kesimpulan
Ditinjau dari aspek hukum kesehatan , maka hubungan Dokter- Pasien tidak dapat
dilepaskan dengan apa yang dinamakan dengan Pelayanan Kesehatan , yang telah
berkembang sejak jaman Hipocrates sampai jaman modern ini. Pada jaman modern
seperti sekarang ini upaya penyembuhan begitu luas dan kompleks sekali, yang
dipengaruhi oleh factor social budaya , lingkungan ekonomi , lingkungan fisik dan
biologi yang juga bersifat dinamis dan kompleks . Hubungan dokter pasien ditinjau
dari aspek medikolegal tidak lain merupakan pendekatan sistem mengenai hubungan
dokter pasien , yang menyangkut berbagai sub sistem upaya penyembuhan . Upaya
penyembuhan ini berkait pula dengan segala dan ketentuan dan norma yang berlaku
dalam masyarakat .
Pada saat ini hubungan dokter- pasien bukanlah merupakan hubungan interpersonal ,tetapi masing- masing pihak sebagai pihak yang terlibat transaksi terapeutik
mempunyai hak dan kewajiban secara timbale balik . D alam transaksi tersebut ,
upaya penyembuhan merupakan upaya yang hasilnya belum pasti dan apabila gagal
maka pihak Dokter/ Rumah Sakit dan pasien/keluarganya merekalah yang

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

12

bertanggungjawab karena upaya penyembuhan itu sudah berdasarkan informed


consent.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.1993.Undang undang Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 1993
tenteng Kesehatan . Jakarta:Sekretariat Negara.
Fred Ameln.1991.Kapita Selekta Hukum Kedokteran . Jakarta:Grafikatama Jaya

YUSTISIA NOMOR 36 TAHUN X/JUNI-AGUSTUS 1996

13

Hermien Hadiati Koeswadji. 1984. Hukum dan Masalah Medik.Surabaya :


Airlangga University Press.
.1984.Aspek Medikolegal dari Pelayanan Kesehatan dan Rekam Medik
.Makalah . Surabaya:Fakultas Hukum UNAIR.
Oemar Seno Adji.1991.Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban
Pidana Dokter dan Profesi Dokter. Jakarta:Erlangga.
Soejono Soekanto. 1989. Aspek Hukum Kesehatan(Suatu Kumpulan Catatan ).
Jakarta:In- Hill Co.
Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto.1991.Hukum dan Kesehatan tentang
Hukum Kedokteran .BPK.Surakarta: UNS.

Anda mungkin juga menyukai