BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat
menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu
hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan
produktivitas kerja. Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah
Indonesia (Kemenkes RI, 2011).
Dalam rangka pengendalian penyakit malaria banyak hal yang sudah maupun
sedang dilakukan baik dalam skala global maupun nasional. Malaria merupakan salah
satu indikator dari target Pembangunan Milenium (MDGs), dimana ditargetkan untuk
menghentikan penyebaran dan mengurangi kejadian insiden malaria pada tahun 2015
yang dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan dan angka kematian akibat
malaria. Global Malaria Programme (GMP) menyatakan bahwa malaria merupakan
penyakit yang harus terus menerus dilakukan pengamatan, monitoring dan evaluasi,
serta diperlukan formulasi kebijakan dan strategi yang tepat. Di dalam GMP ditargetkan
80% penduduk terlindungi dan penderita mendapat pengobatan Arthemisinin based
Combination Therapy(ACT). Dan melalui Roll Back Malaria Partnership ditekankan
kembali dukungan tersebut. Karena pentingnya penanggulangan Malaria, maka
beberapa partner internasional salah satunya Global Fund, memberikan bantuan untuk
pengendalian malaria (Kemenkes RI, 2011).
Dalam pengendalian malaria, yang ditargetkan penurunan angka kesakitannya
dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. Program eliminasi malaria di Indonesia tertuang
dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/IV/2009. Pelaksanaan
pengendalian malaria menuju eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna terwujudnya masyarakat yang
hidup sehat yang terbebas dari penularan malaria sampai tahun 2030. Status Indonesia
masih tahap pertama yaitu pada eliminasi malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar
pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2011).
Dari tahun 2006 sampai 2009 kejadian luar biasa (KLB) selalu terjadi di pulau
Kalimantan walaupun kabupaten/ kota yang terjangkit berbeda-beda tiap tahun. Pada
tahun 2009, KLB dilaporkan terjadi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan), Sulawesi (Sulawesi Barat), Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) dan Sumatera (Sumatera Barat dan Lampung) dengan jumlah total
BAB II
ISI
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam
darah.Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan
splenomegali.Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Vector dari penyakit ini adalah
nyamuk Anopheles sp(Harijanto, 2000).
Vektor malaria adalah nyamuk Anopheles, dengan ciri khas menungging saat
hinggap atau menghisap darah. Nyamuk Anophelesmempunyai siklus hidup sempurna
terdiri dari telur (1-2 hari), jentik (6-8 hari), kepompong (1-2 hari) dan nyamuk (2-3
bulan). Di dalam program pemberantasan malaria yang utama dilakukan adalah
pemberantasan vektor. Dalam hal ini supaya mendapatkan hasil yang maksimal, perlu
didukung oleh data penunjang yang menerangkan tentang seluk-beluk vector yang
berperan. Untuk menentukan metode pemberantasan yang tepat guna, perlu diketahui
dengan pasti musim penularan serta perilaku vektor yg bersangkutan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.374 tahun 2010, Pengendalian vektor
dilakukan dengan memakai metode pengendalian vektor terpadu yang merupakan
suatu pendekatan yang menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian
vektor yang dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektifitas
pelaksanaannya
serta
dengan
mempertimbangkan
kelestarian
keberhasilannya. Mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik,
biologis dan sosial budaya, maka pengendaliannya tidak hanya menjadi tanggung
jawab sektor kesehatan saja tetapi memerlukan kerjasama lintas sektor dan program.
1.
2.
3.
4.
Pengendalian
biologi
dapat
berupa
penebaran
ikan
dan Bacillus
thuringiensis serta predator larva lainnya (Kementerian Kesehatan). beberapa agent
biologis yang digunakan seperti predator misalnya pemakan jentik (Clarviyorous fish)
seperti gambusia, guppy dan panchax (ikan kepala timah). Selain secara kimiawi dan
secara hayati untuk pencegahan penyakit malaria dapat juga dilakukan dengan jalan
pengelolaan lingkungan hidup (environmental management), yaitu dengan pengubahan
lingkungan hidup (environmental modification) sehingga larva nyamuk Anopheles tidak
mungkin hidup. Kegiatan ini antara lain dapat berupa penimbunan tempat perindukan
nyamuk, pengeringan dan pembuatan dam, selain itu kegiatan lain mencakup
pengubahan kadar garam, pembersihan tanaman air atau lumut dan lain-lain (Hiswani,
2004).
Selain itu, ada juga parasit Romanomermis iyengari. Merupakan organisme yang
termasuk jenis cacing Nematoda dan bersifat parasit pada larva nyamuk. Cacing
tersebut tumbuh dan berkembang jadi dewasa di dalam tubuh larva yang menjadi
inangnya. Setelah dewasa cacing tersebut keluar dari tubuh inangnya (larva) dengan
jalan menyobek dinding tubuh inang sehingga menyebabkan kematian inang tersebut
(Suwasono, 1997).
2. Pengendalian malaria dengan pengaturan pola tanam
Gambar 2.3. Musim penenaman padi
Salah satu cara untuk menekan perkembangan penyakit malaria adalah dengan
memperbaiki pola tanam. Dipilih pola tanam padi dan palawija, karena ditinjau dari
strategi pengadan pangan/pakan dan usaha peningkatan pendapatan petani
merupakan alternatif terbaik, terutama dalam usaha pengendalian vektor malaria.
Kedua jenis komoditi ini, yaitu padi dan palawija, mempunyai bentuk dan ekologi yang
jauh berbeda, begitu pula hama dan penyakitnya. Apabila kedua tanaman ini diselangseling dalam satu tahun musim tanam, akan menekan populasi hama dan vektor
malaria karena habitatnya tidak sesuai dengan perkembangan populasi hama/ vektor
malaria tersebut, apalagi bila ditunjang dengan cara bercocok tanam dengan teknik
yang baik. Dengan demikian akan tercapai suatu keseimbangan biologi bila
hama/penyakit dari kedua jenis komoditi tersebut hidup berdampingan pada batasbatas yang tidak membahayakan tanamannya sendiri.
Keseimbangan biologi ini sangat dipengaruhi oleh :
a. Tingkat toleransi tanaman. Hal ini tergantung pada hubungan antara tanaman dengan
hama dan penyakit yang berpengaruh terhadap kepekaan atau ketahanan tanaman.
Hal-hal tersebut antara lain : varietas, cara bercocok tanam, rotasi, pola tanam dan
musim claim setahun.
b. Penanaman padi atau satu jenis tanaman terus-menerus sepanjang tahun akan
menyebabkan terjadinya serangan hama dan penyakit malaria yang cukup berat. Hal ini
disebabkan karena keadaan ekologi, habitat dan tersedianya cukup makanan bagi
hama/vektor sehingga mendorong perkembangan populasi hama dan vektor penyakit
tersebut.
c. Penggunaan pestisida yang tidak terkendali; akan menyebabkan serangan
hama/penyakit lain yang tadinya bukan merupakan hama. Hal ini karena predator dan
parasit yang menjaga keseimbangan alam ikut termusnahkan. Belum lagi persoalan
pencemaran lingkungan makin banyak di Tahun Kasus Annual Parasite Incidence
PELITA I 1972 (Marbaniati, 2010).
3. Pengendalian malaria secara fisik.
Pengendalian fisik dapat berupa penimbunan kolam, pengangkatan tumbuhan air,
pengeringan sawah secara berkala setidaknya setiap dua minggu sekali dan
pemasangan kawat kasa pada jendela (Kementerian Kesehatan).
4. Pengendalian malaria secara kimia
Bahan yang biasa dipakai untuk kelambu adalah nilon, poliester, katun dan
politen. Politen jarang digunakan karena mudah terbakar sehingga kurang aman
penggunaannya. Kelambu celup permetrin dari bahan poliester dan nilon mempunyai
daya bunuh nyamuk anophelini yang lebih tinggi dibandingkan dari katun yang di beri
dosis yang sama. Umumnya kelambu berwarna putih, tapi warna lain kadang-kadang
lebih disukai terutama warna-warna yang tidak cepat memperlihatkan kotor.
3) Ukuran dan Jumlah Lubang
Lubang-lubang (mesh) pada kelambu selain berperan untuk mengatur sirkulasi
udara di dalam kelambu juga berperan sebagai penghalang fisik bagi nyamuk agar
tidak masuk ke dalam kelambu. Ukuran lubang pada kelambu harus disesuaikan agar
nyamuk tidak dapat lolos masuk. Ukuran lubang yang disarankan adalah 1,2 1,5 mm
dengan jumlah lubang 5-6 setiap 1 cm. Ukuran lubang kurang dari 1,2 mm
menyebabkan sirkulasi udara di dalam kelambu tidak baik, sedangkan bila lebih besar
dari 1,5 mm dapat menyebabkan nyamuk masuk, apalagi bila konsentrasi insektisida
yang digunakan tidak tepat.
Insektisida yang paling umum digunakan sebagai bahan pencelup kelambu
adalah dari golongan piretroid sintetik. Beberapa jenis grup insektisida piretroid sintetik
yang sering digunakan sebagai bahan pencelup kelambu adalah: permetrin, lamda
sihalotrin, sipermetrin, deltametrin, pirimiposmetil dan alpa-metrin. Insektisida golongan
piretroid sintetik efek residunya tahan sampai 6 bulan pada kelambu yang tidak dicuci
dan aman bagi pencelup dan penggunanya. Piretroid sintetik diketahui mempunyai dua
efek terhadap serangga yaitu dapat membunuh serangga dengan cepat dan
mengganggu susunan sarafnya sehingga menyebabkan kelumpuhan.
Piretroid sintetik yang biasa dipro-duksi dapat dalam bentuk emulsifiable
concentrate (ECs), wettable powder (WP)dan suspension concentrate (SC). Dari ke-tiga
jenis formula tersebut, jenis ECs adalah yang paling sering digunakan sebagai bahan
pencelup kelambu. Formula ini akan membentuk emulsi bila di campur dengan air.
Selain itu formula ECs mempunyai sifat adhesi yang baik terhadap bahan kelambu dan
tidak menyebabkan timbulnya residu yang berbentuk bubuk.
Untuk menilai toksisitas dan keamanan kelambu yang di celup insektisida, perlu
dibedakan antara keamanan bagi orang yang tidur di bawah kelambu dan keamanan
bagi orang yang mencelup kelambu dengan insektisida. Mengingat pencelupan
kelambu sering dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman, perhatian harus
diberikan terhadap resiko bila bekerja dengan ECs. Dianjurkan menggunakan sarung
tangan dan usaha pencegahan lain agar emulsi tidak menciprati kulit atau mata.
Beberapa piretroid seperti delta-metrin dan lamda sihalotrin dapat menye-babkan
sensitisasi pada kulit dan mukosa. Jika kelambu celup telah kering dan pelarut
insektisida telah menguap, biasa-nya kelambu aman digunakan.
Penelitian yang dilakukan Miller dkk, terhadap penggunaan kelambu celup
insektisida piretroid menunjukkan tidak ada efek samping yang bermakna pada
kelompok orang-orang yang tidur dengan kelambu celup. Dari 216 hanya 4,5% yang
memperlihatkan keluhan yaitu dua orang merasa sesak napas, empat orang pusingpusing, dan empat orang mual-mual.
menyimpulkan bahwa nyamuk Aedes aegypti lebih rentan terhadap kelambu celup
permetrin dari pada Anopheles gambiae yang lebih rentan dari pada Culex quinque
fasciatus.
Penelitian yang dilakukan Sutjah-jono dkk menunjukkan bahwa efek residu
permetrin 500 mg/m2 pada kelambu nilon masih efektif setelah 6 bulan digantung pada
gubuk percobaan. Masa aktivitas residu dipengaruhi oleh penggunaan apakah secara
terus-menerus atau jarang dan adanya debu. Charlwood dkk pada penelitiannya di
Papua New Guinea dengan mengumpulkan nyamuk selama 25 malam berturut-turut
sebelum pemakaian kelambu permetrin dan 21 malam setelah pemakaian
mendapatkan hasil bahwa setelah pemakaian kelambu celup permetrin, populasi
gigitan Anopheles farautimenurun dari rata-rata 689 menjadi 483 per orang-malam dan
siklus peletakan telur (oviposition) menjadi tidak teratur, walaupun kemampuan
bertahan hidup tidak secara bermakna dipengaruhi.
Kerentanan terhadap insektisida dan prilaku nyamuk (waktu dan tempat
menggigit/menghisap darah (indoor/outdoor), antropofilik/zoofilik dan tempat istirahat
dapat mempengaruhi keberhasilan kelambu celup dalam memberi perlindungan
terhadap gigitan nyamuk atau dalam menurunkan insiden atau morbiditas penyakit.
7) Aspek epidemiologi kelambu celup
Secara epidemiologi, kelambu celup permetrin menurunkan episode klinik
malaria, densitas parasitemia, insiden dan prevalensi malaria dan kematian anak yang
berumur di bawah lima tahun. Keuntungan lain penggunaan kelambu ini adalah
perlindungan
dari
gigitan
organisme
lain
seperti
kalajengking, centipedes, beetles, ticks dan lalat. Penelitian di Afrika dan Asia telah
menunjukkan bahwa kelambu celup permetrin dapat menurunkan angka masuk rumah,
menghisap darah, istirahat dan sporozoit dari nyamukAnopheles dan meningkatkan
angka kematian dan pengusiran nyamuk. Penelitian di Republik Benin menunjukkan
bahwa pemakaian kelambu celup permetrin menurunkan risiko episode demam sampai
34% pada anak-anak yang tinggal di area malaria.
Meskipun kelambu celup dapat mengurangi insiden dan mortalitas malaria pada
beberapa daerah endemi malaria, beberapa hasil penelitian lain menunjukkan bahwa di
daerah malaria dengan endemisitas yang lebih tinggi (hiperendemi dan holo-endemi)
penggunaan kelambu celup memberikan hasil yang berbeda.
Kurang berperannya penggunaan kelambu celup pada daerah malaria dengan
transmisi yang tinggi mungkin berhubungan dengan kapasitas vektor, yaitu terdapat
perubahan besar pada kapasitas vektornya, sehingga kelambu celup hanya
memberikan efek yang kecil. Berdasarkan hal tersebut, penanggulangan malaria di
daerah endemi malaria dengan transmisi tinggi selain dengan melakukan
penanggulangan vektor juga perlu dikombinasi dengan cara lain misalnya dengan
pengobatan terhadap penderita.
Perlu pengorganisasian yang baik dengan mengikutsertakan peran masyarakat
secara langsung agar program pengendalian malaria dengan strategi kelambu celup
berhasil. Adanya petugas kesehatan dan lembaga kesehatan masyarakat merupakan
kunci keberhasilan program penggunaan kelambu celup. Pemuka masyarakat,
pemimpin sekolah dan organisasi pekerja sosial dapat dijadikan sukarelawan untuk
memotivasi
masyarakat
berpartisipasi
malaria (Harminarti, 2008).
d. Indoor Residual Spraying (IRS)
dalam
program
pengendalian
Pengendalian vektor yang tidak selektif, seperti penggunaan DDT dan obat
pembasmi
serangga
lain,
bukan
lagi
merupakan
strategi
yang
direkomendasikan. Dengan adanya keuangan dan sumber daya manusia,
dikombinasikan dengan potensi resistensi vektor dan kepedulian terhadap lingkungan,
penyemprotan residual dalam rumah harus digunakan hanya di dalam situasi yang
khusus atau saat risiko tinggi. DDT sedang dihapus bertahap oleh karena penggunaan
tersebar luas di lingkungan, dan menghasilkan tekanan ekonomi dan politis.
Indikator epidemiologi digunakan untuk memutuskan apakah penerapan
penyemprotan residual dalam rumah harus ditinjau kembali untuk dipertimbangkan
pola transmisi, yang bervariasi pada waktu dan area yang berbeda. Lokasi utama yang
dijadikan perimbangan untuk penyemprotan adalah pada unit operasional yang sekecil
mungkin, dengan target penyemprotan kondisinya baik. Ukuran-ukuran untuk
memutuskan apakah untuk start atau stop operasi penyemprotan adalah juga
diperlukan. Suatu analisa informasi epidemiological mengijinkan penyemprotan untuk
ditargetkan ke rumah jika resiko transmisi di tempat tersebut merupakan yang paling
tinggi, seperti lokasi dekat tempat berkembangbiak utama nyamuk itu.
Beberapa kriteria untuk aplikasi pengendalian selektif malaria dengan indoor
residual spraying: hal yang perlu dipertimbangkan dalamindoor residual spraying adalah
potensi terjadinya resistensi terhadap insektisida dan kerusakan lingkungan. Cara ini
hanya direkomendasikan bagi area/daerah yang benar-benar memiliki prioritas tinggi
untuk dilakukan indoor residual spraying.
Pada tempat di mana dilakukan indoor residual spraying, maka area harus
tergambar jelas mana yang harus dicakup dan frekuensi serta waktu aplikasi harus
ditentukan dengan baik dan benar. Ketika suatu penyemprotan dilakukan, maka harus
ada kriteria yang jelas untuk selang waktu tertentu baru kemudian dapat dilakukan
pengembangan penyemprotan di area baru, untuk keberlanjutan penyemprotan dan
untuk mengatur jarak waktu penyemprotan. Program penyemprotan juga harus benarbenar cost-effective.
Ukuran area yang akan disemprot harus cukup besar untuk mencakup seluruh
wilayah yang terkena dampak. Ruang penyemprotan harus diulang 2-4 kali pada
interval dari 3-5 hari dalam jangka waktu 1 hingga 2 minggu, dimulai segera setelah
wabah dinyatakan. Ruang penyemprotan harus dilakukan secara menyeluruh di bawah
pengawasan teknis ketat dalam hal dosis, ukuran partikel dan kepadatan. Ruang
penyemprotan harus dilakukan bila nyamuk dewasa aktif, yaitu dalam waktu sebelum
tengah hari. Ruang penyemprotan harus diarahkan atau dipusatkan di dalam ruangan.
Banyak vektor malaria adalah endophilic, beristirahat di dalam rumah setelah
mengambil makan darah. Nyamuk ini sangat rentan terhadap kontrol melalui
penyemprotan residu dalam ruangan (IRS). Seperti namanya, IRS melibatkan lapisan
dinding dan permukaan lain dari sebuah rumah dengan sisa insektisida. Selama
beberapa bulan, insektisida akan membunuh nyamuk dan serangga lain yang datang
dalam kontak dengan permukaan ini. IRS tidak secara langsung mencegah orang dari
gigitan nyamuk. Sebaliknya, biasanya membunuh nyamuk setelah mereka makan, jika
mereka datang untuk beristirahat di permukaan yang telah disemprot, sehingga IRS
mencegah penularan infeksi ke orang lain. Agar efektif, IRS harus diterapkan pada
proporsi yang sangat tinggi dari rumah tangga di suatu daerah (biasanya> 70%).
IRS dengan DDT dan dieldrin adalah metode pengendalian malaria utama yang
digunakan selama Kampanye Pemberantasan Malaria Global (1955-1969).
Keberhasilan IRS dalam mengurangi kasus malaria di Afrika Selatan lebih dari 80%
telah menghidupkan kembali minat pada alat pencegahan malaria ini. Hal ini juga
menyulut kembali perdebatan mengenai mungkin atau tidak DDT harus memiliki tempat
dalam pengendalian malaria. Dengan dukungan dari Global Fund untuk memerangi
AIDS, Tuberkulosis dan Malaria serta Presiden Malaria Initiative, beberapa negara telah
memulai program IRS-banyak menggunakan DDT di gudang mereka-insektisida untuk
pengendalian malaria.
Metode ini menggunakan aplikasi residual insektisida (secara aktif melawan
insekta dewasa). Cara ini suitable untuk vektor yang memiliki waktu istirahat cukup
panjang pada tempat peristirahatan. Pada pengendalian malaria, metode ini dilakukan
indoor. Residual spraying menggunakan hand-compression sprayer atau knapsack
motorised sprayer yang diaplikasikan saat malam atau pagi hari (Suwasono, 1997).
5. Pengendalian malaria dengan perundang-undangan/kebijakan
Salah satu kebijakan tentang malaria adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI
NO 293 Tahun 2009 tentang Eliminasi Malaria. Eliminasi malaria adalah suatu upaya
untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografis tertentu,
dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di
wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah
penularan kembali. Eliminasi Malaria dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama mitra kerja pembangunan termasuk LSM,
dunia usaha, lembaga donor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan
masyarakat. Eliminasi Malaria dilakukan secara bertahap dari kabupaten/kota, provinsi,
dan dari satu pulau atau ke beberapa pulau sampai ke seluruh wilayah Indonesia
menurut tahapan yang didasarkan pada situasi malaria dan kondisi sumber daya yang
tersedia.
BAB III
PENUTUP
1.
2.
3.
4.
5.
Simpulan
Program pengendalian malaria secara terpadu meliputi:
Pengendalian biologi yaitu dengan penebaran ikan dan Bacillus thuringiensis serta
predator larva lainnya
Pengendalian fisik dapat berupa penimbunan kolam, pengangkatan tumbuhan air,
pengeringan sawah secara berkala setidaknya setiap dua minggu sekali dan
pemasangan kawat kasa pada jendela
Pengendalian kimia dapat menggunakan kelambu berinsektisida,indoor residual spray,
repellent, insektisida rumah tangga dan penaburan larvasida
Pengendalian dengan pola tanam diantaranya yaitu dengan memilih pola tanam padi
dan palawija karena kedua jenis komoditi ini mempunyai hama dan penyakitnya yang
berbeda. Apabila kedua tanaman ini diselang-seling dalam satu tahun musim tanam,
akan menekan populasi hama dan vektor malaria.
Pengendalian dengan perundang-undangan/ kebijakan diantaranya yaitu kebijakan
eliminasi malaria.
DAFTAR PUSTAKA
Arsin. Andi Arsunan. 2012. Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Masagena Press.
Makassar.
Harijanto, P.N. 2000. Malaria. EGC. Jakarta.
Harminarti,
Nora.
2008. Kelambu
Celup
Permetrin.repository.unand.ac.id/430/1/Hal_01_Permetrin_-_Judul.doc. Diakses tanggal
10 Mei 2013.
Hiswani.
2004. Gambaran
Penyakit
dan
Vektor
Malaria
Indonesiahttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3760/1/fkm-hiswani11.pdf.
Diakses tanggal 14 Mei 2013.
di
Kementerian
Kesehatan. Vektor
Malaria
dan
Cara
Pengendaliannya.http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Vektor_Malaria_1.pdf.
Diakses tanggal 7 Mei 2013.
Kementerian Kesehatan. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan volume 1. Jakarta.
Marbaniati,dkk.
2010.http://polatanam.wordpress.com/2008/12/24/pengaruh-pola-tanamterhadap-insidens-malaria-di-kabupaten-banjarnegara/. Diakses tanggal 2 Mei 2013.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 374/Mekes/PER/III/2010 tentang
Pengendalian Vektor.
Soedarto. 1992. Entomologi kedokteran. Buku Kedokteran ECG. Jakarta.
Suwasono, Hadi. 1997. Berbagai Cara Pemberantasan Larva Anopheles sp. Cermin Dunia
Kedokteran. Jakarta.