Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Karsinoma Kolorektal
Disusun oleh :
Samuel Sebastian S (406148009)
R.A. Risa Noviana
(406148012)
(406148017)
Anita Aprilia
(406148066)
Evelyn Patricia
(406148144)
JUDUL
DAFTAR ISI 2
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
Epidemiologi 8
Etiologi 9
Faktor resiko 11
Patofisiologi 18
Histologi
21
Manifestasi klinis
22
Pemeriksaan 27
Tatalaksana
34
Penyebaran tumor 42
Prognosis
43
44
45
DAFTAR LAMPIRAN
12
13
19
23
24
26
27
29
32
33
37
BAB I
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
PENDAHULUAN
Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomi dan industri berkembang, angka kejadian
keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga
kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki
peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati
angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan
Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita;
banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan
pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang
berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic
anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.
Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak
98%, sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan
sarkoma (0,3%).
BAB II
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Histologi
Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari epitel
selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan
submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar
longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa
membentuk tonjolan-tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices
epiploicae. Di dalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatanlipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut
pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang disebut haustra
coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak
haustra in vivo dapat berpindah pindah atau menghilang.
Vaskularisasi kolon oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior dan arteri
mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang memberi cabangcabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah arteri
ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan arteri sigmoidae.
Hanya arteri colica sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan cabang dari arteri
mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri mesenterica superior. Pada umumnya
pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali arteri colica media dan arteri sigmoidae yang
terdapat didalam mesocolon transversum dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra
membentuk pangkal yang sama dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica.
Pembuluh darah vena mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica
superior dan arteri mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe
mengalir menuju ke nn. ileocolica, nn. colica dextra, nn. colica media, nn. colica sinistra dan
nn. mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca
dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di
sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada
dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra.
Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal
dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di
sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi
daripada yang dextra yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan
kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus
dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi colon transversum
didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica superior pada 2/3
proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat arterialisasi dari arteri
colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai
fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya
dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum
dan erat hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri
colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica
inferior.
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperitoneal,
dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang
variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung
isinya didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis
melalui aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan
dan akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding
mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari cabangcabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica
inferior. Aliran vena yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis
superior dengan vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang
bermuara kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis
superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara vena
parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi
pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar sehingga mengganggu
aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix yang berbentuk huruf V dan
ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan arteri iliaca communis sinistra
menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki huruf V ini terdapat reccessus
intersigmoideus.
II.2 Epidemiologi
Di dunia, kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan
mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
tingkat mortalitas lebih dari 50%. Ada 9,5 % pria penderita kanker terkena kanker kolorektal,
sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker.
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru;
sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di
Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada
pria dan wanita pada tingkat insidensi dan mortalitas.
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun,
hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Kanker
kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data yang
dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah
satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita. Insidensi kanker
kolorektal pada pria sebanding dengan wanita dan lebih banyak terjadi pada usia produktif.
Hal ini berbanding terbalik dengan data yang diperoleh di negara barat dimana banyak terjadi
pada usia lanjut. Perbandingan insidensi laki-laki dan perempuan adalah 3 berbanding 1 dan
kurang dari 50% kanker kolon dan rektum ditemukan di rektosigmoid.
II.3 Etiologi
Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :
% of
total
CRC
burden
<1%
Genetic
basis
Phenotype
Mutasi
pada gen
suppressor
tumor
APC
(5q21)
<100
adenomatous
polyp; near
100% with
CRC by age
40 yr
Extracolonic
manifestations
CHRPE,
osteomas,
epidermal cysts,
periampullary
neoplasms
Treatment
Notes
TPC with
endileostomy or
IPAA or
TAC with
IRA and
lifelong
Variants
include Turcot
(CNS tumors)
and Gardener
(desmoids)
syndromes
10
Hereditary
nonpolyposis
colorectal
cancer
(HNPCC)
5%7%
PeutzJeghers (PJS)
<1%
Familial
juvenile
polyposis
(FJP)
<1%
Defective
mismatch
repair:
MSH2 and
MLH1
(90%),
MSH6
(10%)
Kehilanga
n tumor
suppressor
gene
LKB1/STK
11 (19p13)
Mutasi
SMAD4/D
PC
(18q21)
Polyps
sedikit,
predominant
ly rightsided CRC,
80% lifetime
risk of CRC
At risk for
uterine, ovarian,
small intestinal,
pancreatic
malignancies
Hamartomas
throughout
GI tract
Mucocutaneous
pigmentation,
risk for
pancreatic
cancer
Hamartomas
throughout
GI tract; >3
juvenile
polyps; 15%
with CRC by
age 35 yr
Gastric,
duodenal and
pancreatic
neoplasms;
pulmonary
AVMs
surveillance
Genetic
counseling;
consider
prophylactic
resections,
including
TAH/BSO
Surveillance
EGD and
colonoscopy
q3 yr; resect
polyps >1.5
cm
Genetic
counseling;
consider
prophylactic
TAC with
IRA for
diffuse
disease
High
microsatellite
instability
(MSI-H)
tumors, better
prognosis than
sporadic CRC
Majority
present with
SBO due to
intussuscepting
polyp
Presents with
rectal bleeding
or diarrhea
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented epithelium; CNS, central
nervous system; EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI, gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA,
ileal-rectal anastomosis; TAC, total abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral
salpingo-oophorectomy; TPC, total proctocolectomy.
Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun
kekerabatan tingkat pertama dari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan
11
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker
itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia
sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi
maligna dan invasif kanker . Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal
deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper.
Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram).
Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif
pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein
dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik
dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini
karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui
siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen
gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah
satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker
dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi
ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan
menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering
terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang
tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
12
hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan
inflamatory polip.
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan
berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan
villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85%
tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma
pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip,
tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat
dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi
untuk menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan
dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4
kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien yang mempunyai
multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat
displasia.
13
14
15
pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari
seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon
dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian dari sindrom ini
menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana
mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu
familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer
(HNPCC).
FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring
kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.
Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak
untuk dapat dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat. Ketika
sudah mencapai tahap ini, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal
colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Screening untuk polip
harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib,
dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%.
Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary
thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas
otak. Varian dari FAP termasuk gardners syndrom dan turcots syndrom.
HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan II.
Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur
yang muda (45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan.
16
Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung
jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal
sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini
mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh
frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut
mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan
HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan
multipel keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung
kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker
kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran
mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip Crohns (nodul lymphoid, germinal centers,
yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), dan infiltrasi lymphocytes
diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada
keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3
tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang
membutuhkan waktu 8-10 tahun.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker
kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20
tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali
terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien
dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun,
dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68
tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan
sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC
kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi
fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.
II.4.4 Diet
17
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada penelitian terbanyak,
meskipun juga terdapat yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker
kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal. Teori pertama adalah bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi
insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah diet tinggi kalori
mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin,
trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel
epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.
Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal.
Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan
menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat
disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan
kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali
dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim
COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi
fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt
foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan
lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut,
misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal
epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal.
18
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan
asupan energi dengan kanker kolorektal. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan
risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang
berbanding terbalik antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan
bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.
II.4.6 Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah
61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000
orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan
resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.
jagers sindrom)
Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
Inflamatory bowel disease
Riwayat menderita kanker kolorektal
Riwayat menderita polip kolorektal
II.5 Patofisiologi
Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari gen supresi tumor ( APC, DCC
deleted in colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan perkembangan dari
polip adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi ini.
19
Defek pada gen APC yang merupakan pertama kali dideskripsikan pada pasien
dengan FAP. Dengan meneliti dari populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen APC dapat
diidentifikasi. Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik kanker kolorektal.
Gen APC merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada setiap alel diperlukan untuk
pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi ialah prematur stop kodon yang menghasilkan
truncated APC protein. Inaktivasi APC sendiri tidak menghasilkan karsinoma. Akan tetapi,
mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan genetik yang menghasilkan keganasan.
Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen supresi
tumor DCC dan p53.
K-ras diklasifikasikan sebagai proto onkogen karena mutasi 1 alel siklus sel. Gen Kras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi signal intraceluler.
Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine triphosphate (GTP) yang dihidrolisis menjadi
guanosis diphosphate (GDP) kemudian menginaktivasi G protein. Mutasi K-ras
menyebabkan ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang menyebabkan G protein aktiv
secara permanen. Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak terkontrol.
DCC ialah gen supresi tumor dan kehilangan semua alelnya diperlukan untuk
degenerasi keganasan, mutasi DCC terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma kolorektal
dan memiliki prognosis negatif. Gen supresi tumor p-53 sudah banyak dikarakteristikan
20
dalam banyak keganasan. Protein p53 penting untuk menginisiasi apoptosis dalam sel pada
kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki. Mutasi p53 diperlihatkan dalam 75% kasus.
21
merupakan predisposisi dalam mutasi sel yang dapat terjadi pada proto onkogen ataupun gen
supresi tumor.
Jalur RER berhubungan dengan instabilitasi mikrosatelit. Tumor dengan instabilitas
mikrosateliti memiliki karakteristik yang berbeda dari jalur LOH. Tumor ini lebih banyak
terdapaat pada bagian kanan dan memiliki prognosis yang lebih baik. Tumor yang berasal
dari LOH terjadi pada kolon distal dan berprognosis lebih buruk.
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari
tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).
Neoplasma primer adenokarsinoma
Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :
1. Tipe polipoid atau vegetatif yang tumbuh menonjol kedalam lumen usus, berbentuk
kembang kol dan ditemukan terutama di daerah sekum dan kolon asendens.
2. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi,
terutama ditemukan di daerah kolon desendens, sigmoid dan rektum.
3. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum.
Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi tukak
maligna.
II.6 Histologi
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001
di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran
histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
ditemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe
histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma
sering ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat
terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk
dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan
sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat
22
terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering
sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang
adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Berbagai varian
gambaran histopatologi kanker kolorektal berdasarkan klasifikasi World Health Organization:
-
Mucinous adenocarcinoma
Adenoskuamous carcinoma
Squamous carcinoma
Choriocarcionma
Medullary carcinoma
23
tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh
ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan
penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan
berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses
ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang
menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB.
Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur
dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan
darah atau feses.
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien
dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker
tetap harus dipikirkan.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini
adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal
ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika
urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan
hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
24
Gambar 8. Letak keganasan kolorektal (1) sekum dan kolon ascendens 10%, (2) kolon transversum termasuk
kedua flexura 10%, (3) kolon descendens 5%, (4) kolon rektosigmoid 75%
Kolon kiri :
-
Rektum :
-
25
KOLON KANAN
Kolitis
Karena
penyusupan
KOLON KIRI
Obstruksi
REKTUM
Proktitis
Obstruksi
Obstruksi
Tenesmi terus
DEFEKASI
Diare/diare berkala
Konstipasi progresif
OBSTRUKSI
DARAH PADA FESES
Jarang
Samar
Normal/diare
Hampir selalu
Samar/makroskopik
menerus
Hampir selalu
Makroskopik
Normal
Perubahan bentuk
Jarang
Lambat
Jarang
Lambat
Lambat
Lambat
FESES
DISPEPSIA
ANEMIA
MEMBURUKNYA
KEADAAN UMUM
berkala
Sering
Hampir selalu
Hampir selalu
26
maka sulit menentukan stadium. Oleh karena itu, pemeriksaan mikroskopik terhadap
spesimen bedah sangat penting dalam menentukan stadium. Umumnya rekurensi kanker
kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5
tahun dapat menjadi indikator kesembuhan. Indikator buruknya prognosis prognosis kanker
kolorektal setelah menjalani operasi.
Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening regional atau ke hati
melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ yang paling sering mendapat anak sebar
kelenjar getah bening. Sepertiga kasus kanker kolorektal yang rekuren disertai metastase ke
hati dan duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan metastase ke hati pada waktu
meninggal. Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke paru. KGB superklavikula tulang atau
otak tanpa ditemukan anak sebar di hati terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor
dapat terletak di distal rektum, sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebra
kemudian dapat mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta.
Rata-rata harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 9 bulan (hepatomegali dan
gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh peningkatan
CEA dan gambaran CT-scan).
T Tumor primer
T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik
yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
27
N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah dan atau pada
kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah).
M Metastase jauh
Stadium
TNM
T1N0M0
Deskripsi
Bertahan 5
Derajat
histopatologis
tahun (%)
Kanker terbatas
>90
pada
B1
T2N0M0
mukosa/submukosa
Kanker mencapai
B1
T3N0M0
II
muskularis
Kanker cenderung
85
70-80
28
masuk atau
melewati lapisan
C
D
TxN1M0
TxNxM1
serosa
Metastasis
III
IV
35-65
5
II.8 Pemeriksaan
Pemeriksaan penyaring pada kanker kolorektal (CRC):
Tabel 4. Screening pada tiap resiko
Resiko
Resiko rendah
Prosedur
- Asimptomatik
Onset
50
(TSD), fleksibel
Frekuensi
TDS tiap tahun
FS tiap 5 tahun
sigmoidoskopi (FS)
- Tidak ada kerabat
tingkat 1 yang kena
Kolonoskopi, barium
50
enema dan
proctosigmoidoscopy
Resiko menengah
- CRC pada kerabat
Kolonoskopi
40 atau 10 tahun
Setiap 5 tahun
termuda
keluarga tingkat
pertama terkena
- CRC pada keluarga
Kolonoskopi
tingkat pertama,
50 atau 10 tahun
sebelum kasus CRC
usia > 55 th
- Riwayat polip
kolorektal besar >
termuda
Kolonoskopi
1 tahun setelah
polipektomi
Setiap 5 10 tahun
Kolonoskopi
1 tahun setelah
reseksi
29
abnormal, tiap 5
tahun
Resiko tinggi
-
FAP
FS, pemeriksaan
12-14 tahun
genetik
-
HNPCC
IBD
Tiap 2 tahun
(pubertas)
Kolonoskopi,
21-40 tahun
pemeriksaan genetik
Kolonoskopi
40 tahun
8-15 tahun
Tiap 2 tahun
Tiap tahun
Tiap 2 tahun
30
Flexible Sigmoidoscopy
Skrining dengan fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun menyebabkan penurunan
mortalitas CRC dan mengidentifikasi individu resiko tinggi dengan adenoma. Pada pasien
dengan polip, kanker atau lainnya pada fleksibek sigmoidoskopi maka memerlukan
kolonoskopi.
Colonoscopy
Kolonoskopi sekarang ini merupakan metode yang akurat dan paling baik digunakan
dalam pemeriksaan usus besar. Prosedur ini sangat sensitif dalam mendeteksi polip kecil
sekalipun dan dapat dilakukan biopsi, polipektomi, mengontrol pendarahan dan dilatasi
striktur. Akan tetapi, pemeriksaan ini memerlukan persiapan usus dan menyebabkan
ketidaknyamanan karena memerlukan sedasi. Kolonoskopi dilakukan dengan bantuan
endoskopi. Komplikasi utama setelah kolonoskopi ialah perforasi dan pendarahan, namun
sangat kecil.
31
CT Colonografi
CT colonografi mengggunakan teknologi CT helik dan rekonstruksi 3 dimensi untuk
menggabarkan kolon intraluminal dengan akurasi tinggi tidak invasif. Pasien membutuhkan
persiapan usus. Kolon diisi dengan udara lalu dilakukan CT. Kolonoskopi tetap dibutuhkan
bila terdeteksi lesi.
CT Colonography (CTC) yang juga populer dengan istilah Virtual Colonography
merupakan pengembangan dari teknologi multipel helical (multi- slice) CT Scan yang dapat
menghasilkan gambaran interior kolon dalam dua atau tiga dimensi. CTC memiliki radiasi
exposure yang rendah dan tidak invasif, tapi tidak bisa melakukan biopsi dan polipektomi.
Penelitian meta- analisis mengatakan bahwa CTC memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm, yaitu 88% dan 95%. Penelitian lainnya CTC
dengan 4-detector-row scanners menghasilkan sensitifitas 82%-100% dan spesifisitas 90%98% untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm. CTC juga memiliki resiko terjadinya perforasi
dan dilaporkan hanya 1/22.000 pemeriksaan.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal, mengidentifikasi
emtastase dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan dalam pengobatan. Area
supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya kelenjar yang mengalami
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
32
metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi yaitu melihat adanya bekas
operasi, penonjolan massa, kontur usus yang mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm
steifung). Palpasi dilakukan untuk meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau
nyeri tekan pada abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau
melekat pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada abdomen
ialah timpani. Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup. Pada
auskultasi didengarkan bising usus.
Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata, keras, oval atau melingkar
dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan ukuran dan derajat perlekatan
jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan darah pada sarung tangan.
Pemeriksaan penunjang
Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia
mikrositik, hematoskezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi. Oleh sebab
itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di
feses memperkuat dugaan neoplasia namun bila tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil
normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah urinalisis, hitung leukosit dan hemoglobin.
Pemeriksaan lain yang dapat diperiksa sesuai dengan indikasinya ialah protein serum,
kalsium, bilirubin, alkali fosfatase dan kreatinin. Pendarahan intermitten dan polip besar
dapat dideteksi melalui darah sama feses atau defesiensi Fe.
Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan kolorektal ialah
carcinoembryonic antigen (CEA) yaitu sebuah glikoprotein yang ditemukan pada sel
membran banyak jaringan tubuh termasuk CRC. Beberapa antigen masuk ke dalam sirkulasi
dan dideteksi dengan radioimunnoassay serum. CEA dapat terdeteksi di berbagai cairan
tubuh, urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak spesifik berhubungan dengan kanker
kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70% pasien dengan kanker usus besar. CEA tidak dapat
digunakan sebagai prosedur screening tetapi akurat sebagai diagnosis CEA residif.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon
dengan spesifitas 85%. Terdapat gambaran pasase kontras, jenis bagian rektosigmoid sering
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
33
sulit untuk divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu,
pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan.
Jika ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi.
Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi
namun pemeriksaan ini sering tidak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium
cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau dengan
pemeriksaan kolonoskopi.
Persiapan dan pemeriksaan barium enema
Persiapan:
Gambaran normal:
34
35
usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin yang diharapkan sel tumor dalam
lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga yang kuat terhadap
CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko terhadap karsinoma ( field defect) dan harus
dilkukan subtotal atau total kolektomi. Kanker synchronous ialah adanya lebih dari 2 kanker
secara bersamaan. Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang telah direseksi
sebelumnya) juga diterapi serupa.
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan laparotomi,
maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman. Selanjutkan dilakukan
anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan
membutuhkan proksimal stoma atau bypass.
Stage 0 ( Tis, N0,M0)
Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade dysplasia tidak memiliki resiko
metastasis nodus limfatikus. Akan tetapi, high grade dysplasia meningkatkan resiko
karsinoma invasif. Karena alasan ini, maka polip dieksisi lengkap dan batasnya harus bebas
dari displasia.polip bertangkai harus dilepaskan secara komplit secara endoskopi. Pada pasien
iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan bahwa polip tidak rekuren dan tidak
terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip tidak dapat diangkat se`luruhnya, maka dilakukan
reseksi segmental.
Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)
Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi dan metastasis ke
kelenjar getah bening. Metastase ke kelenjar getah bening berdasarkan kedalaman invasi
polip. Pada invasi limfovaskular, histologi diferensiasi buruk dapat dilkakukan segmental
kolektomi.
36
jauh dan kemoterapi tidak meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan
reseksi komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini, kemoterapi ajuvan
disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda dan resiko tinggi).
Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)
Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko yang tinggi
terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan ajuvan kemoterapi rutin pada pasien
ini. Regimen yang digunakan ialah 5- Flourouracil dengan levamisole atau leukovorin
emngurangi rekurensi dan meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen kemoterapi yang baru
ialah as capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, dan immunotherapy.
Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk neoplasma ( jinak dan ganas),
inflamatori bowel disease dan kasus lain.
Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran darah pada bagian
kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi. Reseksi kurativ dari CRC dicapai
dengan ligasi PD mesenterika proksimal dan pembersihan kelenjar getah bening
37
mesenterika secara radikal. Pada reseksi proses benign, tidak diperlukan reseksi
Anastomosis
Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang digunakan dapat berupa
handsewn atau stapled.
Jenis anastomosis :
1. End to end
Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama. Teknik ini terutama dilakukan
pada reseksi rektum, tetapi dapat digunakan dalam kolostomi atau anastomosis usus kecil.
2. End to side
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya. Teknik ini dilakukan pada
obstruksi kronik.
3. Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian distalnya.
4. Side to side
38
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah atau segmens usus
dimana tempat terakhirnya telah ditutup.
Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding dengan loop
kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek pada dinding abdomen dibuat dan
akhir dari kolon dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui
dinding abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam abdomen sebagai Hartmanns pouch.
Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi. Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan
odentifikasi usus distal, kemudian dilakukan anastomosis end to end.
Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi dikarenakan
terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi kolostomi lebih sedikit beresiko.
39
Kanker rektum
Biologis dari adenokarsinoma rekal sama dengan adenokarsinoma kolon dan prinsip
operasi ialah reseksi komplit dari tumor primer, kelenjar getah bening dan organ apapun yang
terkena. Akan tetapi diakrenakan struktur dari pelvis maka reseksi lebih sulit dan
membutuhkan pendekatan lain. Rekurensi lebih tinggi dibanding dengan kanker kolon
dengan stadium yang sama. Akan tetapi, tumor rektum lebih sensitif dengan radiasi.
Terapi lokal
Sepanjang 10 cm distal dari rektum dapat dijangkau melalui anus. Karena itulah,
beberapa terapi dilakukan secara lokal. Untuk jenis yang benign, noncircumferential dan
adenoma villous dilakukan dengan baik dengan eksisi transanal. Akan tetapi rekurensi tinggi
walau dengan terapi kemoradiasi. Transanal endoscopic microsurgery (TEM) dioperasikan
dengan menggunakan proctoscope dan alat-alat serupa dengan laparoskopi yang membuat
eksisi lokal dapat dilakukan pada tempat yang lebih tinggi yaitu sekitar 15 cm. Lokal eksisi
harus diikuti dengan eksisional biopsi.
Teknik ablasi seperti elektrokauter atau radiasi endocavitary juga dapat digunakan.
Kerugian dari teknik ini ialah tidak dapat diambilnya spesimen patologis untuk diketahui
stadiumnya. Teknik ini digunakan pada individu dengan resiko tinggi yang tidak dapat
mentoleransi terapi radikal lainnya.
Reseksi radikal
Reseksi radikal lebih dipilih dibanding terapi lokal untuk banyak kasus karsinoma
rektal. Reseksi radikal mengangkat segmen yang terkena bersama dengan limfovaskularnya.
Total mesorektal excision (TME) adalah teknik yang menggunakan diseksi tajam
untuk menghasilkan reseksi total dari mesenterium rektal. Untuk tumor rektosigmoid, eksisi
partial mesorektal paling tidak sepanyak cm distal dari tumor. TME menurunkan rekurensi
dan meningkatakan survival. Teknik ini hanya sedikit dari yang hilang dibanding dengan
operasi tajam.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 28 Maret 2016 4 Juni 2016
40
41
atau laser digunakan untuk mengontrol perdarahan atau mencegah obstruksi. Intraluminal
stent berguna untuk mencegah obstruksi namun sering menyebabkan nyeri dan tenesmus. 6
Sistemik kemoterapi
Tulang punggung regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5Flourouracil sebagai terapi ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan
pendapat bahwa regimen kombonasi menyediakan peningkatan efikasi
dan
angka
harapan
hidup
pasien.
Selain
5-Florourasil,
terdapat
5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan sebelum
5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
42
43
FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV continuous
infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu
Agen biologis
Bevacizumab
(Avastin)
merupakan
obat
antiangiogenesis
pertama
yang
diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi monoklonal untuk
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan survival bila ditambahkan pada
kemoterapi. Agen biologis lain yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor
receptor ( EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal yang refrakter
dengan 5-FU dan oxalipatin. Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan
diindikasikan untuk monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker metastasis
ialah bevacizumab dan kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).
Terapi radiasi
44
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik,
hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.
II.10 Penyebaran tumor
Penyebaran tumor dapat terjadi melalui:
a. Penyebaran langsung
Karsinoma tumbuh secara melingkari usus sebelum terdiagnosa, khususnya bagi
kolon kiri yang memiliki kaliber lebih kecil dibanding dengan kanan. Membutuhkan
waktu 1 tahun bagi tumor untuk melingkari bagian usus. Lesi menyebar secara radial
dan berpenetrasi ke lapisan luar dinding usus dan dapat mengenai struktur di dekatnya
seperti hati, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halis, pankreas, limpa, kandung
kemih, vagina, ginjal, ureter dan dinding abdomen. Kanker rektum dapat menginvasi
dinding vagina, kandung kemih, prostat atau sakrum.
b. Metastasis hematogen
Invasi melalui pembuluh darah dapat menyebabkan tumor terbawa melalui sistem
vena porta yang menyebabkan metastasi ke hepar. Embolisasi dapat terjadi melalui vena
lumbal atau vertebral ke paru. Kanker rektum menyebar melalui vena hipogastrik.
Penyebaran ke ovarium terutama melalui hematogen yaitu terlihat pada 10.3% pasien
wanita dengankanker kolorektal. Untuk mencegah metastase melalui hematogen sewaktu
operasi dilakukan manipulasi minimal dengan ligasi pembuluh darah.
c. Metastasis kelenjar getah bening regional
Ini merupakan tipe penyebaran yang paling umum. Kanker rektum bermetastase
proksimal melalui kelenjar getah bening mesorectalm iliac dan mesenterika inferior. Serta
bermetastase secara radial sepanjang dinding pelvis. Kelenjar getah bening harus diangkat
sewaktu operasi.
d. Metastasis transperitoneal
Terjadi sewaktu tumor berektensi melalui lapisan serosa dan memasuki kavitas
peritoenal, memproduksi lokal implant carcinomatosis.
e. Metastasis intraluminal
Sel ganas dari lapisan tumor dapat tersapu sepanjang usus melalui isi feses.
45
II.11 Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastase jauh, yaitu klasifikasi penyebaran
tumor dan tingkat keganasan sel tumor.
Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan
hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan
penyebaran kelenjar 32% dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai differensiasi
sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.
46
BAB III
KESIMPULAN
47
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
U.S. Cancer Statistics Working Group. United States Cancer Statistics: 2003.
Incidence and Mortality Report. Atlanta: U.S. Department of Health and Human Services,
Centers for Disease Control and Prevention and National Cancer Institute; 2007. Available
at: www.cdc.gov/cancer/nper/uscs/ Accessed June 27, 2007.
4.
Marshall JL, Haller DG, Gramont Ad, Hochter HS, Lenz HJ, Ajani JA, et al.
Adjuvant Therapy for Stage II and III Colon Cancer: Consensus Report of the International
Society of Gastrointestinal Oncology. Gastrointerest Cancer Res. 2008.
5.
6.
Mansjoer Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Buku Media
Aesculapius. Jakarta.
7.
Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England
Journal of Medicine. 2009. Available from : www.pubmed.com p.348:919-932
8.
Zahari A : Deteksi dan Diagnosa Dini Kanker kolon dan Rektum: Majalah
Kedokteran Andalas Vol 26.Ed Suplemen 2002;S63-70
48