makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa
saling memberikan pertolongan. Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang
lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).[16]
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh
karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama terkemuka dalam konferensi
Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati
secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan
praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.[17] Berbagai forum ulama internasional
yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank, yaitu:
1. Majmaal Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada
tanggal 10-16 Rabiul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
2. Majma Fiqh Rabithah alAlam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di
Makkah, 12-19 Rajab 1406 H;
3. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
4. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
5. Majmaul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
Walaupun Indonesia termasuk Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang terlambat
mempromosikan gagasan perbankan Islam,[18] namun Majelis Ulama Indonesia (MUI)
melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Faidah)
berpendapat:
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah, yaitu Riba Nasiah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk
salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;
2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun
dilakukan oleh individu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Metode istinbat hukum bayani yang ditempuh oleh jumhur ulama telah menghasilkan
hukum haramnya bunga bank. Namun pada saat yang sama tampak bahwa mereka telah
mengabaikan beberapa kaidah dalam metode tersebut yang jika diterapkan, justru
memberikan hasil istinbat yang sebaliknya. Di antaranya adalah kaidah kebahasaan (al-qa
idah allughawiyah) yang berkenaan dengan takhsis al- amm dan mutlaq muqayyad. Akan
tetapi penekanan mereka yang berlebihan pada makna tersuqat (mafhum) dari Q.S. 2: 279
yang menyatakan bahwa hanya harta pokok yang boleh dipungut dari debitur, membuat
mereka tidak bisa bergeming dari pandangan bahwa bunga ekuivalen dengan riba. Karakter
metode istinbat bayani yang cenderung hanya memperhatikan makna teks dari uspek
kebahasaan dan mengabaikan background sosial historis ketika suatu ayat diturunkan tentu
saja ikut bertanggung jawab dalam membentuk opini mereka ini.
Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja, yaitu riba nasiah
danriba fadil, sedangkan riba yad dan Riba qardi termasuk ke dalam riba nasiah danriba
fadhl. Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas,perak, dan makanan yang
mengeyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli
barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dan dengan emas, gadum dengan gadum,
diperlukan tiga syarat: (1) tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya
berlianan, tetapi ilat ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama tibangannya,
tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ilat ribanya berlainan seperti perak
dengan beras, boleh dijial bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak
diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
Riba (termasuk bunga bank) adalah termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan
dua saksi riba adalah sama dalam dosa dan maksiat denganpemakan riba. Tidak boleh bagi
seorang Muslim mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum
Muslimin untuk mendirikan bank Islam sesuai dengan syariat agama, dan menghindarkan
dari segala macam bentuk/praktek riba
DAFTAR PUSTAKA
1 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Ishaat
Islam, 1950, hlm. 721.
2 Abdurrahman Isa Ibnu Qayyim al-Zauji, Al-Muamalat al-Hadits wa Ahkamuha. Mesir:
3 Al-Suyuti, Al-Jami al-Shaghir, vol.1, Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1954,
hlm. 10
4 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2006, hlm. 290
5 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997, hlm. 103
6 Rasjid, op. cit. , hlm. 291-292
7 Pendapat Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, juga Abul Ala
al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-Arabi, Penasihat Hukum pada Islamic
Congress Cairo dan lainnya.
8 Mohammad Hatta, Mantan Wakil Presiden RI
9 Zuhdi, op. cit., hlm. 109
10 Zuhdi, op. Cit., hlm. 112
11 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Untung-Piutang, Gadai, Bandung, alMaarif, 1983, hlm. 22-23