PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebelum dilakukan amandemen ketiga, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
b.
c.
2.
Ketentuan bahwa Tap MPR bersifat beschiking diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, bahwa yang dimaksud dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
yang bersifat regeling hanya meliputi:
a.
b.
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah.
Berdasarkan ketentuan diatas sangat jelas bahwa Tap MPR tidak lagi termasuk dalam
bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling. Status hukum
Tap MPR yang bersifat beschiking ini berubah dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Th.
2011), sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang telah dinyatakan
tidak berlaku. Menurut UU No.12 Th. 2011 bahwa Tap MPR merupakan bagian dari jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan yang ditempatkan di bawah UUD 1945. Ini berarti
Tap MPR tidak lagi hanya bersifat beschiking tetapi juga bersifat regeling. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Th. 2011 bahwa yang dimaksud hirarki
peraturan perundang-undangan meliputi:
a.
b.
c.
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
g.
Dengan adanya perubahan status hukum dari pada Tap MPR yang awalnya hanya
sebatas beschiking tetapi sekarang juga dimasukkan dalam jenis regeling berdasarkan UU
No.12 Th. 2011, maka salah satu implikasi yuridisnya adalah bagaimana jika Tap MPR itu
dinilai bertentangan dengan UUD 1945? Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang
untuk memeriksa dan mengadili terhadap Tap MPR yang bersifar regeling dan dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Karena secara tekstual wewenang MK hanya dapat
melakukan pengujian terhadap undang-undang yan/g dinilai bertentangan dengan UUD 1945
(constitutional review), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
3
1.2
Rumusan Masalah
1.
2.
1.3
1.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana kedudukan TAP MPR RI dalam diterbitkannya
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Untuk mengetahui Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menguji Tap MPR terhadap
UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
1.1.1
berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada medio tahun 1998 adalah reformasi pada
bidang hukum. Tahap awal yang dilakukan untuk mewujudkan prioritas tersebut adalah
dengan mengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai hukum dasar
dalam penyelenggaraan negara. Secara prinsipil, perubahan UUD 1945 merupakan suatu
keniscayaan. Mengingat, reformasi hukum mustahil dilakukan tanpa melakukan perubahan
konstitusi (constitutional reform). Dalam pandangan Abraham Amos, proses perubahan
konstitusi bukan sesuatu yang bersifat keramat (tabu), melainkan bertujuan untuk
memperbaiki hal-hal substansial yang belum termuat dalam konstitusi, dan memperbaiki
kelemahan-kelemahan, serta ketidaksempurnaan konstitusi sebagai buah karya manusia.
Karena pada awal pembentukannya, UUD 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara.
Oleh karena itu, Soekarno menyebutnya sebagai UUD revolutiegrondwet.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap sejak tahun 1999 sampai
dengan tahun 2002 dalam sidang-sidang MPR. Perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah UUD 1945 sebelum perubahan berisi 71 butir
ketentuan, maka setelah empat tahap perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir
ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi baru sama
sekali dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain perubahan dan penambahan butir-butir ketentuan, perubahan UUD 1945 juga
mengakibatkan adanya perubahan yang krusial terhadap struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu
perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara
tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru. Salah satu perubahan yang krusial
tersebut adalah pergeseran kedudukan, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR).
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan, tercantum kalimat
Kedaulatan
adalah
di
tangan
rakyat
dan
dilakukan
sepenuhnya
oleh
Majelis
5
pada akhirnya MPR tidak melaksanakan tugasnya sebagai lembaga yang dapat menilai
accountability pemerintah, yang merupakan syarat mutlak perwujudan dari konsep
kedaulatan rakyat.
Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara
konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan
kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas politik negara dan pemerintahan
(tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk
dan bertanggung jawab kepada rakyat. Tuntutan perubahan pada tingkat hukum dasar
(konstitusi) dari lembaga perwakilan rakyat tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki
kualitas kerja dan hasil kerja parlemen Indonesia untuk memajukan rakyat Indonesia.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 perubahan ketiga memuat ketentuan yang berbunyi
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Perubahan ketentuan ini membawa implikasi yang luar biasa terhadap kedudukan MPR.
Semula, MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pasca perubahan UUD
1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara
lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Dengan kedudukan demikian, kekuasaan MPR setelah perubahan UUD 1945
(berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan) adalah:
a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar; dan
d) memilih dan menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam keadaan
Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap.
Perubahan Pasal 1 ayat (2) tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan
meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut negara Indonesia karena pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan oleh MPR tetapi melalui cara dan berbagai lembaga
yang ditentukan dalam UUD 1945. Bahwa dengan ditetapkannya perubahan tersebut maka
kedaulatan berada di tangan rakyat, lembaga-lembaga negara melaksanakan bagian-bagian
dari wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan UUD 1945, aturan dalam UUD tersebutlah
yang menjadi rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan rakyat, sehingga MPR tidak lagi
Peraturan Pemerintah.
Peraturan Presiden.
Peraturan Daerah.
Sedangkan di sisi yang lain, ada peraturan yang bernama TAP MPR dan masih berlaku
sampai sekarang, maka perubahan mendasar dalam Undang Undang no 12 tahun 2011 adalah
dengan memasukkan kembali TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang undangan,
seperti yang tercantum dalam pasal 7 undang undang no 12 tahun 2011, yaitu :
TAP MPR
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
untuk mengakomodir beberapa TAP MPR yang sampai sekarang masih berlaku. Ada dua
macam TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini meskipun kewenangan yang dimiliki
MPR banyak yang telah direduksi sejak perubahan Undang Undang Dasar 1945, yaitu TAP
MPR yang berlaku secara tak terbatas, dan TAP MPR yang berlaku hingga terbentuknya
Undang Undang yang menggantikan.
Beberapa TAP MPR yang berlaku secara tak terbatas adalah :
Sedangkan TAP MPR yang masih berlaku hingga terbentuknya Undang Undang yang
menggantikan adalah :
sudah ada Undang-undang penggantinya) maka sewajarnya bila TAP MPR tersebut kembali
dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang undangan.
10
Beranjak dari penjelasan di atas, materi muatan Ketetapan MPR/S yang masih
dinyatakan berlaku oleh Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 adalah materi muatan pada saat
Ketetapan MPR/S dibentuk dalam kontruksi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang
fungsinya adalah menjabarkan atau menafsirkan ketentuan UUD 1945. Sehingga, status
hukumnya berada di atas UU dan tergolong norma yang bersifat konstitusi atau aturan dasar
negara. Dengan dilakukannya peninjauan kembali terhadap Ketetapan MPR/S tersebut dan
ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapatnya
Ketetapan MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU,
12
13
2.2
2.2.1
mengadili Tap MPR Terhadap UUD1945 sebaiknya kita menetahui tentang Hierarki norma
hukum. Hierarki norma hukum menurut Hans Kelsen mengenai teori jenjang norma
hukum (Stufentheorie), Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjangjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti, suatu norma yang
lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih yang tinggi, norma
yang lebih berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm).
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu system norma tersebut tidak
lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi
norma-norma
yang
berada
dibawahnya
sehingga
suatu
norma
dasar
itu
dikatakan Presupposed.
Berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut, Hans Nawiasky
mengembangkan teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky
dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan
teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
tertinggi yang disebut dengan norma dasar.
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok.
Pengelompokkan norma hukum dalam suatu Negara manurut Hans Nawiaky yakni :
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
14
2.2.2
justru melahirkan persoalan hukum baru, yaitu pertentangan antara Ketentuan Pasal 4
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dengan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun
2011. Ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa beberapa
Ketetapan MPR masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU. Di sisi lain, Pasal 7
ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menempatkan Ketetapan MPR di atas UU yang dari sisi
hirarki hukum mengandung konsekuensi bahwa produk hukum UU tidak boleh bertentangan
dengan Ketetapan MPR, konsekuensinya produk hukum UU tidak dapat menyatakan
ketentuan yang lebih tinggi tidak berlaku. Ketentuan ini tentu bertentangan dengan Pasal 4
Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapat ketetapan MPR yang akan
menjadi tidak berlaku jika sudah diatur dalam UU. Namun jika menggunakan logika UU
Nomor 12 Tahun 2011 yang menempatkan Ketetapan MPR di atas UU, maka yang harus
digunakan adalah ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 di mana substansinya
justru menegasikan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 itu sendiri.
Implikasi masuknya kembali TAP MPR dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan
maka secara otomatis TAP MPR yang masih berlaku dapat menjadi norma atau peraturan
rujukan untuk membuat peraturan dibawahnya. Begitu pula sebaliknya seharusnya TAP MPR
dapat menjadi alat uji untuk peraturan dibawahnya yang substansinya dianggap bertentangan
dengan TAP MPR. Namun dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tidak memberikan
kewenangan kepada lembaga tertentu untuk menjadi lembaga pengujinya.
Hal tersebut juga membawa konsekuensi kepada persoalan kemungkinan pengujian
Ketetapan MPR. Masuknya Ketetapan MPR sebagai jenis produk hukum di bawah UUD
15
1945 menimbulkan pertanyaan Bagaimana jika TAP MPR bertentangan dengan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945? Dan bagaimana pula jika terdapat Undan-undang yang
bertentangan dengan TAP MPR?
Dari penjelasan tersebut terdapat kekosongan pengaturan mengenai pengujian
Ketetapan MPR oleh UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan terkait dengan
pengujian peraturan perundang-undangan (Judicial Review). Untuk memperjelas alasan
tersebut, dapat dilihat pada Pasal 9 Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan:
1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK).
2) Dalam
diduga
hal
suatu
Peraturan
bertentangan
dengan
PerUndang-Undangan
dibawah Undang-Undang
(1).Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang
dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2).Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
Konsep mengenai wewenang menguji untuk menjaga kesucian konstitusi oleh
lembaga yudisial ini dapat melihat beberapa putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung di Amerika Serikat. Di dalam memberikan putusan, MA dapat berdasarkan pada
peraturan yang dibuat oleh Kongres maupun pada doktrin. Sebagian besar kasus yang
ditangani MA merupakan hasil interpretasi hukum dalam menentukan apakah suatu peraturan
atau pejabat berjalan sesuai dengan konstitusi atau tidak. Wewenang MA ini tidak disebutkan
secara khusus dalam konstitusi AS, akan tetapi didasarkan pada doktrin yang disimpulkan
oleh MA berdasarkan naskah konstitusi dan telah dinyatakan secara gamblang dalam kasus
penting yaitu Marbury vs. Madison tahun 1803. Dalam putusannya MA dengan hakim
Marshall menyatakan bahwa ...tindakan legislatif yang bertentangan dengan Konstitusi
bukanlah Hukum..., dan lebih lanjut menambahkan bahwa adalah wewenang dan tugas
dan wewenang dari lembaga peradilan untuk menyatakan apakah hukum itu. Atas dasar
inilah, maka MA mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian (yudicial review)
terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi AS.
Tradisi AS inilah yang kemudian menjadi tonggak bagi lahirnya ajaran supremasi
konstitusional dalam pengujian peraturan perundang-undangan. Menurut Smith Baily
(Inggris), bahwa yudicial review didirikan atas dasar doktrin Ultra Vires (ultra vires doctrin)
yang digunakan dalam sistem hukum di Inggris. Berdasarkan doktrin tersebut kekuasan
yudikatif diberikan hak dan kewenangan untuk14 :
a. mengawasi batas kewenangan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan perundangundangan (statutory authority) sesuai dengan batas yurisdiksi atau kawasan kekuasaannya.
b. kekuasaan yudikatif diberikan hak, fungsi dan kewenangan untuk melakukan pengawasan
terhadap penguasa pusat maupun daerah dan local untuk tidak melakukan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) melampaui batas-batas yurisdiksinya.
c. Apa-apa yang tidak didelegasikan undang-undang kepada penguasa, atau membuat
17
peraturan perundang-undangan yang jauh lebih luas dari apa yang telah didelegasikan,
harus dinyatakan sebagai tindakan yang tidak berdasar hukum (unlawful), karena dianggap
sebagai tindakan yang illegal.
Secara analisis ketatanegaraan bahwa MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi
Negara seperti sebelum amandemen UUD 1945. MPR sekarang sudah berkedudukan sejajar
dengan lembaga-lembaga Negara lainnya, sehingga terhadap produk hukumnya-pun dapat
dilakukan peninjauan atau pengujian oleh lembaga Negara lain, yakni oleh MK demi untuk
menjaga kesucian nilai-nilai dan semangat dari pada UUD 1945.
Jika kita melihat fungsi MA dalam sistem peradilan di Amerika serikat bahwa MA
pada dasarnya mempunyai wewenang untuk menguji segala produk hukum lembaga Negara
yang melanggar atau bertentangan dengan konstitusi dan melihat kedudukan dari pada MPR
pasca amandemen UUD 1945, maka menurut penulis lembaga Negara yang berwenang untuk
menguji Tap MPR sebelum dirubah dalam rapat tahunan MPR adalah MK, karena semangat
pembentukan MK adalah sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan
penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution).
18
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
2.
supaya tidak melanggar atau bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab inilah maka
MK disebut sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan
penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution). Alasan kedua, bahwa MPR
sejak dilakukan amandemen ketiga UUD 1945 tidak lagi berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi Negara (supreme), tetapi MPR sekarang berkedudukan sejajar
dengan lembaga Negara lainnya. Oleh karena inilah maka terhadap produk
hukumnya-pun dapat dilakukan pengujian oleh lembaga Negara lainnya yang
berwenang sebagai pengawal konstitusi, dalam hal ini adalah MK.
3.2
Saran
1.
2.
20
DAFTAR PUSTAKA
21