DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
MUH. FIKRI FANSURI (A21112019)
MEGI SILVI LONTAAN (A21112020)
MUH. ZULFIQAR MAHMUD (A21112292)
REYNALDI ARISTA YUDHA (A21112268)
HAEDAR DP (A21112104)
ST. NURMULTAZAMI (A21112011)
IDA NURFAIDAH (A21112015)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemimpin dengan kepemimpinannya memegang peran yang strategis dan
menentukan dalam menjalankan roda organisasi, menentukan kinerja suatu
lembaga dan bahkan menentukan mati hidup atau pasang surutnya kehidupan
suatu bangsa dan negara. Ia merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat
dibuang atau diabaikan (sine qua non) dalam kehidupan suatu organisasi atau
suatu bangsa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Baik atau buruknya
kondisi suatu organisasi, bangsa dan negara, banyak ditentukan oleh kualitas
pemimpinnya dan kepemimpinan yang dijalankannya.
Para pemimpin di daerah diberi wewenang untuk mengelola sumber daya
lokal yang dimiliki untuk membuat masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.
Mereka dipilih dan diberi kepercayaan untuk memimpin rakyat agar lebih
sejahtera dan membangun daerah menjadi lebih maju. Di tangan para pemimpin
itulah ditentukan bagaimana masa depan rakyat, dan di pundak para pemimpin
itu digantungkan harapan-harapan rakyat yang dipimpin.
Namun, akhir-akhir ini ada kecenderungan menurunnya kepercayaan
masyarakat kepada para pemimpin. Menurunnya kepercayaan ini dapat
menjurus pada krisis kepercayaan kepada para pemimpin dan mempengaruhi
gerak pembangunan. Beberapa indikator menurunnya kepercayaan masyarakat
kepada pemimpin antara lain berupa kondisi kesejahteraan masyarakat yang
masih memprihatinkan, pelayanan publik yang belum memenuhi harapan,
kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh sebagian pemimpin sampai tindak
pidana korupsi, kasus-kasus pelanggaran tiga ta (skandal harta, tahta dan
wanita) yang melibatkan sebagian pemimpin, serta kemampuan sebagian
pemimpin yang kurang memadai dihadapkan pada situsasi krisis multidimensi
yang melanda masyarakat bangsa dewasa ini. Padahal, proses demokratisasi di
Era Reformasi telah berkembang lebih maju dibandingkan dengan era-era
sebelumnya. Pemilihan umum telah dilakukan secara langsung, baik pemilihan
calon legislatif (caleg), pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan kepala
daerah (pilkada).
Untuk itu perlu dicari suatu solusi bagaimana mengatasi krisis
kepemimpinan dan suatu tipe kepemimpinan yang cocok untuk diterapkan
sesuai situasi dan kondisi setempat. Tidak dapat disangkal bahwa peran
pemimpin dan kepemimpinannya mampu memberi pengaruh (positif atau
negatif) pada kondisi gatra-gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan (poleksosbudhankam) yang pada akhirnya
berpengaruh pada kondisi ketahanan nasional dan ketahanan daerah.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kepemimpinan etis?
2. Bagaimana pandangan para pakar tentang kepemimpinan etis?
3. Bagaimana hubungan antara kepemimpinan etis untuk pendidikan
karakter?
4. Apa pengertian dari kepemimpinan yang melayani?
5. Apa karakteristik pemimin yang melayani?
6. Apa pengertian kepemimpinan spiritual?
7. Apa saja karakteristik-karakteristik dari kepemimpinan spiritual?
8. Apa pengertian dari kepemimpinan otentik?
9. Apa saja komponen-komponen dari kepemimpinan otentik?
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari kepemimpinan etis
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para pakar tentang
kepemimpinan etis
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara kepemimpinan etis untuk
pendidikan karakter
4. Untuk mengetahui apa pengertian dari kepemimpinan yang melayani
5. Untuk mengetahui apa karakteristik pemimin yang melayani
6. Untuk mengetahui apa pengertian kepemimpinan spiritual
7. Untuk mengetahui apa saja karakteristik-karakteristik dari kepemimpinan
spiritual
8. Untuk mengetahui apa pengertian dari kepemimpinan otentik
9. Untuk mengetahui apa saja komponen-komponen dari kepemimpinan
otentik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan Etis
Konsepsi Umum dari Kepemimpinan Etis
Kepemimpinan Etis terdiri dari dua kata, yakni kepemimpinan dan
Etis. Secara umum kepemimpinan dipahami sebagai kemampuan dan
kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi dan
menuntun seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.
Sedangkan kata Etis merupakan bentuk kata sifat dari Etika. Websters
Student Dictionary merumuskan pengertian Etika sebagai The study and
philosophy of human conduct, with emphasis on the determination of right and
wrong. The basic principles of right action. A work or treatise on morals (Etika
adalah studi dan filsafat tentang tingkah laku manusia, dengan penekanan pada
determinasi benar dan salah. Prinsip dasar dari tindakan yang benar. Suatu
tindakan atau risalah moral). Jadi, kepemimpinan etis dapat berarti kemampuan
dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi dan menuntun seorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama dengan menekankan
pentingnya nilai-nilai moral.
Kepemimpinan etis merupakan jenis perilaku kepemimpinan. Sementara
pemimpin yang etis menunjuk pada kualitas pribadi pemimpin itu sendiri.
Keduanya saling terintegrasi. Kepemimpinan etis menunjukkan pemimpin yang
etis. Sebaliknya pemimpin yang etis menunjukkan model kepemimpinan etis.
Standar pengukuran atau evaluasi kepemimpinan etis terdapat dalam diri
pemimpin itu sendiri. Yukl menyebutkan contoh standar moral yang digunakan
untuk mengevaluasi meliputi batasan di mana perilaku pemimpin melanggar UU
dasar masyarakat, menyangkal hak orang lain, membahayakan kesehatan dan
kehidupan dari orang lain, atau melibatkan upaya untuk menipu dan
mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi.
Pandangan Para Pakar tentang Kepemimpinan Etis
Pandangan para pakar tentang kepemimpin etis datang dari Burns,
Heifets, Greenleaf dan Bush. Intisari pandangan mereka adalah sebagai berikut:
Burns
Burns tidak memberikan definisi eksplisit tentang kepemimpinan etis.
Tetapi ia meunjukkan pentingnya suatu fungsi kepemimpinan dalam
meningkatkan kesadaran mengenai masalah etis dan membantu orang
Bush
Konsep senada tentang kepemimpinan etis dikemukakan pula oleh Bush.
Ia menggunakan istilah kepemimpinan moral. Bush berpendapat bahwa
kepemimpinan moral adalah suatu model kepemimpinan yang berfokus pada
nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan
dan
etika.
Kepemimpinan
moral
berdasarkan rasional normatif, yakni berdasarkan pertimbangan benar atau
salah atas suatu tindakan yang akan atau telah diambil.
Dari pandangan tentang kepemimpinan etis dari para pakar di atas, dapat
disimpulkan beberapa prinsip kepemimpinan etis sebagai berikut: pertama,
fungsi kepemimpinan etis adalah meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di
antara para pemimpin dan pengikutnya. Kedua, kepemimpinan etis berperan
membantu orang untuk mampu menghadapi konflik dan menemukan cara-cara
yang produktif untuk menghadapinya. Ketiga, esensi dari kepemimpinan etis
adalah pelayanan. Dankeempat, kepemimpinan etis berfokus pada nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan dan etika.
Integritas Pribadi dan Kepemimpinan Etis
Salah satu atribut yang dapat membantu menjelaskan efektivitas
kepemimpinan adalah integritas pribadi yang secara harafiah berarti keutuhan,
kejujuran atau ketulusan hati. Pemimpin yang memiliki integritas pribadi adalah
pemimpin yang perilakunya konsisten dengan sekumpulan prinsip moral yang
F.W. Foerster
Ki Hajar Dewantara
Penyadaran nilai
saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemimpin yang ada belum
memenuhi harapan akan pemimpin yang melayani. Masih sangat sulit untuk
mendapatkan sosok pemimpin yang melayani. Hampir semua pemimpin yang
ada saat ini menganggap dirinyalah yang semestinya dilayani oleh anggota
kelompok atau organisasi yang dipimpinnya karena merasa dirinya sebagai
seseorang yang sangat istimewa dan tinggi kedudukannya dalam sebuah
organisasi.
Pengertian Pemimpin yang Melayani
Teori tentang pemimpin yang melayani dimulai sejak tahun 1970, ketika
R.K. Greenleaf (1904-1990) menulis sebuah essay yang berjudul The Servant as
Leader. Essay tersebut dikembangkan oleh Greenleaf menjadi sebuah buku
yang diterbitkan tahun 1977 berjudul Servant Leadership: A Journey into the
Nature of Legitimate Power and Greatness. Ide mengenai pemimpin yang
melayani ini diperoleh Greenleaf tahun 1960-an ketika membaca novel karya
Herman Hessee, Journey to the East. Setelah membaca cerita ini, Greenleaf
(2002) menyimpulkan bahwa pemimpin yang hebat diawali dengan bertindak
sebagai pelayan bagi orang lain. Kepemimpinan yang sesungguhnya timbul dari
motivasi utama untuk membantu orang lain.
Kedua kata melayani dan pemimpin biasanya dianggap sebagai hal
yang berlawanan. Ketika kedua hal yang bertolak belakang disatukan dengan
cara yang kreatif dan berarti, sebuah paradoks muncul. Jadi, kedua hal tersebut
telah disatukan untuk menciptakan ide paradoksial tentang kepemimpinan yang
melayani.
Greenleaf (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani diawali
dengan perasaan alami untuk melayani terlebih dahulu. Setelah itu, dengan
kesadaran, seseorang ingin memimpin. Greenleaf (2002) mendefinisikan
pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang sangat peduli atas
pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya dan komunitasnya dan
karenanya ia mendahulukan hal-hal tersebut dibandingkan dengan pencapaian
ambisi pribadi atau pola dan kesukaannya saja. Impiannya ialah agar orang yang
dilayani tadi akan menjadi pemimpin yang melayani juga. Greenleaf (2002)
menekankan, bila seseorang ingin menjadi pemimpin yang efektif dan berhasil,
ia harus lebih dulu memiliki motivasi dan hasrat yang besar untuk memenuhi
kebutuhan orang lain. Dalam hal ini, pemimpin harus mampu mendorong
pengikutnya
untuk
mencapai
potensi
optimalnya.
Belakangan ini, agar bisa berorientasi pada pelanggan, organisasi
membutuhkan pemimpin yang bersedia melayani. Para pemimpin harus
memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggan internal (para karyawan)
sehingga akan berdampak pada pelayanan prima yang didemonstrasikan oleh
para pelanggan internal kepada para pelanggan eksternal (Tjiharjadi et al.,
2007). Sayangnya, gaya kepemimpinan yang melayani kurang diminati oleh
kebanyakan praktisi bisnis. Gaya kepemimpinan yang melayani lebih banyak
digunakan di organisasi sektor publik dan pemerintah.
Karakteristik Pemimpin yang Melayani
7.
C. Kepemimpinan Spiritual
Berbicara kepemimpinan spiritual saat ini sepertinya tidak dapat dilepaskan
dengan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Konsep ESQ ini di Indonesia
setidaknya ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan
mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H.
Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, dai kondang dari Pesantren Daarut
Tauhiid Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha
muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya
Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ
yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar
Agustian menekankan tentang:
a. Zero Mind Process, yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali
pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang
bersifat merdeka dan bebas dari belenggu;
b. Mental Building, yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan
emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan
hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman;
c. Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling, yaitu usaha
untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan
merujuk pada Rukun Islam;
d. Strategic Collaboration, usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi
dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan
tanggung jawab sosial individu; dan
e. Total Action, yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial
(Ari Ginanjar, 2001).
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi
keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Tuhan adalah pemimpin sejati
yang mengilhami, mempengaruhi, melayani dan menggerakkan hati nurani
hamba-Nya dengan cara yang sangat bijaksana melalui pendekatan etis dan
keteladanan. Karena itu kepemimpinan spiritual disebut juga sebagai
kepemimpinan yang berdasarkan etika religius. Kepemimpinan yang mampu
mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui
keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat-sifat
ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan.
Dalam perspektif sejarah, kepemimpinan spiritual telah dicontohkan dengan
sangat sempurna oleh Muhammad SAW. Dengan integritasnya yang luar biasa
dan mendapatkan gelar sebagai al-amin (terpercaya), Muhammad SAW mampu
mengembangkan kepemimpinan yang paling ideal dan paling sukses dalam
sejarah peradaban umat manusia. Sifat-sifatnya yang utama yaitu siddiq
Tugas yang
berat tidak mungkin diserahkan dan diemban oleh orang yang tidak jujur,
tidak amanah.
bukan untuk
formalitas tanpa isi itu ibarat pepesan kosong. Pemimpin spiritual lebih
melainkan
ketika
memberdayakan
(empowerment),
dan membebaskan
sangat efektif dan efisien dalam bekerja dan pekerjaan yang diselesaikan
sambung-menyambung seakan tidak ada habisnya, namun dia tidak
merasa sibuk, tidak merasa menjadi orang penting, tidak menjadi pelit
untuk melayani orang lain. Sebaliknya ia tetap santai, ramah dan biasaf.
biasa saja.
Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain. Pemimpin
spiritual berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Dengan
mengenali jati diri ia dapat membangkitkan segala potensinya dan dapat
bersikap secara arif dan bijaksana dalam berbagai situasi. Dengan
mengenali jati diri ia dapat membangkitkan dengan cara yang memikat,
memukul tanpa menyakiti, mengevaluasi tanpa menyinggung harga
diri. Dengan mengenali jati diri ia dapat berperilaku, menghormati dan
memperlakukan diri sendiri dan orang lain apa adanya. Ketika
menghadapi orang-orang yang menyulitkan, seorang trouble maker, dan
menjadi source of problem sekalipun ia tetap dengan cara yang arif dan
Pemimpin spiritual
mereka bercanda.
Think Globally and Act Locally.
Kebiasaan
media.
Allahlah
sesungguhnya
yang
memberi
kekuatan,
petunjuk, pertolongan.
Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan rangkuman dari tipe ideal
dari sejumlah pemimpin spiritual berdasarkan hasil penelitian. Memang tidak
semua pemimpin spiritual yang memiliki setiap karakter tersebut dengan
sempurna. Bagaimanapun pemimpin tersebut adalah manusia dan manusia itu
tempatnya salah dan lupa (al-insnu mahallu khata wa al-niyn)
D.Kepemimpinan Otentik
Kepemimpinan otentik terdapat dalam tulisan Bruce J. Avolio and Fred
Luthans. Avolioand Luthans mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai
proses kepemimpinan yang dihasilkan dari perpaduan antara kapasitas
psikologis individu dengan konteks organisasi yang terbangun baik, sehingga
mampu menghasilkan perilaku yang tinggi kadar kewaspadaan dan
kemampuannya dalam mengendalikan diri, sekaligus mendorong pengembangan
diri secara positif.
Kepemimpinan otentik memiliki empat komponen, yaitu:
(1) Kewaspadaan Diri;
(2) Perspektif Moral yang Terinternalisasi;
(3) Pengelolaan Berimbang; dan
Identitas personal dan sosial saling berhubungan satu sama lain sebagai hasil
refleksi seseorang atas dirinya sendiri serta interaksinya dengan orang
lain. Pemimpin otentikmemahami identitas personal dan sosial ini secara jelas
dan selalu mewaspadainya.
c. Emosi
Pemimpin otentik juga memiliki kewaspadaan diri yang bersifat emosional.
Semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, semakin waspada mereka atas
emosi tersebut sehingga dapat memahami pengaruhnya atas proses kognitif
dan kemampuan pembuatan keputusannya. Kesadaran diri seputar dimensi
emosi seseorang merupakan prediktor kunci untuk membangun kepemimpinaan
yang efektif.
d. Motivasi/Tujuan
Pemimpin otentik berorientasi pada masa depan. Mereka secara terusmenerus berupaya mengembangkan baik dirinya maupun para pengikutnya.
Tindakan pemimpin otentik diarahkan oleh motif-motif untuk menyempurnakan
dirinya.
Mereka
cenderung
aktif
mencari feedback yang
akurat
dari
para stakeholder (pengikut, teman, mentor, pelanggan) tidak hanya untuk
mengkonfirmasi pandangan pribadi mereka sendiri, tetapi juga guna mengenali
diskrepansinya (kesenjangannya) antara kondisi nyata dengan pandangan
pribadinya.
Perspektif Moral yang Terinternalisasi
Perspektif moral yang terinternalisasi menggambarkan proses pengaturan
diri sendiri di mana pemimpin cenderung meresapkan nilai-nilai mereka kepada
maksud juga tindakan mereka. Pemimpin otentik akan melawan setiap tekanan
eksternal yang berlawanan dengan standar moral yang mereka pegang melalui
proses regulasi internal di dalam diri mereka, yang memastikan bahwa nilai-nilai
mereka tetap selaras dengan tindakan yang mereka ambil. Dengan meresapkan
nilai ke dalam tindakan serta bertindak menurut kesejatian diri sendiri, pemimpin
otentikmenunjukkan konsistensi antara apa yang mereka katakan dengan apa
yang mereka lakukan.
Pengelolaan Berimbang
Pengelolaan berimbang juga kerap dirujuk sebagai pengelolaan yang tidak
memihak. Terhadap informasi negatif dan positif, pemimpin otentik mampu
mendengar, menafsir, dan memprosesnya dengan cara yang obyektif. Proses ini
mereka lakukan sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Proses ini meliputi
pengevaluasian kata-kata dan tindakan mereka sendiri secara obyektif tanpa
mengabaikan atau menyimpangkan sesuatu yang ada, termasuk interpretasi
seputar gaya kepemimpinannya sendiri. Pengelolaan berimbang juga
berhubungan dengan karakter dan integritas seorang pemimpin.
Transparansi Hubungan
Pemimpin otentik tidak cukup hanya memiliki kewaspadaan diri, selaras
antara tindakan dengan nilai, dan obyektif dalam menafsir, tetapi
seorangpemimpin otentik juga harus mampu mengkomunikasikan informasi
dengan cara terbuka dan jujur dengan orang lain lewat pengungkapan diri
sendiri yang cenderung bisa dipercaya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan yang menekankan pada
penghayatan nilai-nilai moral. Kepemimpinan etis adalah perwujudan nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan dan moral oleh pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan
etis menuntun, mengarahkan dan mengamalkan nilai-nilai moral bersama orangorang yang dipimpin. Untuk itu dibutuhkan integritas pribadi yang kokoh dan
karakter yang kuat dari seorang pemimpin, agar dapat menjadi teladan,
sehingga darinya orang dipengaruhi dan didorong untuk menginternalisasi dan
mewujudkan karakter pribadi yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh
situasi dan mampu untuk mengambil keputusan sendiri atas hidup yang
dijalaninya.
Servant leadership (kepemimpinan yang melayani) merupakan sebuah
teori atau pandangan baru mengenai kepemimpinan yang dicetuskan
oleh Robert K.Greenleaf. Teori kepemimpinan yang melayani merupakan sebuah
teori yang menekankan pada peningkatan pelayanan kepada orang lain. Sebuah
pendekatan Holistik untuk bekerja , mempromosikan rasa kebersamaan dan
berbagi kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Kepemimpinan yang
melayani mempunyai sebuah motivasi kepemimpin yang unik dan dipandang
sebagai sesuatu perbedaan yang penting terhadap teori kepemimpinan yang
melayani atau manajemen lainnya
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang berdasarkan pada
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepemimpinan dengan semangat berjuang
bersama (jihad). Kepemimpinan spiritual jauh mengesampingkan kepentingan
pribadi sang pemimpin namun lebih mengutamakan kepentingan organisasi
yang dipimpinnya. Kepemimpinan spiritual merupakan kepemimpinan yang
berdasarkan etika religius atau mengacu pada kehendak Tuhan.
Kepemimpinan otentik adalah proses kepemimpinan yang dihasilkan dari
perpaduan antara kapasitas psikologis individu dengan konteks organisasi yang
terbangun baik, sehingga mampu menghasilkan perilaku yang tinggi kadar
kewaspadaan dan kemampuannya dalam mengendalikan diri, sekaligus
mendorong pengembangan diri secara positif
DAFTAR PUSTAKA
http://attanovi752011.blogspot.com/2012/12/kepemimpinan-etis-danrelevansinya-bagi.html
http://setabasri01.blogspot.com/2011/01/kepemimpinan-dalam-organisasi.html
http://taufiktanjung.blogspot.com/2010/04/pemimpin-yang-melayani.html
http://cintaimabar.blogspot.com/p/kepemimpinan-yang-melayani-servant.html
https://www.scribd.com/doc/95030635/Makalah-Spiritual-Leadership
http://oursolving.blogspot.com/2011/09/24-kepemimpinan-otentik.html