Anda di halaman 1dari 22

Mata Kuliah : Kepemimpinan

KEPEMIMPINAN ETIS, MELAYANI, SPIRITUAL DAN


OTENTIK

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
MUH. FIKRI FANSURI (A21112019)
MEGI SILVI LONTAAN (A21112020)
MUH. ZULFIQAR MAHMUD (A21112292)
REYNALDI ARISTA YUDHA (A21112268)

HAEDAR DP (A21112104)
ST. NURMULTAZAMI (A21112011)
IDA NURFAIDAH (A21112015)

FAKULTAS EKONOMI UNHAS


2014 (GANJIL)

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemimpin dengan kepemimpinannya memegang peran yang strategis dan
menentukan dalam menjalankan roda organisasi, menentukan kinerja suatu
lembaga dan bahkan menentukan mati hidup atau pasang surutnya kehidupan
suatu bangsa dan negara. Ia merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat
dibuang atau diabaikan (sine qua non) dalam kehidupan suatu organisasi atau
suatu bangsa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Baik atau buruknya
kondisi suatu organisasi, bangsa dan negara, banyak ditentukan oleh kualitas
pemimpinnya dan kepemimpinan yang dijalankannya.
Para pemimpin di daerah diberi wewenang untuk mengelola sumber daya
lokal yang dimiliki untuk membuat masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.
Mereka dipilih dan diberi kepercayaan untuk memimpin rakyat agar lebih
sejahtera dan membangun daerah menjadi lebih maju. Di tangan para pemimpin
itulah ditentukan bagaimana masa depan rakyat, dan di pundak para pemimpin
itu digantungkan harapan-harapan rakyat yang dipimpin.
Namun, akhir-akhir ini ada kecenderungan menurunnya kepercayaan
masyarakat kepada para pemimpin. Menurunnya kepercayaan ini dapat
menjurus pada krisis kepercayaan kepada para pemimpin dan mempengaruhi
gerak pembangunan. Beberapa indikator menurunnya kepercayaan masyarakat
kepada pemimpin antara lain berupa kondisi kesejahteraan masyarakat yang
masih memprihatinkan, pelayanan publik yang belum memenuhi harapan,
kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh sebagian pemimpin sampai tindak
pidana korupsi, kasus-kasus pelanggaran tiga ta (skandal harta, tahta dan
wanita) yang melibatkan sebagian pemimpin, serta kemampuan sebagian
pemimpin yang kurang memadai dihadapkan pada situsasi krisis multidimensi
yang melanda masyarakat bangsa dewasa ini. Padahal, proses demokratisasi di
Era Reformasi telah berkembang lebih maju dibandingkan dengan era-era
sebelumnya. Pemilihan umum telah dilakukan secara langsung, baik pemilihan
calon legislatif (caleg), pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan kepala
daerah (pilkada).
Untuk itu perlu dicari suatu solusi bagaimana mengatasi krisis
kepemimpinan dan suatu tipe kepemimpinan yang cocok untuk diterapkan
sesuai situasi dan kondisi setempat. Tidak dapat disangkal bahwa peran
pemimpin dan kepemimpinannya mampu memberi pengaruh (positif atau
negatif) pada kondisi gatra-gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan (poleksosbudhankam) yang pada akhirnya
berpengaruh pada kondisi ketahanan nasional dan ketahanan daerah.

Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kepemimpinan etis?
2. Bagaimana pandangan para pakar tentang kepemimpinan etis?
3. Bagaimana hubungan antara kepemimpinan etis untuk pendidikan
karakter?
4. Apa pengertian dari kepemimpinan yang melayani?
5. Apa karakteristik pemimin yang melayani?
6. Apa pengertian kepemimpinan spiritual?
7. Apa saja karakteristik-karakteristik dari kepemimpinan spiritual?
8. Apa pengertian dari kepemimpinan otentik?
9. Apa saja komponen-komponen dari kepemimpinan otentik?

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari kepemimpinan etis
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para pakar tentang
kepemimpinan etis
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara kepemimpinan etis untuk
pendidikan karakter
4. Untuk mengetahui apa pengertian dari kepemimpinan yang melayani
5. Untuk mengetahui apa karakteristik pemimin yang melayani
6. Untuk mengetahui apa pengertian kepemimpinan spiritual
7. Untuk mengetahui apa saja karakteristik-karakteristik dari kepemimpinan
spiritual
8. Untuk mengetahui apa pengertian dari kepemimpinan otentik
9. Untuk mengetahui apa saja komponen-komponen dari kepemimpinan
otentik

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kepemimpinan Etis
Konsepsi Umum dari Kepemimpinan Etis
Kepemimpinan Etis terdiri dari dua kata, yakni kepemimpinan dan
Etis. Secara umum kepemimpinan dipahami sebagai kemampuan dan
kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi dan
menuntun seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.
Sedangkan kata Etis merupakan bentuk kata sifat dari Etika. Websters
Student Dictionary merumuskan pengertian Etika sebagai The study and
philosophy of human conduct, with emphasis on the determination of right and
wrong. The basic principles of right action. A work or treatise on morals (Etika
adalah studi dan filsafat tentang tingkah laku manusia, dengan penekanan pada
determinasi benar dan salah. Prinsip dasar dari tindakan yang benar. Suatu
tindakan atau risalah moral). Jadi, kepemimpinan etis dapat berarti kemampuan
dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi dan menuntun seorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama dengan menekankan
pentingnya nilai-nilai moral.
Kepemimpinan etis merupakan jenis perilaku kepemimpinan. Sementara
pemimpin yang etis menunjuk pada kualitas pribadi pemimpin itu sendiri.
Keduanya saling terintegrasi. Kepemimpinan etis menunjukkan pemimpin yang
etis. Sebaliknya pemimpin yang etis menunjukkan model kepemimpinan etis.
Standar pengukuran atau evaluasi kepemimpinan etis terdapat dalam diri
pemimpin itu sendiri. Yukl menyebutkan contoh standar moral yang digunakan
untuk mengevaluasi meliputi batasan di mana perilaku pemimpin melanggar UU
dasar masyarakat, menyangkal hak orang lain, membahayakan kesehatan dan
kehidupan dari orang lain, atau melibatkan upaya untuk menipu dan
mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi.
Pandangan Para Pakar tentang Kepemimpinan Etis
Pandangan para pakar tentang kepemimpin etis datang dari Burns,
Heifets, Greenleaf dan Bush. Intisari pandangan mereka adalah sebagai berikut:
Burns
Burns tidak memberikan definisi eksplisit tentang kepemimpinan etis.
Tetapi ia meunjukkan pentingnya suatu fungsi kepemimpinan dalam
meningkatkan kesadaran mengenai masalah etis dan membantu orang

menyelesaikan nilai-nilai yang berkonflik. Menurutnya kepemimpinan adalah


suatu saling meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di antara para
pemimpin dan pengikutnya. Di pihak pemimpin, idealisme dan nilai moral seperti
kebebasan, keadilan, kesetaraan, kedamaian, humanitarisme, harus terusmenerus ditingkatkan sehingga ketakutan, kerakusan, kecemburuan atau
kebencian perlahan-lahan dapat disingkirkan. Sementara di pihak para pengikut,
mereka dikembangkan dari keadaan dirinya sehari-hari menjadi diri mereka yang
lebih baik.
Heifetz
Heifetz menekankan peran utama pemimpin. Menurutnya pemimpin
berperan untuk membantu orang-orang yang dipimpinnya untuk mampu
menghadapi konflik dan menemukan cara-cara yang produktif untuk
menghadapinya. Seorang pemimpin harus mampu melibatkan pengikutnya
dalam menghadapi tantangan, perspektif yang berubah, dan belajar mengenai
cara-cara baru untuk bekerja bersama secara efektif.
Greenleaf
Greenleaf menambahkan unsur baru dalam pengertian tentang
kepemimpinan etis. Menurutnya salah satu esensi dari kepemimpinan etis adalah
pelayanan. Pendapatnya ini dilatarbelakangi oleh konsep kepemimpinan
pelayan yang diusulkannya. Pemimpin pada intinya adalah pelayan yang
bertanggungjawab memberikan pelayanan kepada para pengikutnya. Pemimpin
membantu para pengikutnya agar menjadi lebih sehat, bijaksana dan lebih
bersedia untuk menerima tanggungjawab.

Bush
Konsep senada tentang kepemimpinan etis dikemukakan pula oleh Bush.
Ia menggunakan istilah kepemimpinan moral. Bush berpendapat bahwa
kepemimpinan moral adalah suatu model kepemimpinan yang berfokus pada
nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan
dan
etika.
Kepemimpinan
moral
berdasarkan rasional normatif, yakni berdasarkan pertimbangan benar atau
salah atas suatu tindakan yang akan atau telah diambil.
Dari pandangan tentang kepemimpinan etis dari para pakar di atas, dapat
disimpulkan beberapa prinsip kepemimpinan etis sebagai berikut: pertama,
fungsi kepemimpinan etis adalah meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di
antara para pemimpin dan pengikutnya. Kedua, kepemimpinan etis berperan
membantu orang untuk mampu menghadapi konflik dan menemukan cara-cara
yang produktif untuk menghadapinya. Ketiga, esensi dari kepemimpinan etis
adalah pelayanan. Dankeempat, kepemimpinan etis berfokus pada nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan dan etika.
Integritas Pribadi dan Kepemimpinan Etis
Salah satu atribut yang dapat membantu menjelaskan efektivitas
kepemimpinan adalah integritas pribadi yang secara harafiah berarti keutuhan,
kejujuran atau ketulusan hati. Pemimpin yang memiliki integritas pribadi adalah
pemimpin yang perilakunya konsisten dengan sekumpulan prinsip moral yang

dapat dibenarkan. Indikatornya antara lain mengikuti peraturan dan standar


yang sama yang berlaku bagi orang lain, jujur dan terus terang saat memberikan
informasi atau menjawab pertanyaan, menepati janji dan komitmen, dan
mengakui tanggungjawab untuk kesalahan sambil berusaha memperbaiki.
Mengukur integritas pribadi seorang pemimpin tidaklah gampang. Sebab,
kepribadian merupakan karakteristik psikologis dan perilaku dari individu yang
sifatnya relatif permanen karena telah terbentuk sejak lahir yang
membedakannya dengan individu yang lain. Sementara perilaku merupakan
perwujudan tingkah laku dari individu yang ditentukan oleh kepribadiannya
masing-masing. Untuk itu seorang pemimpin dengan integritas pribadi perlu
dipersiapkan, dibina dan dibentuk secara matang. Kesadaran tentang pentingnya
integritas pribadi inilah yang barangkali mendorong para pemimpin bangsa kita
untuk menonjolkan pendidikan nilai dan karakter. Kualitas seseorang tidak hanya
dinilai dari aspek intelektualnya, tetapi juga dari karakter yang dimilikinya.
Dalam konteks ini kepemimpinan etis dan pendidikan karakter saling
mempengaruhi.

Pemahaman Umum tentang Istilah Karakter


Dalam percakapan sehari-hari istilah karakter sering diasosiasikan
sebagi
temperamen
atau
watak
dan
tabiat.
Dari
sudut
pandang behavioral atau perilaku, karakter dihubungkan dengan pengaruh
unsur psikis dalam fisik manusia yang diwarisinya sejak lahir. Dalam arti ini
karakter sering dianggap sebagai kepribadian, yakni ciri atau karakteristik
seseorang, yang diterima, baik sebagai faktor genetikal atau bawaan sejak lahir
atau sebagai hasil dari proses interaksi dengan lingkungan sekitar.
Etimologi dan Interpretasi atas Karakter
Secara
etimologis
istilah
karakter
berasal
dari
bahasa
Yunani karasso yang berarti cetak biru atau format dasar. Sehingga secara
harafiah karakter berarti format atau bentuk dasar dari sesuatu/seseorang.
Istilah karakter mendapatkan berbagai interpretasi. Para tua-tua bangsa
Yahudi menafsirkan karakter sebagai sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh
intervensi manusia, seperti gelombang laut. Pedagog Perancis Emmanuel
Mounier memberikan dua interpretasi, yakni pertama, karakter adalah
sekumpulan kondisi atau situasi pribadi yang telah ada dan diberikan begitu
saja. Kedua, karakter sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu
mampu mengatasi kondisi tersebut. Di pihak lain Doni Koesoema menjelaskan
karakter sebagai: sebagaimana yang dilihat, dan karakter sebagai
sebagaimana dialami. Karakter yang dilihat menyangkut determinasi natural
yang dimiliki setiap individu secara genetik. Sedangkan karakter yang dialami
adalah unsur kebebasan dalam diri setiap individu untuk mengembangkan,
menyesuaikan diri, melatih diri, atau membina diri melalui pendidikan dan
pembinaan.
Khan menyatakan ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan
dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan karakter

berbasis nilai religious yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan. Kedua,


pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain budi pekerti, pancasila,
apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa.
Ketiga, pendidikan karakter berbasis lingkungan dan keempat, pendidikan
berbasis kompetensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran
pemberdayaan potensi diri yang diarahkan meningkatkan kualitas pendidikan.
Pendapat para Ahli tentang Pendidikan Karakter

F.W. Foerster

F.W. Foerster adalah seorang pedagog Jerman. Ia dikenal sebagai pencetus


pertama konsep pendidikan karakter. Menurut Foerster pendidikan karakter
menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Tujuan
pendidikan karakter terwujud dalam kesatuan hakiki antara individu dengan
perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Dalam artian ini karakter merupakan
kaulifikasi seorang pribadi yang memberikan integritas dan otonomi atas
keputusan-keputusan yang diambilnya dalam keseluruhan pengalaman hidup.
Karakter adalah identitas yang dapat diukur dari empat komponen, yaitu:
pertama, keteraturan interior, yang diukur berdasarkan hierarki nilai.
Kedua, koherensi, memiliki prinsip yang teguh, tidak mudah terombang-ambing
pada situasi baru atau takut resiko. Ketiga, otonomi, kemampuan seseorang
untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi
pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, yakni daya tahan seseorang untuk
mengingini apa yang dipandang baik dan penghormatan atas komitmen yang
dipilih.

Ki Hajar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara sosok yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan


Indonesia telah berpikir tentang masalah pendidikan karakter pada jamannya.
Menurutnya, kecerdasan budi itu perlu diasah dengan baik, karena dapat
membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan
kepribadian dan karakter. Jika ini terjadi, maka nafsu dan tabiat-tabiat asli seperti
bengis, murka, pemarah, kikir dan lain-lain dapat dikalahkan. Melalui pendidikan
karakter terjadi transformasi nilai-nilai. Dengan demikian dalam pendidikan
terjadi dua hal sekaligus, transformasi ilmu dan transformasi nilai.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003

Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk


mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Bab 1
Pasal 1). Selanjutnya pada pasal 3 dirumuskan fungsi dan tujuan pendidikan
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.

Dari kutipan undang-undang di atas, jelaslah bahwa pendidikan karakter


merupakan dasar dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan
karakter adalah upaya penanaman nilai dan sikap religious, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab.

Relevansi Kepemimpinan Etis Untuk Pendidikan Karakter


Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa inti dari kepemimpinan etis
adalah perwujudan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan moral oleh
pemimpin itu sendiri. Sementara inti dari pendidikan karakter adalah
keteladanan. Apa yang diteladankan? Tentu yang diteladankan adalah sikap,
perilaku, gaya hidup yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang berlaku atau
sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan baik-buruk, benar-salah, atau bolehtidaknya suatu sikap atau tindakan yang diambil. Untuk itu relevansi
kepemimpinan etis untuk pendidikan karakter menantang para pemimpin dan
calon pemimpin agar dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dapat
berorientasi pada penghayatan dan perwujudan nilai-nilai moral.

Penyadaran nilai

Upaya penyadaran nilai ternyata mulai dipandang penting oleh pemimpin


bangsa kita. Belakangan ini marak digalakkan pendidikan karakter, yakni dengan
mengintegrasikannya ke dalam setiap mata pelajaran. Namun, usaha
penyadaran ini tidak semudah yang dibayangkan. Penyadaran nilai perlu
dilakukan terlebih dahulu dari dalam diri sendiri dengan tahu dan mau, agar
tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain atau tong kosong berbunyi
nyaring. Artinya adalah penyadaran nilai tidak sekedar di bibir saja, tetapi
meresap sampai ke lubuk hati yang paling dalam dan mendasari setiap tindakan
yang hendak dilaksanakan. Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan menuntun,
mengarahkan dan mengamalkan nilai-nilai moral bersama orang-orang yang
dipimpin.

Membangun konsistensi penghayatan nilai

Penyadaran dan internalisasi nilai-nilai moral, seperti kejujuran, disiplin,


bersih, sopan, dll sudah semestinya dibangun secara konsisten, tidak berubahubah seperti Bunglon. Kalaupun berubah, maka yang berubah adalah tingkatantingkatan, seperti dari yang jujur (sedang) menjadi jujur (luar biasa). Konsistensi
penghayatan nilai ini dipandang penting, sebab banyak penyimpangan moral
terjadi, karena adanya inkonsistensi penghayatan nilai akibat pengaruh
subyektivitas atas relasi tertentu.

Konsekuen terhadap perwujudan nilai

Konsekuen berarti bersedia menerima atau menanggung resiko dari suatu


pilihan yang sudah diambil. Sering terjadi persoalan etis di mana pemimpin
memilih diam, tidak mengklarifikasi sesuatu hal yang ditanyakan untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai contoh ketika seorang
pemimpin bersaksi di persidangan. Demi menjaga nama baik, maka keteranganketerangan yang diberikan mengambang, tidak jelas dan berbelit-belit.

Pemimpin Etis sebagai teladan

Saddler mengidentifikasikan beberapa atribut atau sifat yang dimiliki oleh


pemimpin yang berkualitas. Salah satu di antaranya adalah karakter. Artinya
pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang berkarakter. Seperti yang
telah dikatakan sebelumnya, inti dari pendidikan karakter adalah keteladanan,
jadi pemimpin yang etis merupakan teladan untuk masyarakat yang
dipimpinnya. Pendidikan karakter tidak sekedar teori yang didengungkan di
mana-mana, tetapi mengambil bentuk kesaksian hidup, sehingga orang bisa
dengan mudahnya menginternalisasi dan mengadopsi nilai-nilai menjadi
miliknya atau terintegrasi dengan kepribadiannya. Ketika seseorang bertanya
apa itu pendidikan karakter?, jawaban yang muncul bukan lagi konsep
pendidikan karakter dari berbagai pihak, tetapi langsung bisa menunjuk figur
pemimpin berkarakter.

B. Kepemimpinan Yang Melayani


Mengingat pentingnya peranan pemimpin dalam suatu organisasi atau
kelompok, maka menjadi sebuah hal yang sangat diidam-idamkan oleh banyak
pihak terutama anggota organisasi terhadap munculnya sosok pemimpin yang
ideal dalam organisasi atau kelompok tempat dia berada sekarang. Ada banyak
sekali kriteria pemimpin yang ideal. Salah satu contoh pemimpin yang ideal
adalah pemimpin yang melayani. Adanya harapan yang besar di masyarakat
akan munculnya sosok pemimpin yang melayani ini menyebabkan
kepemimpinan yang melayani (servant leadership) berkembang menjadi salah
satu gaya kepemimpinan di masyarakat.
Seorang pemimpin yang melayani merasa wajib melayani anggotanya
dahulu lalu muncul dorongan kepadanya untuk memimpin. Akan tetapi, kondisi

saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemimpin yang ada belum
memenuhi harapan akan pemimpin yang melayani. Masih sangat sulit untuk
mendapatkan sosok pemimpin yang melayani. Hampir semua pemimpin yang
ada saat ini menganggap dirinyalah yang semestinya dilayani oleh anggota
kelompok atau organisasi yang dipimpinnya karena merasa dirinya sebagai
seseorang yang sangat istimewa dan tinggi kedudukannya dalam sebuah
organisasi.
Pengertian Pemimpin yang Melayani
Teori tentang pemimpin yang melayani dimulai sejak tahun 1970, ketika
R.K. Greenleaf (1904-1990) menulis sebuah essay yang berjudul The Servant as
Leader. Essay tersebut dikembangkan oleh Greenleaf menjadi sebuah buku
yang diterbitkan tahun 1977 berjudul Servant Leadership: A Journey into the
Nature of Legitimate Power and Greatness. Ide mengenai pemimpin yang
melayani ini diperoleh Greenleaf tahun 1960-an ketika membaca novel karya
Herman Hessee, Journey to the East. Setelah membaca cerita ini, Greenleaf
(2002) menyimpulkan bahwa pemimpin yang hebat diawali dengan bertindak
sebagai pelayan bagi orang lain. Kepemimpinan yang sesungguhnya timbul dari
motivasi utama untuk membantu orang lain.
Kedua kata melayani dan pemimpin biasanya dianggap sebagai hal
yang berlawanan. Ketika kedua hal yang bertolak belakang disatukan dengan
cara yang kreatif dan berarti, sebuah paradoks muncul. Jadi, kedua hal tersebut
telah disatukan untuk menciptakan ide paradoksial tentang kepemimpinan yang
melayani.
Greenleaf (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani diawali
dengan perasaan alami untuk melayani terlebih dahulu. Setelah itu, dengan
kesadaran, seseorang ingin memimpin. Greenleaf (2002) mendefinisikan
pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang sangat peduli atas
pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya dan komunitasnya dan
karenanya ia mendahulukan hal-hal tersebut dibandingkan dengan pencapaian
ambisi pribadi atau pola dan kesukaannya saja. Impiannya ialah agar orang yang
dilayani tadi akan menjadi pemimpin yang melayani juga. Greenleaf (2002)
menekankan, bila seseorang ingin menjadi pemimpin yang efektif dan berhasil,
ia harus lebih dulu memiliki motivasi dan hasrat yang besar untuk memenuhi
kebutuhan orang lain. Dalam hal ini, pemimpin harus mampu mendorong
pengikutnya
untuk
mencapai
potensi
optimalnya.
Belakangan ini, agar bisa berorientasi pada pelanggan, organisasi
membutuhkan pemimpin yang bersedia melayani. Para pemimpin harus
memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggan internal (para karyawan)
sehingga akan berdampak pada pelayanan prima yang didemonstrasikan oleh
para pelanggan internal kepada para pelanggan eksternal (Tjiharjadi et al.,
2007). Sayangnya, gaya kepemimpinan yang melayani kurang diminati oleh
kebanyakan praktisi bisnis. Gaya kepemimpinan yang melayani lebih banyak
digunakan di organisasi sektor publik dan pemerintah.
Karakteristik Pemimpin yang Melayani

Menurut Larry C. Spears (1995), mengacu pada pemikiran Greenleaf,


karakteristik-karakteristik berikut bagi pemimpin yang melayani adalah:
1.

Kesediaan untuk menyimak (listening)

Biasanya, seorang pemimpin dinilai berdasarkan kemampuannya dalam


berkomunikasi dan mengambil keputusan. Kemampuan ini juga penting bagi
pemimpin yang melayani, pemimpin ini perlu dikuatkan dengan komitmen yang
kuat untuk mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh. Pemimpin yang
melayani mencoba untuk mengidentifikasikan keinginan dari sebuah kelompok
dan membantu mengklarifikasikan keinginan tersebut, dengan cara menyimak.
2.

Kuat dalam empati (empathy)

Pemimpin yang melayani berusaha untuk mengerti dan berempati dengan


orang lain. Manusia perlu untuk merasa diterima dan diakui atas semangat
mereka yang khusus dan unik.
3.

Melakukan pemulihan-pemulihan (healing)

Salah satu kekuatan terbesar seorang pemimpin yang melayani adalah


kemampuannya untuk melakukan pemulihan bagi dirinya sendiri maupun orang
lain.
4.

Penyadaran/peningkatan kesadaran (awareness)

Kesadaran umum, dan terutama kesadaran diri, memperkuat pemimpin


yang melayani. Kesadaran juga membantu seseorang dalam memahami
persoalan yang berhubungan dengan etika dan nilai.
5.

Memiliki sifat persuasif (persuasion)

Karakteristik lain dari pemimpin yang melayani adalah mengandalkan


persuasi dalam pengambilan keputusan, bukan posisi sebagai otoritas. Pemimpin
yang melayani mencoba untuk meyakinkan orang lain, bukan memaksa orang
lain untuk patuh.
6.

Mampu membuat konsep (conceptualization)

Pemimpin yang melayani mengembangkan kemampuannya untuk


memimpikan hal-hal besar. Kemampuan untuk melihat permasalahan (atau
sebuah organisasi) dari perspektif konseptualisasi berarti bahwa seseorang harus
berpikir melebihi realitas sehari-hari. Pemimpin yang melayani menyeimbangkan
antara pemikiran konseptual dengan pendekatan dengan fokus harian.

7.

Mampu membuat perkiraan yang tepat (foresight)

Foresight adalah sebuah karakteristik yang memungkinkan pemimpin


yang melayani untuk memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini dan
kemungkinan konsekuensi dari sebuah keputusan untuk masa depan. Hal ini juga
berakar di dalam pikiran intuitif.
8.

Penatalayanannya baik (stewardship)

Peter Block (dalam Spears 2004) telah mendefinisikan stewardship


sebagai memegang sesuatu yang dipercayakan kepadanya oleh orang lain.
Pemimpin yang melayani, seperti stewardship, mengasumsikan komitmen utama
untuk melayani kebutuhan orang lain. Hal ini juga menekankan pada
penggunaan keterbukaan dan persuasi dibandingkan dengan pengendalian.
9. Memiliki komitmen untuk menghasilkan proses pembelajaran (commitment
to the growth of people)
Pemimpin yang melayani percaya bahwa orang lain mempunyai nilai
intrinsik melebihi kontribusi nyata mereka sebagai karyawan atau pekerja.
Sebagai hasilnya, pemimpin yang melayani berkomitmen secara mendalam pada
pengembangan dari masing-masing dan setiap individu dalam institusi.
Pemimpin yang melayani menyadari tanggung jawab yang luar biasa untuk
melakukan semua hal yang memungkinkan untuk membantu pembelajaran
sumber daya manusia.
10. Serius dalam upaya pembentukan dan pengembangan komunitas (building
community)
Pemimpin yang melayani merasakan bahwa banyak hal yang telah hilang
dalam sejarah manusia belakangan ini sebagai hasil dari pergeseran dari
komunitas lokal menjadi institusi besar sebagai pembentuk utama dalam hidup
manusia. Hal ini menyebabkan pemimpin yang melayani untuk mencoba
mengidentifikasikan beberapa sarana untuk membangun komunitas di antara
mereka yang bekerja di institusi tersebut.
Hal yang perlu dicatat di sini adalah dalam pekerjaannya sehari-hari,
seorang pemimpin yang melayani mendahulukan orang lain. Ia juga membuat
orang menjadi terinspirasi, terdorong, belajar, dan mengambil alih
keteladanannya. Pendekatannya bukanlah pendekatan kekuasaan, akan tetapi
pendekatan hubungan atau relasional.

C. Kepemimpinan Spiritual
Berbicara kepemimpinan spiritual saat ini sepertinya tidak dapat dilepaskan
dengan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Konsep ESQ ini di Indonesia
setidaknya ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan
mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H.
Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, dai kondang dari Pesantren Daarut
Tauhiid Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha
muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya
Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ
yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar
Agustian menekankan tentang:
a. Zero Mind Process, yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali
pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang
bersifat merdeka dan bebas dari belenggu;
b. Mental Building, yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan
emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan
hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman;
c. Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling, yaitu usaha
untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan
merujuk pada Rukun Islam;
d. Strategic Collaboration, usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi
dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan
tanggung jawab sosial individu; dan
e. Total Action, yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial
(Ari Ginanjar, 2001).
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi
keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Tuhan adalah pemimpin sejati
yang mengilhami, mempengaruhi, melayani dan menggerakkan hati nurani
hamba-Nya dengan cara yang sangat bijaksana melalui pendekatan etis dan
keteladanan. Karena itu kepemimpinan spiritual disebut juga sebagai
kepemimpinan yang berdasarkan etika religius. Kepemimpinan yang mampu
mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui
keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat-sifat
ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan.
Dalam perspektif sejarah, kepemimpinan spiritual telah dicontohkan dengan
sangat sempurna oleh Muhammad SAW. Dengan integritasnya yang luar biasa
dan mendapatkan gelar sebagai al-amin (terpercaya), Muhammad SAW mampu
mengembangkan kepemimpinan yang paling ideal dan paling sukses dalam
sejarah peradaban umat manusia. Sifat-sifatnya yang utama yaitu siddiq

(integrity), amanah (trust), fathanah (smart) dan tabligh (openly) mampu


mempengaruhi orang lain dengan cara mengilhami tanpa mengindoktrinasi,
menyadarkan tanpa menyakiti, membangkitkan tanpa memaksa dan mengajak
tanpa memerintah.
Uraian di atas menggambarkan bahwa persoalan spiritualitas semakin
diterima dalam abad 21 yang oleh para futurolog seperti Aburdene dan
Fukuyama dikatakan sebagai abad nilai (the new age). Dalam perspektif sejarah
Islam, spiritualitas telah terbukti menjadi kekuatan yang luar biasa untuk
menciptakan individu-individu yang suci, memiliki integritas dan akhlakul
karimah yang keberadaannya bermanfaat (membawa kegembiraan) kepada
yang lain. Secara sosial, spiritualitas mampu membangun masyarakat Islam
mencapai puncak peradaban, mampu mencapai predikat khaira ummat dan
keberadaannya membawa kebahagiaan untuk semua (rahmatan lillamin).
Sebagai kepemimpinan yang berbasis pada etika religius, kepemimpinan
spiritual memiliki pokok-pokok karakteristik sebagai berikut:
a. Kejujuran sejati.
Rahasia sukses para pemimpin besar dalam
mengemban misinya adalah memegang teguh kejujuran.

Tugas yang

berat tidak mungkin diserahkan dan diemban oleh orang yang tidak jujur,
tidak amanah.

Kepemimpinan tidak akan berjalan baik atau bahkan

hancur jika dilandasi dengan kebohongan dan kepura-puraan.


b. Keadilan.
Bagi pemimpin spiritual bukan sekedar kewajiban moral
religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan sosial yang adil, melainkan
juga merupakan proses dan prosedurnya atau strategi keberhasilan
kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang ketahuan bahwa dia tidak
berlaku adil terhadap orang lain terutama yang dipimpinnya, maka akan
sia-sialah perkataan, peraturan dan kebijakan-kebijakan yang telah
dibuatnya: tidak akan ditaati dan dihormati secara tulus/sukarela. Percy
dalam hal ini mengatakan tanpa kepemimpinan tidak akan ada pengikut
dan tiada pengikut (follower) tanpa kejujuran dan inspirasi (no
leadership without follower and no follower without honest and
inspiration.
c. Semangat Amal Sholeh. Pemimpin Spiritual bekerja untuk memberikan
konstribusi, dhrama atau amal saleh bagi lembaga dan orang-orang yang
dipimpinnya. Seorang spiritualis rela bersusah payah,

bekerja tak kenal

waktu dan lelah untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya, mumpung


masih punya kesempatan dan kemampuan untuk berdedikasi kepada
Tuhan dan sesama.

Orientasi hidup seorang spiritualis

bukan untuk

memiliki sesuatu (to have) apakah berupa kekayaan, jabatan, dan


simbol-simbol kebanggaan duniawi lainnya, melainkan untuk menjadi
sesuatu (to be).
d. Membenci formalitas dan organize religion.

Bagi pemimpin spiritual

formalitas tanpa isi itu ibarat pepesan kosong. Pemimpin spiritual lebih

mengedepankan tindakan yang genuine dan substantif (esoteric).


Kepuasan dan kemenangan bukan ketika mendapatkan pujian, piala dan
sejenisnya,

melainkan

ketika

memberdayakan

memampukan (enable) mencerahkan (enlighten)

(empowerment),
dan membebaskan

(liberation) orang dan lembaga yang dipimpinnya. Ia puas ketika dapat


memberikan sesuatu dan bukan ketika menerima sesuatu. Pujian dan
sanjungan manusia

apabila tidak disikapi secara arif justru dapat

membahayakan dan mengancam kemurnian dan kualitas karya dan


kepribadiannya. Karena itu pujian yang ia harapkan adalah pujian dan
keridloan Tuhan semata.
e. Sedikit bicara banyak kerja dan santai. Banyak bicara banyak salahnya,
banyak musuhnya, banyak dosanya serta sedikit kontemplasinya dan
sedikit karyanya. Seorang pemimpin spiritual adalah pemimpin yang
sedikit bicara banyak kerja.

Walaupun seorang pemimpin spiritual

sangat efektif dan efisien dalam bekerja dan pekerjaan yang diselesaikan
sambung-menyambung seakan tidak ada habisnya, namun dia tidak
merasa sibuk, tidak merasa menjadi orang penting, tidak menjadi pelit
untuk melayani orang lain. Sebaliknya ia tetap santai, ramah dan biasaf.

biasa saja.
Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain. Pemimpin
spiritual berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Dengan
mengenali jati diri ia dapat membangkitkan segala potensinya dan dapat
bersikap secara arif dan bijaksana dalam berbagai situasi. Dengan
mengenali jati diri ia dapat membangkitkan dengan cara yang memikat,
memukul tanpa menyakiti, mengevaluasi tanpa menyinggung harga
diri. Dengan mengenali jati diri ia dapat berperilaku, menghormati dan
memperlakukan diri sendiri dan orang lain apa adanya. Ketika
menghadapi orang-orang yang menyulitkan, seorang trouble maker, dan
menjadi source of problem sekalipun ia tetap dengan cara yang arif dan

bijaksana dan tetap menghargai jati dirinya.


g. Keterbukaan menerima perubahan. Pemimpin spiritual berbeda dengan
pemimpin pada umumnya. Ia tidak alergi dengan perubahan dan juga
bukan penikmat kemapanan. Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat
bahkan rasa senang dengan perubahan yang menyentuh diri mereka
yang paling dalam sekalipun. Ia sadar bahwa kehadirannya sebagai
pemimpin memang untuk membawa perubahan. Ia sadar bahwa
perubahan adalah hukum alam (sunnatullah).

Pemimpin spiritual

berkeyakinan bahwa lembaga yang ia pimpin bukan untuk diirinya,


bukan simbol prestasi dan prestise dirinya dan juga bukan untuk keluarga
dan kroni-kroninya, melainkan sebaliknya dirinya adalah untuk lembaga
bahkan kalau perlu rela hancur asalkan lembaga yang dipimpinnya
berjaya.
h. Pemimpin yang dicintai. Bagi pemimpin spiritual, kasih sayang sesama
justru merupakan ruh (lan vital, spirit) sebuah organisasi. Cinta kasih
kata Percy tidak sama dengan belas kasihan ketika melihat ke bawah
yang miskin-papa, jiwa-jiwa terlantar dibanding kita. Cinta kasih adalah
sikap menginginkan yang lebih untuk orang-orang lain dibandingkan
untuk dirinya sendiri. Dengan cinta kasih ini interaksi sosial tidak diliputi
dengan suasana ketegangan dan serba formal, melainkan hubungan
yang cair dan bahkan suasana canda. Hendricks dan Ludeman bahkan
mengatakan: satu-satunya cara terbaik untuk menilai kesehatan sebuah
tim atau sebuah perusahaan adalah dengan mengetahui seberapa sering
i.

mereka bercanda.
Think Globally and Act Locally.

Statemen ini merupakan visi seorang

pemimpin spiritual. Memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian


kekinian dan kedisinian. Dalam hal yang paling abstrak (spirit, soul, ruh)
saja ia dapat meyakini, memahami dan menghayati, maka dalam
kehidupan nyata ia tentu lebih dapat memahami dan menjelaskan lagi
j.

walaupun kenyataan itu merupakan cita-cita masa depan.


Disiplin tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah. Kedisiplinan
pemimpin spiritual tidak didasarkan pada sistem kerja otoritarian yang
menimbulkan kekakuan dan ketakutan, melainkan didasarkan pada
komitmen dan kesadaran yaitu kesadaran spiritual yang oleh Percy
dianggap sebagai bentuk komitmen yang paling tinggi setelah komitmen
politik, komitmen intelektual dan komitmen emosional.

Kebiasaan

mendisiplinkan diri ini menjadikan pemimpin spiritual sebagai orang yang


teguh memegang prinsip, memiliki disiplin yang tinggi tetapi tetap
fleksibel, cerdas, bergairah dan mampu melahirkan energi yang seakan
tiada habisnya.
k. Kerendahan hati.

Seorang pemimpin spiritual menyadari sepenuhnya

bahwa semua kedudukan, prestasi, sanjungan dan kehormatan itu bukan


karena dia dan bukan untuk dia, melainkan karena dan untuk Dzat Yang
Maha Terpuji, subhnallah. Sikap rendah hati menurut Parcy adalah
pengakuan bahwa anda tidak mempunyai karunia untuk memimpin,
namun karunia itu yang memiliki anda, sementara al-Shadr mengatakan

bahwa kerendahan hati adalah memperhatikan kedudukan orang lain


dan menghindari perilaku arogan terhadap mereka. Pemimpin spiritual
menyadari bahwa pemujaan terhadap diri sendiri sangat melelahkan
jiwa, sikap bodoh dan awal dari kebangkrutan. Dirinya hanyalah sekedar
saluran,

media.

Allahlah

sesungguhnya

yang

memberi

kekuatan,

petunjuk, pertolongan.
Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan rangkuman dari tipe ideal
dari sejumlah pemimpin spiritual berdasarkan hasil penelitian. Memang tidak
semua pemimpin spiritual yang memiliki setiap karakter tersebut dengan
sempurna. Bagaimanapun pemimpin tersebut adalah manusia dan manusia itu
tempatnya salah dan lupa (al-insnu mahallu khata wa al-niyn)

D.Kepemimpinan Otentik
Kepemimpinan otentik terdapat dalam tulisan Bruce J. Avolio and Fred
Luthans. Avolioand Luthans mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai
proses kepemimpinan yang dihasilkan dari perpaduan antara kapasitas
psikologis individu dengan konteks organisasi yang terbangun baik, sehingga
mampu menghasilkan perilaku yang tinggi kadar kewaspadaan dan
kemampuannya dalam mengendalikan diri, sekaligus mendorong pengembangan
diri secara positif.
Kepemimpinan otentik memiliki empat komponen, yaitu:
(1) Kewaspadaan Diri;
(2) Perspektif Moral yang Terinternalisasi;
(3) Pengelolaan Berimbang; dan

(4) Transparansi Hubungan.


Kewaspadaan Diri
Meningkatnya kewaspadaan diri adalah faktor perkembangan penting bagi
pemimpin otentik. Lewat refleksi, pemimpin otentik dapat mencapai derajat yang
jelas seputar nilai-nilai inti yang mereka anut, identitas, emosi, dan motivasi atau
tujuannya. Dengan mengenali diri sendiri, pemimpin otentik memiliki
pemahaman yang kuat seputar kediriannya sehingga menjadi pedoman mereka
baik dalam setiap proses pengambilan keputusan maupun dalam perilaku
kesehariannya.
Kewaspadaan diri digambarkan pula sebagai memiliki kewaspadaan atas,
dan keyakinan dalam, motif, perasaan, hasrat, dan pengetahuan diri relevan
lainnya. Kewaspadaan diri juga melibatkan kesadaran akan kekuatan diri,
kelemahan diri, sebagai unsur-unsur yang saling bertolak belakang yang ada
pada setiap manusia. Kewaspadaan diri adalah proses yang berlangsung selama
refleksi seorang pemimpin atas nilai, identitas, emosi, dan motivasi serta
tujuannya yang unik.
a. Nilai
Pemimpin otentik akan melawan setiap tuntutan situasional serta sosial yang
dianggap mencoba melemahkan nilai-nilai yang mereka miliki. Nilai-nilai ini bisa
didefinisikan sebagai konsepsi yang diinginkan seorang aktor sosial pemimpin
organisasi, pembuat kebijakan, individu yang membimbing cara mereka dalam
memilih tindakan, menilai orang dan peristiwa, serta menjelaskan tindakan dan
evaluasinya tersebut.
Nilai juga menyediakan dasar bagi tindakan pemimpin dalam upaya
penyesuai mereka atas kebutuhan komunitas yang mereka pimpin ataupun unit
organisasi mereka secara khusus. Nilai dipelajari lewat proses sosialisasi. Sejak
terinternalisasi, nilai tersebut menjadi bagian integral dari sistem kedirian
seseorang. Sehubungan dengan pemberian pengaruh pemimpin pada pengikut,
nilai tersebut tidak bisa dikompromikan dan akan mereka transfer.
b. Identitas
Identitas adalah teori yang mencoba untuk menggambarkan, menghubungkan,
dan menjelaskan sifat, karakter, dan pengalaman individu. Dua tipe identitas
yang didiskusikan dalam konteks kepempinan otentik adalah : (1) identitas
personal, dan (2) identitas sosial.

Identitas personal adalah kategorisasi diri yang didasarkan pada


karakteristik unik seseorang termasuk sifat dan atributnya yang
membedakan satu individu dengan individu lainnya.
Identitas sosial adalah identitas yang didasarkan atas sejauh mana
individu mengklasifikasikan dirinya selaku anggota dari suatu kelompok
sosial tertentu, termasuk kekuatan emosi dan nilai yang terbentuk terkait
dengan keanggotaan tersebut.

Identitas personal dan sosial saling berhubungan satu sama lain sebagai hasil
refleksi seseorang atas dirinya sendiri serta interaksinya dengan orang

lain. Pemimpin otentikmemahami identitas personal dan sosial ini secara jelas
dan selalu mewaspadainya.
c. Emosi
Pemimpin otentik juga memiliki kewaspadaan diri yang bersifat emosional.
Semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, semakin waspada mereka atas
emosi tersebut sehingga dapat memahami pengaruhnya atas proses kognitif
dan kemampuan pembuatan keputusannya. Kesadaran diri seputar dimensi
emosi seseorang merupakan prediktor kunci untuk membangun kepemimpinaan
yang efektif.
d. Motivasi/Tujuan
Pemimpin otentik berorientasi pada masa depan. Mereka secara terusmenerus berupaya mengembangkan baik dirinya maupun para pengikutnya.
Tindakan pemimpin otentik diarahkan oleh motif-motif untuk menyempurnakan
dirinya.
Mereka
cenderung
aktif
mencari feedback yang
akurat
dari
para stakeholder (pengikut, teman, mentor, pelanggan) tidak hanya untuk
mengkonfirmasi pandangan pribadi mereka sendiri, tetapi juga guna mengenali
diskrepansinya (kesenjangannya) antara kondisi nyata dengan pandangan
pribadinya.
Perspektif Moral yang Terinternalisasi
Perspektif moral yang terinternalisasi menggambarkan proses pengaturan
diri sendiri di mana pemimpin cenderung meresapkan nilai-nilai mereka kepada
maksud juga tindakan mereka. Pemimpin otentik akan melawan setiap tekanan
eksternal yang berlawanan dengan standar moral yang mereka pegang melalui
proses regulasi internal di dalam diri mereka, yang memastikan bahwa nilai-nilai
mereka tetap selaras dengan tindakan yang mereka ambil. Dengan meresapkan
nilai ke dalam tindakan serta bertindak menurut kesejatian diri sendiri, pemimpin
otentikmenunjukkan konsistensi antara apa yang mereka katakan dengan apa
yang mereka lakukan.
Pengelolaan Berimbang
Pengelolaan berimbang juga kerap dirujuk sebagai pengelolaan yang tidak
memihak. Terhadap informasi negatif dan positif, pemimpin otentik mampu
mendengar, menafsir, dan memprosesnya dengan cara yang obyektif. Proses ini
mereka lakukan sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Proses ini meliputi
pengevaluasian kata-kata dan tindakan mereka sendiri secara obyektif tanpa
mengabaikan atau menyimpangkan sesuatu yang ada, termasuk interpretasi
seputar gaya kepemimpinannya sendiri. Pengelolaan berimbang juga
berhubungan dengan karakter dan integritas seorang pemimpin.
Transparansi Hubungan
Pemimpin otentik tidak cukup hanya memiliki kewaspadaan diri, selaras
antara tindakan dengan nilai, dan obyektif dalam menafsir, tetapi
seorangpemimpin otentik juga harus mampu mengkomunikasikan informasi
dengan cara terbuka dan jujur dengan orang lain lewat pengungkapan diri
sendiri yang cenderung bisa dipercaya.

Sulit untuk waspada dan tidak memihak apabila sudah diperhadapkan


dengan kelemahan diri sendiri. Namun, adalah lebih sulit lagi untuk mengekspos
kelemahan tersebut pada orang lain di dalam organisasi. Kendati begitu, menjadi
terbuka dengan perasaan, motif, dan kecenderungan orang lain akan
membangun kepercayaan dan perasaan stabil, menguatkan kerjasama dan
semangat kerja di dalam tim yang mereka pimpin. Pemimpin yang menunjukkan
transparansi hubungan akan dianggap sebagai pemimpin yang lebih
sejati dan lebih otentik.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan yang menekankan pada
penghayatan nilai-nilai moral. Kepemimpinan etis adalah perwujudan nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan dan moral oleh pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan
etis menuntun, mengarahkan dan mengamalkan nilai-nilai moral bersama orangorang yang dipimpin. Untuk itu dibutuhkan integritas pribadi yang kokoh dan
karakter yang kuat dari seorang pemimpin, agar dapat menjadi teladan,
sehingga darinya orang dipengaruhi dan didorong untuk menginternalisasi dan
mewujudkan karakter pribadi yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh
situasi dan mampu untuk mengambil keputusan sendiri atas hidup yang
dijalaninya.
Servant leadership (kepemimpinan yang melayani) merupakan sebuah
teori atau pandangan baru mengenai kepemimpinan yang dicetuskan
oleh Robert K.Greenleaf. Teori kepemimpinan yang melayani merupakan sebuah
teori yang menekankan pada peningkatan pelayanan kepada orang lain. Sebuah
pendekatan Holistik untuk bekerja , mempromosikan rasa kebersamaan dan
berbagi kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Kepemimpinan yang
melayani mempunyai sebuah motivasi kepemimpin yang unik dan dipandang
sebagai sesuatu perbedaan yang penting terhadap teori kepemimpinan yang
melayani atau manajemen lainnya
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang berdasarkan pada
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepemimpinan dengan semangat berjuang
bersama (jihad). Kepemimpinan spiritual jauh mengesampingkan kepentingan
pribadi sang pemimpin namun lebih mengutamakan kepentingan organisasi
yang dipimpinnya. Kepemimpinan spiritual merupakan kepemimpinan yang
berdasarkan etika religius atau mengacu pada kehendak Tuhan.
Kepemimpinan otentik adalah proses kepemimpinan yang dihasilkan dari
perpaduan antara kapasitas psikologis individu dengan konteks organisasi yang
terbangun baik, sehingga mampu menghasilkan perilaku yang tinggi kadar
kewaspadaan dan kemampuannya dalam mengendalikan diri, sekaligus
mendorong pengembangan diri secara positif

DAFTAR PUSTAKA

http://attanovi752011.blogspot.com/2012/12/kepemimpinan-etis-danrelevansinya-bagi.html
http://setabasri01.blogspot.com/2011/01/kepemimpinan-dalam-organisasi.html
http://taufiktanjung.blogspot.com/2010/04/pemimpin-yang-melayani.html
http://cintaimabar.blogspot.com/p/kepemimpinan-yang-melayani-servant.html
https://www.scribd.com/doc/95030635/Makalah-Spiritual-Leadership
http://oursolving.blogspot.com/2011/09/24-kepemimpinan-otentik.html

Anda mungkin juga menyukai