Anda di halaman 1dari 35

PAPER DAN LAPORAN KASUS APPENDISITIS DENGAN TEKNIK

REGIONAL ANESTESI SUB-ARACHNOID BLOCK

Oleh:
Lingda Pebrisyah (61112027)
Cakra Diningrat (61112032)
Teguh Dharma Iriady (61112036)
Irma Yuza (61112041)

Pembimbing:
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANASTESIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
MEDAN
2016
3

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat
dan karunia-Nya sehingga akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas paper ini.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad
shalallahu alaihi wasallam, yang telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke
alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah subhanahu
wataala, kami dapat menyelesaikan tugas paper yang berjudul Appendisitis

Dengan Teknik

Regional Anestesi Sub-Arachnoid Block. Dalam

penyusunan paper ini, kami mendapatkan beberapa hambatan serta kesulitan.


Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal tersebut dapat teratasi. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada dr.

Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN, selaku pembimbing. Semoga segala
bantuan yang kami terima akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah
subhanahu wataala.
Adapun penulisan tugas paper ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian anastesiologi di Rumah
Sakit Haji Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang ditujukan untuk membangun.

Medan, 04 Maret 2016

Penyusun
4

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...........................................................................
i
KATA PENGANTAR.............................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN...................................................................
A. LatarBelakang...................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................


B. Apendisitis
1. Definisi .......................................................................
2. Klasifikasi...................................................................
3. Etiologi........................................................................
4. Patofisiologi................................................................
5. Diagnosis.....................................................................
6. Diagnosis Banding......................................................
7. Penatalaksanaan .......................................................
8. Definisi.........................................................................
9. Definisi.........................................................................
10. Definisi.........................................................................
11. Definisi.........................................................................
12. Definisi.........................................................................
13.
2.2

Anatomi Saluran Pencernaan.......................................

2.3

Epidemiologi...................................................................

2.4

Etiologi PSCMBA..........................................................

2.5

Patofisiologi PSCMBA...................................................

2.6

Diagnosis.........................................................................

2.7

Diagnosis Banding..........................................................

2.8

Penatalaksanaan............................................................

2.9

Komplikasi dan Prognosis.............................................

BAB 3 PENUTUP................................................................................
3.1

Kesimpulan ...................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
anestesi umum dan anestesi regional.

Salah satu anestesi regional yang

banyak digunakan adalah subarachnoid block (SAB) atau disebut juga anestesi
spinal.
SAB menimbulkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motorik
(tergantung

pada

dosis,

Keuntungan

lain

dari

konsentrasi
penggunaan

atau

volume

neuraxial

blok

dari

anestesi lokal).

yang

efektif adalah

penurunan tekanan darah arteri yang dapat diprediksi dan juga denyut nadi
sehubungan dengan simpatektomi dengan kejadian vasodilatasi dan blokade
serabut kardioselarator, untuk menjaga tekanan darah dan denyut nadi tetap
dalam batas normal, sering dibutuhakan obat vasoaktif dan cairan intravena.
SAB

mempunyai

beberapa

keuntungan

antara

lain,

perubahan

metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, jumlah


perdarahan dapat dikurangi, komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat
minimal, trombeoemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada
daerah yang terblok sementara pasien tetap dalam kondisi sadar.

Selain

keuntungan juga terdapat kerugian dalam cara ini, yaitu berupa komplikasi yang
meliputi hipotensi, mual, muntah, postdural puncture headache (PDPH), nyeri
pinggang dan lainnya. Segera setelah teranestesi, tekanan darah akan turun
dengan cepat karena vasodilatasi.

Hal ini menimbulkan timbunan darah di

perifer dan mengurangi aliran balik vena sehingga menyebabkan turunnya


curah jantung. Pasien dapat mengalami kerusakan organ akibat perfusi yang
kurang, bahkan dapat terjadi henti jantung karena kurangnya perfusi koroner.

Penurunan tekanan darah berhubungan dengan penurunan curah jantung,


resistensi pembuluh sistemik, hambatan mekanisme baroreseptor, depresi
kontraktilitas miokard, penurunan aktivitas simpatik dan efek inotropik
negative. Efek depresi miokard dan vasodilatasi yang tejadi tergantung dosis.
Vasodilatasi terjadi akibat penurunan aktivitas simpatik dan efek langsung
mobiliasai Ca pada interseluler otot polos.
Ada beberapa alternatif terapi hipotensi. Autotransfusi dengan posisi
head down dapat menambah kecepatan pemberian preload. Bradikadi yang
berat dapat diberikan antikolinergik. Jika

hipotensi tetap terjadi

setelah

pemberian cairan, maka vasopresor langsung atau tidak langsung dapat


diberikan, seperti efedrin dengan dosis 5-10 mg bolus IV. Efedrin merupakan
vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral)
dan vasokonstriktor (efek perifer). Efek perifer tergantung

ketersediaan

katekolamin, bila kosong efek tidak terjadi. Vasopresor langsung seperti


phenylephrine memperbaiki tonus vena, menyebabkan vasokonstriksi arteriole
dan meningkatkan preload. Pada kasus hipotensi berat, pemberian epinefrin
mungkin memberi perfusi koroner sebelum iskemik mencetuskan cardiac
arrest. Jika hipotensi disertai bradikardi, phenylephrine mungkin lebih baik
dihindari, kecuali desertai dengan atropine 0,4-1,2 mg.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SEJARAH RA-SAB
Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan
dalam klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. SAB
pertama kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu,
digunakan secara luas sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak
dilaporkan cedera neurologik yang permanen.

Publikasi dari studi

epidemiologi tahun 1950 menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang


terjadi jika dilakukan dengan teknik yang benar dengan perhatian pada
tindakan asepsis dan penggunaan lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal
memberikan lapangan yang luas bagi ahli anestesi, sebagai alternatif anestesi
umum jika kondisi memungkinkan. DEFINISI RA-SAB
Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa
terjadi hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok
teknik central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan
peripheral nerve blockade.
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin
dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan
pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT).

Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (QuinckeBabcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.
B. INDIKASI RA-SAB
Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:
1. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat
2.
3.
4.
5.

inervasi pada buli buli kencing)


Hysterectomy
Caesarean section (T6)
Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti

arthroplasty
6. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal
C. KONTRAINDIKASI RA-SAB
Indikasi Kontra Absolut
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
Peningkatan tekana intracranial.
Indikasi Kontra Relatif
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyunikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
10

Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
D. KOMPLIKASI RA-SAB
Komplikasi Pasca Tindakan
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis

E. TEKNIK ANASTESI
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1.

Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.


Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang spinosus

2.

mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.


Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya,
misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya

3.
4.

berisiko trauma medulla spinalis.


Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
11

5.

Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,


23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27
G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2
cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,003

1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
F. Preoperatif
1. Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif.
Tujuan:
1.
2.
3.
4.

Mengetahui status fisik pasien praoperatif


Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
12

5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang


diramalkan.
2. Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi
identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum yang
meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat
operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi
nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi
pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah,
gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan
endokrin, otot rangka.
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain itu pada
pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik
tertentu

diperlukan

pemeriksaan

khusus

sesuai

indikasi

yang

meliputi

pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi


4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila
dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana atau
darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus elektif koreksi
13

dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama dengan staf
medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang
resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD.
5. Menentukan prognosis pasien perioperative
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American Society of
Anesthesiologist (ASA).
Tabel 2.3 Klasifikasi ASA
Kelas

Definisi

ASA 1

pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

ASA 2

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemikringan


sampai sedang

ASA 3

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat


yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam
nyawa.

ASA 4

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat


yang secara langsung mengancam kehidupannya.

ASA 5

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat


yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak
dalam24 jam pasien meninggal.

ASA 6

pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ untuk
donor.

14

Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status pemeriksaan


diikuti E (Misal, 2E)

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko


anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring.
3. Persiapan Preoperatif
a.

Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
b.

Terapi Cairan

15

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
c.

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada

situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan

16

premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau


ondansetron 2-4 mg.
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa
pemberian injeksi Metoclopramide 10mg dan injeksi Ranitidine 50mguntuk
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah,
mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung
sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi
yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor
Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan
ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga
dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko
4
G. Durante Operasi
1.

Persiapan Pasien
Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu

pendingin ruangan.
2.
Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg.
3.

Terapi Cairan
17

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan
baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
4.

Monitoring
18

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard
minimal monitoring):
a. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini
ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
-

Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter


Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
19

Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

H. Postoperatif
1. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care
unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi
ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan
diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk
mencegah terjadinya risiko injury.
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat
agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi
ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum
pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter

20

anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut


berjalan dengan lancar.
2. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benarbenar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih
dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut :

b.
c.
d.
e.

a. Pulse oximeter
Non-invasive blood pressure monitor
Elektokardiograf
Nerve stimulator
Pengukur suhu
1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:
a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan
goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu
nafas kendali pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di
Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini,
perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien
secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat.

21

c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan


rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan
selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan
kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang.
2) Ruang Pulih
a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau
secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah
respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi
dan

sirkulasi,

memantau

perdarahan

luka

operasi,

mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.


b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang
pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal,
pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang
pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi
intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.
3) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik
c) Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan
kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas),
sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan
saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu
tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca anesthesia
dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh
anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
Tabel 2.4 Aldrete Score

22

POSTANESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE


ORIGINAL CRITERIA

Modified Criteria

COLOR

Oxygenation

PointValue

PINK

SpO2>92% on room air

PALE OR DUSKY

SpO2>90% on oxygen

CYANOTIC

SpO2<90% on oxygen

Breathes deeply and coughs

RESPIRATION
CAN BREATHE DEEPLY

freely
AND COUGH
SHALLOW BUT ADEQUATE

Dyspneic, shallow or limited

breathing
EXCHANGE
APNEA OR OBSTRUCTION

Apnea

Blood pressure 20 mmHg of

CIRCULATION
BLOOD PRESSURE WITHIN

normal
20% OF NORMAL

23

BLOOD PRESSURE WITHIN

Blood pressure 2050mmHg

of normal
2050% OF NORMAL
BLOOD PRESSURE

Blood pressure more than 50

mmHg of normal
DEVIATING >50% FROM
NORMAL
CONSCIOUSNESS
AWAKE, ALERT, AND

Fully awake

Arousable on calling

Not responsive

Same

MOVES TWO EXTREMITIES Same

NO MOVEMENT

ORIENTED
AROUSABLE BUT READILY
DRIFTS BACK TO SLEEP
NO RESPONSE
ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES

Same

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.


Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score
24

revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor


10 atau minimal 9.
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dikeluarkan dari PACU adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
Mual dan muntah dalam kontrol
Nyeri minimal
Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan

normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring


untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor
pasien sendiri.
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV.

25

Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti


ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg
intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT 3
antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic)
dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau
phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 410 mg (0.10 mg/kg in
children), bila dikombinasikan dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk
mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa
digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis
untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa
dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).

26

I.

EFEK RA-SAB
Subarachnoid

block (SAB)

adalah

salah

satu

teknik

anestesi

regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang


subarachnoid

dengan

tujuan

untuk

mendapatkan

analgesia

setinggi

dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002). Penyuntikan


obat anestetik local pada ruang subarachnoid diantara konus medularis dan
bagian akhir dari ruang subarachnoid adalah untuk menghindari adanya
kerusakan pada medulla spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik local
disuntikan ke dalam ruang subarachnoidantara L2 dan L5(biasanya antara L3
dan L4).

Untuk mendapatkan blokade sensoris yang luas, obat harus

berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung kepada banyak factor, antara
lain posisi pasien dan berat jenis obat (Sunaryo, 2005).
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS

Nama

: Amat Ribut

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 71 tahun

Agama

: Islam

Alamat

: Tanjung Rejo Lorong ujung dan V percut

Pekerjaan

: Petani

27

Status Perkawinan

: Sudah Menikah

No RM

: 25.04.44

2. ANAMNESA

Keluhan Utama

Telaah : Pasien laki-laki datang ke IGD RS Haji dengan keluhan buah

: Buah zakar sebelah kiri membesar.

zakar sebelah kiri yang membesar yang dialami sejak 1 bulan ini. Benjolan
pada skrotum ini dirasakan hilang timbul. Timbul saat pasien mengejan.
Pada saat dipalpasi benjolan terasa kenyal serta dapat digerakkan keluar
masuk. Benjolan berbentuk lonjong. Kulit diatas benjolan tidak ditemukan
adanya kemerahan.. Keluhan tidak disertai demam, batuk, sesak nafas,
sakit kepala.. Riwayat operasi benjolan di skrotum sebelumnya tidak ada.
Riwayat sering mengangkat benda berat dan riwayat sering mengejan
ditemukan. Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, dan Asma.

RPT : (-)
RPO : (-)
RPK : (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present

Keadaan Umum

: Tampak Sakit

Vital Sign
28

Sensorium
Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu
Tinggi Badan
Berat Badan

: Compos Mentis
: 120/70 mmHg
: 83x/menit
: 22x/menit
: 36,50C
: 160 cm
: 50 kg

Pemeriksaan Umum

Kulit

: Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)

Kepala

: Normocepali

Mata

: Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-

Mulut

: Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thorax
Paru

Inspeksi

abdominotorakal, retraksi costae -/Palpasi


: Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi
: sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru

Pergerakan

nafas

simetris,

tipe

pernafasan

Abdomen

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Datar, Simetris
: Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
: Timpani
: Peristaltik (+) Normal
29

Ekstremitas

: edema -/-

Genitalia : Skrotum dextra dan sinistra tidak simetris, skrotum sinistra tampak
membesar dan berbentuk lonjong
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin

Hb

: 13,7 g/dl

HT

: 41,7 %

Eritrosit

: 4,6 x 106/L

Leukosit

: 6.800 mm3

Trombosit

: 167.000/L

Metabolik

KGDS

: 125 mg/dL

Asam Urat

: 5.8 mg/dL

Fungsi Ginjal

Ureum: 27 mg/dl
Kreatinin: 1,20 mg/dl

Diagnosis : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra


RENCANA TINDAKAN
30

Tindakan
Anesthesi
PS-ASA
Posisi
Pernapasan

: Herniorafi
: RA-SAB
:1
: Supinasi
: Kanul nasal O2

KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)

Airway

RR

: 20x/menit

SP

: Vesikuler ka=ki

ST

: Ronchi (-), Wheezing (-/-)

: Clear

B2 (Blood)

Akral

: Hangat/Merah/Kering

TD

: 150/80 mmHg

HR

: 80 x/menit

B3 (Brain)

Sensorium

: Compos Mentis

Pupil

: Isokor, ka=ki 3mm/3mm

RC

: (+)/(+)
31

B4 (Bladder)

Urine Output : -

Kateter

: tidak terpasang

B5 (Bowl)

Abdomen

: Soepel

Peristaltik

: Normal (+)

Mual/Muntah : (-)/(-)

B6 (Bone)

Oedem

: (-)

PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal

Bupivacaine 0,5%

: mg

Fentanyl

: g

Jumlah Cairan

PO
DO
Produksi Urin

: RL 250 cc
: RL 750 = 1000 cc
:-

Perdarahan

Kasa Basah

: 5 x 10

= 50 cc
32

Kasa 1/2 basah

:5x5

= 25 cc

Suction

Jumlah

75cc

EBV

: 50 x 70 = 3750 cc

EBL

10 % = 375 cc
20

= 750 cc

30 % = 1125 cc
Durasi Operatif

Lama Anestesi= 10.45 11.05 WIB

Lama Operasi = 11.10 12.15 WIB

Teknik Anastesi : RA-SAB

Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 Desinfektan


betadine + alcohol Insersi spinocan 25G CSF (+), darah (-)
injeksi bupivacain 0,5% mg posisi supine atur blok setinggi T4.

POST OPERASI

Operasi berakhir pukul

Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan

: 12.15 WIB

darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9


33

o
o
o
o
o

Pergerakan
Pernapasan
Warna kulit
Tekanan darah
Kesadaran

:2
:2
:2
:2
:2

PERAWATAN POST OPERASI

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah


dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI

Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

IVFD RL 30gtt/menit

Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal

Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV

Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV

Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah

34

DAFTAR PUSTAKA
Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi. EGC.
Jakarta. pp:229-231
Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta
Jong, W.D., 2004. Dinding Perut, Hernia, Retroperitoneum, dan Omentum.
Dalam: Sjamsuhidayat, R., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 519-537
Karnadihardja, W, 2004. Dinding perut, hernia, retroperitoneum, omentum. Dalam
35

buku ajar ilmu bedah edisi 2: Jakarta: Halaman: 519-540.


Schwartz, S.I., 2000. Hernia Dinding Abdomen. Dalam: Chandranata, Linda., ed.
Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 509517.
Surya, B., 2006. Perbandingan Nyeri Pasca Hernioplasty Shouldice Pure Tissue
dengan Lichtenstein Tension Free. Majalah Kedokteran Nusantara. 39 (3): 211218.
Snel, R.S., 2006. Abdomen: Bagian I Dinding Abdomen. Dalam: Hartanto,
Huriawati, ed. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC, 147
200

36

37

Anda mungkin juga menyukai