Oleh:
Lingda Pebrisyah (61112027)
Cakra Diningrat (61112032)
Teguh Dharma Iriady (61112036)
Irma Yuza (61112041)
Pembimbing:
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat
dan karunia-Nya sehingga akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas paper ini.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad
shalallahu alaihi wasallam, yang telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke
alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah subhanahu
wataala, kami dapat menyelesaikan tugas paper yang berjudul Appendisitis
Dengan Teknik
Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN, selaku pembimbing. Semoga segala
bantuan yang kami terima akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah
subhanahu wataala.
Adapun penulisan tugas paper ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian anastesiologi di Rumah
Sakit Haji Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang ditujukan untuk membangun.
Penyusun
4
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...........................................................................
i
KATA PENGANTAR.............................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................
A. LatarBelakang...................................................................
2.3
Epidemiologi...................................................................
2.4
Etiologi PSCMBA..........................................................
2.5
Patofisiologi PSCMBA...................................................
2.6
Diagnosis.........................................................................
2.7
Diagnosis Banding..........................................................
2.8
Penatalaksanaan............................................................
2.9
BAB 3 PENUTUP................................................................................
3.1
Kesimpulan ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
anestesi umum dan anestesi regional.
banyak digunakan adalah subarachnoid block (SAB) atau disebut juga anestesi
spinal.
SAB menimbulkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motorik
(tergantung
pada
dosis,
Keuntungan
lain
dari
konsentrasi
penggunaan
atau
volume
neuraxial
blok
dari
anestesi lokal).
yang
efektif adalah
penurunan tekanan darah arteri yang dapat diprediksi dan juga denyut nadi
sehubungan dengan simpatektomi dengan kejadian vasodilatasi dan blokade
serabut kardioselarator, untuk menjaga tekanan darah dan denyut nadi tetap
dalam batas normal, sering dibutuhakan obat vasoaktif dan cairan intravena.
SAB
mempunyai
beberapa
keuntungan
antara
lain,
perubahan
Selain
keuntungan juga terdapat kerugian dalam cara ini, yaitu berupa komplikasi yang
meliputi hipotensi, mual, muntah, postdural puncture headache (PDPH), nyeri
pinggang dan lainnya. Segera setelah teranestesi, tekanan darah akan turun
dengan cepat karena vasodilatasi.
setelah
ketersediaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEJARAH RA-SAB
Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan
dalam klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. SAB
pertama kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu,
digunakan secara luas sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak
dilaporkan cedera neurologik yang permanen.
Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (QuinckeBabcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.
B. INDIKASI RA-SAB
Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:
1. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat
2.
3.
4.
5.
arthroplasty
6. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal
C. KONTRAINDIKASI RA-SAB
Indikasi Kontra Absolut
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
Peningkatan tekana intracranial.
Indikasi Kontra Relatif
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyunikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
10
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
D. KOMPLIKASI RA-SAB
Komplikasi Pasca Tindakan
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
E. TEKNIK ANASTESI
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1.
2.
3.
4.
5.
1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
F. Preoperatif
1. Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif.
Tujuan:
1.
2.
3.
4.
diperlukan
pemeriksaan
khusus
sesuai
indikasi
yang
meliputi
dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama dengan staf
medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang
resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD.
5. Menentukan prognosis pasien perioperative
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American Society of
Anesthesiologist (ASA).
Tabel 2.3 Klasifikasi ASA
Kelas
Definisi
ASA 1
ASA 2
ASA 3
ASA 4
ASA 5
ASA 6
pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ untuk
donor.
14
Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
b.
Terapi Cairan
15
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
c.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
16
Persiapan Pasien
Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu
pendingin ruangan.
2.
Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg.
3.
Terapi Cairan
17
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan
baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
4.
Monitoring
18
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard
minimal monitoring):
a. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini
ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
-
palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
19
H. Postoperatif
1. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care
unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi
ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan
diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk
mencegah terjadinya risiko injury.
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat
agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi
ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum
pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter
20
b.
c.
d.
e.
a. Pulse oximeter
Non-invasive blood pressure monitor
Elektokardiograf
Nerve stimulator
Pengukur suhu
1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:
a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan
goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu
nafas kendali pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di
Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini,
perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien
secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat.
21
sirkulasi,
memantau
perdarahan
luka
operasi,
22
Modified Criteria
COLOR
Oxygenation
PointValue
PINK
PALE OR DUSKY
SpO2>90% on oxygen
CYANOTIC
SpO2<90% on oxygen
RESPIRATION
CAN BREATHE DEEPLY
freely
AND COUGH
SHALLOW BUT ADEQUATE
breathing
EXCHANGE
APNEA OR OBSTRUCTION
Apnea
CIRCULATION
BLOOD PRESSURE WITHIN
normal
20% OF NORMAL
23
of normal
2050% OF NORMAL
BLOOD PRESSURE
mmHg of normal
DEVIATING >50% FROM
NORMAL
CONSCIOUSNESS
AWAKE, ALERT, AND
Fully awake
Arousable on calling
Not responsive
Same
NO MOVEMENT
ORIENTED
AROUSABLE BUT READILY
DRIFTS BACK TO SLEEP
NO RESPONSE
ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES
Same
25
26
I.
EFEK RA-SAB
Subarachnoid
block (SAB)
adalah
salah
satu
teknik
anestesi
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan
analgesia
setinggi
berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung kepada banyak factor, antara
lain posisi pasien dan berat jenis obat (Sunaryo, 2005).
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
Nama
: Amat Ribut
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 71 tahun
Agama
: Islam
Alamat
Pekerjaan
: Petani
27
Status Perkawinan
: Sudah Menikah
No RM
: 25.04.44
2. ANAMNESA
Keluhan Utama
zakar sebelah kiri yang membesar yang dialami sejak 1 bulan ini. Benjolan
pada skrotum ini dirasakan hilang timbul. Timbul saat pasien mengejan.
Pada saat dipalpasi benjolan terasa kenyal serta dapat digerakkan keluar
masuk. Benjolan berbentuk lonjong. Kulit diatas benjolan tidak ditemukan
adanya kemerahan.. Keluhan tidak disertai demam, batuk, sesak nafas,
sakit kepala.. Riwayat operasi benjolan di skrotum sebelumnya tidak ada.
Riwayat sering mengangkat benda berat dan riwayat sering mengejan
ditemukan. Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, dan Asma.
RPT : (-)
RPO : (-)
RPK : (-)
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum
: Tampak Sakit
Vital Sign
28
Sensorium
Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu
Tinggi Badan
Berat Badan
: Compos Mentis
: 120/70 mmHg
: 83x/menit
: 22x/menit
: 36,50C
: 160 cm
: 50 kg
Pemeriksaan Umum
Kulit
Kepala
: Normocepali
Mata
Mulut
Leher
Thorax
Paru
Inspeksi
Pergerakan
nafas
simetris,
tipe
pernafasan
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: Datar, Simetris
: Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
: Timpani
: Peristaltik (+) Normal
29
Ekstremitas
: edema -/-
Genitalia : Skrotum dextra dan sinistra tidak simetris, skrotum sinistra tampak
membesar dan berbentuk lonjong
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb
: 13,7 g/dl
HT
: 41,7 %
Eritrosit
: 4,6 x 106/L
Leukosit
: 6.800 mm3
Trombosit
: 167.000/L
Metabolik
KGDS
: 125 mg/dL
Asam Urat
: 5.8 mg/dL
Fungsi Ginjal
Ureum: 27 mg/dl
Kreatinin: 1,20 mg/dl
Tindakan
Anesthesi
PS-ASA
Posisi
Pernapasan
: Herniorafi
: RA-SAB
:1
: Supinasi
: Kanul nasal O2
Airway
RR
: 20x/menit
SP
: Vesikuler ka=ki
ST
: Clear
B2 (Blood)
Akral
: Hangat/Merah/Kering
TD
: 150/80 mmHg
HR
: 80 x/menit
B3 (Brain)
Sensorium
: Compos Mentis
Pupil
RC
: (+)/(+)
31
B4 (Bladder)
Urine Output : -
Kateter
: tidak terpasang
B5 (Bowl)
Abdomen
: Soepel
Peristaltik
: Normal (+)
Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
Oedem
: (-)
Bupivacaine 0,5%
: mg
Fentanyl
: g
Jumlah Cairan
PO
DO
Produksi Urin
: RL 250 cc
: RL 750 = 1000 cc
:-
Perdarahan
Kasa Basah
: 5 x 10
= 50 cc
32
:5x5
= 25 cc
Suction
Jumlah
75cc
EBV
: 50 x 70 = 3750 cc
EBL
10 % = 375 cc
20
= 750 cc
30 % = 1125 cc
Durasi Operatif
POST OPERASI
: 12.15 WIB
o
o
o
o
o
Pergerakan
Pernapasan
Warna kulit
Tekanan darah
Kesadaran
:2
:2
:2
:2
:2
IVFD RL 30gtt/menit
34
DAFTAR PUSTAKA
Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi. EGC.
Jakarta. pp:229-231
Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta
Jong, W.D., 2004. Dinding Perut, Hernia, Retroperitoneum, dan Omentum.
Dalam: Sjamsuhidayat, R., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 519-537
Karnadihardja, W, 2004. Dinding perut, hernia, retroperitoneum, omentum. Dalam
35
36
37