Anda di halaman 1dari 36

JUDUL : LATIHAN ASSERTIF UNTUK MENGURANGGI PERILAKU

SEKS BEBAS DI KALANGAN REMAJA DI SMPN 33


MAKASSAR

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar orang-orang primitif selama berabad-abad mengenal masa
puber sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan setiap orang. Mereka
sudah terbiasa mengamati berbagai macam upacara sehubungan dengan kenyataan
bahwa dengan terjadinya perubahan-perubahan tubuh, anak yang melangkah dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Setelah berhasil melampaui ujian-ujian yang
merupakan bagian penting dari semua upacara pubertas, anak laki-laki dan anak
perempuan memperoleh hak dan keistimewaan sebagai orang dewasa yang
diharap memikul tanggung jawab yang mengiringgi orang dewasa.
Pubertas adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak
berubah dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual. Seperti yang di
terangkan oleh Root (Hurclock), Masa puber adalah suatu tahap dalam
perkembangan di mana terjadi kematangan alat-alat seksual dan tercapai
kemampuan reproduksi. Tahap ini di sertai dengan perubahan-perubahan dalam
pertumbuhan somatis dan perspektif psikologis
Hal ini didukung oleh pendapat Hurclock, (tahun berapa) edisi kelima
pubertas merupakan suatu periode di mana kematangan fisik berlangsung pesat,
yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh yang terutama berlangsung di
masa remaja awal. Perubahan yang berlangsung di masa pubertas merupakan
suatu peristiwa yang membingungkan bagi remaja, meskipun perubahanperubahan ini menimbulkan keragu-raguan, ketakutan, dan kecemasan terus-

menerus. Pubertas tidak sama dengan remaja. Bagi sebagian besar di antara kita,
masa pubertas berakhir jauh sebelum masa remaja selesai. Meskipun demikian,
masa pubertas merupakan awal penting yang menandai masa remaja.
Masa remaja merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan
manusia, sebab masa remaja merupakan awal bagi perkembangan manusia itu
sendiri menuju kedewasaan, sebagian orang menganggap bahwa masa remaja
adalah masa yang penuh dengan kegembiraan, kebahagiaan, dan memberikan
kesan yang mendalam dalam perkembangan hidup setiap manusia. Santrock
(2002: 23) berpendapat bahwa masa remaja ialah periode perkembangan transisi
dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira
10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja
bermula dengan perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat badan yang
dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti
pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara.
Hal ini didukung oleh Piaget (Ali & Asrori, 2004: 9) berpendapat bahwa masa
remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam
masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak merasa bahwa dirinya berada
dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak
sejajar. Remaja mengalami perkembangan begitu pesat, baik secara fisik maupun
psikologi. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organorgan

tubuh

termasuk

organ

reproduksi.

Sedangkan

secara

psikologis

perkembangan ini nampak pada kematangan pribadi dan kemandirian.


Secara psikolgis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah

tingkatan orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat
(dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan
masa puber.
Remaja adalah individu yang emosinya rentan tidak terkontrol oleh
pengendalian diri yang benar. Masalah keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang
minim, dan ajakan teman teman yang bergaul secara bebas membuat makin
berkurangnya potensi generasi muda dalam kemajuan bangsa. Pergaulan bebas itu
adalah melewati batas batas norma ketimuran yang ada. Masalah pergaulan
bebas ini sering kita dengar baik di lingkungan maupun di media masa (Rahmat,
2010).
Para remaja memiliki rasa ingin tahu yang tidak habis-habis nya mengenai
misteri seks. Mereka bertanya-tanya, apakah mereka memiliki daya tarik seksual,
bagaimana cara nya berperilaku seksi, dan bagaimana kehidupan seksual mereka
di masa depan. Banyak hal yang kita dengar mengenai seksualitasremaja
melibatkan masalah, seperti kehamilan remaja dan infeksi yang di tularkan secara
seksual. Meskipun masalah-masalah ini cukup merisaukan, kita perlu melihat
kenyataan bahwa seksualitas merupakan suatu bagian normal dari kehidupan
remaja (Nicholas & Good, 2004; Senanayake & Faulkner, 2003).
Waktu kapan remaja mulai melakukan hubungan seksual yang pertama kali
bervariasi antarbudaya dan gender. Data demografi menunjukkan bahwa remaja
adalah populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (2006) sekitar
seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 900
juta berada didaerah atau Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Jumlah remaja di Indonesia yang berusia 10-19 tahun mencapai 65 juta orang atau

30% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 238.452.952 jiwa (CIA World
Factbook, 2007).
Sekitar 15-20% dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan
hubungan seksual diluar nikah, 15 juta remaja perempuan usia 15 19 tahun
melahirkan setiap tahunnya. Pada bulan Juni 2006 telah tercatat 6332 kasus AIDS
dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8% dari kasus kasus baru
yang terlaporkan berasal dari usia 15-19 tahun. Diperkirakan 270.000 pekerja seks
komersial (perempuan) di Indonesia, dimana lebih dari 60% adalah berusia
dibawah 24 tahun, 30% berusia 15 tahun atau kurang (CIA World Factbook,
2007).
Setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia dimana 20%
diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh remaja. Tahukah kita bahwa tidak
kurang dari 6% remaja usia 10-14 tahun tidak mendapatkan haknya untuk
bersekolah dan terpaksa bekerja untuk kelanjutan hidup mereka (CIA World
Factbook, 2007).
Menurut WHO (2011) memperkirakan ada 20 juta kejadian aborsi tidak aman
di dunia, 9,5 % (19 dari 20 juta tindakan aborsi tidak aman) diantaranya terjadi di
negara berkembang. Sekitar 13 % dari total perempuan yang melakukan aborsi
tidak aman berakhir dengan kematian. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak
aman di wilayah Asia diperkirakan 1 berbanding 3700 dibanding dengan aborsi.
Diwilayah Asia Tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap
tahun, dan sekitar 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia, dimana 2.500 di
antaranya berakhir dengan kematian.
Menurut Kusmaryanto (2007) tiap tahun jumlah wanita yang melakukan
aborsi sebanyak 2,5 juta. seminar yang diadakan tanggal 6 Agustus 2001 di
Jakarta Utomo, B, melaporkan hasil penelitian yang dilakukan di 10 kota besar

dan 6 kabupaten di Indonesia tahun 2000, menyimpulkan bahwa di Indonesia


terjadi 43 aborsi per 100 kelahiran hidup. Ia juga menyampaikan bahwa sebagian
besar aborsi adalah aborsi yang disengaja, ada 78 % wanita diperkotaan dan 40 %
di pedesaan yang melakukan aborsi dengan sengaja.
Ketika remaja mengeksplorasi identitas seksualnya, mereka di tuntun oleh
sexual scrip. Sexual scrip adalah pola stereotip mengenai aturan-aturan peran
mengenai bagaimana individu seharus nya bertindak secara seksual. Ketika
individu mencapai usia remaja, perempuan dan laki-laki mengalami sosialisasi
untuk mengikuti sexual scrip tertentu yang berbeda. Perbedaan dalam sexual scrip
antara laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan masalah dan kebingungan
pada remaja yang sedang berusaha mengolah identitas seksual nya. Remaja
perempuan belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta (Michael
dkk., 1994). Mereka sering kali merasionalisasikan perilaku seksual nya dengan
mengatakan bahwa mereka terbawa oleh gairah sesaat. Sejumlah studi
menyatakan bahwa di bandingkan remaja laki-laki, terdapat lebih banyak remaja
perempuan yang menyatakan jatuh cinta sebagai penyebab utama aktif secara
seksual (hyde % DeLamater, 2005). Alasan lain yang menyebabkan perempuan
aktif secara seksual adalah karena mereka di desak oleh laki-laki, merupakan
suatu cara agar dapat memperoleh pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat seksual yang
tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian. Seks bebas adalah tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual yang ditujukan dalam bentuk tingkah laku. Tingkah
ini beraneka ragam, mulai dari saling tertarik dengan lawan jenis, lalu berkecan,
bercumbu dan diakhiri dengan dampak yang tidak baik, lalu akhirnya dampak
tersebut akan timbul baik bagi lingkungan, sosial, maupun pribadi terutama sangat

berdampak pada psikologis. Jika lingkungan psikologis terganggu maka sosial


pun akan berubah (Sarwono, 2008).
Berdasarkan fenomena di atas dipandang penting untuk melakukan
penelitian tentang pencegahan perilaku seks bebas di SMP Negeri 33 Makassar.
Di karenakan hasrat seksual muncul sebagai fenomena baru di masa remaja dan
seksualitas harus di pandang sebagai aspek yang normal dari perkembangan
remaja. Akan tetapi, hubungan seks yang berlangsung di antara para remaja
belasan tahun merupakan perluasan dari kecenderungan umum yang mengarah
pada sikap permisif terhadap kehidupan seksual yang berlangsung di budaya
dewasa. Sehingga apabila remaja saat ini sudah sangat akrab dengan hubungan
seks bebas tentu akan ada banyak masalah-masalah yang akan timbul nanti yang
tentu nya akan merugikan diri nya sendiri. Untuk mencegah perilaku seks bebas di
kalangan remaja maka peneliti menggunakan salah satu teknik behavioral yaitu
Assertive Training (latihan ketegasan).
Dari sudut pandang psikologi konseling, ketidakterampilan membuka diri
pada siswa akan berdampak pada kehidupan siswa sebagai orang yang sedang
dalam proses pendidikan, siswa yang tidak memiliki kemampuan mengungkapkan
diri akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, kurang
percaya diri, timbul perasaan takut, cemas, merasa rendah diri dan tertutup.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Mahmud & Sunarty (2012: 8), bahwa
penggunaan teknik assertive training ditujukan kepada individu yang mengalami
kecemasan,

tidak

mampu

mempertahankan

hak-haknya,

terlalu

lemah,

membiarkan orang lain merongrong dirinya, dan tidak mampu mengungkapkan


perasaan yang ada di dalam hatinya. Melalui teknik Assertive Training siswa

dilatih untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan serta mampu memberikan


respon-respon penolakan dan permintaan kepada siapa saja yang berkemungkinan
mejerumuskan nya ke dalam seks bebas.
Berdasarkan fakta tersebut, maka peneliti mencoba menerapkan teknik
Assertive Training dengan judul Latihan Assertif Untuk Mencegah Perilaku
Seks Bebas Di Kalangan Remaja Di Smp Negeri 33 Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, adapun yang menjadi
rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran pelaksanaan latihan assertif untuk mengurangi dampak
seks bebas di kalangan remaja di SMP Negeri 33 Makassar ?
2. Bagaimana gambaran perilaku seks bebas di kalangan remaja di SMP Negeri
33 Makassar ?
3. Apakah penerapan latihan assertif dapat mengurangi dampak perilaku seks
bebas di kalangan remaja di SMP Negeri 33 Makassar ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jawaban atas masalah peneliti
yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran perilaku negatif pacaran siswa sebelum dan
setelah diberikan Assertive Training di SMP Negeri 33 Makassar?
2. Untuk mengetahui apakah penerapan teknik Assertive Training dapat
mengurangi perilaku negatif pacaran siswa di SMP Negeri 33 Makassar?
D. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi akademis, menjadi bahan informasi serta pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang psikologi pendidikan dan bimbingan dalam
upaya meningkatkan mutu mahasiswa dalam jurusan tersebut.

b. Bagi peneliti, menjadi bahan acuan atau referensi untuk mengkaji lebih dalam
sejauh mana penerapan teknik assertif training dalam meningkatkan
kesadaran siswa tentang dampak negatif perilaku pacaran.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru pembimbing, diharapkan menjadi masukan dalam menghadapi
permasalahan siswa terutama dalam mengubah perilaku siswa kearah yang
lebih positif.
b. Bagi siswa, sebagai informasi untuk membantu dirinya dalam mengatasi
masalah yang dihadapi.
c. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran atau
rujukan kedepannya jika sudah terjun kelapangan sebagai seorang
pembimbing.

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka
1. Perilaku Seks Bebas
a. Pengertian Seks Bebas
Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perilaku
itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan
lingkungannya. Dilihat dari sifatnya, perbedaan perilaku manusia itu disebabkan
karena kemampuan, kebutuhan, cara berfikir untuk menentukan pilihan perilaku,
pengalaman dan reaksi efektifnya berbeda satu sama lain. Proses perilaku terjadi
karena proses psikologis yang bersifat objektif, nampak dan dapat dijelaskan
dalam proses belajar (Rahmawati, 2009: 13).
Perilaku menurut kamus bahasa Indonesia (El-Hakim, 2014) merupakan
reaksi seorang yang muncul dalam gerakan atau sikap (gerakan badan atau

ucapan). Perilaku dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu perilaku dalam arti
luas yaitu suatu yang dialami oleh seseorang, dan perilaku dalam pengertian
sempit adalah segala sesuatu yang mencakup reaksi yang dapat diminati.
Pengertian seks bebas menurut Kartono (2006 : 224) seks bebas
merupakan aktivitas dari cinta bebas atau free love. Kemudian menurut Wilis
(2005 : 73) menegaskan bahwa seks bebas yaitu melakukan hubungan seks
dengan siapa saja tanpa pernikahan, asal suka sama suka.
Sedangkan menurut Desmita (2005) pengertian seks bebas adalah segala
cara mengekspresikan dan melepaskan dorongan seksual yang berasal dari
kematangan organ seksual, seperti berkencan intim, bercumbu, sampai
melakukaan kontak seksual, tetapi perilaku tersebut di nilai tidak sesuai dengan
norma karena remaja belum memiliki pengalaman tentang seksual.
Perilaku seks bebas saat ini adalah masalah yang dialami remaja indonesia.
Karena remaja sekarang begitu mudah mengiyakan ajakan lawan jenis untuk
melakukan hubungan seks sebelum menikah dengan alasan karena suka sama
suka dan saling mencintai satu sama lain. Remaja tidak pernah berfikir kerugian
apa yang akan di terima nya jika melakukan seksual di luar pernikahan.
Kebanyakan remaja menginginkan hubungan seks karena remaja sekarang dalam
menjalani hubungan (berpacaran) sangat berani, misalnya berpegangan tangan,
mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada di atas baju dan
lain-lain. Remaja biasa nya melakukan segala sesuatu tanpa berfikir sehingga
dapat membawa dampak buruk bagi diri nya maupun keluarga nya. Biasa nya
remaja memperlihatkan kemajuan yang konsisen dalam perilaku seksual nya.

Dalam sebuah studi, 452 remaja yang berusia 18 hingga 25 tahun di tanyai
mengenai pengalaman seksual mereka di masa lalu (Feldman, Turner, & Araujo,
1999). Di temukan terdapat kemajuan dalam perilaku seksual mereka. Ciuman
mendahului bercumbu-cumbuan, yang mendahului hubungan seksual dan seks
oral. Bagi sebagian besar remaja, hubungan seksual yang pertama terjadi sekitar
masa remaja menengah hingga akhir, sekitar 8 tahun sebelum mereka menikah.
Lebih dari setengah di antara remaja yang berusia 17 tahun pernah melakukan
hubungan seksual.
Sebagian besar studi menemukan bahwa remaja laki-laki yang pernah
melakukan hubungan seksual dan secara seksual aktif, lebih banyak di banding
kan jumlah remaja perempuan (Felman, Turner, Araujo, 1999; Hayes, 1987). Di
bandingkan para remaja perempuan, para remaja laki-laki juga lebih cenderung
menyatakan hubungan seksual mereka sebagai pengalaman yang menyenangkan.
Presentase para remaja muda yang secara seksual aktif cenderung bervariasi
apabila di tinjau dari segi lokasi, di mana remaja pusat kota memperlihatkan
kecenderungan yang lebih tinggi. Di Baltimore, 81 persen remaja laki-laki berusia
14 tahun menyatakan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual. Survei
lain yang di lakukan di pusat kota menentukan bahwa jumlah remaja yang berasal
dari sosial-ekonomi rendah yang melakukan seksual di usia dini juga tergolong
tinggi (Clark, Zabin, & Hardy, 1984).
b. Faktor Penyebab Seks Bebas
Banyak faktor yang melatarbelakangi maraknya seks bebas dikalangan
remaja sekarang, menurut Sarwono (2010:188) menyatakan bahwa faktor
penyebab seks bebas adalah Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan

hasrat seksual (ibido seksual) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini


membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. Akan tetapi
penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya undang-undang tentang
perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang
perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (setidaknya 16 tahun untuk
wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma norma sosial yang makin
lama makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental,
dan lain-lain). Sementar usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku
dimana seseorang dilarang untuk melakukan seks sebelum menikah. Bahkan
larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku yang lain seperti
berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan
terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.
Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adaanya penyebaran
informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang adanya teknologi
canggih (videocasette, foto copy, satelit, VCD, telepon genggm, internet, dan lainlain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin
tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau di dengarkan dari
media massa, khusus nya karena mereka pada umum nya belum pernah
mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtua nya. Orang tua itu
sendiri, bik karena ketidaktahuan nya maupun karena sikap nya yang masih
mentabukan pembicaraan mengenai seks denga anak tidak terbuka terhadap anak,
malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu ini. Di
pihak lain, tidak dapat di ingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin
bebas antar pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibatt berkembang nya

peran dan pendidikan wanita sehingga dalam msyarakat, sebagai akibat


berkembang nya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita sejajar
dengan pria.
Sedangkan menurut sebuah penelitian yang di lakukan oleh yayasan keluarga
Kaisar (Kaisar Family Fondation, dalam Dariyo : 89). Faktor penyebab seks bebas
adalah faktor mis-persepsi terhadap pacaran. Betuk penyaluran kasih sayang yang
salah dimasa pacaran. Sering remaja mempunyai pandangan yang salah bahwa
masa pacaran merupakan masa dimana seseorang boleh mencintai maupun
dicintai oleh kekasihnya. Dalam hal ini, bentuk ungkapan rasa cinta (kasih
sayang) dapat di nyatakan dengan berbagai cara, misalnya, pemberian hadiah
bunga, berpelukan, berciuman, dan bahkan melakukan hubungan seksual. Dengan
anggapan yang salah ini, sebelum pacaran, sebaiknya orang tua wajib memberi
pengertian yang benar kepada anak remaja nya agar mereka tidak terjerumus pada
tindakan yang salah. Kehidupan keimanan yang rapuh. Kehidupan beragama
yanng baik dan benar di tandai dengan pengertian, pemahaman dan ketaatan
dalam menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik tanpa di pengaruhi oleh
situas apapun. Dalam keadaan apa saja, orang yang taat beragama, selalu dapat
menempatkan diri dan mengendalikan diri agar tidak berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran agama. Dalam hati nya, selalu ingat terhadap tuhan,
sebab mata tuhan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, ia
tak akan melakukan hubungan seksual dengan pacar nya, sebelum menikah secara
resmi. Ia akan menjaga kehormatan pacar nya, agar terhindar dari tindakan nafsu
seksual sesaat. Bagi individu yang taat beragama akan melakukan hal itu dengan
sebaik-baik nya. Sebalik nya bagi individu yang rapuh iman nya, cenderung
mudah melakukan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran agama nya. Agama hanya

di jadikan sebagai kedok atau topeng untuk mengelabuhi orang lain (pacar),
sehingga tak heran, kemungkinan besar orang tersebut dapat melakukan hubungan
seksual pranikah. Selanjutnya ialah faktor kematangan biologis. Dapat di ketahui
bahwa masa remaja di tandai dengan ada nyakematangan biologis. Dengan
kematangan biologis, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi
sebagai mana layak nya orang dewasa lain nya, sebab fungsi organ seksual telah
bekerja secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan
mudah terpengaruhi oleh stimulus yang merangsag gairah seksual nya, misalnya,
dengan melihat film porno, cerita cabul. Cenderung berakibat negatif, yakni
terjadi nya hubungan seksual pranikah di masa pacaran remaja. Sebaliknya,
kematangan biologis, di sertai dengan kamampuan pengendalian diri akan
membawa kabahagiaan remaja di masa depan nya, sebab ia akan tidak akan
melakukan hubunga seksual pranikah.
Warianto (2011) mengemukakan pendapat nya tentang faktor penyebab
remaja melakukan seks bebas yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Orang tua
Kurang nya bimbingan dan pengawasan orang tua sudah pasti akan
membuat anak menjadi liar, orang tua yangterlalu percaya kepadaanak
tanpa mengetahui aktivitas yang di lakukan oleh anak-anak nya
merupakan tindakan yang salah yang berakibat fatal bagi si anak sendiri.
Bahkan bukan tidak mungkin sebenar nya orang tua sendiri yang
menjerumuskan anak nya, sebagai contoh misal nya, orang tua merasa
malu kalau anak nya yang sudah SMA ataupun sudah remaj belum punya
pacar, pasti akan di tanya, akhir nya si anak cari pacar, awal nya mungkin
bisa saja, ke toko buku, atau sesekali ke cafe. Lalu pelan-pelan naik
pangkat lagi, dan meningkat ke lain nya. Orang tua yang terlalu otoriter

juga tidak baik bagi perkembangan psikologi anak, ketika ia


mendaapatkan sekali kebebasan ia lupa segalanya
2. Lingkungan teman
Sekuat apapun kita mempertahankan diri kalau lingkungan dan orangorang trdekat kita tidak mendukung kita, ukan tidak muungkin kita yang
akhir nya terikut dengan mereka. Contoh nya seorang pecandu narkoba
awal nya cum ikut-ikutan dengan teman-teman nya dan sekedar iseng,
begitu juga dengan seks bebas.
3. Uang
Di zaman sekarang ini uang adalah segala-gala nya, tolak ukur seseorang
ada pada uang, kehormatan, harga diri semua di ukur dengan uang.
Makanya orang-orang yang kebutuhan nya tidak terpenuhi mancari
penghasilan tambahan denga cara seperti itu, dengan iming-iming uang
semua menjadi tidak berarti. Apa yang haram pun di halal kan.
4. Iman yang lemah
Seseorang yang tidak punya iman di hati nya sudah pasti dia tidak tahan
dengan godaan duniawi yang memang berat, sekecil apapun godaan itu
apalagi godaan berat.
c. Alasan Melakukan Seks
Hampir semua masyarakat beradab berpendapat, bahwa adanya regulasi
atau pengaturan terhadap penyelenggaraan hubungan seks, dengan peraturanperaturan tertentu. Sebab, dorongan seks itu begitu dasyat dan besar pengaruh nya
terhadap manusia, bagaikan nyala api yang berkoba. Api itu bisa bermanfaat bagi
manusia, akan tetapi dapat juga menghancur lumatkan peradaban manusiawi.
Demikian pula seks itu, bisa membangun kepribadian akan tetapi juga bisa
menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan. Hal ini di buktikan oleh sejarah
peradaban manusia sepanjang zaman.

Variasi dari regulasi penyelenggaraan seks bisa kita lihat tradisi-tradisi


seksual pada bangsa-bangsa primitif di bagian-bagian dunia kita yang berbedabeda. Dengan demikian pesat nya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan
serta komunikasi, terjadilah banyak perubahan sosial yang seba cepat pada hampir
semua kebudayaan indonesia. Perubahan sosial tersebut mempengaruhi kebiasaan
hidup manusia, sekaligus juga mempengaruhi pola-pola seks yang konvensional.
Maka pelaksanaan seks itu banyak di pengaruhi oleh penyebab dari perubahan
sosial, anatara lain oleh urbanisasi, mekanisme, alat kontrasepsi, lamanya
pendidikan, demokrasi fungsi wanita dalam masyarakat, ada kala nya terjadi
proses ontrailing (keluar dari rel) daripada pola-pola seks; yaitu keluar dari
jalur-jalur konvensional kebudayaan. Pola seks itu lalu dibuat menjadi
hypermodern dan radikal, sehingga bertentangan dengan sitem regulasi seks
yang konvensional, menjadi seks bebas dan cinta bebas yang tidak ada bedanya
dengan pelacuran. Pada hakikat nya, dalam eksesivitas (sangat banyak) seks bebas
itu sama dengan promiskuitas atau campuraduk seksual tanpa aturan, alias
pelacuran. Oleh seks bebas itu bukan nya akan di peroleh kepuasan seks. Oleh
eksesivitas itu justru orang tidak mampu menghayati kepuasaan seks sejati. Sebab,
orang manjadi budak dari dorongan seksual, menjadi pecandu seks tanpa bisa
menghayati arti dan keindahan kehidupan erotik sejati. Alasan beberapa orang
terjerat dalam masalah seks bebas adalah sebagai berikut :
1. Dorongan seks itu alami, persis seperti lapar dan dahaga. Pemuasaan nya
juga bersifat alami atau natural. Maka tabu-tabu, dan relugasi seks itu sifat
nya artifisial, di buat-buat dan berlebih-lebihan, tidak perlu.
Mereka berfikir memang benar dorongan seks itu pada mula nya berdifat
fisiologis dan alami, sebagai produk dari kegiatan genduler. Namun

kemudian, segi-segi psikis dari seks itu lalu bersifat artifisial, bukan alami
lagi, sebab semakin banyak terdapat sti-muli/perangsang seks dalam
masyarakat modern sekarang. Misalnya berupa film-film biru, gambargambar dan majalah porno, pertunjukan seks, dan lain-lain perangsang
yang sangat kasar. Sehingga muncul perbuatan seks yang sangat di tolak
oleh masyarakat, umpama dalam bentuk pemerkosaan, ekshibisionisme
sosial, promiskuitas terbuka, dan lain-lain. Karena itu perlu di adakan
sanksi dan kontrol sosial terhadap kehidupan seks, demi menjamin
ketentraman dan ketertiban hidup.
2. Seks itu merembesi setiap fase kehidupan. Karena itu kebebasan seks
harus dapat di ekspresikan dengan bebas penuh, untuk memperkaya
kepribadian. Maka, setiap restriksi atau pembatasan terhadap kegiatan seks
itu pasti akan menghambat pembentukan keepribadian.
3. Tabu-tabu seks bebas itu merupakan produk dari dogmatisme religius,
yang menganggap seks sebagai sumber dosa sumber kenikmatan. Lalu
orang membuat macam-macam resriksi terhadap aktivitas seks. Dengan
sendiri nya hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan ilmiah
di bidang fisiologi, psikologi, dan sosiologi.
4. Kegiatan seks itu adalah masalah privat, menyangkut diri pribadi dangan
partner nya. Maka masyarakat itu sama sekali tidak berhak mencampuri
urusan ini. Para penganjur seks bebas menolak dengan sangat prinsip
kontrol sosial terhadap aktivitas seks. Tidak perlu lah segala restriksi dan
regulasi terhadap impuls-impuls seks. Karena impuls seks itu sama bobot
dan nilai nya dengan impuls-impuls vital lainnya.
5. Perkawinan dan semua undang-undang perkawinan-perceraian itu Cuma
mengakibatkan

kompulsi-kompulsi/paksaan

psikologis,

yang

mengakibatkan kegagalan dan kegoncangan dalam kontak pribadi dengan


partnernya. Maka, jika ada kebebasan seks yang komplit, di mana kedua
partner bisa berpindah jika sudah tidak saling membutuhkan lalu bebas
mencari partner lain yang lebih cocok, maka peristiwa sedemikian ini bisa
lebih menjamin kokoh nya monogami. Karena itu kontak yang perfek
tidak mungkin bisa berlangsung tanpa adanya kebebasan yang perfek,
tanpa kebebasan sebebas-bebasnya. Sebab, cinta itu tidak bisa dipaksakan
dengan undang-undang dan restrik-sirestriksi. Karena nya, union tanpa
perkawinan pasti akan lebih berhasil dan lebih efisien dari pada
persatuan/union dengan perkawinan.
Kenyataan membuktikan, bahwa seks bebas dan cinta bebas mengakibatkan
banyak kerusakan/destruksi di kalangan orang-orang muda, baik pria maupun
wanita. Dalam kehidupan ini segala sesuatu sudah di atur tertib oleh irama dan
regulasi alam. Maka seyogya nya cinta dan seks itupun harus di atur oleh kontrol
diri dan disiplin diri. Hanya dengan cara sedemikian manusia bisa mencapai
keseimbangan hidup dan menikmati vitalitas nya; lalu mencapai keseimbangan
hidup dan kepuasan yang merupaka dua atribut esensil bagi kehidupan.

d. Dampak Seks Bebas


Menurut Sarwono (2011 : 175) dampak perilaku seksual bisa cukup serius,
seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada gadis yang terpaksa
menggugurkan kandungan nya (aborsi).
Menurut Wuryani (2008 : 192) akibat psikologis yang muncul dalam jiwa
seorang pelaku seks bebas :
1. Perasaan kecewa
2. Terluka hatinya, malu, dan merasa tertipu

3. Perasaan bersalah yang menimbulkan depresi, frustasi, dan


kekosongan jiwa.
Menurut Warianto (2011) bahaya-bahaya seks bebas antara lain :
1.
Beberapa penyakit yang siap mendatangi seperti, hepers, HIV aids,
Raja singa, dan penyakit lainnya. Penyakit ini tentu sudah diketahui sangat
membahayakan dan sampai sekarang masih belum ada obatnya.
2.
Hamil di luar pernikahan akan menimbulkan permasalahan baru,
apabila seorang remaja masih kuliah atau sekolah tentu saja orang tua akan
sangat kesal. Remaja pun takut untuk jujur kepada orang tua pasangan,
akhir nya diapun memutuskan untuk melakukan dosa baru yaitu aborsi
ataupun bunuh diri.
3.
Apabila seorang anak akan menikah di usia muda, maka
permasalahan yang belum siap di hadapi akan datang, seperti masalah
keuangan, masalah kebiasaan, masalah anak.
4.
Nama baik keluarga akan tercoreng. Keluarga akan menghadapi
masalah yang dibuat apabila seorang remaja mendapatkan efek buruk dari
seks bebas ini.
5.
Apabila seorang remaja hamildiluar nikah dan pasangannya tidak
mau bertanggung jawab, maka yang akan dilakukan adalah banyak pikiran
buruk yang akan menganggu, seperti ingin bunuh diri, berfikir tidak
rasional yang mengakibatkan gangguan mental atau gila.
Menurut sugiartha (2011) bahaya dari seks bebas adalah sebagai berikut :
1.
Menciptakan kenangan buruk
2.
Mengakibatkan kehamilan
3.
Menggugurkan kandungan (aborsi)
4.
Penyebaran penyakit kelamin
5.
Kehamilan yang tidak di inginkan
Menurut Darlyo (2004 : 88) akibat seks bebas adalah negatif, yaitu :
1.
Terjangkit STDS (seksually transmitted diseases)
2.
Kehamilan (pregnancy)
3.
Drop-out dari sekolah

e. Bimbingan Untuk Mencegah Seks Bebas


Adapun cara untuk mencegah agar remaja terhindar dari pergaulan
bebas khusus nya seks bebas. Salah satu cara untuk mencegah seks bebas
pada remaja dari pengamatan peneliti yaitu sebagai berikut :
A. Faktor Keluarga Dalam Mencegah Seks Bebas
1. keluarga perlu memberikan informasi tentang pendidikan seks sejak
dini dengan baik dan benar
2. Orang tua memberikan kasih sayang dan perhatian yang lebih pada
putra dan putri nya yang beranjak remaja
3. Terjalin hubungan yang harmonis atau salingterbuka dari pihak orang
tua dan anak
4. Pengawasan orang tua terhadap media teknologi dan jejaring sosial
yang di gunakan oleh anak nya
5. Orang tua memberikan bekal agama yang kuat sebagai pelindung
masa depan nya kelak
6. Orangtua memperhatiakan bakat dan minat dalam bidang akademik
dan non akademik dan menyibukkan mereka dengan hal-hal yang
positif. Misal nya les bahasa asing, mengembangkan bakat mereka
dalam bidang olahraga, musik, bernyanyi, dan lain-lain
7. Pola asuh orang tua yang baik
B. Faktor pergaulan atau Pertemanan Dalam Mencegah Seks Bebas
1. Memilih teman dalam bergaul yang mempunyai dampak yang baik
bagi diri kita sendiri
2. Menolak ajakan teman dalam bergaul yang mempunyai dampak
yang baik bagai diri kita sendiri
3. Menghindari diskusi dengan teman yang berhbungan dengan seks
dan berhati-hati memilih teman
C. Faktor Pacaran Dalam Mencegah Seks Bebas
1. Hindari berduaan di tempat yang sepi
2. Jangan mudah terjebak rauan gombal pasangan
3. Bersikap tegas dengan pasangan
4. Mempunyai komitmen sejak awal pacaran, bahwa dalam pacaran
tidak ingin melakukan hubungan seksual

D. Faktor Guru dan Konselor Sekolah


1. Memberikan pengetahuan terhadap siswa mengenai perubahan fisik
yang berkaitan dengan kematangan masalah seksual
2. Memberikan wawasan terhadap siswa tentang dampak dari
pergaulan bebas
3. Membantu siswa bagaimana cara mengurangi ketakutan dan
kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian
seksual (peran, dan tanggung jawab)
4. Membentuk sikap yang tegas terhadap diri siswa, untuk membantu
siswa menghadapi pergaulan bebas
Jadi dapat di simpulkan bahwa faktor yang dapat membantu mencegah
terjadi nya

seks bebas yaitu faktor keluarga, pergaulan, pacaran yang

sehat dan faktor agama selain itu juga faktor dari guru dan konselor sekolah
sangat membantu sekali.

2. Teknik Assertive Training


a. Pengertian Asertive Training
Teknik assertive training adalah salah satu teknik dari pendekatan
behavioral, sebagaimana menurut Mahmud & Sunarty (2012: 8) bahwa:
Latihan yang biasanya digunakan dalam pendekatan behavioral
adalah assertive training yang ditujukan kapada individu yang
mengalami kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya,
terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong dirinya, dan
tidak mampu mengungkapkan perasaan yang ada di dalam hatinya.
Teknik assertive training merupakan teknik dalam konseling behavioral
yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang
tidak sesuai dalam menyatakannya. Lebih lanjut Rahmawati (2009: 65)
mengemukakan bahwa:
assertive training yaitu satu teknik perlakuan yang berisikan
instruksi, arahan dan praktek sikap asertif dalam situasi-situasi

yang spesifik dan dilengkapi dukungan agar klien melakukannya


secara konsisten pada situasi-situasi lain yang lebih umum.
Sinring (2011) mengatakan bahwa teknik assertive training merupakan
teknik yang dapat diterapkan pada situasi-situasi interpersonal, dimana individu
yang

mempunyai

kesulitan-kesulitan

perasaan

sesuai

atau

tepat

untuk

menyatakannya. Lebih lanjut menurut Houston (Nursalim, 2013) menyatakan


bahwa latihan asertif merupakan suatu program belajar untuk mengajar manusia
mengekspresikan perasaan dan pikirannya secara jujur dan tidak membuat orang
lain menjadi terancam. Sedangkan menurut Zastrow (Nursalim, 2013)
mengatakan bahwa latihan asertif dirancang untuk membimbing manusia untuk
menyatakan, merasa, dan bertindak pada asumsi bahwa mereka memiliki hak
untuk menjadi dirinya sendiri dan untuk mengekspresikan perasaan secara bebas.
Lebih lanjut Corey (1990) mengemukakan juga bahwa assertive training
berfokus pada situasi sosial yang menyangkut kecemasan, maka ditawarkannya
suatu kesempatan yang realistis untuk menghadapi dan menantang kesulitan
mereka dalam lingkungan yang terstruktur dan aman. Asumsi dasar dari pelatihan
assertifitas adalah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengungkapkan
perasaannya, pendapat, apa yang diyakini serta sikapnya terhadap orang lain
dengan tetap menghormati dan menghargai hak-hak orang tersebut. Salah satu
sasaran dari latihan semacam ini adalah untuk meningkatkan keterampilan
behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi
tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak. Hartono &
Soedarmadji (2012: 129) mengungapkan bahwa teknik ini sangat efektif jika
dipakai untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan rasa percaya
diri, pengungkapan diri, atau ketegasan diri.

Corey (2007) mengatakan bahwa latihan asertif dapat diterapkan pada


individu yang mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa
menyatakan atau menegaskan diri merupakan tindakan yang benar. Terapi
kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku
pada kelompok dengan sasaran membantu individu dalam mengembangkan caracara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi interpersonal.
Latipun (2001) mengatakan bahwa latihan asertif digunakan untuk
melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa
tindakannya adalah layak atau benar.
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
teknik assertive training adalah suatu teknik yang ditujukan kepada individu yang
berisikan

instruksi, seperti

yang

mengalami

kecemasan,

tidak

mampu

mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong


dirinya, tidak mampu mengungkapkan perasaannya, dan mengajarkan manusia
mengekspresikan perasaan dan pikiran secara jujur dan tidak membuat orang lain
menjadi terancam.
b. Manfaat Assertive Training
Teknik assertive training atau teknik melatih ketegasan merupakan
kegiatan yang memerlukan perhatian khusus agar hasilnya juga dapat optimal.
Dengan kata lain kegiatan latihan ketegasan diharapkan mampu membantu para
siswa untuk lebih mudah mengemukakan masalahnya dengan jelas, sehingga
siswa dapat memahami pikiran dan perasaannya sendiri, dimana siswa tidak perlu
lagi merasa cemas, takut, ragu-ragu untuk menyatakan pendapatnya, dengan kata
lain teknik assertive training dapat menumbuhkan perilaku antar pribadi yang
menyangkut emosi yang tepat, jujur, dan tanpa perasaan cemas.

Menurut Corey (1990: 429), assertive training akan membantu bagi orangorang yang:
1) Mereka yang tidak mampu menungkapkan rasa amarah
atau terganggu.
2) Mereka yang sulit untuk mengatakan tidak.
3) Mereka yang terlalu sopan dan membiarkan orang lain
memanfaatkannya.
4) Mereka yang sulit mengungkapkan mengungkapkan rasa
kasih dan respons-respons positif yang lain.
5) Mereka yang merasa bahwa mereka tidak ada hak untuk
mengungkapkan pendapat, apa yang mereka percayai, dan
apa yang mereka rasakan.
Teknik assertive training dapat menuntut individu untuk jujur terhadap
dirinya dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pendapat dan kebutuhan
secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan
ataupun merugikan pihak lain. Sehingga pada akhirnya dapat mengekspresikan
kemampuannya dalam bertingkah laku atau dalam mengungkapkan pendapat
masalahnya kepada konselor.
Perilaku assertive training membuat seseorang merasa bertanggung jawab
dan konsekuen untuk melaksanakan keputusannya sendiri. Dalam hal ini, ia bebas
untuk mengemukakan berbagai keinginan, pendapat, gagasan dan perasaan secara
terbuka sambil tetap memperhatikan perasaan orang lain.
c. Tujuan Teknik Assertive Training
Larzarus (Nursalim, 2013) mengemukakan bahwa tujuan latihan asertif
adalah untuk mengoreksi perilaku yang tidak layak dengan cara mengubah
respons-respons emosional yang salah dan mengeleminasi pemikiran irasional.
Sedangkan Joyce dan Weil (Nursalim, 2013: 143) berpendapat bahwa:
1) Mengembangkan ekspresi perasaan baik yang positif maupun
yang negatif.
2) Mengekspresikan perasaan-perasaan kontradiktif.
3) Mengembangkan perilaku atas dasar prakarsa sendiri.

d. Prosedur Pelaksanaan Teknik Assertive Training


Rahmawati (2009) mengungkapkan beberapa prosedur pelaksanaan teknik
assertive training yaitu:
1) Terapis dan klien menentukan serangkaian situasi apa saja yang membuat
konseli merasa sulit untuk bersikap asertif. Seperti halnya aitem-aitem hirarki
pada desensitisisasi, situasi harus dibuat dengan detil dan jelas, sehingga
konseli dapat memerankan seperti apa yang ia hadapi dalam kenyataan.
2) Terapis dan konseli memerankan masing-masing adegan melalui role playing.
Terapis memberi komentar terhadap tingkah laku konseli dan mendorong
kemajuan konseli, khususnya pada ekspresi wajah, sikap tubuh, gerakan
tangan, nada suara, kontak mata dsb. Modeling juga diberikan dalam tahap
ini.
3) Agar sempurna dan yakin apa yang yang harus dilakukan konseli pada situasi
tertentu, konseli mencoba mempraktekkan keterampilan yang sudah
dilatihkan pada situasi kehidupan yang sebenarnya. Tips yang perlu dilakukan
terapis adalah menentukan sebuah target perilaku sebagai pekerjaan rumah
bagi konseli.
4) Diskusi kembali tentang hasil penerapan keterampilan pada pertemuan
selanjutnya.
e. Kelebihan dan Kekurangan Assertive Training
Seperti halnya teknik konseling lainnya yang memiliki kelebihan dan
kekurangan,

teknik

assertive

(http://irvanhavefun.blogspot.com)

training
memaparkan

juga

demikian.

tentang

Prabowo

kelebihan

dan

kekurangan teknik assertive training sebagai berikut:


1. Kelebihan teknik assertive training
a) Pelaksanaannya yang cukup sederhana,
b) Penerapannya dikombinasikan dengan beberapa pelatihan seperti relaksasi
supaya lelah dan jenuh dalam berlatih, kita dapat melakukan relaksasi supaya

menyegarkan individu itu kembali. Pelatihannya juga bisa menerapkan teknik


modeling, misalnya konselor mencontohnya sikap asertif langsung dihadapan
konseli. Selain itu juga dapat dilaksanakan melalui kursi kosong, misalnya
setelah konseli memikirkan tentang apa yang hendak diutarakan, ia langsung
mengutarakannya di depan kursi yang seolah-olah dikursi itu ada orang yang
dimaksud konseli.
c) Pelatihan ini dapat mengubah perilaku individu secara langsung melalui
perasaan dan sikapnya.
d) Disamping dapat dilaksanakan secara perorangan juga dapat dilaksanakan
dalam kelompok. Melalui latihan-latihan tersebut individu diharapkan mampu
menghilangkan kecemasan-kemasan yang ada pada dirinya, mampu berfikir
relistis terhadap konsekuensi atas keputusan yang diambilnya serta yang
paling penting adalah menerapkannya dalam kehidupan ataupun situasi yang
nyata.
2. Kelemahan, pelatihan asertif ini akan tampak pada:
a) Meskipun sederhana namun membutuhkan waktu yang tidak sedikit, ini juga
tergantung dari kemampuan individu itu sendiri.
b) Bagi konselor yang kurang dapat mengkombinasikannya dengan teknik
lainnya, pelatihan asertif ini kurang dapat berjalan dengan dengan baik atau
bahkan akan membuat jenuh dan bosan konseli/peserta, atau juga
membutuhkan waktu yang cukup lama.
3. Hubungan teknik assertif training dengan perilaku seks bebas
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa assertive training adalah
salah satu dari beberapa teknik yang digunakan dalam kegiatan konseling. Teknik
assertive training merupakan teknik yang digunakan untuk melatih sikap
ketegasan dan keberanian menyatakan pendapat sekaligus tetap menghormati dan
peka terhadap kebutuhan orang lain. Melalui pelatihan asertif ini remaja juga

dilatih untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan serta mampu memberikan


respon-respon penolakan apabila ada yang mengajak atau memintanya untuk
melakukan seks bebas.
Dalam proses konseling diharapkan adanya keterbukaan dari siswa baik
untuk mengemukakan segala masalahnya maupun untuk menerima pengalamanpengalaman. Sehingga dibutuhkan teknik untuk melatih, mendorong dan
membiasakan konseli agar secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan
pola perilaku tertentu yang dapat memberikan respon pada tindakan orang lain
dalam bentuk mempertahankan hak asasi sendiri yang mendasar. Dengan assertif,
seseorang akan mampu menandaskan hak-hak atau opini-opininya, dan menuntut
pengakuan dari orang lain sehingga dalam batasan hukum konseli mempunyai hak
untuk memutuskan bagaimana berfikir, merasa dan bertindak. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa jika teknik assertif digunakan dalam kegiatan konseling
maka siswa akan mampu bersikap tulus dan jujur dalam mengekspresikan
perasaan, pikiran dan pandangannya pada temannya, diharapkan sisa akan terbuka
mengemukakan penolakannya untuk tidak turut serta dalam pergaulan seks bebas.
Yang dimaksud masalah disini adalah apa saja yang mengganggu pikiran dan
perasaan siswa karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan.
Hasil dari latihan assertif ini akan membuat siswa berani menyatakan dengan
tegas kepada pacarnya, dirinya sendiri maupun lingkungannya bahwa dirinya
tidak akan terjerumus dan melakukan seks bebas Breakwell (1998).

Perilaku seks bebas


1.
2.
3.
4.
5.

Berdua-duaan
Berpegangan tangan
Berciuman
Melakukan hubungan seksual

Pemberian Teknik Assertive Training


1. Terapis dan konseli menentukan serangkaian situasi apa saja yang
membuat konseli merasa sulit untuk bersikap asertif.
2. Terapis dan konseli memerankan masing-masing adegan melalui
role playing.
3. Konseli mempraktekkan keterampilan yang sudah dilatihkan pada
situasi kehidupan yang sebenarnya.
4. Diskusi kembali tentang hasil penerapan keterampilan pada
pertemuan selanjutnya.
perilaku seks bebas menurun
C. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pikir yang telah diuraikan di
atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: Penerapan teknik assertive training
untuk mengurangi kecenderungan perilaku seks bebas siswa di SMP Negeri 33
Makassar.

III. METODE PENELITIAN


A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen yang bersifat
kuantitatif, yaitu metode ilmiah karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah
yaitu konkrit, obyektif, terukur, rasional, dan sistematis. Metode kuantitatif
digunakan karena data dalam penelitian ini berupa angka-angka dan analisis
menggunakan statistik.
Penelitian yang digunakan disini adalah pre-Experimental Designs, karena
desain ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh, karena masih terdapat

variabel luar yang masih ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel


dependen. Jadi eksperimen yang merupakan variabel dependen itu bukan sematamata dipengaruhi oleh variabel independen. Hal ini dapat terjadi, karena tidak
adanya variabel control, dan sampel tidak dipilih secara random. Penelitian ini
mengkaji tetang Penerapan teknik assertive training untuk mengurangi perilaku
negatif perilaku pacaran siswa di SMP Negeri 33 Makassar.

B. Variabel dan Desain Penelitian


Penelitian ini mengkaji dua variabel, yaitu: pengaruh teknik assertive
training sebagai variabel bebas atau yang mempengaruhi (independent variable),
dan perilaku seks bebas sebagai variabel terikat atau yang dipengaruhi (dependent
variable).
Desain eksperimen yang digunakan adalah one-group pretest-posttest
design yang dapat digambarkan sebagai berikut :

O1 X O2
Gambar 3. 1. Model Rancangan Penelitian
Keterangan :
O1 = Nilai pengukuran Pretest (sebelum diberi perlakukan)
X
O2

= Treatmen atau Perlakuan (teknik assertive training)


= Nilai pengukuran Posttest (setelah diberi perlakukan)
(Sugiyono, 2015: 111)
Adapun prosedur pelaksanaan penelitian mulai dari penentuan kelompok

pretest, perlakuan berupa teknik assertive training dan posttest sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi siswa SMP Negeri 33 Makassar yang terindikasi mengalami
kecenderungan perilaku seks bebas.
2. Pelaksanaan pretest terhadap subjek penelitian berupa pemberian anget
penelitian yang berisi daftar pertanyaan tentang kecenderungan perilaku seks

bebas siswa di SMP Negeri 33 Makassar sebelum diberikan perlakuan


(treatment) berupa teknik assertive training.
3. Tahap perlakuan (treatment) yaitu penerapan

teknik assertive training

terhadap subjek penelitian.


4. Pelaksanaan posttest terhadap subjek penelitian berupa pemberian angket
penelitian seperti pada pelaksanaan pretest tentang kecenderungan perilaku
seks bebas di SMP Negeri 33 Makassar.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan batasan-batasan yang digunakan untuk
menghindari perbedaan interpretasi terhadap variabel yang diteliti dan sekaligus
menyamakan persepsi tentang variabel yang dikaji, maka ditentukan definisi
operasional peubah penelitian sebagai berikut:
1. Teknik assertive training adalah suatu teknik yang ditujukan kepada individu
yang berisikan instruksi, seperti yang mengalami kecemasan, tidak mampu
mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain
merongrong dirinya, tidak mampu mengungkapkan perasaannya, dan
mengajarkan manusia mengekspresikan perasaan dan pikiran secara jujur dan
tidak membuat orang lain menjadi terancam. Proses pemberian bantuan
dilakukan melalui 4 langkah yakni terapis dan konseli menentukan
serangkaian situasi apa saja yang membuat konseli merasa sulit untuk
bersikap asertif, terapis dan konseli memerankan masing-masing adegan
melalui role playing, konseli mempraktekkan keterampilan yang sudah
dilatihkan pada situasi kehidupan yang sebenarnya dan diskusi kembali
tentang hasil penerapan keterampilan pada pertemuan selanjutnya.
2. Perilaku seks bebas merupakan aktivitas dari cinta bebas atau free love, yang
melakukan hubungan seks dengan siapa saja tanpa pernikahan, asal suka

sama suka. Seperti ciuman mendahului bercumbu-cumbu, yang mendahului


hubungan seksual dan seks oral.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sugiyono (2015: 117) mengemukakan bahwa
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya.
Populasi penelitian adalah peserta didik yang secara administratif terdaftar
dan aktif dalam pembelajaran di kelas VIII SMP Negeri 33 Makassar yang
teridentifikasi mengalami kecenderungan perilaku seks bebas paling tinggi.
Jumlah siswa kelas VIII-A, VIII-B, VIII-C, VIII-D, VIII-E, VIII-F, VIII-G dan
VIII-H

adalah

200 siswa. Dalam proses pengambilan populasi, peneliti

melakukan wawancara dengan guru mata pelajaran, wali kelas, dan ketua kelas.
Dari hasil wawancara tersebut untuk mengecek keberadaannya, peneliti
melakukan observasi langsung. Dari hasil observasi langsung tersebut, peneliti
mendapatkan informasi tentang kelas-kelas dan siswa yang yang teridentifikasi
memiliki kecenderungan perilaku seks bebas. Dari observasi tersebut, peneliti
mendapatkan jumlah populasi sebanyak 97 populasi penelitian.
Adapun penyebaran populasinya digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.3 Penyebaran Populasi
No
Kelas
1
2
3
4
5
6
7
8

VIII-A
VIII-B
VIII-C
VIII-D
VIII-E
VIII-F
VIII-G
VIII-H

Jumlah
Siswa
25
25
25
25
25
25
25
25

Populasi
5
7
5
6
9
4
3
8

TOTAL
Sumber : SMP Negeri 33 Makassar.

200

47

2. Sampel
Sugiyono (2015: 118) mengemukakan bahwa sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Penarikan sampel
ini dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah siswa yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan teknik permainan dalam konseling kelompok.
Untuk menentukan ukuran sampel, peneliti mengacu pada ukuran jumlah
anggota kelompok pada konseling kelompok karena dalam pelaksanaan treatment
peneliti menggunakan sistem konseling kelompok. Sukardi (2010) menjelaskan
bahwa ukuran kelompok yang ideal adalah sekitar 7-15 orang. Oleh karena itu,
peneliti menetapkan ukuran sampel dalam penelitian ini sebanyak 10 orang untuk
memudahkan peneliti dalam pelaksanaan treatment. Selanjutnya, dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel ini menggunakan teknik
simple random sampling.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data sangat dibutuhkan dalam penelitian, sebab dapat
menentukan keberhasilan suatu penelitian. Kualitas data ditentukan oleh kualitas
alat pengumpulan data yang cukup valid
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Angket Kecenderungan Perilaku Negatif Pacaran
Angket adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberikan seperangkat pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.
Kuesioner diberikan kepada subjek eksperimen untuk memperoleh gambaran
tentang perilaku negatif pacaran yang dialami oleh siswa baik sebelum (pretest)

maupun sesudah (posttest) diberikan perlakuan berupa pemberian teknik assertive


training. Angket penelitian bersifat tertutup, karena setiap item pernyataan telah
dilengkapi berbagai pilihan jawaban, dengan lima pilihan jawaban yaitu sangat
sesuai (SS), sesuai (S), cukup sesuai (CS), kurang sesuai (KS), dan tidak sesuai
(TS). Guna kepentingan analisis data, maka angket penelitian ini menggunakan
skala Likert dengan rentang 1 sampai 5.
Tabel 3.5. Pembobotan Item Angket
Pilihan jawaban
Sangat Sesuai (SS)
Sesuai (S)

Kategori
Favourabl
Unfavourable
e
5
1
4

Cukup Sesuai (CS)

Kurang Sesuai (KS)

Tidak Sesuai (TS)

Sebelum angket digunakan untuk penelitian lapangan, angket terlebih


dahulu divalidasi oleh dosen validator psikologi pendidikan dan bimbingan,
kemudian diuji coba lapangan dan kemudian dilakukan uji validitasi dan
realibilitas angket penelitian.
2. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk mencatat reaksi-reaksi dan perubahan
selama mengikuti pelaksanaan teknik assertive training melalui pengamatan
secara langsung terhadap subjek penelitian. Adapun aspek-aspek yang diobservasi
adalah semangat mengikuti kegiatan, berpartisipasi aktif dalam kegiatan,
menyelesaikan tugas yang diberikan peneliti, berbicara tahu waktu, mendengarkan
dengan seksama apa yang dijelaskan oleh peneliti, membaca bahan bacaan, tidak
melakukan aktivitas lain selama kegiatan, mengajukan pertanyaan, bersemangat

menjalankan setiap program dalam kegiatan program, dan pemahaman mengenai


teknik yang diberikan. Cara penggunaannya dengan cara memberi tanda cek ()
pada setiap aspek yang muncul. Adapun kriterianya ditentukan sendiri oleh
peneliti berdasarkan persentase kemunculan setiap aspek pada setiap kali
pertemuan latihan dengan menggunakan rumus persentase sebagai berikut:

nm
N
Nm
P

Analisis individu

nm
N

Analisis Kelompok

Nm
P

x 100%
(Abimanyu, 1983: 26)
x 100%

Dimana :
: Jumlah item yang tercek dari satu siswa
: Jumlah item yang terobservasi
: Jumlah cek pada item aspek tertentu yang tercek dari seluruh siswa
: Jumlah Siswa
Kriteria untuk penentuan hasil observasi dibuat berdasarkan hasil analisis

persentase Individu dan kelompok yaitu nilai tertinggi 100 % dan terendah 0%
sehingga diperoleh kriteria sebagai berikut:
Tabel 3.6. kriteria penentuan hasil observasi
Persentase

Kategori

80%-100%

Sangat Tinggi

60%-79%

Tinggi

40%-59%

Sedang

20%-39%

Rendah

0%-19%

Sangat Rendah

F. Teknik Analisis Data


Analisis data penelitian dimaksudkan untuk menganalisis data hasil tes
penelitian berkaitan dengan kecenderungan perilaku seks bebas, teknik analisis

data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis statistik nonparametrik
dengan menggunakan uji wilcoxon.
1.

Analisis Statistik Deskriptif


Analisis

deskriptif

dimaksudkan

untuk

memperoleh

gambaran

kecenderungan perilaku seks bebas siswa di SMP Negeri 33 Makassar sebelum


(pratest) dan sesudah (posttest) perlakuan berupa pemberian teknik assertive
training dengan menggunakan tabel distribusi freskuensi dan persentase dengan
rumus persentase, yaitu:

P =
Dimana:
P
=
f
=
N
=

f
100%
N

(Tiro, 2004: 242)

Persentase
frekuensi yang dicari persentasenya
Jumlah subyek (sampel)

Guna memperoleh gambaran umum tentang kecenderungan perilaku negatif


seks bebas di SMP Negeri 33 Makassar sebelum dan setelah perlakuan berupa
teknik assertive training, maka untuk keperluan tersebut, maka dilakukan
perhitungan rata-rata skor peubah dengan rumus:
Me

Xi
n

(Hadi, 2004: 40)

Di mana:
Me
Xi
N

: Mean (rata-rata)
: Nilai X ke i sampai ke n
: Banyaknya subjek

Gambaran umum tentang tingkat kecenderungan perilaku negatif pacaran


siswa sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) diberikan perlakuan berupa

teknik assertive training dilakukan dengan mengetahui skor ideal tertinggi 200
(40 x 5 = 200) kemudian dikurangkan dengan skor ideal terendah yaitu 40 (40 x 1
= 40), selanjutnya dibagi 5 kelas interval sehingga diperoleh interval kelas 32.
Adapun kategori perilaku seks bebas yaitu :
Tabel 3.7. Kategori Tingkat Perilaku Seks Bebas
Interval
168-200
136-167
104-135
72-103
40-71
Sumber: Hasil perhitungan skor angket

Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah

1. Analisis Statistik Non Parametrik


Analisis statitstik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji non
parametrik untuk menguji hipotesis. Pada dasarnya uji non parametrik memiliki
persyaratan yang lebih longgar, dimana data tidak harus terdistribusi normal.Oleh
karena itu uji ini sering disebut uji bebas distribusi. Adapun dalam penelitian ini
digunakan uji Wilcoxon yang dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian
tentang assertive training untuk mereduksi kecenderungan perilaku seks bebas di
SMP Negeri 33 Makassar. Uji Wilcoxon menggunakan SPSS 16,00. Tingkat
signifikan yang digunakan 0,05 dengan kriteria adalah tolak H0 jika nilai Asymp.
Sig dan diterima H0 jika nilai Asymp. Sig > (Sugiyono, 2015).

Anda mungkin juga menyukai