I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar orang-orang primitif selama berabad-abad mengenal masa
puber sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan setiap orang. Mereka
sudah terbiasa mengamati berbagai macam upacara sehubungan dengan kenyataan
bahwa dengan terjadinya perubahan-perubahan tubuh, anak yang melangkah dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Setelah berhasil melampaui ujian-ujian yang
merupakan bagian penting dari semua upacara pubertas, anak laki-laki dan anak
perempuan memperoleh hak dan keistimewaan sebagai orang dewasa yang
diharap memikul tanggung jawab yang mengiringgi orang dewasa.
Pubertas adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak
berubah dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual. Seperti yang di
terangkan oleh Root (Hurclock), Masa puber adalah suatu tahap dalam
perkembangan di mana terjadi kematangan alat-alat seksual dan tercapai
kemampuan reproduksi. Tahap ini di sertai dengan perubahan-perubahan dalam
pertumbuhan somatis dan perspektif psikologis
Hal ini didukung oleh pendapat Hurclock, (tahun berapa) edisi kelima
pubertas merupakan suatu periode di mana kematangan fisik berlangsung pesat,
yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh yang terutama berlangsung di
masa remaja awal. Perubahan yang berlangsung di masa pubertas merupakan
suatu peristiwa yang membingungkan bagi remaja, meskipun perubahanperubahan ini menimbulkan keragu-raguan, ketakutan, dan kecemasan terus-
menerus. Pubertas tidak sama dengan remaja. Bagi sebagian besar di antara kita,
masa pubertas berakhir jauh sebelum masa remaja selesai. Meskipun demikian,
masa pubertas merupakan awal penting yang menandai masa remaja.
Masa remaja merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan
manusia, sebab masa remaja merupakan awal bagi perkembangan manusia itu
sendiri menuju kedewasaan, sebagian orang menganggap bahwa masa remaja
adalah masa yang penuh dengan kegembiraan, kebahagiaan, dan memberikan
kesan yang mendalam dalam perkembangan hidup setiap manusia. Santrock
(2002: 23) berpendapat bahwa masa remaja ialah periode perkembangan transisi
dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira
10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja
bermula dengan perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat badan yang
dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti
pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara.
Hal ini didukung oleh Piaget (Ali & Asrori, 2004: 9) berpendapat bahwa masa
remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam
masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak merasa bahwa dirinya berada
dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak
sejajar. Remaja mengalami perkembangan begitu pesat, baik secara fisik maupun
psikologi. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organorgan
tubuh
termasuk
organ
reproduksi.
Sedangkan
secara
psikologis
tingkatan orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat
(dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan
masa puber.
Remaja adalah individu yang emosinya rentan tidak terkontrol oleh
pengendalian diri yang benar. Masalah keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang
minim, dan ajakan teman teman yang bergaul secara bebas membuat makin
berkurangnya potensi generasi muda dalam kemajuan bangsa. Pergaulan bebas itu
adalah melewati batas batas norma ketimuran yang ada. Masalah pergaulan
bebas ini sering kita dengar baik di lingkungan maupun di media masa (Rahmat,
2010).
Para remaja memiliki rasa ingin tahu yang tidak habis-habis nya mengenai
misteri seks. Mereka bertanya-tanya, apakah mereka memiliki daya tarik seksual,
bagaimana cara nya berperilaku seksi, dan bagaimana kehidupan seksual mereka
di masa depan. Banyak hal yang kita dengar mengenai seksualitasremaja
melibatkan masalah, seperti kehamilan remaja dan infeksi yang di tularkan secara
seksual. Meskipun masalah-masalah ini cukup merisaukan, kita perlu melihat
kenyataan bahwa seksualitas merupakan suatu bagian normal dari kehidupan
remaja (Nicholas & Good, 2004; Senanayake & Faulkner, 2003).
Waktu kapan remaja mulai melakukan hubungan seksual yang pertama kali
bervariasi antarbudaya dan gender. Data demografi menunjukkan bahwa remaja
adalah populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (2006) sekitar
seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 900
juta berada didaerah atau Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Jumlah remaja di Indonesia yang berusia 10-19 tahun mencapai 65 juta orang atau
30% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 238.452.952 jiwa (CIA World
Factbook, 2007).
Sekitar 15-20% dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan
hubungan seksual diluar nikah, 15 juta remaja perempuan usia 15 19 tahun
melahirkan setiap tahunnya. Pada bulan Juni 2006 telah tercatat 6332 kasus AIDS
dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8% dari kasus kasus baru
yang terlaporkan berasal dari usia 15-19 tahun. Diperkirakan 270.000 pekerja seks
komersial (perempuan) di Indonesia, dimana lebih dari 60% adalah berusia
dibawah 24 tahun, 30% berusia 15 tahun atau kurang (CIA World Factbook,
2007).
Setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia dimana 20%
diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh remaja. Tahukah kita bahwa tidak
kurang dari 6% remaja usia 10-14 tahun tidak mendapatkan haknya untuk
bersekolah dan terpaksa bekerja untuk kelanjutan hidup mereka (CIA World
Factbook, 2007).
Menurut WHO (2011) memperkirakan ada 20 juta kejadian aborsi tidak aman
di dunia, 9,5 % (19 dari 20 juta tindakan aborsi tidak aman) diantaranya terjadi di
negara berkembang. Sekitar 13 % dari total perempuan yang melakukan aborsi
tidak aman berakhir dengan kematian. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak
aman di wilayah Asia diperkirakan 1 berbanding 3700 dibanding dengan aborsi.
Diwilayah Asia Tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap
tahun, dan sekitar 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia, dimana 2.500 di
antaranya berakhir dengan kematian.
Menurut Kusmaryanto (2007) tiap tahun jumlah wanita yang melakukan
aborsi sebanyak 2,5 juta. seminar yang diadakan tanggal 6 Agustus 2001 di
Jakarta Utomo, B, melaporkan hasil penelitian yang dilakukan di 10 kota besar
tidak
mampu
mempertahankan
hak-haknya,
terlalu
lemah,
b. Bagi peneliti, menjadi bahan acuan atau referensi untuk mengkaji lebih dalam
sejauh mana penerapan teknik assertif training dalam meningkatkan
kesadaran siswa tentang dampak negatif perilaku pacaran.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru pembimbing, diharapkan menjadi masukan dalam menghadapi
permasalahan siswa terutama dalam mengubah perilaku siswa kearah yang
lebih positif.
b. Bagi siswa, sebagai informasi untuk membantu dirinya dalam mengatasi
masalah yang dihadapi.
c. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran atau
rujukan kedepannya jika sudah terjun kelapangan sebagai seorang
pembimbing.
A. Kajian Pustaka
1. Perilaku Seks Bebas
a. Pengertian Seks Bebas
Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perilaku
itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan
lingkungannya. Dilihat dari sifatnya, perbedaan perilaku manusia itu disebabkan
karena kemampuan, kebutuhan, cara berfikir untuk menentukan pilihan perilaku,
pengalaman dan reaksi efektifnya berbeda satu sama lain. Proses perilaku terjadi
karena proses psikologis yang bersifat objektif, nampak dan dapat dijelaskan
dalam proses belajar (Rahmawati, 2009: 13).
Perilaku menurut kamus bahasa Indonesia (El-Hakim, 2014) merupakan
reaksi seorang yang muncul dalam gerakan atau sikap (gerakan badan atau
ucapan). Perilaku dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu perilaku dalam arti
luas yaitu suatu yang dialami oleh seseorang, dan perilaku dalam pengertian
sempit adalah segala sesuatu yang mencakup reaksi yang dapat diminati.
Pengertian seks bebas menurut Kartono (2006 : 224) seks bebas
merupakan aktivitas dari cinta bebas atau free love. Kemudian menurut Wilis
(2005 : 73) menegaskan bahwa seks bebas yaitu melakukan hubungan seks
dengan siapa saja tanpa pernikahan, asal suka sama suka.
Sedangkan menurut Desmita (2005) pengertian seks bebas adalah segala
cara mengekspresikan dan melepaskan dorongan seksual yang berasal dari
kematangan organ seksual, seperti berkencan intim, bercumbu, sampai
melakukaan kontak seksual, tetapi perilaku tersebut di nilai tidak sesuai dengan
norma karena remaja belum memiliki pengalaman tentang seksual.
Perilaku seks bebas saat ini adalah masalah yang dialami remaja indonesia.
Karena remaja sekarang begitu mudah mengiyakan ajakan lawan jenis untuk
melakukan hubungan seks sebelum menikah dengan alasan karena suka sama
suka dan saling mencintai satu sama lain. Remaja tidak pernah berfikir kerugian
apa yang akan di terima nya jika melakukan seksual di luar pernikahan.
Kebanyakan remaja menginginkan hubungan seks karena remaja sekarang dalam
menjalani hubungan (berpacaran) sangat berani, misalnya berpegangan tangan,
mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada di atas baju dan
lain-lain. Remaja biasa nya melakukan segala sesuatu tanpa berfikir sehingga
dapat membawa dampak buruk bagi diri nya maupun keluarga nya. Biasa nya
remaja memperlihatkan kemajuan yang konsisen dalam perilaku seksual nya.
Dalam sebuah studi, 452 remaja yang berusia 18 hingga 25 tahun di tanyai
mengenai pengalaman seksual mereka di masa lalu (Feldman, Turner, & Araujo,
1999). Di temukan terdapat kemajuan dalam perilaku seksual mereka. Ciuman
mendahului bercumbu-cumbuan, yang mendahului hubungan seksual dan seks
oral. Bagi sebagian besar remaja, hubungan seksual yang pertama terjadi sekitar
masa remaja menengah hingga akhir, sekitar 8 tahun sebelum mereka menikah.
Lebih dari setengah di antara remaja yang berusia 17 tahun pernah melakukan
hubungan seksual.
Sebagian besar studi menemukan bahwa remaja laki-laki yang pernah
melakukan hubungan seksual dan secara seksual aktif, lebih banyak di banding
kan jumlah remaja perempuan (Felman, Turner, Araujo, 1999; Hayes, 1987). Di
bandingkan para remaja perempuan, para remaja laki-laki juga lebih cenderung
menyatakan hubungan seksual mereka sebagai pengalaman yang menyenangkan.
Presentase para remaja muda yang secara seksual aktif cenderung bervariasi
apabila di tinjau dari segi lokasi, di mana remaja pusat kota memperlihatkan
kecenderungan yang lebih tinggi. Di Baltimore, 81 persen remaja laki-laki berusia
14 tahun menyatakan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual. Survei
lain yang di lakukan di pusat kota menentukan bahwa jumlah remaja yang berasal
dari sosial-ekonomi rendah yang melakukan seksual di usia dini juga tergolong
tinggi (Clark, Zabin, & Hardy, 1984).
b. Faktor Penyebab Seks Bebas
Banyak faktor yang melatarbelakangi maraknya seks bebas dikalangan
remaja sekarang, menurut Sarwono (2010:188) menyatakan bahwa faktor
penyebab seks bebas adalah Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan
di jadikan sebagai kedok atau topeng untuk mengelabuhi orang lain (pacar),
sehingga tak heran, kemungkinan besar orang tersebut dapat melakukan hubungan
seksual pranikah. Selanjutnya ialah faktor kematangan biologis. Dapat di ketahui
bahwa masa remaja di tandai dengan ada nyakematangan biologis. Dengan
kematangan biologis, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi
sebagai mana layak nya orang dewasa lain nya, sebab fungsi organ seksual telah
bekerja secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan
mudah terpengaruhi oleh stimulus yang merangsag gairah seksual nya, misalnya,
dengan melihat film porno, cerita cabul. Cenderung berakibat negatif, yakni
terjadi nya hubungan seksual pranikah di masa pacaran remaja. Sebaliknya,
kematangan biologis, di sertai dengan kamampuan pengendalian diri akan
membawa kabahagiaan remaja di masa depan nya, sebab ia akan tidak akan
melakukan hubunga seksual pranikah.
Warianto (2011) mengemukakan pendapat nya tentang faktor penyebab
remaja melakukan seks bebas yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Orang tua
Kurang nya bimbingan dan pengawasan orang tua sudah pasti akan
membuat anak menjadi liar, orang tua yangterlalu percaya kepadaanak
tanpa mengetahui aktivitas yang di lakukan oleh anak-anak nya
merupakan tindakan yang salah yang berakibat fatal bagi si anak sendiri.
Bahkan bukan tidak mungkin sebenar nya orang tua sendiri yang
menjerumuskan anak nya, sebagai contoh misal nya, orang tua merasa
malu kalau anak nya yang sudah SMA ataupun sudah remaj belum punya
pacar, pasti akan di tanya, akhir nya si anak cari pacar, awal nya mungkin
bisa saja, ke toko buku, atau sesekali ke cafe. Lalu pelan-pelan naik
pangkat lagi, dan meningkat ke lain nya. Orang tua yang terlalu otoriter
kemudian, segi-segi psikis dari seks itu lalu bersifat artifisial, bukan alami
lagi, sebab semakin banyak terdapat sti-muli/perangsang seks dalam
masyarakat modern sekarang. Misalnya berupa film-film biru, gambargambar dan majalah porno, pertunjukan seks, dan lain-lain perangsang
yang sangat kasar. Sehingga muncul perbuatan seks yang sangat di tolak
oleh masyarakat, umpama dalam bentuk pemerkosaan, ekshibisionisme
sosial, promiskuitas terbuka, dan lain-lain. Karena itu perlu di adakan
sanksi dan kontrol sosial terhadap kehidupan seks, demi menjamin
ketentraman dan ketertiban hidup.
2. Seks itu merembesi setiap fase kehidupan. Karena itu kebebasan seks
harus dapat di ekspresikan dengan bebas penuh, untuk memperkaya
kepribadian. Maka, setiap restriksi atau pembatasan terhadap kegiatan seks
itu pasti akan menghambat pembentukan keepribadian.
3. Tabu-tabu seks bebas itu merupakan produk dari dogmatisme religius,
yang menganggap seks sebagai sumber dosa sumber kenikmatan. Lalu
orang membuat macam-macam resriksi terhadap aktivitas seks. Dengan
sendiri nya hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan ilmiah
di bidang fisiologi, psikologi, dan sosiologi.
4. Kegiatan seks itu adalah masalah privat, menyangkut diri pribadi dangan
partner nya. Maka masyarakat itu sama sekali tidak berhak mencampuri
urusan ini. Para penganjur seks bebas menolak dengan sangat prinsip
kontrol sosial terhadap aktivitas seks. Tidak perlu lah segala restriksi dan
regulasi terhadap impuls-impuls seks. Karena impuls seks itu sama bobot
dan nilai nya dengan impuls-impuls vital lainnya.
5. Perkawinan dan semua undang-undang perkawinan-perceraian itu Cuma
mengakibatkan
kompulsi-kompulsi/paksaan
psikologis,
yang
sehat dan faktor agama selain itu juga faktor dari guru dan konselor sekolah
sangat membantu sekali.
mempunyai
kesulitan-kesulitan
perasaan
sesuai
atau
tepat
untuk
instruksi, seperti
yang
mengalami
kecemasan,
tidak
mampu
Menurut Corey (1990: 429), assertive training akan membantu bagi orangorang yang:
1) Mereka yang tidak mampu menungkapkan rasa amarah
atau terganggu.
2) Mereka yang sulit untuk mengatakan tidak.
3) Mereka yang terlalu sopan dan membiarkan orang lain
memanfaatkannya.
4) Mereka yang sulit mengungkapkan mengungkapkan rasa
kasih dan respons-respons positif yang lain.
5) Mereka yang merasa bahwa mereka tidak ada hak untuk
mengungkapkan pendapat, apa yang mereka percayai, dan
apa yang mereka rasakan.
Teknik assertive training dapat menuntut individu untuk jujur terhadap
dirinya dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pendapat dan kebutuhan
secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan
ataupun merugikan pihak lain. Sehingga pada akhirnya dapat mengekspresikan
kemampuannya dalam bertingkah laku atau dalam mengungkapkan pendapat
masalahnya kepada konselor.
Perilaku assertive training membuat seseorang merasa bertanggung jawab
dan konsekuen untuk melaksanakan keputusannya sendiri. Dalam hal ini, ia bebas
untuk mengemukakan berbagai keinginan, pendapat, gagasan dan perasaan secara
terbuka sambil tetap memperhatikan perasaan orang lain.
c. Tujuan Teknik Assertive Training
Larzarus (Nursalim, 2013) mengemukakan bahwa tujuan latihan asertif
adalah untuk mengoreksi perilaku yang tidak layak dengan cara mengubah
respons-respons emosional yang salah dan mengeleminasi pemikiran irasional.
Sedangkan Joyce dan Weil (Nursalim, 2013: 143) berpendapat bahwa:
1) Mengembangkan ekspresi perasaan baik yang positif maupun
yang negatif.
2) Mengekspresikan perasaan-perasaan kontradiktif.
3) Mengembangkan perilaku atas dasar prakarsa sendiri.
teknik
assertive
(http://irvanhavefun.blogspot.com)
training
memaparkan
juga
demikian.
tentang
Prabowo
kelebihan
dan
Berdua-duaan
Berpegangan tangan
Berciuman
Melakukan hubungan seksual
O1 X O2
Gambar 3. 1. Model Rancangan Penelitian
Keterangan :
O1 = Nilai pengukuran Pretest (sebelum diberi perlakukan)
X
O2
pretest, perlakuan berupa teknik assertive training dan posttest sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi siswa SMP Negeri 33 Makassar yang terindikasi mengalami
kecenderungan perilaku seks bebas.
2. Pelaksanaan pretest terhadap subjek penelitian berupa pemberian anget
penelitian yang berisi daftar pertanyaan tentang kecenderungan perilaku seks
adalah
melakukan wawancara dengan guru mata pelajaran, wali kelas, dan ketua kelas.
Dari hasil wawancara tersebut untuk mengecek keberadaannya, peneliti
melakukan observasi langsung. Dari hasil observasi langsung tersebut, peneliti
mendapatkan informasi tentang kelas-kelas dan siswa yang yang teridentifikasi
memiliki kecenderungan perilaku seks bebas. Dari observasi tersebut, peneliti
mendapatkan jumlah populasi sebanyak 97 populasi penelitian.
Adapun penyebaran populasinya digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.3 Penyebaran Populasi
No
Kelas
1
2
3
4
5
6
7
8
VIII-A
VIII-B
VIII-C
VIII-D
VIII-E
VIII-F
VIII-G
VIII-H
Jumlah
Siswa
25
25
25
25
25
25
25
25
Populasi
5
7
5
6
9
4
3
8
TOTAL
Sumber : SMP Negeri 33 Makassar.
200
47
2. Sampel
Sugiyono (2015: 118) mengemukakan bahwa sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Penarikan sampel
ini dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah siswa yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan teknik permainan dalam konseling kelompok.
Untuk menentukan ukuran sampel, peneliti mengacu pada ukuran jumlah
anggota kelompok pada konseling kelompok karena dalam pelaksanaan treatment
peneliti menggunakan sistem konseling kelompok. Sukardi (2010) menjelaskan
bahwa ukuran kelompok yang ideal adalah sekitar 7-15 orang. Oleh karena itu,
peneliti menetapkan ukuran sampel dalam penelitian ini sebanyak 10 orang untuk
memudahkan peneliti dalam pelaksanaan treatment. Selanjutnya, dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel ini menggunakan teknik
simple random sampling.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data sangat dibutuhkan dalam penelitian, sebab dapat
menentukan keberhasilan suatu penelitian. Kualitas data ditentukan oleh kualitas
alat pengumpulan data yang cukup valid
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Angket Kecenderungan Perilaku Negatif Pacaran
Angket adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberikan seperangkat pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.
Kuesioner diberikan kepada subjek eksperimen untuk memperoleh gambaran
tentang perilaku negatif pacaran yang dialami oleh siswa baik sebelum (pretest)
Kategori
Favourabl
Unfavourable
e
5
1
4
nm
N
Nm
P
Analisis individu
nm
N
Analisis Kelompok
Nm
P
x 100%
(Abimanyu, 1983: 26)
x 100%
Dimana :
: Jumlah item yang tercek dari satu siswa
: Jumlah item yang terobservasi
: Jumlah cek pada item aspek tertentu yang tercek dari seluruh siswa
: Jumlah Siswa
Kriteria untuk penentuan hasil observasi dibuat berdasarkan hasil analisis
persentase Individu dan kelompok yaitu nilai tertinggi 100 % dan terendah 0%
sehingga diperoleh kriteria sebagai berikut:
Tabel 3.6. kriteria penentuan hasil observasi
Persentase
Kategori
80%-100%
Sangat Tinggi
60%-79%
Tinggi
40%-59%
Sedang
20%-39%
Rendah
0%-19%
Sangat Rendah
data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis statistik nonparametrik
dengan menggunakan uji wilcoxon.
1.
deskriptif
dimaksudkan
untuk
memperoleh
gambaran
P =
Dimana:
P
=
f
=
N
=
f
100%
N
Persentase
frekuensi yang dicari persentasenya
Jumlah subyek (sampel)
Xi
n
Di mana:
Me
Xi
N
: Mean (rata-rata)
: Nilai X ke i sampai ke n
: Banyaknya subjek
teknik assertive training dilakukan dengan mengetahui skor ideal tertinggi 200
(40 x 5 = 200) kemudian dikurangkan dengan skor ideal terendah yaitu 40 (40 x 1
= 40), selanjutnya dibagi 5 kelas interval sehingga diperoleh interval kelas 32.
Adapun kategori perilaku seks bebas yaitu :
Tabel 3.7. Kategori Tingkat Perilaku Seks Bebas
Interval
168-200
136-167
104-135
72-103
40-71
Sumber: Hasil perhitungan skor angket
Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah