Abstraksi
Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22 tahun 1957
tidak mengakomodir seluruh permasaahan perburuhan. Kemudian diganti dengan UU
No. 2 tahun 2002 cukup mengakomodir permasalahan yang ada. Banyak perubahan
aturan didalam UU No. 2 tahun 2004 baik dari segi subjek, objek maupun mekanisme
penyelesaiannya termasuk didalamnya mengenai biaya perkara. Secara keseluruhan
dengan segala aturan dan strategi, UU No. 2 tahun 2004 mengandung Azas cepat,
sederhana dan biaya ringan.
Pendahuluan
Sebelum terbitnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI), permasalahan perburuhan diatur dalam UU No. 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Didalam UU No. 22 Tahun 1957
menjelaskan Perselisihan Perburuhan adalah pertentangan antara majikan/ gabungan
majikan dengan serikat buruh/ gabungan serikat buruh, yang dikarenakan tidak ada
persesuaian paham dalam hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/ atau keadaan
perburuhan. Dari pengertian tersebut maka subyek hukumnya hanya antara
majikan/gabungan majikan dan serikat buruh/ gabungan serikat buruh. Sementara
didalam praktiknya, perselisihan antara perseorangan dengan perusahaan juga sering
terjadi.
Bila kita mengacu pengertian perselisihan perburuhan yang termaktub
diperaturan diatas maka perselisihan perseorangan dengan perusahaan tidak
terakomodir dalam pengertian tersebut, sehingga pada saat itu solusi penyelesaiannya
agar hak-hak seorang buruh dapat diakomodir/ dilindungi adalah seorang buruh harus
menunjuk serikat pekerja untuk mewakilinya. Setelah itu masih harus melewati proses
Bipartit kemudian ke Pegawai Perantara terus dilanjutkan ke P4D selanjutnya baru P4P,
hal mana bila dilakukan Banding Administrasi masih ke PT TUN dan kasasi ke MA. Dari
uraian tersebut dapat dirasakan betapa susah dan peliknya penyelesaian perselisihan
perburuhan pada saat itu, karena harus banyak melewati pintu dan prosedur dalam
memperjuangkan hak-haknya yang berbelit-belit sehingga dirasakan betapa berat
perjuangan para pekerja. Bahkan apabila ingin Fiat Executie (Pelaksanaan Putusan)
maka masih dimohonkan ke Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam SEMA No. 1
Tahun 1980 dan Kep. MA No. 592 Tahun 1973yang menegaskan bahwa kewenangan
Pengadilan Negeri terhadap putusan P4D/P4P diantaranya adalah Pengadilan hanya
menyetujui atau menolak Fiat Executie. Selain itu juga, Menteri Perburuhan memiliki hak
veto yakni hak untuk membatalkan atau menunda pelaksanaan Putusan Panitia Pusat.
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel
Jika dalam waktu 7 hari kerja para pihak tidak menetapkan pilihan maka
ditempuh melalui Mediasi, kecuali Perselisihan Hak dilakukan dengan Mediasi.
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel
Dilakukan atas kesepakatan para pihak dibuat rangkap tiga dengan surat
perjanjian yang memuat:
o Nama lengkap, alamat tempat kedudukan para pihak;
o Pokok persoalan;
o Jumlah arbiter yang disepakati;
o Pernyataan untuk tunduk menjalankan putusan;
o Tempat tanggal surat perjanjian dan tandatangan para pihak.
Memilih arbiter yang berwenang yang telah ditetapkan oleh menteri. Arbiter yang
ditunjuk bisa tunggal atau majelis (ganjil) dan selambatnya 7 (tujuh) hari para
pihak harus sudah mencapai kesepakatan nama arbiter yang dimaksud (Pasal
33 ayat 2);
Penunjukan arbiter dilakukan secara tertulis yaitu dituangkan dalam perjanjian
penunjukan arbiter memuat : nama lengkap dan alamat para pihak dan arbiter,
pokok persoalan, biaya dan honorarium arbiter, pernyataan untuk tunduk pada
putusan arbiter, tempat tanggal perjanjian dibuat, pernyataan arbiter dan para
pihak untuk tidak melampaui wewenang.
Pemeriksaan harus dimulai 3 hari setelah penandatanganan penunjukan arbiter;
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan selambatnya 30 hari sejak surat
penunjukan arbiter;
Berdasarkan kesepakatan para pihak arbiter berwenang memperpanjang
penyelesaian satu kali selambatnya 14 hari kerja (pasal 40 ayat 3 UU PPHI);
Pemeriksaan secara tertutup kecuali para pihak menghendaki lain (pasal 41 UU
PPHI) dan sidang arbitrase para pihak dapat diwakili kuasanya (dengan Surat
Kuasa Khusus) pasal 42 UU PPHI;
Proses sidang Arbitrase:
o Proses pemanggilan patut pada para pihak jika tidak hadir walaupun telah
dipanggil secara patut arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter dianggap selesai;
o Jika salah satu pihak hadir sidang pertama selanjutnya tidak hadir arbiter
dapat memeriksa tanpa kehadiran salah satu pihak;
o Persidangan selalu diawali dengan upaya perdamaian;
o Jika tercapai arbiter wajib membuat akta perdamaian yang didaftarkan di
Pengadilan hubungan industrial;
o Jika upaya perdamaian gagal arbiter meneruskan pemeriksaan;
o Dalam pemeriksaan para pihak berhak menjelaskan pendirian masingmasing dengan megajukan bukti yang dianggap perlu baik lisan maupun
tertulis;
o Arbiter berhak meminta keterangan tambahan dalam jangka waktu yang
ditentukan;
o Sebelum bersaksi dilakukan sumpah;
o Barang siapa dimintai keterangan arbiter wajib memberikan keterangan dan
Arbiter wajib menjaga rahasia;
o Semua acara pemeriksaan dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau
majelis arbiter;
o Putusan arbiter ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundangan, perjanjian,
kebiasaan, keadilan, kepentingan umum.
Putusan arbitrase bersifat final dan tetap sebagaimana termaktub dalam Pasal 51
ayat (1) UU PPHI. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pihak yang memiliki
kewajiban, maka pihak lain yang memiliki hak dapat mengajukan permohonan fiat
eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri meliputi
tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan tanpa mengajukan
gugatan kembali. Fiat eksekusi adalah permohonan pelaksanaan eksekusi, yakni dengan
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel
GUGATAN
Acara cepat
PHI*
diuraikan diatas, sehingga tidak bisa mengulur-ulur waktu seperti di Peradilan Umum.
Lisensi beracara seorang penerima kuasa (seperti Advokat) dalam hal ini tidak menjadi
syarat wajib bagi Para Pihak yang mewakilkan penyelesaian sengketa ini kepada orang
lain (kuasanya) karena hanya mensyaratkan bahwa perwakilan tersebut ditunjuk dan
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel
mewakili Serikat Pekerja, tidak dipungut biaya perkara sepanjang nilai gugatan tidak
melebihi Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Jurus atau Strategi Menghindari Biaya Perkara
Terkait biaya perkara dalam perselisihan hubungan Industrial, biaya perkara
dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial berbeda dengan beracara di
Peradilan Umum yaitu harus mengeluarkan biaya kecuali permohonan prodeo.
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 58 UU PPHI, bahwa dalam proses beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara Tidak Dikenakan Biaya
termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah). Sehingga hal ini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa beracara di PHI
tidak dikenakan biaya apabila nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000,-(serataus lima
puluh juta rupiah). Maka lebih dari batas itu wajib membayar. Namun dalam tataran
praktik tidak selalu demikian, yang terjadi adalah aturan dibuat untuk disimpangi, hal
tersebut dapat dilihat meskipun nilai gugatan lebih dari Rp. 150.000.000,-(serataus lima
puluh juta rupiah) tetapi masih bisa beracara tanpa dikenakan biaya/ free.
Cara yang biasa digunakan para pihak bersengketa adalah dengan cara
membagi-bagi nilai gugatan. Sebagai contoh, ketika nilai gugatan seluruhnya
1 milyar, seharusnya dikenakan biaya perkara, dengan cara membagi kepada 10 orang/
kelompok masing-masing mengajukan sendiri maka nilai gugatan menjadi Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah). Sehingga nilai tersebut masih dibawah Rp.
150.000.000,-(serataus lima puluh juta rupiah). Dengan nilai gugatan dibawah Rp.
150.000.000,- (serataus lima puluh juta rupiah) maka terbebaslah dari biaya perkara.
Meski cara ini terkesan licik, namun dalam tataran praktek tersebut manjur dan tidak
menjadi permasalahan.
Dikaji secara hukum, cara tersebut tidak ada aturan perintah maupun larangan
dalam UU No. 2 Tahun 2004, tidak ada klausul pasal pun melarang atau mengaturnya.
Disini penulis memandang hal tersebut disatu sisi menjadi kelemahan daripada UU
tesebut, namun disisi lain hal tersebut merupakan jurus jitu untuk menghindar dari biaya
perkara.
Secara menyeluruh, penulis berpendapat bahwa UU No.2 Tahun 2004 ini
merupakan UU yang dapat dikatakan mengakomodir :asas cepat, sederhana dan biaya
ringan, bagaimana tidak, waktu yang dibutuhkan untuk bersidang telah ditentukan
secara limitative, biaya ringan, pembuktian dalam persidangan di PHI adalah sederhana,
sehingga tidak perlu berlarut-larut mengingat waktu yang terbatas.
Kesimpulan
Bahwa dengan lahirnya dan diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI,
menghapus proses/mekanisme yang dianut sebelumnya yakni P4D/P4P, Hak Veto
Menteri Perburuhan.
Bahwa hukum acara yang digunakan dalam Persidangan di Pengadilan Hubungan
Industrial adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum kecuali diatur lain
seperti lisensi beracara para pihak, waktu, biaya maupun proses pra persidangan
merupakan specialis acara dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial;
Bahwa dalam tataran praktek, masalah biaya perkara yang nilai gugatannya diatas
Rp. 150.000.000,- dapat beracara tanpa dikenakan biaya, dengan cara membagibagi pada masing-masing person dalam mengajukan gugatannya agar nilai gugatan
diupayakan dibawah ketentuan yakni Rp. 150.000.000,-
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel