Anda di halaman 1dari 7

Pusat Pendidikan dan Latihan ( Pusdiklat )

Laboratorium Fakultas Hukum


Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 ( 129 )

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1
Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

Abstraksi
Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22 tahun 1957
tidak mengakomodir seluruh permasaahan perburuhan. Kemudian diganti dengan UU
No. 2 tahun 2002 cukup mengakomodir permasalahan yang ada. Banyak perubahan
aturan didalam UU No. 2 tahun 2004 baik dari segi subjek, objek maupun mekanisme
penyelesaiannya termasuk didalamnya mengenai biaya perkara. Secara keseluruhan
dengan segala aturan dan strategi, UU No. 2 tahun 2004 mengandung Azas cepat,
sederhana dan biaya ringan.
Pendahuluan
Sebelum terbitnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI), permasalahan perburuhan diatur dalam UU No. 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Didalam UU No. 22 Tahun 1957
menjelaskan Perselisihan Perburuhan adalah pertentangan antara majikan/ gabungan
majikan dengan serikat buruh/ gabungan serikat buruh, yang dikarenakan tidak ada
persesuaian paham dalam hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/ atau keadaan
perburuhan. Dari pengertian tersebut maka subyek hukumnya hanya antara
majikan/gabungan majikan dan serikat buruh/ gabungan serikat buruh. Sementara
didalam praktiknya, perselisihan antara perseorangan dengan perusahaan juga sering
terjadi.
Bila kita mengacu pengertian perselisihan perburuhan yang termaktub
diperaturan diatas maka perselisihan perseorangan dengan perusahaan tidak
terakomodir dalam pengertian tersebut, sehingga pada saat itu solusi penyelesaiannya
agar hak-hak seorang buruh dapat diakomodir/ dilindungi adalah seorang buruh harus
menunjuk serikat pekerja untuk mewakilinya. Setelah itu masih harus melewati proses
Bipartit kemudian ke Pegawai Perantara terus dilanjutkan ke P4D selanjutnya baru P4P,
hal mana bila dilakukan Banding Administrasi masih ke PT TUN dan kasasi ke MA. Dari
uraian tersebut dapat dirasakan betapa susah dan peliknya penyelesaian perselisihan
perburuhan pada saat itu, karena harus banyak melewati pintu dan prosedur dalam
memperjuangkan hak-haknya yang berbelit-belit sehingga dirasakan betapa berat
perjuangan para pekerja. Bahkan apabila ingin Fiat Executie (Pelaksanaan Putusan)
maka masih dimohonkan ke Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam SEMA No. 1
Tahun 1980 dan Kep. MA No. 592 Tahun 1973yang menegaskan bahwa kewenangan
Pengadilan Negeri terhadap putusan P4D/P4P diantaranya adalah Pengadilan hanya
menyetujui atau menolak Fiat Executie. Selain itu juga, Menteri Perburuhan memiliki hak
veto yakni hak untuk membatalkan atau menunda pelaksanaan Putusan Panitia Pusat.

Sumber UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI

Penulis adalah Alumni FH UII

Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel

Pusat Pendidikan dan Latihan ( Pusdiklat )


Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 ( 129 )

Dari uraian diatas, ada beberapa kelemahan pengaturan Penyelesaian


Perburuhan antara lain yakni Fiat Executie harus Ke Pengadilan Negeri, Masih dibawah
Depnaker (Pemerintah), adanya hak veto Menteri Perburuhan, sehingga itu semua masih
ada intervensi dari pihak pemerintah. Walaupun terkait biaya berperkara saat itu
ditanggung oleh Negara.
Dari kelemahan-kelemahan tersebut, maka UU No. 22 Tahun 1957 tidak lagi
berlaku, setelah diundangkannya Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Perselisihan hubungan industrial
menurut UU No. 2 Tahun 2004 adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau
serikat pekerja/ buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan perselisihan antar
serikat pekerja/ serikat dalam satu perusahaan.
Jika dibandingkan antara pengertian perselisihan perburuhan dalam UU No. 2
Tahun 2004 dengan UU No. 22 Tahun 1957, dilihat dari sisi Subyeknya, UU No. 2 Tahun
2004 telah mencakup dan mengakui perseorangan sebagai subyek hukum dalam
perselisihan hubungan industrial, sehingga tidak lagi memberikan atau menunjuk Serikat
Pekerja. Dilihat obyeknya, UU No. 2 Tahun 2004 telah mencakup 4 (empat) macam
perselisihan yakni Perselisihan Hak, Kepentingan, PHK dan antar serikat pekerja dalam
satu perusahaan. Dari sisi proses/ mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrialnya pun terdapat perubahan, dimana ada pembatasan waktu dan biaya perkara
yang dibebankan bagi Para pihak. Hal tersebut dilihat dari nilai gugatannya, apabila lebih
dari Rp. 150.000.000,- maka dikenakan biaya perkara, sehingga ada nilai gugatan
tertentu yang tidak lagi menjadi tanggungan Negara.
Berbeda dengan peraturan terdahulu sebagaimana telah diungkapkan diawal
bahwa biaya perkara menurut UU 22 Tahun 1957 menjadi kewajiban Negara
sepenuhnya. Kemudian timbul pertanyaan apakah masih mengenal P4D/P4P, apakah
biaya perkara menjadi tanggungan negara tanpa dibatasi akan nilai gugatannya?masih
adakah hak Veto dari pemerintah melalui Menteri? Oleh karena itu berdasarkan
pembanding tersebut maka tulisan ini akan menguraikan tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) menurut UU No.2 Tahun 2004 dan strategi
dalam menghindari biaya perkara dalam perselisihan hubungan industrial dan maksud
tulisan ini mencoba memaparkan guna untuk dipahami mengenai proses beracara dalam
perselisihan hubungan industrial.

Sarana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)


UU No. 2 Tahun 2004 telah mengubah mekanisme/ prosedur beracara maupun
sistemnya dari UU No. 22 Tahun 1957. Adapun perubahannya antara lain P4D/ P4P
tidak ada lagi karena dirasa tidak mencerminkan rasa keadilan. Dengan adanya
kepanitiaan Pusat/ P4P yang sebagian beasar anggotanya adalah dari P4D, sehingga
apabila di Daerah pihak buruh/ pekerja dikalahkan kemudian naik ke P4P kemungkinan
besar putusan akan menjadi sama sehingga dirasa tidak mencerminkan rasa keadilan.
Selain itu juga, dalam UU No. 2 Tahun 2004. Olehkarenanya lahirnya UU No. 2 Tahun
2004 merupakan perubahan yang positif dalam sistem peraturan perundang-undangan
kita, yang menghapus intervensi Pemerintah dalam bidang judikatif.
Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ada beberapa sarana
penyelesain perselisihan hubungan industrial, yakni sebagai berikut:
a. Di Luar Pengadilan (Non litigasi)
1. Bipartit, penyelesaian dilakukan oleh pihak pekerja/serikat pekerja dengan
pengusaha/gabungan pengusaha yang berselisih.

Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel

Pusat Pendidikan dan Latihan ( Pusdiklat )


Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 ( 129 )

2. Arbitrase, penyelesaian perselisihan yang disepakati secara tertulis oleh


para pihak dengan memilih arbiter tunggal atau mejelis arbiter dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh Menakertrans.
3. Konsiliasi, penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi seorang atau
lebih konsiliator (terdaftar diinstansi ketenagakerjaan kabupaten/kota) yang
netral yang dipilih atas kesepakatan para pihak.
4. Mediasi, penyelesaian perselisihan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral yang terdaftar di instansi
ketenagakerjaan.
b. Di Pengadilan (Litigasi) yakni Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam UU No tahun 2004, tidak semua obyek perselisihan dapat diselesaikan
melalui semua mekanisme Non Litigasi tersebut diatas atau tidak ada kebebasan memilih
mekanisme penyelsaian oleh para pihak. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI
telah mengaskan cara penyelesaian masing-masing perselisihan. Bahwa obyek
perselisihan masing-masing penyelesaian secara non litigasi berbeda, yaitu sebagai
berikut:
1. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat ARBITRASE hanya:
a. Perselisihan kepentingan;
b. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan.
2. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat KONSILIASI:
a. Perselisihan Kepentingan;
b. Perselisihan Hak;
c. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan.
3. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat MEDIASI:
a. Perselisihan Hak;
b. Perselisihan Kepentingan;
c. Perselisihan PHK;
d. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan.
Sehingga segala perselisihan industrial tidak begitu saja diselesaiakan dengan semua
sarana penyelesaian secara non litigasi, jadi dalam hal ini kita harus menganalisa
persoalan yang dihadapi tersebut terkualifikasi masuk dalam sengketa jenis apa agar
pilihan sarana penyelesaian sesuai dengan kewenanganya.
Prosedur penyelesaian perselisihan
Prosedur penyelesaian perselisihan yang harus dilalui adalah terlebih dahulu
menempuh upaya sebagaimana salah satu penyelesaian secara Non Litigasi. Jika tidak,
maka gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak akan diterima dan
dikembalikan kepada Penggugat, karena dalam pengajuan gugatan di PHI mensyaratkan
penyertaan risalah penyelesaian non litigasi tersebut. Adapun Prosedur PPHI Non
Litigasi adalah sebagai berikut:
1. Perundingan Bipartit:
- Perundingan bipartit paling lama 30 hari sejak dimulai perundingan;
- Jika sepakat dibuat Persetujuan Bersama;
- Jika gagal perundingan dianggap gagal maka salah satu pihak mencatatkan ke
Disnaker setempat (dengan melampirkan upaya perundingan yang dilakukan);
- Setelah Disnaker menerima pencatatan maka Disnaker menawarkan
penyelesaian melalui Konsiliasi, Mediasi, atau Arbitrase dengan mengingat
kewenangan terhadap bentuk perselisihan yang dapat diselesaikan melalaui
upaya tersebut, sebagaimana yang telah diterangkan diatas;

Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel

Pusat Pendidikan dan Latihan ( Pusdiklat )


Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 ( 129 )

Jika dalam waktu 7 hari kerja para pihak tidak menetapkan pilihan maka
ditempuh melalui Mediasi, kecuali Perselisihan Hak dilakukan dengan Mediasi.

2. Mediasi (Pasal 8 UUPPHI), (Kepmenakertrans No. 92/MEN/VI/2004) :


- Dalam waktu 7 hari setelah menerima penyelesaian, Mediator harus sudah
mengadakan penelitian duduk perkaranya dan mengadakan sidang mediasi
(Pasal 10 UU PPHI), Jika:
9 Tercapai kesepakatan: dibuat Perjanjian Bersama ditandatangani para pihak
disaksikan Mediator;
9 Tidak tercapai kesepakatan:
Mediator mengeluarkan anjuran tertulis (Pasal 13 ayat 2 huruf a).
Anjuran tertulis paling lambat 10 hari sejak sidang pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
Kemudian para pihak dalam waktu 10 hari harus memberikan jawaban.
Jika terlampaui dianggap menolak anjuran, Bila para pihak menolak
anjuran tertulis: para pihak dapat meneruskan perkara ke Pengadilan
Hubungan Industrial melalui Gugatan oleh salah satu pihak;
Jika menerima anjuran tertulis selambat-lambatnya 3 hari Mediator harus
sudah selesai menyusun Perjanjian bersama untuk didaftarkan ke
Pengadilan Hubungan Industrial dan mendapat Akta Bukti Pendaftaran
(dapat juga disertai Permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan
Industrial (Pasal 13 ayat 3 b)
- Penyelesaian melalui mediasi selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
pelimpahan.
3. Konsiliasi
- Para pihak mengajukan permintaan tertulis dan memilih konsiliator yang
terdaftar;
- Dalam waktu 7 hari konsiliator harus mengadakan penelitian duduk perkara dan
mengadakan sidang konsiliasi pertama (pasal 70 UUPPHI) dan Konsiliator dapat
memanggil ahli (pasal 21 ayat 1 UU PPHI);
9 Tercapai kesepakatan : dibuat Perjanjian Bersama didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mendapatkn akta bukti pendaftaran (pasal 23
ayat 1);
9 Tidak tercapai kesepakatan : (sama dengan prosedur dalam Mediasi)
o Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis, paling lambat 10 (sepuluh) hari
telah disampaikan ke para pihak;
o Para pihak harus sudah mengeluarkan jawaban selambatnya 10
(sepuluh) hari sejak menerima anjuran;
o Tidak menjawab berarti para pihak dianggap menolak. Jika para pihak
menolak anjuran tertulis maka Para pihak dapat melanjutkan ke
Pengadilan Hubungan Industrial dengan mengajukan gugatan oleh salah
satu pihak;
o Menyetujui anjuran tertulis, maka konsiliator selambatnya 3 hari sejak
anjuran tertulis disetujui, membantu para pihak menyusun Perjanjian
Bersama yang didaftarkan ke PPHI untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran;
- Konsiliator berhak mendapat honorarium dibebankan pada Negara (Pasal 28 UU
PPHI);
- Konsiliator menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
menerima permintaan penyelesaian
4. Arbitrase

Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel

Pusat Pendidikan dan Latihan ( Pusdiklat )


Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 ( 129 )

Dilakukan atas kesepakatan para pihak dibuat rangkap tiga dengan surat
perjanjian yang memuat:
o Nama lengkap, alamat tempat kedudukan para pihak;
o Pokok persoalan;
o Jumlah arbiter yang disepakati;
o Pernyataan untuk tunduk menjalankan putusan;
o Tempat tanggal surat perjanjian dan tandatangan para pihak.
Memilih arbiter yang berwenang yang telah ditetapkan oleh menteri. Arbiter yang
ditunjuk bisa tunggal atau majelis (ganjil) dan selambatnya 7 (tujuh) hari para
pihak harus sudah mencapai kesepakatan nama arbiter yang dimaksud (Pasal
33 ayat 2);
Penunjukan arbiter dilakukan secara tertulis yaitu dituangkan dalam perjanjian
penunjukan arbiter memuat : nama lengkap dan alamat para pihak dan arbiter,
pokok persoalan, biaya dan honorarium arbiter, pernyataan untuk tunduk pada
putusan arbiter, tempat tanggal perjanjian dibuat, pernyataan arbiter dan para
pihak untuk tidak melampaui wewenang.
Pemeriksaan harus dimulai 3 hari setelah penandatanganan penunjukan arbiter;
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan selambatnya 30 hari sejak surat
penunjukan arbiter;
Berdasarkan kesepakatan para pihak arbiter berwenang memperpanjang
penyelesaian satu kali selambatnya 14 hari kerja (pasal 40 ayat 3 UU PPHI);
Pemeriksaan secara tertutup kecuali para pihak menghendaki lain (pasal 41 UU
PPHI) dan sidang arbitrase para pihak dapat diwakili kuasanya (dengan Surat
Kuasa Khusus) pasal 42 UU PPHI;
Proses sidang Arbitrase:
o Proses pemanggilan patut pada para pihak jika tidak hadir walaupun telah
dipanggil secara patut arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter dianggap selesai;
o Jika salah satu pihak hadir sidang pertama selanjutnya tidak hadir arbiter
dapat memeriksa tanpa kehadiran salah satu pihak;
o Persidangan selalu diawali dengan upaya perdamaian;
o Jika tercapai arbiter wajib membuat akta perdamaian yang didaftarkan di
Pengadilan hubungan industrial;
o Jika upaya perdamaian gagal arbiter meneruskan pemeriksaan;
o Dalam pemeriksaan para pihak berhak menjelaskan pendirian masingmasing dengan megajukan bukti yang dianggap perlu baik lisan maupun
tertulis;
o Arbiter berhak meminta keterangan tambahan dalam jangka waktu yang
ditentukan;
o Sebelum bersaksi dilakukan sumpah;
o Barang siapa dimintai keterangan arbiter wajib memberikan keterangan dan
Arbiter wajib menjaga rahasia;
o Semua acara pemeriksaan dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau
majelis arbiter;
o Putusan arbiter ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundangan, perjanjian,
kebiasaan, keadilan, kepentingan umum.

Putusan arbitrase bersifat final dan tetap sebagaimana termaktub dalam Pasal 51
ayat (1) UU PPHI. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pihak yang memiliki
kewajiban, maka pihak lain yang memiliki hak dapat mengajukan permohonan fiat
eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri meliputi
tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan tanpa mengajukan
gugatan kembali. Fiat eksekusi adalah permohonan pelaksanaan eksekusi, yakni dengan

Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel

Pusat Pendidikan dan Latihan ( Pusdiklat )


Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 ( 129 )

mengajukan permohonan kepada Pengadilan agar supaya membantu untuk


terlaksananya putusan, sehingga eksekusi dapat berjalan sesuai prosedur hukum.
Selain itu juga dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), meskipun putusan
arbitrase bersifat final dan tetap, pembatalan Putusan arbitrase dimungkinkan untuk
dimohonkan pembatalan yakni dengan mengajukan permohonan ke MA selambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak ditetapkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan
diakui atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan;
4. Putusan melampaoi kekuasaan arbiter atau;
5. Putusan bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan.
Penyelesaian Perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan biaya
perkara.
Sebelum kita membahas satu persatu prosedur yang harus dilakukan, alangkah
bijaknya kita mengetahui dan memahami wewenang dan tugas Pengadilan Hubungan
Industrial. Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004, yang menjadi tugas
dan wewenang dari Pengadilan Hubungan Industrial adalah sebagai berikut:
a. Ditingkat pertama mengenai Perselisihan Hak dan Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja(PHK);
b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai Perselisihan Kepentingan dan
Perselisihan Antar SerikatDalam Suatu Perusahaan.
Sehingga dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa untuk huruf (a) masih
dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum yakni melakukan upaya kasasi.
Sedangkan, huruf (b) tidak lagi dilakukan upaya hukum, karena Pengadilan Hubungan
Industrial merupakan tingkat pertama dan terakhir. Bagan Prosedur Penyelesaian
Perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial sebagai berikut:
7
hari
setelah
permohonan
diterima,
KPN
mengeluarkan
penetapan ditolak atau
Acara Biasa
dikabulkan permohonan
Setelah 7 hari kerja dari penetapan Majelis Hakim,
tsb;
Ketua Majelis Hakim melakukan sidang I;
Bila dikabulkan, dalam
Jika dalam sidang I secara nyata pihak pengusaha
waktu 7 hari KPN tentukan
tidak melaksanakan kewajibannya membayar upah
Majelis, hari, tempat, dan
dan hak lainnya selama menunggu penyelesaian
waktu
sidang
tanpa
PHK, Hakim Ketua segera menjatuhakn Putusan sela
prosedur pemeriksaan;
agar Pengusaha melaksanakan kewajibannya
Tenggang waktu jawab
Keterangan: * Pengadilantersebut;
Hubungan Industrial
Putusan sela tsb tidak dapt diajukan perlawanan,
dan pembuktian masing2
Pada prinsipnyabila
acara
yang digunakan dalam Persidangan di Pengadilan
tdk dilaksanakan, maka akan ditetapkan sita
pihak ditentukan tidak
Hubungan Industrial adalah
Acara Pada Pengadilam Umum, kecuali ditentukan lain.
jaminan;
melebihi 14 hari (pS 98 dan
Ketentuan lain yang bersifat
khusus 50
dalam
pengadilan
industrial diantaranya
Selambatnya
hari hari
kerja sejak hubungan
sidang pertama,
99 UU PPHI)
majelis hakim
wajib memberkan
Putusan
mengenai waktu proses sidang
dan penyelesaian
yang
dibatasi sebagaimana yang telah
Cantumkan:
- pokok2
persoalan
- Identitas para
pihak
- Dokumen yang
k tk
t

GUGATAN

Acara cepat

PHI*

diuraikan diatas, sehingga tidak bisa mengulur-ulur waktu seperti di Peradilan Umum.
Lisensi beracara seorang penerima kuasa (seperti Advokat) dalam hal ini tidak menjadi
syarat wajib bagi Para Pihak yang mewakilkan penyelesaian sengketa ini kepada orang
lain (kuasanya) karena hanya mensyaratkan bahwa perwakilan tersebut ditunjuk dan

Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel

Pusat Pendidikan dan Latihan ( Pusdiklat )


Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 ( 129 )

mewakili Serikat Pekerja, tidak dipungut biaya perkara sepanjang nilai gugatan tidak
melebihi Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Jurus atau Strategi Menghindari Biaya Perkara
Terkait biaya perkara dalam perselisihan hubungan Industrial, biaya perkara
dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial berbeda dengan beracara di
Peradilan Umum yaitu harus mengeluarkan biaya kecuali permohonan prodeo.
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 58 UU PPHI, bahwa dalam proses beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara Tidak Dikenakan Biaya
termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah). Sehingga hal ini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa beracara di PHI
tidak dikenakan biaya apabila nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000,-(serataus lima
puluh juta rupiah). Maka lebih dari batas itu wajib membayar. Namun dalam tataran
praktik tidak selalu demikian, yang terjadi adalah aturan dibuat untuk disimpangi, hal
tersebut dapat dilihat meskipun nilai gugatan lebih dari Rp. 150.000.000,-(serataus lima
puluh juta rupiah) tetapi masih bisa beracara tanpa dikenakan biaya/ free.
Cara yang biasa digunakan para pihak bersengketa adalah dengan cara
membagi-bagi nilai gugatan. Sebagai contoh, ketika nilai gugatan seluruhnya
1 milyar, seharusnya dikenakan biaya perkara, dengan cara membagi kepada 10 orang/
kelompok masing-masing mengajukan sendiri maka nilai gugatan menjadi Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah). Sehingga nilai tersebut masih dibawah Rp.
150.000.000,-(serataus lima puluh juta rupiah). Dengan nilai gugatan dibawah Rp.
150.000.000,- (serataus lima puluh juta rupiah) maka terbebaslah dari biaya perkara.
Meski cara ini terkesan licik, namun dalam tataran praktek tersebut manjur dan tidak
menjadi permasalahan.
Dikaji secara hukum, cara tersebut tidak ada aturan perintah maupun larangan
dalam UU No. 2 Tahun 2004, tidak ada klausul pasal pun melarang atau mengaturnya.
Disini penulis memandang hal tersebut disatu sisi menjadi kelemahan daripada UU
tesebut, namun disisi lain hal tersebut merupakan jurus jitu untuk menghindar dari biaya
perkara.
Secara menyeluruh, penulis berpendapat bahwa UU No.2 Tahun 2004 ini
merupakan UU yang dapat dikatakan mengakomodir :asas cepat, sederhana dan biaya
ringan, bagaimana tidak, waktu yang dibutuhkan untuk bersidang telah ditentukan
secara limitative, biaya ringan, pembuktian dalam persidangan di PHI adalah sederhana,
sehingga tidak perlu berlarut-larut mengingat waktu yang terbatas.
Kesimpulan
Bahwa dengan lahirnya dan diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI,
menghapus proses/mekanisme yang dianut sebelumnya yakni P4D/P4P, Hak Veto
Menteri Perburuhan.
Bahwa hukum acara yang digunakan dalam Persidangan di Pengadilan Hubungan
Industrial adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum kecuali diatur lain
seperti lisensi beracara para pihak, waktu, biaya maupun proses pra persidangan
merupakan specialis acara dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial;
Bahwa dalam tataran praktek, masalah biaya perkara yang nilai gugatannya diatas
Rp. 150.000.000,- dapat beracara tanpa dikenakan biaya, dengan cara membagibagi pada masing-masing person dalam mengajukan gugatannya agar nilai gugatan
diupayakan dibawah ketentuan yakni Rp. 150.000.000,-

Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Jurus Menghindari Biaya Perkara
Warta Hukum Edisi: Agustus September 2008
Artikel

Anda mungkin juga menyukai