Anda di halaman 1dari 4

Filsafat adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis saja,

tentang objek-objek yang abstrak. Bisa saja objek penelitiannya


kongkret, tetapi yang ingin diketahuinya adalah bagian abstraknya.
Suatu teori filsafat benarbila ia dapat dipertanggungjawabkan
secara logis dan untuk selama-lamanya tidak akan dapat dibuktikan
secara empiris. Bila suatu waktu ia dapat dibuktikan secara empiris,
maka ia segera berubah menjadi teori ilmu. Berdasarkan itu, maka
filsafat pendidikan islami adalah kumpulan teori pendidikan islami
yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak
akan dapat dibuktikan secara empiris.1
Hubungan Teologi Islam (Kalam) dengan Falsafah
Jika ditelaah dengan cermat, literature teologi islam (kalam), pada
umumnya, hingga sekarang hampir-hampir tidak mengalami
perubahan yang berarti. Meskipun muatan ilmu kalam tidak
mengalami perubahan yang berarti, tetapi para pembaca dan
pemerhati ilmu Kalam merasakan adanya perubahan dalam
penggunaan istilah. Untuk sekarang ini, istilah Teologi agaknya
lebih popular daripada Kalam. Sedang, semua ilmuan agama
maklum bahwa istilah Teologi adalah berasal dari khazanah
Intelektual Barat. Sudah barang tentu perubahan penggunaan
istilah yang belum tentu menunjukkan perubahan muatan
diskursusnya menarik untuk diamati.
Dimensi pemikiran teologi atau Kalam sebenarnya lebih subtil, lebih
kaya nuansa, dari pada hanya semata-mata diwarnai dominasi
konspirasi politik. Keberagaman manusia tidak semata-mata. Disini
dibutuhkan alat bantu metodologi yang dapat melihat secara jernih
dimana wilayah yang sebenarnya menyangkut hal persoalan
filosofis, yakni wilayah yang terkait dengan fundamental. Kajian
agama yang sangat erat hubungannya dengan kajian filosofis,
lantaran agama juga menyangkut hal tersebut. Hanya pendekatan
agamis filosofis yang mendasar yang dapat membantu memilahmilah dan menjernihkan katagori-katagori sosio-politik yang sudah
1 Prof. Dr. Ahmad Tafsir,Ilmu Pendidikan Islami, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya Offset, hlm. 21

terlanjur mapan dan terpatri secara kokoh baik dalam khazanah


literatur islam yang ada maupun dalam alam pergaulan masyarakat
secara nyata. Namun ironisnya, pendekatan filosofis sebagai alat
bantu metodologi untuk mencari dan menemukan esensi dan
substansi persoalan justru sedapat mungkin dihindari oleh pola
berfikir teologis. Hal demikian dapat dimaklumi, lantaran
pendekatan legal-formal dan lebih-lebih lagi pendekatan fiqih lebih
jauh dominan dari pada pendekatan yang lain-lain.2
B. Hubungan Filsafat dan Studi Islam
Agak sulit untuk memetakan persoalan yang hendak dikaji dalam
topic tersebut. Kesulitan tidak terletak pada bidang cakupan dan
ruang lingkup studi islam, juga tidak terletak pada pokok-pokok
kajian filsafat. Keduanya telah memiliki bidang kajian yang cukup
jelas. Keduanya telah memiliki meminjam istilah Wittgenstein form
of life sendiri-sendiri. Kesulitan lebih terletak pada bentuk format
hubungan antara konsepsi yang merepresentasikan filsafat.
konsepsi agama sering kali dirasakan lebih akurat dari pada
filsafat, dan tidak jarang pula konsepsi filsafat menyatakan lebih
baik pada konsepsi yang diajukan oleh agama. Bahkan ada aliran
filsafat tertentu yang sampai sengaja mengeliminasi peran
metafisik dan etik, dimana keduanya sangat menonjol perannya
dalam pemikiran keagamaan. Oleh karena itulah maka dalam
sejarah, seringkali keduanya mengambil jarak dan tidak saling
menyapa lagi. Ian Barbour pernah mensinyalir bahwa para teolog
jarang sekali memanfaatkan klarifikasi keilmuan yang
disumbangkan oleh filsafat. Demikianlah gambaran umum
hubungan antara agama dan filsafat dalam apa yang penulis sebut
dengan the first level of discourse, yakni dalam tingkat wacana
keilmuan yang bersifat umum.
Jika benih-benih ketidakharmonisan hubungan tersebut memasuki
wilayah the second discourse, yakni meamsuki hubungan antara
agama tertentu dan filsafat secara umum, maka
2 Dr. M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Offset, 1995, hlm. 37

ketidakharmonisan tersebut nanti akan menampakkan sosoknya.


Dalam sejarah pengalaman keberagaman islam, terutama setelah
kukuhnya alur pemikiran ortodoksi islam, nuansa-nuansa pemikiran
filosofis tidak begitu menonjol. Dalam dunia pemikiran islam,
polemic antara pemikiran Al-Ghazali dan para filosof peripatetik
(Farabi, Ibnu Sina) yang sebenarnya hanya terbatas pada wilayah
metafisik dan bukannya dalam wilayah epistemology dan etik
tampak begitu membekas terlalu dalam dilingkungan umat islam.
Lantaran trauma sejarah tersebut, kajian filsafat secara umum
dilingkungan umat islam khususnya dilingkungan Sunni dianggap
begitu tabu, untuk tidak mengatakan haram.
Ketabuan tersebut terbukti dengan langkanya literaltur filsafat
yang masuk dalam kurikulum pesantren atau lembaga lainnya.
Literatur filsafat islam, jika diamati secara sungguh-sungguh
kalaupun ada masih sangat terbatas. Kalaupun literatur filsafat
islam itu ada, tekanan kajiannya pada aspek metafisik, tanpa
menyentuh aspek kajian epistemology maupun etik. Sedang dalam
wilayah metafisikpun, masih terbatas pada kajian tentang
pemikiran para filosof peripatetic dan illuminatif. Kajian filsafat
islambelum sampai menyentuh pemikiran eksistensialis muslim,
Sad al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra).
Jika demikian keadaannya dalam kajian filsafat islam, maka
dapat dibayangkan bagaimana halnya dengan kajian literatureliteratur baru dalam bidang filsafat secara umum, yang ternyata
sangat luas tersebut. Sekedar sebagai contoh, para mahsiswa dan
aktifis pemuda muslim dikampus-kampus pada akhir tahun 1993
sedang senang-senangnya menyebut istilah postmodernism.
Namun, ketika mereka hendak memasuki wilayah itu secara
sungguh-sungguh, mereka harus mencermati makna relativisme,
pluralisme dan deconstructionism. Dalam hal ini mereka secara
otomatis perlu mendalami wilayah kajian filsafat, yang tampaknya
kajian tersebut belum pernah mereka jumpai dalam kurikulum
perguruan Tinggi Islam. Secara dangkal, mereka terpaksa
mengambil jalan pintas dengan mengambil simpulan bahwa
relativisme, pluralisme dan sebagainya tersebut bertentangan

dengan kebenaran mutlak dan kebenaran tunggal yang ditawarkan


oleh agama mereka.3

3 Dr. M. Amin Abdullah, ibid, hlm. 117-118

Anda mungkin juga menyukai