PENDAHULUAN
Akhlak amat penting dalam penghidupan manusia memandangkan
besarnya pengaruh akhlak kepada tindak tanduk manusia, sehingga pada
ketikanya nilai-nilai akhlak yang terdapat pada diri seseorang itu bertindak
menjadi neraca penilai kepada sesuatu perbuatan .Akhlak mendapat kedudukan
yang tinggi pada pandangan Islam Sistem akhlak dalam Islam dapat membedakan
dirinya dengan sistem akhlak yang lain melalui ciri-cirinya yang khusus.
Islam menjadikan akhlak sebagai illat (alasan) kenapa agama Islam
diturunkan Sabda Rasullah : Aku diutus hanyalah semata-mata Untuk
menyempurnakan akhlak- Akhlak yang mulia.
Islam menganggap orang yang paling mulia ialah mereka yang paling
mulia akhlaknya Hadis berbunyi : Telah dikatakan Ya Rasulullah, mukmin yang
manakah paling afdhal imannya, Rasulullah s.a.w. bersabda orang yang paling
baik akhlaknya antara mereka.
Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu kewaktu
menuntut manusia memahami ahlak secara essenasial, dalam arti bahwa manusia
memahami ahlak bukan hanya sebagai sikap atau perilaku saja melainkan, ahlak
tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada diri pribadi,
masyarakat bahkan dalam bernegara.
Bahasan dalam makalah ini adalah ahlak bernegara, dimana ahlak ini perlu
disadarai oleh kita agar kita dapat menjadi sensitif terhadap persoalan yang terjadi
pada bangsa dan Negara kita. Hal ini didorong dengan kekahawatiran akan
bobroknya generasi kita, apabila kita tidak dibekali dengan pengetahuan tentang
ahlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan kedepannya.
Dengan demikian, kami dalam makalah ini akan membahas beberapa subbab dari materi ahlak bernegara ini, adapun sub-babnya antara lain: Musyawarah,
Menegakkan Keadilan, Amar Maruf Nahi Munkar da n Hubungan Pemimpin dan
yang Dipimpin
BAB II
1
PEMBAHASAN
A. Bermusyawarah
Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam
banyak ayat dalam al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam
kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen
penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orangorang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna
kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura,
Allah berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezki yang kami berikan kepada mereka. (QS. as Syuura: 38)
Oleh karena kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah
menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: Dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran: 159)
Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan para
sahabatnya setelah tejadinya perang uhud dimana waktu itu Nabi telah
bermusyawarah dengan mereka, beliau mengalah pada pendapat mereka, dan
ternyata hasilnya tidak menggembirakan, dimana umat Islam menderita
kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush'ab
dan Sa'ad bin ar Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap
bermusyawarah dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah ada
semua kebaikan, walaupun terkadang hasilnya tidak menggembirakan.
Rasulullah telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim
dengan perkataan dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi'in para pendahulu
umat ini mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi
salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.
Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa
melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan
kepada
manusia
untuk
menentukan
bagaimana
cara
melaksanakan
B. Menegakkan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata adl, yang mempunyai arti antara lain
sama dan seimbang. Dari pengertian di atas, keadilan dapat diartikan sebagai
membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang
atau kelompok dengan setatus yang sama. Dan ada pula yang berpendapat
bahwa keadilan ialah, memberikan hak yang seimbang dengan kewajiban,
dalam artian sesuai dengan kebutuhannya.
Agama Islam sangat menekankan akan berlaku adil dan menegakkan
keadilan sebagaimana dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl 16: 90)
Dalam bidang hukum Islam mengajarkan bahwa semua orang dapat
perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada deskriminasi
hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dll. Keadilan
hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, maupun kerabat dan
orang-orang yang dicintai. Dan mengingat pentingnya keadilan dalam Islam
dalam mengangkat seorang hakim haruslah yang memenuhi syarat keahlian
dan kepribadian. Selain memiliki wawasan yang luas seorang hakimpun
dituntut untuk memiliki ahlak yang mulia, terutama kejujuran dan amanah.
Di samping keadilan dalam hukum, umat manusia khususnya umat
muslim pun dituntut untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan. Baik
adil terhadap diri sendiri, keluarga, dalam mendamaikan perselisihan, dalam
bertutur kata, bahkan adil terhadap musuh sekalipun. Dan adil terhadap segala
aspek yang lain.
C. Amar Maruf Nahi Munkar
Setjara harfiah amar maruf nahi mungkar berarti menyuruh kepada
yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Maruf secara etimologis berarti
harus bersatu dan bahu membahu dalam menjalankanya. Dan hal itu juga tak
hanya dilakkan oleh laki-laki, melainkan juga perempuan. Dan juga segala
elemen baik tua maupun muda, miskin dan kaya, pemimpin dan rakyat dll.
Dibandingkan dengan amar maruf, nahi mungkar lebih berat
tingkatanya karena beresiko tinggi. Dan hal tersebut dilakukan sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah
dia merubah dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka
rubahlah) dengan lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka
rubahlah dengan hatinya Yang demikian itu merupakan selemah-lemah
iman.(HR. Muslim)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar
maruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan
dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu
melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini
seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa
terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya,
dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal,
Bagaimana beramar maruf dan nahi mungkar? Beliau menjawab,
Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan, saya bertanya
lagi: Bagaimana dengan tangan? Beliau menjawab, Memisahkan di
antara mereka, dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang
sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, Merubah (mengingkari) dengan
tangan bukanlah dengan pedang dan senjata. (Lihat, Al Adabusy Syariyah,
Ibnu Muflih, 1/185)
: - -
: .
Salah seorang berkata kepada Ibnu Masud, Binasalah orang yang
tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran,
lalu Ibnu Masud berkata, Justru binasalah orang yang tidak mengetahui
dengan
hatinya
kebaikan
dan
tidak
mengingkari
dengan
hatinya
Sebagai
umat,
kepemimpinan
Allah
dan
Rosul-Nya
adalah
dengan
musyawarat
antara
mereka;
dan
kasar,
tentulah
mereka
menjauhkan
diri
dari
urusan
itu,
kemudian
apabila
kamu
telah
10
: - -
: .
Salah seorang berkata kepada Ibnu Masud, Binasalah orang yang
tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran,
lalu Ibnu Masud berkata, Justru binasalah orang yang tidak mengetahui
dengan
hatinya
kebaikan
dan
tidak
mengingkari
dengan
hatinya
yang
baik
bagimu
(yaitu)
bagi
orang
yang
di
muka
bumi
niscaya
mereka
mendirikan
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan keempat sub-pokok diatas, maka kami dapat
menarik suatu kesimpulan dimana kepemimpinan merupakan sesuatu yang
sangat penting dan sangat esensial dalam sikap yang ditunjukkan dalam ahlak
bernegara. Adapun criteria pemimpin yang sangat dibutuhkan adalah
pemimpin yang ideal, dimana pemimpin yang ideal telah diungkapkan dalam
surat Al-Maidah ayat 55, yang tentunya menjadikan Nabi Muhammad SAW
seagai suri tauladan kepemimpinan yang baik.
Dalam memahami materinya, hendaknya
memahami
secara
menyeluruh tidak secara terpisah, dikarenakan materi ini sangat terkait satu
sama lain dan saling mendukung. Seorang pemimpin yang baik dan
mempunyai ahlak adalah pemimpin yang suka bermusyawarah, perbuatan dan
tindakanya Amar Maruf dan Nahi Mungkar, senantiasa menegakkan keadilan,
dan tentunya mempunyai hubungan yang baik dengan bawahanya.
Komponen-komponen inilah yang mendasari kokohnya akhlak
seorang negarawan, yang apabila diterapkan dengan sungguh-sungguh akan
menjadi Rahmatan lil alamin.
B. Saran
Dari uraian pembahasan dalam makalah ini maka dapat kami sarankan bahwa,
1. Seorang pemimpin haruslah mengedepankan musyawarah dalam
mengambil suatu keputusan dalam memutuskan sesuatu permasalahan
baik pemipin dalam keluarga, masyarakat maupun dalam kontek
bernegara.
2. Dalam mengankat Seorang pemimpin, hal yang utama diperhatikan adalah
ahlaknya.
12
13