Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Akhlak amat penting dalam penghidupan manusia memandangkan
besarnya pengaruh akhlak kepada tindak tanduk manusia, sehingga pada
ketikanya nilai-nilai akhlak yang terdapat pada diri seseorang itu bertindak
menjadi neraca penilai kepada sesuatu perbuatan .Akhlak mendapat kedudukan
yang tinggi pada pandangan Islam Sistem akhlak dalam Islam dapat membedakan
dirinya dengan sistem akhlak yang lain melalui ciri-cirinya yang khusus.
Islam menjadikan akhlak sebagai illat (alasan) kenapa agama Islam
diturunkan Sabda Rasullah : Aku diutus hanyalah semata-mata Untuk
menyempurnakan akhlak- Akhlak yang mulia.
Islam menganggap orang yang paling mulia ialah mereka yang paling
mulia akhlaknya Hadis berbunyi : Telah dikatakan Ya Rasulullah, mukmin yang
manakah paling afdhal imannya, Rasulullah s.a.w. bersabda orang yang paling
baik akhlaknya antara mereka.
Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu kewaktu
menuntut manusia memahami ahlak secara essenasial, dalam arti bahwa manusia
memahami ahlak bukan hanya sebagai sikap atau perilaku saja melainkan, ahlak
tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada diri pribadi,
masyarakat bahkan dalam bernegara.
Bahasan dalam makalah ini adalah ahlak bernegara, dimana ahlak ini perlu
disadarai oleh kita agar kita dapat menjadi sensitif terhadap persoalan yang terjadi
pada bangsa dan Negara kita. Hal ini didorong dengan kekahawatiran akan
bobroknya generasi kita, apabila kita tidak dibekali dengan pengetahuan tentang
ahlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan kedepannya.
Dengan demikian, kami dalam makalah ini akan membahas beberapa subbab dari materi ahlak bernegara ini, adapun sub-babnya antara lain: Musyawarah,
Menegakkan Keadilan, Amar Maruf Nahi Munkar da n Hubungan Pemimpin dan
yang Dipimpin
BAB II
1

PEMBAHASAN
A. Bermusyawarah
Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam
banyak ayat dalam al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam
kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen
penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orangorang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna
kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura,
Allah berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezki yang kami berikan kepada mereka. (QS. as Syuura: 38)
Oleh karena kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah
menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: Dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran: 159)
Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan para
sahabatnya setelah tejadinya perang uhud dimana waktu itu Nabi telah
bermusyawarah dengan mereka, beliau mengalah pada pendapat mereka, dan
ternyata hasilnya tidak menggembirakan, dimana umat Islam menderita
kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush'ab
dan Sa'ad bin ar Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap
bermusyawarah dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah ada
semua kebaikan, walaupun terkadang hasilnya tidak menggembirakan.
Rasulullah telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim
dengan perkataan dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi'in para pendahulu
umat ini mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi
salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.
Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa
melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan
kepada

manusia

untuk

menentukan

bagaimana

cara

melaksanakan

musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan


situasi dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan
berbagai macam bentuk dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan
tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan
presiden kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan
menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang
dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh
dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan hukum Allah dan
pendapat umat.
Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan musyawarah dalam
masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid, orang-orang yang
punya ilmu dan pengalaman dalam membuat undang-undang Islam, yang
menghalangi penyimpangan para penguasa dan keberanian para tiran dalam
melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak manusia dalam
menghambakan diri padaNya.
Islam telah mewajibkan musyawarah sejak lima belas abad yang lalu,
dan mewajibkan kepada umat Islam untuk menerapkannya dalam kehidupan
mereka secara pribadi, dalam masyarakat mereka, dan dalam negara mereka,
dan musyawarah dalam Islam merupakan prinsip baru bagi kemanusiaan
dalam sejarah mereka dahulu dan kini.
Prinsip musyawarah yang wajib dalam Islam, ia adalah prinsip yang
baru bagi kemanusiaan dalam peradabannya dahulu dan sekarang, dimana
seluruh yang dicapai oleh filsafat hingga hari ini dalam system pemerintahan
adalah mewajibkan memerintah dengan demokrasi, saya mengenalnya
sebagai kekuasaan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam prakteknya
demokrasi tidak lain hanyalah:
1. Mayoritas memimpin minoritas (baik minoritas mau atau tidak)
2. Minoritas memimpin mayoritas, dalam bentuk lain, yaitu yang dilakukan
oleh system sosialis, dan dinamakan juga dengan system sosialis
demokratis.

Kedua system ini telah mengenyampingkan kelompok kecil atau besar


dari rakyat dalam mengambil keputusan, yaitu kaum minoritas pada
umumnya, atau mayoritas dalam system sosialis.
Adapun prinsip musyawarah yang diwajibkan dalam Islam adalah
mewajibkan mengambil pendapat semua tanpa membedakan antara mayoritas
dan minoritas, kemudian mengambil pendapat yang terkuat dari segi
argumentasi setelah dibandingkan antara kedua pendapat, bukan mengambil
suara terbanyak.
Musyawarah dalam masyarakat muslim yang melaksanakan hukum
yang diturunkan oleh Allah tidak seperti musyawarah dalam masyarakat
demokrasi di Negara-negara non muslim, baik itu demokrasi kapitalis yang
merupakan (aristokrasi mayoritas) walaupun dengan satu suara, atau
demikrasi sosialis yang berupa (aristokrasi minoritas) yang menindas
kelompok mayoritas dengan besi dan api.
Hal itu adalah musyawarah yang dibuat oleh manusia, untuk
bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya sendiri,
Sedangkan musyawarah dalam Islam adalah tukar pendapat antara orangorang yang mempunyai pemikiran yang cerdas dari ahlul halli wal aqdi,
untuk sampai pada keputusan terbaik dalam menerapkan hukum Allah atas
manusia.
Oleh karena itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, karena ia adalah
perintah Allah, tidak boleh bagi penguasa menghapusnya untuk memaksakan
kekuasaannya pada manusia: Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. ((QS. Ali Imran: 156)
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; (QS. Asssyuura: 38)
Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan, maka
pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika mendengar
kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan lapang
dada dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa.

B. Menegakkan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata adl, yang mempunyai arti antara lain
sama dan seimbang. Dari pengertian di atas, keadilan dapat diartikan sebagai
membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang
atau kelompok dengan setatus yang sama. Dan ada pula yang berpendapat
bahwa keadilan ialah, memberikan hak yang seimbang dengan kewajiban,
dalam artian sesuai dengan kebutuhannya.
Agama Islam sangat menekankan akan berlaku adil dan menegakkan
keadilan sebagaimana dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl 16: 90)
Dalam bidang hukum Islam mengajarkan bahwa semua orang dapat
perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada deskriminasi
hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dll. Keadilan
hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, maupun kerabat dan
orang-orang yang dicintai. Dan mengingat pentingnya keadilan dalam Islam
dalam mengangkat seorang hakim haruslah yang memenuhi syarat keahlian
dan kepribadian. Selain memiliki wawasan yang luas seorang hakimpun
dituntut untuk memiliki ahlak yang mulia, terutama kejujuran dan amanah.
Di samping keadilan dalam hukum, umat manusia khususnya umat
muslim pun dituntut untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan. Baik
adil terhadap diri sendiri, keluarga, dalam mendamaikan perselisihan, dalam
bertutur kata, bahkan adil terhadap musuh sekalipun. Dan adil terhadap segala
aspek yang lain.
C. Amar Maruf Nahi Munkar
Setjara harfiah amar maruf nahi mungkar berarti menyuruh kepada
yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Maruf secara etimologis berarti

yang dikenal, sebaliknya munkar berarti yang tidak dikenal. Menurut


Muhammad Abduh, maruf adalah yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan
hati nurani, sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan
hati nurani.
Berbeda dengan Abduh, Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan
maruf dengan apa-apa yang di perintahkan oleh syara (agama) dan di nilai
baik oleh akal, sedangkan munkar adalah apa-apa yang dilarang syara dan
dinilai buruk oleh akal sehat.
Dari dua pengertian tersebut, bahwa yang menjadi tolak ukur maruf
dan munkar adalah agama, akal sehat, dan juga nurani. Dan dari pengertian di
atas ruang lingkup maruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek
aqidah, ibadah, ahlak, maupun muamalat.
Dan amar maruf nahi mungkar adalah kewajiban orang-orang yang
beriman, baik secara individu maupun kolektif. Allah berfirman:
Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari
yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Ali Imron 3:
104)
Di samping itu, amar maruf nahi munkar merupakan tugas yang
menentukan eksistensi dan kualitas umat Islam. Keberadaan umat Islam
sebagai umat terbaik ditentukan oleh perannya dalam mengemban tugas amar
maruf nahi munkar tersebut. Bila tugas tersebut diabaikan, dengan sendirinya
umat Islam akan terpuruk menjadi umat buruk kalau tidak yang terburuk
sebagai lawan yang terbaik. Bila hal itu benar-benar terjadi, keberadaan umat
Islam sama sekali tidak akan diperhitungkan oleh umat-umat yang lain. Umat
muslim akan kehilangan posisi yang kokoh di atas permukaan bumi. Dan hal
tersebut pun sudah mulai tampak pada realitas yang terjadi akhir-akhir ini.
Melakukan amar maruf dan nahi munkar tidaklah ringan, hal
tersebut merupakan tugas yang sangat berat maka diperlukannya tekad,
ketegaran, dan ketetapan hati untuk melakukannya.Untuk itu umat Islam

harus bersatu dan bahu membahu dalam menjalankanya. Dan hal itu juga tak
hanya dilakkan oleh laki-laki, melainkan juga perempuan. Dan juga segala
elemen baik tua maupun muda, miskin dan kaya, pemimpin dan rakyat dll.
Dibandingkan dengan amar maruf, nahi mungkar lebih berat
tingkatanya karena beresiko tinggi. Dan hal tersebut dilakukan sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah
dia merubah dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka
rubahlah) dengan lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka
rubahlah dengan hatinya Yang demikian itu merupakan selemah-lemah
iman.(HR. Muslim)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar
maruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan
dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu
melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini
seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa
terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya,
dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal,
Bagaimana beramar maruf dan nahi mungkar? Beliau menjawab,
Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan, saya bertanya
lagi: Bagaimana dengan tangan? Beliau menjawab, Memisahkan di
antara mereka, dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang
sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, Merubah (mengingkari) dengan
tangan bukanlah dengan pedang dan senjata. (Lihat, Al Adabusy Syariyah,
Ibnu Muflih, 1/185)

Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak


di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar maruf dan nahi
mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada
kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah
membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang
tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena
itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan
hadits-hadits yang senada dengannya-, Seluruh hadits ini menjelaskan
wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan
sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan,
barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda
hilangnya keimanan dari hatinya. (Jamiul Ulum wal Hikam, 2/258)

: - -
: .
Salah seorang berkata kepada Ibnu Masud, Binasalah orang yang
tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran,
lalu Ibnu Masud berkata, Justru binasalah orang yang tidak mengetahui
dengan

hatinya

kebaikan

dan

tidak

mengingkari

dengan

hatinya

kemungkaran. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no.


37581)
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah
orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah
radhiyallahu anhu tatkala ditanya, Apakah kematian orang yang hidup?
Beliau menjawab:

Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak
mengingkari kemungkaran dengan hatinya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan
kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1. Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.

2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.


3. Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
4. Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyariatkan untuk bernahi
mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang
dan haram melakukannya.
D. Hubungan Pemimpin Dengan Yang Dipimpin
Sesungguhnya dalam Islam kepemimpinan berada di tangan Allah
SWT dan secara oprasionalnya dilaksanakan oleh Rosulullah SAW, dan
sepeninggal beliau kepemimpinan dilaksanakan oleh orang-orang yang
beriman. Hal itu dinyatakan dalam Al-Quran:
Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, Rosul-Nya, dan orangorang yang beriman, yaitu yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah).(QS. Al-Maidah 5: 55)
Dari ayat di atas seorang pemimpin haruslah beriman kepada Allah
SWT. Seorang pemimpin tanpa keimanan diragukan dan tidak mungkin dapat
membawa umat menempuh jalan yang yang lurus. Maka dari itu, Islam
melarang memilih pemimpin dari golongan orang-orang kafir. Allah
berfirman:
Janganlah orang-orang mumin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali-wali dengan meninggalkan orang-orang mumin. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan Hanya kepada Allah
(Kamu) kembali.(QS.Ali imron 3: 28)
Dan selain itu pemimpin haruslah mendirikan sholat menunaikan
zakat dan tunduk patuh kepada Allah SWT. Dan hal ini merupakan simbol
kepatuhan secara mutlak dan dekat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya yang
secara kongret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah
(total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, ahlak, maupun muamalat.

Sebagai

umat,

kepemimpinan

Allah

dan

Rosul-Nya

adalah

kepemimpinan yang mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan orang-orang


yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan
terhadapnya tergantung pada kualitas dan integritasnya serta arah dan corak
kepemimpinannya. Kemana umat itu akan dibawa, apakah tuk menegakkan
Islam atau tidak.
Sekalipun dalam setruktur bernegara terdapat hirarki kepemimpinan
yang mengharuskan umat atau rakyat patuh terhadap pemimpinnya, akan
tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin haruslah berlandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah Islamiyah,
bukan prinsip atasan bawahan dan terciptanya hubungan horisontal,
E. Ayat-ayat yang Berkaitan
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan)

dengan

musyawarat

antara

mereka;

dan

mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan


kepada mereka. (As Syura : 38)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati

kasar,

tentulah

mereka

menjauhkan

diri

dari

sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah


ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam

urusan

itu,

kemudian

apabila

kamu

telah

membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.


Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (Ali Imran : 159)

10

: - -
: .
Salah seorang berkata kepada Ibnu Masud, Binasalah orang yang
tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran,
lalu Ibnu Masud berkata, Justru binasalah orang yang tidak mengetahui
dengan

hatinya

kebaikan

dan

tidak

mengingkari

dengan

hatinya

kemungkaran. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no.


37581)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan

yang

baik

bagimu

(yaitu)

bagi

orang

yang

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan


Dia banyak menyebut Allah. (Al Ahzab : 21)
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan
mereka

di

muka

bumi

niscaya

mereka

mendirikan

sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf


dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan. (Al Hajj : 41)

11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan keempat sub-pokok diatas, maka kami dapat
menarik suatu kesimpulan dimana kepemimpinan merupakan sesuatu yang
sangat penting dan sangat esensial dalam sikap yang ditunjukkan dalam ahlak
bernegara. Adapun criteria pemimpin yang sangat dibutuhkan adalah
pemimpin yang ideal, dimana pemimpin yang ideal telah diungkapkan dalam
surat Al-Maidah ayat 55, yang tentunya menjadikan Nabi Muhammad SAW
seagai suri tauladan kepemimpinan yang baik.
Dalam memahami materinya, hendaknya

memahami

secara

menyeluruh tidak secara terpisah, dikarenakan materi ini sangat terkait satu
sama lain dan saling mendukung. Seorang pemimpin yang baik dan
mempunyai ahlak adalah pemimpin yang suka bermusyawarah, perbuatan dan
tindakanya Amar Maruf dan Nahi Mungkar, senantiasa menegakkan keadilan,
dan tentunya mempunyai hubungan yang baik dengan bawahanya.
Komponen-komponen inilah yang mendasari kokohnya akhlak
seorang negarawan, yang apabila diterapkan dengan sungguh-sungguh akan
menjadi Rahmatan lil alamin.
B. Saran
Dari uraian pembahasan dalam makalah ini maka dapat kami sarankan bahwa,
1. Seorang pemimpin haruslah mengedepankan musyawarah dalam
mengambil suatu keputusan dalam memutuskan sesuatu permasalahan
baik pemipin dalam keluarga, masyarakat maupun dalam kontek
bernegara.
2. Dalam mengankat Seorang pemimpin, hal yang utama diperhatikan adalah
ahlaknya.

Pemimpin haruslah berdiri digaris paling depan dalam

menegakkan Amar maruf nahi munkar merupakan tugas yang


menentukan eksistensi dan kualitas umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

12

Ilyas Yunahar, Drs., Lc.,M.A., Kuliah Ahlak., Yogyakarta : Pustaka Pelajar


Offset.,2000.

13

Anda mungkin juga menyukai