Anda di halaman 1dari 3

Fenomena Selfie dan Perilaku Vandalisme di

Kota Padang
Oleh : Ikhsan Rahmat
Dewasa ini, ketika teknologi komunikasi sudah sedemikian canggihnya, cukup sering
kita mendengar istilah-istilah seperti narsisme, selfie, tongsis dan segala hal yang
berhubungan dengan ke-egoan kita. Dan perilaku selfportrait (selfie) menjadi sesuatu
fenomena yang semakin sering terjadi di sekeliling kita.
Teknologi komunikasi pun semakin ramah untuk ekonomi masyarakat kita yang
(konon katanya) sedang dalam kondisi prihatin. Berbagai perusahaan handphone dan
provider berlomba-lomba untuk menawarkan berbagai kemudahan (atau kerumitan) ini
kepada kita denga harga yang semakin lama semakin terjangkau. Sekarang, kita dapat
dengan mudahnya memberi tahu posisi keberadaan kita sekaligus menginformasikan
hidangan apa yang sedang kita nikmati dan berbagai 'hal-hal penting' lainnya. Pendek
kata, hampir tidak ada ruang privasi lagi antara kita dan medan sosial di sekeliling kita.
Pada dasarnya, bercermin atau melihat diri sendiri merupakan 'perilaku purba'
manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa kita senang melihat diri kita berada dalam berbagai
media baik itu lukisan, foto atau bahkan hanya sekedar terlihat numpang lewat dalam
liputan televisi.
Sampai pada (kurang-lebih) satu dekade lalu, sebelum teknologi kamera digital mulai
menjamur, istilah self portrait hanya dimiliki oleh kaum fotografer atau seniman. Karena
hanya dengan skill tertentu-lah seseorang bisa menghasilkan potret dirinya baik itu
dengan media lukisan maupun fotografi. Dan ketika mereka

(kaum seniman)

menggunakan dirinya sebagai salah satu media untuk representasi dari pemikiranpemikirannya, maka self-portrait menjadi lekat hubungannya dengan karya-karya seni.
Lantas, bagaimana dengan selfie? Fenomena selfie mulai muncul seiring sejalan
dengan perkembangan teknologi komunikasi yang mulai merasuki hampir di segala lini

kehidupan sosial kita. Istilah selfie merupakan pengembangan dari self portrait walau
pada prakteknya adalah sama. Saat ini semua orang bisa memotret dan fotografi sudah
tidak lagi dimiliki oleh kalangan fotografer saja. Fotografi sudah menjangkau hampir
semua lapisan masyarakat. Dan ketika semua orang bisa memotret, tentu 'perilaku purba'
yang saya jabarkan di atas tadi akan muncul dan mewabah dengan sendirinya.
Selfie adalah tindakan memotret diri sendiri tanpa tendensius apapun ke arah seni.
Baik itu sekedar mendokumentasikan raut wajah, hidangan yang sedang disantap,
kebersamaan dengan handai taulan, maupun sebagai ajang eksistensi di berbagai lokasi.
Perilaku dan fenomena selfie muncul sebagai konsekuensi dari berbagai kemajuan
teknologi yang tumbuh dengan pesat. Walau terkadang berbagai kemajuan teknologi ini
tidak bertumbuh seiring sejalan dengan pola pikir dan mentalitas sebagian orang.
Tidak ada salahnya melakukan selfie namun belakangan ini fenomena selfie yang
berkembang memunculakan dampak negatif sehingga mengarah pada perilaku
vandalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Vandalisme : 1 perbuatan merusak
dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dsb); 2
perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.
Vandalisme sendiri berasal dari kata Vandal, sebutan bangsa Romawi kuno kepada
sebuah suku di Jerman yang memiliki kebiasaan merusak dan menistakan dengan kejam
segala karya yang indah dan terpuji. Dalam artian modern, vandalisme adalah segala
bentuk perusakan (memecahkan, menghancurkan, mencoret-coret) properti milik pribadi
maupun umum tanpa adanya konsesi (kerelaan atau persetujuan) dari pemilik properti.
Perilaku ini dapat kita lihat pada beberapa waktu yang lalu dengan kembali hilangnya
salah satu huruf pada plang nama masjid raya sumatera barat, kali ini huruf yang hilang
adalah huruf T sehingga plang nama menjadi masjid raya sumatera bara. Penyebab
hilangnya huruf T dan siapa pelaku dari hilangnya huruf tersebut hingga kini masih
belum diketahui.
Seperti yang kita ketahui bersama plang nama masjid raya sumatera barat tersebut
menjadi tempat atau spot untuk berfoto masyarakat sebagai landmark dari kota padang.

Tak jarang masyarakat yang melakukan aktifitas ber-selfie ria disana menaiki plang nama
masjid raya tersebut untuk mendapatkan angle yang menarik. Kejadian hilangnya salah
satu huruf di plang nama masjid raya sumatera barat ini merupakan sudah yang kesekian
kalinya.
Namun tampaknya hal ini belum mendapat perhatian yang seirus dari pemerintah
daerah karena belum adanya himbauan dan sangsi yang jelas yang diterapkan bagi pelaku
pengrusakan fasilitas publik tersebut. Melalui tulisan ini penulis berharap agar pihak
terkait dapat memperhatikan dan melakukan tindakan agar tidak menjadi preseden buruk
bagi kota padang yang sedang menggalakan gairah pariwisatanya dimana masjid raya
sumbar merupakan salah satu landmark yang ada di kota padang.

Anda mungkin juga menyukai