Anda di halaman 1dari 8

Hukum Laut Indonesia

Latar Belakang Timbulnya Dasar Hukum NKRI


Menilik sejarah, negara Indonesia yang cukup dikenal wilayahnya merupakan kumpulan dari
pulau-pulau besar dan kecil, dalam praktek ketatanegaraannya telah memperlakukan ketentuan
selebar 12 mil laut. Dimana pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah RI mengeluarkan
pernyataan yang dikenal Deklarasi H. Djuanda.
Dikeluarkannya deklarasi ini dimakhsudkan untuk menyatukan wilayah daratan yang terpecahpecah sehingga deklarasi akan menutup adanya lautan bebas yang berada di antara pulau-pulau
wilayah daratan.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI sebagai suatu negara
kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah :
1. Bahwa bentuk Geografi Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas
13.000 lebih pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar di lautan.
2. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan ( selat )
yang diantaranya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antara pulau
yang satu dengan pulau yang lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
3. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagai menurut Teritoriale Zee en Mariteme
Kringen Ordonampie 1939 yang dimuat dalam Staatsblad 1939 no 442 pasal 1 ayat (1 )
sudah tidak cocok lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka

4. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak
sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan
dan keselamatan negara serta bangsanya.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak laut Indonesia
Republik Indonesia merupaka negara kepulauan yang berwawasan Nusantara. Secara Geografis,
keberadaan pulau-pulau yang tersebar di wilayah Indonesia sangat startegis. Karena berdasarkan
pulau-pulau tersebut batas negara ditentukan.
Telah diketahui bahwa dalam membentuk suatu negara, wilayah merupakan salah satu unsur
utama selain tiga unsur lainnya, yaitu rakyat, pemerintahan dan kedulatan. Oleh karena itu
adanya wilayah dalam suatu negara ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan begitu
pula dengan Indonesia. Dalam UUD 1945 yang asli tidak tercantum pasal mengenai wilayah
NKRI. Namun demikian pada umumnya telah disepakati bahwa ketika para pendiri negara ini
memprokalmasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara RI
ini mencakup wilayah Hindia-Belanda. Oleh karena itu, wilayah negara RI merupakan wilayah
yang mengacu pada Ordansi Hindia-Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zee en Mariteme Kringen
Orelonantie 1939 ( Tzmku 1939 ), pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan untuk laut
disekelilingnya. Dalam Ordonansi/peraturan ini setiap pulau memiliki laut disekeliling sejauh 3
mil dari garis pantai. Hal ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat melayari laut yang
mengelilingi atau yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Peraturan ini diusulkan oleh seorang
penulis Italia Galliani. Ia mengusulkan 3 mil sebagai batas perairan netral.
Dinamika Hak Laut Indonesia
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia hal ini dirasa sangat
merugikan bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957, saat pemerintahan
Indonesia dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikanal
dengan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan
negara kepulauan ( Archipelagie State ). Pada dasarnya konsep deklarasi ini menyatakan bahwa
semua laut atau perairan diantara pulau-pulau Indonesia tidak terpisahkan dari negara Kesatuan
Republik Indonesia ( NKRI ) karena laut antar pulau merupakan laut penghubung dan satu
kesatuan dengan pualu-pulau tersebut.

Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong perombakan batasan wilayah NKRI


sebagai berikut :
1.

Bahwa bentuk Geografi Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas 13.000
lebih pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar di lautan.

2.

Demi untuk kesatuan wilayah NKRI, agar semua kepulauan dan perairan ( selat ) yang ada
diantaranya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu
dengan yang lainnya atau antar pulau dengan perairannya.

3.

Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut Teritoriale Zee en Mariteme
Kringen Orelonantie 1939 yang dimuat di dalam Staatsblad 1939 no 442 pasal 1 ayat ( 1 )
sudah tidak cocok dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.

4.

Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang mrdeka, mempunyai hak
sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan
keselamatan negara serta bangsanya.
Deklarasi Djuanda ini disahkan melalui UU no 4 / PRT / 1960 tenyang perairan Indonesia dan
menjadi tonggak Sejarah kelautan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Wawasan
Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan.
Dari Deklarasi Djuanda ini, maka sebagian besar hasil perjuangan bangsa Indonesia mengenai
hukum laut Internasional tercantum dalam konfrensi PBB tentang hukum laut yang dikenal
dengan United Nation Conferention on The Law of The Sea (Unclos) III tahun 1982 yang
selanjutnya disebut hukum laut (Hukla) 1982. pemerintahan Indonesia merasifikan Hukla 1982
dengan UU no 17 tahun 1985. Upaya mencantumkan wilayah NKRI dalam UU 1945 diawali
dari perubahan ke dua dan terus berlanjut sampai pada pasal 25 A tercantum NKRI adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan haknya
ditetapkan dengan UU.
Berdasarkan Hukla, batas laut teritorial sejauh maksimum 12 mil dari laut dari garis pantai,
sedangkan garis pantai didefinisikan sebagai muka laut terendah. Jika dua negara bertetangga
mempunyai jarak antara pantainya kurang dari 24 mil laut ( 1 mil laut = 1852 m ), batas teritorial
antara 2 negara tersebut adalah Median.
Adapun aturan hukum tentang wilayah laut ( perairan ) yang relevan dengan beberapa ketentuan
UUD 1945

1.

Ketentuan-ketentuan UUDS 1945 dan ketetapan MPR yang diimplementasikan :

1.1. Pembukaan UUD 1945 alenia IV


1.2. UUD 1945 pasal 1 ayat ( 1 )
1.3. UUD 1945 pasal 30 ayat ( 1 )
1.4. Ketetapan MPR no II / MPR / 1983
2. Peraturan perundang-undangan tentang wilayah laut ( perairan ) yang
mengimplementasikannya
2.1. Undang-undang no 4 PRP tahun 1960 tentang perairan Indonesia ( Wawasan Nusantra )
2.2. Peraturan pemerintah no 8 tahun 1962 tentang lalu lintas laut damai kendaraan air asing dalam
perairan Indonesia.
2.3. Keputusan Presiden RI no 16 tahun 1971, tentang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan
kendaraan asing dalam wilayah perairan Indonesia.
2.4. UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
2.5. UU no 5 tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Ekslkusif Indonesia
2.6. Peraturan Pemerintah no 15 tahun 1984 tentang pengolahan SDA hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia
2.7. UU no 20 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan NKRI
Persetujuan Pemenrintah Indonesia dengan berapa negara dalam penetapan garis batas
Kontinen
Persetujuan pemerintahan Indonesia dengan beberapa negara yang berbatasan tidak lepas dengan
hak dan kewajiban persetujuan yang telah dilakukan mengatur masalah Landasan Kontinen dua
negara atau lebih berbentuk peraturan perundangan mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan,
terjadinya pelanggaran perbatasan berarti kemungkinan ketegangan akan timbul, oleh sebab itu
disajikan batas-batas wilayah sehingga garis batas Landas Kontinen antara :
1.

Pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Malaysia


Persetujuan ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia yang telah disahkan secara
konstitusionil diwujudkan dalam bentuk keputusan Presiden yaitu Keputusan Presiden RI no 89
tahun 1969 menetapkan, mengesahkan persetujuan antara pemerintah RI dengan pemerintah
Indonesia tentang penetapan garis batas landas kontinen antara ke dua negara yang di tanda
tangani para delegasi masing-masing di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.

2.

Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thauland

Hasil persetujuan delegasi-delegasi RI dengan Malaysia dan Kerajaan Thailand di tanda tangani
di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971 dan oleh pemerintah Indonesia secara
Konstitusional di tuangkan dalam bentuk Keputusan Presiden pada 11 Maret 1972, yaitu
Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang pengesahan persetujuan antara pemerintah RI,
pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thailand dalam penetapan garis-garis batas Kontinen di
bagian utara selat Malaka.
3.

Pemerintah RI dengan Pemerintah Thailand.


Hasil persetujuan antara pemerintahan RI dengan pemerintahan kerjaan Thailand membicarakan
batas landas kontinen dua negara dibagian selat Malaka dan di laut Andaman, untuk memisahkan
bagian kedaulatan ke dua negara di bagian wilayah Kontinennya dan di tanda tangani di
Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971 dan oleh pemerintahan RI disahkan dalam bentuk
keputusan Presiden yang ditetapkan pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden no 21
tahun 1972.

4.

Pemerintah RI dengan pemerintah Filipina.


Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem yang sama
dengan yang dianut oleh Indonesia yakni Middle Line atau Ekuedistant, baik Indonesia maupun
Filipina kedua nya adalah negara kepulauan. Pada bulan Mei 1979 Filipina mengumumkan ZEE
200 milnya, dengan terjadinya penetapan batas tersebut oleh masing-masing pihak dan diukur
dari garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi
kepulauannya, maka di baigian selatan Filipina ( selatan Mindanau ) dan bagian utara Indonesia (
Laut Sulawesi dan Sangir Talaud ).

5.

Pemerintah RI dan pemerintah Vietnam


Vietnam telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairannya pada tanggal 12 Mie
1977 dan menetapkan UU Maritimnya pada bulan Januari 1980. Dalam UU tersebut ditetapkan
bahwa wilayah maritim Virtnam adalah sejauh 200 mil laut dengan perincian 12 mil laut
Teritorial, 2 mil wilayah menyangga dan selebihnya ZEE. Menurut Guy Sacerdotti dalam
tulisannya tahun 1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia berpendirian bahwa tidak ada
wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.

6.

Pemerintah RI dengan pemerintah Papua Nugini


Kedua negara sudah membicarakan sebelumnya pada bulan Mei 1978 yang menegaskan bahwa
perjanjian-perjanjian dahulu tetap mempunyai daya laku dan akan diadakan persetujuan final

mengenai penetapan ke dua negara, juga dalam pernyataan bersana tersebut disebutkan bahwa
tindakan-tndakan yang diambil oleh pihak Papua Nugini untuk menetapkan Zona perikanan 200
mil serta kebijakannya dalam pergolakan sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut diakui.
Konsepsi Wawasan Nusantara menjelma menjadi pasal-pasal Konvensi Hukum Laut
Konsepsi penguasaan lautan oleh negara atau pulau yang didekatnya (dikelilingi) seperti yang
termaktub di dalam ordinasi tersebut pada hakikatnya berasal dari adanya kecenderungan
pengaruh oleh salah satu diantara dua konsepsi dasar tentang lautan yang berkembang sejak abad
XVII.
Adapun dua konsepsi yang dimakhsud adalah :

Res Nullius : yang menyatakan bahwa lautan itu tidak ada yang memiliki, karena itu negara atau bangsa yang
berdekatan boleh memilikinya.

Res Comunis : yang menyatakan bahwa lautan itu adalah milik bersama, karena itu tidak boleh dimiliki oleh
negara atau bangsa manapun. Dalam hal ini Rezim hukum laut yang dimakhsudkan ternyata
cenderung terpengaruh oleh konsepsi dasar Res Nulius meskipun terbatas (3 mil laut).
Konsepsi negara kepulauan yang di dalam UNCLOS I dan UNCLOS II tidak memperoleh
dukungan berarti dari negara-negara kepulauan, keduanya berubah ke dalam dekade-dekade
berikutnya. Dengan diterimanya konsepsi negara kepulauan di dalam konvensi hukum laut 1982
dan mengundangkannya di dalam UU no 4 PRP tahun 1960.
Kanada menyatakan bahwa setelah konvensi baru ini diterima bulan April, Konsepsi negara
kepulauan ini merupakan kemajuan yang penting yang telah dicapai oleh UNCLOS II. Fiji
menyatakan bahwa mereka telah membakukan konsepsi ini di dalam perundang-undangan
mereka. Filipina menyatakan bahwa fakta, Konvensi mengakui kedaulatan dari negara kepulauan
atas perairan kepulauannya dan udara diatas landasan tanah di bawah, merupakan pertimbangan
yang sangat menentukan untuk Konvensi ini.
Indonesia telah meratafisir Konvensi hukum laut 1982 dengan UU no 17 tahun 1985 tentang
pengesahan United Nation Convention On the Law of The Sea yang diundangkan pada tanggal
31 Desember 1985.
Penjelasan UU no 17 tahun 1985 antara lain memuat sebagai berikut : Bagi bangsa dan negara
RI, Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas negara

kepulauan yang selama 25 tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia telah
berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat Internasional.
Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka
mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan
Wawasan Nusantara sebagaimana termakhtub dalam ketetapan MPR tentang GBHN yang
menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi,
sosial, budaya dan pertahanan keamanan
Konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan semangat persatuan dan kesatuan wilayah nusantara
serta memberikan kesejahteraan bangsa, maka pemerintah Indonesia pada tanggal 21 Maret
1980, mengumumkan Deklarasi Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE I ).
Yang dimakhsud Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut di luar laut wilayah Indonesia sejauh
200 mil laut dari garis pangkal atau garis dasar. Pengumuman deklarasi ZEE I berdasarkan Perpu
no 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Konsepsi ZEE Indonesia didasarkan oleh faktor-faktor :
1.

Semakin terbatasnya persediaan ikan


Bertambahnya jumlah penduduk akn meningkatkan permintaan ikan untuk baha makan.
Sedangkan hasil perikanan dunia akan berada di bawah tingkat permintaan. Sehingga melalui
ZEE ini, Indonesia dapat melindungi sumber-sumber daya hayati yang ada di laut.

2.

Pembangunan nasional Indonesia.


Dalam usaha pembangunan nasional Indonesia, sumber daya alam yang terdapat di laut sampai
ke batas 200 mil dari garis-garis pangkal, dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa. Sumber daya Alam Ini merupakan modal dasar pembangunan guna
mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia di semua bidang kehidupan sesuai dengan
UUD 1945.

3.

Zona Ekonomi Eksklusif sebagai Rezim hukum Internasional


Di sini berarti bahwa ZEE I telah menjadi bagian dari hukum internasional kebiasaan. Setelah
Indonesia merdeka tetapi sebelum terjadinya pembaharuan hukum atas laut wilayah negara RI
masih mendasarkan diri kepada TZMKO 1939, yang menetapkan bahwa perairan daerah jajahan
Hindia-Belanda wilayah lautnya meliputi sejauh 3 mil laut yang diukur dari garis dasar, dan

ditentukan pada waktu air surut dari masing-masing pulau, selain itu didasarkan pada aturan
peralihan pasal 2 UUD 1945, pasal 192 Konstitusi RIS dan pasal 1942 UUDS.
Tetapi kemudian aturan menurut TZMKO 1939 dirubah oleh UU no PRP tahun 1960 dengan
menetapkan batas wilayah laut adalah sejauh 12 mil yang ditentukan dari pulau yang palig luar
ke pulau yang terluar lainnya, maka UU tersebut berati mengimplementasikan beberapa
ketetntuan UUD, yaitu :
a.

Alinea ke 4 pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :


. . . . . . .Membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan tumpah darah Indonesia. . . . . .

b.

dan seterunya

Pasal 1 ayat ( 1 ) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk Republik
Dengan demikian maka negara kepulauan Indonesia merupakan negara kesatuan baik dilihat dari
segi Yuridis maupun dari segi kenyataan dengan laut (Perairan) berfungsi sebagai sarana
penghubung untuk pulau yang satu dengan lainnya (bukan sebagai sarana pemisah).

Anda mungkin juga menyukai