Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Apendisitis didefinisikan sebagai suatu peradangan pada lapisan dalam usus

buntu berbentuk ulat yang menyebar ke bagian lainnya. Kondisi ini adalah kondisi
yang mendesak dengan manifestasi beragam, dan sering tumpang tindih dengan
sindrom klinis lain, dan morbiditas yang signifikan, yang meningkat dengan
penundaan diagnostik. Bahkan, meskipun kemajuan diagnostik dan terapeutik
dalam pengobatan, usus buntu tetap darurat klinis dan merupakan salah satu
penyebab yang lebih umum dari sakit perut akut.1
Apendisitis merupakan salah satu keadaan darurat bedah, dan itu adalah
salah satu penyebab paling umum dari nyeri pada perut. Di Amerika Serikat,
250.000 kasus apendisitis dilaporkan setiap tahun, mewakili 1 juta pasien-hari
masuk. Insiden apendisitis akut telah menurun terus sejak akhir 1940-an, dan
kejadian tahunan saat ini adalah 10 kasus per 100.000 penduduk. Apendisitis
terjadi pada 7% dari penduduk AS, dengan kejadian 1,1 kasus per 1000 orang per
tahun.1
Massa appendiceal adalah hasil akhir dari perforasi appendiceal dan
mewakili spektrum patologis mulai dari phlegmon ke abscess. Ini adalah entitas
bedah umum, ditemui dalam 2%-6% dari pasien dengan appendicitis akut.
manajemen dari massa appendiceal adalah kontroversial dengan tiga pendekatan
umum biasanya diterapkan. 'Manajemen Klasik' melibatkan manajemen

konservatif awal dengan antibiotik broadspectrum dan cairan intravena sampai


pemulihan massa inflamasi. Pasien disarankan melakukan interval apendektomi
setelah penyembuhan gejala. Baru-baru ini, kebutuhan untuk apendektomi interval
telah dipertanyakan, dengan sejumlah penulis mengadopsi pendekatan konservatif
dengan setengah apendektomi langsung atau pendekatan yang konservatif tanpa
jeda apendektomi.2

1.2.

Tujuan penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan

penulis khususnya mengenai penyakit appendiceal mass.

1.3.

Manfaat Penulisan
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan

pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umum agar dapat mengetahui dan memahami lebih baik mengenai penyakit
appendiceal mass.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Apendiks


Apendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang
mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid. Panjang apendiks
vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan
posteromedial caecum, sekitar 1 inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis.
Bagian apendiks vermiformis lainnya bebas. Apendiks vermiformis diliputi

seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium


intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek, yaitu
mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena apendikularis dan saraf-saraf.
Apendiks vermiformis terletak di regio iliaca dextra, dan pangkal diproyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior dan umbilicus (titik McBurney). Didalam abdomen,
dasar apendiks vermiformis mudah ditemukan dengan mencari taeniae coli
caecum dan mengikutinya sampai dasar apendiks vermiformis, tempat taeniae coli
bersatu membentuk tunica muscularis longitudinal yang lengkap.3

Apendiks vermiformis diperdarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan


cabang arteri caecalis posterior. Arteri ini berjalan menuju ujung apendiks
vermiformis didalam mesoapendiks. Vena apendikularis mengalirkan darahnya ke

vena caecalis posterior. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua
nodi yang terletak didalam mesoapendiks dan dari sini dialirkan ke nodi
mesenterica superior. Persarafan berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan
parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Serabut saraf
aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks vermiformis berjalan
bersama saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis stinggi vertebra torakalis X.3

2.2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Pada keadaan normal lendir
ini dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15-25 cmH2O dan
meningkat menjadi 30-50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal
tekanan pada lumen sekum antara 3-4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan
berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk ke sekum.4
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah
yang ada di saluran cerna dan di seluruh tubuh.4

2.3. Definisi Appendiceal Mass

Appendiceal mass adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat


dibatasi oleh omentum, usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa yang disebut massa apendiks (appendiceal mass). Umumnya
massa apendiks terbentuk pada hari keempat sejak peradangan mulai apabila tidak
terjadi peritonitis umum.

2.4. Epidemiologi
Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau
lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah
cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.

2.5. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah
hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah
serat, dan cacing usus termasuk ascaris.Trauma tumpul atau trauma karena
colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis
juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. Frekuensi
obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan
pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis
gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan
rupture.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi

menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh


konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya apendisits akut.

2.6. Patogenesis
Sumbatan lumen appendix
Tekanan intraluminal meningkat
Sumbatan menetap

Sumbatanlepas ke

sekum
Gangguan vaskular

Sembuh

Nekrotik dinding appendix


Invasi bakteri
Supurasi inflamasi
Makroperforasi

Appendicitis akut
Mikroperforasi
Walling off

Peritonitis
Periappendiceal mass(periappendiceal infiltrate)

Sembuh

Abses

Appendisitis kronis

Perforasi

Peritonitis
( Perjalanan Appendicitis )

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh


hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi.Obstruksi tersebut mneyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan.Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi

peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi
perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding
apendiks).Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu
tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses
diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga

terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan


berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Penyakit ini sering dijumpai pada anak-anak, karena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya
perforasi.Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah.

Patofisiologi4

Peradangan awal

nyeri ulu hati/daerah


umbilikal (kolik)

Apendisitis mukosa

nyeri tekan kanan bawah

Radang di seluruh ketebalan dinding

nyeri sentral pindah ke kanan


bawah, mual dan muntah

Apendisitis komplit dengan radang

nyeri somatik, nyeri pada

peritoneum parietal

gerak aktif dan


pasif, defans muskuler

radang jaringan yang menempel pada

genitalia interna, ureter,

apendiks

m.psoas mayor,
kantung kemih, rektum

apendisitis gangrenosa

demam sedang, takikardia,


toksik, leukositosis

perforasi

nyeri dan defans muskuler


seluruh perut

wall-off (pembungkusan)

tidak berhasil

gejala di atas + demam tinggi,


dehidrasi, syok, toksik

berhasil

massa perut kanan bawah,


keadaan umum
berangsur membaik
(Appendicial mass)

abses

demam remiten, toksik,


keluhan dan tanda setempat

2.7. Diagnosis
Anamnesis
Riwayat klasik apendisitis akut yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa
atau abses periapendikuler. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui
gejala klinis apendisitis akut.
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.5,6 Gejala utama Appendicitis acuta

adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 112 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di
RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan
nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.

6,7

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,


biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang
timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul
pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya
perforasi Appendix.
Tabel 1. Gejala Appendicitis acuta 6

Gejala*

Nyeri perut

Frekuensi
(%)
100

Anorexia

100

Mual

90

Muntah

75

Nyeri berpindah

50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian


anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ

50

kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)


*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy,
dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.

Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.

Gejala

Gejala Klinik

Value

Adanya migrasi nyeri

Anoreksia

Tanda

Lab

Mual/muntah

Nyeri RLQ

Nyeri lepas

Febris

Leukositosis

Shift to the left

Total poin

10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri
lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis
difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien
dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya
menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan
tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri
lokal di titik Mc Burneys. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal
menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan
Rovsings sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal
toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien
dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.7
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau

terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat
sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan
penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia.
Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.

Pemeriksaan Fisik
Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan
gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis
letak retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter
sehingga nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.15
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha
kanan, karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal
tersebut akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut
berkurang. 7

Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut10)

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa


letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri
di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis
dapat menyebabkan nyeri rectal.
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri
pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik
untuk Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka
pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 16

Rovsings sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat
bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 5. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 16


Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri
di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis
letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 6. Cara melakukan Obturator sign10)

Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign10)

Blumbergs sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

Wahls sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.
Baldwins test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.

Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
Dunphys sign (nyeri ketika batuk)

Pemeriksaan Penunjang
1.

Laboratorium
Jumlah leukosit > 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
apendisitis akut. Jumlah leukosit pada penderita apendisitis berkisar antara
12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the
left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
apendisitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien

dengan apendisitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu membedakan apendisitis dengan

pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan


pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
2. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen dilakukan apabila hasil anamnesis atau pemeriksaan
fisik meragukan. Pada foto polos abdomen tampak gambaran perselubungan
ileus atau caecal ileus (gambaran garis permukaan air-udara di sekum atau
ileum) dan patogmonik bila terlihat gambaran fekalit.
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala apendisitis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan
spesifisitasnya lebih dari 90%.
4. CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Sensitifitas dan
spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi
klinis tidak jelas dan curiga adanya abses, maka CT scan dapat digunakan
sebagai pilihan tes diagnostik.
2.8. Diagnosis Banding7

Neoplasma dari appendiks vermiformis


Tumor apendiks: carcinoid, tumor jinak (mucinous cystadenoma,
vilous adenoma), tumor ganas primer (adenocarcinoma, lymphoma),
tumor ganas sekunder (berasal dari traktus urogenitalis misalnya

ovarium, usus besar, paru-paru ataupun payudara).


Jarang: ganglioneuroma, pheochromocytoma, tumor mesenkim.
Mukokel apendiks

2.9. Penatalaksanaan7

Appendiceal mass bermula dari phlegmon ke abses dan berkembang pada


2% -6% dari kasus berikut akut apendisitis. Untuk kasus yang jelas karena abses
apendiks, tidak ada kontroversi mengenai penanganan; tindakan pembedahan
drainase segera (perkutan atau terbuka) adalah penanganan yang banyak dipilih.
Untuk phlegmon, sejumlah pilihan pengobatan mulai dari pendekatan konservatif
hingga agresif. Ada tiga pendekatan yang paling populer untuk pengobatan
appendiceal mass.

1. Pengobatan konservatif awal diikuti oleh apendektomi interval enam hingga


delapan minggu
kemudian
Oschner pada tahun 1901 mengusulkan manajemen non operatif untuk
pengobatan appendix mass. Pendekatan ini meliputi pemberian cairan infus dan
antibiotik sementara pasien dipuasakan. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk
mencapai perubahan yang sempurna dari inflamasi massa dan hilangnya gejala
pada pasien sebelum dilakukan intervensi pembedahan ( Gambar 1 ). Alasan untuk
membenarkan apendektomi interval yang pertama adalah untuk mencegah
terulangnya apendisitis akut dan yang kedua untuk menghindari misdiagnosis dari
patologi seperti keganansan. Sebuah artikel yang mendukung pendekatan
konservatif awal diterbitkan pada tahun 1993 oleh Nitecki dan kawan-kawan
melaporkan rata-rata kejadian apendisitis akut berulang dalam meta-analisis dari
329 pasien dikelola secara konservatif adalah
13,7 % ( kisaran 0 % -20 % ) . Kebanyakan kekambuhan terjadi dalam dua tahun
pertama . Ada juga sedikit kesulitan operasi pada kelompok pasien ini dan
terkadang diperlukan insisi yang luas selama operasi . Secara signifikan waktu
untuk operasi lebih pendek daripada metode penanganan yang lain . Dan juga tidak

ada komplikasi pasca operasi yang signifikan.

Appendiceal mass

Penanganan konservatif awal


Massa/nyeri yang terus
menerus
Pembentukan abses
Ditangani

Penilaian dan

Investigasi lebih lanjut


Drainase abses
Ditangani
Massa/nyeri yang

Apendektomi Interval

terus menerus

Laparotomi
Gambar. Algoritma dari manajemen appendiceal mass
2) Apendektomi segera diikuti resolusi massa inflamasi
Dengan munculnya antibiotik yang dibuat untuk mencegah pertumbuhan

bakteri anaerob, apendektomi awal dapat dilakukan tanpa komplikasi. Oleh karena
itu apendektomi darurat muncul sebagai alternatif untuk penanganan konservatif
konvesional . Hal ini dikatakan layak, aman, dan coss-effective, memungkinkan
diagnosis awal dari patologis. Salah satu metode melibatkan apendektomi segera
setelah ada resolusi dari massa sebelum pasien dipulangkan. Namun beberapa ahli
bedah lebih agresif memulai hemikolektomi pada bagian kanan sesuai dengan yang
dikeluhkan pasien. Apendektomi segera memiliki kelebihan yaitu aman,
menghilangkan risiko apendisitis berulang dan menghilangkan kebutuhan untuk
readmission untuk jarak apendektomi. Hal ini umumnya dilaporkan untuk
mengurangi jumlah rawatan rumah sakit. Namun, memiliki komplikasi tinggi
sekitar 36 % , hampir sebanding dengan perforasi apendisitis. Pembedahan segera
menyebabkan penyebaran infeksi dan fistula usus .Hal ini tampaknya jelas
menyingkirkan manfaat yang disebutkan tadi. Inflamasi appendiceal mass menjadi
keliru pada pembedahan tumor ganas, kadang-kadang pada hemikolektomi sebelah
kanan. Sebuah massa ganas mungkin keliru dilakukan penanganan dengan
apendektomi. Dilihat dari komplikasi di atas disarankan untuk tidak mengadopsi
metode ini di lingkungan kita , karena kelompok ini memiliki komplikasi
signifikan dan pengobatan yang berlebih dibandingkan dengan metode tradisional
konservatif awal.
3) Suatu pendekatan yang konservatif tanpa apendektomi pada pasien dengan
appendiceal massa
Banyak ahli berpendapat bahwa setelah manajemen konservatif yang sukses,
apendektomi interval tidak diperlukan dan bisa secara aman dihilangkan, kecuali
pada pasien dengan gejala berulang. Pada pasien dengan usia di atas 40 tahun, kita
harus memberi pengecualian penyebab patologis lain dari penyebab massa fossa
iliaka kanan dengan investigasi yang lebih seperti barium enema, kolonoskopi dan

CT-scan. Follow up yang ketat diperlukan pada pasien ini. Sangat jelas pada
metode nomor 1 dan 2 di atas memiliki waktu jauh lebih lama dirawat di rumah
sakit dan tidak bekerja. Dixon dan kawan-kawan meninjau karakteristik dari 32
pasien yang memiliki gejala berulang pada penanganan konservatif. Waktu ratarata untuk timbulnya gejala adalah lima bulan setelah episode awal. Mereka
membandingkan karakteristik klinis setiap pasien saat masuk awal dengan
karakteristik yang sama pada gejala berulang. Mereka menunjukkan bahwa ketika
gejala berulang dari apendisitis diikuti klinis ringan. Gejala berulang diobati secara
berhasil dengan pendekatan operatif dan non-operatif dan tidak terkait dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Mereka juga membandingkan gejala
klinis dan karakteristik demografi dari kelompok gejala berulang ke kelompok
gejala yang tidak berulang dan tidak menemukan faktor risiko yang signifikan
untuk gejala yang berulang, termasuk tingkat keparahan pada presentasi awal.
Maka, yang pertama adalah resiko apendisitis akut yang berulang diikuti
manajemen konservatif adalah rendah, sekitar 5 % dan 14 %. Kedua, minoritas
pasien yang gejalanya berulang biasanya terjadi dalam waktu satu tahun.
Ketiga, gejala berulang dari apendisitis berikut manajemen konservatif
biasanya berhubungan dengan perjalanan klinis ringan bisa digunakan untuk
tindakan operatif dan pendekatan non-operatif. Keempat, tidak ada metode yang
akurat untuk memprediksi pasien yang berisiko untuk timbulnya gejala yang
berulang. Kelompok yang di tangani secara konservatif juga memiliki waktu yang
lebih sedikit untuk dirawat di Rumah Sakit meskipun terjadi kekambuhan. Mereka
menyimpulkan bahwa manajemen konservatif tanpa apendektomi berjangka adalah
manajemen yang paling tepat untuk appendix mass dan apendektomi yang segera
biasanya dilakukan pada manajemen konservatif yang gagal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Craig,

Sandy.

2012.

Appendicitis.

Emedicine.

http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a0156
2. Garba, E.S. 2008. Management of Appendiceal Mass. Annals of African Medicine Vol. 7,
No.4; 2008: 200 204
3. Snell, RS. 2010. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 10. Jakarta: EGC.
230-231
4. Sjamsuhidayat R, de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 755-756
5. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 18 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2009:668-72
6. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 25th edition.
Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2012: 1381-93
7. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

Anda mungkin juga menyukai