PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Apendisitis didefinisikan sebagai suatu peradangan pada lapisan dalam usus
buntu berbentuk ulat yang menyebar ke bagian lainnya. Kondisi ini adalah kondisi
yang mendesak dengan manifestasi beragam, dan sering tumpang tindih dengan
sindrom klinis lain, dan morbiditas yang signifikan, yang meningkat dengan
penundaan diagnostik. Bahkan, meskipun kemajuan diagnostik dan terapeutik
dalam pengobatan, usus buntu tetap darurat klinis dan merupakan salah satu
penyebab yang lebih umum dari sakit perut akut.1
Apendisitis merupakan salah satu keadaan darurat bedah, dan itu adalah
salah satu penyebab paling umum dari nyeri pada perut. Di Amerika Serikat,
250.000 kasus apendisitis dilaporkan setiap tahun, mewakili 1 juta pasien-hari
masuk. Insiden apendisitis akut telah menurun terus sejak akhir 1940-an, dan
kejadian tahunan saat ini adalah 10 kasus per 100.000 penduduk. Apendisitis
terjadi pada 7% dari penduduk AS, dengan kejadian 1,1 kasus per 1000 orang per
tahun.1
Massa appendiceal adalah hasil akhir dari perforasi appendiceal dan
mewakili spektrum patologis mulai dari phlegmon ke abscess. Ini adalah entitas
bedah umum, ditemui dalam 2%-6% dari pasien dengan appendicitis akut.
manajemen dari massa appendiceal adalah kontroversial dengan tiga pendekatan
umum biasanya diterapkan. 'Manajemen Klasik' melibatkan manajemen
1.2.
Tujuan penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
1.3.
Manfaat Penulisan
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umum agar dapat mengetahui dan memahami lebih baik mengenai penyakit
appendiceal mass.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
vena caecalis posterior. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua
nodi yang terletak didalam mesoapendiks dan dari sini dialirkan ke nodi
mesenterica superior. Persarafan berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan
parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Serabut saraf
aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks vermiformis berjalan
bersama saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis stinggi vertebra torakalis X.3
2.2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Pada keadaan normal lendir
ini dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15-25 cmH2O dan
meningkat menjadi 30-50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal
tekanan pada lumen sekum antara 3-4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan
berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk ke sekum.4
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah
yang ada di saluran cerna dan di seluruh tubuh.4
2.4. Epidemiologi
Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau
lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah
cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
2.5. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah
hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah
serat, dan cacing usus termasuk ascaris.Trauma tumpul atau trauma karena
colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis
juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. Frekuensi
obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan
pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis
gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan
rupture.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
2.6. Patogenesis
Sumbatan lumen appendix
Tekanan intraluminal meningkat
Sumbatan menetap
Sumbatanlepas ke
sekum
Gangguan vaskular
Sembuh
Appendicitis akut
Mikroperforasi
Walling off
Peritonitis
Periappendiceal mass(periappendiceal infiltrate)
Sembuh
Abses
Appendisitis kronis
Perforasi
Peritonitis
( Perjalanan Appendicitis )
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi
perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding
apendiks).Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu
tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses
diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
Patofisiologi4
Peradangan awal
Apendisitis mukosa
peritoneum parietal
apendiks
m.psoas mayor,
kantung kemih, rektum
apendisitis gangrenosa
perforasi
wall-off (pembungkusan)
tidak berhasil
berhasil
abses
2.7. Diagnosis
Anamnesis
Riwayat klasik apendisitis akut yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa
atau abses periapendikuler. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui
gejala klinis apendisitis akut.
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.5,6 Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 112 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di
RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan
nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.
6,7
Gejala*
Nyeri perut
Frekuensi
(%)
100
Anorexia
100
Mual
90
Muntah
75
Nyeri berpindah
50
50
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy,
dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.
Gejala
Gejala Klinik
Value
Anoreksia
Tanda
Lab
Mual/muntah
Nyeri RLQ
Nyeri lepas
Febris
Leukositosis
Total poin
10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri
lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis
difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien
dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya
menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan
tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri
lokal di titik Mc Burneys. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal
menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan
Rovsings sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal
toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien
dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.7
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau
terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat
sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan
penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia.
Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.
Pemeriksaan Fisik
Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan
gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis
letak retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter
sehingga nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.15
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha
kanan, karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal
tersebut akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut
berkurang. 7
Rovsings sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat
bila telah terjadi rigiditas abdomen.
Wahls sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.
Baldwins test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.
Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
Dunphys sign (nyeri ketika batuk)
Pemeriksaan Penunjang
1.
Laboratorium
Jumlah leukosit > 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
apendisitis akut. Jumlah leukosit pada penderita apendisitis berkisar antara
12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the
left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
apendisitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien
dengan apendisitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu membedakan apendisitis dengan
2.9. Penatalaksanaan7
Appendiceal mass
Penilaian dan
Apendektomi Interval
terus menerus
Laparotomi
Gambar. Algoritma dari manajemen appendiceal mass
2) Apendektomi segera diikuti resolusi massa inflamasi
Dengan munculnya antibiotik yang dibuat untuk mencegah pertumbuhan
bakteri anaerob, apendektomi awal dapat dilakukan tanpa komplikasi. Oleh karena
itu apendektomi darurat muncul sebagai alternatif untuk penanganan konservatif
konvesional . Hal ini dikatakan layak, aman, dan coss-effective, memungkinkan
diagnosis awal dari patologis. Salah satu metode melibatkan apendektomi segera
setelah ada resolusi dari massa sebelum pasien dipulangkan. Namun beberapa ahli
bedah lebih agresif memulai hemikolektomi pada bagian kanan sesuai dengan yang
dikeluhkan pasien. Apendektomi segera memiliki kelebihan yaitu aman,
menghilangkan risiko apendisitis berulang dan menghilangkan kebutuhan untuk
readmission untuk jarak apendektomi. Hal ini umumnya dilaporkan untuk
mengurangi jumlah rawatan rumah sakit. Namun, memiliki komplikasi tinggi
sekitar 36 % , hampir sebanding dengan perforasi apendisitis. Pembedahan segera
menyebabkan penyebaran infeksi dan fistula usus .Hal ini tampaknya jelas
menyingkirkan manfaat yang disebutkan tadi. Inflamasi appendiceal mass menjadi
keliru pada pembedahan tumor ganas, kadang-kadang pada hemikolektomi sebelah
kanan. Sebuah massa ganas mungkin keliru dilakukan penanganan dengan
apendektomi. Dilihat dari komplikasi di atas disarankan untuk tidak mengadopsi
metode ini di lingkungan kita , karena kelompok ini memiliki komplikasi
signifikan dan pengobatan yang berlebih dibandingkan dengan metode tradisional
konservatif awal.
3) Suatu pendekatan yang konservatif tanpa apendektomi pada pasien dengan
appendiceal massa
Banyak ahli berpendapat bahwa setelah manajemen konservatif yang sukses,
apendektomi interval tidak diperlukan dan bisa secara aman dihilangkan, kecuali
pada pasien dengan gejala berulang. Pada pasien dengan usia di atas 40 tahun, kita
harus memberi pengecualian penyebab patologis lain dari penyebab massa fossa
iliaka kanan dengan investigasi yang lebih seperti barium enema, kolonoskopi dan
CT-scan. Follow up yang ketat diperlukan pada pasien ini. Sangat jelas pada
metode nomor 1 dan 2 di atas memiliki waktu jauh lebih lama dirawat di rumah
sakit dan tidak bekerja. Dixon dan kawan-kawan meninjau karakteristik dari 32
pasien yang memiliki gejala berulang pada penanganan konservatif. Waktu ratarata untuk timbulnya gejala adalah lima bulan setelah episode awal. Mereka
membandingkan karakteristik klinis setiap pasien saat masuk awal dengan
karakteristik yang sama pada gejala berulang. Mereka menunjukkan bahwa ketika
gejala berulang dari apendisitis diikuti klinis ringan. Gejala berulang diobati secara
berhasil dengan pendekatan operatif dan non-operatif dan tidak terkait dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Mereka juga membandingkan gejala
klinis dan karakteristik demografi dari kelompok gejala berulang ke kelompok
gejala yang tidak berulang dan tidak menemukan faktor risiko yang signifikan
untuk gejala yang berulang, termasuk tingkat keparahan pada presentasi awal.
Maka, yang pertama adalah resiko apendisitis akut yang berulang diikuti
manajemen konservatif adalah rendah, sekitar 5 % dan 14 %. Kedua, minoritas
pasien yang gejalanya berulang biasanya terjadi dalam waktu satu tahun.
Ketiga, gejala berulang dari apendisitis berikut manajemen konservatif
biasanya berhubungan dengan perjalanan klinis ringan bisa digunakan untuk
tindakan operatif dan pendekatan non-operatif. Keempat, tidak ada metode yang
akurat untuk memprediksi pasien yang berisiko untuk timbulnya gejala yang
berulang. Kelompok yang di tangani secara konservatif juga memiliki waktu yang
lebih sedikit untuk dirawat di Rumah Sakit meskipun terjadi kekambuhan. Mereka
menyimpulkan bahwa manajemen konservatif tanpa apendektomi berjangka adalah
manajemen yang paling tepat untuk appendix mass dan apendektomi yang segera
biasanya dilakukan pada manajemen konservatif yang gagal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Craig,
Sandy.
2012.
Appendicitis.
Emedicine.
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a0156
2. Garba, E.S. 2008. Management of Appendiceal Mass. Annals of African Medicine Vol. 7,
No.4; 2008: 200 204
3. Snell, RS. 2010. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 10. Jakarta: EGC.
230-231
4. Sjamsuhidayat R, de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 755-756
5. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 18 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2009:668-72
6. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 25th edition.
Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2012: 1381-93
7. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34