Anda di halaman 1dari 4

10 Kekeliruan Cara Berfikir Ade Armando Tentang RUU Pornografi

Oleh Boedhi Margono


Boleh dikatakan seluruh pembelaan Ade Armando terhadap RUU Pornografi Ade
dalam Majalah Madina edisi Oktober 2008 keliru besar dan menyesatkan.
1. Dia berkata bahwa RUU pornografi tidak bertentangan dengan hak azasi
manusia karena pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat dilakukan
atas dasar, antara lain, pertimbangan moral dalam masyarakat. Dan katanya
hal itu sesuai dengan teks dalam Deklarasi Univeral Hak-hak Asas Manusia
(ayat 29). Ya. Memang pembatasan-pembatas an berbasis moral seperti itu
tidak menyalahi Deklarasi itu. Namun Ade Armando harus menyadari bahwa
Deklarasi itu dibuat zaman dahulu kala, yang tentu saja sudah menjadi
sangat usang saat disandingkan dengan perkembangan faham kebebasan sipil
kontemporer. Deklarasi itu memang berguna besar dalam menjamin HAM, namun
dalam batas yang sifatnya dasar dan minimal. Dalam perjuangan HAM yang
sesungguhnya kebebasan sipil harus diperluas lagi bagi kebutuhan
kemanusiaan. Ia juga berkata bahwa kebebasan yang dinikmati para pembuat
media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun
terakhir. Ia berkilah bahwa
sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan
dunia memandang pornografi sebagai "anak haram" yang bukan hanya mengganggu
etika kaum beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah
kemasyarakatan. Jawaban saya adalah masa-masa 30-40 tahun lalu adalah
sekitar tahun 1960-1970an adalah sebuah batas zaman, dimana memang telah
terjadi pergolakan besar dalam perjuangan membela hak-hak sipil di Eropa
dan Amerika. Pada waktu itu generasi bunga muncul dengan slogan make love
no war. Tahun 1968 terjadi revolusi mahasiswa di Perancis menentang
berbagai hipokrisi dalam kehidupan masyarakat. Kaum muda sekuler dan
liberal di kala itu juga menentang kolonialisme di negara ketiga dan juga
diskriminasi rasial di seluruh dunia. Sejak saat itu maka terdapat
perubahan besar dunia. Sejak zaman itu pula maka zaman komunikasi pun lahir
dengan semangat utamanya akan kebebasan informasi. Zaman setelahnya adalah
sebuah zaman perubahan dimana
konservatifisme memang tergusur mundur dan tidak lagi ngetrend.
Mengembalikan ukuran moralitas kembali pada tahun 1960-an sama saja dengan
balik mundur pada zaman konservatif saat itu, dimana rasialisme, perang
kolonial, apartheid, pembatasan informasi negara, pembatasan terhadap
ekspresi kaum perempuan, dan lain-lain adalah sesuatu yang dipandang wajar
dan benar. Dalam hal ini Ade Armando pada dasarnya ingin mengembalikan
dunia pada era tahun 1960-an kembali. Tentu saja hal itu adalah ide yang
sangat anti kemajuan. Mimpi Ade Armando ini merupakan mimpi seluruh kaum
konservatif di dunia.
2. Ade Armando menolak bahwa RUU itu beragenda menegakkan syariah karena
mengingat ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada
agenda Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi
tanpa kecuali. Saya harus mengatakan bahwa RUU itu tidak boleh dilihat
sebagai teks tunggal saja tanpa melihat korelasi konteks politis yang lain.
Dalam kenyataannya RUU itu sebenarnya menjadi bagian dari proses politik
jangka panjang, dimana perjuangan syariahisasi dilaksanakan dalam berbagai
lini dan metode. Dalam realitas kita lihat bagaimana kelompok-kelompok
konservatif Islam semakin mendominasi dalam proses pemilihan kepala daerah.
Ada semacam proses desa mengepung kota di sana. Ada juga proses lain dimana
kelompok-kelompok sipil bersenjata seperti FPI melakukan kerja yang lebih
kotor dengan teror penyerangan kepada kelompok pluralis. Ada proses dimana
media juga disyariahisasikan misalnya dengan pelarangan KPI (Komisi
Penyiaran
Indonesia) terhadap peran-peran banci di TV, dimana MUI mengamini dengan
sangat antusias. Kita juga melihat di TV acara-acara berbau religius
semakin lama semakin mendominasi. Ada HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang

mengobarkan ide tentang Khilafah Internasional. Ada proses Perda-perda


bermasalah yang berbau syariah yang membelenggu kebebasan sipil. Bahkan
dalam proses itu hadir juga kelompok klandestin teror seperti Dr Azahari
maupun Amrozi. Artinya RUU Pornografi itu adalah semacam gerbang pembuka
bagi gerakan lain yang lebih utama, yaitu penerapan syariah tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga kawasan bahkan dunia.
3. Ade Armando menolak bahwa RUU itu mengkriminalisasi perempuan. Ia
menyatakan bahwa justru yang berpotensi terkena ancaman pidana adalah kaum
lelaki. Katanya RUU ini justru mengancam dengan keras mereka yang mendanai,
membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki pornografi. Ia
berkilah bahwa mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat
dan ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja
adalah kaum pria. Pandangan Ade Armando seperti ini sangatlah sesat.
Berhubung kriteria pornografi dalam teks RUU itu sangatlah sumir dan luas,
maka potensi korban yang jelas paling menderita tentu saja adalah kaum
perempuan. Terutama kelompok perempuan kelas bawah. Hal ini karena RUU itu
mendorong kontrol-kontrol yang makin kuat bagi masyarakat bawah, dimana
budaya patriarkal dan misoginis paling brutal terjadi. Budaya patriarkal
dan misoginis di kalangan ini selalu mengorbankan kaum perempuan yang
paling miskin dan tak berdaya.
Pada dasarnya RUU itu segera akan mengkriminaliasasi para pekerja seks
komersial kelas bawah serta kaum ibu rumahtangga. Mereka kaum paling tidak
berdaya karena tidak memiliki akses dana, akses pembelaan hukum yang wajar,
dan akses perlakuan hukum yang manusiawi. Sementara itu kelompok sosial
atas dan konsumen pornografi kelas menengah dan atas lebih bisa menjalankan
konsumsi dan produksi seksualitas secara lebih terlindung karena mereka
lebih memiliki akses hukum, dan mampu memanfaatkan teknologi yang lebih
canggih dan tidak mudah ditelusuri. Kontrol syariah itu lebih berfungsi
optimal kepada kelompok masyarakat bawah, dan hal itu memang sesuatu yang
mestinya sangat disengaja oleh para penggagas RUU tersebut. Hal ini bisa
kita bandingkan dengan di Iran dimana pendukung mullah konservatif adalah
kelompok masyarakat bawah, sementara kelas menengah yang lebih liberal
terus merasa tertekan dan tidak mampu untuk berbicara banyak karena jumlah
mereka yang
lebih kecil. Fenomena itu nampaknya juga hendak dibangun di Indonesia,
dimana kelompok liberal dan sekuler pluralis adalah minoritas saja
(terutama ada di kalangan kelas menengah). Hal ini karena kelompok
masyarakat bawah adalah kelompok yang paling rentan untuk ditindas, lebih
mudah untuk dimanipulasi pandangannya, lebih mudah untuk digiring pada
keyakinan dan ideologi tertentu. Jumlah mereka yang besar membuatnya
potensial untuk menjamin proses syariahisasi berjalan dengan mulus di
Indonesia.
4. Ade Armando menyatakan bahwa definisi kabur tentang pornografi adalah
wajar. Hal itu memang ada dalam berbagai perundangan di dunia. Hal itu
adalah pandangan yang sangat buruk dan keliru. Pandangan itu juga merupakan
pandangan yang seakan menafikan betapa takutnya masyarakat pada piranti
hukum yang ada. Betapa ia tidak peduli akan repotnya para pelaku seni,
misalnya, jika harus berhadapan dengan proses hukum dan pengadilan yang
korup di Indonesia. Ia tidak peduli bahwa kelompok rentan seperti pekerja
seks komersial kelas bawah pada dasarnya bahkan tidak terlindungi oleh
bantuan hukum. Dalam konteks Indonesia dimana kepastian hukum dengan mudah
dipelintir oleh mereka yang memiliki kekuasaan, hal ini mengindikasikan
juga sebuah cita-cita, harapan, dan bahkan keyakinan tersembunyi kelompok
konservatif agama bahwa mereka bakal bisa sepenuhnya mengontrol institusi
hukum dan kenegaraan Indonesia.
5. Ade Armando menyatakan bahwa ketakutan bahwa RUU ini mengancam
kebhinekaan adalah keliru, karena pasal-pasal itu seharusnya sudah tidak
lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru. Ade Armando

mungkin pura-pura lupa bahwa di masyarakat ada kelompok sipil yang


mendapatkan peluru gratis dengan RUU Pornografi itu. Mereka tidak peduli
bahwa isi Undang-Undang itu menjamin kebebasan pada kebhinekaan. Mereka
memandang bahwa apa yang mereka anggap sebagai pornografi harus dilibas.
Saat ini saja perilaku beringas mereka cenderung dibiarkan saja oleh
aparat, apalagi jika RUU itu disahkan. Mereka akan bisa menggunakan
berbagai alasan untuk pembenaran kebrutalan mereka melalui cuplikancuplikan ayat dalam UU itu. Aparat hukum sendiri juga berpotensi memainmainkan hukum dengan sahnya RUU itu. Blackmail-blackmail dan pungutanpungutan liar akan menjadi sesuatu yang akan biasa ditemui. Undang-undang
itu juga akan secara de facto memecah belah
bangsa ini dalam wilayah-wilayah yang pro dan kontra akan Undang-undang
itu. Akan hadir kebencian dan kecurigaan dari kelompok agama tertentu pada
kelompok agama yang lain, daerah tertentu terhadap daerah yang lain,
ekspresi budaya tertentu kepada ekspresi budaya yang lain. Bakal ada
masyarakat dan etnis yang merasa di diskriminasikan dan dilecehkan karena
budaya mereka dikategorikan porno, seperti budaya Bali maupun Papua. RUU
itu berpotensi memecah bangsa ini menjadi berkeping-keping.
6. Ade Armando manyatakan bahwa para pengkritik RUU itu hanya menakutnakuti masyarakat saja mengenai potensi RUU itu mengatur cara berpakaian.
Ade Armando sekali lagi seakan menutup mata terhadap fakta tentang
bertebarannya perda-perda yang bermasalah seperti kewajiban siswa berjilbab
di berbagai daerah. Di Tangerang ada perda yang mengkriminalisasika n
perempuan yang pulang kerja malam dan dipandang berpakaian serta
berperilaku seperti PSK. Ade Armando seakan mengecilkan fakta dan realitas
bahwa proses syariahisasi cara pakaian itu sudah berjalan sejak beberapa
waktu ini di beberapa daerah, dan RUU itu bakal menjadi pembenar mutlak
atas perda-perda yang akan lebih menjijikkan lagi, terutama soal
perpakaian, tingkah laku, cara bergaul, dan sebagainya.
7. Ade Armando menyangkal bahwa RUU itu berpotensi menimbulkan perilaku
anarkis oleh kelompok masyarakat tertentu kepada yang lainnya. Katanya
justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang
senang main hakim sendiri bahwa dalam alam demokratis, karena peran serta
itu tak boleh ditafsirkan semena-mena. jelas hal ini pandangan yang ngawur.
Ade Armando lupa bahwa kelompok sipil fasis itu sebenarnya tidak peduli
dengan hukum. Dan kenyataannya mereka juga boleh dikatakan tidak tersentuh
oleh hukum. Hukum di Indonesia masih bersifat politis. Selama akses
kekuasan dikontrol oleh kelompok masyarakat atau ideologi tertentu maka
mereka dengan sangat leluasa menjejalkan sikapnya kepada masyarakat.
Kelompok pembela syariah secara anrkis itu bakal hanya memiliki satu
fikiran, bahwa Undang-undang Pornografi itu berfihak pada mereka. Dan
memang jika RUU itu gol, pada dasarnya Indonesia bergerak menjadi makin ke
kanan. Dengan semakin ke arah
kanan, maka mereka pun akan makin bebas bergerak. Hukum pun bakal takut
kepada mereka. Ini semacam pertarungan common sense.
8. Ade Armando menyatakan bahwa RUU ini membedakan pornografi dibandingkan
KUHP dengan pilihan hukuman yang lebih detail. Ada hukuman yang ringan
untuk pelanggaran ringan dan yang berat untuk yang berat juga. Ia juga
menyatakan bagaimana muatan-muatan tertentu bisa diatur distribusinya.
Pandangan ini sangat menyesatkan karena menafikan bahwa dalam realitas
keseharian, KUHP tentang pornografi sebenarnya sedang separuh dianulir
karena hadirnya kesadaran masyarakat bahwa zaman sudah berubah. MAsyarakat
bisa melihat di media tentang Britney Spears dan mereka sudah menganggapnya
wajar. Perilaku selebriti Indonesia pun sudah tak mudah dibedakan dengan
Britnsey Spears atau beyonce. Dan masyarakat umum tidak menganggap lagi
tampilan itu porno atau merangsang. Mereka menganggap hal itu biasa saja
dan tidak terangsang secara seksual. Tetapi memang kaum konservatif

religius merasa jengah atas fenomena ini. Apalagi kaum konservatif religius
itu umumnya adalah kaum
yang mudah terangsang secara seksual namun munafik. RUU Pornografi yang
lebih detail itu adalah semacam upaya untuk merampas kembali kebebasan
ekspresi masyarakat itu dengan merevitalisasikan lagi pasal KUHP yang
secara common sense dianulir itu. Hal ini menandakan bahwa RUU ini benarbenar buah karya kaum konservatif dan puritan.
9. Ade Armando percaya bahwa bahwa negara lazim diberi kewenangan untuk
melindungi masyarakat dengan antara lain mengeluarkan peraturan perundangan
yang ketat demi melindungi warganya dari perilaku menyimpang seperti seks
bebas, kekerasan seks, dan sebagainya. Dalam hal ini Ade Armando salah dan
sesat fikir. Yang pertama bahwa tidak semua budaya dan agama di Indonesia
menabukan dan menganggap keliru seks bebas. Dalam hal ini Ade Armando
menjadi seorang yang etnosentris dan religiosentris. Dalam kaitan ini ia
sedang dalam terlibat dalam proses penafian pluralisme yang sesungguhnya.
Dalam hal kekerasan seks, maka KUHP sebenarnya sudah mengatur pasal
mengenai delik kekerasan. Delik itu sudah sangat mencukupi. Dalam
kenyataannya apa yang dipandang para penggagas RUU pornografi sebagai hal
yang porno itu boleh dikatakan 90% adalah berkait dengan kebebasan
berekspresi tubuh oleh masyarakat dan seniman, yang minimal sekali
kaitannya dengan soal kekerasan serta
penyimpangan psikologis lainnya.
10. Ade Armando menyatakan bahwa RUU ini justru memberi penghormatan khusus
pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan memasukkan pasal yang
menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi akan dikecualikan pada
karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan budaya. Ade Armando
menyembunyikan fakta bahwa pasal itu adalah pasal seolah-olah dimana
ranjau-ranjau untuk menjerat para seniman bertebaran. Ade Armando juga
menafikan bahwa sebuah karya seni ketika sampai kepada konsumen bisa lagi
tidak lagi dikategorikan orang sebagai karya seni. Patung, lukisan, atau
foto telanjang yang ada di ruangan rumah orang bisa saja dituduh oleh para
maniak konservatif syariah sebagai benda porno. RUU itu akan membatasi
ruang gerak dan hidup para seniman. Orang akan menjadi takut untuk memiliki
benda seni. Bangsa Indoensia sedang dirampas haknya untuk berbudaya. Bagi
masyarakat yang sangat peduli seni dan budaya seperti Jogja-Solo dan Bali,
hal itu berarti sebuah
penindasan yang nyata. Orang Jogja-Solo dan Bali amat sadar tentang bahaya
RUU itu bagi kehidupan berbudaya mereka sehari-hari.
Demikianlah analisis dan kritikan saya terhadap pandangan-pandangan sempit
dari Ade Armando mengenai RUU Pornografi ini. Semoga kebebasan, pluralisme,
dan sekularisme menang di Indonesia. Tidak ada kata menyerah bagi kita.
Lawan fasisme, fundamentalisme, dan konservatifisme.
NO PASARAN!!!

Anda mungkin juga menyukai