Anda di halaman 1dari 6

Aspek Psikologi dari Masalah Pangan

Wawancara Prof. Purwiyatno Hariyadi dalam Perspektif Baru


Pada kesempatan ini kita akan berbicara khusus mengenai ketahanan pangan dan
kesiapan pemerintah mengantisipasi serta mencegah terjadinya krisis pangan di
Indonesia. Kita mengetahui pangan merupakan salah satu masalah utama, vital dan
fundamental yang strategis bagi kehidupan bangsa, khususnya dalam memenuhi
kebutuhan pokok penduduk Indonesia. Tamu kita adalah Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi,
staf pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan juga Kepala Southeast Asian Food &
Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center di IPB.
Menurut Purwiyatno Hariyadi, saat ini pangan masih dipandang sebatas sebagai
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan jasmani dari individu. Padahal pangan tidak
sekadar komoditi karena lebih strategis dari itu. Ia termasuk identitas bangsa dan ciri
khas atau karakteristik lokal dari suatu bangsa. Selain itu, pangan juga sering
disederhanakan hanya menjadi beras. Guna menjaga ketahanan pangan, maka pangan
tidak bisa lagi dipandang sebatas komoditas dan diversifikasi pangan menjadi hal
penting.
Purwiyatno Hariyadi mengatakan kalau berbicara mengenai diversifikasi pangan, maka
sebaiknya adalah diversifikasi pangan berbasis lokal, bukan diversifikasi pangan impor.
Jadi dalam hal ini tidak hanya memperhatikan kriteria kandungannya ataupun
kebutuhan gizi di level individu, tetapi secara bangsa semestinya lebih menentukan dari
mana pangan itu, seberapa mampu kita menyediakannya, dan seberapa penting kita
untuk mencukupi kebutuhan itu secara lokal.
Berikut wawancara Ansy Lema dengan Purwiyatno Hariyadi.
Bagaimana sebenarnya kondisi ketahanan pangan kita saat ini?
Kalau berbicara mengenai kondisi ketahanan pangan, kita harus tahu dulu apa arti
ketahanan pangan itu. Orang sering melihat ketahanan pangan sama dengan jumlah
ketersediaan atau jumlah produksi pangan, dan pangan sering direduksi menjadi hanya
beras. Nah, kondisi sekarang kalau kita bicara ketahanan pangan maka sebetulnya
yang penting adalah bagaimana kondisi individu populasi Indonesia dari sisi pangan. Itu
ditunjukkan dengan kestabilan gizi dari individu-individu. Kalau ketersediaan nasional
dari data-data yang ada sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan, terutama beras.
Tapi masalahnya pangan tidak hanya sekadar beras, sehingga perlu perincian lebih
kompleks lagi.
Salah satu aspek atau kata kunci dalam konsep ketahanan pangan adalah
aksesibilitas. Bagaimana masyarakat mengakses pangan bagi kehidupannya?

Memang salah satu komponen penting dari ketahanan pangan adalah aksesibilitas.
Dalam hal ini masyarakat terutama golongan miskin mempunyai kesulitan karena daya
beli yang rendah, bahkan terkadang di suatu daerah tidak tersedia. Kondisi ini cukup
memprihatinkan karena banyak rakyat miskin yang mempunyai kesulitan dalam akses
tersebut.
Selain akses, ketahanan pangan juga mensyaratkan adanya mutu, gizi dan kualitas
bagi kehidupan kita. Bagaimana kondisi gizi, mutu dan kualitas pangan bagi
masyarakat?
Kalau kita bicara lebih detail lagi mengenai mutu dan keamanan dari makanan yang
tersedia maka kondisinya lebih memprihatinkan. Sekarang banyak yang menggunakan
kalori sebagai ukuran. Standarnya adalah 2.100 kalori per orang per hari, kalau kurang
maka dianggap kurang pangan, bahkan rawan pangan.
Apakah sudah tepat standarisasi tersebut?
Secara kuantitas saya rasa Ok, namun untuk kualitas belum tentu Ok.
Apa seharusnya yang menjadi parameter untuk mengukur kualitas pangan?
Salah satu parameternya adalah diversifikasi pangan. Dari nilai gizinya, seperti protein
karbohidrat dan lemak. Juga dalam komponen-komponen mikro seperti zat besi dan
seterusnya.
Dalam konsep tentang ketahanan pangan disebutkan bahwa ada akses pada pangan
tapi pada rumah tangga. Mengapa akses tersebut tidak diukur pada tingkat individu
seperti yang Anda katakan?
Definisi yang ada di Undang-Undang (UU) No.7 tahun 1999 tentang Pangan
menyebutkan kecukupan kalori tersebut adalah di level rumah tangga. Terkait yang
memerlukan pangan adalah indvidu, maka harus ada revisi tentang definisi itu sehingga
kecukupan di tingkat individu dijamin di UU.
Tadi disinggung bahwa sebenarnya pangan tidak bisa direduksi sebatas beras.
Bagaimana Anda melihat komitmen pemerintah untuk melakukan diversifikasi terhadap
pangan?
Diversifikasi pangan secara program sudah ada sejak 1970-an, tetapi aksinya adalah
upaya untuk mengindustrialisasikan dan menyediakan aneka ragam produk pangan ke
masyarakat yang kurang.
Menurut pengamatan Anda, apa pangkal persoalannya sehingga tidak terjadi kemajuan
dalam diversifikasi?

Ada beberapa hal. Pertama, karena terlalu fokus kepada beras tadi. Beras dianggap
sebagai komoditi utama sehingga sering disignifikasikan bahwa, "Keadaan okay kalau
ada beras cukup." Kedua, akibat tadi membuat perhatian Kementerian Pertanian dalam
penelitian dan pengembangan produk non-beras menjadi sangat minim. Tidak hanya
itu, kalau kita lihat lagi, terkait dana penelitian biasanya untuk beras mengakibatkan
upaya mengeksploitasi bahan non-beras juga menjadi minim.
Kalau tidak salah, Kementerian Pertanian mempunyai program One Day No Rice.
Apakah itu bisa dipandang sebagai upaya diversifikasi pangan?
Itu adalah program yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian dan menurut saya
bagus sebagai suatu upaya untuk mengurangi ketergantungan kepada beras. Namun,
yang perlu dikemukakan secara lebih agresif adalah penyediaan alternatif selain beras.
Jangan-jangan nanti kalau beras tidak ada bisa membuat seseorang tidak makan, atau
beralih ke makanan impor yang tidak kita inginkan. Semestinya ada upaya penyediaan
keanekaragaman pangan yang tersedia kapanpun. Jadi ketika orang melakukan One
Day No Rice maka ia mempunyai alternatif yang cukup untuk mengganti beras.
Apa ada kendala ketika pemerintah menjalankan kebijakan untuk melakukan
diversifikasi pangan?
Kendala pasti ada. Salah satunya adalah budaya. Kendala teknologi tidak ada, kalau
pun ada sangat kecil karena teknologi pangan bukan teknologi yang canggih sekali,
bahkan industri-industri kecil - menengah kita sangat menguasai teknologi pengolahan
pangan. Tetapi yang belum ada adalah upaya pencitraan dan penyediaan produk lokal
secara lebih baik.
Saya membayangkan dalam era otonomi daerah maka daerah daerah dalam hal
konsumsi pangan seharusnya lebih berani menampilkan pangan identitas lokal mereka.
Misal, di makanan tradisional Maluku adalah sagu, di Nusa Tenggara Timur adalah
jagung ataupun ubi. Bagaimana Anda melihat ini?
Seharusnya demikian karena masing-masing daerah mempunyai sumber daya lokal
yang khas. Tidak hanya itu, orang di sana juga sudah biasa mengelola bahan lokalnya
tersebut dengan baik untuk menjadi suatu produk pangan yang lokal juga, sesuai
dengan preferensi lokal. Misalnya bagea, ini adalah hasil teknologi pangan yang sangat
khas di daerah Maluku dan Irian yang perlu dikembangkan. Jadi semestinya bagea bisa
menjadi ciri khas dari daerah tersebut, tapi sayangnya belum terjadi. Saya dulu sekolah
di negara bagian Wisconsin, di nomor plat mobilnya tertulis "Wisconsin dairy land". Jadi
negara bagian tersebut secara bangga menyatakan bahwa dia adalah negara bagian
yang ekonominya dibangun berdasarkan produk-produk dari peternakan. Ini belum
terjadi di Indonesia. Misalnya, apel ada di Malang atau jagung di Madura, tapi apakah
itu sudah menjadi ciri khas masing-masing daerah? Semestinya harapannya ke sana
dengan adanya One Day No Rice. Kegiatan semacam itu bisa merupakan upaya
penganekaragaman pangan yang bagus.

Aspek lain yang vital untuk mendorong ketahanan pangan kita adalah kondisi lahan
pertanian. Pada saat ini kesan yang kita tangkap adalah banyak sekali lahan pertanian
yang dikonversi untuk kebutuhan lain seperti industri, perumahan dan lainnya.
Bagaimana menurut Anda?
Modal pokok dari pertanian untuk memproduksi pangan adalah lahan. Lahan adalah
sesuatu yang penting dan perlu dilindungi. Kalau kita ingin memproduksi pangan tetapi
tidak punya lahan atau terbatas, maka akan sangat sulit.
Apakah ada mekanisme untuk melakukan proteksi terhadap lahan ini, bagaimana
skemanya?
Semestinya ada, namun kita belum merumuskannya dengan baik. Misalnya, kalau saya
mempunyai lahan pertanian, kita hanya mengharapkan jangan dijual, tetapi dengan
tekanan ekonomi bisa jadi dijual. Itu karena dengan perhitungan ekonomi jangka
pendek akan menguntungkan bila dikonversi menjadi pabrik. Namun mekanisme
insentif untuk mempertahankan lahan pertanian perlu diadakan. Misalnya, melalui
insentif pajak ataupun dari sisi harga. Kalau lahan digunakan untuk non-pertanian maka
harganya akan lebih mahal, dan seterusnya. Mekanisme seperti ini perlu
dikembangkan.
Tadi sempat disinggung mengenai pentingnya melakukan legislasi pada sektor pangan.
Kita tahu bahwa saat ini ada UU Pangan yang sedang direvisi. Tetapi kita menangkap
bahwa definisi pangan diletakkan sekadar menjadi komoditas. Apakah ini sudah tepat,
atau sedang dalam revisi, apa yang seharusnya dipahami dari pangan ini?
Ya, definisi pangan adalah salah satu kritik kita terhadap UU Pangan yang sekarang.
Pangan dianggap sebatas sebagai sesuatu untuk memenuhi kebutuhan jasmani dari
individu. Sekadar komoditas fisik. Kita harus bisa merevisi itu karena pangan tidak
hanya itu, tetapi juga identitas.
Jadi definisi pangan seharusnya bukan hanya sekadar komoditi. Apa bahayanya
seandainya pangan disederhanakan menjadi sekadar komoditi?
Pangan tidak sekadar komoditi karena lebih strategis dari itu. Ia termasuk identitas
bangsa dan ciri khas atau karakteristik lokal dari suatu bangsa. Kalau pangan
dipandang hanya sebagai komoditas atau pemenuh kebutuhan jasmani, maka bisa jadi
kita tidak terlalu mempedulikan dari mana asal pangan tersebut. Artinya, kita bisa
mengimpor saja, yang penting kebutuhan jasmani dari individu terpenuhi. Akibatnya
adalah kehilangan kemandirian karena kita sangat tergantung pada impor. Ketika kita
berbicara mengenai diversifikasi pangan tadi, maka sebaiknya adalah diversifikasi
pangan berbasis lokal, bukan diversifikasi pangan impor. Memang tidak hanya kriteria
zat, gizi ataupun kebutuhan gizi di level individu, tetapi secara bangsa semestinya lebih
menentukan dari mana pangan itu, seberapa mampu kita menyediakannya, seberapa
penting kita untuk mencukupi kebutuhan itu secara lokal.

Sebenarnya dengan mengembangkan pangan yang berbasis lokal, kita mampu


mendorong dan menggerakkan ekonomi rakyat. Dengan demikian ini juga mempunyai
keterkaitan langsung dengan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan kita.
Benarkah begitu?
Betul. Saya rasa putarannya akan ke sana. Potensi lokal, termasuk teknologi lokal yang
menguasainya adalah masyarakat lokal. Jadi bagaimana kita bisa memberdayakan itu
untuk menghasilkan produk-produk yang lebih bermutu, bergizi dan aman, sehingga
bisa bersaing di dalam pasar pangan secara nasional maupun internasional dan
mewarnai citra ataupun keunikan lokal yang ada, dan itu luar biasa. Contoh, kalau kita
berbicara mengenai brem, maka orang langsung berpikir Madiun, atau saat bicara bika
ambon maka yang terlintas di pikiran adalah Medan.
Jadi membangun image atau citra produk lokal menjadi penting juga, betulkah?
Saya rasa itu menjadi hal yang penting dalam kaitannya dengan identitas tadi.
Namun hari ini kesan umum masyarakat Indonesia mengatakan, "Bisa disebut makan
kalau pangannya adalah nasi, selain itu disebutnya ngemil." Apa yang membelenggu
pola pikir masyarakat kita ini?
Ya, itu sesuatu yang sudah tertanam yaitu budaya bahwa kita makan harus dengan
nasi. Tidak hanya itu, nasinya banyak, lauknya sedikit. Konsep seperti itu tidak kita
temukan di banyak tempat. Jadi perlu ada upaya pendidikan bahwa makan itu
sebetulnya yang penting adalah supply dari zat gizi dan jumlah kalori yang terpenuhi,
dan itu bisa dipenuhi tidak hanya dari nasi, tapi bisa juga dengan cereals dan yang lain,
atau bahkan sumber karbohidrat umbi-umbian dan seterusnya. Itu perlu dibiasakan.
Itulah sebetulnya letak strategis dari program One Day No Rice. Kalau selain nasi
disediakan pada hari tersebut, maka lama-lama orang jadi terbiasa.
Kalau kita lihat yang terjadi di negara-negara maju, seperti di Eropa Barat dan Amerika
Utara, ada kesan kuat bahwa mereka sangat proaktif dan memberikan dukungan yang
besar seperti insentif kepada para petani mereka. Insentif tersebut membuat para
petani hidup sejahtera dan kemudian pangan tidak terlalu menjadi persoalan bagi
mereka. Ironisnya, kita yang menyebut diri negara agraris, tapi pangan masih menjadi
masalah yang cukup serius bagi bangsa kita. Apa penyebabnya?
Ya, hal tersebut sungguh memprihatinkan. Ada hal penting juga yang harus kita
lakukan, yaitu ketika Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) melakukan revisi UU Pangan,
perlu ada pemikiran yang lebih strategis lagi untuk paling tidak mengenai dua hal.
Pertama, definisi pangan yaitu apa yang kita maksud dengan pangan dalam UU
tersebut, nilai-nilai strategisnya, dan tidak hanya sebagai komoditi. Kedua, bagaimana
kita mendefinisikan ketahanan pangan. Definis ketahanan pangan perlu juga
dimodifikasi sehingga menuju ke kemandirian, dan kecukupannya di level individu.

Apa yang akan Anda lakukan sebagai orang yang peduli dan paham terhadap pangan
untuk melakukan proses pengawalan dalam revisi UU Pangan ini karena banyak hal
dalam proses legislasi sesuatu yang jauh dari kepentingan bangsa kita?
Secara individu dan kelompok kami sering melakukan diskusi seperti ini. Beberapa hasil
diskusi akan kami kirim, misalnya, ke komisi di DPR yang menangani tentang ini. Paling
tidak ada dua hal yang disampaikan. Pertama, definisi pangan dan kemudian definisi
tentang ketahanan pangan maupun aspek-aspek lain tentang pentingnya mutu gizi dan
keamanan pangan bagi individu Indonesia yang kemudian nanti bisa berdaya saing
lebih baik lagi.
Bagaimana semestinya negara memperlakukan pertanian sehingga kemudian kita
sungguh menjadi negara agraris yang tidak lagi punya persoalan yang terkait dengan
pangan?
Pemerintah menjadikan pertanian menjadi platform pembangunan nasional, itu
merupakan keinginan kita. Juga mempunyai komitmen politik yang sangat kuat untuk
menjadikan pertanian sebagai platform pembangunan.
Terkait dengan UU Pangan tadi, apakah UU itu mengatur juga tentang tata ruang
sehingga yang sudah menjadi lahan pertanian tidak boleh dialih fungsikan?
Mungkin tidak secara eksplisit. Tapi secara implisit perlu disampaikan di sana tentang
pentingnya komitmen untuk bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup. Itu juga
terkait karena ada UU lain yang mengatur mengenai tata ruang. Tetapi poin yang
penting adalah bagaimana pemerintah memandang pangan untuk tidak sekadar
sebagai komoditi tetapi juga sesuatu yang bersifat strategis, politis dan juga
kemandirian.
Tentu dalam mengurus berbagai masalah di negeri ini tidak bisa hanya mengandalkan
pemerintah, tetapi juga sinergi dari berbagai elemen masyarakat. Apa yang sudah
dilakukan di SEAFAST Center IPB?
Kami banyak melakukan penelitian sebagai fokus. Kami juga melakukan penyuluhan
kepada masyarakat tentang mutu gizi keamanan pangan dan keanekaragaman
pangan. Misalnya, kita bisa memproduksi pangan yang berbasis produk lokal seperti
ubi jalar, singkong, jagung, tepung pisang dan lain-lain. Kita kembangkan dan suluhkan
ke masyarakat agar bisa berkreas

Anda mungkin juga menyukai