Anda di halaman 1dari 8

Achsanuddin Hanafie

Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...

Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik


Kiking Ritarwan
Bagian Neurologi
FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Meningitis otogenik didefinisikan sebagai meningitis bakterial akut akibat penjalaran infeksi
sekunder dari otitis media akut dan kronik, mastoiditis kronik, dan labirinthitis suppuratif. Faktorfaktor penyebab meningitis otogenik banyak antara lain virulensi bakteri, pelepasan sitokin
(interleukin-1, interleukin-6, TNF alpha), perubahan permeabilitas dari sawar darah otak, serta
menimbulkan kerusakan dari sel-sel neuron. Streptococcus pneumonia merupakan bakteri yang
predominant sebagai penyebab meningitis otogenik. Haemophylus influenzae dan P.aeruginosa
merupakan penyebab kedua dan staphylococcus aureus ataupun mikroorganisma lain merupakan
penyebab yang terjarang. Penegakkan diagnosis meningitis otogenik didasarkan kepada gejala dan
tanda klinis dan pemeriksaan laboratorium, terutama analisa cairan serebrospinal. Yang paling
penting penegakkan diagnosa dengan suspek meningitis otogenik adalah penanganan penderita
secepat mungkin. Adanya pengobatan dengan antibiotika yang adekuat serta tindakan operasi dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari meningitis otogenik.
Kata kunci: meningitis otogenik, meningitis bacterial akut, diagnosa dan pengobatan
Abstract: Otogenic meningitis can be defined as an acute bacterial meningitis that develop secondary
to acute, chronic otitis media, chronic mastoiditis and related disorders. Many factors like bacterial
virulence, release of cytokines (IL-1,IL-6, TNF alpha), change in blood brain barrier permeability and
neuronal toxicity, contribute to the pathophysiology of the disease. Streptococcus pneumoniae is the
predominant mocroorganism. Haemophylus influenzae dan P. aeruginosa being the second most
important and staphylococcus aureus or other organism have been implicated rarely. The diagnosis of
otogenic meningitis should be based on clinical symptoms, signs and laboratory findings, especially
CSF features. It is important to emphasize that any patient with suspected otogenic meningitis should
be managed properly as soon as possible. The disease continues to be an important cause of morbidity
and mortality, and the introduction of antibiotic therapy and surgical procedures has significantly
reduced both is morbidity and mortality.
Keywords: otogenic meningitis, acute bacterial meningitis, diagnosis, treatment

PENDAHULUAN
Di negara sedang berkembang maupun di
negara maju, penyakit infeksi masih merupakan
masalah medis yang sangat penting oleh karena
angka kematiannya masih cukup tinggi. Diantara
penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah
infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) termasuk ke
dalamnya meningitis dan ensefalitis.1
Meningitis sinonim dengan leptomeningitis
yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak
yang melibatkan arakhnoid dan piamater.
Sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi
pada jaringan parenkim otak.1
Meningitis otogenik didefenisikan sebagai
meningitis bakterial akut akibat penjalaran infeksi
sekunder dari otitis media akut dan kronik,
mastoiditis kronik,dan labirinthitis suppuratif.
Komplikasi intrakranial dari otitis media masih

merupakan suatu problem yang penting. Penjalaran


infeksi dari otitis dan mastoiditis bisa menimbulkan
komplikasi intrakranial berupa meningitis, brain
abscess, ekstradural abscess, lateral sinus
thrombosis.2,3
Komplikasi intrakranial dari kasus-kasus
otogenik paling sering ditemukan pada pasienpasien dengan Meningitis otogenik. Akibat tidak
adekuatnya pengobatan dengan antibakterial,
banyak kasus dengan meningitis otogenik bisa
berlanjut dan menimbulkan Mastoiditis kronik.
Pada beberapa kasus, otitis dan mastoiditis bisa
menimbulkan Meningitis bakterial akut.3-5
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial
dari otitis media yang paling sering, kemudian
diikuti dengan brain abscess. Menurut Kempf et
al (1998), melaporkan bahwa brain abscess
yang paling tinggi angka mortalitasnya.3

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

253

Tinjauan Pustaka

Adanya pengobatan antibiotika yang


adekuat serta
tindakan operasi dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
dari meningitis otogenik.4,6,7
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 600.000 kasus meningitis terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 180.000
kematian dan 75.000 gangguan pendengaran
yang berat. Setidaknya 25.000 kasus baru
meningitis bakterial muncul tiap tahunnya di
Amerika Serikat, tetapi penyakit ini jauh lebih
sering ditemukan di negara-negara sedang
berkembang. Sekitar 75% kasus terjadi pada
anak-anak dibawah usia 5 tahun.4
Menurut Mawson dan Dawes (1979),
penderita yang mengalami meningitis otogenik
akibat komplikasi dari otitis media berumur
sekitar 10-20 tahun, sedangkan menurut
Soeseno B (1987) penderita yang mengalami
meningitis otogenik akibat komplikasi dari otitis
media berumur sekitar antara 13 18 tahun.8
Herdiana dan Soeseno B (1996-1999), pada
penelitian di RS Dr. Hasan sadikin Bandung,
menjumpai 11 kasus penderita meningitis dari
4160 kasus Otitis Media Suppurativa Kronik
(OMSK) yang datang berobat (0.26%) dengan usia
termuda 2 tahun dan usia tertua 45 tahun.
Perbandingan laki-laki dan wanita 8: 3.9
Prevalensi meningitis otogenik dilaporkan
antara 19 51% pada kasus meningitis bakterial
akut.2 Sedangkan menurut Geyik et al (2002)
rasio meningitis oleh karena akut sekunder dan
otitis media kronik pada kasus meningitis
bakterial akut sekitar 21%.4 Kangsanarak et al
(1993) melaporkan kasus-kasus meningitis
otogenik berasal dari komplikasi intrakranial
0.24% dan ekstrakranial 0.45%.5 Facial
Paralysis,
subperiosteal
abscess
dan
labirynthitis merupakan komplikasi dari group
komplikasi ekstrakranial dan meningitis serta
brain abscess paling sering dijumpai pada group
komplikasi intrakranial.5
PATOGENESIS DAN ETIOLOGI
Bakteria bisa menyebar ke meningens
secara langsung, dari bagian parameningeal
seperti sinus-sinus paranasal dan telinga bagian
tengah.
Kapsul
polisakharida
bakteri,
lipopolisakharida, dan lapisan luar protein
berperanan untuk invasi dan virulensi
kuman.2,10-12
Bakteri dalam SSP akan mengaktifkan sel
lain seperti mikroglia, yang dapat mensekresi
IL-1 dan TNF [tumor necrosis factor] alpha
yang akan dipertahankan sebagai antigen dan
254

dalam jalur imunogenik ke limfosit. Reaksi


imun intra SSP ini memicu sebuah sirkulus
sejak perangsangan netrofil untuk melepaskan
protease dan mediator toksin lain seperti radikal
bebas O2, yang selanjutnya akan meningkatkan
jejas inflamasi pada sawar darah otak, sehingga
memudahkan lebih banyak bakteri dan netrofil
yang berada pada sirkulasi untuk masuk ke
cairan serebrospinalis. Akhirnya respon
inflamasi yang timbul pada meningitis bakterial
akan mengganggu Sawar Darah Otak [Blood
Brain Barier], menyebabkan vasogenik edema,
hidrosefalus dan infark serebral. 11-14
Sedangkan mekanisme bagaimana bakteri
dapat menembus sawar darah otak sampai saat ini
belum jelas. Adanya komponen dinding sel bakteri
yang dilepaskan kedalam cairan serebrospinal
merangsang produksi dari sitokine inflamasi seperti
Interleukin 1 dan 6, prostaglandin dan TNF.
Semua faktor inilah yang barangkali menginduksi
terjadinya inflamasi dan kerusakan sawar darah
otak.12
Perkembangan komplikasi intrakranial dari
meningitis otogenik dapat terjadi melalui tiga
mekanisme, yakni:11
1. Penyebaran langsung infeksi melalui tulang
yang berdampingan dengan selaput otak,
misalnya:
osteomyelitis
ataupun
cholesteatoma.
2. Penyebaran infeksi retrograde misalnya
thrombophlebitis.
3. Melalui jalan masuk anatomi normal, oval
window ataupun round window ke meatus
akustikus internus, kokhlear
dan
aquaduktus
vestibularis,
dehisensi
terhadap tulang yang tipis akibat
malformasi congenital.
Streptococcus
pneumonia
merupakan
bakteri yang predominant sebagai penyebab
meningitis otogenik.14,15 Kaftan et al (2000)
mengatakan streptococcus pneumonia paling
sering sebagai penyebab komplikasi intrakranial
otitis media sekitar 64% dan Barry et al (1999)
mengatakan sebanyak 69%.15
Haemophilus influenzae dan Pseudomonas
aeroginosa merupakan penyebab kedua sebagai
penyebab meningitis otogenik. Sedangkan
mikroorganisma lainnya yang sering menyebabkan
meningitis otogenik adalah: Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis, Proteus
vulgaris, Salmonella, Mycobacterium, Aspergillus
dan Candida sebagai penyebab yang jarang.4,7,14-16
Bodur et al (2002) menemukan Proteus
vulgaris sebagai kuman penyebab meningitis
pada
otitis
media
kronik,
sedangkan
Chlostridium spp ditemukan pada isolasi kuman

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Kiking Ritarwan

Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik

tersebut pada abscess serebri.17 Kangsanarak et


al
(1993)
menemukan
Proteus
spp,
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
spp merupakan mokroorganisma yang paling
sering diisolasi pada otitis media suppurativa
yang bisa menyebabkan komplikasi intrakranial
dan ekstrakranial.2,5
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari meningitis otogenik
biasanya dijumpai kombinasi antara tanda dan
gejala meningitis dan otogenik. Gejala klinis
dari meningitis dijumpai adanya demam, sakit
kepala, kaku kuduk, muntah, perubahan dari
status mental ataupun kesadaran menurun.
Sedangkan pada otogenik dijumpai adanya
otorrhoe, otalgi, gangguan pendengaran, dan
vertigo.2,8,10
Kangsanarak et al (1993) menemukan
gejala awal dan tanda yang penting dari
komplikasi intrakranial dari otitis media
suppurativa antara lain: demam, sakit kepala,
gangguan vestibular, gejala meningeal dan
penurunan kesadaran.5 Sedangkan Geyik et al
(2002) selain menemukan gejala dan tanda dari
meningitis dan otogenik tersebut diatas, juga

dijumpainya gejala fasialis parese yang jarang


ditemui.4 Albers et al (1999) gejala dari
meningitis otogenis yang paling sering dijumpai
yakni adanya demam dan sakit kepala.6
DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis meningitis otogenik
berdasarkan gejala klinis, laboratorium rutin,
lumbal punksi, foto mastoid dan pemeriksaan
Head CT-scan. 2,4,8
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
- adanya penyakit telinga tengah yang
mendasarinya, seperti otitis media dan
mastoiditis.
- Adanya tanda-tanda dan gejala
meningitis, seperti demam, kaku kuduk
dan kesadaran menurun.
b. Laboratorium rutin:
- Adanya peningkatan dari lekosit dan
LED [laju endapan darah] yang
menunjukkan proses infeksi akut shift
to the left
c. Lumbal Punksi:
Untuk membedakan meningitis bakterial,
viral dan jamur.12

Tabel 1.
Perbedaan meningitis bacterial, viral, dan jamur
Meningitis Bakterial
Tekanan
(N:5-15 cm H20)
Jumlah sel
Kadar Glukosa
Protein
Mikroorganism
CSF lactic acid

d.

e.

Meningitis
Viral
Normal/ sedikit
meningkat
< 500/ ml, terutama MN

Meningitis
Jamur
TBC : normal atau sedikit meningkat.
AIDS + meningitis kriptokokkus:
meningkat
< 500/ ml. Terutama MN

Normal
Sedikit meningkat
Tidak didapatkan
< 35 mg/ dl

Kadang menurun
> 1000 mg/ dl.
Ada jamur
> 35 mg/ dl

Meningkat
1000 10.000/ ml
terutama PMN
< blood glucose
> 45 mg/ dl
Ada
> 35 mg/ dl

Foto Mastoid
Dapat dilihat gambaran opacity dengan
pembentukan pus, hilangnya selulae
mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang
gambaran abscess.4
Head CT-scan
Adanya gambaran mastoiditis dan cerebral
edema, hidrosefalus, abscess serebral,
subdural empyema, dan lain-lain.2,4

DIAGNOSIS BANDING
Abscess Serebral
Merupakan radang suppurativa lokal pada
jaringan otak dan penyebab yang terbanyak dari
abscess di lobus temporal. Mikroorganisma
penyebab bisa bakteri aerob dan anaerob.

1.

Streptococci, staphylococci, proteus, E.coli,


pseudomonas merupakan organisma yang
terbanyak. Abscess Serebral dapat terjadi oleh
karena penyebaran bakteria piogenik secara
langsung akibat infeksi dari otitis media,
mastoiditis ataupun sinus paranasal. Gejala klinis
dari abscess serebral: Nyeri kepala yang progressif,
demam, muntah, papiledema, bradikardi, serta
hemiparesis dan homonymous hemianopia.1,2,7,10
Pada pemeriksaan laboratorium dan cairan
serebrospinal biasanya tidak memberikan hasil
yang spesifik. Pada pemeriksaan CT scan tanpa
kontrast
(Non-contrast
Computerized
Tomography/ NCCT), stadium serebritis pada
permulaannya nampak sebagai suatu area
hipodens di white matter dengan batas yang
tidak jelas dan efek masa regional ataupun yang

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

255

Tinjauan Pustaka

menyebar luas yang menggambarkan kongesti


vaskuler dan edema pada pada pemberian
kontrast (Contrast Enhancement Computerized
Tomography/CECT) enhancement bisa dijumpai
atau hanya sedikit. Dan pada perkembangan
proses inflamasi selanjutnya terjadi perlunakan
otak (softening) dan petechial hemorrhage, yang
menggambarkan kerusakan sawar darah otak
progressif.
Pada
stadium
ini,
CECT
menunjukkan area bercorak yang tidak teratur
yang enhance, terutama di gray matter.18,19
Dalam mengevaluasi serebritis tahap dini,
pemeriksaan MRI lebih akurat dari pada Head
CT-scan. Oleh karena sensitivitasnya terhadap
perubahan kandungan air, MRI dapat
mendeteksi perubahan infeksi pada fase
permulaan dengan cepat. T1-W1 menunjukkan
hipointensitas yang ringan dan efek massa.
Sering terlihat sulkus yang menghilang. Pada
T2-W1 nampak hiperintensitas dari area
inflamasi sentral dan edema sekelilingnya.20
2.

Empiema subdural
Empiema subdural biasanya merupakan
komplikasi dari sinusitis paranasalis dan dapat
sangat mirip dengan absess serebri. Gejala klinis
ditandai dengan peninggian tekanan intrakranial
seperti sakit kepala, muntah proyektil dan
kejang. Gambaran MRI dan CT scan akan
membedakan kedua kondisi ini.7,10,14
3.

Lateral Sinus Thrombosis


Merupakan suatu thrombophlebitis dari
lateral sinus dan merupakan komplikasi
intrakranial dari otitis media yang sangat
berbahaya. Gejala klinis : demam yang

intermitten
meningkat
secara
irreguler,
kedinginan, nyeri kepala, anemia serta adanya
tanda Greisingers [adanya edema pada daerah
post auricular yang melalui vena emissary
mastoid]. Pada funduscopi terlihat adanya papil
edema.12,15,20
PENATALAKSANAAN
Penanganan penderita meningitis bakterial
akut harus segera diberikan begitu diagnosa
ditegakkan.
Penatalaksanaan
meningitis
bakterial akut terbagi dua yakni penatalaksanaan
konservatif/ medikal dan operatif.2,6-8,10 Pada
lampiran 1. ada algorithme pengananan
meningitis bakterial akut.11
A. TERAPI KONSERVATIF/MEDIKAL
A.1. Antibiotika
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus
terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan
Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika
disesuaikan dengan kuman penyebab. Berikut
ini pilihan antibiotika atas dasar umur: 12,16,19,20
Pemilihan antimikrobial pada meningitis
otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika
yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri
penyebab serta perubahan dari sumber dasar
infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis
kemungkinan akan menjadi lambat, dan
pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14
hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi
negatif.12,20
Beberapa dosis obat antibiotika (Tabel 3)
berdasarkan identifikasi kuman:2,4,10,12,16

Tabel 2.
Beberapa pilihan antibiotika berdasarkan umur dan kuman penyebab
Usia

Bakteri Penyebab

Antibiotika

0-4 MINGGU

Streptococcus group B, atau D, E. Coli, L.


momocytogenes, S. Pneumonia

* Ampicillin + cefotaxim atau


* Ampicillin + Aminoglycoside
*Acyclovir H. Simplex encephalitis.

4-12 MINGGU

Streptococcus group B atau D,


E. Coli, L. monocytogenes, S. Pneumonia,
H. Influenzae

* Ampicillin + Cefotaxim/ Cefritriaxone


* Chloramfenicol + Gentamycin
* + Vancomycin
* + Dexamethason.

3BLN- 7 THN

H. Influenzae, N.meningitides,
S.pneumonia

* Cefotaxim/ ceftriaxone
* +Vancomycin pada S. pneumoniae,
resistant Cephalosporin
* Chloramfenicol + Vancomycin
*+ deksamethason

7-50 TAHUN

S. pneumoniae
N. meningitides
L.monocytogenes

* Cefotaxime/ ceftriaxone + Ampicilin


*
Chloramfenicol
+
Trimethoprim/
sulfamethoxazole.
Bila prevalensi S.pneumonia
cephalosporin > 2% diberikan:

256

resisten

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Kiking Ritarwan

Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik


* Cefotaxim/ ceftriaxone + Vancomycin
*
Chloramfenicol/
Clindamycin/
meropenem

> 50 TAHUN

S. pneumoniae, H. Influenzae,
Species listeria, P. aeruginosa,
N. meningitides

* Cefotaxim/ ceftriaxone + Ampicillin


Bila prevalensi S. pneumonia resistant
cephalosporin > 2% diberikan:
* Cefotaxime/ ceftriaxone + Vancomycin
* Ceftazidime.

Tabel 3.
Beberapa dosis obat antibiotika berdasarkan kuman
Nama Antibiotika

Kuman Penyebab

Dosis Obat

Penicillin G

H. Influenza, Pneumococcus,

Dewasa : 20 million unit/ 6 jam (IV)

Staphilococcus non PNC, dan


Staphylococcus PNC

Anak-anak: 300.000 unit/ kg/ day (IV) dibagi 3- 4 dosis.

S. pneumoniae, H. Influenzae

Dewasa : 4 gram/ hari (IV) dibagi 4 dosis

Chloramfenicol

Anak: 100 mg/ kg/ hari (IV) dalam 4 dosis


Ampisillin

S. Pneumonia, H. Influenzae

Dewasa : 200 mg/kgBB/ hari (IV) dalam 4 dosis


Anak-anak: 200 mg/kgBB/ hari

Ciprofloxacin
Cefotaxime

P. aeruginosa

400 mg/hari

Streptococcus, stafilococcus,

Dewasa : 12 gr/ hari (IV)

Haemofilus dan Enterobakter

Neonatus < 1 minggu: 50 mg/kgBB/ 12 jam (IV).


Neonatus 1-4 mg: 50 mg/kg/ 8 jam (IV)
Bayi dan ank-anak: 50-100 mg/kg setiap 6 atau 8 jam
(IV/IM)

Ceftriaxone

H. Influenzae, N.meningitides,

Dewasa: 4 gram/ hari (IV)

S.pneumonia

Anak: 75 mg/ kg (IV) dibagi 2-3 dosis

Ceftazidine

P. aeruginosa

6 gram / hari (IV)

Vancomycine

Staphylococcus epidermidis

Dewasa :2 gr/ hari (IV) selama 21 hari


Anak: 20-40 mg/kg/hari dibagi 2 dosis

Meropenem

P. aeruginosa,

6 gram/ hari (IV)

N. meningitides.

Lampiran I. Algoritme penanganan meningitis bakterial akut

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

257

Tinjauan Pustaka

DUGAAN MENINGITIS BAKTERI

PAPIL EDEMA DAN/ ATAU


DEFISIT NEUROLOGIK FOKAL

NEGATIF

POSITIF

KULTUR
DARAH

TERAPI
ANTIBIOTIKA
EMPIRIS

CT Scan Kepala
KULTUR DARAH
DAN LUMBAL
PUNKSI
LESI MASA POSITIF

LESI MASA NEGATIF

DIAGNOSA
ALTERNATIF

ANALISA CSS
MENINGITIS

TIDAK

PENGECATAN GRAM ATAU


UJI ANTIGEN BAKTERI POSITIF

TERAPI ANTIBIOTIKA EMPIRIS

A.2. Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat
menurunkan edema serebri, mengurangi tekanan
intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat
menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam
abses dan dapat memperlambat pengkapsulan
abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin
tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid
sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan
mengurangi efek masa atau edema pada herniasi
yang mengancam dan menimbulkan defisit
neurologik fokal.2,4,10,12
Lebel et al (1988) melakukan penelitian
pada 200 bayi dan anak yang menderita
meningitis bacterial karena H. influenzae dan
mendapat
terapi
deksamethason
0,15

258

YA

TERAPI ANTIBIOTIKA EMPIRIS

mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit


sebelum pemberian antibiotika. Ternyata pada
pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan
penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar
glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF.
Yang mengesankan dari penelitian ini bahwa
gejala sisa berupa gangguan pendengaran pada
kelompok yang mendapatkan deksamethason
adalah lebih rendah dibandingkan kontrol.12
Tunkel dan Scheld (1995) menganjurkan
pemberian deksamethason hanya pada penderita
dengan resiko tinggi, atau pada penderita dengan
status mental sangat terganggu, edema otak atau
tekanan intrakranial tinggi. Hal ini mengingat
efek samping penggunaan deksamethason yang
cukup banyak seperti perdarahan traktus

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Kiking Ritarwan

Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik

gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler


sehingga menjadi peka terhadap patogen lain
dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam
CSF.11

DAFTAR PUSTAKA

B. TERAPI OPERATIF
Penanganan fokal infeksi dengan tindakan
operatif mastoidektomi. Pendekatan mastoidektomi
harus dapat menjamin eradikasi seluruh jaringan
patologik di mastoid. Maka sering diperlukan
mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah
untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh
jalan yang mungkin digunakan oleh invasi bakteri.
Selain itu juga dapat dilakukan tindakan
thrombectomi, jugular vein ligation, perisinual
dan cerebellar abcess drainage yang diikuti
antibiotika broad spectrum dan obat-obatan
yang mengurangi edema otak yang tentunya
akan memberikan outcome yang baik pada
penderita komplikasi intrakranial dari otitis
media.10,13,14,17,18

2. Machfoed MH. Otogenic Meningitis. Its


Diagnosis and Treatment. Neurona. 2002;
,21:66-69.

KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat
pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan
yang terlambat. Komplikasi yang sering terjadi
akibat meningitis otogenik adalah efusi subdural,
empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri,
gejala sisa neurologis berupa paresis sampai
deserebrasi, epilepsi maupun meningitis yang
berulang. Pada anak-anak dapat mengakibatkan
epilepsi, retardasi mental dan hidrosefalus akibat
sumbatan pada saluran CSF ataupun produksi CSF
yang berlebihan. Selain itu juga bisa terjadi
deafness.2,10,11,12-14
PROGNOSIS
Angka morbiditas dari otitis media
suppurativa dengan komplikasi ekstrakranial
dan intrakranial adalah 14,3 % dan 27,9 %.
Gangguan gejala sisa neurologik dicatat
sebanyak 14% pasien dan yang meninggal
akibat
komplikasi
intrakranial
otogenik
sebanyak 14%. 5
Sejak era pemakaian antibiotika, angka
mortalitas dari meningitis bakterial menurun
tajam dan dilaporkan berada diantara 8%- 36%.
Sedangkan peneliti lain Kaftan et al (2000)
melaporkan angka mortalitas 10% dan
Kangsanarak et al (1993) sekitar 18,6%.5,15
Geyik et al (2002) pada penelitian secara
univariat, melaporkan status koma pasien,
pengobatan antibiotika yang tidak sempurna,
dan peningkatan erythrocyte sedimentation rate
(ESR) berhubungan secara singnifican dengan
tingginya resiko kematian. 2,4

1. Adams RD, Victor M, Ropper AH.


Principles of Neurology. 7th edition.
New York: McGraw-Hill;1997.

3. Kempf HG, Wiel J, Issing PR, Lonarz T.


Otogenic Brain Abscess. Laryngorhinootologie. 1998. 77: 462-6.
4. Geyik MF, Kokoglu OF, Hosoglu S, Ayaz
C . Acute Bacterial Meningitis as a
complication of otitis media and related
mortality
factors.
Yansei
Med.
J,2002.43:573-8.
5. Kangsanarak J, Fooanant S, Ruckphaopunt
K, Navacharoen N. Teotrakul S.
Extracranial and Intracranial complications
of suppurative otitis media. Report of 102
cases. J. Laryngol Otol. 1993. 107: 9991004.
6. Albers FW. Complication of otitis media: the
importance of early recognition. Am J.
Otol. 1999;20:9-12.
7. Kerr GA. Scott-Browns Otolaryngology. 6th
edition.
Great
Brittain-ButterworthHeinemann; 1997.
8.

Bogi S, Teti M. Tinjauan kasus otogenik


meningitis. Kumpulan Proceding Pertemuan
Ilmiah PERHATI. Surakarta.1988.hal.1525.

9. Herdiana, Bogi S. Meningitis Otogenik.


Disampaikan pada Kongres Nasional
Perhati. Semarang. 1999. hal. 795-806.
10. Ballenger JJ. Komplikasi Penyakit Telinga.
Dalam: Ballenger JJ. Ed. Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher.
Edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara;
1997. h. 432-61.
11. Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial
Meningitis. The Lancet 1985. 346: 1675-80.
12. Baoezier F. Meningitis. Dalam: Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan On Neurology
2002. SMF Ilmu Penyakit Saraf FK
UNAIR/ Dr. Sutomo. 2002:1-20.
13. Helmi,
Zainul
AD.
Panduan
Penatalaksanaan Otitis Media Kronik di
Indonesia. Jakarta: PERHATI-KL.2002.
14. Maran AGD. Intracranial Complication of
Otitis Media. Dalam: Logan Turners

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

259

Tinjauan Pustaka

Disease of the Nose, Throat and Ear. Edisi


ke-7. New Delhi: PG Publishing Pte Ltd.
1990. h. 304-16.
15. Kaftan H, Draf W. Intracranial otogenic
complication inspite of therapeutic progress
still
a
serious
problem.
Laryngorhinootologie. 2000; 79: 609-15.
16. Davis LE. Acute Bacterial Meningitis. In:
Johnson RT, Griffin JW. Current Therapy
in Neurologic Disease. 5th edition.
USA:Mosby-Year Book,Inc;1997.p.120-31.
17. Bodur H, Colpan A, Gozokucuk R, Akinci
E, Cevik MA, Balaban N. Venous sinus
thrombosis
after
Proteus
Vulgaris
meningitis and concomitant Clostridium
abscess formation. Scand J. Infect Dis.
2002;34:694-6.
18. Paparella MM, Shumrick DA, Glukman JL,
Meyerhoff WL. Otolaryngology. Volume
II: Otology and Neuro-otology. Edisi ke-3.
Philadelphia:WB Saunders Company. 1990
19. Lipman
J.
Meningitis
and
encephalomyelitis. In: T E Oh. Editors.
Intensive Care Manual. 4th edition.
Butterworth Heinemann. 1997. p. 416-22.
20. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd edition.
USA; McGraw-Hill.2000.

260

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Anda mungkin juga menyukai