Anda di halaman 1dari 10

SUATU KAJIAN DARI PROSES MENJADI ANAK JALANAN

HINGGA PROGRAM INTERVENSI PENANGANAN


ANAK JALANAN
Oleh Sarifudin, S.Sos
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik
Nim : 0902016023
Anak Sekecil itu Berkelahi dengan Waktu,
Demi Satu Impian Kerap Ganggu Tidurmu
Anak Sekecil itu Tak Sempat Nikamati Waktu
Dipaksa Pecahkan Karang, Lemah Jarimu Terkepal
(Iwan Fals, Sore di Tugu Pancoran)
Kisah kehidupan anak jalanan sudah bisa ditebak: lebih banyak mengharu-biru,
menyedihkan, bahkan acapkali membuat kita menitikkan airmata. Sebagai layaknya anakanak yang masih belia, anak jalanan seharusnya hidup dengan bertabur kasih sayang dari
orang tua atau keluarganya. Tetapi seperti pekerja anak yang sejak kecil sudah terbiasa
sengsara pada usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang
keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Disudut-sudut kota bahkan anak jalanan harus
bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang dapat diterima masyarakat umum
sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarganya.
Tidak jarang pula mereka dicap sebagai peganggu ketertiban dan membuat kota menjadi
kotor sehingga yang namanya razia atau menggarukan bukan lagi hal yang mengagetkan
mereka, walaupun diluar mereka kelihatan begitu riang, acuh tak acuh atau tampang sangar
seperti preman kecil yang sok kuasa.
Marginal, rentan dan ekproitatif adalah istilah-istilah yang sangat tepat bagi mereka
untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka
melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai, dan umumnya
tidak menjanjikan prospek apapun dimasa depan. Rentan resiko yang harus ditanggung akibat
jam kerja yang sangat panjang sehingga dari segi kesehatan mapun sosial sangat rawan.
Sedangkan disebut ekproritatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar
(bergaining position) yang sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek
perlakuan yang semena-mena dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung
jawab.
Untuk melihat keberadaan Anak jalanan di Kota Samarinda tidaklah sulit. Mereka
tersebar ditempat-tempat keramaian yang memungkinkan mereka melakukan aktifitasnya,
Simpang jalan yang ada lampu lalulintasnya merupakan sasaran operasi bagi anak jalanan.
Namun demikian tidak mudah menemui anak jalanan di tempat yang sama pada hari
lain. Anak jalanan umumnya tidak terikat pada tempat dan waktu, sehingga mereka bebas
berpindah sesuka hati. Mereka mobilitasnya tinggi ini berpindah-pindah tempat sesuka hati
dalam beroperasi adalah anak jalanan yang sudah lama dijalanan dan sudah bergabung dalam
kelompok tertentu. Sedang mereka yang cenderung menetap dalam operasinya adalah mereka
yang berasal dari sekitar lokasi operasi.
Mobilitas yang ini merupakan salah satu kharakter yang menjadi kendala untuk
menangani anak jalanan secara efektif disamping karakter dan faktor lain yang cukup
1

menentukan juga. Namun demikian mobilitas tinggi inilah yang mengkibatkan sulitnya
mendata mereka apalagi menanganinya, sehingga tidak mengherankan bila penanganan anak
jalanan terkesan berjalan ditempat. Memang sudah ada penanganan dengan berbagai bentuk
melalui commmunity based sampai street based. Namun jumlah anak jalanan sepertinya tidak
pernah berkurang bahkan cenderung meningkat jumlahnya. Kegiatan pun bermacam macam
mulai berjualan koran, mengamen, menjadi pedagang asongan hingga peminta-minta.
1. Proses Terjadinya Anak jalanan
Kalau dicoba disederhanakan, proses anak keluar dari rumah dan kemudian sampai
menjadi anak jalanan melalui lima tahapan pokok.
Skema
Skema terjadinya Anak Jalanan
Tahap 1

Pengetahuan :
-Penghasilan Anak Jalanan
-Mudah dilakukan

Tahap II

Tahap III

Strimulus
Faktor2 penunjang
- Kawan - keluarga

Ketetarikan
-

Pelaksanaan
(Turun Ke Jalan)

Tahap IV

Stimulus Negatif
- Kehidupan Jalananan
- Kelompok/Kawan
- Kelompok Keluarga

Tahap V

Perilaku
menyimpang

Stimulus Positif
- Kehidupan Jalananan
- Kelompok/Kawan
- Kelompok Keluarga

Tahap I : Pengetahuan Sampai Ada Ketetarikan


Ada Kebiasaan bermain berkelompok anak-anak diperkampungan. Mereka ini
biasanya bersama kelompoknya jalan-jalan ketempat sebagaimana telah disepakati bersama.
Di perjalanan mereka menjumpai anak-anak jalanan yang sedang bekerja. Sampai disini
masih terbatas meliat dan sebagai pengetahuan mereka, bahwa ada pekerjaan yang bisa
menghasilkan uang dan itu bisa dilakukan anak seusia mereka. Pada tahap masih tergantung
pada masing-masing anak, sehingga besar perhatian dan ketetarikannya pada pekerjaan
tersebut. Namun pada tahap ini tidak membuat anak turun kejalan, melainkan bergantung
pada stimulus berikutnya (adanya fasilitas)
Tahap II : Ketetarikan Sampai Keinginan
Dalam tahap ini merupakan ketetarikan yang telah mendapat fasilitas atau aktor pendorong
seperti kondisi ekonomi atau keretakan hubungan orang tua. Fasilitas tersebut akan semakin
memperkuat keinginan anak untuk turun kejalan
Tahap III : Pelaksanaan
Sianak mulai melakasanakan niatannya dengan mendatangi tempat operasi. Bila disini
mereka menemukan teman yang sudah dikenal maka keinginan segera terealisasi meski agak
malu-malu.
Tahap IV : Mulai Memasuki Kehidupan Anak Jalanan
Dalam tahap ini si anak akan diterpa berbagai pengaruh kehidupan jalanan, namun demikian
hal ini juga tergantung pada diri si anak itu sendiri dan teman yang membawanya. Yang tak
kalah penting peranan orang tua untuk tetap mengontrolnya. Bila ketiga pihak diatas memberi
peran dan pengaruh yang positif, maka meski berada dijalanan, anak akan tatap positif dan
tak tecerabut dari norma dan nilai yang telah dipegang sebelumnya.
2

Tahap V : Terjerumus atau Kembali Kehidupan Wajar


Bila dalam perkembangannya sianak merasa bahwa mencari nafkah di jalanan akan semakin
sulit, maka akan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bertahan dengan tetap
berpegang norma kemasyarakatan atau keluar dari komunitas jalanan. Kemungkinan kedua,
bila menerima stimulus baik dari kawan maupun pihak lain untuk berbuat negatif, maka
sianak sudah masuk kategori anak jalanan bebas dengan cenderung meninggalkan norma
agama dan kemasyarakatan. Pada Tahap inilah kecenderungan berprilaku menyimpang
seperti judi, seks bebas, atau tindakan kriminal lainnya.
2. Kategori Anak Jalanan
Anak jalanan sebagai bagian pekerja Anak (Child Labour), anak jalanan termasuk
kelompok anak rawan, dalam arti mereka secara psikologis, sosial maupun fisik rentan
terhadap berbagai bentuk ancaman karena tidak adanya perlindungan sosial yang memadai.
Anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen, mereka cukup beragam dan dapat
dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orang tua atau orang dewasa
terdekat, waktu dan jenis pekerjaannya dijalanan, serta jenis kelaminnya (Farid,1998).
Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam
tiga kelompok (Subakti.dkk.(eds.,1997)
Pertama, Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi
sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua
mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalanan diberikan kepada orang tuanya
(Soedijar,1984; Sanusi,1995). Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah membantu
memperkuat perekonomian keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang tidak
dapat ditanggung dan diselesaikan oleh orang tuanya.
Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan,
baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan
dengan orang tuanya, tapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara
mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab biasanya kekerasan lari atau pergi dari
rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan
terhadap perilaku salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun Sosial ( Irwanto
dkk,1995)
Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup dijalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan
yang cukup kuat, tapi hidup mereka terombang ambing dari satu tempat ketempat lain dengan
segala resikonya (Irwanto, dkk.,1995) salah satu ciri penting dari aktegori ini adalah
pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi bahkan masih dalam kandungan.
3. Masalah yang dihadapi Anak Jalanan
Untuk bertahan hidup ditengah kehidupan kota yang keras, anak-anak jalanan
biasanya melakukan berbagai kerjaan di sektor informal baik yang legal maupun ilegal
menurut hukum. Pada Kota Samarinda ada yang berkerja sebagai penjual koran, pedagang
asongan, menyemir sepatu, mencari barang bekas/sampah, pengamen kecil, maupun pemintaminta.
3

Sejumlah penelitian menemukan anak jalanan yang kecil biasanya sering dipalak
aleh anak yang lebih besar. Selain itu, para preman sekitarnya juga tak segan merampas
barang dagangan atau meminta uang. Selain preman atau orang orang yang tak dikenal acap
kali memanfaatkan anak-anak jalanan sebagai korban pelampiasan nafsu seksual yang
menyimapang seperti di sodomomi.
Dikalangan anak anak hidup dijalanan, memang kisah-kisah yang menyedihkan dan
terkadang menguras air mata adalah hal yang biasa terjadi sehari-hari. Eksploitasi dan
ancaman kekerasan merupakan dua hal yang terkadang dialami dan terpaksa dirasakan anak
jalanan. Sudah lazim dialami mereka ditipu dan berkelahi dengan teman sendiri, di cacimaki
oleh anak sebayanya yang lebih kaya bahkan disodomi oleh orang dewasa atau teman yang
lebih besar.
Anak jalanan cenderung mengahabiskan waktunya dijalanan, sehingga mereka tidak
punya waktu untuk belajar dan membaca sehingga kurang bisa mengikuti pembelajaran di
sekolah dengan wajar yang akhirnya memilih untuk putus sekolah disamping itu ada juga
anak jalanan yang memang gak pernah sekolah.
Anak-anak yang hidup dijalanan mereka bukan saja rawan dari ancaman tetabrak
kendaraan tetapi juga rentan terhadap penyakit akibat cuaca dan selalu berada di lingkungan
yang tidak sehat lingkungan yang banyak asap pembakaran kendaraan (CO2) sehingga anak
jalanan sering terkena penyakit pusing-pusing, batuk-pilek dan sesak nafas, diperparah dengn
kurangnya gizi karena kurangnya memakan makanan yang cukup gizi, dan teratur makan.
Padahal pada usia mereka merupakan masa emas dalam perkembangan otak, sehingga bukan
hanya fisiknya yang terganggu tetapi terganggunya tumbuh kembang otaknya sehingga akan
menjadi simberdaya yang bermutu rendah karena tidak sehat, tidak cerdas, dan tidak
produktif (Drg. Eka Susi Ratnawati.2006)
Berdasarkan Pengamatan kami bahwa anak jalanan cenderung rawan terjerumus
tindakan menyimpang seperti ngelem atau mengisap lem jenis Aica-Aibon, Uhu dan
sejenisnya, atau menisap zat seperti cat atau pembesih kuku (acetone) zat yang mudah
menguat baik itu tinner, spritus dan lainnya untuk melupakan penderitaan mereka, seolah
dengan itu mereka merasa telah memperoleh pengganti Narkoba.
Prilaku atau gaya hidup anak jalanan terkadang tak kalah merisaukan mereka ada
kecenderungan sudah aktif secara seksual dalam usia yang terlalu dini, sehingga resiko
kehamilan dan penularan PMS (Penyakit Menular Seksual) sangat tinggi, terutama karena
mereka cenderung berganti-ganti pasangan. Ketidak tahuan yang tidak benar tentang
kehamilan, PMS adan HIV-AIDS membuat anak jalanan sering kali kurang menyadari resiko
dari tindakan mereka perbuat.
Tabel 1
Masalah yang dihadapi Anak Jalanan
Aspek

Permasalahan yang dihadapai

Pendidikan

Sebagaian Besar Putus Sekolah Karena Waktunya Habis Di


Jalan

Intimidasi

Menjadi sasaran tindak kekerasan anak jalanan yang lebih


dewasa, kelompok lain, petugas dan razia
4

Penyalahgunaan Obat dan


Zat Adiktif

Ngelem, Minuman keras, Pil BK dan sejenisnya

Kesehatan

Rentan penyakit Kulit, Paru-paru, PMS

Tempat Tinggal

Umumnya di sembarangan tempat, digubuk-gubuk atau


pemukiman kumuh

Tesiko Kerja

Tetabrak mobil/motor

Hubungan dengan Keluarga

Umumnya renggang bahkan sama sekali tidak berhubungan

Makanan

Seadanya, Kadang Mengais dari tempat sampah

4. Program Intervensi Untuk menangani Anak jalanan


Selama ini, upaya perlindungan sosial (social protection) yang dilakukan untuk
menangani anak jalanan adalah berusaha mengeluarkan anak jalanan dari jalanan dengan
merazia mereka, atau memasukkan mereka di rumah singgah anak jalanan, tempat-tempat
pelatihan. Bahkan memasukannya ke dalam penjara bila tertangkap menggunakan narkoba
atau melakukan tindak kekerasan.Namun terlihat medel penanganan tersebut kurang mampu
menyelesaikan permasalahan anak jalanan secara tuntas.
Untuk menangani permasalahan anak jalanan hingga keakar-akarnya yang dibutuhkan
bukanlah program yang sifatnya kariatif atau paket-paket program yang di copy begitu saja
dari pusat.
Sikap karitatif dengan cara memperlakukan anak-anak jalanan sebagai Objek amal,
memberikan santunan, dan bantuan yang sifatnya temporer niscaya akan melahirkan
ketergantungan anak jalanan terhadap belaskasihan para penderma bahkan tidak mustahil
menimbulkan sifat Self help atau sifat meminta yang meniadakan keberdayaan mereka.
Menurut Edi Suharto dalam garis besar, alternatif model penanganan anak jalanan mengarah
pada 4 jenis model yaitu :
Pertama, Street centered intervention.Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di
Jalan dimana anak jalanan biasa beroperasi. Tujuannya agar dapat menjangkau dan
melayani anak dilingkungan terdekatnya, yaitu di jalan. Para street educator datang kepada
mereka dengan berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima
situasinya, serta menempatkan mereka sebagai teman. Dalam beberapa jam anak-anak
jalanan di berika materi pendidikan dan keterampilan disamping memperoleh kehangatan dan
perhatian yang bisa menumbuhkan kepercayaan satu sama lain yang berguna bagi pencapaian
tujuan intervensi. Disini prinsip pendekatan yang dipakai biasanya adalah asih,asah, asuh
Kedua, Family centered intervention. Penanganan anak jalanan yang difokuskan pada
pemberian bantuan sosial atau pemberdayaan keluarga sehingga dapat mencegah anak-anak
agar tidak jadi anak jalanan dan menarik anak jalanan kembali ke kelurganya.
Ketiga, Intitutional centered intervention. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan
di lembga (panti), baik secara sementara (menyiapkan reunifikasi dengan keluarganya)
maupun permanen (terutama jika anak jalanan sudah tidak memiliki orangtua atau kerabat).
5

Pendekatan ini juga mencakup tempat perlindungan sementara (drop in), Rumah Singgah
atau open house yang menyediakan fasilitas panti dan asrama adaptasi bagi anak jalanan.
pada lembaga atau panti- seperti pada malam hari diberikan makanan dan perlindungan, serta
perlakuan yang hangat dan bersahabat dari pekerja sosial. Pada panti yang permanen, bahkan
disediakan pelayanan pendidikan, keterampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian dan
pekerjaan bagi anak-anak jalanan.
Keempat, Comunity centered intervention. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan
di sebuah komunitas. Melibatkan program-program community depelopment untuk
pemberdayaan masyarakat atau penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial di masyarakat
dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun
lembaga sosial kemasyarakatan. Pendekatan ini termasuk juga mencakup Corporate Social
Responsibility (Tanggung Jawab sosial Perusahaan).
Dari berbagai pendekatan yang telah diuraikan, tidak berarti satu pendekatan yang
lebih baik dari pendekatan yang lain. Pendekatan mana yang lebih tepat akan banyak
ditentukan oleh kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi anak jalanan itu sendiri.
Namun satuhal yang penting dicatat: pendekatan apapun yang dipilih, secara keseluruhan
modal awal yang di butuhkan untuk menangani permasalahan anak jalanan sesungguhnya
adalah sikap empati dan komitmen yang benar-benat tulus dari kita semua.
Kebijakan Penanganan Anak Jalanan
Secara gari besar ada 3 pendekatan dalam Penanganan masalah pekerja anak/Anak
Jalanan, yakni pendekatan aborsionis, pendekatan proteksionis dan Pendekatan
Pemberdayaan (Muhadjir Darwin, 1996)
Pendekatan aborsionis, pekerja anak-anak jalanan dianggap sebagai suatu masalah yang
sama sekali tidak dapat di toleransi, dan karenanya harus dihapuskan sepenuhnya.
Pendekatan proteksi/perlindungan, bertolak dari suatu anggapan bahwa penghapusan sama
sekali pekerja anak merupakan suatu utopi, karena dalam prakteknya sulit direlisasi. Jika
abolisi di paksakan hasilnya justru akan merugikan kepentingan anak sendiri. Karena itu,
yang perlu dilakukan bukanlah melarang anak bekerja dari praktek-praktek yang
membahayakan, eksproitatif dan merugikan anak. Dalam pendekatan berikutnya muncul
pendekatan yang lebih maju lagi yaitu pendekatan pemberdayaan, Pendekatan ini didasarkan
pada asumsi bahwa pekerja anak menjadi bermasalah ketika mereka tidak mempunyai
keberdayaan untuk mengorganisasi diri (seft Organization) dan membela hak-hak dan
kepentingannya. Karena itu harus dilakukan dengan memberdayakan mereka.
Konstitusi Indonesia sebagai sumber hukum UUD 1945 Pasal 28B ayat 2
menyebutkan: Setiap Anak berhak atas Kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. kemudian dipertegas pasal
43 ayat (1) Pakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara. Hal itu juga dituangkan
dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU RI No.1 tahun 2000
Tentang pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera
penghapusan bentuk bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, UU RI No. 20 Tahun 1999
Tentang pengesahan Konfensi ILO mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan bekerja;
UU RI No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
6

Menurut Arist Merdeka sirait (2006) Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak
usaha-usaha perlindungan dan promosi hak anak tidak saja meliputi kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang telah diambil dan dibuat oleh negara (legal subtance) tetapi juga
meliputi segala aparatur dan aparat pelaksdana (legal struktur) serta budaya hukum (legal
culture), tiga aspek tersebut dalam kenyataannya tidak selalu berjalan seiiring dan konsisten
karena pelaksanaan sebuah kebijakan atau peraturan sangat tergantung pada kesiapan aparat
(Sarana dan Prasarana) dan persepsi para aparat pelaksana dan budaya hukum
masyarakatnya
Pemerintah Provinsi kalimantan Timur berdasarkan tiga aspek tersebut menuangkan
konsep Visi Kalimantan Timur Layak Anak, Lebih ekstrim lagi sebelumnya Kabupaten
Kutai Kartenegara dengan lantang menetapkan daerah Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA).
Sedangakan kabupaten/Kota se-Kalimantan Timur secara Bertahap mulai menetapkan wajib
belajar 12 tahun, artinya gak boleh warga Kalimantan Timur berpendidikan dibawah
SMA/sederajat termasuk didalamnya anak jalanan.
Permasalahan anak jalanan menjadi tantangan sosial yang cukup rumit bagi kota
samarinda dimana terlihat hampir disetiap peempatan jalan lampu merah terlihat sekelompok
anak jalanan seperti di perempatan Mall Lembuswana. Para aparat dan pejabat
berargumentasi ini akibat adanya arus pendatang yang tak memiliki tujuan yang jelas datang
di Kota ini yang membawa anak yang akhirnya menjadi anak jalanan, sementara razia sering
dilakukan bahkan pembinaan pun melalui dinas sosial kerap dilakukan bahkan kampanye dan
iklan jangan memberi uang kepada gepeng atau anak jalanan telah juga dilakukan.
Masalah Pokok dan Program Intervensi Penanganan Anak Jalanan
Kalau dicoba dirinci satu persatu barangkali ada puluhan atau bahkan ratusan masalah
yang tengah dihadapi anak-anak yang dipaksa hidup di jalanan. Namun secara garis besar
paling tidak ada delapan masalah proritas anak jalanan di kota Samarinda yang mendesak
untuk segera ditangani oleh berbagai pihak, Kedelapan masalah pokok tersebut adalah:
1. Gaya hidup dan perilaku anak jalanan yang acapkali membahayakan dan mengancam
keselamatan dirinya sendiri, seperti perilaku ngelem, seks bebas, Kebiasaan berkelahi
dan sebagainya.
2. Ancaman gangguan kesehatan berkaitan dengan kondisi lingkungan dan jam kerja
yang acapkali kelewat batas di Jalanan bagi anak anak yang masih berusia belia.
3. Minat dan kelangsungan pendidikan anak jalanan yang relatif rendah dan terbatas
akibat tidak dimilikinya waktu luang yang cukup bagi anak anak yang masih berusia
belia.
4. Kondisi ekonomis dan latar belakang kehidupan sosial psikologis orang tua yang
relatif miskin dan kurang harmonis, sehingga tidak kondusif bagi proses tumbuh
kembang anak secara layak.
5. Adanya bentuk-bentuk intervensi dan sikap sewenang-wenang dari pihak luar
terhadap anak jalanan, baik atas nama hukum maupun karena ulah preman yang coba
mengambil manfaat dari keberadaan anak jalanan.
6. Adanya kekeliruan psesepsi dan sikap prejudice sebagian warga masyarakat terhadap
keberadaan anak jalanan.
7

7. Adanya sebagian anak jalanan yang menghadapi masalah khusus baik akibat ulahnya
yang terencana maupun karena ketidaktahuannya terhadap bahaya dari tindakan
tertentu, seperti hamil, dalam usia relatif dini akibat seks bebas, prilaku ngelem dan
sebagainya.
8. Mekanisme koordinasi dan sistem kelembagaan penanagnan aka jalanan yang belum
berkembang secara mantap, baik antara pemerintah Pusat, Provinsi, kabupaten/Kota
dengan LSM maupun persoalan intern diantara lembaga itu sendiri.
Tabel 2
Isu Proritas dan Program intervensi Penanganan Permasalahan Anak jalanan
Di Kalimantan Timur
Masalah/Isu Proritas
Gaya Hidup dan prilaku
anak jalanan yang
acapkali mengancam
keselamatan dirinya

Rincian masalah
- Perilaku Seks bebas,
ancaman PMS dan resiko
kehamilan
- Ngelem, merokok,
minuman keras dan terlibat
narkotika
- Berkelahi dan akrab
dengan tindak kekerasan
- Sebagian terlibat dalam
tindak kriminal

Anak Jalanan cenderung


rentan berbagai bentuk
gangguan kesehatan

- Makanan sehari-hari
acapkali kurang layak
- Resiko kena sengatan
matahari yang relatif lama
- Lingkungan yang kotor,
bau sampah dan kurang
sehat.
- Kurang memahami
persoalan hidup sehat
- Akses terhadap lembaga
pelayanan kesehatan
rendah
- Minat dan waktu belajar
relatif tidak ada
- Belum ada lembaga
pendidikan khusu bagi
anak jalanan

Kealngsungan
Pendidikan Anak jalanan

Kondisi ekonomi sosial


dan psikologis orang
tua/keluarga anak jalanan
relatif memperhatinkan

- Keretakan dan ketidak


harmonisan hubungan
orang tua
- Tekanan kemiskinan
- Fungsi ekonomi anak
sebagai satu penyangga
ekonomi keluarga

Intervensi dari pihak luar


yang mencoba
mengambil manfaat dan
keberadaan anak jalanan

- Sindikat, preman, oknum


yg mengekproritasi anak
jalanan
- Ulah anak jalanan yg lebih
kecil/ junior
- Operasi penggarukan/razia
yag melanggar KHA

Kekeliruan pesepsi dan


kurangnya rasa empati
terhadap kehidupan anak
jalanan

- Anak jalanan relatif


kurang memperoleh kasih
sayang
- Anak jalanan
membutuhkan aktualisasi
dan pengakuan terhadap
eksistensinya
- Masyarakat umum
cenderung bersikap
prejudice terhadap anak

Program Intervensi
- Pemerikasaan rutin terhadap
ancaman PMS dan kehamilan
- Sosialisasi tentang resiko seks
bebas, ngelem, merokok, minuman
keras dan narkotika
- Menggalang kegiatan/forum
bersama anak jalanan yang berbeda
kelompok.
- Pemberian Sangsi yang lebih berat
bagi perilaku kejahatan yang
melibatkan anak-anak
- Pemerikasaan Rutin kesehatan dan
gizi anak jalanan
- Sosialisasi tentang hidup sehat
- Memperluas pemberian layanan
gratis/murah bagi anak jalanan

Pelaksana
Depkes, Dinkes,LSM, Depsos,
Dinsos,Binsos, Orsos/Prof,
BNP,BNK, KPAID, Pramuka,
Kehakiman, Kejaksaan, Polda,
Kapoltabes/Pores,

- Kampanye sekolah sayang anak


- Meperluas pelayanan lembaga
pendidikan alternatif bagi anak
jalanan (misal sekolah mobile,
kelas jalanan)
- Kerjasama denga Pompes,
Perguruan Tinggi untuk pendidikan
bagi anak jalanan
- Kamapanye tentang keluarga
harmonis dan sakinah
- Pemberian Modal dan Skill
wiraswasta bagi masy miskin
- Pemberian Modal dan Skill
wiraswasta bagi khusus ortu anjal
- Pemberdayaan Wanita
- Operasi Khusus
Kapolda/Poltabes/Polres untuk
memberantas sindikat anak jalanan
- Sosialisasi tentang KHA bagi
jajaran kepolisian dan sapol PP
- Sosialisasi tentang arti
persaudaraan dan solidaritas bagi
anak jalanan
- Kampanye program semua sayang
anak (jalanan)
- Pelatihan Kesenian, fotografi,
olahraga dan keterampilan khusus
bagi anak jalanan
- Menampilkan Kreasi Anak Jalanan

Dinas Pendiidkan, Depnaker,


LSM, KPAID

Depkes,Depsos,Orsos/Prof,
LSM, Binsos,KPAID

Depag, Dinas Pendidikan,


Bonsos, Bppeda, Depsos,
Dinsos. Depnaker

Media Massa, LSM,YYS,


KPAID, Depsos, Dinsos,
Binsos,Orsos/prof , Kapolda/
Kapoltabes/Kapolres

Media massa, LSM.Orsos/Prof,


KPAID,
Depsos,Dinsos,Binsos,KADIN,
Pengusaha

Anak Jalanan yang


tengah mengadapi
permasalahan khusus

Sistem dan mekanisme


kelembagaan untuk
penanganan anak jalanan
masih belum tertata
dengan baik

jalanan
- Anak Jalanan perempuan
yang terlanjur hamil dan
ingin melakukan aborsi
- Anak jalanan yang terlibat
tindak kriminal
- Anak jalanan yang
tertangkap rajia/garukan
- Anak jalanan yang
menjadi korban
kecelakaan lalulintas
- Belum adanya koordinasi
dan pembagian kerja yg
baik antar LSM/yys
- Belum adanya koordinasi
dan tanggung jawab yang
jelas diantara jajaran
pemerintah sendiri untuk
penanganan anak jalanan
- Pelum adanya koordinasi
yang jelas antara
LSM/Yys anjal dan
Pemda

- Pelayanan kesehatan bagi anak


jalanan yang hamil, abosi, dan
terkena PMS,
- Program pembinaan khusus bagi
anak jalanan yang terlibat kriminal
- Penunjukan lembaga rehabilitasi
anak jalanan yang terkena razia dan
korban kecelakaan lalulintas

Depkes, Dinkes, Depsos,


LSM,KPID,
Polda/Poltabes/Porsta, Rumah
Sakit

- Pembentuka pusat informasi dan


jaringan LSM yang menangani
anak jalanan
- Pembentukan forum kerjasama
LSM, KPAID dan pemda untuk
penanganan anak jalanan

Depsos.Dinsos,Binsor, LSM,
KPAID, Gubenur, pemda
kab/kota

Menyelesaikan persoalan anak jalanan harus menggabungkan dua pendekatan yaitu


melihat individu anak jalanan sebagain sumber masalah (Individual blame Approad) dan
melihat sistem kehidupan sosial sebagai sumber masalah (System Blame Approad) artinya
satu sisi kita melihat bahwa anak jalanan merupakan korban akibat kekeliruan atau ketidak
tepatan pemilihan model pembangunan di Kalimantan Timur, disamping anak jalanan
mempunyai potensi berprilaku patologis dan mengganggu keindahan/ketertiban Kota. Oleh
karena itu perlu adanya agenda bersama untuk antara Pemerintah, LSM, Yayasan anak dan
KPAID untuk melakukan program intervensi pengurangan anak di Jalanan yang dilakukan
benar-benar didasari oleh hati nurani dan sikap empati agar mereka (anak Jalanan) tidak lagi
mewariskan kemiskinan atau kerjaan jalanan baru kedepannya.

DAFTAR PUASTAKA
Darwin, Muhadjir. Direktur Magister Studi Kebikjakan Univeritas Gadjah
Mada.Penghapusan atau Memanusiakan Pekerja Anak . Dalam Seminar dan Lokakarya:
Refleksi dan Evalusi Prosfek Zona Bebas Pekerja Anak di Kutai Kartanegara yang
dilaksanakan oleh Mapeksi Kaltim berkerjasama dengan Pemkab Kukar tanggal 20 Juni
2006.
Hariadi,Sri Sanusi dan Bagong Suyanto.1999.Anak Jalanan di Jawa Timur Masalah dan
Upaya Penangannya.Surabaya: Airlangga University Press.
Purwanto, Semiarto Aji. Ketua Pusat kajian Antropologi Universitas Indonesia. Sistem dan
Struktur Dalam Kerangka Zona Bebas Pekerja Anak di Kutai Kartanegara. Dalam Seminar
dan Lokakarya: Refleksi dan Evalusi Prosfek Zona Bebas Pekerja Anak di Kutai Kartanegara
yang dilaksanakan oleh Mapeksi Kaltim berkerjasama dengan Pemkab Kukar tanggal 20 Juni
2006.
Ratnawati, Eka Susi.Dirjen Bina Kesehatan Kementrian Kesehatan.Dampak Pekerjaan
Terburuk Bagi Anak. Dalam Seminar dan Lokakarya: Refleksi dan Evalusi Prosfek Zona
Bebas Pekerja Anak di Kutai Kartanegara yang dilaksanakan oleh Mapeksi Kaltim
berkerjasama dengan Pemkab Kukar tanggal 20 Juni 2006.
Sirait, Aris Merdeka.Sekjen Komisi nasional Perlindungan Anak.Buruh Anak Anjam Masa
Depan. Dalam Seminar dan Lokakarya: Refleksi dan Evalusi Prosfek Zona Bebas Pekerja
Anak di Kutai Kartanegara yang dilaksanakan oleh Mapeksi Kaltim berkerjasama dengan
Pemkab Kukar tanggal 20 Juni 2006.
Soepomo,2008.Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suharto,Edi.2007.Kebijakan Sosial Sebagai Kebikjakan Publik.Bandung:Alfabeta.
Tunggal, Hadi Setia.2007.Himpunan Peraturan Perlindungan Anak.Jakarta: Harvarindo.

@2009 www.sarifudin.com

10

Anda mungkin juga menyukai