Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan
ditempatkan dalam ruangan yang berdekatan atau antara satu tempat tidur dengan tempat
tidur lainnya (Darmadi, 2008). Semua pasien yang dirawat di Rumah Sakit setiap tahun, 50%
mendapat terapi intravena. Namun, terapi IV terjadi di semua lingkungan perawatan
kesehatan: perawatan akut, perawatan emergensi, perawatan ambulatory, dan perawatan
kesehatan di rumah. Hal ini membuat besarnya populasi yang berisiko terhadap infeksi yang
berhubungan IV (Schaffer,dkk, 2000).
Menurut Smeltzer dan Bare dikutip Mulyani (2010), Phlebitis yang didefinisikan
sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini
dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah
penusukan atau sepanjang vena, pembengkakan, nyeri atau rasa lunak di sekitar daerah
penusukan atau sepanjang vena.
1
Phlebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya
menjaditrombophlebitis, trombophlebitis adalah peradangan dinding vena dan biasanya
disertai pembentukan bekuan darah. Dan perjalanan penyakit ini bersifat jinak namun jika
trombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk ke jantung maka dapat
menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventikular
jantung secara mendadak dapat menimbulkan kematian. Hal ini menjadikan phlebitis sebagai
salah satu permasalahan yang penting untuk dibahas di samping phlebitis juga sering
ditemukan dalam proses keperawatan (Brunner dan Suddart, 2002)
Menurut Syaifuddin (2006), lokasi pemasangankateter intravena adalah tempat
pemasangan kateter intravena berdasarkan anatomi ekstremitas atas yaitu vena perifer yang
menjadi tempat pemasangan infus yaitu: vena metacarpal, vena sefalika. Secara anatomis,
vena sefalika terdiri dari ukuran lumen dindingnya besar, elastisitas lapisan venanya
terbentuk dari sel endothelium yang diperkuat oleh jaringan fibrus dan dibatasi oleh selapis
tunggal sel epitel gepeng. Secara anatomis, vena metacarpal terdiri dari ukuran lumen
dindingnya kecil, elasitisitas lapisan venanya lebih tipis, kurang kuat dan kurang elastik.
Kedua lokasi ini dapat memberikan kemudahan bagi perawat dalam pemasangan terapi
intravena. Tetapi sebaliknya apabila terjadi kesalahan dalam pemasangan kateter intravena
akan menyebabkan kerusakan endomethelium vena sehingga jaringan vena akan terinflamasi
yang akan mengakibatkan terjadinya phlebitis.

Menurut Depkes RI Tahun 2006 dikutip Wijayasari, Jumlah kejadian Infeksi


Nosokomial berupa phlebitis di Indonesia sebanyak (17,11%). Sedangkan hasil penelitian
yang dilakukan Widiyanto (2002), mengatakan bahwa angka kejadian phlebitis di Rumah
Sakit Cipto Mangkusumo Jakarta sebanyak 53,8%. Sejalan dengan Penelitian yang dilakukan
Baticola (2002), mengatakan bahwa angka kejadian phlebitisdi RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta
sebanyak 27,19 %, Sedangkan hasil penelitian Saryati (2002), mengatakan bahwa angka
kejadian phlebitis di RSUD Purworejo sebanyak 18,8% (Bayu, 2010).
Hasil penelitian ini yang dilakukan oleh Mulyani (2010), yang menyatakan rata-rata
kejadian phlebitis waktu 24 jam dan 72 jam setelah pemasangan terapi intravena. Dan
hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi pemasangan infus terletak pada vena sefalika dan
tidak terjadi phlebitis sebanyak 11 responden (91,7%). Sedangkan lokasi pemasangan infus
terletak pada vena metacarpal dan terjadi phlebitis sebanyak 20 responden (41,7%).
Dampak yang terjadi dari infeksi tindakan pemasangan infus (phlebitis) bagi pasien
menimbulkan dampak yang nyata yaitu ketidaknyamanan pasien, pergantian kateter baru,
menambah lama perawatan, dan akan menambah biaya perawatan di rumah sakit. Bagi mutu
pelayanan rumah sakit akan menyebabkan izin operasional sebuah rumah sakit dicabut
dikarenakan tingginya angka kejadian infeksi phlebitis, beban kerja atau tugas bertambah
bagi tenaga kesehatan, dapat menimbulkan terjadinya tuntutan (malpraktek), menurunkan
citra dan kualitas pelayanan rumah sakit (Darmadi, 2008).
Belajar dari masalah di atas, dapat dilihat bahwa dampak yang terjadi
dari phlebitis sangat merugikan bagi pasien dan mutu pelayanan rumah sakit. Phlebitis dapat
dicegah

dengan

menggunakan

teknik

aseptik

yang

ketat

selama

pemasangan kateter intravena, plester kanula dengan aman untuk menghindari gerakan dan
iritasi vena, mengencerkan obat-obatan yang dapat mengiritasi vena, serta rotasi sisi
intravena setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi (Weisten dalam Wijayasari,
2010).
Berdasarkan data dari Medical Record Rumah SakitIslam Siti Khadijah Palembang
mengenai jumlah pasien yang di Vapiliun Marwa (Bedah) selama 3 tahun terakhir yaitu pada
tahun 2009 sebanyak 1024 jiwa, pada tahun 2010 sebanyak806 jiwa dan pada tahun
2011 sebanyak 857jiwa.
Dari hasil studi pendahuluan di Vaviliun Marwa (bedah) Rumah Sakit Islam Siti
khodijah Palembang terdapat 25 pasien yang terpasang infus dengan jarak rata-rata 2-5 cm
dan persendian pergelangan tangan atau carpal. Namun tidak jarang juga pasien dengan
pemasangan IV line tepat pada daerah persendian. Dari jumlah pasien yang ada didapatkan 2

pasien yang mengalami gejala flebitis dengan pemasangan IV line tepat pada daerah
persendian. Menurut data yang didapatkan dari Vapiliun Marwa kasus flebitis jarang sekali
terjadi. Tetapi berdasarkan pengalaman di lapangan, resiko terjadinya flebitis mekanik
cenderung lebih tinggi. Hal ini dapat diakibatkan karena pengaruh kanul yang idak terfiksasi
adekuat pada vena di area persendian yang memungkinkan pasien melakukan pergerakan.
Dan fenomena di atas peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana pengaruh jarak
pemasangan infus dan persendian karena gejala flebitis merupakan salah satu potensi yang
menghambat terapi intravena (IV).
B. Rumusan Masalah
Pelayanan keperawatan yang bebas dan infeksi merupakan indikator kualitas
pelayanan keperawatan. Kajian teori dan hasil penelitian menjelaskan bahwa banyak faktor
yang memiliki hubungan dengan upaya pencegahan infeksi dalam pelayanan keperawatan.
Salah satunya adalah infeksi yang berhubungan dengan pemasangan terapi IV.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi yang berhubungan
dengan terapi IV. Salah satunya adalah lokasi tempat pemasangan IV line itu sendini. Namun
belum diketahui adanya hubungan jarak lokasi pemasangan infus dan persendian dengan
kejadian infeksi misalnya flebitis. Karena seperti yang kita ketahui bahwa persendian adalah
daerah yang memungkinkan terjadinya pergerakan sehingga jika dilakukan pemasangan infus
akan berpengaruh terhadap IV line..
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jarak pemasangan
infus dan persendian dengan kejadian flebitis.
2. Tujuan Khusus
a).

Diketahuinya jarak

pemasangan

infus

dan

daerah

persendian di Vapiliun

Marwa

(Bedah) Rumah SakitIslam Siti Khadijah Palembang Tahun 2012.


b). Diketahuinya kejadian flebitis pada pasien di Vapiliun Marwa (Bedah) Rumah Sakit Islam
Siti KhadijahPalembang Tahun 2012.
c). Diketahuinya hubungan antara jarak pemasangan infus dan persendian dengan kejadian
flebitis di Vapiliun Marwa (Bedah) Rumah Sakit Islam Siti KhadijahPalembang Tahun 2012.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan berkenaan


dengan Standar operasional prosedur (SOP) pemasangan infus di rumah sakit. Dan juga
sebagai salah satu alat evaluasi pencapaian tindakan pencegahan infeksi melalui jarum
infus (phlebitis)dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menambah perbendaharahaankarya tulis ilmiah dan sebagai acuan
pembelajaran atau bahan perbandingan dalam penulisan karya tulis ilmiahselanjutnya tentang
kejadian phlebitis.
3. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman pembelajaran mengenai
hubungan antara jarak pemasangan infus dan persendian dengan kejadian flebitis diVapiliun
Marwa (Bedah) Rumah Sakit Islam Siti KhadijahPalembang Tahun 2012..

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Terapi Intravena


1. Pengertian Terapi Intravena
Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara
memasukkan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh (Tamsuri, 2008).
Terapi intravena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk
memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien (Darmawan, 2008).
Selain itu terapi intravena diberikan untuk memperbaiki atau mencegah
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada penyakit akut dan kronis dan juga
digunakan untuk pemberian obat intravena (Potter dan Perry, 2005).
2. Tujuan Terapi Intravena
Tujuan utama terapi intravena diherikan pada pasien menurut Sugiarto (2006)
adalah:
a). Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.

b). Memberikan obat-obatan dan kernoterapi.


c). Transfusi darah dan produk darah.
d). Memberikan nutrisi parenteral dan suptemen nutrisi.

3. Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena


a). Keuntungan
Menurut Sugiarto (2006), terapi intravena mempunyai keuntungan sebagai
berikut :

7
(1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target
berlangsung cepat.
(2) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan.
(3)

Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan


maupun dimodifikasi

(4)

Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan
dapat dihindari.

(5)

Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang
besar, iritasi atau ketidak stabilan dalam traktus gastrointestinalis.
b). Kerugian
Sugiarto (2006) mengatakan hahwa terapi intravena mempunyai kerugian
sebagai berikut:

(1) Tidak bisa dilakukan drug recall dan rnengubah aksi obat tersebut sehingga resiko
toksisitas dan sensitivitas tinggi.
(2) Kontrol pemberian yang tidak baik bisa rnenyebabkan speed shock.
(3) Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba melalui titik akses ke
sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vaskular seperti flebitis mekanik dan kimia,
inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.
4. Peran Perawat dan Terapi Intravena
Dalam perawatan di rumah sakit, perawat mempunyai peran serta fungsi dalam
melakukan tindakan. Adapun peran perawat dalam tindakan terapi intravena menurut
Sugiarto (2006) adalah:

a)

Memastikan

tidak

ada

kesalahan

rnaupun

kontaminasi

cairan

infus

maupun

kemasannya.
b)

Memastikan cairan infus diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara
pemberian dan waktu pemberian).

c)

Memeriksa apakah jalur intravena tetap paten.

d) Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas.


e)

Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan instruksi.

f)

Monitor kondisi pasien dan melaporka setiap perubahan.

5. Indikasi Pemberian Jalur Intravena


Secara umum, Sugiarto (2006) rnengatakan hahwa keadaan-keadaan yang dapat
memerlukan pemberian cairan infus adalah:
a)

Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).

b)

Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).

c)

Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan
cairan tubuh dan komponen darah).

d) Serangan panas (heat stroke) (kehilangan cairan tuhuh pada dehidrasi).


e)

Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi).

f)

Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh).

g)

Semua trauma kepala. dada. dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah).
Selain untuk pemberian cairan, pemasangan intravena juga berfungsi untuk
pemberian obat IV dengan indikasi yaitu:

a)

Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung
masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya, pada kasus infeksi bakteri dalam
peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan
memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena
hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit rnemberikan antibiotika jenis ini
tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral pada kebanyakan pasien dirawat di RS
dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih
menguntungkan dan segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan. dan lamanya
perawatan.

b)

Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan
melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalarn sediaan intravena (sebagai
obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya
polications dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap rnelalui jalur gastrointestinal
di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam
pembuluh darah langsung.

c)

Pasien tidak dapat minum obat karena rnuntah, atau memang tidak dapat menelan obat
(ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertirnbangkan
pemberian rnelalui jalur lain sepe rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di
bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).

d) Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak atau obat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
e)

Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi
bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik atau vena). Peningkatan cepat konsentrasi
obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan
mengancam nyawa, pada penderita diabetes melitus. Alasan ini juga sering digunakan
untuk pemberian antibiotika melalui infus atau suntikan, namun perlu diingat bahwa
banyak antibiotika memiliki bioavailabilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar
adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Dari uraian di atas dapat diketahui hahwa pemberian atau pemasangan terapi
intravena harus sesuai indikasi pada keadaan-keadaan tertentu dan berfungsi untuk
pemberian obat intravena. Secara garis besar, Sugiarto (2006) menyimpulkan bahwa
indikasi pemasangan terapi intravena, yaitu:

a)

Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).

b)

Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.

c)

Pemberian kantong darah dan produk darah.

d) Pemberian obat yang terus-menerus (continiu).


e)

Upaya profilaksis (tindakan pencegahan sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar
dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi
syok, juga untuk memudahkan pemberian obat).

f)

Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya resiko dehidrasi
(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps
(tidak teraba). sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terapi intravena


1. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena
Menurut Sharon dalarn Sugiarto (2006) ada beherapa faktor yang mempengaruhi
pemilihan sisi penusukan vena, yaitu:
a)

Umur pasien; misalnya pada anak kecil. pemilihan sisi adalah sangat penting dan
mempengaruhi berapa larna IV perifer berakhir.

b)

Prosedur yang diantisipasi; misalnya jika pasien harus menerirna jenis terapi tertentu
atau

mengalami

beberapa

prosedur

seperti

pembedahan.

pilih

sisi

yang

tidak

terpengaruhi apapun.
c)

Aktivitas pasien; misalnya gelisah, bergerak. tak bergerak dan perubahan tingkat
kesadaran.

d) Terapi IV sebelumnya; flebitis sebelumnya membuat vena tidak baik untuk digunakan.
Kemoterapi juga dapat membuat vena menjadi buruk (mudah pecah).
e)

Sakit sebelumnya, misalnya jangan digunakan ekstrimitas yang sakit pada pasien
stroke.

f)

Kesukaan pasien; jika mungkin pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk sebelah kiri
atau kanan.

g)

Torniquet; gunakan 4 sampai 6 cm di atas titik yang diinginkan.

h)

Membentuk genggaman; minta pasien membuka dan menutup genggaman berulangulang.

i)

Posisi tergantung; gantung lengan pada posisi menggantun (rnisalnya di bawah batas
jantung).
2. Pemilihan Kanula untuk Infus Perifer
Menurut Prajitno dalam Sugiarto (2006), pemilihan kanul dapat mempengaruhi
terapi infus perifer, antara lain:

a)

Kanula plastik boleh digunakan untuk IV secara rutin, pemasangan tidak boleh Iebih dan
48-72 jam.

b)

Kanula logam digunakan bila kanula plastik tidak mungkin diganti secara rutin setiap
48-72 jam, namun untuk kasus tertentu yang memelihara fiksasi yang baik harus
digunakan kanula plastik.
3. Pemilihan Lokasi Pemasangan IV
Pemilihan lokasi pemasangan infus menurut Sharon dalam Sugiarto (2006)
adalah :

a)

Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada lengan atas dan pada lengan
bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di daerah sub klavikula atau jugularis.

b)

Vena tangan paling sering digunakan untuk terapi IV yang rutin.

c)

Vena lengan, periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat

d) Vena lengan atas, juga digunakan untuk terapi IV.


e)

Vena ekstremitas bawah, digunakan hanya menurut kebijaksanaan institusi.

f)

Vena kepala, digunakan sesuai kebija institusi, sering dipilih pada bayi dan anak.
4. Persiapan Psikologis pada Pasien
Persiapan psikologis pada pasien juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pemasangan intravena (Sharon dalarn Sugiarto, 2006), yaitu:

a) Jelaskan prosedur sebelum melakukan dan berikan penyuluhan jika diperlukan.


b) Berikan instruksi tentang perawatan dan keamanan IV.
c) Gunakan terapi bermain untuk anak kecil.
d) Dorong pasien untuk mengajukan pernyataan atau masalah.
5. Persiapan Pemasangan IV
Adapun persiapan pemasangan IV menurut Prajitno dalam Sugiarlo (2006)
adalah:
a)

Tempat yang akan dipasang kanula terdahulu didesinfeksi dengan antiseptik.

b)

Gunakan Yodium Tinture 1-2 % atau dapat juga menggunakan Klorheksidine, lodofer
atau alkohol 70 %. Antiseptik secukupnya dan ditunggu sampai kering minimal 30 detik
sebelum dilakukan pemasangan kanula.

c)

Jangan menggunakan heksalurofen atau campuran semacam benzalkonium dalam air


untuk desinfeksi tempat tusukan
6. ProsedurPermasangan Infus
Prosedur pemasangan terapi intravena menurut Sharon dalam Sugiarto (2006)
adalah:

a)

Lakukan pemilihan sisi dan pakai sarung tangan.

b)

Pasang tourniquet di atas sisi pemasangan untuk meningkatkan pengisian vena yang
lebih baik (jika aliran arteri tidak teraba dapat disebabkan karena tourniquet terlalu
ketat).

c)

Siapkan kulit sesuai kebijaksanaan institusi yang diterima.

d) Pastikan kelengkapan produk misalnya jarum, kateter atau starter pack.


e)

Tusukkan alat inius ke kulit, sisi potongan jarum ke arah atas dengan sudut kira kira 45
derajat terhadap kulit. Turunkan batang jarum sarnpai menjadi sejajar dengan kulit dan

dorong jarum sarnpai vena tertembus. Aliran balik darah umumnya memastikan masuk
kedalam vena.
f)

Dengan perlahan angkat keseluruhan batang dan dorong ke dalam vena.

g)

Untuk kateter ketika jarum introdukter, dorong kateter plastik melewati jarum ke dalam
pembuluh sementara jarum tidak bergerak. Cabut jarum introdukter, patahkan, dan
buang ke tempat yang aman. setelah mernastikan bahwa darah mengalir.

h)

Hubungkan set pemberian dan tentukan kecepatan aliran yang diinginkan.

i)

Fiksasi jarum atau kateter.

j)

Adalah sangat membantu untuk memberi label pada sisi IV dengan tanggal dan ukuran
alat yang digunakan dalam upaya untuk mempermudah keputusan mengenai infus atau
darah.
7. Prosedur Setelah Pemasangan
Prosedur setelah pemasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006)
yaitu:

a)

Beri antiseptik pada tempat pemasangan terutama pada teknik insisi.

b)

Kanula difiksasi sebaik-baiknya.

c)

Tutuplah dengan kasa steril.

d) Cantumkan tanggal pemasangan di tempat yang rnudah dibaca (misalnya plester,


penutup pipa infus) serta pada catatan pasien yang bersangkutan tuliskan tanggal dan
lokasi pemasangan.
8. Perawatan Tempat Pemasangan Infus
Adapun cara perawatan tempat pernasangan IV line menurut Prajitno dalarn
Sugiarto (2006) adalah :
a)

Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya komplikasi
tanpa membuka kasa penutup yaitu dengan cara meraba daerah vena tersebut, Bila ada
demarn yang tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada daerah penusukan, barulah
kasa penutup dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi.

b)

Cek setiap 8 jam apakah ada tanda-tan flebitis atau infeksi.

c)

Pindahkan pemasangan IV line setiap 72 jam untuk mengurangi resiko flebitis atau
infeksi lokal.

d) Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama, maka setiap 48-72 jam kasa
penutup harus diganti dengan yang baru dan steril.
e)

Bila pada pemasangan kanula, tempat pemasangan diberi antiseptik maka setiap
penggantian kasa penutup, tempat pemasangan diberi antise kembali.

9. Penyulit Terapi Intra Vena


Terapi intravena dapat menyebabkan beberapa penyulit yang ringan dan dapat
menyebabkan kerusakan vena sampai yang fatal sehingga dapat menyebabkan
kematian. Adapun gangguan yang dapat terjadi pada saat terapi intravena seperti flebitis
tromboflebitis, purulenta, bakteri (Prajitno dalam Sugiarto, 2006).
Selain penyakit, ada beherapa hal yang perlu diperhatikan pada pemasangan
infus melalui jalur pembuluh darah vena. Pemasangan jalur intravena memiliki
kontraindikasi sebagai berikut:
a)

Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

b)

Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk
pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

c)

Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya
lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
10. Komplikasi Peniasangan Infus
Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan terapi IV
menurut Sugiarto (2006), yaitu:

a)

Flematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh
darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat
memasukkan jarum, atau tusukan berulang pada daerah yang sama.

b)

Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pernbuluh
darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.

c)

Flebitis, tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pernbuluh vena, terjadi akibat
infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

d) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah. terjadi akibat masuknya
udara yang ada dalarn cairan infus ke dalam pembuluh darah.
e)

Ekstravasasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan ekstrasel.

C. Flebitis
1. Definisi Flebitis
Flebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang merupakan komplikasi
pada pemberian terapi intra vena (IV) dan ditandai dengan gejala khas peradangan
yaitu: bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada daerah
insersi kanula dan penurunan kecepatan tetesan infus (Brooker,et all dalarn Sugiarto,
2006). Flebitis yaitu daerah yang mengalami bengkak, panas, dan nyeri pada kulit

tempat kateter intravaskuler dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis disertai dengan
tanda-tanda infeksi lain seperti demarn dan pus yang keluar dari tempat tusukan, ini
dapat digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Saifuddin, 2004).
2. Pembagian Derajat Flebitis
Terdapat tiga pembagian derajat flebitis menurut Ignatavicius (2006), yaitu:
a)

Derajat I
Tanda-tanda: nyeri pada tempat penusukan, eritema dan edema, tidak ada streak, tidak
teraba tonjolan.

b)

Derajat 2
Tanda-tanda: nyeri, eritema dan edema, ada formasi streak, tidak teraba tonjolan.

c)

Derajat 3
Tanda-tanda nyeri, eritema. ada formasi streak, teraba tonjolan.
3. Jenis Flebitis
Ada tiga jenis flebitis menurut Pujasari dalam Gayatri & Handayani (20(fl):
1) Flebitis Mekanik
Flebitis jenis ini berkenaan dengan pemilihan vena dan penempatan kanula,
ukuran kanula yang terlalu besar dibandingkan dengan ukuran vena, fiksasi kanula yang
tidak adekuat, ambulasi berlebihan terhadap sistem dan pergerakan ekstremitas yang
tidak terkontrol. Flebitis mekanik terjadi cedera pada tunika intima vena.
Tindakan keperawatan untuk mencegah flebitis mekanik adalah :

a.

Lakukan teknik insersi kanula secara benar. Untuk menghindari cedera pada saat
pemasangan kanula perawat harus memiliki pengetahuan dasar dan pengalaman yang
memadai dalam pemberian terapi intravena. Idealnya harus ada perawat teregistrasi
(RNs) atau perawat yang sudah mendapatkan pelatihan khusus tentang terapi IV atau
sudah mendapatkan sertifikat spesialis.

b.

Lakukan pemilihan lokasi secara benar, hindari vena pada area fleksi atau lipatan atau
ekstremitas dengan pergerakan maksimal serta persendian. Pilih vena yang besar, lurus,
panjang dan tidak rapuh. Vena yang dianjurkan adalah vena metacarpal, vena sefalika,
vena basalika, vena ante brakial medialis. Hindari pemilihan vena yang sudah mengeras
(hematom).

c.

Lakukan pemilihan kanula secara tepat. Gunakan kanula dengan ukuran paling pendek
dan diameter paling kecil. Sesuaikan dengan urnur. keperluan dan lamanya terapi.

Semakin besar nomor, maka semakin kecil ukuran panjang dan diameter. Ukuran
sediaan kanula dan mulai 16. 18, 20. 22, 24. Ukuran 24 digunakan untuk neonatus, bayi
dan anak. untuk ukuran 16. 18, 20 digunakan pada klien dewasa.
d.

Perhatikan stabilitas kanula, dapat dilakukan dengan fiksasi untuk mendapatkan kanula
yang adekuat. Jika fiksasi tidak adekuat memungkinkan gerakan keluar masuknya
kanula dan goresan ujung kapula pada lumen vena.
2) Flebitis Kimiawi
Flebitis ini berkenaan dengan respon tunika intima terhadap osmolaritas cairan
infus. Respon radang dapat terjadi karena pH dan osmolaritas atau obat juga karena
sifat kimia bahan kanula yang digunakan.

a. Pastikan pH dan osmolaritas cairan atau obat, pH normal darah adalah 7,35-7,45
sehingga pH dan osmolaritas cairan atau obat yang lebih rendah atau tinggi menjadi
faktor predisposisi iritasi vena, l pengenceran rnaksirnal pada pemberian obat injeksi,
karena campuran obat dapat menyebabkan forrnasi prespitat yang dapat meningkatkan
resiko flebitis. Cairan isotonis yang menjadi hiperosmolar dan menyebabkan flebitis
(flebitogenik) bila ditarnbahkan bahan seperti sediaan KCL. Perhatikan kecepatan
tetesan infus, tetesan lambat menyebabkan absorbsi lambat dengan bemodilusi yang
lebih kecil.
b. Gunakan produk kanula yang non flebitogenik. meskipun belum dapat dipastikan jenis
apa yang betul-betul mencegah flebitis. Pilih kanula yang bersifat elastis dan
permukaannya lembut.
3) Flebitis Bakterial
Merupakan radang pada vena yang dikaitkan dengan infeksi bakteri. Tindakan
keperawatan yang bisa dilakukan sebagai upaya pencegahannya adalah:
a.

Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Prosedur baku dalam
pemasangan adalah menggunakan sarung tangan pada saat melakukan pungsi vena.

b.

Gunakan kassa dan sarung tangan bersih. Periksa keutuhan kemasan infus set dan
cairan serta tanggal kadaluarsanya.

c.

Lakukan persiapan area dengan teknik aseptik dan antiseptik.

d.

Observasi secara teratur tanda-tanda flebitis minimal tiap 24 jam.

e.

Bersihkan dan ganti balutan infus tiap 24 jam atau kurang bila balutan rusak.

f.

Ganti sistem infus setiap 48-72 jam dan tandai tanggal pemasangan serta penggantian
balutan.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Flebitis

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya flebitis (Pujasari dalam
Sugiarto, 2006). yaitu:
1.

Hindari pemilihan pada area fleksi atau lipatan atau pada ekstrimitas dengan pergerakan
maksimal.

2.

Faktor-faktor pada pasien seperti adanya vena yang berkelok-kelok dan spasme vena
dapat mempengaruhi kecepatan aliran (infus lambat atau berhenti).

3.

Ukuran kanula yang terlalu besar dibandingkan dengan ukuran vena sehingga
memungkinkan terjadinya cedera pada tunika intima vena.

4.

Fiksasi yang kurang adekuat menyebabkan pergerakan kanula di dalam vena sehingga
terjadi infeksi.

5.

Jenis cairan yang diberikan jika pH dan osmolaritas cairan atau obat yang lebih rendah
atau lebih tinggi menjadi faktor predisposisi iritasi vena.

6.

Pengenceran obat infeksi yang tidak maksimal terutama jenis antibiotika.

7.

Kesterilan alat-alat intravena.

8.

Faktor keberhasilan perawat (cuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan infus).

C. Penelitian Terkait
Gayatri dan Handayani (2003) menyatakan bahwa 35% dan 60 responden
mengalami flebitis dengan jenis kelamin rata-rata laki-laki. Semakin jauh jarak
pemasangan terapi intravena dan sendi maka resiko terjadinya flebitis akan semakin
meningkat.

Hal

ini

dapat

disebabkan

karena

kurangnya

fiksasi

dan

dekatnya

persambungan selang kanul dengan persendian lainnya. Hal utama yang perlu
diperhatikan sebaiknya jarak pemasangar infus minimal 3-7 cm dan persendian. flehitis
yang terjadi dalarn penelitian termasuk flehitis mekanik. Angeles dalani Gayatri &
Handayani (2003) menyatakan hahwa flebitis mekanik atau fisik dapat terjadi karena
kanul yang terlalu besar untuk vena, iritasi vena selama pemasangan, atau adanya
pergerakan kanul di dalam vena

Anda mungkin juga menyukai