Anda di halaman 1dari 20

REFRESHING

SISTEM LAKRIMAL

Pembimbing
dr. Harie, Sp.M
Disusun oleh
Risa Maulida Widjaya

23.24.2011.789

Maimunah Rahmawati

23.24.2011.880

Yessy Paramita

23.24.2011.881

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH
JAKARTA
PERIODE 4 April 2016 7 Mei 2016
RSUD R. SYAMSUDIN, SH - SUKABUMI
2016

SISTEM LAKRIMAL

Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular, dan
drinase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas salah satu saja
dari keempat proses ini dapat menyebabkan mata kering (Kanski et al, 2011).
A. Aparatus lakrimalis
Aparatus atau sistem lakrimalis terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus
ekskretori (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004; AAO, 2007), yaitu:
1. Aparatus Sekretorius Lakrimalis
Aparatus sekretori lakrimalis terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar
lakrimal assesoris (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra (kelenjar
Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistem sekresi terdiri dari sekresi
basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi air mata tanpa ada stimulus dari
luar sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila ada rangsangan eksternal (Kanski et al,
2011; Sullivan et al, 2004; AAO, 2007).
2. Aparatus Ekskretorius Lakrimalis
Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan
penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi (Sullivan, 2004).
Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus kemudian bermuara di sakus
lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus seperior dan inferior akan
bergabung menjadi kanalikulus komunis sebelum ditampung dalam sakus lakrimalis. Di
kanalikulus, terdapat katup Rosenmuller yang berfungsi untuk mencegah aliran balik air
mata. Setelah di tampung di sakus lakrimalis, air mata akan diekskresikan melalui duktus
nasolakrimalis sepanjang 12-18 mm ke bagian akhir di meatus inferior. Disini juga
terdapat katup Hasner untuk mencegah aliran balik (Sullivan et al, 2004; AOA, 2007).

Gambar 1: Apparatus Lakrimalis (Sumber: Netters Atlas of Human Anatomy)

Gambar 2: Apparatus Lakrimalis (Sumber: Netters Atlas of Human Anatomy)


B. Sistem Sekresi Air Mata
1

Kelenjar Lakrimalis

Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimal yang terletak di fossa
glandulae lakrimalis di kuadran temporal atas orbita. Duktus kelenjar ini mempunyai

panjang berkisar 6-12 mm, berjalan pendek menyamping di bawah konjungtiva (Vaughan,
2004).
Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis
levator menjadi (Khurana AK, et al, 2007):
a

Lobus orbita

yang berbentuk kenari dan lebih besar, terletak di dalam fossa

glandulae lakrimalis di segmen temporal atas anterior orbita yang dipisahkan dari bagian
palpebra oleh kornu lateralis muskulus levator palpebrae. Untuk mencapai bagian
kelenjar ini dengan pembedahan, harus diiris kulit, muskulus orbikularis okuli, dan
septum orbita.
b

Lobus palpebra yang lebih muara ke forniks temporal superior. Bagian palpebra yang
lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal forniks konjungtiva superior. Duktus
sekretorius lakrimal, yang bermuara pada sekitar 10 lubang kecil, yang menghubungkan
bagian orbita dan bagian palpebra kelenjar lakrimal dengan forniks konjungtiva superior.
Pengangkatan bagian palpebra kelenjar akan memutus semua saluran penghubung dan
mencegah seluruh kelenjar bersekresi. Lobus palpebra

kadang-kadang dapat dilihat

dengan membalikkan palpebra superior.


Persarafan kelenjar-utama datang dari nucleus lakrimalis di pons melalui
nervus intermedius dan menempuh suatu jaras rumit cabang maxillaris nervus trigeminus.
Denervasi adalah konsekuensi yang sering terjadi pada neuroma akustik dan tumortumor lain di sudut cerebellopontin (Khurana AK, et al, 2007).
2

Kelenjar Lakrimal Aksesorius

Meskipun hanya sepersepuluh dari massa kelenjar utama, kelenjar lakrimal


aksesorius mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar Krause dan Wolfring identik
dengan kelenjar utama, tetapi tidak memiliki ductulus. Kelenjar - kelenjar ini terletak di
dalam konjungtiva, terutama di forniks superior Sel-sel goblet uniseluler, yang juga
tersebar di konjungtiva, mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar
sebasea Meibom dan Zeis di tepian palpebra memberi lipid pada air mata. Kelenjar Moll
adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film air mata (Khurana
AK, et al, 2007).
Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan
air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epifora). Kelenjar lakrimal akse-

sorius dikenal sebagai pensekresi dasar". Sekret yang dihasilkan normalnya cukup
untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya sel goblet berakibat mengeringnya kornea
meskipun banyak air mata dari kelenjar lakrimal (Vaughan, 2004).
C. Sistem Ekskresi Air Mata
Sistem ekskresi terdiri atas punctum, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus
nasolakrimalis (Vaughan, 2004).
1. Punctum Lakrimalis
Ukuran punctum lakrimalis dengan diameter 0,3 mm terletak di sebelah
medial bagian superior dan inferior dari kelopak mata. Punctum relatif avaskular dari
jaringan sekitarnya, selain itu warna pucat dari punctum ini sangat membantu jika
ditemukan adanya sumbatan. Punctum lakrimalis biasanya tidak terlihat kecuali jika
kelopak mata dibalik sedikit. Jarak superior dan inferior punctum 0,5 mm, sedangkan
jarak masing-masing ke kantus medial kira-kira 6,5 mm dan 6,0 mm. Air mata dari
kantus medial masuk ke punctum lalu masuk ke canalis lakrimalis.
2. Kanalikuli Lakrimalis
Lacrimal ducts (lacrimal canals), berawal pada orifisium yang sangat kecil,
bernama puncta lacrimalia, pada puncak papilla lacrimales, terlihat pada tepi ekstremitas
lateral lakrimalis. Duktus superior, yang lebih kecil dan lebih pendek, awalnya berjalan
naik, dan kemudian berbelok dengan sudut yang tajam, dan berjalan ke arah medial dan
ke bawah menuju lacrimal sac. Duktus inferior awalnya berjalan turun, dan kemudian
hampir horizontal menuju lacrimal sac. Pada sudutnya, duktus mengalami dilatasi dan
disebut ampulla. Pada setiap lacrimal papilla serat otot tersusun melingkar dan
membentuk sejenis sfingter.
3. Sakus Lakrimalis (Kantung Lakrimal)
Merupakan ujung bagian atas yang dilatasi dari duktus nasolakrimal, dan
terletak dalam cekungan (groove) dalam yang dibentuk oleh tulang lakrimal dan
prosesus frontalis maksila. Bentuk sakus lakrimalis oval dan ukuran panjangnya sekitar
12-15 mm; bagian ujungnya membulat, bagian bawahnya berlanjut menjadi duktus
nasolakrimal.
4. Duktus Naso Lakrimalis
Kanal membranosa, panjangnya sekitar 18 mm, yang memanjang dari bagian

bawah lacrimal sac menuju meatus inferior hidung, dimana saluran ini berakhir dengan
suatu orifisium, dengan katup yang tidak sempurna, plica lakrimalis (Hasneri), dibentuk
oleh lipatan membran mukosa. Duktus nasolakrimal terdapat pada kanal osseus, yang
terbentuk dari maksila, tulang lakrimal, dan konka nasal inferior.
Setiap kali berkedip, palpebra menutup seperti ritsleting, mulai dari lateral,
menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan menyalurkannya ke dalam
sistem ekskresi pada aspek medial palpebra. Pada kondisi normal, air mata dihasilkan
dengan kecepatan yang kira-kira sesuai dengan kecepatan penguapannya. Dengan
demikian, hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi. Bila sudah memenuhi sakus
konjungtivalis, air mata akan memasuki puncta sebagian karena sedotan kapiler. Dengan
menutup mata, bagian khusus orbicularis pratarsal yang mengelilingi ampula akan
mengencang untuk mencegahnya keluar. Bersamaan dengan itu, palpebra ditarik ke arah
crista lakrimalis posterior, dan traksi fascia yang mengelilingi sakus lakrimalis berakibat
memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif di dalam sakus. Kerja pompa
dinamik ini menarik air mata ke dalarn sakus, vang kemudian berjalan melalui duktus
nasolakrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan, ke dalam meatus
inferior hidung. Lipatan-lipatan serupa katup milik epitel pelapis sakus cenderung
menghambat aliran balik udara dan air mata. Yang paling berkembang di antara lipatan ini
adalah katup Hasner di ujung distal duktus nasolakrimalis. Struktur ini penting karena
bila tidak berlubang pada bayi, menjadi penyebab obstruksi kongenital dan dakriosistitis
menahun (Vaughan, 2004).

Gambar 3: Anatomi Sistem Drainase Lakrimal (Sumber: Kanski Clinical


Ophthalmology)

Gambar 4: Fisiologi Sistem Drainase Lakrimal (Sumber: Kanski Clinical


Ophthalmology)
D. Air Mata
Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 um Yang menutupi epitel
kornea dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultra-tipis ini adalah (Vaughan, 2004):

1. Membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan meniadakan


ketidakteraturan minimal di permukaan epitel
2. Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva
yang lembut
3. Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan mekanik
dan efek antimikroba
4. Menyediakan kornea berbagai substansi nutrien yang diperlukan.
E. Lapisan-Lapisan Film Air Mata
Film air mata terdiri atas tiga
1.

lapisan (Vaughan, 2004):

Lapisan superfisial adalah film lipid monomolekular yang berasal dari

kelenjar meibom. Diduga lapisan ini menghambat penguapan dan tnembentuk sawar
kedap-air saat palpebra ditutup.
2.

Lapisan akueosa tengah yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor

clan minor; mengandung substansi larut-air (garam dan protein).


3.

Lapisan musinosa dalam terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel

epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein dan karenanya
relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair
saja. Musin diadsorpsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan oleh mikrovili
ditambatkan pada sel-sel epitel permukaan. Ini menghasilkan permukaan hidrofilik baru
bagi lapisan akuosa untuk menyebar secara merata ke bagian yang dibasahinya dengan
cara menurunkan tegangan permukaan.

Gambar 5: Tiga Lapisan Film Air Mata yang Melapisi Lapisan Epitel
Superfisial di Kornea (Sumber: Vaughans General Ophthalmology)
F. Komposisi Air Mata
Volume air mata normal diperkirakan 7 2 L di setiap mata. Albumin
mencakup 60% dari protein total air rnata; sisanya globulin dan lisozim yang berjumlah
sama banyak. Terdapat imunoglohulin IgA, IgG, dan IgE. Yang paling banyak adalah IgA,
yang berbeda dari IgA serum karena bukan berasal dari transudat serum saja; IgA juga di
produksi sel-sel plasma di dalam kelenjar lakrimal. Pada keadaan alergi tertentu, seperti
konjungtivitis vernal, kosentrasi IgE dalam cairan air mata meningkat. Lisozim air mata
menvusun 21-25% protein total, bekerja secara sinergis dengan gamma globulin dan faktor anti
bakteri non-lisozim lain, membentuk mekanisme pertahanan penting terhadap infeksi.
Enzim air mata lain juga bisa berperan dalam diagnosis berbagai kondisi klinis tertentu,

misalnya, hexoseaminidase untuk diagnosis penyakit Tay-Sachs (Vaughan, 2004).


K+, Na+, dan CI- terdapat dalam kadar yang lebih tinggi di air mata daripada di
plasma. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dL) dan urea (0,04mg/dL).
Perubahan kadar dalam darah sebanding dengan perubahan kadar glukosa dan urea dalam
air mata. pH rata-rata air mata adalah 7,35, meskipun ada variasi normal yang besar (5,208,35). Dalam keadaan normal, air mata bersifat isotonik. Osmolalitas film air mata
bervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L (Vaughan, 2004).
G. Dinamika Sekresi Air Mata
Laju pengeluaran air mata dengan fluorofotometri sekitar 3,4
pada orang normal dan 2,8

L/menit

L/menit pada penderita mata kering (Eter et al, 2002).

Sedangkan menurut Nichols (2004), laju pengeluaran air mata adalah 3,8

L/menit

dengan interferometri. Antara dua interval berkedip, terjadi 1-2 % evaporasi,


menyebabkan penipisan 0,1

m PTF dan 20% pertambahan osmolaritas (On et al,

2006).
Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6-7

L yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni (Sullivan, 2002):


1.
Mengisi sakus konjungtiva sebanyak 3-4 L.
2.
Melalui proses berkedip sebanyak 1 L akan membentuk TF dengan tebal 6-10
m dan luas 260 mm2.
3.

Sisanya sebanyak 2-3

L akan membentuk tear meniscus seluas 29 mm2 dengan

jari-jari 0,24 mm (Yokoi et al, 2004). Menurut Wng et al (2006), TF digabungkan dari
tear meniscus atas dan bawah saat berkedip.
Ketebalan TF bersifat iregular pada permukaan okular sehingga tidak ada
ketebalan yang tepat untuk ukuran TF (Wang et al, 2006). Menurut Smith et al (2000)
ketebalan berkisar antara 7-10

m sedangkan Pyrdal et al (1992) menyatakan TF

seharusnya memiliki ketebalan 35-40 m dan mayoritas terdiri dari gel musin.
Menurut Palakuru et al (2007), TF berada dalam keadaan paling tebal saat
segera setelah mengedip dan berada dalam keadaan paling tipis saat kelopak mata

terbuka. Dalam penelitian mereka, angka perubahan ketebalan ini menunjukkan nilai
yang sama dengan kelompok yang disuruh melambatkan kedipan matanya. Mereka
menyimpulkan hal ini disebabkan oleh refleks berair yang segera.
H. Mekanisme Distribusi Air Mata
Mengedip berperan dalam produksi, distribusi dan drainase air mata (Palakuru
et al, 2007). Berbagai macam teori mengenai mekanisme distribusi air mata (AAO,
2007). Menurut teori Doane (1980), setiap berkedip, palpebra menutup mirip retsleting
dan menyebarkan air mata mulai dari lateral. Air mata yang berlebih memenuhi sakus
konjungtiva kemudian bergerak ke medial untuk memasuki sistem ekskresi (Kanski et al,
2011; Sullivan et al, 2004). Sewaktu kelopak mata mulai membuka, aparatus ekskretori
sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya. Saat kelopak mata atas turun, punkta
akan ikut menyempit dan oklusi punkta akan terjadi setelah kelopak mata atas telah turun
setengah bagian. Kontraksi otot orbikularis okuli untuk menutup sempurna kelopak mata
akan menimbulkan tekanan menekan dan mendorong seluruh air mata melewati
kanalikuli, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis dan meatus inferior. Kanalikuli akan
memendek dan menyempit serta sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis akan tampak
seperti memeras. Kemudian setelah dua per tiga bagian kelopak mata akan berangsurangsur terbuka, punkta yang teroklusi akan melebar. Fase pengisian akan berlangsung
sampai kelopak mata terbuka seluruhnya dan siklus terulang kembali (Doane, 1980). TF
dibentuk kembali dari kedipan mata setiap 3-6 detik. Saat kelopak mata terbuka, lapisan
lemak ikut terangkat.
I. Mekanisme Ekskresi Air Mata
Ada tiga mekanisme yang dapat menyebabkan penipisan PTF yaitu absorbsi ke
kornea (inward flow), pergerakan paralel air mata sepanjang permukaan kornea
(tangential flow) dan evaporasi (Nichols et al, 2005). Lain halnya dengan Tsubota et al
(1992), Mathers et al (1996), dan Goto et al (2003). Mereka berpendapat bahwa evaporasi
hanya berperan minimal menyebabkan penipisan-penipisan TF. Akan tetapi, Rolando et al
(1983) menunjukkan bahwa evaporasi berperan penting menyebabkan penipisan TF.
Smith et al (2008) menyebutkan bahwa hal ini bervariasi sesuai keadaan dan melibatkan
kombinasi mekanisme.
Laju evaporasi pada orang normal adalah0,004 (Craig, 2000), 0,25 (Goto et,
2003), 0,89 (Mathers, 1996), 0,94 (Shimazaki, 1995), 1,2 (Tomlinson, 1991), 1,61

(Hamano, 1980), 1,94 (Yamada, 1990). Perlu waktu 3-5 menit untuk ruptur PTF
(Kimball, 2009).
J. Kelainan Kongenital dan Kelainan Perkembangan Sistem Lakrimal
Atresi duktus nasolakrimal merupakan kelainan kongenital yang sering
ditemukan pada sistem lakrimal. Hampir 30% neonatus mengalami penutupan duktus
nasolakrimal pada waktu lahir. Atresi biasanya ditemukan pada mukoperiosteum nasal
dekat valvula Hasner. Atresi ini dapat bersifat sementara atau menetap setelah 3 minggu
kelahiran. Terdapat penimbunan air mata dan mukus dalam sakus lakrimal, yang
ditunjukkan dengan adanya regurgitasi mukus pada penekanan daerah sakus lakrimal.
Pengobatan
Pemberian antibiotik lokal, masase pada pungtum ke arah sakus lakrimal, bila
tidak membaik setelah minggu ke-4, dilakukan tindakan probing dan irigasi. Pada
penderita di bawah umur 6 bulan tindakan dilakukan dengan pemberian sedativa.
Penderita di atas umur 6 bulan dengan narkosa umum. Kelainan pungtum dan kanalikuli
dapat terjadi bersamaan, berupa tidak adanya pungtum dan kanalikuli, penutupan,
duplikasi, dan fistulasi.
Apabila tidak terdapat pungtum, dilakukan pembukaan dengan dilatator yang
runcing. Pada fistula dilakukan eksisi; dan apabila tidak ada kanalikuli dilakukan
tindakan pembedahan. Divertikel dapat timbul dari sakus lakrimal, kanalikuli atau duktus
nasolakrimal. Dari divertikel ini dapat terjadi kantong kista yang berisi cairan dan
menyerupai mukokel sakus lakrimal. Apabila disertai infeksi, terjadi dakriosistitis, maka
pengobatannya adalah; ditenangkan proses radangnya, selanjutnya dilakukan eksisi.
K. Penyakit Infeksi Sistem Lakrimal
1. Dakrioadenitis akut
Keadaan ini jarang ditemukan, biasanya mengikuti penyakit lain seperti
parotitis epidemik, influenza, tuberkulosis dan merupakan penyebab paling sering pada
anak-anak. Pada orang dewasa, infeksi sistem lakrimal biasanya menyertai infeksi
gonore, infeksi purulen kelopak mata dan konjungtiva atau trauma perforasi kelenjar
lakrimal.
Keluhan subyektif utama adalah rasa tidak enak dan nyeri pada orbita pada
bagian superior dan temporal. Pembengkakan dan kemerahan kelenjar lakrimal
menimbulkan blefaroptosis kelopak mata superior (lengkang berbentuk S pada pinggir

kelopak mata). Ditemukan juga adenopati pre-aurikular. Diagnosis banding: hordeolum


internum, abses palpebra, periostitis orbita superior.
Dakrioadenitis akut dapat diberikan pengobatan dengan cara kompres hangat,
antibiotika lokal dan sistemik, insisi bila terjadi abses.
2. Dakrioadenitis kronik
Penyebab dari penyakit ini adalah sarkoidosis, tuberkulosis, leukimia limfatik,
trakoma, sindrom Mickulicz. Terjadi pembengkakan yang dapat diraba melalui kelopak
mata. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya.
3. Dakriosistitis akut
Dakriosistitis akut ialah peradangan supuratif sakus lakrimal disertai dengan
selulitis jaringan di atasnya. Penyebab yang mendasari adalah penyumbatan duktus
nasolakrimal, sering ditemui pada anak-anak dan orang dewasa usia diatas 40 tahun.
Peradangan berupa pembengkakan, merah dan nyeri, biasanya disertai dengan
pembengkakan kelenjar pre-aurikular, sub-mandibular serta demam ringan. Kadangkadang kelopak mata dan daerah sisi hidung membengkak. Gejala dakriosistitis akut ialah
epifora dan regurgitasi pada penekanan daerah sakus lakrimal. Pada stadium lanjut dapat
terjadi komplikasi berupa fistula. Apabila terdapat erosi kornea misalnya karena trauma,
maka erosi akan berkembang menjadi ulkus kornea. Diagnosis banding: sinusitis
etmoidal akut.
Pengobatan dakriosistitis akut dapat dilakukan dengan cara kompres hangat,
antibiotika lokal dan sistemik, insisi bila terdapat abses, tindakan pembedahan dilakukan
apabila gejala peradangan sudah dapat di atasi terlebih dahulu.
4. Hordeolum
Merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan
infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea kelopak biasanya sembuh sendiri dan dapat
diberi hanya kompres hangat.

Pembagian Hordeolum :
Hordeolum internum : merupakan infeksi pada kelenjar meibom yang terletak
di dalam tarsus. Hordeolum ini memberikan penonjolan terutama ke daerah konjungtiva
tarsal. Biasanya berukuran lebih besar dibanding hordeolum eksterna.

Hordeolum eksternum : merupakan infeksi pada kelenjar Zeis dan Moll.


Hordeolum ini memberikan penonjolan terutama ke daerah kulit kelopak, dapat keluar
nanah dari pangkal rambut.
Gejala klinis :
-

Bengkak pada kelopak mata


Rasa mengganjal dan sakit
Mata Merah
Nyeri bila ditekan
Peka terhadap cahaya terang
Adanya pseudoptosis atau ptosis terjadi akibat bertambah beratnya kelopak
sehingga sukar diangkat. Pada pasien dengan hordeolum biasanya kelenjar preaurikuler
ikut membesar. Sering hordeolum ini membentuk abses dan pecah dengan sendirinya.
5. Kalazion
Merupakan peradangan granulomatosa kelenjar meibom yang tersumbat. Pada
kalazion

terjadi

penyumbatan

kelenjar

meibom

dengan

infeksi

ringan

yang

mengakibatkan peradangan kronis kelenjar tersebut.


Kalazion akan memberikan gejala adanya benjolan pada kelopak, tidak
hiperemi, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikel tidak
membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat
tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut. Kadang-kadang
kalazion sembuh atau hilang dengan sendirinya akibat diabsorpsi.
Pengobatan pada kalazion adalah dengan memberikan kompres hangat,
antibiotic setempat dan sistemik. Untuk mengurangkan gejala dilakukan ekskohleasi isi
abses dari dalamnya atau dilakukan ekstirpasi kalazion tersebut. Insisi dilakukan seperti
insisi pada hordeolum internum.
Bila terjadi kalazion yang berulang beberapa kali sebaiknya dilakukan
pemeriksaan

histopatologik

untuk

menghindarkan

kesalahan

diagnosis

dengan

kemungkinan adanya suatu keganasan.


6. Obstruksi sakus lakrimal
Obstruksi sakus lakrimal jarang ditemui, biasanya disebabkan oleh dakriolit.
Konsistensi sakus lakrimal padat. Pengobatan obstruksi sakus lakrimal dapat dilakukan
dengan cara antibiotik lokal, irigasi, dan pembedahan.

7. Obstruksi duktus nasolakrimal, pungtum, dan kanalikuli lakrimal


Obstruksi duktus nasolakrimal biasanya terdapat pada orang tua yang kausanya
idiopatik. Hal ini disebabkan oleh proses degenarasi mukosa dan adanya stenosis, yang
mengakibatkan epifora dan mukokel sakus lakrimal. Dakriosistitis sering menyertai
mukokel kronik. Penyumbatan pungtum dan kanalikuli biasanya didapatkan bersamaan
dengan penyakit atau kelainan konjungtiva: Sindrom Steven Johnsons, pemfigus, trauma
mekanik, trauma kimiawi atau termis.
Pengobatannya dapat dilakukan dengan cara probing dengan tuba silastik bila
penyumbatan tidak sempurna. Pembedahan bila disertai penyumbatan kanalikuli.
8. Kanalikulitis
Kanalikulitis disebabkan oleh infeksi streptothrix (acinomices ismelii). Bila
terdapat stenosis atau obstruksi, dilakukan insisi dan dilatasi, bila hanya stenosis
dilakukan probing, dipasang tuba silastik. Bila terdapat epifora yang berat dan
penyumbatan total pada pungtum dan kanalikuli dilakukan tindakan pembedahan.
9. Eversi pungtum
Eversi pungtum dapat disebabkan kelainan kelopak mata pada usia tua,
konjungtivitis, blefaritis, ektropion. Pada pemeriksaan ditemukan adanya pungtum yang
menjauh dari bola mata. Pengobatan ditujukan terhadap kausa.

10. Tumor kelenjar lakrimal


Tumor jinak dapat berupa adenoma dan limfangioma. Tumor ganas mixed
tumor sarkoma, karsinoma. Gambaran klinik: pseudoptosis, nodule dapat diraba pada
pinggir orbita superior, eksoftalmos dengan perubahan posisi bola mata ke bawah dan
diplopia. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara pembedahan dan penyinaran.
11. Tumor sakus lakrimal
Tumor sakus lakrimal jarang ditemukan dan kadang-kadang tidak dipikirkan
kemungkinan tumor, karena diragukan dengan peradangan atau penyebab lain yang
menyumbat duktus nasolakrimal. Tumor dalam sakus dapat menimbulkan epifora. Tumor
jinak yang sering ditemui adalah: papiloma skwamosa. Karsinoma epidemoid merupakan
tumor ganas yang sering ditemukan. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara tindakan
pembedahan, pada tumor limfoid dilakukan penyinaran.
L. Abnormalitas Komposisi
1. Infusiensi Akueous (Mata Kering)

Terjadi defisiensi sekresi lakrimal seiring dengan pertambahan usia dan hal ini
menyebabkan keratokonjungtivitis sika (KCS) atau mata kering. Ketika defisiensi ini
didapatkan bersama mulut yang kering dan kekeringan membran mukosa lainnya maka
keadaan tersebut dinamakan sindrom Sj gren (suatu eksokrinopati autoimun). Bila
KCS dihubungkan dengan kelainan jaringan ikat autoimun maka disebut sindrom Sj
gren sekunder. Artritis reumatoid merupakan salah satu kelainan terkait yang paling
sering.
Gejala pada penderitanya adalah pasien mengeluhkan gejala nonspesifik seperti
rasa kelilipan, rasa terbakar, fotofobia, rasa berat pada kelopak mata, dan kelelahan mata.
Gejala ini memburuk di malam hari karena mata kering di sepanjang hari. Pada kasus
yang lebih berat, tajam penglihatan bisa berkurang karena terjadi kerusakan kornea.
Pada kasus-kasus ringan hanya ada sedikit tanda yang jelas. Pewarnaan mata
dengan fluoresein akan memperlihatkan titik kecil fluoresensi (pewarnaan pungtata) di
atas kornea dan permukaan konjungtiva yang terpajan. Pada kasus-kasus berat, palabelan
mukus yang abnormal dapat melekat pada permukaan kornea (keratitis filamenter)
sehingga menyebabkan rasa nyeri karena tertariknya filamen ini ketika berkedip.
Suplementasi air mata buatan mampu mengurangi gejala dan kacamata
pelindung dapat menciptakan lingkungan yang lembap di sekitar mata. Pada kasus berat
mungkin diperlukan oklusi punta dengan sumbat atau lebih permanen dengan
pembedahan, untuk melindungi air mata.
Penyakit ringan biasanya memberi respons terhadap air mata buatan. Penyakit
berat seperti yang ditemukan pada reumatoid Sj gren sulit diterapi.
2. Produksi Mukus Tidak Adekuat
Destruksi sel goblet terjadi pada kebanyakan mata kering, namun terutama
pada kelainan konjungtiva sikatrisial seperti eritema multiforme (sindrom StevenJohnson). Pada penyakit ini terdapat episode inflamasi akut yang menyebabkan lesi
target makular pada kulit dan lesi bersekret pada mata, mulut, dan vulva. Pada mata hal
ini menyebabkan pengerutan konjungtiva dengan adhesi antara bola mata dan
konjungtiva (simblefaron). Mungkin terdapat defisiensi akueous dan musin sekaligus dan

masalah akibat deformitas kelopak mata serta trikiasis. Luka bakar kimia pada mata,
terutama karena alkali dan trakoma (inflamasi kronis pada konjungtiva karena sejenis
infeksi klamidia), juga memberikan hasil akhir serupa.
Gejalanya serupa dengan gejala pada defisiensi akueous. Pemeriksaan
memperlihatkan konjungtiva abnormal yang mengalami perut dan daerah yang terwarnai
fluoresein. Terapi membutuhkan penggunaan lubrikan buatan.
Defisiensi vitamin A (xeroftalmia) merupakan

suatu

keadaan

yang

menyebabkan kebutaan masa kanak-kanak di seluruh dunia. Keadaan ini dihubungkan


dengan malnutrisi umum di negara-negara seperti India dan Pakistan. Sel goblet hilang
dari konjungtiva dan permukaan mata menjadi terkerantinisasi (xerosis). Defisiensi
akueous juga dapat terjadi. Pelunakan dan perforasi kornea yang khas pada kondisi ini
(keratomalasia) dapat dicegah dengan terapi dini menggunakan vitamin A.
3. Produksi Minyak Meibom Abnormal atau Tidak Adekuat
Tidak adanya lapisan minyak menyebabkan instabilitas film air mata, dikaitkan
dengan blefaritis.
4. Malposisi Tepi Kelopak Mata
Jika kelopak mata tidak beraposisi dengan mata (ektropion), atau jika terdapat
penutupan mata yang insufien (misal pada palsi saraf ketujuh atau jika mata mengalami
protusi (proptosis) seperti pada penyakit mata distiroid) film air mata praokular tidak
akan terbentuk dengan adekuat. Koreksi deformitas kelopak mata merupakan
penyelesaian terbaik dari masalah ini. Jika defek hanya temporer, maka dapat diberikan
air mata buatan dan lubrikan. Jika penutupan mata tidak adekuat, ptosis temporer dapat
diinduksi dengan penyuntikan lokal toksin botulinum ke otot levator. Hasil yang lebih
permanen didapatkan dengan menjahit sebagian tepi kelopak atas dan bawah yang
beraposisi (misal tarsorafi lateral).

M. Kelainan Drainase Air Mata


Bila produksi air mata melebihi kapasitas sistem drainase, air mata yang
berlebih akan mengalir ke pipi. Ini disebabkan oleh:
1. Iritasi permukaan mata, misalnya karena benda asing pada kornea, infeksi,
atau blefaritis;

2. Oklusi pada bagian manapun di sistem drainase (air mata yang berlebih
dinamakan epifora).
1. Obstruksi Drainase Air Mata (Bayi)
Sistem nasolakrimal berkembang sebagai tabung solid yang kemudian
mengalami kanalisasi dan menjadi paten tepat sebelum cukup bulan. Obstruksi kongenital
duktus sering terjadi. Ujung distal duktus nasolakrimalis bisa tetap imperforata sehingga
menyebabkan mata berair. Jika kanalikuli terobstruksi, sebagian kumpulan air mata yang
tidak mengalir dalam sakus dapat terinfeksi dan berakumulasi sebagai mukokelatau
menyebabkan dakriosistitis. Secara diagnostik sekret dapat dikeluarkan dari pungta
dengan menekan sakus lakrimalis. Namun demikian, konjungtiva tidak mengalami
inflamasi. Kebanyakan obstruksi menghilang secara spontan pada tahun pertama
kehidupan. Jika epifora terus berlangsung setelah saat tersebut, patensi dapat dibuat
dengan melewatkan satu probe melalui pungtum ke duktus nasolakrimalis untuk
melubangi membran yang tertutup (probing). Dibutuhkan anestesi umum untuk prosedur
ini.
2. Obstruksi Drainase Air Mata (Dewasa)
Sistem drainase air mata dapat tersumbat di titik manapun, meski tempat
tersering adalah duktus nasolakrimalis. Penyebabnya antara lain infeksi atau trauma
langsung pada sistem nasolakrimal.
Anamnesis: pasien mengeluh mata berair, kadang disertai dengan sekret yang
lengket. Mata terlihat putih. Gejala dapat memburuk bila terkena angin atau pada cuaca
dingin. Mungkin didapatkan riwayat trauma atau infeksi sebelumnya.
Obstruksi drainase air mata pada orang dewasa mempunyai gejala yaitu,
pungtum yang mengalami stenosis dapat terlihat dengan slit lamp. Epifora jarang terjadi
jika satu pungtum terus mengalirkan air mata. Obstruksi didapat yang ada di belakang
pungtum didiagnosis dengan menyuntikkan larutan garam fisiologis ke dalam sistem
nasolakrimal dengan menggunakan kanula halus yang dimasukkan ke dalam kanalikulus.
Sistem yang paten diketahui bila pasien merasakan larutan garam fisiologis ketika larutan
tersebut mencapai faring. Jika terdapat obstruksi duktus nasolakrimalis maka cairan akan
mengalami regurgitasi dari pungtum yang tidak memiliki kanulasi. Lokasi obstruksi yang
tepat dikonfirmasi dengan menyuntikkan pewarna radioopak ke dalam sistem

nasolakrimal (dakriosistogram); kemudian digunakan sinar X untuk mengikuti pasase zat


pewarna melalui sistem.
Penting untuk menyingkirkan penyakit mata lainnya yang mungkin
menyebabkan mata berair seperti blefaritis. Perbaikan duktus nasolakrimalis yang
tersumbat membutuhkan pembedahan untuk menghubungkan permukaan mukosa sakus
lakrimalis

ke

mukosa

nasal

dengan

menghilangkan

tulang

di

antaranya

(dakriosistorinostomi atau DCR). Operasi ini dapat dilakukan melalui insisi pada sisi
hidung atau dengan endoskopi melalui pasase nasal sehingga menghindari terjadinya
parut pada wajah.
N. Infeksi Sistem Nasolakrimal
Obstruksi tertutup sistem drainase merupakan predisposisi infeksi sakus.
Organisme penyebab biasanya Staphylococcus. Pasien datang dengan pembengkakan
nyeri pada sisi medial orbita., yang merupakan sakus yang mebesar dan terinfeksi. Terapi
adalah dengan antibiotik sistemik. Mukokel diakibatkan oleh pengumpulan mukus dalam
sakus yang mengalami obstruksi, namun tidak mengalami infeksi. Pada kedua kasus
mungkin diperlukan DCR untuk mencegah rekurensi.

DAFTAR PUSTAKA
1

Khurana, A.K. 2007. Comprehensive ophthalmology, 4 edition , New Delhi, New


AgeInternationalPublishers.

Vaughan, D.G. Asbury, T. Riodan-Eva, P. 2007. General ophthalmology, edisi 17, united
kingdom, MC graw hill.

3
4

Kanski JJ, Bowling B. 2011. Clinical ophthalmology, edisi 7, united kingdom, elsevier.
Ilyas, Sidartha, dkk. , 2002. Glaukoma. dalam: Ilmu Penyakit Mata, edisi 3, Jakarta:

Balai Penerbit FKUI.


Gerstenblith AT, Rabinowitz MP. 2011. The wills eye manual : office and emergency
room diagnosis and treatment of eye disease.edisi 6. Lippincott williams & wilkins.

Anda mungkin juga menyukai