OPINI
FOKUS
Dari Redaksi
Jepang
diguncang
gempa dan
tsunami pada 11 Maret lalu. Pesisir
Timur Laut mereka hancur dan korban tak sedikit berjatuhan. Kita juga
berduka untuk mereka. Semoga mereka bisa bangkit dari penderitaan itu,
seperti yang mereka lakukan sesudah
kalah dalam Perang Dunia II.
dengan pihak pengemban kebijakan kampus. Mahasiswi Jurusan Statistika ini belum bisa memastikan hari dan tanggal berapa
akan diadakan acara itu. Menurutnya, kemungkinan dilakukan
di akhir bulan Maret. Terkait
langkah-langkah lain yang akan
diperbuat BEM, dia belum dapat
mengatakannya.
Ketika ditanya, apa sebab rektor dan jajarannya menaikkan
SPP, dia mengutip keterangan
Pembantu Rektor (PR) III yang
menyatakan bahwa Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 34 Tahun 2010 yang mendasarinya.
Dalam Permendiknas itu setiap
perguruan tinggi diwajibkan
menjaring 60 persen mahasiswa
dari SNMPTN.
Sejarah SPP ITS
Sebenarnya, berapakah besar
SPP ketika kampus ini pertama
kali berdiri?
Ketika kampus ini didirikan
oleh dr. Angka Nitisastro pada
tahun 1957, mahasiswa angkatan
pertama hanya ditarik Rp 240,00
tiap tahunnya. Tahun itu, ITS masih bernama Perguruan Teknik
10 November Surabaya. Menilik
nama tersebut, ITS pada awalnya
belum berstatus negeri. Baru tiga
tahun kemudian dr. Angka yang
mengetuai Yayasan Perguruan
Tinggi Teknik (YPTT) berhasil
upayanya menegrikan perguruan
tinggi yang didirikannya itu dengan nama Institut Teknologi
Sepuluh Nopember di Surabaya.
Bu Luh, yang kami temui juga
dimintai informasi tentang sejarah kenaikan SPP. Namun beliau tidak dapat memberikan data
yang memadai. Beliau hanya me-
Dari Redaksi
Sebuah nyanyian yang 3 tahun lalu dibawakan oleh kawankawan mahasiswa ITS pada waktu aksi memprotes kenaikan SPP
dari Rp 750.000 per semester menjadi Rp 1.000.000 per semester. Lagu itu menjadi saksi kekuatan birokrasi ITS dalam menaikkan nilai SPP mahasiswa baru angkatan 2004. Sungguh kian mahal biaya kuliah di kampus negeri yang satu ini dan semakin tak
terjangkau oleh mereka yang hanya punya modal citacita dan
kecerdasan, tanpa punya biaya.
Dengan alasan bahwa anggaran pendidikan di kampus teknik
memerlukan biaya lebih besar daripada universitas: biaya mahal untuk kebutuhan laboratorium, maintenance alat-alat di
laboratorium, sarana pnunjang proses belajar mengajar, dan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar pada waktu itu,
telah melenggangkan keputusan Rektor Mohammad Nuh untuk
menghalalkan kenaikan SPP.
Ironis ketika mendengar ungkapan dari salah satu pejabat
keuangan di ITS, bahwa kalau memang ada keringanan pun itu tidak akan diumumkan secara terbuka kepada masyarakat karena
pasti masyarakat akan banyak yang meminta keringanan. Lebih
ironis lagi melihat mahasiswa-mahasiswa diam ketika tahun ini
terjadi kenaikan SPP lagi.
Sudah dibunuh rupanya rasa kepedulian mereka. Sungguh
mengecewakan karena hal ini terjadi terjadi di salah satu kampus negeri terbesar di Indonesia yang masih belum berstatus PT
BHMN. Jelas-jelas hal ini menunjukkan bahwa ITS tidak berpihak
kepada masyarakat lemah dalam usahanya memperoleh pendidikan murah di kampus ini. ITS telah berpihak kepada mereka
yang memiliki banyak uang untuk berhak menerima pendidikan.
ITS pun membuka Program Kemitraan yang memberikan pemasukan begitu besar bagi kampus sehingga tiap tahun selalu berusaha untuk meningkatkan perolehan mahasiswa baru dari program ini.
Akhirnya mereka yang bermodal cita-cita dan kecerdasan pun
tinggal punya harapan kosong untuk bisa merasakan pendidikan
kerena ketiadaan biaya. Begitu banyak kewajiban-kewajiban yang
telah dibayarkan oleh rakyat pada negara, tetapi mereka masih
tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan
yang layak. Sungguh terlalu banyak cita-cita dan mimpi-mimpi
indah yang telah terbunuh. Kampus ITS yang katanya berbasis
kerakyatan ini malah semakin jauh tak terjangkau oleh rakyat,
padahal rakyatlah yang membiayai kampus ini. Tapi, kenapa pejabatnya tidak mengutamakan kepentingan rakyat?
Rasa-rasanya sudah tidak pantas lagi Pengabdian Masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi dianut oleh ITS; kalau
melihat kenyataan ini. Dan kampus ini telah menjadi mimpi buruk bagi dan menakutkan rakyat miskin. Semoga mereka masih
mempunyai cita-cita dan selalu bertempur habis-habisan untuk
meraihnya! (Tulisan ini dibuat 4 tahun yang lalu)
Gelisah ku
SASTRA
Aku menatap
Tanpa arti dan tujuan
Hanya kenangan darimu
Yang membuatku bingung
Kenapa ya???
Seolah tak menyatu
Dua jiwa yang telah lama bersama
Melihat dari sisi yang tak pernah sama
Merasa bersalah
Seolah menjadi sumber masalah
Tanpa kutahu apa masalahnya
Menjadikan pikiranku buntu
LANGKAH AWAL
KOLOM
REFLEKSI
sih tidak ada harganya. Masak untuk membayar puluhan juta di depan mereka mampu, sedang bayar SPP yang 1,8 tidak bisa?
Si D berang. Lho, yang seperti itu kan hanya 40 persen dari total
mahasiswa baru. Yang 60 persen gimana? Tidak semua dari mereka
berasal dari keluarga mampu. Kalau saya sih masih husnudzonberprasangka baik. Peraturan baru yang dikeluarkan Pak Menteri dalam
Permendiknasnya tentang kuota penerimaan mahasiswa baru 2011
di PTN dibuat agar perguruan tinggi tidak menjadi oknum komersialisasi pendidikan. Dan harapannya sungguh mulia, agar anak
miskin di desa dapat mengenyam pendidikan yang layak. Tapi kalau
SPP dinaikkan, ini sungguh kebijakan yang menyengsarakan. Tidak
bisa dijadikan jalan pintas perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhannya dan menjadikannya solusi atas Permendiknas yang baru
diputuskan.
Brodol, sambil memakan lahap beberapa gorengan, dan menyeduh kopi hitam panas sambil mengepulkan asap rokok, santai
berkata, Lha ngapain ngotot masalah SPP, yang merasakan SPP
naik kan mahasiswa baru. Kalau kita sih santai saja, tidak ada perubahan. Wes, belajar ae biar IP kita tinggi; atau bikin proposal PKM biar
berprestasi dan turut menyumbang kampus kita jadi wold yunivelsiti. Biar gak kalah dengan kampus lain. Ha-ha-ha
Huuu, beberapa mahasiswa kecewa dengan sikap brodol
dan bergumam misuh gak karuan. Beberapa lain setuju manggutmanggut dan mulai meninggalkan meja diskusi. Dan pembahasan
pun berhenti seiring kepulan asap rokok yang menyongsong tinggi
ke angkasa.
Dan masalah SPP naik pun tetap seperti sediakala. Berbaur
dengan kesibukan mahasiswa yang mengerjakan tugas dan berorganisasi. Bahkan lembaga organisasi mahasiswa (ormawa) tertinggi
punyang notabene mengaspirasikan permasalahan mahasiswa
masih terlihat adem ayem. Mengambang, tanpa sikap dan arah yang
jelas.
Seandainya saja di forum perdebatan itu hadir Wiji Tukul, seorang
aktivis 1998 yang ditangkap, diculik, dan hilang tak pernah kembali.
Pasti memberikan pesan singkat kepada kita: Hanya ada satu kata:
LAWAN!
SASTRA
Sumpah, ku
LANGKAH AWAL
OPINI
Bagi saya kampus adalah penjara baru di dalam dunia pendidikan. Setelah SMP dan SMA tentunya, yang telah duluan
mendeklarasikan dirinya menjadi Penjara di dalam dunia pendidikan. Terlepas dari permasalahan utama, pendidikan adalah pembebasan atas kebodohan, keterkungkungan, kebohongan bahkan
dari penindasan. Pendidikan adalah solusi permasalahan kebangsaan. Namun pendidikan di Indonesia belum mampu menjawabnya.
Pendidikan Indonesia cenderung mengkungkung atau mematikan karakter seorang manusia. Dapat kita teliti paradigma yang
telah membatu dan menjadi kesepakatan umum. Bahwa kuliah
ataupun pendidikan hanya sekedar untuk mencari kehidupan yang
layak -atau dapat dikatakan- kehidupan di atas rata-rata orang Indonesia. Dan siapa yang patut kita salah kan?? Orang tuakah yang
memaksa kita? Atau rektor kampus kita? Atau mungkin Presiden
dan Mendiknasnya? Atau para pelaku sejarah sebelumnya yang
mengatasnamakan perjuangan pendidikan???
Dimulai dengan melihat perkembangan paradigma masyarakat yang dianggap wajar dan menjadi kesepakatan umum. Yaitu
dari orang tua yang sedari awal terus menanamkan sugesti agar
cepat lulus kuliah atau melewati tahap pendidikan dengan nilai
yang tinggi.
Ada beberapa alasan yang diambil. Pertama adalah masalah
ekonomi yang menekan si orang tua untuk tidak menghamburkan banyak duit dengan cara cepat lulus dan bekerja. Lalu yang
kedua adalah impian bahwa hidup harus bekerja di perusahaan
asing dan mendapatkan gaji yang tinggi. Namun dari kedua hal
tersebut, kita tidak pernah diajarkan nilai moral di dunia pendidikan. Adapun nilai moral yang terdapat di dunia pendidikan cenderung ditransformasi secara teori di dalam kelas dan memiliki
standar nilai untuk kelulusannya.
Kebutuhan yang saya rasakan di dunia kampus hanyalah teori
atau sekedar pelajaran kelas yang diberikan oleh dosen. Pahahal
menurut saya, pembelajaran hidup cenderung lebih banyak kita
RENUNGAN
Menjadi Mahasiswa
OLEH: BUNG TOMI*
Tim Redaksi:
Samdysara Saragih
M Rifqy
R Arif Firdaus Lazuardi
T. Fisika ITS
T. Sipil ITS
Matematika ITS
2007
2007
2009