Anda di halaman 1dari 3

LANGKAH AWAL

Kebenaran Tiada Akhir

Edisi 2 Tahun 2011


21 Maret - 3 April

OPINI

FOKUS

PTN Bertarif Tinggi


OLEH: BUNG IMOT*

Kabar mengenai kenaikan biaya SPP di


kampus ITS sudah menjadi rahasia umum. Di
media cetak, beberapa kali diberitakan perihal
tersebut. Meski begitu, rektor ITS dan para
pembantunya masih terkesan tidak tegas dibalik alasan kenaikannya. Seakan ITS hanya
menjadi pengekor kampus-kampus lain yang
lebih dahulu menaikkan semua jenis biaya kuliah-yang dapat mereka keruk.
Menghapus rasa penasaran, Redaksi Langkah Awal mencoba mencari tahu langsung
ke pihak pihak terkait. Berikut hasil reportase
dua orang redaksi kami: Bung Imot dan Bung
Arif.
Selasa yang terik seperti biasa masih
menyelimuti kampus ITS. Bagi beberapa
orang, beraktivitas pada cuaca sepanas
ini, sangatlah mengganggu. Tapi, Bu Luh
tetap menunaikan tugas rutinnya seperti
biasa. Dalam ruangan ber-AC di kantor
BAUK itu , wanita bernama lengkap Dra
Luh Gede Suryawati tersebut tidak berkeberatan untuk ditemui di mejanya.
Saat ditanya apa sebab ITS menaikkan
SPP bagi mahasiswa baru, Bu Luh tidak
bisa memberikan jawaban yang pasti. Kenaikan SPP merupakan hasil rapat pimpinan bagian biaya, katanya. Bahkan kami
pun hingga sekarang belum mendapatkan
keterangan resmi dari pimpinan, terkait
kenaikan SPP tahun depan, tambahnya.
Sebagai Kepala BAUK ITS, beliau merasa
tidak memiliki wewenang apapun dalam
memutuskan kebijakan strategis termasuk
menaikkan biaya SPP dan sejenisnya.
Meski begitu, Bu Luh masih bersedia
memberikan kami petunjuk kepada siapa
harus bertanya. Menurutnya, keputusan
menaikkan biaya SPP lebih tepat ditanyakan langsung ke BAPSI (Bagian perencanaan) atau ke Pembantu Rektor II (PR
II).
Kami pun mengikuti saran beliau untuk menemui PR II. Sayang, ketika kami
hendak menemui Bapak PR II, yang bersangkutan tidak bersedia untuk ditemui
karena sibuk. Padahalsebagai salah satu
pimpinan kampusinformasi dari beliau
sangat diperlukan untuk mengklarifikasi
prasangka-prasangka yang beredar di kalangan mahasiswa.
Reaksi Mahasiswa
Bagaimana reaksi mahasiswa dengan
rencana kenaikan SPP? Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) ITSyang merupakan
lembaga eksekutif mahasiswa tertinggi
dimintai keterangannya. Menurut Fifi, Staf
Departemen Kesejahteraan Mahasiswa
(Kesma) BEM ITS, akan diupayakan acara Open Talk yang melibatkan mahasiswa

Dari Redaksi

Jepang
diguncang
gempa dan
tsunami pada 11 Maret lalu. Pesisir
Timur Laut mereka hancur dan korban tak sedikit berjatuhan. Kita juga
berduka untuk mereka. Semoga mereka bisa bangkit dari penderitaan itu,
seperti yang mereka lakukan sesudah
kalah dalam Perang Dunia II.

KAMPUS SALAH ALAMAT


BUAT RAKYAT MISKIN
OLEH: BUNG AMEN*

NaiknaikSPP naik tinggi tinggi sekali


Kiri kanan kulihat saja banyak rakyat sengsara
Kiri kanan kulihat saja banyak rakyat melarat

dengan pihak pengemban kebijakan kampus. Mahasiswi Jurusan Statistika ini belum bisa memastikan hari dan tanggal berapa
akan diadakan acara itu. Menurutnya, kemungkinan dilakukan
di akhir bulan Maret. Terkait
langkah-langkah lain yang akan
diperbuat BEM, dia belum dapat
mengatakannya.
Ketika ditanya, apa sebab rektor dan jajarannya menaikkan
SPP, dia mengutip keterangan
Pembantu Rektor (PR) III yang
menyatakan bahwa Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 34 Tahun 2010 yang mendasarinya.
Dalam Permendiknas itu setiap
perguruan tinggi diwajibkan
menjaring 60 persen mahasiswa
dari SNMPTN.
Sejarah SPP ITS
Sebenarnya, berapakah besar
SPP ketika kampus ini pertama
kali berdiri?
Ketika kampus ini didirikan
oleh dr. Angka Nitisastro pada
tahun 1957, mahasiswa angkatan
pertama hanya ditarik Rp 240,00
tiap tahunnya. Tahun itu, ITS masih bernama Perguruan Teknik
10 November Surabaya. Menilik
nama tersebut, ITS pada awalnya
belum berstatus negeri. Baru tiga
tahun kemudian dr. Angka yang
mengetuai Yayasan Perguruan
Tinggi Teknik (YPTT) berhasil
upayanya menegrikan perguruan
tinggi yang didirikannya itu dengan nama Institut Teknologi
Sepuluh Nopember di Surabaya.
Bu Luh, yang kami temui juga
dimintai informasi tentang sejarah kenaikan SPP. Namun beliau tidak dapat memberikan data
yang memadai. Beliau hanya me-

miliki data resmi biaya SPP dari


tahun ajaran 2007/2008 sampai
dengan 2010/2011.
Dengan keterbatasan informasi
yang diterima, kami mencoba untuk menggalinya melalui internet. Berdasarkan googling kami,
pada tahun ajaran 2002/2003
SPP ITS program S1 reguler
besarnya Rp 600.000,00 persemester. Kemudian berturut-turut
selama 2 tahun terjadi kenaikan
biaya SPP menjadi Rp 750.000
pada tahun ajaran 2003/2004
dan Rp 1.000.000,00 pada tahun
ajaran 2004/2005. Biaya SPP
sebesar Rp 1.000.000,00 tersebut
berlaku pada 3 kali periode yaitu
pada tahun ajaran 2004/2005,
2005/2006, dan 2006/2007. Pada
tahun ajaran 2007/2008 naik
sebesar Rp 250.000,00 menjadi
Rp 1.250.000,00.
Di tahun ajaran 2010/2011
terjadi kenaikan biaya SPP lagi
menjadi Rp 1.500.000. Setahun
kemudianartinya pada tahun
ajaran 2011/2012 iniSPP
naik Rp 300.000,00 menjadi Rp
1.800.000,00 tiap semesternya
(www.its.ac.id)
Melihat perkembangan dalam 9
tahun ini, patut timbul pertanyaan:
apakah SPP ITS akan terus naik?
Dan kalau akan terus naik, apakah
ITS tidak mengkhianati jati dirinya
sendiri? Sebab, jika dr. Angka dulu
berusaha mati-matian untuk menegrikan kampus ini, para penerus
beliau tampaknya melakukan yang
sebaliknya: menswastakan kampus! Bukankah hanya kampus
swasta yang boleh menaikkan SPP
dengan seenak hati? (Imot-SamdyArif)
*M Rifqy-Mahasiswa T. Sipil ITS

Di tengah duka tsunami, redaksi Langkah Awal diliputi kelegaan. Edisi


pertama telah terbit dan menghiasi dinding tiap jurusan di kampus tercinta ini.
Kali ini, kami mengusung tema tsunami SPP di kampus ITS. Tahun ajaran baru
nanti, adik-adik kita akan dipaksa menyumbangSPP singkatan dari sumbangan
pengembangan pendidikanlebih dari kakaknya. Bila sumbangan biasanya harus
ikhlas, di kampus ini tidak demikian. Bahkan, sekedar menanyakan apa sebab naik
saja begitu sulitnya.
Kami juga mendapat kiriman tulisan dari dua orang alumni yang dirasa masih
khas mahasiswa. Pun, para penyair kampus ini juga turut sumbang karya. Tentu hal ini membuat Langkah Awal kian beragam. Salam Kebebasan Berpikir!

Dari Redaksi

Sebuah nyanyian yang 3 tahun lalu dibawakan oleh kawankawan mahasiswa ITS pada waktu aksi memprotes kenaikan SPP
dari Rp 750.000 per semester menjadi Rp 1.000.000 per semester. Lagu itu menjadi saksi kekuatan birokrasi ITS dalam menaikkan nilai SPP mahasiswa baru angkatan 2004. Sungguh kian mahal biaya kuliah di kampus negeri yang satu ini dan semakin tak
terjangkau oleh mereka yang hanya punya modal citacita dan
kecerdasan, tanpa punya biaya.
Dengan alasan bahwa anggaran pendidikan di kampus teknik
memerlukan biaya lebih besar daripada universitas: biaya mahal untuk kebutuhan laboratorium, maintenance alat-alat di
laboratorium, sarana pnunjang proses belajar mengajar, dan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar pada waktu itu,
telah melenggangkan keputusan Rektor Mohammad Nuh untuk
menghalalkan kenaikan SPP.
Ironis ketika mendengar ungkapan dari salah satu pejabat
keuangan di ITS, bahwa kalau memang ada keringanan pun itu tidak akan diumumkan secara terbuka kepada masyarakat karena
pasti masyarakat akan banyak yang meminta keringanan. Lebih
ironis lagi melihat mahasiswa-mahasiswa diam ketika tahun ini
terjadi kenaikan SPP lagi.
Sudah dibunuh rupanya rasa kepedulian mereka. Sungguh
mengecewakan karena hal ini terjadi terjadi di salah satu kampus negeri terbesar di Indonesia yang masih belum berstatus PT
BHMN. Jelas-jelas hal ini menunjukkan bahwa ITS tidak berpihak
kepada masyarakat lemah dalam usahanya memperoleh pendidikan murah di kampus ini. ITS telah berpihak kepada mereka
yang memiliki banyak uang untuk berhak menerima pendidikan.
ITS pun membuka Program Kemitraan yang memberikan pemasukan begitu besar bagi kampus sehingga tiap tahun selalu berusaha untuk meningkatkan perolehan mahasiswa baru dari program ini.
Akhirnya mereka yang bermodal cita-cita dan kecerdasan pun
tinggal punya harapan kosong untuk bisa merasakan pendidikan
kerena ketiadaan biaya. Begitu banyak kewajiban-kewajiban yang
telah dibayarkan oleh rakyat pada negara, tetapi mereka masih
tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan
yang layak. Sungguh terlalu banyak cita-cita dan mimpi-mimpi
indah yang telah terbunuh. Kampus ITS yang katanya berbasis
kerakyatan ini malah semakin jauh tak terjangkau oleh rakyat,
padahal rakyatlah yang membiayai kampus ini. Tapi, kenapa pejabatnya tidak mengutamakan kepentingan rakyat?
Rasa-rasanya sudah tidak pantas lagi Pengabdian Masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi dianut oleh ITS; kalau
melihat kenyataan ini. Dan kampus ini telah menjadi mimpi buruk bagi dan menakutkan rakyat miskin. Semoga mereka masih
mempunyai cita-cita dan selalu bertempur habis-habisan untuk
meraihnya! (Tulisan ini dibuat 4 tahun yang lalu)

*Nukman Haris-Alumni T.Fisika ITS

Gelisah ku

SASTRA

Aku menatap
Tanpa arti dan tujuan
Hanya kenangan darimu
Yang membuatku bingung

Kenapa ya???
Seolah tak menyatu
Dua jiwa yang telah lama bersama
Melihat dari sisi yang tak pernah sama
Merasa bersalah
Seolah menjadi sumber masalah
Tanpa kutahu apa masalahnya
Menjadikan pikiranku buntu

Manusia adalah perasaannya


Perasaan yang selalu tersembunyi
Menjadikan dunia hanya omong kosong
Yang dihuni orang-orang pendusta

Aku ingin bebas menyampaikan perasaanku


Daripada menyampaikan mulut manisku
Hanya karena penilaian dari sesama
Takkan membuat hatiku diam
Henry-Teknik Sipil ITS

LANGKAH AWAL
KOLOM

Edisi 2 Tahun 2011


21 Maret - 3 April

Jalan Berliku Gus Nuh

OLEH: BUNG SAMDY*

Seekor tikus lari sekuat tenaga sambil


keringatnya bercucur. Di belakangnya,
si kucing mengejar penuh nafsu. Dengan segenap daya si tikus berusaha menyelamatkan diri: piring dilempar, stick
kasti dipukulkan. Setiap pelosok rumah
dilalui. Tiba-tiba...hup, si kucing berhasil menangkap si tikus. Dengan tatapan
licik, digenggamnya si tikus yang mukanya memohon iba.
Dimakankah si tikus? Tiba-tiba si kucing teringat masa lalunya bersama si tikus. Seakan-akan dia ber-tanya dalam
hati, Kalau kumakan tikus ini, dengan
siapa lagi aku kejar-kejaran? Akhirnya
si tikus dilepas. Tak berapa lama, si tikus
mengejek si kucing. Dan, ceritapun
kembali seperti semula.
Saya kira kita yang sekarang menjadi
mahasiswa ITS pasti bisa menebak, cerita apakah gerangan yang saya cuplik di
atas. Itulah kisah serial kartun Tom and
Jerry yang melegenda itu. Kita habiskan
masa kecil dengan penantian di televisi
tayangan kartun yang kalau kita kenang
kembali betapa menipu kita: bagaimana
mungkin si kucing tidak bisa menang lawan si tikus kecil itu? Semua tinggal kenangan.
Tapi, saya teringat kembali cerita kartun itu ketika menyaksikan perkembangan dunia pendidikan tinggi kita khususnya setelah keluar Permendiknas No
34 Tahun 2010 tentang Pola Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Sarjana pada
Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan
oleh Pemerintah.
Dalam Permendiknas itu, setiap perguruan tinggi negeri (PTN) diwajibkan
menjaring minimal 60 persen mahasiswa

REFLEKSI

lewat pola penerimaan mahasiswa baru


secara nasional melalui dua cara: tertulis
dan undangan.
Seleksi tertulis telah kita kenal dengan nama Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Namun, setelah Permendiknas tersebut
terbit, SNMPTN kini tidak lagi sebutan
untuk seleksi tertulis melainkan menjadi
SNMPTN tertulis dan SNMPTN
undangan. Setiap
PTN berhak menentukan
perbandingan antara
SNMPTN tertulis
dan undangan. Sebanyak 40 persen
sisanya lagi hak
prerogatif PTN.
Siasat PTN
Sebagian besar
PTN (di tulisan
ini yang dimaksud PTN adalah
semua universitas
negeri, termasuk
PT BHMN) tentu
tidak terlalu keberatan dengan peraturan baru. Kuota
mereka dari SNMPTN (tertulis) bahkan
lebih dari 60 persen. Namun, yang kebakaran jenggot adalah PTN-PTN besar,
khususnya yang berstatus PT BHMN.
Porsi SNMPTN mereka biasanya sangat
kecil, hingga di bawah 10 persen.
Kita tahu, PTN-PTN besar itu memanfaatkan jalur-jalur lainkatakanlah ujian
masuk yang dilakukan secara mandiri
ataupun Penelusuran Minat dan Ke-

mampuan (PMDK)untuk memperoleh


biaya besar. Mereka sadar, tingginya minat memasuki kampus-kampus besar itu
dapat dimanfaatkan menarik keuntungan
lebih dari calon mahasiswanya. Biasanya,
memungut SPP yang kelewat tinggi dan
uang pangkal di luar kewajaran.
Dengan cara seperti inilah kebanyakan
PTN besar mendapatkan pemasukan.
Dalih mereka anggaran
dari pemerintah tidak
cukup sehingga dengan
tanpa dosa melakukan
praktek yang nyaris
tiada ujung tersebut.
Untuk menghadapi
PTN nakal seperti
itumungkinMenteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas)
Mohammad Nuh mengeluarkan
peraturan
baru yang harus dipatuhi PTN. Sebab, selama ini tidak ada aturan
yang jelas terkait batasan penerimaan mahasiswa dari jalur-jalur
yang lazim digunakan
PTN.
Bagaimana responnya? Luar biasa!
Seakan mau menghapus dosa, beberapa PTN besar langsung mengumumkan
bahwa tahun ini seleksi dilakukan 100
persen lewat SNMPTN! Di antaranya
ITB dan UGM.
Berhasilkah usaha Guspanggilan akrab anak kiaiNuh? Ternyata eh
ternyata, semua yang dilakukan nyaris
tidak ada gunanya. SNMPTN 100 pers-

SPP Naik, Masalah Nggak Sih?


OLEH: BUNG RAFLI*

Sebagian orang beranggapan bahwa uang adalah masalah. Tapi,


saya tidak setuju. Ungkapan itu hanya berlaku bagi seseorang yang
tidak memiliki uang. Sedang mereka yang punya sejuta lembar
kertas berharga dan timbunan harta, uang adalah anugerah. Nah,
kaitannya dengan SPP bagaimana? Masalah atau anugerah? Brodol,
seorang mahasiswa yang tak pernah henti meneriakkan perjuangan
menimpali , Woey, kalau itu sih gak ada kaitannya! SPP adalah kewajiban. Bukan masalah atau anugerah, teriaknya lantang.
Menarik. SPP jelas kewajiban.
SPP naik? Tetap kewajiban, atau berubah jadi masalah, atau malah
jadi anugerah.
Si A berkomentar: SPP naik jelas bermasalah. Coba pikirkan,
dalam kurun waktu 2 tahun tanpa ada gejolak ekonomi yang signifikan di kehidupan bernegara kita SPP bisa naik 44 persen, dari sebelumnya 1.250.000,00 menjadi 1.800.000,00. Padahal gaji para orang
tua belum tentu naik 20 persen dalam 2 tahun terakhir. Kalau ini
dibiarkan, maka kampus kita hanya akan diisi oleh anak-anak kaum
borjuis. Atau paling tidak, anak miskin bisa tetap kuliah di kampus
ini, tapi bapaknya di kampung harus memeras keringat lebih payah.
Dan ibunya melilit erat sarung di perut dengan lilitan yang sangat
rapat.
Si B menimpali: Eh tidak juga, anak yang tidak mampu dapat
mencari beasiswa. Bahkan SPP naik bisa menjadi anugerah baginya.
Karena ia bisa mendapatkan kesempatan meraih beasiswa double.
Sehingga jatahnya jadi naik. Kalau sebelumnya, bagi teman kita yang
dapat beasiswa double tidak begitu terasa jatahnya. Kali ini, pasti
mereka tersenyum manyun dan tertawa bahagia. Karena jatahnya
lebih banyak. Bukan begitu. Wah, tiap semester bisa beli inventaris baru tu
Si C mencerca. Tidak bisa begitu dong.Enak saja membuat
kesimpulan tanpa data dan fakta yang tepat. Kita harus mengerti,
kenapa SPP ini bisa naik dan apa alasan pejabat terkait memutuskan
kenaikan SPP. Beliau-beliau kan bukan orang sembarangan, banyak
gelar yang bergelantungan di depan dan belakang nama mereka.
Setidaknya, mereka pasti mengerti lah kondisi mahasiswa yang
nantinya akan masuk di kampus kita. Sederhananya, kalau kemampuan daya beli mahasiswa angkatan 2011 tinggi, SPP sebesar 1,8 juta

sih tidak ada harganya. Masak untuk membayar puluhan juta di depan mereka mampu, sedang bayar SPP yang 1,8 tidak bisa?
Si D berang. Lho, yang seperti itu kan hanya 40 persen dari total
mahasiswa baru. Yang 60 persen gimana? Tidak semua dari mereka
berasal dari keluarga mampu. Kalau saya sih masih husnudzonberprasangka baik. Peraturan baru yang dikeluarkan Pak Menteri dalam
Permendiknasnya tentang kuota penerimaan mahasiswa baru 2011
di PTN dibuat agar perguruan tinggi tidak menjadi oknum komersialisasi pendidikan. Dan harapannya sungguh mulia, agar anak
miskin di desa dapat mengenyam pendidikan yang layak. Tapi kalau
SPP dinaikkan, ini sungguh kebijakan yang menyengsarakan. Tidak
bisa dijadikan jalan pintas perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhannya dan menjadikannya solusi atas Permendiknas yang baru
diputuskan.
Brodol, sambil memakan lahap beberapa gorengan, dan menyeduh kopi hitam panas sambil mengepulkan asap rokok, santai
berkata, Lha ngapain ngotot masalah SPP, yang merasakan SPP
naik kan mahasiswa baru. Kalau kita sih santai saja, tidak ada perubahan. Wes, belajar ae biar IP kita tinggi; atau bikin proposal PKM biar
berprestasi dan turut menyumbang kampus kita jadi wold yunivelsiti. Biar gak kalah dengan kampus lain. Ha-ha-ha
Huuu, beberapa mahasiswa kecewa dengan sikap brodol
dan bergumam misuh gak karuan. Beberapa lain setuju manggutmanggut dan mulai meninggalkan meja diskusi. Dan pembahasan
pun berhenti seiring kepulan asap rokok yang menyongsong tinggi
ke angkasa.
Dan masalah SPP naik pun tetap seperti sediakala. Berbaur
dengan kesibukan mahasiswa yang mengerjakan tugas dan berorganisasi. Bahkan lembaga organisasi mahasiswa (ormawa) tertinggi
punyang notabene mengaspirasikan permasalahan mahasiswa
masih terlihat adem ayem. Mengambang, tanpa sikap dan arah yang
jelas.
Seandainya saja di forum perdebatan itu hadir Wiji Tukul, seorang
aktivis 1998 yang ditangkap, diculik, dan hilang tak pernah kembali.
Pasti memberikan pesan singkat kepada kita: Hanya ada satu kata:
LAWAN!

*R. Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS

en hanyalah kedok belaka. ITB untuk


tahun ajaran baru langsung menaikkan
SPP hingga 5 juta rupiah pukul rata dan
uang pangkalnya mencapai 55 juta rupiah (wow!) tanpa pandang bulu (www.itb.
ac.id).
Tidak perlu lagi disebutkan modus
PTN-PTN yang kebakaran jenggot.
Bahkan untuk kampus kita tercinta ini,
janji tak tertulis bahwa SPP naik 3 tahun
sekali langsung dilanggar. Tahun depan,
adik-adik kita harus membayar SPP 1.8
juta rupiah dan uang pangkal sebesar 5
juta rupiah demi mencicipi kuliah di kampus penyandang nama Sepuluh Nopember ini.
Mirip dengan kisah Tom and Jerry
bukan? Coba perhatikan. Si kucing atau
Tom adalah Mendiknas yang terusmenerus mengejar (membuat aturan) si
tikus Jerry (rektor PTN). Tapi, ketika
sudah tertangkap (rektor PTN ketahuan
berkelit/melanggar aturan), si Tom tidak
memakannya (memberikan sanksi atau
hukuman), tapi justru membiarkannya.
Saya pikir, Mendiknas harus menjadi
kucing yangsesuai dengan hukum
alammemakan tikus-tikus yang kelewat bandel itu. Caranya, buatlah Permendiknas atau kalau perlu amandemen UU
Sisdiknas yang bisa memberi sanksi langsung terhadap mereka.
Jika tidak, kita akan terus menyaksikan drama layaknya Tom and Jerry yang
memang diskenariokan tidak pernah usai.
Dan, kecerdasan anak bangsa ini pun
hanya jadi impian kosong bapak bangsa
kita yang sudah berkalang dengan tanah.
Mari kita tunggu!
*Samdysara Saragih-Mahasiswa T.Fisika ITS

SASTRA
Sumpah, ku

Aku bersumpah pada mu


Di hadapan Tuhan mu
Bahwa kita adalah tulang dan asparidnya
Bahwa kita adalah sum-sum dan texironnya
Aku bersumpah pada mu
Atas bumi dan anak pinaknya
Atas Dewa dan khayangannya
Yang pernah kita berdua debatkan

Andromeda pernah berkata kepada piretus


Bahwa Alam hanya mengenal tubuh-tubuh eroit
Bahwa Odypus hanya mengenal tarla di singgasananya
Aku bersumpah pada mu
Di hadapan keyakinan mu yang bagi ku sangat
bodoh
Di belakang semua kebohongan yang kita simpan
Namun, tidak pernah, untuk saling, kita ceritakan
Aku bersumpah demi hatimu yang murni
Kau pun pasti paham
Aku terluka demi sumpah ku yang suci
Kau pun pasti mengerti
Aku bersumpah, di hadapan Tuhan mu
Di hadapan, asap, alkohol, dan racun pikiran
Yang telah kau suntikkan
Namun, kenapa bisa, untuk saling
Namun, kau sama sekali tidak pernah bersumpah
Demi aku, di hadapan Tuhan ku.
Surabaya, 11 Maret 2011
Yaumil Fauzi-Planologi ITS

LANGKAH AWAL
OPINI

Edisi 2 Tahun 2011


21 Maret - 3 April

KAMPUS ADALAH PENJARA INTELEKTUAL

OLEH: BUNG YAUMIL*

Bagi saya kampus adalah penjara baru di dalam dunia pendidikan. Setelah SMP dan SMA tentunya, yang telah duluan
mendeklarasikan dirinya menjadi Penjara di dalam dunia pendidikan. Terlepas dari permasalahan utama, pendidikan adalah pembebasan atas kebodohan, keterkungkungan, kebohongan bahkan
dari penindasan. Pendidikan adalah solusi permasalahan kebangsaan. Namun pendidikan di Indonesia belum mampu menjawabnya.
Pendidikan Indonesia cenderung mengkungkung atau mematikan karakter seorang manusia. Dapat kita teliti paradigma yang
telah membatu dan menjadi kesepakatan umum. Bahwa kuliah
ataupun pendidikan hanya sekedar untuk mencari kehidupan yang
layak -atau dapat dikatakan- kehidupan di atas rata-rata orang Indonesia. Dan siapa yang patut kita salah kan?? Orang tuakah yang
memaksa kita? Atau rektor kampus kita? Atau mungkin Presiden
dan Mendiknasnya? Atau para pelaku sejarah sebelumnya yang
mengatasnamakan perjuangan pendidikan???
Dimulai dengan melihat perkembangan paradigma masyarakat yang dianggap wajar dan menjadi kesepakatan umum. Yaitu
dari orang tua yang sedari awal terus menanamkan sugesti agar
cepat lulus kuliah atau melewati tahap pendidikan dengan nilai
yang tinggi.
Ada beberapa alasan yang diambil. Pertama adalah masalah
ekonomi yang menekan si orang tua untuk tidak menghamburkan banyak duit dengan cara cepat lulus dan bekerja. Lalu yang
kedua adalah impian bahwa hidup harus bekerja di perusahaan
asing dan mendapatkan gaji yang tinggi. Namun dari kedua hal
tersebut, kita tidak pernah diajarkan nilai moral di dunia pendidikan. Adapun nilai moral yang terdapat di dunia pendidikan cenderung ditransformasi secara teori di dalam kelas dan memiliki
standar nilai untuk kelulusannya.
Kebutuhan yang saya rasakan di dunia kampus hanyalah teori
atau sekedar pelajaran kelas yang diberikan oleh dosen. Pahahal
menurut saya, pembelajaran hidup cenderung lebih banyak kita

RENUNGAN

dapatkan di luar kelas dengan tingkat pembelajaran yang lebih


sederhana dari contoh-contoh nyata kehidupan masyarakat. Dan
tidak membuat kita kaku menghadapi situasi kemasyarakatan
setelah lulus kelak.
Saya penah mempertanyakan kenapa setelah tamat dari SMA
kita begitu bahagia hingga melakukan hal -hal yang tidak wajar.
Kebahagian tersebut ditumpahkan layaknya kebahagiaan menghirup udara bebas dan lepas dari kungkungan yang begitu besar
dan menakutkan. Hal tersebut berbanding terbalik dari etika pendidikan yang harus menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan,
bahkan kepuasan dalam menimba ilmu.
School berasal dari kata belanda yaitu skull (berarti tanah lapang atau tempat yang luas). Yang memiliki makna keluasan
dalam mendapatkan pendidikan secara teknis (teori dan dasardasar pendidikan) maupun moral (etika dan uang). Tapi makna
tersebut sangat jauh melenceng ketika teknis pendidikan sudah
tidak mampu lagi diharapkan menjadi pembelajaran hidup. Dan
saat ini hanya terfokus pada pembelajaran kelas. Maka moral pen-

didikan pun telah jauh bergeser. Bagi saya pergeseran tersebut


sangat menjauhkan kaum-kaum miskin dominan Indonesia tidak
mampu untuk menikmatinya secara nyata. Pendidikan hanya untuk orang yang berduit bukan orang-orang yang niat. Ataupun
hanya untuk orang-orang yang bakal bekerja menjadi robot-robot
industri bukan menjadi pembuka jalan dari permasalahan bangsa
yang krisis lapangan pekerjaan. Data BPS menyatakan bahwa
hanya 2% lulusan pendidikan Indonesia yang mampu membuka
lapangan kerja.
Bagi saya pendidikan adalah kepuasan dan kebahagiaan yang
tak tertandingkan. Karena saya mampu lepas dan terhindar dari
nilai-nilai kebodohan dan penindasan. Tetapi sebaliknya, sejalannya waktu saya pun semakin sadar bahwa pendidikan sangat erat
hubungannya dengan nilai atau pun angka yang menjadi permasalahan utama teknis di dunia pendidikan.
Contoh yang sangat memaksa saya untuk menerima atau
mengenyam nikmatnya pendidikan di Indonesia adalah pelajaran agama. Bagaimana mungkin ilmu agama dapat dinilai dengan
angka oleh manusia. Bahkan Tuhan saya pun tidak pernah menilai
angka keimanan yang saya miliki.
Dan belum lagi selesai, saya harus memikirkan biaya pendidikan
yang begitu mahal -bagi saya yang hanya sekedar anak petani-.
Bagaimana kelak saya mampu menghidupi keluarga dan membimbing anak-anak. Andai saat ini saya masih belum mampu menemukan solusi pendidikan (yang hingga saat ini, masih menjadi permasalahan utama bangsa)? Apa saya harus megikuti arus dan menjadi
orang-orang biasa dan menyerah pada keadaan.
Apakah sistem pendidikan pesantren klasik yang murah dan
tidak mengadopsi sistem pendidikan kelas (ada guru yang berbicara dan murid yang mendengar) mampu menjawab solusi kebangsaan???
*Yaumil Fauzi-Mahasiswa Planologi ITS

Menjadi Mahasiswa
OLEH: BUNG TOMI*

Saya sebenarnya tak begitu peduli


lagi soal pergerakan mahasiswa. Bagi
saya pribadi, tiap manusia bergerak,
seperti angin bergerak, lempeng
bumi bergerak, air bergerak, dan sebagainya. Mahasiswa tak istimewa.
Dia hanya satu bahagian kecil saja dari
alamnya.
Tapi ini Indonesia, mungkin begitu kalau para aktivis membantahnya,
mahasiswa adalah pengubah sejarah. Mungkin begitu pula saya dahulu ikut mengatakannya. Bagi para
aktivis, sejarah punya sisi romantis
dan sisi magis. Saya akan membahasnya satu persatu.
Mulai dari sisi romantisnya. Seorang
aktivis mahasiswa memandang sejarah bukan semata sebagai buku
perihal masa lalu. Bukan itu. Sejarah
adalah kata-kata cinta yang menggugah. Kalimat-kalimatnya adalah
musim bunga bersemi dan kata-kata
bagai pucuk bunganya. Engkau bisa
tersenyum, bahkan menitikkan air
mata. Dan ketika engkau tuntas membaca, engkau sudah bukan orang yang
sama. Ada rasa cinta membuncah di
dada. Kalau engkau baca sejarah Indonesia, hasilnya adalah rasa cinta yang
murni pada engkau punya bangsa.
Kalau engkau baca sejarah Asia, hasilnya adalah rasa kagum pada spirit
ketimuran yang luhur. Kalau engkau
baca sejarah dunia, hasilnya adalah
rasa cinta pada umat manusia. Itu sisi
romantisnya.
Tapi jangan lupa, sejarah punya
kekuatan magisnya. Kekuatan cinta
akan mendorongmu untuk menjadi
bagian dalam kehidupan sejarah itu
sendiri. Semakin lahap engkau pada
sejarah, semakin engkau terhisap
pada kemauan sejarah. Engkau akan
menjadi bagian darinya. Dari sekedar
pembaca, menjadi yang dibaca. Dari
sekedar penonton, menjadi aktor
yang ditonton. Ada satu kekuatan
yang tiba-tiba merasukimu dan mengubahmu, hingga engkau menjadi
kuat berlipat-lipat, bersinar penuh

cinta, dan bercahaya baik lewat kata


maupun tindakan. Engkau semakin
hidup, dan engkau
terhubung
dengan tokoh-tokoh sejarahnya, baik
lewat ucapan maupun perbuatan. Itulah sisi magisnya.
Benci dan Cinta
Hanya saja, aktifis sering tidak
mendapatkan rasa cinta itu. Tapi
malah memelihara kebencian. Mereka
membaca sejarah, tetapi mendapatkan kesimpulan yang tak terarah. Antipati pada Barat, misalnya. Benci pada
Amerika Serikat, contoh lainnya. Atau
muak pada penguasa. Macam-macam
bentuk kebenciannya. Padahal hal itu
malah mengerdilkan diri sendiri. Rasa
benci tidak bisa membesarkan jiwa.
Cintalah yang membebaskannya.
Saya kasih contoh sederhana. Ketika aktivis pergerakan mahasiswa ITS
era 2003-2007 melontarkan kritik pada
Rektor Mohammad Nuh, dasarnya
bukan kebencian. Itu sebabnya tak
pernah sedetik pun Komite Aksi
melakukan demonstrasi menuntut
beliau turun. Yang kami kritik adalah
kebijakannya, atau sebagian sikapnya yang abai pada kritik mahasiswa
dan nasihat para anggota senat tua
yang lebih bijaksana. Pernah, seorang
peserta aksi dengan penuh canda berteriak: Turunkan, Nuh! Langsung
teman-temannya sendiri menegur
saat itu juga.
Begitu pula saat aksi demonstrasi
menolak kedatangan Presiden SBY di
kampus ITS, kalau tak salah tanggal
24 bulan Desember tahun 2004, tidak
ada spanduk meminta beliau turun
atau tuntutan mencabut mandatnya.
Tidak ada! Kritik adalah kritik, bukan
benci. Intelektual adalah seorang
cendekia, yaitu orang yang mengembangkan rasa cinta pada hal-hal baik,
dan menempatkan rasa benci hanya
pada cara-cara jahat yang berpotensi
merusak hal-hal baik.
Memang benar, sejarah punya
penafsirannya sendiri. Tiap orang yang
membaca obyek lain di luar dirinya pu-

nya subyektifitasnya, seperti diingatkan oleh filsuf eksistensialis semacam


Kierkegaard hingga Jean Paul Sartre.
Saya tidak memungkirinya. Perdebatan di antara para aktifis adalah
contoh nyata betapa subyektifitas itu
ada dan tidak untuk ditiadakan. Sekali
lagi, saya tidak memungkirinya. Oleh
karena itu saya akan menghadirkan
betapa sejarah juga tak mutlak mengandung keajaiban bagi manusia yang
membacanya.
Engkau mungkin pernah menemui
kemuakan ketika membaca sejarah.
Selain mengandung upaya pembebasan manusia, sejarah juga menyimpan sisi terburuknya. Membaca
sejarah peradaban manusia, misalnya, kita akan menemukan betapa
takluknya orang pada hal-hal yang
tak kekal. Kekuasaan duniawi, atau
kepuasan ragawi. Raja-raja bertarung
dengan raja-raja lain, lalu lain waktu
bercumbu dengan para permaisuri.
Semakin modern, pertarungannya
lebih kompleks dan tertutup: lewat
dominasi ekonomi hingga pengerahan kekuatan militer. Raja modern
duduk di balik meja, perintah sini
perintah sana. Percumbuannya juga
disembunyikan. Lihat saja Berlusconi,
Perdana Menteri Italia itu.
Engkau harus siap untuk menemui
kebiadaban tersebut saat membaca
sejarah. Siap pula untuk menemuinya
di alam kenyataan tempat engkau
hidup sekarang. Yang perlu diingat
adalah: tak semua penguasa buruk
mutunya. Jangan disamaratakan. Tak
ada itu asas sama rasa sama rata.
Sejarah Kini dan Nanti
Lantas bagaimana engkau harus
menjadi mahasiswa di tengah tarikan
sejarah seperti itu? Menjadi. Ada satu
alasan tertentu mengapa saya memulai tulisan ini dengan kata tersebut. To
be or not to be, kata William Shakespeare, pujangga Inggris itu. Engkau,
aku, kami, kita, mereka, kalian, siapa
pun itu, punya pilihan. Menjadi atau
tidak sama sekali. Pertanyaannya, ma-

hasiswa mau menjadi seperti apa?


Engkau mampu menjadi pemimpin,
karena engkau memang pemimpin.
Paling tidak engkau memimpin dirimu
sendiri, lalu berkembang memimpin
organisasimu, atau keluargamu,
masyarakatmu,
perusahaanmu,
bangsamu, atau lembaga antarbangsa. Engkau mampu, kalau engkau
mau. Mau untuk belajar. Mau untuk
berkembang. Mau untuk menerima
kritik seperti dedaunan bersukaria menyambut hujan yang turun rintik-rintik.
Membuka wawasan seluas cakrawala
di atas kepala, mau berusaha pantang
menyerah seperti seekor elang belajar mengepakkan sayapnya untuk
terbang, mau berjuang seperti seekor
beruang di kutub terdingin bumi ini
untuk menyesuaikan dirinya dengan
berbagai perubahan yang datang.
Kalau dedaunan, elang, dan beruang
mampu, engkau pun harus mampu
mengembangkan dirimu. Asal ada
kema(mp)uan, ada jalan untuk maju.
Engkau adalah pengubah sejarah.
Kalau dahulu Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, HOS
Cokroaminoto, Haji Agus Salim, M
Yamin, dan sebagainya memerdekakan bangsa ini dari cengkraman koloni
penjajah, sekarang giliranmu membebaskan bangsa ini dari cengkraman
korupsi penguasa. Mulai saja dari diri
sendiri. Mulai untuk tidak korupsi.
Mulai untuk mendiskusikan isu-isu
antikorupsi, menggalang semangat
pencegahannya, kemudian mengger-

akkan elemen-elemen lain untuk pemberantasannya. Kalau dulu pendiri


negara berjuang agar kemerdekaan
diakui, sekarang waktunya memimpin
masa perjuangan baru agar keadilan
dan kemakmuran negara terwujud.
Engkau mampu, kalau engkau mau.
Hauslah akan ilmu. Selalu dahaga pada
ilmu pengetahuan. Kuasai teknologi.
Jangan habiskan waktumu hanya melulu berpikir soal orasi dan demontrasi
massa aksi. Dalam alam demokrasi,
banyak cara yang bisa ditempuh untuk menyampaikan opini dan ekspresi.
Mulai dari bernyanyi, menari, melukis,
menulis, memotret, menjual jasa,
hingga membuat prestasi di bidang
riset dan teknologi. Banyak sekali.
Pertanyaannya, mahasiswa mau
menjadi seperti apa? Hanya engkau,
para mahasiswa, yang bisa menjawabnya. Tapi kalau engkau tanyakan
padaku, maaf, aku sudah tidak peduli
lagi pada pergerakan mahasiswa.
Bagiku pribadi, tiap manusia bergerak, seperti angin bergerak, lempeng
bumi bergerak, air bergerak, dan sebagainya. Mahasiswa tak istimewa.
Dia hanya satu bahagian kecil saja dari
alamnya. Aktifis mahasiswa tak perlu
manja untuk harus dipikirkan oleh
orang lain yang bukan aktifis lagi.
Temukan jalanmu sendiri untuk
menjadi. Asal engkau segar dan bugar,
sehat sejahtera dan bahagia, jalan saja
terus! Yogyakarta, 2011.
*Tomi-Planologi ITS (Keluar th 2007)

Tim Redaksi:
Samdysara Saragih
M Rifqy
R Arif Firdaus Lazuardi

T. Fisika ITS
T. Sipil ITS
Matematika ITS

2007
2007
2009

Media publikasi Langkah Awal:


a. Blog : langkahawal-its.blogspot.com
b. Grup chat FB: Langkah Awal (blog: langkahawal-its.blogspot.com)
Redaksi menerima tulisan dari pembaca (tema bebas) maksimal 700
kata. Semua TULISAN, KRITIK, SARAN, dan KOMENTAR. Layangkan ke email kami: langkah.awal.its@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai