PAHLAWAN
Dari kepala sampai ujung kaki dilahap habis oleh semua mata yang
memandangnya.
Hei, Asiong, lihat itu lihat tubuhnya, yang jenis ini betul-betul tidak
pernah kulihat sebelumnya, betul-betul luar biasa moleknya!
Aon bercermin dulu! Dasar katak buduk! Kalau aku ini baru dia mau.
Aku tergiur dengan bagian dadanyaseperti puncak honglung (naga merah)
gunung Huangshan! Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, akan segera mati
menyesal. Hmm. Aku harus memperkenalkan diri, dia pasti mau jadi istri
keduaku.
iih..tidak tahu malu kulit sudah hitam gelap, pendek, gendut
lagikalau aku ini, baru dia kesemsem. Tuh lihat rumahku, kudaku, dan
Belum si Abin habis berbicara, yang lainnya lagi sudah menyahut
dan matamu yang juling karena terlalu banyak melirik bini orang.
Sudahsudah .. Ssst lihat kembang lotus merah, calon biniku, ini mendekati
tempat duduk kita.!
Jangan dikira Li Fong tidak mendengar percakapan mereka. Dia sudah
sangat marah. Kedua pipinya merah, dan senyumnya menjadi sangat manis.
Inilah ciri-ciri Li Fong yang sedang marah. Semakin manis senyumnya
semakin panas hatinya.
Dengan tenang ia duduk di tengah-tengah ruangan. Tiba-tiba, seperti
ada yang memberi komando, para pengunjung restaurant itu menggeser
tempat duduknya sedekat mungkin dengannya. Li Fong sangat muak melihat
sikap dan tingkah laku mereka, tetapi ia tetap menunjukkan tindakan seolah
tidak mengambil peduli. Ia memesan dua masakan, bebek panggang, tahu
mofu, dan tidak lupa Hulam Hongciu (arak merah dari Hulam).
Salah seorang teman Asiong yang bertubuh paling besar dengan
sebuah pedang pada punggungnya, namanya Chung Ie Siang, datang ke
meja Li Fong.
CHAPTER 6,
Lingkaran |60
Lingkaran |61
Lingkaran |62
Buaya..buaya darat majulah semua, nonamu ingin tahu apa itu Hung
Hua Bai!
Lebih dari delapan orang bergerak mengurung Li Fong dengan senjata
di tangan. Abin, si mata juling, berteriak,
Tangkap!
Secara serentak mereka bergerak menyerang Li Fong. Li Fong yang
semula masih duduk di tempatnya semula itu, kini berdiri tegak. Ia sudah
mengambil keputusan menurunkan tangan kejam kepada orang-orang ini.
Tidak ada satupun senjata yang dapat mengenai tubuhnya yang
bergerak lincah itu. Sebaliknya, ketika Li Fong balas menyerang, tidak ada
satu orang pun yang luput dari sambaran tangannya yang membagi-bagi
tamparan.
Plak .. plak plak!
Delapan orang itu seketika mengaduh-ngaduh sambil memegangi
mulutnya yang berkelepotan darah. Ada yang giginya rompal, ada yang
rahangnya retak, dan yang paling parah adalah Asiong, Abin dan Aon,
rahang bawah mereka remuk, dan tampak darah keluar dari kedua
telinganya.
Li Fong dengan tenang meninggalkan restaurant itu. Kini semua mata
hanya memandang jerih kepadanya. Ketika ia sampai di dekat pintu keluar, ia
dihadang oleh seorang pengemis tua yang menyodorkan mangkok
buntutnya.
Gu niang tiba-tiba si pengemis berkata kepadanya dengan suara
lirih.
Li Fong memandang kepadanya. Si pengemis hanya memandang
sekilas, dan kemudian mengalihkan matanya pada mangkoknya. Li Fong
mengikuti pandangan si pengemis itu, dan ia melihat secarik kertas kumal
CHAPTER 6,
Lingkaran |63
terlipat kecil di dalam mangkok buntut itu. Sambil menaruh sekeping uang
perak kecil ke dalam mangkok itu, Li Fong memungut lipatan kertas kecil
tersebut.
Ia menaruh kertas itu ke dalam sakunya sambil terus berjalan ke arah
losmen yang berdekatan dengan pintu gerbang kota. Ia menyewa kamar
yang terletak di sebelah timur. Di dalam kamar itu, ia membuka lipatan kertas
dan ia melihat sebuah pesan sederhana.
Lingkaran |64
Sungguh
indahhmm.
menawan
bunga
yang
baru
mekar
luar
biasa