Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Oftalmia simpatika adalah kondisi yang jarang terjadi, tetapi sangat merusak.
Penyakit ini akan timbul sekitar 10 hari sampai beberapa tahun setelah trauma tembus
mata ataupun pasca operasi intraokular. Terdapat juga laporan yang mengatakan
bahwa oftalmia simpatika muncul setelah lima hari pasca trauma. Sembilan puluh
persen kasus terjadi dalam 1 tahun setelah trauma intraokular.
Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, tetapi penyakit ini diduga berkaitan
dengan hipersensitivitas terhadap beberapa unsur dari sel-sel berpigmen di uvea.
Kondisi ini sangat jarang terjadi setelah bedah intraokular (pada bedah katarak
ataupun glaukoma) yang tanpa komplikasi dan bahkan lebih jarang lagi terjadi
pascaendoftalmitis.
Mata yang cedera akibat trauma ataupun pembedahan (disebut mata yang
terangsang) mula-mula akan meradang terlebih dahulu dan kemudian akan diikuti
oleh mata sebelahnya (mata yang simpatik). Pasien biasanya akan mengeluhkan
fotofobia, kemerahan dan penglihatan kabur. Namun, adanya floaters bisa juga
menjadi keluhan awal.
Ketepatan dalam mendiagnosa dan terapi pada kasus oftalmia simpatika
sangat diperlukan. Kesalahan atau keterlambatan diagnosa maupun penatalaksanaan
pada kasus oftalmia simpatika akan berdampak buruk pada pasien karena penyakit ini
akan terus berkembang dan dapat mengakibatkan kebutaan bilateral mata.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Lapisan Bola Mata


A.1 Lapisan Mata Luar (Tunika Fibrosa Bulbi)

Lapisan mata luar, Tunika fibrosa bulbi, terdiri dari:

kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang


berbatasan dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma,
membran Descemet, dan lapisan endotel. Lapisan epitel mempunyai lima atau

enam lapis sel (sangat melengkung, jernih seperti kaca).


Sklera (sedikit melengkung, tidak tembus pandang, berwarna putih).

Sklera adalah pembungkus fibrosa peilndung mata di bagian luar, yang hampir
seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta
berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus opticus di
posterior.1

A.2 Lapisan Mata Tengah (Tunika Vaskulosa Bulbi)


Traktus Uvealis merupakan lapisan yang terdiri atas iris, corpus ciliare, dan
koroid. Bagian ini merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh
korena dan sklera. Struktur ini ikut mendarahi retina. Iris adalah perpanjangan corpus
ciliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di
tengah, yaitu pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa,
memisahkan bitik mata depan dari bilik mata belakang,yang masing-masing berisi
aqueous humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua
lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan
neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior.
Corpus ciliare, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mrn).
Corpus ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm),
dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Koroid adalah segmen posterior
uvea, di antara retina dan sklera. Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah

koroid, yaitu pembuluh darah besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh
terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya.1

Gambar 2.1 Lapisan Koroid

A.3 Lapisan Mata Dalam (Tunika Interna Bulbi)


Lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran
neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan
diteruskan ke otak.
Retina merupakan membran yang tipis, halus dan tidak berwarna, tembus
pandang. Yang terlihat merah pada fundus adalah warna koroid. Retina ini terdiri dari
macam-macam jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari seratserat Mueller, membrana limitans interna dan eksterna, sel-sel glia.
Lapisan-lapisannya dari dalam ke luar terdiri dari :

Membrana limitans interna


Lapisan-lapisan serabut saraf (axon dari sel-sel ganglion)
Lapisan sel-sel ganglion
Lapisan plexiform dalam
Lapisan nuclear dalam (nucleus dari sel bipoler)
3

Lapisan plexiform luar


Lapisan nuclear luar (nucleus dari batang dan kerucut)
Membrana limitans eksterna
Lapisan batang dan kerucut (alat-alat untuk melihat, penerima cahaya)
Lapisan epitel pigmen
Membrana limitans interna letaknya bedekatan dengan membrane hialodea

dari badan kaca. Bila terjadi robekan di retina, maka cairan badan kaca akan melalui
robekan ini, masuk ke dalam celah potensial dan melepaskan lapisan batang dan
kerucut dari lapisan epitel pigmen, maka terjadilah ablasi retina.
Dimana aksis mata memotong retina, terletak macula lutea. Ditengahtengahnya terdapat lekukan dari fovea centralis. Pada funduskopi, tempat macula
lutea tampak lebih merah dari sekitarnya dan pada tempat fovea centralis seolah-olah
ada cahaya, yang disebut reflex fovea, yang disebabkan lekukan pada fovea
centralis.1

B. Oftalmia Simpatika
B.1 Definisi
Oftalmia simpatika merupakan inflamasi bilateral traktus uveal yang
disebabkan iritasi kronik pada satu mata, terjadi karena luka perforasi pada mata atau
pembedahan intraokular, dan akan menyebabkan inflamasi pada mata sebelahnya. 2
Mata yang cedera akibat trauma ataupun pembedahan (disebut mata yang terangsang)
mula-mula akan meradang terlebih dahulu dan kemudian akan diikuti oleh mata
sebelahnya (mata yang simpatik). Pasien biasanya akan mengeluhkan fotofobia,
kemerahan dan penglihatan kabur. namun, adanya floaters bisa juga menjadi
keluhan awal.

Gambar 2.2 Mata Yang Terangsang exciting eyes


Oftalmia simpatika telah diketahui sejak masa Hipokrates, lebih dari 2000
tahun yang lalu. Tulisan pertama tentang oftalmia simpatika diperkirakan 1000 tahun
yang lalu, yang berisi mata kanan, ketika berpenyakit, akan menularkan pada mata
kiri. Pada abad ke 16, Inggris menuliskan pada buku panduan oftalmologi, setelah
adanya trauma pada salah satu mata, mata yang sehat akan dalam bahaya yang
besar
Terminology oftalmia simpatika dikemukakan oleh William MacKezie pada
tahun 1840, yang menemukan 6 kasus trauma tembus pada satu mata akan
menyebabkan peradangan pada mata yang lain dalam 3 minggu sampai 1 tahun.

Gambar 2.3 Presipitat Luas Keratik Dalam


Mata Simpatik "Simpathizing eye"
5

B.2 Epidemiologi
Tingkat kejadian oftalmia simpatika adalah sangat jarang.2 Tingkat kejadian
pasca trauma berkisar antara 0,2%-0,5% dan 0,01% setelah pembedahan intraokular.3
Prosedur pembedahan yang paling sering menyebabkan oftalmia simpatika adalah
ekstrasi katarak (bila terjadi komplikasi), pembedahan iris (termasuk iridektomi),
perbaikan perlengketan retina, bedah vitreoretinal. Beberapa jenis pembedahan lain
yang dapat menyebabkan terjadinya oftalmia simpatika antara lain parasintesis
siklodialisis, keratektomi, dan risiko terjadi oftalmia simpatika meningkat apabila
pembedahan mata diikuti dengan pembedahan yang lain, terutama pada segmen
posterior bola mata. Kejadian ofalmia simpatika postvitrektomi diperkirakan
mencapai 0,01%.
Hanya sedikit kasus oftalmia simpatika yang disebabkan bukan karena trauma
pada mata. Trauma oleh bahan kimia juga merupakan salah satu penyebab terjadinya
oftalmia simpatika. Kejadian oftalmia simpatika yang disebabkan oleh trauma berat
bahan kimia alkali adalah 1 diantara 22 kasus yang terjadi.4

B.3 Etiologi
Penyebab tersering adalah kejadian pasca trauma intraokular berkisar antara
0,2%-0,5% dan 0,01% setelah pembedahan intraokular.3 Etiologi lainnya yang sangat
jarang terjadi adalah oftalmia simpatika pasca trauma berat bahan kimia alkali.4
B.4 Gambaran Klinis
Gejala awal adalah bekurangnya kemampuan akomodasi mata dan fotofobia.
Selanjutnya akan terjadi penurunan tajam penglihatan dan timbulnya rasa nyeri.2
Adanya riwayat trauma sebagai penyebab, dimana mata yang terangsang akan

tampak merah dan terdapat iritasi. Sedangkan mata yang simpatik akan mengalami
iritasi, penglihatan kabur, fotofobia dan kehilangan kemampuan akomodasi.
Pada kedua bola mata akan berkembang uveitis anterior, dapat berupa uveitis
sedang ataupun berat dan biasanya berupa granulomatosa. Kedua bola mata akan
mengalami tingkat keparahan peradangan yang berbeda. Pada pengamatan fundus
akan tampak infiltrat koroid yang berkembang di daerah pertengahan perifer. Adanya
Dalen-Fuchs nodul merupakan tanda klasik oftalmia simpatika, nodul tersebut akan
muncul di bagian mana saja dari fundus okuli tetapi yang paling sering pada bagian
pertengahan perifer.3

Gambar 2.4 Infiltrat Multifokal Koroid


Vaskulitis, pembengkakan diskus optikus juga dapat terjadi. Sebagai akibat
dari proses inflamasi, sisa parut chorioretinal akan memberikan penampakan seperti
sinar matahari terenam 'sunset glow' yang mirip dengan Vogt-Koyanagi-Harada
Syndrom (VKH). Manifestasi sistemik mirip dengan yang terjadi pada VogtKoyanagi-Harada sindrom, tetapi lebih jarang terjadi.3

Gambar 2.5 Fundus Sunset Glow

B.5 Patogenesis
Patogenesis dari oftalmia simpatika tidak diketaui secara jelas. Mekanisme
yang mungkin terjadi adalah respon langsung hipersensitivitas autoimun melawan
jaringan uveal yang terekspos akibat trauma (exciting eye) yang mana merespon
terhadap beberapa antigen chorioretinal, seperti antigen S atau antigen melanoma
Mart-1. Faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan gambaran klinik oftalmia
simpatika adalah: trauma penetrasi, perbaikan pembedahan dalam waktu 48 jam atau
lebih setelah trauma, penggunaan steroid lokal dan sistemik lebih dari satu minggu
setelah terjadinya trauma, dan trauma pada badan siliaris. Akan tetapi, terdapat juga
faktor resiko berkembangnya oftalmia simpatika tanpa adanya trauma pada traktus
uveal.5,6
Beberapa mekanisme tubuh yang diduga terlibat dalam terjadinya oftalmia
simpatika antara lain :

Teori reaksi hipersensitif


Dikemukakan pertama kali pada tahun 1903, diduga adanya pigmen uveal

sebagai antigen pemicu. Gambaran fagositosis melanin terlihat pada pemeriksaan


histopatologi yang memperkuat dugaan adanya keterlibatan pigmen, tetapi penelitian
ini masih lemah, dan melanin secara umum bersifat nonantigenik.

Penelitian pada awal tahun 1990, mendeskripsikan melanin uveal tak larut
dapat menyebabkan inflamasi terbatas pada uvea, dan akhirnya dilaporkan bahwa
kekambuhan spontan terjadi pada oftalmia simpatika. Antigen uveal atau retina atau
melanin yang lain mungkin dapat terlibat. Penemuan cidera uvea merupakan perkusor
konstan dalam perkembangan oftalmia simpatika membuat uvea diduga menjadi
penyebab utama.
Jaringan uvea sendiri merupakan antigenik lemah, tetapi antigenitasnya dapat
meningkat apabila diikuti adanya racun stafilokokus. Presentase antibody antiuvea
tinggi pada pasien oftalmia simpatika, dan adanya mekanisme transformasi
penempelan limfosit perifer ditemukan mengikuti paparan homolog antigen
uveoretina.

Keterlibatan Autoimunitas
Berdasarkan pada klinis oftalmitis simpatika yang kemungkinan timbul

karena respon autoimun terhadap antigen yang berasal dari lapisan fotoreseptor. Sera
dari pasien dengan oftalmia simpatika menunjukkan derajat ringan sampai moderat
pada pengecatan segmen terluar dari fotoreseptor dengan menggunakan teknik
imunoperoksidase indirek. Ekstrak retina menunjukkan derajat antigenik tinggi dan
mudah menimbulkan retinouveitis. Antigen retina potensial antara lain adalah :
rodopsin, antigen retina soluble (S-antigen), interphotoreceptor retinoid binding
protein, dan recoverin.
Epitop spesifik yang merupakan protein retina yang lain, interstitinal retinoid
binding protein (IRBP), juga memiliki kemampuan dalam menimbulkan uveitis.
Penelitian imunohistokemikal yang lain menyebutkan bahwa, oftalmia simpatika
dapat dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas sel T tipe lambat yang langsung pada
antigen membran permukaan bersamaan dengan fotoreseptor, sel RPE, dan melanosit
koroid.
Tidak ditemukannya limfatik pada mata memegang peranan penting dalam
kejadian oftalmia simfatika. Secara normal, antigen intraocular bersirkulasi ke dalam
darah dan limfa, melalui limfonodi local, yang akan menginduksi antibody pemblok
9

atau sel supresi pada limfa. Pada kasus trauma ocular penetrasi,antigen ini dibawa
langsung menuju limfonodi regional, sehingga terjadi inisiasi respon mediasi sel
imun. Hal tersebut merupakan kunci dalam terjadinya oftalmia simpatika yang
disebabkan karena paparan antigen uveoretinal pada limfatik konjungtiva. Sebagai
stimulasi, bakteri (contoh : Propionibacterium acnes), virus, dan agen infeksi lain
dapat memasuki mata melalui luka, dan paparan tersebut dapat mempercepat proses
inflamasi.

Berhubungan dengan HLA


Oftalmia simpatika berhubungan dengan Human Leukosit Antigen (HLA).

Sebagai contoh, HLA-A11 pernah dilaporkan ditemukan pada pemeriksaan


histopatologi pada pasien oftalmia simpatika. Lokus HLA klas II ( HLA-DR, HLADQ, HLA-DP) muncul sebagai salah satu imun penting yang merespon sel T
penolong, karena molekul permukaan dikode oleh interaksi gen langsung dengan
antigen dan dengan reseptor sel T pada regulasi imun respon.

Peranan Antigen Bakteri


Walaupun berhubungan dengan trauma, paparan jaringan uvea, dan gambaran

proses inflamasi granulomatosa diduga merupakan proses yang infeksius, belum


pernah dilaporkan adanya organisme penyebab sampai sekarang. Salah satu factor
penyebab yang pernah dilaporkan adalah Microbacterium tuberculosis, Bacillus
subtilis, Rickettsia dan virus vitreus. Telah lama diketahui bahawa oftalmia simpatika
sangat jarang disebabkan oleh endoftalmitis. Produk biologis bacteria (contoh :
dinding sel bakteri) yang ada pada luka, dapat menjadi imunostimulator dan dapat
memacu respon imun lokal. Walaupun jaringan uveal merupakan antigen lemah,
antigenitasnya dapat meningkatkan racun stafilokokus.
Hal tersebut memperkuat bahwa penyebab yang paling berperan adalah
trauma mata. Pertama terjadi drainase dari uvea atau antigen retina, atau keduanya,
terjadi melalui limfatik konjungtiva, merupakan suatu mekanisme abnormal. Kedua
sejumlah kecil pemicu, seperti dinding sel bakteri atau imunostimulator yang lain

10

yang memasuki mata melalui perforasi. Produk-produk tersebut akan menginduksi


respon imun local, yang akan menyebabkan mekanisme supresan tergantung pada
status imun masing-masing individu. Fenomena tersebut merupakan respon inflamasi
yang akhirnya dikenal secara klinis sebagai oftalmia simpatika.

C. Gambaran Histopatologi
Gambaran histopatologi menunjukkan infiltrasi limfositik difus pada koroid.
Kumpulan serakan sel epiteloid terlihat, banyak diantaranya mengandung granulgranul halus dari melanin. Nodul-nodul Dalen-Fuchs, yang mana juga terjadi pada
Voght-Koyanagi-Harada dindrom adalah granulomatosa yang teletak antara membran
Bruch dan lapisan epitel pigmen retina.3
Mata yang terangsang berbeda dengan mata yang simaptika hanya
berdasarkan bukti yang ditemukan dan komplikasi dari trauma dan pembedahan.
Nodul terdiri dari makrofag, sel epitel, dan sel epitel pigmen retina yang terjadi antara
membrane Bruchs dan epitel pigmen retina (Nodul Dahlen-Fuchs). Eosinofil
mungkin ditemukan di uvea, terutama pada kasus awal. Proses inflamasi terjadi pada
bagian koriokapilaris dan retina, dan uvea posterior lebih sering terkena daripada
uvea anterior. Diagnosis patologis tergantung pada infiltrasi limfosit sel T
predominan pada uvea, fagositosis awal dari granula pigmen, dan adanya nodul
Dalen-Fuchs.

11

Gambar 2.6. Dalen-Fuchs Nodul, Sebuah Granuloma Yang


Terletak diantara Bruch Membran dan lapisan Epitel
Infiltrat uvea terdiri dari sel T, memperkuat konsep dari reaksi imun selPigmen.
mediasi (hipersensitivitas tipe lambat). Pada permulaan penyakit, sebagian besar sel T
adalah sub bagian penolong/penginduksi, kurang dari 5% sampai 10% dari sel
bercirikan sel B, sel plasma, atau monosit. Pada keadaan kronis ditemukan dominan
Sel T supresor/sitotoksik. Perubahan sel T penolong pada fase akut menjadi sel T
supresor/sitotoksik juga terlihat pada penelitian terhadap uveitis autoimun.

Gambar 2.7. Infiltrasi Pada Koroid Oleh Limfosit dan


Kumpulan Serakan Sel Epiteloid, Yang Mana Banyak
Mengandung Granul-Granul Halus Melanin.

12

D. Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
1. Tomografi Optikal Koheren (OCT) berguna untuk pengukuran dan
monitoring.
2. B-scan ultrasonografi (untuk melihat segmen posterior yang terhalang oleh
pupil yang sangat kecil dan media yang opak) dapat memperlihatkan
penebalan koroid.
3. Indocyanine Green angiography adalah suatu teknik terpisah yang lebih baik
untuk pencitraan sirkulasi koroid: menunjukkan daerah-daerah penyakit yang
aktif, yang mana berubah dengan terapi.
4. Ultrasound yang dapat menunjukkan penebalan koroid dan akumulasi cairan
diantara retina bagian neurosensori dan lapisan epitel pigmen retina
(exudative retina detachment).3

E. Penatalaksanaan
Terapi oftalmia simpatika diberikan berdasarkan penyebab yang diduga.
Terapi medikasi yang diberikan terdiri dari agen anti-inflamasi sistemik, termasuk
kortikosteroid dan obat-obat-obatan imunomodulasi.
1. Enukleasi
Enukleasi dilakukan terhadap trauma berat mata dalam satu minggu pertama
yang mana telah menunjukkan keefektifan dalam mencegah perkembangan atau
menurunkan keparahan dari oftalmia simpatika. Akan tetapi hal tersebut bukan
merupakan pencegahan absolut oftalmia simpatika. Oftalmia simpatika kadang
berkembang setelah dilakukan pembedahan.3

13

Pengambilan isi bola mata (evisceration) bukanlah alternatif enukleasi.


Oftalmia simpatika dapat terjadi setelah dilakukan pengambilan isi bola mata,
kemungkinan merupakan akibat adanya sisa jaringan uveal pada saluran sclera.
Biasanya tidak dianjurkan untuk dialakukan kecuali pada pasien endoftalmitis atau
pada pasien yang memiliki keadaan umum yang buruk, yang tidak memungkinkan
melakukan enukleasi.
2. Kortikosteroid
Steroid adalah terapi dasar. Prednisolon dengan dosis besar diberikan dalam
jangka waktu beberapa bulan, dan secaa bertahap di turunkan dosisnya sesuai dengan
respon dari pengobatan. inisiasi dengan metilprednisolon mungkin diperlukan pada
beberapa kasus.3 Tambahan steroid topikal dapat diberikan pada target anterior
uveitis. Apabila didapatkan infeksi harus ditangani terlebih dahulu sebelum
pemberian kortikosteroid. Walaupun terapi kortikosteroid sangat efektif, tetapi
kortikosteroid tidak dapat mencegah perkembangan oftalmia simpatika. Dari
beberapa penelitian, dilaporkan bahwa oftalmia simpatika tetap berkembang
walaupun telah diberikan terapi kortikosteroid sistemik.
3. Agen Imunosupresi
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid sebagai terapi tunggal tidak
efektif (pada kasus oftalmia simpatika yang tidak biasa), atau pemberian
kortikosteroid dosis sangat tinggi dibutuhkan untuk mengontrol (pada kasus yang
tidak biasa). Selain itu, penggunaan kortikosteroid jangka panjang sebaiknya
dihindari pada pasien yang memiliki masalah kesehatan dan komplikasi oftalmologi
atau sistemik, seperti pada diabetes mellitus, glaukoma tak terkontrol, atau masalah
psikologis. Pada pasien seperti ini, terapi alternative dengan agen imunosupresan
efektif dalam menekan inflamasi, sehingga dapat dilakukan penurunan dosis
kortikosteroid.
Preparat yang direkomendasikan antara lain cyclosporine A ( 5 mg/kg/hari )
pada pasien usia muda sampai 40 tahun atau azathioprine ( 2 mg/kg/hari yang dibagi

14

dalam 3 dosis ) pada pasien usia tua. Karena mata dengan oftalmia simpatika
biasanya diinfiltrasi banyak sel T teraktivasi, cyclosporine, merupakan inhibitor poten
terhadap fungsi sel T, dapat menjadi agen terapi yang sangat efektif. Dosis yang
disarankan untuk kombinasi cyclosporine dan kortikosteroid adalah : cyclosporine A (
3-5 mg/kg/hari) dan prednisone ( 15-20 mg/hari).
F. Prognosis
Prognosis bergantung pada keparahan dan lokasi penyakit serta responnya
terhadap terapi. Dengan terapi yang agresif, 75% dari mata simpatik akan
memperoleh tajam penglihatan lebih baik dari 6/60. Kontrol jangka lama merupakan
suatu keharusan karena relaps terjadi pada 50% kasus, dan dapat tertunda hingga
beberapa tahun.

BAB III
PENUTUP

15

A. Kesimpulan
Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang sangat
merusak, yang timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cidera mata tembus di
daerah corpus ciliare, atau setelah kemasukan benda asing. Pada kasus yang jarang,
luka tembus pada mata juga termasuk luka karena pembedahan. Mata yang cidera
disebut exciting eye ( mata terangsang ) dan mata yang tidak cidera disebut
sympathizing eye (yang simpatik).
Patogenesis terjadinya oftalmia simpatika belum diketahui secara jelas, tetapi
diduga terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: reaksi hipersensitivitas, adanya
reaksi autoimun, adanya hubungan dengan HLA, dan keterlibatan bakteri dalam
memicu terjadinya oftalmia simpatika.
Gejala utama yang dikeluhkan pasien antara lain: fotofobia, kemerahan, dan
kaburnya penglihatan. Jika ada riwayat trauma, cari parut tempat masuk ke mata.
Adanya nodul Dalen-Fuchs merupakan gambaran histopatologi utama oftalmia
simpatika.
Penatalaksanaan pasien oftalmia simpatika adalah dengan melakukan
enukleasi pada mata terangsang, yang juga dapat merupakan tindakan pencegahan
terjadinya oftalmia simpatika. Selain itu terapi medikamentosa dapat diberikan
kortikosteroid dan imunomodulator memberikan hasil yang baik. Apabila mendapat
penanganan yang cepat dan tepat, pasien oftalmia simpatika masih memiliki daya
penglihatan yang cukup baik, tetapi bila terlambat dapat menyebabkan kebutaan.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, D.G., Asbury, T., General Ophthalmology (17th ed.). Brahm, U. 2008
(Alih Bahasa), EGC, Jakarta. 2010.
2. Lang GK, Amann J, Gareis O, Lang GE,Recker D, Spraul CW, Wagner P.
Ophthallmology. New York. 2000. p: 214-5.
3. Bowling B.Kanski's Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach.Eight
Edition. 2016. p: 416-9.
4. Zhang Y, Zhang MN, Jiang CH, Yao Y. Development of sympathetic ophthalmia
following globe injury. Chin Med J (Engl) 2009;122:29616.
5. Ahmad N, Soong TK, Salvi S, Rudle PA, Rennie IG. Sympathetic ophthalmia
after ruthenium plaque brachytherapy. Br J Ophthalmol. 2007;91:399401.
6. Buller AJ, Doris J, Bonshek R, Brahma AK, Jones NP. Sympathetic ophthalmia
following severe fungal keratitis. Eye (Lond) 2006;20:13067.

17

Anda mungkin juga menyukai