Anda di halaman 1dari 7

1.

Penanganan pasien trauma


a. A : Airway (Apakah jalan napas bebas?)
Jika pasien dapat merespon dengan suara normal maka jalan napas pasien bebas
dari obstruksi. Apabila terdengar suara napas yang berubah dari normal (spt.
Stridor) maka terjadi obstruksi parsial. Apabila tidak terdengar suara napas atau
terlihat tanda pasien ingin melakukan ekspirasi namun udara tidak keluar maka
terjadi obstruksi total. Apabila terjadi obstruksi baik parsial maupun total segera
hilangkan penyebab obstruksi.
b. B : Breathing (Apakah pernapasannya cukup?)
Lakukan inspeksi pada pergerakan dinding dada untuk memastikan pasien
bernapas. Apabila tersedia stetoskop, dapat pula didengarkan bunyi pernapasan
pasien. Pada kasus tension pneumothorax harus segera dimasukkan cannula pada
SIC 2 linea midclavicularis (needle thoracocentesis). Apabila terjadi
bronchospasm atasi dengan pemberian inhalasi. Apabila pernapasan pasien tidak
cukup maksimal atau tidak ada, harus dilakukan bantuan napas buatan (ventilasi).
c. C : Circulation (Apakah sirkulasinya cukup?)
Sirkulasi dapat dinilai dari palpasi arteri carotis pasien, bila tidak teraba harus
segera dilakukan prosedur CPR. Pada beberapa pasien trauma juga dapat
ditemukan kasus hipotensi misalnya akibat syok hipovolemik, pada kasus ini
pasien harus di resusitasi cairannya baik itu menggunakan NaCl atau transfusi
darah.
d. D : Disability (apa level kesadaran pasien?)
Level kesadaran pasien dapat dinilai dengan AVPU Score. Dimana tingkatannya
terdiri atas A (Alert) yakni merespon dengan cukup sadar, V (Voice Responsive)
yakni hanya memberikan respon terhadap suara, P (Pain Responsive) yakni hanya
merespon bila diberi rangsangan nyeri, atau U (Unresponsive) yakni tidak
responsif sama sekali. Dapat juga tingkat kesadaran diukur menggunakan nilai
GCS (Glasgow Comma Scale)
e. E : Exposure (adakah petunjuk yang menjelaskan kondisi pasien?)
Tanda tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit (rashes), bekas tusukan, dll harus
diamati. Seluruh pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk memastikan keadaan
pasien pasca trauma.
Referensi : Thim T, Krarup NH, Grove EL, Lofgren B. ABCDE a systematic
approach to critically ill patients. Ugeskr Laeger. 2010;172(47):32643266.

2. Cara mendiagnosis pasien trauma


3. Penatalaksanaan fraktur medikamentosa & non medikamentosa
a. Non-medikamentosa
1) Lakukan inisial assesment dan BTLS
2) Reduksi
a) Reduksi Manipulatif
Reduksi manipulatif ini merupakan standar awal mereduksi fraktur secara
umum yakni mengembalikan posisi tulang keposisi yang seharusnya.

Biasanya reduksi ini dilakukan dengan menggunakan anastesi umum atau


lokal, hanya dilakukan oleh spesialis orthopaedic.
b) Reduksi dengan traksi mekanis
Yakni prosedur pengembalian posisi tulang yang berubah akibat tarikan
otot-otot besar sehingga menyulitkan reduksi manipulatif. Pada reduksi ini
diperlukan beberapa alat-alat mekanis untuk traksi tulang, hanya dilakukan
oleh spesialis orthopaedic.
c) Reduksi operatif
Yakni prosedur reposisi tulang dengan tindakan operatif, biasanya
dilakukan apabila struktur fragmen tulang yang tidak memungkinkan
untuk direduksi secara manipulatif atau dengan traksi mekanis saja, hanya
dilakukan oleh spesialis orthopaedic.
3) Immobilisasi
Yakni untuk membatasi ruang gerak area fraktur agar tidak bertambah parah.
Immobilisasi dapat dilakukan dengan tekhnik :
a) Bandage dan atau pemasangan Spalak
b) Continous skeletal traction menggunakan alat seperti Thomass Splint dan
Pearson Knee Flexion
c) Fiksasi Eksternal, yakni dengan memasang alat-alat fiksasi diluar tubuh.

d) Fiksasi Internal, yakni dengan memasang alat-alat fiksasi tulang seperti


skrup didalam tulang/tubuh pasien.

4) Rehabilitasi
Yakni upaya pengembalian fungsi fisiologis organ musculoskeletal yang
sebelumnya cedera dengan rehabilitasi seperti latihan-latihan rutin.
b. Medikamentosa
1) Resusitasi Cairan : apabila pasca trauma terjadi perdarahan hebat yang
memicu terjadinya syok hipovolemik
2) Pemberian Obat Analgesik/Anti Nyeri kepada pasien fraktur.
3) Antibiotik spektrum luas
4) Imunisasi tetanus

Referensi : Elsevier, 2014. Principal of Fracture Treatment. Journal of Elsevier Health.


From <
http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9780443102974/9780443102
974.pdf>

4. Jenis-jenis fraktur
a) Tipe A
Yakni fraktur simpel dengan hanya terdapat 2 fragmen tulang saja.

b) Tipe B
Fragmen tulang lebih dari 2 dan masih terdapat kontak dengan fragmen utama :

c) Tipe C
Patahan tulang complex dengan fragmen lebih dari satu dan tidak terdapat kontak
dengan fragmen utama :

Referensi : Lisa K. Cannada. 2008. Fracture Classification. Orthopaedic Trauma


Association. America.
5. Interpretasi hasil rontgent pada kasus fraktur?
Pada saat melakukan proses imaging pada beberapa kasus fraktur dapat dilakukan
pada beberapa sisi agar dapat menunjang diagnosis jenis/klasifikasi fraktur yang
terjadi. Pada pemeriksaan radiologis seperti X-Ray struktur tulang akan menunjukkan
gambaran Radio-Opaque (warna kontras putih) karena sifat densitasnya yang tinggi
dan jaringan biasanya kontras putihnya lebih rendah daripada tulang sementara udara
akan menampakkan gambaran Radio-Lucent (warna gelap). Arah patahan dan
fragmen tulang akan terlihat jelas pada hasil rontgent yang selanjutnya dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi frakturnya, apakah terjadi fraktur, oblique,
spiral, atau yang lainnya.

Referensi :
Richard B. 2014. General Principles of Fracture Care Treatment &
Management. MedScape Medical Journal. Viewed on 1 April 2015.
Guzman J, Hurwitz EL, Carroll LJ, Haldeman S, Ct P, Carragee EJ, et
al. A new conceptual model of neck pain: linking onset, course, and care: the Bone
and Joint Decade 2000-2010 Task Force on Neck Pain and Its Associated Disorders. J
Manipulative Physiol Ther. Feb 2009;32(2 Suppl):S17-28.
6. Komplikasi pasien trauma musculosceletal
a) Komplikasi kerusakan jaringan sekitar
Pada faktur terbuka atau tertutup akan memicu kerusakan jaringan sekitarnya
seperi otot, kulit, arteri, vena, nervus, bahkan jaringan limfa.
b) Nekrosis Avascular
Yakni nekrosis jaringan yang terjadi karena kurangnya suply oksigen ke jaringan
akibat putus/rusaknya pembuluh darah
c) Penyakit Infeksi

Terjadinya trauma dapat membuka peluang infeksi penyakit oleh beberapa bakteri
maupun virus.
Referensi : Frost HM. The biology of fracture healing. An overview for clinicians.
Part I. Clin Orthop Relat Res. Nov 1989;248:283-93.
7. Manajemen nyeri akut dan kronis.

Anda mungkin juga menyukai