Anda di halaman 1dari 167

PERBANDINGAN PENETRASI MODAL

DI TANGERANG DAN I M P L I K A S I N Y A
A N T A R A T A H U N 1 6 8 4 -1 942 DAN TAHUN 1966 -1998

Skripsi
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai
gelar kesarjanaan
.

NAMA : IGN. TAAT UJIANTO


NPM : 20051550012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2009
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

Nama : IGN. TAAT UJIANTO

NPM : 20051550012

Fakultas : Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial

Program Studi : Pendidikan Sejarah

Judul Skripsi : Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang

dan Implikasinya antara Tahun 1684 -1942 dan

Tahun 1966 -1998.

Telah diperiksa dan disetujui untuk disajikan

Pada tanggal 14 Agustus 2009

Pembimbing Materi Pembimbing Teknik

(Drs. Subiyarto, M.Hum ) (Dr. H. Sumaryoto )

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah diajukan pada hari Rabu tanggal 16 September 2009

PANITIA UJIAN

Ketua Sekretaris

( P rof. Dr. H. Sumaryoto) (Drs. Heru Sriyono, MM)

Anggota I Anggota II

( Dra. Hj. Sartini, MM ) ( Drs. Supardi U.S, MM )

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini adalah karya

saya sendiri. Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh/sebagian isi skripsi

ini bukan hasil karya saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai

dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab VI pasal 25 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

Jakarta,………………….2009

Ign. Taat Ujianto

iv
MOTTO

Io Saro Con Voi


Aku selalu menyertaimu selalu (Matius)

Setiap entitas di dunia ini, memiliki nilai-nilai intrinsiknya sendiri-sendiri, tak

terkecuali manusia. Bila manusia hanyalah bagian kecil dari benda -benda

dunia, maka tidak otentik lagi mengatakan manusia sebagai pusat dari sistem

alam semesta? (Alfred North Whitehead)

Skripsi ini kupersembahkan untuk Ibundaku


tercinta dan istriku tersayang

Terima kasih
atas semua dukungannya

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua

rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya . Skripsi yang bejudul

"Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang dan Implikasinya antara

Tahun 1684- 1942 dan Tahun 1966- 1998”, ditulis untuk memenuhi salah

satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan di Universitas Indraprasta

PGRI.

Pada kesempatan ini, izinkan penulis menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan

bantuan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama

kepada :

1. Bapak Dr. H. Sumaryoto, selaku Rektor Universitas Indraprasta PGRI Jakarta


dan selaku Dosen Pembimbing Teknis.

2. Bapak Drs. Heru Sriyono, MM, selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan dan

Pengetahuan Sosial Universitas Indraprasta PGRI.

3. Ibu Dra. Hj. Sartini, MM, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah

Universitas Indraprasta PGRI Jakarta.

4. Bapak Drs. Subiyarto, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Materi.

5. Para Dosen beserta staf Tata Usaha Universitas Indraprasta PGRI.

6. Rekan dan sahabat yang telah memberikan saran dan semangat kepada

penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

vi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna baik

bentuk, isi, maupun teknik penyajiannya. Oleh sebab itu, kritik yang bersifat

membangun dari berbagai pihak, penulis terima dengan tangan terbuka serta

sangat diharapkan. Semoga kehadiran skripsi ini, dapat menjadi pedoman bagi

mahasiswa lain dan memenuhi sasarannya.

Jakarta, ……………..2009

Penulis

Ign. Taat Ujianto

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI........................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii

MOTTO ...................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi

DAFTAR ISI............................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL....................................................................................................... xi

DAFTAR SKE MA...................................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... xiii

ABSTRAK.................................................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah....................................................................... 3

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................4

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................... 5

E. Sistematika Penulisan..................................................................... 6

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori............................................................................... 9

B. Kerangka Berpikir ..........................................................................17

viii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian............................................................................22

B. Sumber Sejarah................................................................................23

C. Metodologi ......................................................................................26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Tangerang


1. Asal Mula Nama Daerah Tangerang ...................................... 28

2. Kondisi Geografis ................................................................... 30

3. Kependudukan..........................................................................32

4. Potensi Wilayah Tangerang .....................................................35

B. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Kolonial (684-


1942)
1. Merebut Tangerang dari Kekuasaan Kasultanan

Banten.....................................................................................45

2. Melanjutkan Sistem Feodal .............................................48

3. Tangerang menjadi Daerah Partikelir, Segregasi Rasial

Dijalankan ...............................................................................52

4. Memperkuat Struktur Pemerintahan .......................................56

5. Pembangunan Infrastruktur dan Peningkatan Produksi

untuk Mempercepat Akumulasi Modal ...................................61

C. Anti Cina: Reaksi Masyarakat Tangerang terhadap Kebijakan

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

D. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Orde Baru

(1966-1998)

ix
1. Membuka Keran bagi Modal Asing dan Nasional .....81

2. Tangerang Menjadi Penyangga Ibu Kota Jakarta ...................86

3. Pembangunan Infrastruktur Industri.........................................88

4. Pembangunan Kawasan Pabrik: Pengambilalihan Lahan

Warga dan P enataan Ulang Penduduk untuk Melancarkan

Akumulasi Modal.....................................................................89

E. Implikasi Penetrasi Modal di Tangerang Era Orde Baru

1. Perencanaan Tata Ruang Kota Cenderung

Dikooptasi oleh Kepentingan Akumulasi Modal .......93

2. Ledakan Warga Pendatang Baru dan Konflik antara

Mereka dengan Warga Yang Telah Menghuni Sebelumnya ..99

3. Pergeseran Budaya Agraris Menjadi Budaya Industri

(Modern) ................................................................................105

4. Pergeseran Konsep Keluarga dan Peran Perempuan..............112

5. Konflik Perburuhan: Buruh Melawan Koalisi Majikan dan

Rezim .....................................................................................113

6. Pencemaran dan Kerusakan Biosfer ......................................115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A . Kesimpulan .................................................................................. 125

B. Saran............................................................................................. 126

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 128

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1: Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990.............. 32

Tabel 2: Penduduk Afdeling Tangerang Tahun 1930...................................... 34

Tabel 3: Tabel Perkembangan Penduduk Per Kabupaten/Kota di

Provinsi Banten Tahun 2000-2005.................................................... 35

Tabel 4: Tanah Partikelir Tangerang Tahun 1900-1901.................................. 56

Tabel 5: Ekspor Topi dari Tangerang ............................................................. 68

Tabel 6: Target-Target Pelita I-V.................................................................... 82

Tabel 7: Perbandingan Penerimaan dari Pusat, Dati I, dan Penerimaan

Sumber PAD Tahun 1993-1998........................................................ 85

Tabel 8: Struktur Ekonomi Jawa Barat Tahun 1973-1990 ............................. 85

Tabel 9: PMA di Indonesia Tahun 1967-1990................................................ 86

Tabel 10: Daerah Pemukiman Kotamadya Tangerang Tahun 1990................. 87

Tabel 11: Penguasaan Lahan Pada Kawasan Industri Tahun 1996................... 91

Tabel 12: Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990.............. 98

Tabel 13: Ijin Lokasi dan Pembebasan tanah dengan Kesesuaian Rencana

Tata Ruang........................................................................................ 98

Tabel 14: Perkembangan Penduduk Per Kabupaten/Kota Provinsi Banten

Tahun 2000-2005.............................................................................. 100

Tabel 15: Tabel Proyeksi Jumlah Penduduk 2002-2017.................................. 100

Tabel 16: Jumlah Penduduk 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja menurut

Jenis Pekerjaan Utama per Kabupateb/Kota di Propinsi Banten

Tahun 2004....................................................................................... 101

xi
Tabel 17: Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas menurut Jenjang

Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan di Banten Tahun 2005....... 101

Tabel 18: Mata Pencaharian Tahun 1987-1991.................................................102

Tabel 19: Kepemilikan Tanah Perusahaan dan Perseorangan di Desa Cibogo..108

xii
DAFTAR SKEMA

Skema 1: Skema Motivasi Penjualan Tanah di Desa Cibogo ..........................109

Skema 2: Alur Mata Pencaharia n Generasi Cibogo setelah Era Industri......... 111

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I: PETA TANGERANG MASA KASULTANAN BANTEN

LAMPIRAN 2: PETA TANGERANG MASA KOMPENI

LAMPIRAN 3: PETA TANGERANG MASA HINDIA BELANDA

LAMPIRAN 4: PETA WILAYAH KABUPATEN TANGERANG

LAMPIRAN 5: FOTO PENGRAJIN TOPI BAMBU TANGERANG

LAMPIRAN 6: CUPLIKAN TRANSKRIPSI WAWANCARA SEJARAH

PERBURUHAN

xiv
ABSTRAK

A. Ign Taat Ujianto, NPM: 20031250162


B. Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang dan Implikasinya antara
Tahun 1684-1942 dan Tahun 1966-1998 . Skripsi: Jakarta, Fakulta s Ilmu
Pendidikan dan Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah,
Universitas Indraprasta Persatuan Guru Republik Indonesia, Agustus, 2009.
C. xii + 5 bab + 120 halaman
D. Kata Kunci: Penetrasi Modal dan Industrialisasi di Tangerang serta
Implikasinya
E. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola proses penetrasi
modal pada era kolonial (1684-1942) dan pada masa orde baru (1966-1998)
serta implikasi yang ditimbulkan sehingga dapat menjadi bahan referensi
pembangunan kota Tangerang di masa mendatang.
Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis pola proses penetrasi
modal di Tangerang dan implikasinya adalah dengan menggunakan metode
sejarah yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan atau
historiografi. Sedangkan untuk menganalisa data berlandaskan pada kajian
pustaka.
Setelah penulis menganalisis pola proses penetrasi modal di Tangerang
melalui metode sejarah, akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
pola penetrasi modal di Tangerang pada masa Kolonial meliputi: merebut
Tangerang dari kekuasaan Kasultanan Banten, melanjutkan sistem feodal,
Tangerang dijadikan tanah partikelir dan pelaksanaan segregasi rasial,
memperkuat sistem pemerintahan untuk mengontrol penduduk, dan
pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan produksi. Kebijakan yang
paling menonjol dari pelaksanaan penetrasi modal Kolonial adalah
diskriminasi rasial antara orang Cina dan Pribumi yang implikasinya
melahirkan perasaan anti Cina, konflik rasial, dan pembrontakan berbau anti
Cina. Sedangkan pola penetrasi modal pada zaman orde baru meliputi:
membuka keran penanaman modal asing, Tangerang dijadikan penyangga Ibu
Kota Jakarta, pembangunan infrastruktur industri, pembangunan kawasan
pabrik melalui pengambilalihan lahan warga dan penataan ulang penduduk
untuk melancarkan akumulasi modal. Kemudian implikasi yang ditimbulkan
adalah: tata ruang kota yang dikooptasi kepentingan modal, ledakan
pendudukan dan konflik antara pendatang dan warga pribumi, pergeseran
budaya agraris ke modern, pergeseran konsep keluarga, tingginya tingkat
konflik buruh dan majikan, dan biosfer yang terancam mengalami kerusakan.
F. Daftar Pustaka: 1. 33 buku
2. 2 transkripsi wawancara
3. 4 jurnal, 6 kliping berita dan artikel internet
G. Pembimbing Materi: Drs. Subiyarto, M.Hum
Pembimbing Teknik: Dr. H. Sumaryoto

xv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nama daerah Tangerang yang terletak di Provinsi Banten, sepertinya sudah

tak asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya kaum urban di sekitar

Jakarta. Seperangkat regulasi dan restu aparat negara di awal tahun 1970-an, telah

mengundang para pengembang dan investor membentuk kota itu sedemikian rupa

sehingga menjadi kawasan industri.

Tangerang sesungguhnya sudah dikenal baik jaman Kasultanan Banten

maupun jaman kolonial Hindia Belanda. Kala itu lebih dikenal dengan sebutan

Tangeran atau daerah Beteng. Di masa awal kolonial menancapkan cakar

kekuasaannya di Nusantara, Tangeran menjadi daerah perbatasan antara

kekuasaan Banten dan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Batavia.

Setelah dikuasai VOC tahun 1684, daerah Tangeran kemudian lebih banyak

menjadi tanah partikelir yang dikuasai orang-orang Tionghoa dan Belanda (Eropa)

yang memanfaatkan lahan partikelir Tangerang untuk lahan pertanian seperti padi,

kedelai, kopi, dan lain-lain

Sejak awal, pelaksanaan kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara

dilatarbelakangi oleh motif ekonom i (merkantilis). Motif tersebut menjadi alasan

utama kolonialisme setelah meletus revolusi industri abad ke -18. Era setelah

revolusi industri lazim digolongkan sebagai era imperialisme modern yang di

antaranya ditandai dengan penguasaan negeri lain, upaya membangun industri


2

besar-besaran (industrialisasi) sehingga membutuhkan banyak bahan mentah dan

pasar yang luas (kapitalisasi). Bangsa penjelajah dunia (imperialis) mencari dan

menjadikan daerah baru (koloni) sebagai sumber eksploitasi bahan mentah dan

pasar bagi hasil-hasil industri. Di kemudian hari, juga sebagai tempat penanaman

modal baru untuk dapat melipatgandakan keuntungan (akumulasi modal).

Dalam memperlakukan Tangerang sebagai daerah pendudukan, pemerintah

Belanda pun tak lepas dari motif ekonomi tersebut. Setelah dijadikan daerah

partikelir tahun 1684, Belanda berusaha keras agar daerah tersebut ikut

menyumbang pendapatan pemerintah kolonial. Sistem akumulasi modal

dijalankan. Sistem tersebut terus berlangsung hingga tahun 1942. Pelaksanaan

sistem akumulasi modal di Tangerang ternyata berdampak mendalam terhadap

kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Tangerang. Dampak tersebut bahkan tetap

berlanjut walaupun Belanda hengkang dari Nusantara setelah terusir Jepang

(1942) dan disusul kemerdekaan Indonesia (1945). Pada masa orde baru (1966-

1998), penetrasi modal di wilayah Tangerang berlangsung secara masif. Hal ini

terbukti dengan berubahnya wilayah Tangerang menjadi kota industri.

Proses pergeseran dari daerah agraris menjadi daerah industri hingga kini

menjadi salah satu objek menarik untuk diteliti. Berbagai peneliti telah mencoba

mengabadikannya dalam bentuk pengamatan melalui kacamata sosiologis dan

atropologis, misalnya dari segi perubahan budaya masyarakat agraris ke industri,

relasi antara pendatang dan warga asli, pergeseran pola kepemilikan tanah, hingga

dampak industri terhadap lingkungan. Sementara itu, penelitian dari perspektif

sejarah terkait industri di Tangerang ternyata masih menjadi barang langka.


3

Faktor inilah yang menjadi salah satu yang mendorong penulis untuk mencoba

melakukan kajian.

Dengan mengurai persoalan di atas melalui kaca mata sejarah, diharapkan

dapat memberikan gambaran lebih mendalam tentang sejarah terbentuknya sebuah

kota industri bernama Tangerang. Sekaligus, mengurai pula dampak-dampak yang

ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat Tangerang seperti konflik antara buruh

dan majikan, konflik warga pendatang dan warga asli, konflik tuan tanah dan

pekerjanya , dan lain-lain. Konon, di tahun 1924, terjadi konflik berbau rasis (anti

Cina) antara buruh petani pribumi dan tuan tanah yang beretnis Cina (Ekadjati,

2004: 129-137). Namun, peristiwa tersebut terjadi juga sekaligus akibat sistem

pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang selama ratusan tahun mengeluarkan

kebijakan segregasi rasial dimana menempatkan kaum pribumi lebih rendah

dibanding kaum Thionghoa. Pemberontakan sejumlah petani tersebut dikabarkan

merembet dari kawasan Teluk Naga hingga Tanah Tinggi. Di masa setelah

kemerdekaan, konflik serupa juga masih sering terjadi, misalnya kerusuhan 13-15

Mei 1998 yang berbau rasis (anti Cina), juga konflik -konflik seperti penolakan

warga atas penggusuran lahan yang ia miliki untuk didirikan pabrik.

B. Identifikasi Masalah

1. Daerah Tangeran sebelum pendudukan pemerintah kolonial Hindia

Belanda tahun 1684

2. Tangeran di bawah pendudukan VOC tahun 1684 – 1799

3. Tangerang di bawah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1800-

1942).
4

4. Proses penetrasi modal yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial

Belanda.

5. Reaksi masyarakat Tangerang terhadap kebijakan pemerintah kolonial.

6. Keadaan Tangerang pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945.

7. Keadaan Tangerang pada masa kemerdekaan hingga masa Orde lama

tahun 1945-1966

8. Tangerang berubah menjadi kota industri di masa Orde baru (1966-

1998)

9. Kondisi kehidupan masyarakat Tangerang pasca industrialisasi

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi fokus permasalahan pada

diskripsi yang berkaitan dengan pokok pembahasan yaitu pada

”Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang dan

Implikasinya antara Tahun 1684-1942 dan Tahun 1966 -

1998”.

2. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran umum dan potensi wilayah Tangerang

sehingga menjadi ajang penetrasi modal?

2. Bagaimanakah pola penetrasi modal di bawah pendudukan

pemerintah Kolonial Belanda?

3. Bagaimana reaksi masyarakat Tangerang terhadap kebijakan

Pemerintah Kolonial Belanda?


5

4. Bagaimanakah pola penetrasi modal di Tangerang pada masa Orde

Baru?

5. Bagaimanakah dampak penetrasi modal di Tangerang pada masa

Orde Baru?

D. Tujuan dan Kegunaan Pe nelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui gambaran umum dan potensi yang terdapat wilayah

Tangerang.

b. Untuk menganalisis pola dan proses penetrasi modal di Tangerang pada

masa pendudukan kolonial tahun 1684-1942

c. Untuk menganalisis reaksi masyarakat Tangerang terhadap penetrasi

modal yang dilakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ditinjau dari

bidang sosial-ekonomi.

d. Untuk mengetahui bagaimana pola terbentuknya sebuah kota industri.

e. Untuk mengetahui bagaimana dampak penetrasi modal yang ditimbulkan

ditinjau dari bidang sosial-ekonomi sehingga dapat digunakan sebagai

masukan bagi penataan kota Tangerang di masa mendatang.

2. K egunaan Penelitian

a. Agar dapat diketahui secara lebih mendalam tentang kondisi dan potensi

yang terdapat di wilayah Tangerang.

b. Agar dapat diketahui secara lebih mendalam mengenai sejarah

terbentuknya kota Tangerang dilihat dari perspektif gerak akumulasi

modal dan dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi.


6

c. Agar dapat diketahui dan dipetakan bagaimana latar belakang, potensi,

ancaman, dan kekuatan yang terdapat dalam kehidupan sosial-ekonomi

masyarakat Tangerang.

d. Agar dapat diguna kan sebagai bahan-bahan pertimbangan para

pengambil kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Tangerang dalam

menentukan arah pembangunan kota Tangerang di masa mendatang.

e. Diharapkan menjadi bahan perbandingan bagi peneliti sejarah kota

sehingga di masa mendatang dapat dilakukan penelitian secara lebih

kritis dan mendalam.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman, skripsi akan dibagi dalam lima bab

utama dan beberapa sub bab penjelas, yaitu: bab pertama Pandahuluan,

kedua Landasan Teori dan Kerangka Berpikir, ketiga Metodologi Penelitian,

keempat Hasil Temuan Penelitian, dan kelima Penutup.

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini mengemukakan latar belakang

penelitian dan alasan penulis memilih judul. Secara garis besar, penelitian

dan penulisan skripsi ini dilatarbelakangi fenomena perkembangan daerah

Tangerang yang sangat pesat ke arah kota industri. Di balik perkembangan

tersebut, ternyata menyimpan beberapa pokok persoalan dan masalah sosial

yang penulis coba rangkum dalam lima pertanyaan besar seperti telah

diuraikan dalam sub bab perumusan masalah di atas. Perlu diungkapkan pula

bahwa penulis sengaja memilih judul ini mengingat bisa dikatakan bahwa

penelitian mengenai sejarah akumulasi modal di Tangerang relatif sedikit


7

menjadi perhatian para peneliti. Dengan demikian, penulis memilih judul

penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi berarti bagi

pembangunan Tangerang di masa mendatang.

Bab kedua adalah mengenai landasan teori dan kerangka berpikir. Dalam

penelitian sejarah, diperlukan pemahaman yang cukup tentang teori maupun

konsep-konsep yang diperlukan dalam penelitian. Pada bab ini penulis

menggunakan beberapa pendekatan konsep. Seperti lazimnya dalam

penelitian sejarah, pendekatan konsep dapat menggunakan pendekatan ilmu

pengetahuan lainnya sebagai ilmu bantu. Salah satu di antaranya mengenai

konsep penetrasi modal yang penulis pinjam dari sejumlah ahli sosiologi dan

ekonomi. Dijelaskan pula bagaimana konsep-konsep tersebut digunakan

melalui kajian pustaka. Sedangkan bagian kerangka berpikir mengemukakan

tentang bagaimana penentuan judul, metode penelitian untuk mendapatkan

fakta sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan hingga metodologi

penelitiannya.

Selanjutnya, pada ba b ketiga mengemukakan tentang metodologi

penelitian sejarah yang akan mengemukakan metode penelitian yang

digunakan, bagaimana metodologi penelitiannya, dan bagaimana

menentukan sumber-sumber sejarah. Metode penelitian sejarah meliputi:

heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Sedangkan metodologi

yang digunakan adalah metodologi strukturalis dimana penelitian akan

menekankan pada aspek perubahan struktur sosial berdasarkan kajian


8

terhadap sumber-sumber pustaka dan dokumen yang telah penulis

kumpulkan.

Bab keempat mengungkapkan hasil temuan penelitian atas lima masalah

pokok yang telah disinggung pada bab pendahuluan. Secara garis besar,

penulis mencoba mensistematiskan temuan dengan memaparkan perubahan

sosial dan pola penetrasi modal pada era kolonial (1684-1942) dan era orde

baru (1966-1998).

Dan akhirnya sebagai penutup, penulis menggarisbawahi paparan pada

bagian sebelumnya dengan kesimpulan-kesimpulan atas lima pokok masalah

yang ingin diungkapkan. Dari lima kesimpulan tersebut, penulis kemudian

menyusun sumbang saran yang diharapkan dapat berguna bagi

pembangunan Tangerang di masa mendatang.


9

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Definisi Konsep

a. Pengertian Penetrasi Modal

Dalam ilmu ekonomi, istilah modal atau capital mempunyai

pengertian yang berbeda-beda, tergantung dari konteks

penggunaannya dan aliran pemikiran yang dianut. Dalam buku The

Wealth of Nation (1776) karya Adam Smith, terdapat banyak

istilah capital dan circulating capital. Menurutnya, sirkulasi modal

berarti apabila seseorang menggunakan modal yang dimiliki

selama jangka waktu tertentu untuk menghasilkan suatu

keuntungan. Adam Smith (1998: 364) menyebutkan:

His capital is continually going from him in one shape, and


returning to him in another, and it is only by means of such
circulation, or successive exchanges, that it can yield him any
profit.

Sedangkan Mubyarto (1973: 94)memberikan definisi sedikit

berbeda. M odal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor

produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru.

Modal dapat diartikan sebagai kekayaan yang dimiliki seseorang

yang tidak segera dikonsumsi melainkan disimpan (saving adalah

poten tial capital), atau dipakai untuk menghasilkan barang atau

jasa baru (investasi). Dengan demikian, modal dapat berwujud


10

barang dan uang. Tetapi, tidak setiap jumlah uang dapat disebut

modal. Sejumlah uang itu menjadi modal kalau ia ditanam ata u

diinvestasikan untuk mendapatkan pengembalian yang lebih besar.

Berbeda lagi dengan pendapat Karl Marx. Ia menggunakan

istilah capital untuk mengacu kepada konsep yang sama sekali

lain. Modal bukanlah barang, melainkan hubungan produksi sosial

yang menampakkan diri sebagai barang. Hubungan tersebut

terbentuk tatkala modal mengalami proses sedemikian rupa untuk

melahirkan hasil yang lebih besar (akumulasi modal). Selama

proses tersebut, berlangsunglah hubungan sosial antara pemilik

dengan pihak bukan pemilik dimana hubungan tersebut diikat

sedemikian rupa agar saling bergantung dan terus terlestarikan.

Nilai menjadi nilai dalam proses, uang dalam proses, dan


sebagai itu, menjadi kapital. Ia keluar dari peredaran, kembali
masuk ke dalamnya, melestarikan, dan memperbanyak diri di
dalam peredaran, muncul darinya dengan suatu ukuran yang
meningkat, dan memulai perputaran yang sama berulang-
ulang kali (Marx, 2004: 140).

Dalam pemikiran Karl Marx, proses akumulasi modal atau

akumulasi capital dimulai dari apa yang disebut komoditas (barang

dagangan). Di dalam usaha membuat barang dagangan hingga

menjualnya, melalui satu fase. Sejumlah uang digunakan dalam

proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Rumus

dasarnya adalah: M (Money) – C (Commodity) – M (Money).

Namun, perlu digaris bawahi bahwa bukan soal investasi uang yang

penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting,


11

karena yang penting adalah memahami proses M–C–M secara

keseluruhan. Mengapa? Sebab, ada mesin tanpa ada tenaga kerja

yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa -apa.

Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Dengan demikian,

modal adalah suatu konsep abstrak yang manifestasinya dapat

berupa barang, jasa tenaga kerja, tenaga kerja, tanah, mesin, atau

uang.

Berdasarkan pemikiran di atas, dalam penelitian ini, istilah

“penetrasi modal dan implikasinya ” penulis artikan sebagai suatu

proses penekanan, meresapkan, penyebaran tentang gerak sistem

akumulasi modal sehingga mempengaruhi dan memberikan

dampak baik secara positif maupun negatif dalam kehidupan

masyarakat Tangerang. Selanjutnya, proses tersebut dilihat melalui

perspektif ilmu sejarah.

b. Pengertian Tangerang

Istilah Tangerang mengandung dua pengertian. Pertama,

menunjuk pengertian umum yaitu sebagai wilayah yang kini telah

berkembang menjadi sebuah kota industri. Hal ini ditandai dengan

penggunaan tanah untuk non pertanian, seperti: pabrik, perkantoran,

ruko, mall, pemukiman, pasar, dan lain-lain. Dengan demikian,

intensitas penggunaan ruang untuk non pertanian makin meningkat

secara tajam atau makin mendominasi. Daerah tersebut terletak

antara 1060 20' dengan 1060 43' Bujur Timur dan antara 6° 00' -6°
12

20' Lintang Selatan. Bagian terbesar daerah ini merupakan dataran

rendah dengan ketinggian antara 0-50 meter di atas permukaan

air laut. Daerah Tangerang termasuk beriklim panas karena berada

di daerah dekat dengan garis katulistiwa. Temperatur rata -rata

sekitar 230-330 C. Rata-rata curah hujan dalam satu tahun 2.043

mm. Sedangkan L uas daerah Tangerang (daerah Kabupaten

Tangerang dan Kota Tangerang) adalah 128.281 hektar atau sekitar

1.283 kilometer persegi dengan jarak bentangan 40 km antara utara

dengan selatan dan 50 km antara barat dengan timur. Daerah seluas

tersebut berbatasan dengan daerah Kabupaten Serang di sebelah

barat, laut Jawa di sebelah utara, daerah Ibukota Jakarta di sebelah

timur, serta daerah Kabupaten Bogor di sebelah selatan (Ekajati,

2004:25-28).

Kedua, menunjuk pengertian administrasi pemerintahan

tingkat Kabupaten dan Kotamadya. Dalam hal ini, Tangerang terdiri

dari dua wilayah administratib yaitu Kabupaten Tangerang dan

Kota Tangerang, yang artinya adalah suatu pemerintahan daerah

yang mayoritas wilayahnya merupakan daerah perkotaan

(Sadyohutomo, 2008:3-4). Daerah kedua pemerintahan tersebut

berada di bawah Provinsi Banten. Untuk pemerintahan Kabupaten

Tangerang, membawahi 24 pemerintah tingkat kecamatan, yaitu:

Balaraja , Cikupa, Ciputat, Cisauk, Cisoka , Curug, Jambe , Jayanti,

Kemiri, Kosambi, Kresek, Kronjo, Legok, Mauk, Pagedangan,


13

Pakuhaji, Pamulang, Panongan, Pasarkemis, Pondok Aren, Rajeg,

Sepatan, Serpong, Sukadiri. Sedangkan Kota Tangerang meliputi

lima kecamatan, yaitu: Tangerang, Batuceper, Cipondoh, Ciledug,

dan Jatiuwung.

Walaupun terdapat dua pengertian, dalam penelitian ini,

pengertian yang digunakan adalah pengertian yang pertama. Oleh

sebab itu, untuk selanjutnya, Istilah Tangerang berarti akan

menunjuk pengertian tersebut.

c. Pengertian Masyarakat

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi

menurut suatu sistem adat- istiadat tertentu yang bersifat kontinyu

dan yang terikat oleh suatu identitas bersama. Kesatuan manusia

tersebut tinggal di suatu daerah, hidup secara kolektif atau

bersosial, berinteraksi satu sama lain, dan saling bergantung.

Menurut Koentjaraningrat, ciri khas kehidupan kolektif; yaitu : (1)

pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam sub-

kesatuan atau golongan individu dalam kolektif untuk

melaksanakan berbagai macam fungsi hidup; (2) ketergantungan

individu kepada individu lain dalam kolektif sebagai akibat dari

pembagian kerja; (3) kerjasama antar-individu yang disebabkan

karena sifat saling ketergantungan; (4) komunikasi antar-individu

yang diperlukan guna melaksanakan kerjasama; (5)

diskriminasi yang diadakan antara individu-ndividu warga


14

kolektif dan individu-individu dari luarnya (Koentjaraningrat,

1986:136).

Kehidupan kolektif manusia atau masyarakat, sangat

dipengaruhi oleh kodrat manusia sebagai makhluk yang berakal

budi. Akal dan budi manusia inilah yang menyebabkan kehidupan

kolektif tersebut terus berubah baik ke arah positif (kerjasama,

perdamaian, keharmonisan, dan lain-lain) maupun ke arah negatif

(konflik, pertentangan, perang, kerusuhan, dan lain-lain).

d. Pengertian Sosial-Ekonomi

Penelitian di bidang sosial ekonomi pada hakikatnya

merupakan penelitian terhadap kehidupan manusia sebagai

makhluk sosial dimana tak lepas dari motif memenuhi kebutuhan

hidupnya. Hubungan antara kehidupan sosial dan ekonomi menjadi

sangat erat.

Menurut Koentjaraningrat, agar seorang ahli ekonomi

berhasil melakukan pembangunan ekonomi di suatu daerah,

diperlukan pengetahuan yang cukup tentang sistem

kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan, dan sikap hidup

masyarakat di daerah tersebut. Maka, ia akan memerlukan bahan

komparatif seperti sikap terhadap kerja, sikap terhadap kekayaan,

sistem gotong royong, dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1986: 36-

37).
15

2. Kajian Pustaka

Menelusuri literatur tentang sejarah Tangerang ternyata tidak mudah.

Selain karena masih terbatasnya hasil kajian, juga karena tersebarnya

sumber sejarah. Sumber-sumber tersebut di antaranya berupa potongan-

potongan data dari arsip pemerintahan Belanda ya ng kini tersimpan di Arsip

Nasional dan beberapa hasil peneliti sejarah, sosiologi, dan Anthropologi.

Sumber sejarah yang tersimpan di Arsip Nasional menyangkut peristiwa di

zaman Hindia Belanda, kebanyakan masih berbahasa Belanda. Penulis

masih sangat awam dengan bahasa Belanda, hal ini menjadi salah satu faktor

kesulitan tersendiri.

Dengan segenap kemampuan yang penulis miliki, akhirnya

penelusuran pustaka dapat diselesaikan. Penulis berhasil menghimpun

beberapa sumber yaitu hasil kajian Tim Pusat Studi Sunda yang terdiri dari

Edi S. Ekajati, A. Sobana Hardjasaputra, dan Muhammad Mulyadi. Hasil

kajian mereka telah dibukukan oleh Pemda Kabupaten Tangerang tahun

2004 dengan judul Sejarah Kabupaten Tangerang . Dalam buku tersebut,

sejarah Tangerang diurai mulai sejak Prasejarah hingga era industri.

Mengingat luasnya wilayah kajian, maka dapat dibayangkan bahwa buku

tersebut berupa gambaran umum sejarah masa lalu Tangerang. Seluruh

aspek kehidupan masyarakat Ta ngerang berusaha ditampilkan seperti

perubahan geografis, administrasi pemerintahan, flora fauna, kehidupan

purbakala, pendudukan VOC disusul Hindia Belanda, Jepang dan era

kemerdekaan. Akibatnya, fokus salah satu bidang tidak bisa mendalam dan
16

kritis. Apa lagi bila dikaitkan dengan sejarah penetrasi modal yang menjadi

fokus skripsi ini.

Kendati demikian, hasil kajian Ekajati dan kawan-kawan sa ngat

berguna bagi penulis dalam memahami secara umum perjalanan sejarah

kehidupan Tangerang. Di samping itu, penelitian mereka cukup menjadi

pijakan awal dalam mengurai secara khusus tentang sejarah penetrasi modal.

Hasil penelitian berikutnya disusun oleh Wahidim Halim yang diberi

judul Ziarah Budaya Kota Tangerang Menuju Masyarakat Berperadaban

Akhlakul Karimah. Hal menonjol dalam laporan penelitian ini adalah

perhatian penulis pada bidang budaya yang dimiliki oleh Tangerang. Nilai-

nilai budaya tersebut ia gambarkan dengan adanya kehidupan Thionghoa

dan kebudayaanya, tempat-tempat bersejarah, bangunan bersejarah seperti

Kelenteng Boe n San Bio, Boen Tek Bio, Rumah Kapitan Tionghoa, dan

lain-lain. Alhasil, buku Wahidin Halim akan sangat berguna terutama dalam

kaitan potensi sejarah dan budaya Tangerang sebagai objek wisata.

Terhadap hasil kajian Wahidim Halim, penulis telah menggunakannya

untuk menyusun data dan fakta terkait potensi budaya baik potensi yang

bersifat positif maupun negatif. Positif berarti aspek budaya tertentu dapat

memberikan peluang bagi tata nilai yang patut dipertahankan sedang yang

negatif berupa potensi konflik akibat keragaman budaya di Tangerang yang

harus selalu diantisipasi.

Bila hanya menggunakan hasil kajian di atas, dalam menyusun skripsi

ini, penulis jelas mengalami kekurangan sumber begitu banyak. Sangat


17

beruntung bahwa penulis juga pernah terlibat dalam penelitian terkait

sejarah perburuhan di wilayah Cikupa, kabupaten Tangerang yang

diselenggarakan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM). Penelitian

dilakukan tahun 2006-2007 dengan fokus seputar problem-problem

kehidupan layak bagi buruh pabrik di Cikupa. Dari hasil penelitian tersebut

diperoleh sekitar 34 transkripsi wawancara dengan pendekatan Oral History

Project (OHP) serta dengan model pertanyaan riwayat hidup menjadi buruh.

Dari transkripsi inilah penulis bisa mendapatkan sumber primer untuk

mendukung pemaparan fakta terkait dampak industrialisasi (baca: penetrasi

modal) pada era orde baru. Penulis memperoleh data-data perubahan sosial

kehidupan Tangerang sekitar Tahun 1970-1998.

Sumber-sumber pendukung berikutnya untuk memperkuat penyusunan

skripsi ini, penulis dapatkan dengan mempelajari hasil penelitian berupa

tesis dan desertasi mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia yang

terkumpul di Perpustakaan Nasional. Kebanyakan berupa hasil kajian

dengan disiplin ilmu sosiologi dan anthropologi. Penulis juga sangat

terbantu dengan adanya data-data dari Badan Pusat Statistik, Perpustakaan

Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) terkait data perubahan pola agraria di

Indonesia.

B. Kerangka Berpikir

Penulis sengaja memilih judul skripsi ini ”Penetrasi Modal di

Tangerang dan Implikasinya antara Tahun 1684 -1942 dan Tahun

1966 -1998” mengingat pokok masalah yang akan dibahas adalah masalah-
18

masalah sosial-ekonomi yang timbul akibat aktivitas manusia dalam menjalankan

sistem akumulasi modal pada masa kolonial dan orde baru. Artinya, dalam skripsi

ini, penulis akan melakukan komparasi antara pola penetrasi modal dan dampak

yang ditimbulkannya pada masa kolonial dengan masa orde baru. Pilihan untuk

membandingkan dua periode tersebut dilakukan dengan pertimbangan: pertama,

penetrasi modal pada kedua periode tersebut adalah periode terpanjang yang

memungkinkan penetrasi modal membentuk pola tertentu dan dampak yang

sistematik. Kedua , pada masa pendudukan Jepang dan orde lama diberlakukan

pembatasan penanaman modal asing sehingga tidak terjadi pola penetrasi modal

yang berdampak signifikan.

Untuk mengurai pokok masalah di atas, penulis telah melakukan penelitian

dengan menggunakan metode sejarah. Dalam ilmu sejarah, metode penelitian

sejarah meliputi empat tahap yaitu: pengumpulan sumber atau heuristik, verifikasi

dan kritik sumber, interpretasi, dan penulisan atau historiografi.

Dalam mengumpulkan sumber, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan

yaitu: Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Lembaga Studi Advokasi Mayarakat

(Elsam), Perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Badan usat

Statistik (BPS), dan Gedung Arsip Nasional. Di tempat tersebut penulis

mengumpulkan literatur yang relevan dengan judul yang telah ditentukan. Maka

terkumpulan sekitar 50 pustaka, 34 transkripsi wawancara, serta sejumlah artikel

dan dokumen seperti kliping dan artikel lepas.

Selanjutnya, penulis melakukan kritik terhadap sumber yang sudah

terkum pul tersebut yang meliputi kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern
19

dilakukan dengan menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tahun penulisan dan

bahasa yang digunakan dalam sumber tersebut. Kritik ekstern digunakan untuk

melihat otentisitas sumber. Se dangkan kritik intern dilakukan dengan cara

menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tema-tema yang dianggap mendekati dan

relevan dengan penulisan skripsi ini. Kritik intern digunakan untuk menjamin

kredibilitas sumber dengan melakukan cross check data-data yang diberikan oleh

sumber sejarah.

Langkah berikutnya, penulis melakukan interpretasi yaitu menemukan

makna yang saling berhubungan dari fakta -fakta sejarah yang masih terpisah-

pisah akibat sudut pandang yang berbeda dari masing-masing sejarawan sehingga

diperoleh fakta -fakta baru. Dari kumpulan fakta baru tersebut, akhirnya penulis

dapat menyusun tulisan dalam bentuk karya sejarah.

Dalam melakukan analisa data, penulis selalu berlandaskan pada kajian

pustaka. Penulis mencoba memahami, membaca, meringkas, dan mengkaji

seluruh literatur hasil penelitian yang telah dilaporkan peneliti-peneliti baik di

bidang ilmu sejarah, sosiologi, maupun anthropologi. Selain itu, didukung pula

dengan data -data yang telah penulis analisa dari kumpulan transkripsi hasil

penelitian perburuhan yang diselenggarakan oleh Lembaga Stud Advokasi

Masyarakat (ELSAM).

Dan selanjutnya, penulis menyusun kesimpulan dari data dan fakta yang

berhasil ditemukan dalam bentuk karya ilmiah dengan suatu metodologi. Dalam

penulisan skripsi ini, penulis telah menganalisa dan menyimpulkan melalui

metodologi strukturalis dengan teka nan terhadap analisis perubahan dan


20

pergeseran kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tangerang. Tekanannya tidak

diletakkan pada untaian peristiwa sejarah (historical events) yang menceritakan

tokoh, atau peristiwa tertentu tapi lebih kepada analisis proses sejarah (historical

process). P eristiwa maupun tokoh dengan begitu hanya disinggung sejauh benar-

benar memberikan pengaruh yang mendalam terhadap proses sejarah tersebut.


21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Menurut Kuntowijoyo (1995 : 12) , sejarah sebagai ilmu terikat pada

prosedur penelitian ilmiah. Urutan kerja atau prosedur yang digunakan biasa

disebut metode sejarah atau metode historis. Metode historis sebagai suatu proses

yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa, atau pun gagasan

yang timbul pada masa lampau untuk menemukan generalisasi yang berguna

untuk memahami sejarah. Menurut Kuntowijoyo metode sejarah mempunyai lima

langkah, yaitu : (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber atau heuristik , (3)

verifikasi dan kritik sumber , (4) interpretasi, dan (5) penulisan atau historiografi.

Langkah pertama yang dilakukan penulis bukanlah pemilihan topik, tetapi

memilih judul. Mengapa? Dalam pe nyusunan skripsi, apa yang akan diungkap dan

diteliti haruslah benar-benar fokus dan mempunyai ruang lingkup yang jelas dan

terbatas. Sebab, tanpa fokus yang jelas, skripsi tidak akan dapat mengungkap

secara tajam dan mendasar. Dalam tahap ini, penulis telah memilih judul

berdasarkan kedekatan emosional yaitu minat penulis yang cukup besar terhadap

masalah dampak industrialisasi. Akan tetapi, penulis tidak melalaikan kaidah-

kaidah fundamental dalam penelitian melalui pendekatan ilmiah.

Langkah kedua adalah heuristik. Pada tahap ini penulis berusaha mencari

dan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dan signifikan dengan fokus

penelitian baik sumber primer maupun sumber sekunder. Penulis melakukan

pengumpulan sumber literatur dengan mengunjungi perpustakaan yaitu:


22

Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Lembaga Studi Advokasi Mayarakat

(Elsam), Perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Gedung Arsip

Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS), dan kunjungan ke daerah kawasan industri

kelurahan Telagasari, Kampung Telaga Kocak, Kecakapan Cikupa, Kabupaten

Tangerang. Pelaksanaan pengumpulan sumber penelitian dilakukan dari bulan

Maret 2009 sampai dengan bulan Juni 2009. Sumber yang didapatkan meliputi 33

buku, dua transkripsi wawancara sejarah buruh di Tangerang, empat jurnal

penelitian, sejumlah artikel lepas, serta berita kliping koran yang penulis himpun

dari internet. Dari 33 literatur yang terkumpul, di antaranya berupa hasil penelitian

sosiologi dan anthropologi untuk tesis pasca sarjana mahasiswa Universitas

Indonesia dan Universitas Gajah Mada. Sementara yang lainnya berupa hasil

penelitian resmi Pemda Kabupaten Tangerang, literatur tentang teori-teori

penelitian sejarah, serta teori sosial dan ekonomi seperti literatur tentang teori

”kota” dan teori kapital.

Langkah ketiga, penulis melakukan kritik sumber yaitu kegiatan meneliti

sumber-sumber sejarah baik secara ekstern maupun intern. Kritik ekstern

dilakukan dengan menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tahun penulisan dan

bahasa yang digunakan dalam sumber tersebut. Kritik ekstern digunakan untuk

melihat otentisitas sumber. Sedangkan kritik intern dilakukan dengan cara

menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tema-tema yang dianggap mendekati dan

relevan dengan penulisan skripsi ini. Kritik intern digunaka n untuk menjamin

kredibilitas sumber dengan melakukan cross check data-data yang diberikan oleh

sumber sejarah. Tujuan melakukan kritik sumber adalah memperoleh data yang

dapat dipertanggungjawabkan agar sesuai dengan permasalahan yang dibahas


23

dalam skripsi ini. Selain itu, kritik sumber dimaksudkan untuk memperoleh

tulisan sejarah yang objektif.

Langkah keempat, penulis melakukan interpretasi yaitu menemukan makna

yang saling berhubungan dari data -data sejarah yang masih terpisah-pisah akibat

sudut pandang yang berbeda dari masing-masing sejarawan. Semua itu

diperbolehkan sepanjang tidak menyimpang dari data-data yang dimiliki. Selain

itu, fakta sejarah akan memiliki arti sejarah apabila sudah mendapat tafsiran yang

dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang relevan sehingga melahirkan fakta

baru yang disajikan dalam bentuk skripsi. Terkait data-data yang digunakan,

penulis berusaha selalu mencantumkan keterangan sumber dari mana data itu

diperoleh.

Langkah kelima, penulisan dalam bentuk karya sejarah. Metode penulisan

skripsi ini adalah metode deskriptif analitis, dengan teka nan terhadap analisis

perubahan dan pergeseran kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tangerang.

Tekanannya tidak diletakkan pada untaian peristiwa sejarah (historica l events)

yang menceritakan tokoh, organisasi, atau peristiwa tertentu tapi lebih kepada

analisis proses sejarah (historical process). Peristiwa maupun tokoh dengan begitu

hanya disinggung sejauh benar-benar memberikan pengaruh yang mendalam

terhadap proses sejarah tersebut. Walaupun demikian, tidak berarti perjalanan

sejarah hanya menjadikan pengujian teori dan konsep yang digunakan disini,

karena data -data sejarah bagaimanapun jauh lebih menentukan sifatnya.

B. Sumber Sejarah
24

Penentuan s umber sejarah memiliki peranan sangat penting dalam menyusun

karya sejarah atau rekontruksi peristiwa masa lampau yang objektif. Pada

dasarnya , sumber sejarah terdiri dari dua sumber yaitu sumber primer dan sumber

sekunder.

1. Sumber Primer

Menurut Louis Gottsc halk, sumber primer adalah kesaksian dari

seseorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera

lain atau dengan alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan

(Gottschalk, 1985: 35). Dalam penulisan skripsi ini, sumber primer yang

penulis gunakan antara lain:

a. Kumpulan transkripsi wawancara penelitian sejarah kehidupan buruh

tahun 1970 di wilayah Cikupa, Kabupaten Tangerang, yang

diselenggarakan oleh Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam)

pada tahun 2006-2007.

b. Crousson, H.C.C Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta:

Masup Jakarta.

2. Sumber Sekunder

Sumber kedua atau sumber sekunder yaitu kesaksian dari siapapun

yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir

pada peristiwa yang dikisahkan (Gottschalk, 1985: 35). Walaupun sumber

sekunder disusun oleh bukan saksi mata (misalnya peneliti sejarah),

namun sumber sekunder tetap dibutuhkan dan mendukung penulisan

skripsi ini. Sumber tersebut antara lain:


25

a. Anantatoer, Pramoedya. 1982. Tempo Doeloe . Jakarta: Hasta

Mitra

b. Anantatoer, Pramoedya. 1998. Hoakiau Di Indonesia. Jakarta:

Garba Budaya

c. Ekajati, Edi S. dkk. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang.

Tangerang:. Pemerintah Kabupaten Tangerang.

d. Setyanto, Guntur. 2000. Interaksi Sosial Etnis Tionghoa dan

Pribumi (Studi Kasus di RT 03 RW 06 Kelurahan Neglasari

Kecamatan Batuceper Kodya Tengerang). Jakarta: Universitas

Indonesia Program Pascasarjana.

e. Multatuli. 1975. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan

f. Murtono. 1998. Proses Tran formasi Masyarakat Pertanian

Menuju Masyarakat Industri (Studi Kasus Tangerang,

Bekasi, Bogor). Jakarta: Universitas Indonesia Program

Pascasarjana.

g. Suryana. 1998. Kontribusi Pembangunan Perumahan dan

Permukiman terhadap Pendapatan Daerah dan Beban

Peme rintah Daerah dalam Pembiayaan Prasarana

Lingkungan, Fasilitas Sosial dan Utilitas Umum, Suatu Studi

Kasus di Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang. Jakarta:

Universitas Indonesia Program Pascasarjana

h. Sadyohutomo, Ir. Mulyono, MRCP. 2008. Manajemen Kota

dan Wilayah, Realita dan Tantangan . Jakarta: Bumi Aksara


26

i. Tjondronegoro, Sediono MP. 1999. Sosiologi Agraria

Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung: Akatiga.

j. Mubyarto, 1992. Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru

1966-1971, Jakarta: LP3ES

k. Halim, Wahidin. 2005. Ziarah Budaya Kota Tangerang

Menuju Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah.

Jakarta: Pendulum.

l. Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesia. Jakarta:

Kompas.

m. Sutiyoso. 2007. Megapolitan . Jakarta: Gramedia.

n. Yunus, Hadi Sabari, MA. 2006. Megapolitan, Konsep,

Problematika, dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

C. Metodologi

Dalam ilmu sejarah, paling tidak terdapat tiga metodologi yaitu metodologi

individualis, strukturalis, dan strukturis. Metodologi individualis mendasarkan

pada teori bahwa perubahan terjadi karena pengaruh tokoh tertentu. Dalam

kacamata ini, sejarah dipandang hanya milik orang-orang besar sedangkan rakyat

jelata dianggap tidak memiliki sejarah. Metodologi kedua merupakan kebalikan

dari individualis dimana memandang bahwa perubahan terjadi bukan karena

pengaruh seorang tokoh tetapi karena struktur sosial sehingga disebut juga

metodologi holis. Sedangkan metodologi ketiga merupakan metodologi yang

mengkombinasikan antara metodologi individualis dan strukturalis.


27

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah menganalisa dan menyimpulkan

melalui metodologi strukturalis dengan teka nan terhadap analisis perubahan dan

pergeseran kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tangerang. Dalam hal ini,

penulis mencoba mencermati kecenderungan-kecenderungan umum pelaksanaan

penetrasi modal atau aktivitas akumulasi modal yang dilakukan kolonial Belanda

maupun rezim orde baru. Kecenderungan-kecenderungan tersebut kemudian

dianalisa dan diklasifikasikan sehingga dapat dirumuskan dalam suatu pola

tertentu. Pola-pola penetrasi modal tersebut tetap harus dilihat sebagai kesatuan

tahapan yang sistematis agar tujuan akumulasi modal dapat tercapai. Pola

penetrasi modal tersebut sengaja dan terencana dijalankan oleh rezim penguasa,

dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda dan orde baru, baik dengan produk

hukum, praktek tangan besi, pembentukan struktur pemerintahan, penataan warga,

dan lain-lain. Dan pada tahap tertentu, setiap pelaksanaan penetrasi modal

berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat Tangerang baik di bidang ekonomi,

sosial, maupun di bidang budaya.

Dengan demikian, tekanan dan isi penulisan skripsi ini tidak terletak pada

untaian peristiwa sejarah (historical events) yang menceritakan tokoh, atau

peristiwa tertentu tapi lebih kepada analisis proses sejarah (historical process).

Peristiwa maupun tokoh dengan begitu hanya disinggung sejauh benar-benar

memberikan pengaruh yang mendalam terhadap proses sejarah tersebut.


28

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum dan Potensi Wilayah Tangerang

1. Asal Mula Nama Daerah Tangerang

Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang,

nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran (dengan satu

maupun dua huruf g) yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang

(Ekajati, 2004: 39). Kata tengger dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”

yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan

Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Daerah yang dimaksud berada

di bagian sebelah barat Sungai Cisadane yaitu Kampung Grendeng atau

te patnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang. Tugu dibangun oleh

Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Seperti dikutip

dalam website Pemerintah Daerah Kotamadya Tangerang

(www.kotatangerang.go.id ), pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf

Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut:

Bismillah peget Ingkang Gusti


Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa


Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
29

Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas


(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang

Sedangkan istilah perang menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut

dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten

dengan tentara VOC. Hal ini dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng

pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng

pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane. Keberadaan benteng tersebut

juga menjadi dasar bagi sebutan daerah sekitarnya (Tangerang) sebagai daerah

Beteng. Hingga masa pemerintahan kolonial, Tangerang lebih lazim disebut

dengan istilah Beteng.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sekitar tahun 1652,

benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan oleh tiga maulana yaitu

Yudhanegara, Wangsakara , dan Santika yang diangkat oleh penguasa Banten.

Mereka mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus menjadi pusat

perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa, diambil

dari sebutan kehor matan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan (tiga

tiang/pemimpin). Mereka mendapat mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa

(1651-1680) melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang

yang merugikan Kesultanan Banten. Namun, dalam pertempuran melawan

VOC, ketiga maulana tersebut berturut -turut gugur satu persatu.

Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terja di pada masa

daerah Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak ditandatangani

perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684. Daerah

Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda


30

tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule) tetapi juga merekrut warga

pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan

di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar tidak mengenal

huruf mati, dan terbiasa menyebut Tangeran dengan Tangera ng. Kesalahan

ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini.

Sebutan Tangerang menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun

1942-1945. Pemerintah Jepang melakukan pemindahan pusat pemerintahan

Jakarta (Jakarta Ken ) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M. Atik

Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken seperti termuat dalam Po No.

34/2604. Terkait pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang tersebut,

Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan tanggal

tersebut sebagai hari lahir pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27

Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan

Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25

Oktober 1984 (Halim, 2004: 7).

2. Kondisi Geografis

Sejak tahun 1993, wilayah Tangerang terbagi menjadi dua wilayah

Administratib yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Daerah

Kabupaten Tangerang terletak di antara 106 0 20' dengan 1060 43' Bujur Timur

dan antara 6° 00'-6° 20' Lintang Selatan. Sedangkan Kota Tangerang terletak

pada. posisi 106° 36' - 106° 42' Bujur Timur dan 6° 6' – 6° 13' Lintang

Selatan. Bagian terbesar kedua daerah tersebut merupakan dataran rendah

dengan ketinggian antara 0-50 meter di atas permukaan air laut. Daerah
31

Tangerang termasuk beriklim panas karena berada di daerah dekat dengan

garis katulistiwa. Temperatur rata-rata sekitar 230-330 C. Rata -rata curah hujan

dalam satu tahun 2.043 mm. Sedangkan Luas daerah Tangerang (daerah

Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang) adalah 128.281 hektar atau sekitar

1.283 kilometer persegi dengan jarak bentangan 40 km antara utara dengan

selatan dan 50 km antara barat dengan timur. Daerah seluas tersebut berbatasan

dengan daerah Kabupaten Serang di sebelah barat, laut Jawa di sebelah utara,

daerah Ibukota Jakarta di sebelah timur, serta daerah Kabupaten Bogor di

sebelah selatan (Ekajati, 2004: 25-28).

Wilayah Tangerang dilintasi beberapa sungai di antaranya sungai

Cisadane yang membagi Tangerang menjadi dua bagian yaitu bagian timur

sungai dan bagian barat sungai. Selain Sungai Cisadane, terdapat pula sungai-

sungai lain seperti Sungai Cirarab yang merupakan batas sebelah barat Kota

Tangerang dengan Kabupaten Tangerang,. Kemudian, Kali Ledug yang

merupakan anak Sungai Cirarab, Kali Sabi dan Kali Cimode. Sungai-sungai

tersebut berada di sebelah Sungai Cisadane, sedangkan pada bagian timur

sungai Cisadane terdapat pula sungai yang meliputi: Kali Pembuangan

Cipondoh, Kali Angke, Kali Wetan, Kali Pasanggrahan, Kali Cantiga, Kali

Pondok Bahar. Terdapat pula saluran air yang meliputi Saluran Mokevart,

Saluran Irigasi Induk Tanah Tinggi, Saluran induk Cisadane Barat, Saluran

Induk Cisadane Timur dan Saluran Induk Cisadane Utara.

Dilihat dari letek topografi dan sumber air yang tersedia, maka memang

sangat ideal bagi Tangerang untuk menjadi area pertanian baik sawah maupun

ladang. Maka tidak heran bila saat masa kolonial Tangerang memang menjadi
32

sumber penghasil pertanian terutama produksi kecap kedelai yang dikenal

bermerk cap Beteng. Namun seiring kebijakan pembangunan di era Orde

Baru, lahan Tangerang kemudian banyak digunakan sebagai area industri.

Wilayah pertanian semakin menyempit. Di sejumlah kecamatan bahkan telah

habis untuk lahan permukiman dan industri.

Tabel 1.
Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990
Pola Jenis Penggunaan Lahan Asal
NO Penggunaan Luas (Ha) Tanah
Lahan Sawah Lainnya
Kosong

1 Industri 469,58 83,12 101,51 284,95


2 Perumahan 26.350,44 9.580,45 150,65 16.619,34
3 Jasa 535,36 345,05 7,41 182,90
TOTAL 27.355,38 10.008,62 259,57 17.087,19
Sumber: BAPPEDA Kabupaten Tangerang Tahun 1990 dalam Rizal, 1993: 87

3. Kependudukan

Mengenai latar belakang penduduk yang mendiami Tangerang, dapat

diketahui dari berbagai sumber antara lain sejumlah prasasti, berita-berita

Cina, maupun laporan perjalanan bangsa kulit putih di Nusantara. Pada

mulanya, penduduk Tanggeran boleh dibilang hanya beretnis dan berbudaya

Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari

Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang penduduk baru

dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan

berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah

kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tanggeran

sebelah barat. Orang Banten yang menetap di daerah Tanggeran diduga

merupakan warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan


33

pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke

wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa juga makin bertambah sekitar tahun 1526

tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal

menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari mereka menetap di wilayah

Tanggeran.

Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad 7

M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tanggeran seiring

berkembangnya Tionghoa -muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian

banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka

juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan

akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang

Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke

daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di

Tanggeran. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-

tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.

Penduduk berikutnya adalah orang-orang Betawi yang kini banyak

tinggal di perbatasan Tangerang-Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang di

masa kolonial tinggal di Batavia dan mulai berdatangan sekitar tahun 1680.

Diduga mereka pindah ke Tanggeran karena bencana banjir yang selalu

melanda Batavia (Ekajati, 2004: 108-109).

Menurut sebuah sumber, pada ta hun 1846, daerah Tangeran juga

didatangi oleh orang-orang dari Lampung. Mereka menempati daerah

Tangeran Utara dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah

Kampung Melayu (Thahiruddin, 1971: 37). Selanjutnya, ketika memasuki


34

jaman Orde Baru, penduduk Tangerang makin beragam etnis. Berkembangnya

industri di sana, mengakibatkan banyak pendatang baik dari Jawa maupun luar

Jawa yang akhirnya menjadi warga baru.

Untuk sekedar memetakan persebaran etnis-etnis di Tangerang, dapat

disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk

etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang

Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran

Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara

sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa (Halim, 2005: 6). Persebaran

penduduk tersebut di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat

banyaknya pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin

mengetahui persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang

lebih mendalam.

Tabel 2.
Penduduk Afdeling Tangerang Tahun 1930
Distrik Onderdistrik Pribumi Eropa Cina Arab Jumlah
Tangerang Tangerang 47.553 191 2.934 62 50.740
Jati 28.774 32 3.419 - 32.225
Serpong 46.450 17 5.394 43 51.904
Cengkareng 42.188 8 4.687 27 46.910
Curug 31.968 2 3.300 - 35.270
Jumlah 196.933 250 19.734 132 217.049
Balaraja Balaraja 39.081 7 2.396 - 41.484
Kresek 4.952 4 558 - 5.514
Tigaraksa 55.971 18 1.738 - 57.727
Jumlah 100.004 29 4.692 - 104.725
Mauk Mauk 91.457 13 10.813 29 102.312
Teliklnaga 38.985 - 5.184 16 44.185
Jumlah 130.442 13 15.997 45 146.497
TOTAL 427.379 292 40.423 177 468.271
(Volkstelling 1930, I, 1933 dalam Suryana et al., 1992: 21-22)
35

Tabel 3.
Tabel Perkembangan Penduduk
Per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Tahun 2000-2005

NO Kabupaten/Kota 2000 2001 2002 2003 2004 2005


Kabupaten
1. Lebak 1.011.788 1.025.088 1.040.871 1.082.012 1.100.911 1.106.788
2. Pandeglang 1.030.040 1.034.710 1.044.047 1.122.228 1.132.899 1.139.043
3. Serang 2.781.428 2.873.256 2.983.384 3.185.944 3.194.282 3.324.949
4. Tangerang 1.652.763 1.669.119 1.735.560 1.776.995 1.834.514 1.866.512
Kota
5. Tangerang 1.325.854 1.354.657 1.416.840 1.462.726 1.488.666 1.537.244
6. Cilegon 294.936 3.1.225 309.225 326.324 331.872 334.408
Banten 8.096.809 8.258.055 8.529.799 8.956.324 9.083.144 9.308.944
Sumber: BPS Provinsi Banten

4. Potensi Wilayah Tangerang

Sejak zaman kolonial hingga era reformasi, nampaknya daerah

Tangerang mempunyai potensi yang strategis baik di bidang ekonomi, sosial,

budaya, maupun politik. Di masa Kolonial Belanda dan Orde Baru,

nampaknya potensi tersebut tidak disia-siakan untuk kepentingan akumulasi

modal.

Pada masa kolonial, wilayah Tangerang menjadi daerah perbatasan

dengan kekuasaan Kasultanan Banten. Akibatnya, pada masa awal VOC

menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan, VOC harus ekstra keras

melakukan penjagaan dan pertahanan di Tangerang. Hal ini terbukti dengan

pendirian benteng pertahanan. Tangerang kemudian berhasil dikuasai VOC

dan diteruskan pemerintah Kolonial Belanda . Lahan Tangerang dipusatkan

untuk menghasilkan beras, kedelai, kopi, dan kerajinan topi dengan

menjadikan daerah partikelir.


36

Pada era Orde Baru, Tangerang tumbuh pesat menjadi sebuah kota

industri. Ribuan pabrik didirikan oleh investor asing maupun nasional.

Tangerang dijadikan daerah untuk menghasilkan akumulasi modal. Hal ini

bisa berlangsung karena Tangerang ditopang oleh beberapa faktor strategis

antara lain: mempunyai jalur transportasi yang menunjang seperti jalan tol,

bandara Soekarno-Hatta, relatif berdekatan dengan pelabuhan Tanjung Priok

dan Merak, serta berdekatan dengan ibukota negara.

Akan tetapi, letak Tangerang yang sangat strategis tersebut juga

menyimpan problem sosial yang kompleks. Pesatnya pertumbuhan Kota

Tangerang karena wilayahnya yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta,

menyebabkan banyak warga yang bekerja di Jakarta kemudian memilih

domisili di Kota Tangerang. Mereka kerap disebut commuter karena memakai

Tangerang sebagai tempat ist irahat tidur malam, sementara segala macam

kegiatan ekonomi di pagi hingga petang harinya banyak dihabiskan di Jakarta.

Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, Kota

Tangerang memiliki keuntungan dan sekaligus kerugian. Keuntungannya, kota

itu bisa ikut nama besar ibukota negara, warganya bisa memanfaatkan fasilitas

publik sebuah metropolitan. Apalagi ditunjang dengan mudahnya aksebilitas

ke kota Jakarta dan kota-kota penting di Banten dan Jawa Barat melalui ruas

jalan tol, hingga memberikan kemudahan untuk saling berinteraksi antar kota.

Ditambah lagi, dengan tersedianya Bandara Internasional Soekarno-Hatta,

maka aksebilitas kota semakin terbuka dengan kota -kota di seluruh Indonesia

bahkan mancanegara. Hal itu kian meningkatkan mobilitas penduduk, bahkan

migrasi penduduk ke dalam daerah Tangerang, terutama daerah perkotaannya,


37

masuklah banyak penduduk baru yang berasal dari luar, baik dari kawasan lain

di Pulau Jawa maupun dari luar Jawa, ataupun orang asing. O leh sebab itu,

etnis dan budaya penduduk daerah ini kian beragam. Kondisi tersebut kian

memperkokoh Tangerang sebagai daerah pertemuan berbagai etnis dan

budaya. .

Namun, karena Tangerang dihuni oleh ragam etnis, di balik itu terdapat

potensi konflik yang tidak sedikit akibat persilangan budaya. Kita hanya

berharap dalam kondisi keragaman etnis dan budaya itu, Tangerang menjadi

daerah yang penduduknya dapat hidup rukun, damai, sejahtera, dan tak

tercerabut dari akar budayanya.

Dampak lain yang menonjol di Tangerang dari pelaksanaan program

pembangunan megapolitan ini, adalah berubahnya segala bidang kehidupan

masyarakat setempat. Semula, penduduknya hanya mengandalkan kegiatan

bidang pertanian untuk menopang hidup. Seiring dengan perkembangan

selanjutnya, mereka mulai mengerjakan berbagai bidang kegiatan ekonomi,

terutama bidang industri, perdagangan, dan jasa yang tentu mengubah pola

dan orientasi hidup masyarakat. Sebagai daerah penyangga ibu kota, wilayah

ini memang dipersiapkan untuk kegiatan perdagangan dan industri,

pengembangan pusat-pusat permukiman untuk menjaga keserasian

pembangunan dengan DKI Jakarta (Halim, 2005: 38).

Fenomena Tangerang sebagai wilayah yang memiliki latar belakang

budaya, dan industri-industri besar serta tempat wisata, mengundang dunia

untuk menengok dan menggali potensi-potensi Tangerang yang tumbuh subur

untuk diberdayakan. Ditunjang dengan letak geografis Tangerang sebagai


38

penyangga kota Jakarta dimana arus roda ekonomi Jakarta memiliki imbas

terhadap kota Tangerang. Limpahan kegiatan ekonomi dari Jakarta selain

merupakan modal penggerak ekonomi perkotaan juga membawa dampak

berupa permasalahan lingkungan, ketersediaan lahan dan tingginya angka

migrasi. Besarnya arus migrasi yang tidak diikuti dengan ketersediaan

lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia serta permasalahan lainnya

menjadikan kota Tangerang menghadapi permasalahan yang kompleks.

Kondisi tersebut perlu diantisipasi dan diberdayakan agar tidak terjadi

penyimpangan potensi alam dan penerapan teknologi tepat guna.

Dari uraian data-data terkait gambaran umum dan potensi wilayah

Tangerang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial yang

terjadi baik di masa kolonial dan Orde Baru sesungguhnya disebabkan faktor

potensi letak geografis yang sangat strategis, yaitu berbatasan langsung

dengan daerah pusat kekuasaan. Walaupun disebutkan menjadi daerah

penghasil beras, jagung, kedelai dan kopi, namun harus diakui bahwa baik

pemerintah kolonial dan Orde Baru menempatkan kesuburan tersebut bukan

sebagai hal utama. Pemer intah Kolonial Belanda cenderung memilih daerah

lain untuk menggenjot komoditas pertanian seperti pembangunan perkebunan

tembakau di Deli Serdang, Sumatra, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan

Jawa Timur. Pemerintah Kolonial Belanda memilih menjadikan Tangerang

sebagai daerah partikelir yang dikelola dan diberdayakan oleh orang-orang

Tionghoa dan Eropa. Dari mereka, didapatkanlah pemasukan melalui pajak

dan sewa tanah. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Anggapraja (tth. :

38-39, 42 dalam Ekajati, 2004: 117) bahwa perkebunan kopi yang terdapat di
39

daerah Rumpin dan Lengkong, bukanlah produsen kopi yang baik, sehingga

penjualan produksi tanaman itu kepada pemerintah hampir selalu rugi.

Walaupun begitu, tetap patut diteliti pula tentang keberadaan pabrik gula di

Kampung Babakan, dan pabrik tenun di Balaraja. Kenapa pemerintah kolonial

mendirikan pabrik tersebut di daerah Tangerang? Apakah produksi tebu di

Tangerang cukup besar? Juga dengan pabrik tenun Balaraja. Sayang, hingga

penulisan skripsi ini disusun, informasi terkait pabrik-pabrik tersebut belum

diketemukan. Dugaan penulis, pabrik-pabrik tersebut tidaklah terlalu

dipandang strategis bagi Kolonial. Hal ini dapat dibuktikan dalam kasus

ambruknya kerajinan topi bambu di Tangerang yang tak pernah bangkit

kembali. Tidak ada upaya pengembangan secara serius dari pemerintah

Kolonial Belanda terhadap produksi home industry topi bambu masyarakat

Tangerang yang sempat dieksport ke Eropa dan dibiarkan gulung tikar pasca

krisis ekonomi tahun 1930. Ini menandakan bahwa potensi tersebut tidak

dipandang sebagai hal utama oleh Kolonial Belanda. Dan rupanya, kebijakan

tersebut juga berlanjut pada era rezim Orde Baru berkuasa. Produksi pertanian

Tangerang dipandang hanya mampu memberikan kontribusi pada masyarakat

setempat, tidak kepada perekonomian nasional. Maka, atas nama

pembangunan nasional, penguasa Orde Baru memilih mengubah Tangerang

sebagai daerah penopang ibu kota negara, Jakarta, terutama untuk daerah

industri dan pemukiman.


40

B. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Kolonial (1684 -1942)

Kehidupan masyarakat Nusantara sebelum mendapat pengaruh

peradaban Hindu-Budha, Islam, dan bangsa Eropa, dipercaya sejarawan sangat

bersifat agraris dan penuh kesederhanaan. Mereka kebanyakan sudah tinggal

menetap dan mengenal sistem irigasi. Mereka tinggal berkelompok di

berbagai lokasi yang subur. Masing-masing anggota masyarakatnya bekerja,

saling menjaga, penuh kesederhanaan, dan saling merawat satu sama lainnya.

Tak ada yang menjadi lebih dari yang lain sehingga pada masa itu belum

tampil sosok raja seperti ketika Nusantara memasuki jaman feodal sekitar

abad keempat masehi. Setiap orang bertani dan berternak (berproduksi) yang

relatif sama jenisnya dan apa yang dihasilkannya menjadi konsumsi bersama.

Untuk mempertahankan pangan komunitas tersebut, biasanya dibuatkan suatu

lumbung untuk stok di masa menunggu panen. Kadang, memang diadakan

suatu pertukaran hasil produksi (barter) misalnya antara masyarakat di

pedalaman yang membawa beras ke pesisir untuk mendapatkan garam.

Namun, sistem pertukaran tersebut sesungguhnya belum bisa dikatakan

sebagai sistem perdagangan yang kini dikenal dimana menuntut suatu ukuran

nilai, permintaan, dan tawar-menawar sebagai syaratnya (Anantatoer , 1998:

106-107).

Situasi masyarakat awal di Nusantara seperti diuraikan di atas,

sesungguhnya masih tergambar pada era kolonial bahkan hingga sekarang

seperti tercermin dalam kehidupan suku Badui. Sementara di era kolonial,

Multatuli mencoba menggambarkan kehidupan petani di Banten sebagai

berikut:
41

... Orang Jawa sebenarnya petani; tanah dimana dia lahir, yang banyak
menghasilkan dengan sedikit keluar keringat, membikin hatinya tertarik
untuk menjadi petani; dan terutama ia dengan seluruh jiwa raganya
berkeinginan untuk menanami sawahnya, dan dalam hal itu ia sangat
cekatan. Ia tumbuh di tengah sawah-sawahnya, gaga-gaga dan tiparnya,
sejak kecil ia mengikuti ayahnya ke ladang, dimana ia membantu ayahnya
membajak dan mencangkul, mengerjakan bendungan dan saluran air untuk
mengairi ladang-ladangnya. Usianya dihitungnya dengan beberapa kali
panen, lamanya waktu dinyatakanya dengan warna batang padi di ladang,
dia merasa senang di tengah-tengah temannya memotong padi; ia mencari
jodohnya di tengah gadis desa yang sambil menyanyi gembira malam hari
menumbuk padi untuk melepaskan kulitnya; memiliki sepasang kerbau
yang akan membajak sawahnya, itulah cita -citanya (Multatuli, 1985: 63)

Namun, secara umum s istem sosial seperti di ata s kemudian berubah saat

pengaruh Hindu-Budha memasuki wilayah Nusantara. Seiring pengaruh

Hindu-Budha berlangsung, sistem feodalisme juga terbangun. Feodalisme

adalah fondasi bagi peradaban Hindu-Budha dimana mengandung dua unsur

yaitu konsentrasi kekuatan (yang berarti timbulnya militerisme) dan

konsentrasi kekuasaan (yang berarti timbulnya hirarki sosial yang keras).

Kedua unsur tersebut bekerja secara bersama-sama. Artinya bahwa kekuasaan

tidak akan ada bila tidak ada kekuatan. Kekuasaan tersebut dibentuk dengan

sistem penindasan dan perampokan atas tenaga kerja, harta-benda, serta jiwa

masyarakat. Seorang raja di jaman kerajaan Hindu-Budha dipandang sebagai

perwujudan dewa/dewi atau Tuhan. Sehingga, segala kehendaknya harus

dituruti bawahannya. Sementara itu, untuk bisa menghidupi bangsawan

bawahan dan tentaranya, maka ia harus mampu mengumpulkan pajak,

mempekerjakan rakyatnya baik dengan memperbudak maupun bagi hasil, atau

merampas seluruh harta penguasa dan daerah yang telah ditakhlukkan. Raja

dan kerajaan kemudian terus bermunculan dan lenyap baik karena

penyerangan kerajaan lain maupun intrik dari dalam. Sementara sistem


42

feodalisme makin berkembang, diferensiasi sosial pun ikut berkembang.

Muncul kebutuhan adanya pertukangan, militer yang besar, penye dia pangan,

penarik pajak, dan lain-lain. Jenis kebutuhan semakin bertambah. Pada masa

ini, profesi sebagai pedagang mulai tumbuh. Tradisi perdagangan yang

sebelumnya tidak ada kini lahir seiring beragamnya keinginan para raja dan

bangsawan untuk mendapatkan kekayaan yang tidak dipunyainya di daerah

yang ia kuasai. Akan tetapi, mengingat tradisi sebelumnya nyaris belum ada

sistem perdagangan, maka di masa feodal ini, budaya perdangangan bagi

masyarakat khususnya pedalaman belumlah kokoh.

Sementara itu, sejak awal abad pertama masehi, orang-orang Arab,

India, Campa, Filipina, dan Tionghoa juga ramai mengunjungi Nusantara.

Perdagangan tersebut dengan sendirinya sudah bersifat internasional. Akan

tetapi, tatkala niaga secara internasional telah berkembang dan di kemudian

menjadi ajang persaingan antar bangsa, di wilayah Nusantara belumlah

terdapat kelas pedagang yang kuat. Kondisi ini terus berlangsung hingga

perdagangan memasuki babak datangnya peradaban Islam hingga kedatangan

bangsa Eropa ke Nusantara.

Tatkala peradaban Islam memasuki Nusantara, sistem sosial yang

berlaku sesungguhnya hanyalah melanjutkan sistem feodal di jaman Hindu-

Budha. Para penyiar agama Islam melakukan penyebaran agama dengan

menempuh kompromi dengan feodalisme Hindu. Pada masa perkembangan

Islam seiring keruntuhan Majapahit, para penyiar Islam memperoleh tanah

atau daerah kekuasaan tertentu lalu menjadi penguasa feodal baru. Demikian

seterusnya hingga keturunan dan bangsawan Islam menyebar di daerah lain


43

yang makin lama, baik kekuasaan maupun daerahnya, makin bertambah kecil,

sampai akhirnya menduduki tempat sebagai tuan-tuan tanah (Anantatoer,

1998: 108-120).

Babak selanjutnya adalah tatkala dunia khususnya bangsa Barat

membutuhkan rempah-rempah di Nusantara sekitar abad 16. Ketika rempah-

rempah menjadi komoditi internasional, golongan pedagang makin

berkembang. Saat itu budaya feodal masih berlangsung. Dalam kancah

persaingan dagang rempah-rempah, para raja langsung memerintahkan rakyat

untuk menghimpunnya. Besar kemungkinan, para pejabat pengumpul barang

dagangan itulah yang kemudian menjadi golongan pedagang (borjuasi). Para

pejabat tersebut kemudian melakukan aktivitas dagangnya di bandar-bandar

atau kota pelabuhan. Saat bangsa Barat berusaha memonopoli perdagangan di

pelabuhan tersebut, merekalah yang pertama kali berhadapan dengan bangsa

Eropa hingga kemudian melahirkan konflik dan perang (Anantatoer,

1998:121-125). Sementara dari konflik dan perang ratusan tahun

menghasilkan kejayaan bangsa Eropa sehingga secara leluasa menguasai

sebagian besar Nusantara. Pelaksanaan kekuasaan dijalankan dengan sistim

lama yaitu feodal.

Tapi datanglah orang-orang asing dan Barat; mereka itu menjadikan


dirinya pemilik tanah itu (Nusantara). Mereka hendak mendapat untung
dari kesuburan tanah itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian
tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang
lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropah. Untuk menggerakkan
orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan
politik sedikit. Mereka patuh kepada kepala-kepalanya (para raja); jadi
cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala -kepalanya itu, dengan
menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka....., dan mereka
berhasil (Multatuli, 1985: 63)
44

Seperti telah disinggung di atas, bangsa Eropa mendatangi Nusantara tak

lepas dari kepe ntingan dagang memperoleh barang komoditas. Demikian

halnya pelaksanaan kekuasaan Kolonial Belanda di Nusantara sangat

dilatarbelakangi oleh motif menguasai perdagangan dunia (merkantilis). Motif

ekonomi tersebut semakin mendominasi setelah meletusnya revolusi industri

abad ke-18 di Inggris. Era setelah revolusi industri secara lazim digolongkan

sebagai era imperialisme modern yang di antaranya ditandai dengan

penguasaan negeri lain, upaya membangun industri besar-besaran

(industrialisasi) sehingga membutuhkan banyak bahan mentah dan pasar yang

luas (kapitalisasi). Bangsa penjelajah dunia (imperialis) mencari dan

menjadikan daerah baru (koloni) sebagai sum ber eksploitasi bahan mentah dan

pasar bagi hasil-hasil industri. Di kemudian hari, juga sebagai tempat

penanaman modal baru untuk dapat melipatgandakan keuntungan (akumulasi

modal).

Dalam memperlakukan Tangerang sebagai daerah pendudukan,

pemerintah Bela nda pun tak lepas dari motif ekonomi tersebut. Setelah

dijadikan daerah partikelir tahun 1684, Belanda berusaha keras agar daerah

tersebut ikut menyumbang pendapatan pemerintah kolonial. Sistem akumulasi

modal dijalankan dalam beberapa tahap yang dapat disebut juga sebagai pola

penetrasi modal khususnya di daerah Tangerang. Sistem tersebut terus

berlangsung hingga tahun 1942. Berikut ini pola-pola penetrasi modal pada

era kolonial:
45

1. Merebut Tangerang dari Kekuasaan Kasultanan Banten

Sebelum menjadi daerah kolonial, Tangerang termasuk wilayah

kekuasaan Kesultanan Banten. Namun, sebuah perhimpunan perusahaan

orang Belanda yang melakukan kegiatan perdagangan di belahan bumi

timur, termasuk wilayah Nusantara yang dikenal dengan nama Verenigde

Oost-Indische Compagnie (VOC), secara bertahap merebut wilayah

tersebut. Dimulai tahun 1619, VOC atau biasa juga disebut Kompeni,

berhasil merebut kota pelabuhan Jayakarta dari tangan kekuasaan Banten.

Selanjutnya nama Jayakarta diganti menjadi Batavia (sekarang Jakarta)

yang kemudian menjadi tempat randez-vous (pangkalan tetap) bagi kapal-

kapalnya dan titik pijak pertama mencengkram Nusantara (Simbolon,

1995: 33). Karena kekalahan itu, Pangeran Jayakarta mengundurkan diri

ke Kasultanan Banten. Akibatnya, hubungan antara Kesultanan Banten

yang telah melindungi Pangeran Jayakarta dengan Kompeni menjadi tidak

serasi. Ditambah lagi dengan perilaku Kompeni yang selalu mendesakkan

kehendaknya untuk monopoli perdagangan di Banten. Sementara itu,

Sultan Banten selalu menolak desakan ter sebut karena Banten menganut

kebijakan ekonomi perdagangan bebas dan kebijakan politik yang

merdeka dan berdaulat. Untuk memaksakan kehendaknya berulangkali

armada Kompeni memblokade pelabuhan Banten. Tatkala dialog tak

membuahkan hasil dan pembicaraan mengalami jalan buntu, maka

pecahlah perang. Perang sempat mereda karena jasa Sultan Jambi dalam

menjembatani kesepakatan damai yang tertuang dalam perjanjian

perdamaian tanggal 10 Juli 1659. Salah satu isi perjanjian itu menyatakan
46

bahwa tapal batas wilayah Kesultanan Banten dengan wilayah

Kompeni Belanda adalah Sungai Cisadane. Sejak itu, daerah

Tangerang sebelah timur Sungai Cisadane menjadi daerah kekuasaan

Kompeni, sedangkan daerah Tangerang sebelah barat sungai itu tetap

merupakan wilayah Kesultanan Banten (Ekajati, 2004:91-92).

Akan tetapi, kesepakatan batas wilayah kekuasaan di atas tidak

bertahan lama. S eluruh daerah Tangerang baik sebelah timur

maupun sebelah barat Sungai Cisadane jatuh ke dalam kekuasaan

Kompeni setelah kekuasaan di Kesultanan Banten beralih dari

tangan Sultan Ageng Tirtayasa kepada puteranya, Sultan Haji.

Pemerintahan Sultan Haji bert entangan dengan sifat ayahnya . Ia

justru menjalin hubungan kerjasama yang menguntungkan pihak

Kompeni. Karena Sultan Ageng tidak setuju dengan sikap anaknya

terjadilah perselisihan antara anak dengan ayahnya. Perselisihan

meruncing tatkala Sultan Ageng Tir tayasa pindah dari Keraton

Surosowan ke Keraton Tirtayasa. Dengan jauhnya pengaruh

Tirtayasa, Kompeni semakin leluasa mempengaruhi dan mengadu-

domba Sultan Haji dengan ayahnya . Akibatnya Sultan Ageng

Tirtayasa terpaksa mengumumkan perang terhadap anaknya

sendiri. Akhir Februari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa

menyerbu Keraton Surosowan. Namun, Sultan Haji segera meminta

bantuan Kompeni. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan

Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Kompeni. Pertempuran

menghasilkan kekalahan di pihak Sultan Ageng Tirtayasa.


47

Kekalahan tersebut menyebabkan la dan para pengikutnya, antara

lain Pangeran Purbaya (adik Sultan Haji), Pangeran Kulon, dan

Syeh Yusuf (penasihat bidang keagamaan) beserta sisa

pasukannya, sempat mengundurkan diri ke daerah pedalaman.

Mula -mula ke hutan Kranggan, kemudian pindah ke hutan Lebak,

terus ke daerah Sajira yaitu daerah perbatasan Lebak dengan Bogor

(Ekajati, 2004:92) .

Pengunduran diri Sultan Ageng Tirtayasa tidak berlangsung

lama karena putranya, Sulta n Haji membujuk ayahnya agar

berkenan kembali ke Kasultanan Surosowan. Sultan Haji masih

mempunyai rasa iba terhadap kesehatan ayahnya yang sudah tua.

Namun tatkala Sultan Ageng kembali ke Surosowan, Kompeni

justru menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan dipe njarakan di

Benteng Batavia. Maka, dipandang dari kepentingan Kompeni,

keberadaan Sultan Haji sangatlah berjasa. Sebagai imbalan jasa ,

disusunlah sebuah perjanjian yang kemudian ditandatangani Sultan

Haji pada tanggal 17 April 1684. Isi perjanjian sebenarnya

hanyalah pembaharuan perjanjian tanggal 10 Juli 1659 yang secara

implisit menyatakan seluruh daerah Tangerang dikuasai

sepenuhnya oleh Kompeni Belanda (Ekajati, 2004: 93) .

Sejak tahun 1684, kejayaan Kesul tanan Banten tenggela m.

Kegiatan perdagangan di wilayah Kesultanan Banten merosot

secara drastis dan digantikan perdagangan yang dimonopoli

Kompeni yang berpusat di Batavia.


48

2. Melanjutkan Sistem Feodal

Setelah wilayah Tangerang dikuasai oleh Kompeni, di tepi

Sungai Cisadane sebelah timur, Kompeni membangun benteng dari

Pakulonan sampai ke Tangerang. Benteng itu dimak sudkan sebagai

pertahanan dari kemungkinan serangan orang- orang Banten

pengikut Sultan Ageng. Kemudian, dibangun pula beberapa lokasi

pemukiman pendu duk di sekitar benteng, antara lain pemukiman

yang kemudian bernama Kampung Kalipasir, Grendeng, dan

Karawaci (Ekajati, 2004:93).

Untuk mengatur wilayah kekuasaannya secara administratib,

pada awalnya VOC menempatkan daerah Tangerang sebelah timur

Sungai Cisadane menjadi sebuah distrik militer dalam wilayah

Batavia bagian barat. Wilayah itu dipimpin oleh seorang komandan

pasukan serdadu Kompeni mengingat relatif belum aman dari

serangan musuh dan juga dalam rangka pembinaan masyarakat

yang tinggal di pemukiman yang baru terbentuk. Namun setelah

keadaan berangsur-angsur tertib, status daerah adminis trasi

pemerintahan Tangerang sebelah timur Sungai Cisadane diubah

menjadi sebuah regentschap (kabupaten) di wilayah Batavia

(Suryana dkk ., 1992: 10,13,54). Jabatan bupati dipegang oleh

bangsa pribumi. Seperti dikutip Ekajati (2004:94-95), bupati-

bupati Tangerang yang diangkat oleh Gubernur Jenderal Kompeni

adalah sebagai berikut.

1). Kiyai Aria Sutadilaga I (1682 - 1739).


49

Ia diangkat menjadi bupati pertama Tangerang tanggal 24

November 1682.

2). Kiyai Aria Sutamanggala I (1739)

Bupati ini memerintah sebentar saja tidak sampai satu tahun,

karena masih dalam tahun 1739 (7 April) ia me ninggal

dunia.

3). Kiyai Aria Sutamanggala II (1739 - 1741?),

Ia adalah putera pertama Bupati Kiyai Aria Sutamang gala I.

Bupati ketiga ini terpaksa diberhentikan dari ja batannya,

karena memiliki reputasi yang jelek.

4). Kiyai Aria Sutadilaga II (1741/42 - 1751).

Ia adalah cucu Bupati Kiyai Aria Sutadilaga 1. Pada

mulanya ia bernama Raden Sleman dan ibunya seorang

beretnis Cina. Ia tewas dibunuh oleh Kiyai Tapa di Cile dug,

karena dipandang sebagai penghianat. Pada waktu itu

bangkit perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ratu Bagus

Buang dan Kiai Tapa untuk menentang kekua saan Kompeni

Belanda di wilayah.

5). Kiyai Aria Sutadilaga III (1751 - 1765).

Ia adalah putera bupati Tangerang keempat yang semula

bernama Raden Arit. Akibat memiliki prilaku buruk, yaitu

pemabuk berat, ia dipecat dari jabatannya, bahkan kemudian

dibuang ke Pulau Edam (Pulau Pandan Besar di Laut Jawa)

sampai meninggal dunia di sana.


50

6). Mas Glissar (1765 - 1766).

Ia adalah kakak bupati Tangerang ke-5. Ia pun dipecat dari

jabatannya, karena pemadat dan penjudi. Ia mengalami nasib

yang sama dengan adiknya, yaitu dibuang ke Pulau Edam

7). Aria Sutadilaga IV (1766 - 1771).

Nama semula adalah Agus Pija. Ia disenangi oleh Kom peni

karena kejujurannya, setia kepada Kompeni, dan bekerja

dengan penuh tanggung jawab.

8). Aria Sutadilaga V (1771 - 1773).

Semula bernama Kiyai Mas Nong, putera Demang Kiyai

Mas Usin. Pada masa pemerintahannya, daerah Ciam pea

dipisahkan dari Tangerang.

9). Tumenggung Aria Sutadilaga VI (1773 - 1802).

Ia adalah putera tertua bupati Tangerang ke -8. Pada mulanya

bernama Raden Ramelan. Dalam menjalankan pemerintahan,

ia dibantu oleh menantunya yang berna ma Raden Man

sebagai patih.

10).Aria Sutadilaga VII (1802 - 1809).

Ia adalah putera bupati Tangerang ke- 9. Dalam menja lankan

pemerintahannya, ia dibantu bahkan diwakili oleh Patih

Raden Demang Ganja, menantu. Raden Man. Soalnya,

ketika diangkat menjadi bupati, Aria Suta dila ga VII masih

berusia muda.
51

Sebagai kepala daerah, bupati berkuasa atas daerah dan rakyat

yang dipimpinnya. Dalam menja lankan pemerintahan, ia dibantu

oleh sejumlah pejabat bawahannya, yaitu: patih, kepala cutak

(demang), patinggi (lur ah atau kepala desa), dan lain- lain. Pejabat-

pejabat bawahan bupati biasanya masih keluarga bupati.

Seperti tercermin dari urutan bupati di atas, ja batan bupati

selalu dipegang oleh keturunan bupati. Bupati memiliki hak untuk

mewariskan jabatan. Kedua, dari sebutan Raden atau Aria , jelaslah

bahwa mereka adalah kalangan bangsawan yang mempunyai darah

keturunan para raja. Mereka direkrut Kompeni untuk menjadi

penguasa bawahannya agar memerintah rakyatnya dengan sistem

feodal. Artinya melanjutkan sistem pemerintahan ya ng sebelumnya

sudah ada. Dengan demikian, posisi tertinggi (raja) berada pada

pihak VOC dalam hal ini Gubernur Jendral. Dalam sistem feodal,

gubernur jendral sebagai raja berhak menguasai seluruh daerah

kekuasaannya beserta segala isinya serta berhak menentukan hidup

rakyatnya. Realitas ini sangat cocok dengan apa yang digambarkan

oleh Multatuli:

Keturunan atau keluarga raja -raja dahulu mempergunakan


kebodohan penduduk yang tidak mengerti bahwa tumenggung,
adipati, atau pangeran sekarang ini adalah pegawai yang
digaji, yang telah menjual hak- haknya sendiri dan hak- hak
rakyat untuk penghasilan tertentu dan bahwa pajak yang
dahulu dibayarnya kepada raja -rajanya telah diganti dengan
pekerjaan yang dibayar sedikit di kebun kopi atau ladang
tebu. Orang merasa hal yang biasa, bahwa beratus-ratus
keluarga mendapat panggilan dari tempat yang jauh, untuk,
tanpa bayaran, mengerjakan ladang- ladang milik bupati, orang
merasa hal yang biasa, bahwa mereka memberikan tanpa
52

bayaran barang makanan untuk keperluan rumah tangga


bupati; dan jika bupati berkenan menyenangi seekor kuda,
seekor kerbau, seorang anak gadis, seorang isteri orang
biasa, maka dianggap luar biasa dan mustahil jika orang itu
tidak mau menyerahkan tanpa syarat apa yang diinginkan itu
(Multatuli, 1985: 65)

Kepada para bupati, Kompeni selanjutnya memberikan

kewajiban utama untuk memungut contingenten , yaitu memungut

hasil bumi di daerahnya sebagai pajak natura (berupa barang) dan

harus diserahkan kepada Kompeni. Sebagai imbalannya, bupati

memiliki hak untuk memungut berbagai jenis pajak dari rakyat.

Sebagian dari pajak itu digunakan oleh bupati untuk menggaji

pejabat bawahannya (Hardjasaputra, 1985 : 49-52, 56).

3. Tangerang Menjadi Daerah Partikelir, Segregasi Rasial

Dijalankan

Kebijakan VOC menjadikan daerah Tangerang sebagai daerah

partikelir merupakan salah satu bagian dari upaya Kompeni

melakukan kontrol kekuasaan dan mengeruk keuntungan dagang.

Setelah Jayakarta diubah menjadi Batavia dan dijadikan pusat

kekuasaan (tahun 1620/1621), pada awalnya VOC merekrut

mayoritas penduduk dari luar Jawa (sebagian adalah budak

rampasan beretnis Tionghoa) dalam wilayah beteng Batavia.

Tujuan utamannya adalah memanfaatkan mereka untuk

menjalankan mesin akumulasi modal dengan menjalankan berbagai

peran. Tindakan mengutamakan masyarakat Cina dianggap begitu


53

strategis bagi kepentingan monopoli VOC, sehingga J.P. Coen sendiri secara

tegas menyatakan hal itu dalam laporannya kepada de Heeren XVII

(dikutip Simbolon, 1995: 45), seperti berikut:

Tak ada golongan masyara kat yang lebih baik bagi kepentingan kita
dan lebih luwes dalam pergaulan kita dari pada masyarakat Cina
(Daer is geen volck die ons beter dan Chinesen dienen en soo licht
als Chinesen to becomen sijn).

Mulanya, warga dari luar Jawa yang direkrut disebut sebagai

warga Batavia. Sedang penduduk asli Jayakarta justru disebut

warga asing. Namun usaha segregasi VOC tersebut harus diubah-

ubah terus mengingat warga Batavia cenderung selalu berbaur.

Pembauran menjadi satu nasib itulah yang dikawatirkan VOC dan

bisa mengancam kekuasaannya. Oleh karena itu, VOC beberapa

kali mengeluarkan ordonansi untuk mengusir maupun melarang

etnis tertentu, terutama etnis Jawa dan orang Banten. Akibat nya,

banyak penduduk Jayakarta yang menyingkir ke pedalaman yang

melahirkan kekawatiran baru bagi VOC .

Ketika permusuhan ancara VOC dan Banten makin gencar, perlakuan


terhadap "orang Jawa" semakin keras. Dalam Ordonansi 25 Juli 1656
disebutkan bahwa semua lelaki Jawa yang dewasa harus keluar dari
dalam kota, tapi keluarga mereka harus tinggal. Ini berarti, keluarga
mereka dijadikan tawanan dan jaminan sekaligus ...
... Salah satu kelompok penduduk kota yang ramai-ramai pindah ke
luar dinding adalah para bekas budak, yang terkena dengan sebutan
Mardijkers. Sebagai kelompok masyarakat pertama di Batavia,
mereka sama pentingnya bagi VOC sebagai sumber tenaga milisi,
sedangkan VOC bagi mereka sebagai sumber nafkah ...
... Diperkirakan, sedikitnya se lama 30 tahun, penduduk Kota Batavia
terus merosot. Antara 1676 dan 1685, jumlah Mardijkers turun dari
sekitar 6.000 ke 2.000. Pada 1690, penduduk dalam kota turun dari
32.000 ke 20.000, sedang penduduk di luar dari hampir tidak ada ke
60.000.123 Begitu cemasnya VOC dengan pembaur an tersebut,
sampai keluar larangan bagi semua kelompok kecuali Cina untuk
54

mengunjungi tempat-tempat hiburan dan rumah judi (Simbolon, 1995:


48-49).

Akhirnya, agar proses pengumpulan komoditas perdagangan

dapat maksimal, Kompeni mengeluarkan pengumuman tentang

penggunaan tanah di daerah sekitar Batavia . Tanah dan perkebunan

yang ditinggalkan oleh pe miliknya dapat dimiliki oleh siapa saja,

asal mampu mengolah ta nah itu dan menyetorkan sebagian

hasilnya kepada Kompeni sebagai sewa tanah (Indonesia. Kempen,

1953: 330- 335 dalam Ekajati, 2004: 96) . Dalam rangka itulah,

daerah Tangerang juga tak luput dari kebijakan tersebut.

Tindakan Kompeni itu memiliki beberapa tujuan. Pertama,


agar penduduk pribumi kembali mengisi daerah Batavia, ka-
rena Kompeni memerlukan tenaga mereka. Kedua, untuk
kepentingan keamanan tanpa mengeluarkan biaya, karena nan-
tinya para pemilik tanahlah yang harus menjamin keamanan di
tempatnya masin g-masing. Ketiga, untuk menambah kas
Kompeni yang diperoleh dari hasil sewa tanah (Ekajati,
2004:96-97).

Namun, karena aturan-aturan yang pasti mengenai status

tanah , sistem kepemilikan perseorangan, serta kewajiban pemilik

tanah, maka pada mulanya Kompeni Belanda memberikan tanah di

Batavia itu sebagai hadiah kepada orang- orang Cina, Arab, dan

orang Belanda yang dianggap berjasa kepada Kom peni, serta

kepada kepala kampung yang turut menjaga keamanan daerah

setempat. Karena tanah yang dimiliki oleh mereka makin luas,

maka mereka itulah yang kemudian menjadi tuan-tuan tanah.

Selanjutnya, bahwa Kompeni telah memberikan kekuasaan

dan kontrol wilayah kepada para bupati-feodal, namun dalam


55

prakteknya mereka tidak memiliki ke mampuan untuk mengurus

daerahnya . Bahkan beberapa di antaranya berulangkali melakukan

tindakan tercela . Akibatnya , status Tangerang sebagai kabupaten

beserta jabatan bupatinya dihapuskan, selanjutnya daerah itu

dimasukkan ke dalam wilayah administrasi peme rintahan Batavia

en Omelanden (Batavia dan Daerah Sekitarnya) yang langsung

ditangani oleh penguasa Kompeni (Gewoone Resolutie v.h. Casteel

Batavia , 3 Maret 1809 dalam Ekajati, 2004:97 ). Tanah di daerah

Tangerang dibagi menjadi bebe rapa persil. Kemudian tiap persil

tanah itu dijual kepada orang-orang kaya di Batavia, terutama

kepada orang Eropa dan orang Cina. Mereka kemudian menjadi

tuan tanah yang menguasai lahan yang disebut tanah partikelir

(Suryana et al., 1992 : 56, 64). Tangerang sebagai tanah partikelir

makin berkembang, setelah berlangsungnya pemerintah kolonial

Hindia Belanda sejak awal abad ke -19.

Di bawah pengelolaan orang -orang Tionghoa dan Eropa,

bangsa pribumi banyak berperan sebagai buruh dan penyewa lahan.

Petani-petani pribumi menggarap sawah milik tuan-tuan tanah Cina.

Mereka harus membayar cuke sebesar 1/5 hasil panen. Mereka juga harus

membayar sewa untuk tanah yang digunakan rumah, peka rangan, dan

tegalan. Selain itu, mereka diharuskan kerja wajib yang disebut kompenian

untuk memelihara jalan dan jembatan. Kompenian dapat diganti dengan

uang. Apabila kerja wajib atau penggantinya tidak dilaksanakan, petani

yang bersangkutan dipidana oleh pengadilan negeri. Sebaliknya, petani


56

yang taat memenuhi kewajibannya, dapat mengolah sawah dan

menggunakan tanah secara turun-temurun.

Tabel 4.
Tanah Partikelir Tangerang
Tahun 1900 -1901

Luas
No Nama Persil Pemilik Penduduk
(bau)
1. Benteng Makasar Gouv. V. Ned. Indie 202 1.325
2. Pasar Tangerang dan Syarifa Mariam dan 422 1.296
Tangerang Barat Abdul Aziz Effendie, dkk
3. Babakan Utara PT Salim Balocel 120 120
4. Tangerang Timur A. Abdul Azis Effendie 563 1.546
dkk
5. Cikokol M. van Delden 625 1.612
6. Panungangan Louw Sek Hie 308 322
7. Priang Oey Hoey Tjay 1.735 2.735
8. Pakulonan Perkeb. Sch. Bergzicht 704 849
9. Pondok Jagung Ong Jum San 723 1.446
10. Lengkong Timur Lim Eng Gie, dkk 687 1.171
11. Babakan Selatan Lim Eng Gie dkk. 7 75
12. Lengkong Timur Ong Kim Tjong ? ?
13. Lengkong Barat The Tjoen Sik 2.266,25 4.073
14. Klapadua Tan Hok Kien 24 28
15. Cihuni Perkebunan Cihuni 2.818 4.035
16. Parungkuda Sow Siow Kong dkk 1.479 3.808
Louw Soey 343 4.424
17. Kedaung Timur Maskapai Pertanian 1.678 ?
Slapanjang Timur 259 3.711
18. Tanah Koja Perkebunan Batuceper ? 4.737
Sumber: Regeering Almanak van Nederlanlandsch Indie, 1900-1931
dikutip Ekajati, 2004: 128)

4. Memperkuat Struktur Pemerintahan

Menginjak akhir abad 18, tepatnya 31 Desember 1799, VOC

dibubarkan karena mengalami kebangkrutan. Kekuasaan di

Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang

kemudian membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Namun pada

tahun 1808, terjadi pergolakan politik di Eropa dima na Belanda

dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis. Akibatnya

kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara dijabat oleh


57

utusan Napoleon yang bernama Gubernur Jenderal H. W. Daendels

(1808-1811). la baru tiba di Batavia tanggal 5 Januari 1808.

Di bawah pemerintahan Daendels , diperkenalkanlah sistem

pemerintahan model barat modern kepada masyarakat pribumi di

Hindia Belanda yaitu sistem sentralistis. Segala kekuasaan dan

keputusan berada pada gubernur jenderal. Semua urusan

pemerintahan, termasuk pemerintahan di daerah diatur oleh

pemerintah pusat di Batavia. Pejabat- pejabat di daerah hanya

menerima dan menjalankan instruksi dari gubernur jenderal. Untuk

jalannya sistem pemerintahan tersebut, Daendels membagi Pulau

Jawa menjadi tiga wilayah, masing-masing disebut prefecture

(wilayah administratif setingkat keresidenan), diperintah oleh

prefect (pejabat kolonial setingkat residen). Ketiga wilayah

dimaksud adalah:

1). Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta -Priangan,

mencakup: Tangerang, Karawang, Buitenzorg (Bogor),

Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakan-muncang,

dengan penduduk berjumlah 200.000 orang.

2). Kesultanan Cirebon dan daerah Cirebon-Priangan,

mencakup: Cirebon, Limbang an, Sukapura, dan Galuh,

dengan pe nduduk berjumlah 350.000 orang.

3). Pesisir Utara Pulau Jawa bagian timur dan wilayah ujung

Jawa Timur yang berpenduduk 1.600.000 orang


58

Namun, dalam praktek pemerintahan sentralistisnya,

Tangerang yang telah masuk daerah perfect Batavia tidak

diperintah oleh pejabat pribumi yang diangkat atau ditunjuk oleh

pemerintah kolonial, melainkan tetap dikuasai oleh tuan-tuan

tanah. Hal itu terjadi karena tanah-tanah di Tangerang dijual dan

disewakan Daendels kepada pihak swasta ( Staat der Nederlandsche

Oost -Indische Bezittingen , 1814), yaitu kepada orang Cina dan

orang Eropa. Sehingga praktek-praktek tuan tanah di daerah

partikelir tetap berlanjut dimana kaum pribumi tetap

termarginalkan.

Kemudian, ketika Nusantara dikuasai oleh Inggris dengan

Gubernur Jenderal T.S. Raffles (1811-1816), sebutan prefecture

diganti menjadi residency (keresidenan) dan prefect menjadi

resident (residen). Raffles juga memperkenalkan jabatan baru

pembantu residen, yaitu asisten residen. Pada masa pemerintahan

Raffles, status Tangerang tetap seperti pada masa kekuasaan

Daendels.

Selanjutnya, pada tahun 1816 ditandatangani kesepakatan baru

dimana Nusantara dikembalikan oleh Inggris kepada pihak

Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melanjutkan

pemerintahan dengan melakukan sejumlah pembenahan. Mengingat

mayoritas daerah sekitar Batavia telah menjadi daerah partikelir

yang dikuasai orang Tionghoa dan Eropa, dan agar kepentingan

akumulasi modal bagi kolonial tetap terjaga maka struktur


59

pemerintah dan personalianya dibentuk dengan dasar kepentingan

tersebut (Ekajati, 2004: 100) . Pejabat pemerintah di daerah pun

banyak diambil dari orang-orang Eropa dan Tionghoa, sepe rti: P.

van Rees sebagai Residen, W.H.H. van Riemsdijk sebagai Asisten

Residen, dan R.J.W.P. Wijnmalen sebagai Sekretaris. Yang

ditempati oleh orang pribu mi hanyalah jabatan yang uraian

tugasnya bertalian dengan keperluan orang pribumi, itu pun hanya

yang bertalian dengan masalah hukum baik hukum umum maupun

hukum agama. Selebihnya, orang pribumi tetap berada pada posisi

terdahulu.

Di daerah Tangerang, terdapat daerah yang dihuni oleh

mayoritas etnis Tionghoa (misalnya Neglasari). Komunitas

Tionghoa tersebut juga diurus oleh orang Cina sendiri.

Pemimpinya disebut Mayor . Mayor Cina di Batavia yaitu Tan En

Goan, yang memiliki anak buah sebanyak 18 orang, terdiri atas 3

kapten (Kon Cun Kiat, Tan Kam Long, dan Lie Tiang Ko) dan 15

orang Letnan. Beberapa Kapten Cina (Kapitein der Chinezen) di

daerah Tangerang antara lain: Liem Cong Hien (Liem Tjong Hien)

(sejak 25 September 1877), Uiy Cong Piauw (Oeij Tjong Piauw)

diangkat sebagai Kapten Cina Kehormatan (RA, 1882: 125 dalam

Ekajati, 2004: 101).

Begitu pula dengan daerah pemukiman etnis lain, misanya di

lokasi pemukiman kelompok orang Arab dan Bengali. Pemukiman


60

orang Arab dipimpin oleh Syekh Said bin Salim Naum dan Kapiten

Bapa Saf sebagai Kepala Kelompok Orang Bengali.

Di distrik Tangerang ditempatkan pula seorang Kepala Polisi

(Hoofdschout) untuk menangani masalah keamanan di daerah

sebelah barat Batavia yang dijabat oleh J.F. Meijer (RA, 1850: 45-

50). Selanjutnya, pemerintahan tiap distrik di Tangerang di pimpin

oleh kepala distrik dengan sebutan demang.

Tahun 1860-an Pernerintah Hindia Belanda memperke nalkan

sebutan afdeling untuk wilayah administratif di bawah keresidenan.

Dalam hal ini, Tangerang menjadi salah satu af deling di wilayah

Keresidenan Jakarta. Hal itu berarti kota Tangerang memiliki

kedudukan administratif rangkap, yaitu sebagai ibukota afdeling

dan merangkap sebagai ibukota distrik. Di Keresidenan Batavia

sendiri terdapat empat afdeling, yaitu Afdeling Kota dan

Sekitarnya yang memiliki tujuh distrik dengan 131 desa, Afdeling

Meester Cornelis (Jatinegara) yang memiliki empat distrik dengan

693 desa, Afdeling Tangerang yang memiliki tiga distrik dengan

540 desa, dan Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang memiliki enam

distrik dengan 1058 desa. Ketiga distrik di lingkungan Afdeling

Tangerang yaitu Distrik Tangerang Timur yang meliputi 208 desa,

Distrik Tangerang Selatan yang meliputi 199 desa, dan Distrik

Tangerang Utara yang meliputi 133 desa. Data statistik tahun 1867

menyatakan Afdeling Tangerang memiliki luas wila yah 23.510


61

geografi mil persegi atau lebih- kurang seperlima dari luas wilayah

Keresidenan Batavia . (117.90 0 geografi mil persegi).

5. Pembangunan Infrastruktur dan Peningkatan Produksi untuk

Mempercepat Akumulasi Modal

Untuk menunjang aktivitas akumulasi modal yang menguntungkan

Pemerintah Hindia Belanda maka diperlukan prasarana transportasi dan

komunikasi. Pada tahap awal, prasarana yang dibangun adalah jalan. Pada

tahun 1680, diperkirakan sudah dibangun jalan darat yang

menghubungkan antara Banten, Sumedang, dan Cirebon yang melalui

Tangerang. Hal ini terbukti dengan adanya pertemuan antara penguasa

Banten dengan wakil penguasa Sumedang dan Cirebon di

Pasanggrahan. Pasanggrahan adalah kota pertama di dae rah Tangerang

pedalaman. Dalam pertemuan tersebut, oleh Kasultanan Banten, Tange-

rang ditetapkan dengan status kemaulanaan dengan ibu kota Pasanggrahan.

Maka besar kemungkinan jalan raya kala itu memang sudah ada, hanya

saja masih sederhana, berupa jalan kecil atau jalan setapak. Jalan serupa

tentu terdapat pula yang menuju ke persil-persil tanah partikelir. Boleh jadi

waktu itu kuda merupakan sarana transportasi, khususnya bagi para

pejabat.

Menginjak akhir abad ke-17, di bawah kekuasaan VOC, boleh jadi

antara Batavia dan Pesanggrahan sudah dihubungkan oleh jalan untuk

memudahkan pihak Kompeni mengontrol daerah Tangerang. Dan

selanjutnya, hubungan daerah Tangerang dengan daerah lain semakin


62

meningkat setelah dibangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) atas prakarsa

Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Jalan raya itu membentang antara

Anyer sampai Panarukan di ujung timur Jawa Timur dengan panjang

1.000 km. Di daerah Jawa Barat, jalan raya itu dibangun sekitar

pertengahan tahun 1808, melewati Serang - Tangerang - Jakarta - Bogor -

Cianjur - Bandung - Sumedang - Cirebon (Orgaan der Nerdelrlandsche

Zendingsvereeniging, XXXIV ste Jrg., 1894: 102 dan Joekes, 1927, cf dalam

Hardjasaputra, 2002 : 28-29).

Namun, patut diingat pula bahwa selain jalur darat, besar

kemungkinan transportasi sungai juga menjadi salah satu alternatif

masyarakat Tangerang. Kegiatan ini diduga telah terjadi sejak zamnan

Kerajaan Sunda hingga abad ke19. Melalui jalur sungai, hasil-hasil bumi

seperti: kopi dan produk pertanian lain diangkut dengan perahu melalui

sungai dan laut pesisir utara ke Jakarta.

Berikutnya tahun 1836, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan

surat keputusan tanggal 28 Januari 1836 nomor 24 dan tanggal 20 Februari

1836 nomor 30, menyetujui pembangunan jalan kelas dua di wilayah

Keresidenan Batavia, termasuk Afdeling Tangerang dan Afdeling

Bogor. Jalan yang dibangun antara lain: jalan dari Tangerang ke daerah

Jakarta dan ke Parung, dan jalan raya dari Bogor melalui Semplak ke

Kuripan.

Dengan adanya jalur transportasi di atas, mobilitas penduduk

semakin meningkat. Dalam akumulasi modal, mobilitas penduduk yang

paling utama adalah pengangkutan hasil pertanian dan industri. Sarana


63

transportasi tradisional yang digunakan, khusus untuk mengangkut barang

dalam jumlah cukup banyak adalah pedati. Pada tahun 1864, misalnya,

pedati di daerah Tangerang barat berjumlah 153 buah. Pedati digunakan

pula untuk mengangkut garam yang diperlukan oleh penduduk di daerah

pedalaman (Ekajati, 2004:115-116).

Pada pertengahan abad ke-19 di Tangerang dibangun sara na untuk

kepentingan pemerintah kolonial, antara lain kantor pengadilan.

Pembangunan sarana ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan

pemerintah kolonial dan tuan tanah, karena di daerah Tangerang sering

terjadi tindakan kriminal (Koloniaal Verslag, 1860. 44 dalam Ekajati,

2004: 116).

Pada paruh pertama tahun 1870-an dibangun jalan kereta api antara

Jakarta-Bogor. Jalan kereta api itu kemudian diperpanjang ke arah barat

menuju Rangka s Bitung – Serang Anyer, dengan simpangan ke

Tangerang dan Labuan. Keberadaan sarana transportasi modern itu telah

menyebabkan peningkatan transportasi dan komunikasi di, dari, dan ke

daerah Tangerang (Reitsma, 1928: 19 dan Bulletin of the Colonial

Institute of Amsterdam, Vo. II, 1938-1939 : 284, cf. Asia Raya, 21 Mei

2602 dalam Ekajati, 2004: 116).

Dengan infrastruktur transportasi darat yang cukup memadahi,

pemerintah kolonial kemudian meningkatkan hasil produksi di Tangerang.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebagian besar wilayah Tangerang

dikuasai oleh orang-orang Tionghoa dan Eropa. Selain pertanian, mereka

juga menggeluti bidang perdagangan dan industri kerajinan. Sementara


64

itu, kaum pribumi sebagian menjadi petani di lahan sendiri dan mayoritas

lainnya menggarap sawah milik tuan-tuan tanah Tionghoa dan Eropa.

Pribumi yang menggarap lahan tuan tanah harus membayar cuke sebesar

1/5 hasil panen. Mereka juga harus membayar sewa untuk tanah yang

digunakan rumah, peka rangan, dan tegalan. Selain itu, mereka diharuskan

kerja wajib yang disebut kompenian untuk memelihara jalan dan jembatan.

Kompenia n dapat diganti dengan uang. Apabila kerja wajib atau

penggantinya tidak dilaksanakan, petani yang bersangkutan dipidana oleh

pengadilan negeri. Sebaliknya, petani yang taat memenuhi kewajibannya,

dapat mengolah sawah dan menggunakan tanah secara turun-temurun.

Tuan tanah Tionghoa kemudian mewariskan lahannya secara turun-

temurun. Lahan warisan tersebut disebut tanah teko Mereka biasanya

menggunakan tenaga penduduk pribumi sebagai buruh yang disebut

bujang sawah. Di tanah Pangkalan, pesaw ahan dibagi dalam tiga

kategori, masing-masing 30% untuk"tanah teko" dan tanah kongsi, dan

40 persen lainnya untuk tanah usaha. Tanah kongsi adalah tanah yang

diusahakan sendiri oleh tuan tanah, tetapi tetap menggunakan tenaga

pribumi atas dasar bagi hasil. Untuk pengolahan tanah kongsi, tuan

tanah menerima 2/5 hasil panen, yaitu 1/5 hasil panen ditambah cuke

1/5 dari hasil panen. Apabila tuan tanah yang menyedia kan bibit, tenaga

hewan pembajak (kerbau atau sapi), dan peralatan lain, tuan tanah

menerima la gi 1/5 hasil panen se bagai bayaran atas fasilitas yang

disediakan (Indonesia. Arsip Nasional, 1981: VL-IVL dalam Ekajati,

2004: 117).
65

Perlu dicatat pula bahwa sebelum dekade pertama abad 19 dimana

pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang-orang Tionghoa menjadi

penguasa partikelir, sebenarnya di Tangerang juga terdapat masyarakat

Tionghoa yang hidup layaknya pribumi. Mereka menjadi golongan rendah

yang biasa melakukan berbagai macam pekerjaan sebagai matapenca-

harian seperti: membuka kedai atau toko kecil, beternak babi, tukang

memperbaiki perahu, dan petani. Para petani Cina umumnya menanam

kacang di ladang, karena pengolahan sawah didominasi oleh petani

pribumi. Sebagian petani pribumi adalah petani kopi. Perkebunan kopi di

Tangerang merupakan warisan dari Kompeni. Perkebunan kopi antara lain

terdapat di daerah Rumpin dan Lengkong. Akan tetapi Tangerang bukan

produsen kopi yang baik, sehingga penjualan produksi tanaman itu kepada

pemerintah hampir selalu rugi (Anggapraja, tth. : 38-39, 42 dalam Ekajati,

2004: 117).

Untuk keperluan mengolah sawah, di Tangerang terdapat ribuan ekor

kerbau dan sapi. Tahun 1880 misalnya, kerbau dan sapi ya ng terserang

penyakit pes berjumlah lebih dari 6.000 ekor. Pada tahun 1891, luas sawah

dan tegalan di wilayah Afdeling Tangerang tercatat sebagai berikut:

Distrik Tangerang luas sawah 26.878 bau dan tegalan 15.675 bau , Distrik

Balaraja luas sawah 23.212 bau dan tegalan 29.818 bau , Distrik Mauk luas

sawah 23.153 bau dan tegalan 10.349 bau (Ekajati, 2004: 117-118)

Untuk menunjang pangairan persawahan, dibuatlah sistim irigasi dari

sejumlah sungai, terutama Sungai Cisadane dan Sungai Cidurian. Namun,


66

pembangunan sistem pengairan di daerah Tangerang dikenal sangat

lambat.

Pada tahun 1920-an baru selesai dibangun bendungan Cisadane, dekat


Pasar Baru dan bendungan Cimanceuri dekat Rancasumur, rehabilitasi
tanggul di Cidurian, Cimanceuri, dan Cisadane. Awal tahun 1930-an,
irigasi dibangun di beberapa daerah Tangerang. Irigasi di sebelah uta ra
jalan Jakarta—Serang diurus oleh Dinas Pengairan Afdeling Batavia.
Irigasi lainnya diurus oleh Dinas Pengairan Provincie West Java
(Propinsi Pasundan) yang dibentuk bulan Agustus 1925 dan mulai
berlaku tanggal 1 Januari 1926. Sementara itu, saluran tersier dipelihara
oleh para petani sendiri (Indonesia. Arsip Nasional, 1980: xxxi, cxvii
dikutip Ekajati, 2004: 118)

Bendungan Pasar Baru Irigasi Cisadane, sekarang dikenal dengan

nama "Pintu Air Sepuluh". Sesuai namanya bendung ini memiliki 10 pintu

air, masing-masing selebar 10 meter. Pembangunan pintu air tersebut

sempat mendatangkan para pekerja dari Cirebon.

Upaya peningkatan irigasi lainnya antara lain: membangun bagian

ketiga saluran induk Cidurian, membuat bagian pertama saluran induk

Cisadane barat dan sarana pelengkapnya , meluruskan aliran Cisadane yang

berhubungan dengan bendungan Pasar Baru, membuat bagian keempat

saluran induk Cidurian. Tentunya, dengan pembangunan tersebut

pemerintah kolonial sangat mengharapkan agar hasil panen bisa terus

meningkat sehingga dapat meningkatkan kas pemerintah.

Selain bertani, penduduk Tangerang ada juga yang beternak babi

dengan meniru model peternak Tionghoa, Daging babi banyak dijual ke

Batavia terutama pada orang-orang Eropa dan Tionghoa. Ada juga yang

memelihara domba. (Indonesia. Arsip Nasional, 1980: cxv, cxxxvi dikutip

Ekajati, 2004: 119).


67

Aktivitas perdagangan Tangerang banyak berpusat di pasar tradisional

antara lain di kota Tangerang, di ibu kota distrik, di Balaraja , Mampang,

dan Pasar Baru yang berada tidak jauh dari bendungan Cisadane. Aktivitas

perdagangan di pasar-pasar tersebut juga membuka peluang pekerja an

baru antara lain buruh kuli angkut yang banyak digeluti tidak hanya oleh

pribumi tetapi juga sebagian beretnis Tionghoa.

Selain berprofesi sebagai tuan tanah, peternak babi, kuli angkut,

pedagang, orang-orang Tionghoa di Tangerang ada juga yang bekerja

sebagai mandor dan kuli di perkebunan tebu, dan kuli kereta api. Sebagian

orang Cina bekerja sebagai mandor pabrik gula yang terdapat di Kampung

Babakan. Upah bagi mereka diberikan dengan sistem harian seperti dikutip

Ekajati (2004: 119) dari Koloniaal Verslag, 1904, 1906 berikut ini:

Pada tahun 1904, misalnya, besar upah harian tenaga pribumi di


Tangerang adalah: mandor perkebunan f 0,50 - f 1, kuli perkebunan f
0,25 - f 0,40, tukang batu dan tukang kayu f 0,60 - f 1. Upah tenaga
Cina adalah: mandor pabrik gula f 0,75 - f 1,50, tukang batu dan
tukang kayu f 0,70 - f 1,50, kuli f 0,40 -f 0,70.

Sayang sekali, hingga penulisan skripsi ini dilakukan, penulis

belum berhasil mendapatkan informasi secara lebih jauh mengenai

pabrik gula tersebut. Sebetulnya, informasi tersebut dapat dijadikan

acuan terhadap permulaan kapitalisasi di Tangerang yang biasanya

ditandai dengan penggunaan mesin-mesin modern dan tenaga buruh

yang banyak. Bila di pabrik gula demikian halnya, maka sebenarnya

era kapitalisme sudah berlangsung di Tangerang.

Informasi tentang industri lainnya yang cukup menonjol justru

masih tergolong home industry, yaitu industri kerajinan topi dari


68

anyaman bambu dan pandan. Konon, topi- topi tersebut dikenal sangat baik

kualitasnya sehingga mampu menembus pasar dunia. Produk kerajinan

topi diekspor ke Amerika dan Eropa (terutama Perancis) melalui

pelabuhan Tanjung Priuk. Topi-topi tersebut dianyam oleh kaum pribumi

dan diperdagangkan di dalam negeri oleh orang Tionghoa sedangkan

pemasaran ke luar negeri banyak dilakukan oleh pedagang Eropa.

Gambaran tingginya nilai ekonomi topi bambu dari Tangerang,

ditunjukkan oleh angka -angka ekspor sebagai berikut.

Tabel 5 .
Ekspor Topi dari Tangerang
Nilai Tiap
Tahun Jumlah Nilai Total
Topi
1913 5.495.394 f 1.328.820 26 sen
1917 2.573.033 f 668.983 26 sen
1922 2.826.058 f 847.817 30 sen
1928 4.947.104 f 2.044.889 41 sen
1929 4.436.568 f 1.009.878 23 sen
1930 2.935.745 f 445.165 16 sen
1931 1.163.307 f 147.529 13 sen

(Indonesia. Arsip Nasional, 1980 : cxv dalam Ekajati, 2004: 120).

Kejayaan topi Tangerang baru berakhir sekitar tahun 1930 dan hingga

kini tak mampu bangkit kembali. Kemunduran tersebut diawali dengan

merosotnya eksport akibat adanya perubahan mode yang diminati pasar

dunia dan saingan mode topi dari pengrajin di Amerika Selatan. Selain itu

karena adanya krisis ekonomi tahun 1930 dimana menghantam eksport-

import dunia . Bahkan akibat krisis tersebut perusahaan tenun di Balaraja

"gulung tikar" (Ekajati, 2004: 120 dan Brousson, 2007: 72-74).


69

Dari lima pola penetrasi modal di era Kolonial Belanda , paling tidak dapat

kita tarik beberapa benang merang. Pertama, penetrasi modal yang dilakukan

Kolonial Belanda di Tangerang dijalankan secara sistematis, bertahap, dan

terencana. Perancanaan dimulai sejak era VOC mencoba merebut daerah

Jayakarta kemudian dijadikan Batavia sebagai randez-vous (pangkalan tetap) bagi

kapal-kapalnya dan titik pijak pertama mencengkram Nusantara (Simbolon, 1995:

33). Dari Batavia, VOC dan Kolonial Belanda melancarkan strategi- strategi

berkelanjutan untuk mencapai tujuan utamanya, akumulasi modal.

Kedua, implementasi perencanaan penetrasi modal Kolonial Belanda selalu

dimuarakan bagi keuntungan kolonial baik melalui penerapan sistem feodal,

menjadikan daerah partikelir, pelaksanaan segregasi rasial, maupun pembangunan

infrastruktur dan peningkatan produksi. Pemerintah Kolonial Belanda sangat

mengetahui bahwa masyarakat di nusantara, khususnya Tangerang, masih sangat

feodal dimana tetap memandang dan mau mengikuti para keturunan raja atau

bangsawan. Sebab, di benak masyarakat sudah begitu mengakar bahwa para

bangsawan dianggap mempunyai kesaktian dan dipilih dewa atau Tuhan untuk

menjadi pemimpin mereka. Dengan ”melumpuhkan gerakan melawan Belanda”,

Pemerintah Kolonial selanjutnya mendekati dan merekrut para bangsawan yang

sudah tak ”bertaring” tersebut agar mau menjadi aparatur pemerintah Kolonial.

Walaupun dalam perjalana n beberapa kaum bangsawan tersebut disingkirkan

karena kurang cakap atau suatu tindak asusila, tetapi masyarakat dibuka matanya

bahwa mereka harus tunduk pada kepentingan kolonial sebagai ”bangsawan

baru”, sebagai kelompok yang mempunyai ras lebih tinggi dari pada bangsawan,

yaitu ras kulit putih. Setelah, masyarakat dibukakan matanya bahwa bangsawan
70

pemimpin mereka ”tidak becus” menjadi pemimpin, diangkatlah golongan baru

sebagai penggantinya yaitu kaum Tionghoa yang menggantikan kedudukan

sebagai penguasa tanah partikelir atau tuan-tuan tanah. Kepada merekalah, warga

pribumi harus tunduk. Di bawah kaum Tionghoa, nampaknya pemerintah

kolonial mendapat keuntungan ganda. Di satu sisi, mereka menjadi pengumpul

pajak yang bisa menambah pundi-pundi kas pemerintah kolonial, di sisi lain,

pemerintah mampu melakukan pemetaan (maping) kekuatan. Sebab, pemerintah

kolonial di mana pun selalu kawatir apabila di daerah pendudukan terjadi

pembauran dan persatuan berbagai ras dan suku. Pemerintah kolonial kawatir bila

tum buh kesadaran ”nasionalisme” sehingga terbentuk kekuatan baru untuk

melawan. Dengan segregasi rasial antara pribumi, Tionghoa, dan Eropa maka

Pemerintah Kolonial dapat selalu melancarkan strategi tertentu yang

menguntungkan. Bila ada kecenderungan pembauran, maka perlu ”diadu-domba”.

Selanjutnya, dengan kendali tersebut, pemerintah Kolonial dapat secara leluasa

mengeluarkan kebijakan lebih lanjut seperti memperkuat struktur pemerintahan,

maupun pembangunan infrastruktur dan peningkatan produksi yang

menguntungkan.

C. Anti Cina: Reaksi Masyarakat Tangerang terhadap Kebijakan

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Selama Nusantara diduduki pemerintah kolonial, sistem segregasi rasial

(penggolongan masyarakat berdasarkan ras dan perbedaan perlakuan) hampir

diterapkan di seluruh daerah pendudukan. Sementara itu, kaum pribumi (inlander)

berada pada posisi yang paling rendah baik perlakuan yang diberikan maupun
71

implikasinya. Hal ini berlaku juga dalam kehidupan pribumi di Tangerang. Para

buruh tani penggarap lahan partikelir berada pada posisi yang selalu tertindas

terutama oleh tuan-tuan tanah Tionghoa di daerah-daerah yang didominasi tuan

tanah Cina . Dalam prosesnya penindasan tersebut menimbulkan rasa

ketidakpuasan dan kebencian terhadap etnis Tionghoa bahkan tindakan

pemberontakan.

Walaupun demikian, bukan berarti di seluruh Tangerang timbul gejolak anti

Cina. Sebab, dari jaman kolonial hingga saat ini, terdapat daerah yang relatif

harmonis menjaga relasi antara etnis Tionghoa dan Pribumi. Daerah tersebut

berada di Neglasari. Menurut hasil penelitian Guntur Setyanto (2000: 41-45), di

wilayah RT 03/06 Neglasari, perbandingan etnis Tionghoa dengan Pribumi adalah

49% Tionghoa dan 51% pribumi (Sunda Tangerang) dengan mata pencaharian

bertani, beternak, wiraswasta dan karyawan pabrik. Masyarakat di daerah tersebut

tidak pernah terlibat konflik sara, hidup kental dengan gotong royong. Misalnya

saat umat islam membersihkan mushola, warga lain ikut membantu, bahkan di

perkampungan ini terdapat ternak babi yang lokasinya berdekatan dengan tempat

ibadat muslim tetapi tidak pernah dipermasalahkan. Namun, dalam pandangan

penulis, gejolak anti cina akibat kebijakan segregasi rasial yang dijalankan

kolonial relatif lebih menonjol.

Awalnya, penduduk pribumi menerima dan menjalankan pengolahan tanah

milik tuan tanah. Mereka wajib membayar cuke atau pajak dan berbagai kerja

wajib yang sangat memberatkan. Kerja wajib terdiri atas heerendiensten, yaitu

kerja wajib untuk tuan tanah; kerigan (desadiensten ) berupa perbaikan jalan,

jembatan, pematang, dan lain-lain; serta gugur gunung , yaitu perbaikan


72

infrastruktur desa yang rusak. Untuk melancarkan kepentingan tuan tanah,

direkrutlah para jawara yaitu orang-orang yang mempunyai olah kanuragan

atau beladiri dan ditakuti warga.. Jawara sengaja dipelihara para tuan tanah

dengan tugas khusus menjaga dan melindungi tanah partikulir beserta tuan tanah

sebagai pemiliknya. Tindakan para jawara seringkali menjadi alat tuan tanah

menekan dan, menakuti agar para penggarap mematuhi dan melaksanakan kewa-

jiban-kewajibannya dan tidak berbuat hal- hal yang bisa mengganggu keamanan,

merusak tanah, mengancam hidup tuan tanah beserta keluarganya, dan mangkir

atas kewajiban-kewajiban mereka. Tak segan-segan jawara itu menindak

petani penggarap dengan cara kekerasan fisik dan menyita harta benda yang

dimilikinya (Ekajati, 2004: 129-130).

Terbentuklah kesenjangan sosia l dan ekonomi yang mencolok antara

kehidupan petani penggarap yang mayoritas pribumi dengan para tuan tanah

yang mayoritas adalah orang Tionghoa. Para tuan tanah Cina makin kaya,

karena mereka terus menambah pemilikan tanah partikelir. Sebaliknya, para

petani hidup dalam suasana kekurangan. Kondisi itu terutama terjadi di tanah

Pangkalan. Di daerah itu, 60 persen luas tanah dikuasai oleh orang-orang Cina,

padahal mereka adalah penduduk minoritas. Mereka memiliki hak lebih banyak

dari petani, sehingga kekuasaan mereka pun sangat besar.

Gambaran kondisi kaum pribumi di atas itulah yang menyebabkan konflik

antara kelas majikan dan buruh. Konflik semakin diperparah oleh perilaku pejabat

kolonial yang tidak mempunyai empati dan keberpihakan pada kelas buruh.

Mereka justru lebih banyak melindungi kaum tuan tanah. Pola penindasan kelas

sosial tersebut tak mampu diredam oleh nilai-nilai tradisional masyarakat pribumi
73

seperti tradisi gotong-royong, tepa selira, dan lain -la in. Nilai-nilai masyarakat

agraris semakin luntur akibat waktu hidup kaum penggarap banyak tersita untuk

menjalankan sistem produksi tuan tanah dengan bekerja keras di lahan partikelir.

Kehidupan khas agraris yang kental dengan kegotong-royongan luruh. Timbulah

krisis identitas sebagai manusia sosial yang harmonis sehingga puncaknya timbul

sikap memberontak sebagai wujud dari rasa pedih yang tak tertahankan. Pada

tahun 1924, meletuslah pembrontakan petani Tangerang kepada majikan dan

pemerintah seperti dice ritakan oleh Ekajati (2004: 129-137) berikut ini.

Pembrontakan Petani di Tangerang tahun 1924 dipicu oleh peristiwa-

peristiwa yang relatif kecil sebelumnya. Pada tahun 1913, terjadi perkela hian

antara sejumlah penduduk Kampung Tegalkunir dengan orang-orang Cina

Kebonwaru. Perkelahian bermula dari pertengkaran antara anak petani Gudel

dengan anak Lim Utan (Lim Oetan) pemilik sawah Kampung Kebonbaru.

Pertengkaran terjadi hari Jumat 23 Mei 1913 di sawah ketika panen, setelah terjadi

selisih paham dalam transaksi penjualan beras ketan. Anak Gudel dituduh belum

membayar ketan anak Lim Utan seharga satu sen. Anak Lim Utan pulang dan

mengadu kepada ayahnya. Lim Utan marah, kemudian mendatangi anak Gudel

dan memukulnya. Karena pemukulan itu, Sailan, kakak kandung anak Gudel ikut

membantu dan terjadilan perkelahian dengan senjata tajam. Dalam perkelahian itu

Lim Utan terluka dan harus dirawat. Namun, perkelahian itu masih berbuntut

panjang. Keesokan harinya terjadi lagi pembalasan dari pendukung Lim Utan.

Saat Gudel pulang dari sawah, ia dikeroyok empat orang Cina dan dibunuh

sementara pembunuhnya melarikan diri. Hari berikutnya, 25 Mei 1913, seusai

pemakaman Gudel, Sailan membalas dendam dengan membunuh seorang


74

Cina bernama Li Ji Tun (Li Dji Toen) yang kebetulan berpapasan dengannya.

Rangkaian peristiwa ini sempat dilaporkan oleh Asisten Residen Tangerang G.P.J.

Vernet tanggal 2 Juni 1913 kepada Residen Jakarta H. Rijfsnijder. Rangkaian

peristiwa di atas, besar kemungkinan menjadi salah satu penyebab suburnya

perasaan antipati teradap hal-hal yang berbau rang Cina .

Sementara itu, selang tujuh tahun berikutnya (1924), terjadi pemberontakan

petani Tangerang. Diawali dengan tampilnya seorang tokoh berpengaruh di

daerah Pangkalan. Tokoh itu bernama Kaiin Bapa Kayah. Ia dipandang dan

disegani masyarakat karena mempunyai pengalaman khusus selain menjadi

petani. Ia pernah menjadi mandor perkebunan sutera tahun 1910- 1912. Saat

menjadi mandor, ia pernah mendapat perlakuan semena -mena dari majikannya.

Akibatnya ia melawan dan terjadi pertengkaran. Ia kemudian keluar dari peker-

jaannya dan menjadi opas di kantor Asisten Wedana Teluknaga. Empat bulan

kemudian ia dipindahkan ke Jakarta, menjadi opas pada komisaris polisi. Setelah

berhenti sebagai opas, Kaiin kembali ke Pangkalan, kemudian menjadi dalang

wayang.

Kaiin mempunyai pemikiran bahwa tanah di daerah Pangkalan seharusnya

tidak dikuasai oleh orang Tionghoa sebab tanah tersebut sesungguhnya

merupakan warisan nenek moyang pribumi setempat. Kemiskinan warga pribumi

di Pangkalan seharusnya tidak perlu terjadi bila tanah tersebut direbut kembali.

Agar tanah tersebut dapat dikuasai kembali oleh penduduk pribumi, maka para

tuan tanah Tionghoa di Pangkalan harus diusir. Dan untuk mengusirnya dengan

cara mencari dukungan pejabat tinggi kolonial dan dengan mneghimpun kekuatan

warga pribumi.
75

Tampaknya, gagasan mencari dukungan pejabat tinggi kolonial lahir karena

pengalamannya menjadi pegawai pemerintahan. Namun untuk merealisasikan

gagasan itu nampaknya Kaain kesulitan sehingga ia memilih menghimpun warga

pribumi agar belajar ilmu kesaktian dan kekebalan tubuh. Kaiin kemudian berguru

pada ”orang pintar” dan banyak ziarah ke tempat keramat. Agar lebih disegani, ia

merubah penampilan dengan mengenakan pakaian jawara. Dengan cara-cara

tersebut, ia pun memperoleh pengikut cukup banyak dari berbagai kalangan

seperti petani, guru agama (tarekat), dukun, dan lain-lain. Beberapa tokoh

pengikutnya antara lain: Merin dari Kampung Parangkored, Siban Bapa Sambut

dari Kampung Pondok Aren, Ibu Minah dari Kampung Kelor , Enang yang turut

mempropagandakan cita-cita membebaskan tanah dari kekuasaan Cina , Haji Riun

dari Desa Kalideres. Masing-masing pengikut memiliki sejumlah anak buah.

Upaya merebut tanah Pangkalan yang dilakukan Kaiin dan anak

buahnya, dirancang cukup matang. Sekitar awal bulan Januari 1924, Kaiin

menyebarkan undangan bahwa ia akan mengadakan pesta khitanan anaknya

tanggal 9 Februari 1924. Selain mengundang agar hadir dalam pesta

sekaligus ia berusaha mengumpulkan kekuatan. Ketika tiba waktunya,

memang banyak tamu dan pengikutnya menghadiri pesta khitanan. Dan saat

pesta berlangsung, Kaiin mengadakan pertemuan dengan para tokoh pengi-

kutnya dan merancang strategi lebih lanjut. Hasilnya, saat pesta masih

berlangsung, Kaiin meminta pengikutnya mengumumkan bahwa Pak Dalang

(Kaiin) akan menjadi "raja" di tanah Pangkalan dan Kampung Melayu. Ia

akan mengusir orang- orang Cina , menghapus cuke dan kompenian. Namun,

akibat pengumuman itu, sebagian tamu justru meninggalkan pesta. Kendati


76

demikian, esok harinya, Kaiin tetap melanjutkan rencananya. Ia membagi

pengikutnya dalam lima kelompok dengan masing-masing tugas mengusir tuan

tanah Tionghoa.

Gerakan Kaiin mampu membuat banyak tuan tanah ketakutan sebab selain

mengultimatum agar meninggalkan Pangkalan, para tuan tanah juga diancam akan

dibunuh bila tidak mematuhi perintahnya. Kaiin dan rombongan kemudian bergerak

ke arah Kampung Melayu, dan mengusir para tuan tanah. Mereka juga memporak-

porandakan kantor kongsi Kampung Melayu. Surat-surat kompenian yang

ditemukan, dirobek-robek. Selanjutnya mereka bergerak ke rumah Asisten

Wedana Teluknaga. Mereka ingin memberitahukan bahwa mereka akan

menghadap gubernur jenderal di Bogor untuk meminta izin mengusir orang-

orang Cina di Tangerang.

Sebelum maksud Kaiin menemui gubernur jendral, aksinya sudah tercium

Asisten Wedana Teluk naga yang kemudian melaporkan ke pemerintah

keresidenan di Batavia mengetahuinya . Dari Batavia keluar perintah agar wedana-

wedana di Tangerang segera mengerahkan polisi untuk mengatasi gerakan Kaiin.

Kekuatan polisi yang terhimpun secara cepat menggiring gerakan Kaiin ke daerah

Tanah Tinggi. Di Tanah Tinggi inilah, kontak fisik terjadi yang menghasilkan

kekalahan telak di pihak Kaiin.

Menurut penelitian Suryadi (1981: 13-14) , dalam kontak fisik di Tanah

Tinggi, Kaiin kemudian ditangkap bersama 23 orang petani pengikutnya.

Sedangkan, 19 orang lainnya tewas dan sejumlah petani luka parah. Namun sedikit

berbeda dengan penelitian Thahirudin (1971: 14) yang menyatakan bahwa Kaiin

tidak dipenjarakan, tetapi tewas dalam kerusuhan di Tanah Tinggi. Ia kemudian


77

dimakamkan di pekuburan Encle Desa Sukasari, Tangerang. Namun dari kedua

penelitian, dapat diketahui secara pasti bahwa gerakan Kaiin relatif berlangsung

sangat singkat. Pertempuran di Tanah Tinggi telah mengahiri keinginan sejumlah

warga pribumi merebut tanah Pangkalan dari tangan tuan tanah Cina (Ekajati,

2004: 136-137).

Dari penggalan peristiwa di atas, dapat tergambar bahwa kebijakan kolonial

yang diskriminatif dan banyak menguntungkan orang Cina tetapi merugikan

warga pribumi, benar-benar telah melahirkan bibit kebencian antar etnis di

Tangerang. Dalam perjalanan sejarah Tangerang, konflik dan pertentangan berbau

kebencian etnis di kemudian hari ternyata kembali terjadi. Dua di antaranya

adalah peristiwa Poh An Tui dan Kerusuhan massal berbau anti Cina tanggal 12-

15 Mei 1998 yang meletus di Jakarta dan sekitarnya, termasuk Tangerang yang

kemudian menyebabkan Soeharto lengser dri kursi kepresidenan.

Peristiwa Poh An Tui terjadi justru setelah kemerdekaan Republik Indonesia

yaitu sekitar Juni 1946. Peristiwa meletus sedikitnya di lima desa yakni: Rajeg,

Gandu, Balaraja, Cikupa, dan Mauk. Tragedi itu disulut sebuah kabar santer ada

tentara Nica beretnis Tionghoa yang menurunkan bendera merah putih dan

menggantinya dengan bendera Belanda. Kemudian tersiar kabar pula , seorang

Nica Tionghoa membakar rumah warga pribumi. ”Ini sebab-sebab menimbulken

rajat Indonesier poenja goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang,” tulis

Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946 .

Tanggal 3 Juni 1946, warga pribumi yang mendengar kabar tersebut naik

pitam dan bergabung dengan laskar rakyat menangkapi para lelaki keturunan

China. Menghancurkan perkampungan China di lima desa kemudian menggiring


78

para lelaki Cina yang tertangkap menuju Penjara Mauk yang berukuran 15 x 15 m

tetapi dipenuhi sekitar 600 lelaki China dari seantero Tangerang.

Kabar penangkapan orang-orang Cina tercium warga keturunan China

lainnya sehingga tanggal 10 Juni 1946, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang

menamakan dirinya Poh An Tui bergerak ke Tangerang menolong mereka yang

terancam jiwanya. Besar kemungkinan, mereka mendapat dukungan NICA,

tentara Belanda yang pasti diuntungkan akibat perang ”saudara” tersebut. Mereka

dibekali senjata api dan dibagi dua kelompok. Yang pertama datang ke Mauk dan

membebaskan tawanan. Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa

yang banyak dihuni etnis China. Tercatat, sekitar 2.000 warga keturunan

diungsikan ke Jakarta. Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.

Selanjutnya, kerusuhan baru reda setelah pemerintah mulai turun tangan. Di

bawah Menteri Penerangan M. Natsir, warga Tangerang dapat didamaikan

kembali sementara perang melawan Belanda tetap berlangsung.

Implikasi dari kebijakan segregasi rasial pemerintah kolonial dimana telah

melahirkan gerakan anti Cina seperti diungkap di atas, harus tetap dilihat secara

komprehensif. Anti Cina yang tumbuh pada era kolonial dan masih menjadi gejala

latent hingga era Orde Baru, bukanlah lahir dari masyarakat pribumi secara tiba-

tiba. Kebencian rasial tersebut lahir sebagai akibat strategi penetrasi modal

Kolonial untuk mengeruk keeuntungan. Sebelum kebijakan kolonial tersebut

diterapkan, sesungguhnya antara warga pribumi maupun warga etnis Tionghoa

berbaur secara harmonis. Hal ini terbukti dengan beragamnya profesi yang

digeluti kaum Tionghoa sebagai pedagang, petani, peternak, sama seperti kaum

pribumi pada umumnya. Pembauran semakin solid lewat adanya perkawinan


79

silang. Namun situasi tersebut berubah tatkala Kolonial Belanda mengeluarkan

kebijakan segregasi rasial yang menimbulkan jurang kesenjangan antara kaum

kaya yaitu orang Tionghoa sebagai tuan tanah dan kaum miskin yaitu pribumi

sebagai buruh tani. Meminjam istilah Karl Marx, ka um tuan tanah sebagai kelas

penghisap dan pribumi sebagai kelas terhisap yang tertindas. Kedua kelas tersebut

selalu bertentangan. Dengan demikian, sesungguhnya kemarahan dan pengusiran

yang ditujukan kepada kaum Tionghoa pada tahun 1824, adalah pemberontakan

kurang tepat sasaran.

Sementara itu, perasaan kebencian rasial tersebut ternyata tetap bertahan dan

terpendam hingga satu abad berikutnya. Besar kemungkinan, generasi setelah

Kaiin Abah Kayah hidup dalam bayang-bayang memory collective masyarakat

Tangerang yang belum mampu menelaah secara tepat atas penindasan yang

mereka alami. Alhasil, cerita maupun stereotif orang Cina sebagai kaum kikir,

pelit, penindas, kejam, eksklusif, tidak mau berbaur dengan kaum pribumi,

menguasai perdagangan, kaum kaya, tuan tanah, kemudian terpelihara secara

turun-temurun. Maka, dengan pemaparan dan pemahaman sejarah yang benar,

diharapkan perasaan anti Cina dapat didudukkan pada tempat yang benar. Di

samping itu, untuk menata keharmonisan antara etnis Tionghoa dengan pribumi

diperlukan kebijakan penguasa agar perasaan itu tidak menjadi bahaya latent yang

sewaktu-waktu meletus kembali. Dan sayang sebetulnya, di masa orde lama dan

Orde Baru, nampaknya pembauran kaum etnis Tionghoa justru dihalangi dengan

peraturan larangan menjadi pegawai negeri, TNI, Polisi, dan lain -lain. Tatkala,

bidang perdagangan digeluti dan dikuasai mereka sehingga sebagian besar mampu

menjadi kelompok orang kaya (konglomerat), justru kebencian anti Cina tumbuh
80

kembali. Seolah-olah, orang Cina yang kaya tersebut mewakili seluruh etnis Cina

di seluruh nusantara.

D. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Penetrasi modal di Tangerang pada era Orde Baru tahun 1966-1998 dapat

dilihat dengan mata telanjang melalui adanya perubahan drastis kehidupan

Tangerang dari agraris menjadi modern sebagai dampak industrialisasi. Perubahan

wilayah Tangerang dari daerah agraris menjadi industri, kiranya tak bisa

dilepaskan dari kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru secara makro. Hal itu

sekaligus menjadi salah satu tanda perbedaan arah kebijakan ekonomi era

pemerintah orde lama. Di masa pemerintahan orde lama, Soekarno sering

menyuarakan tentang filosofi ekonomi berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri.

Prinsip yang ingin diperjuangkan adalah membangun ekonomi nasional yang

berswasembada. Slogan yang biasanya didengungkan adalah Trisakti yaitu

berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam

kebudayaan. Artinya, dalam upaya membangun perekonomian Indonesia,

Soekarno selalu berusaha “membendung” investasi pihak swasta baik asing

maupun nasional secara besar-besaran. Soekarno tidak menginginkan roda

ekonomi Indonesia ditopang oleh pihak swasta dengan ciri kepemilikan

perseorangan. Rentetan peristiwa politik yang diawali kasus G30S tahun 1965 dan

gonjang-ganjing yang mengikutinya, akhirnya mengakhiri masa pemerintahan

orde lama. Gagasan tentang ekonomi berdikari kemudian digantikan ekonomi ala

Orde Baru.
81

Pada tahun 1966, Orde Baru berdiri. Bila di era sebelumnya pihak swasta

“dibendung” oleh kekuasaan negara, di masa Orde Baru “bendungan” itu dibuka.

Kepentingan modal asing maupun nasional dirangkul untuk membangun ekonomi

Indonesia (liberalisasi pasar) menuju negara industri yang dicitakan rezim. Seiring

kerjasama tersebut berjalan, Tangerang tak luput menjadi salah satu daerah

bidikan pembangunan ala Orde Baru.

1. Membuka Keran bagi Modal Asing dan Nasional

Pemerintahan Orde Baru dibentuk berdasarkan hasil keputusan Sidang

Umum MPRS yaitu Ketetapan MPRS No. XIII Tahun 1966. Situasi

perekonomian saat itu masih berupa warisan kebijakan orde lama dimana

serba morat-marit terutama tingginya harga sembako yang membuat rakyat

menjerit. Ditambah lagi situasi mencekam yang masih berlanjut di daerah-

daerah akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berlangsung di

Jakarta.

Di tengah situasi kekacauan ekonomi tersebut, Orde Baru berusaha

memperbaikinya dengan menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara

(GBHN). Dalam GBHN dijabarkan suatu perencanaan jangka panjang dan

jangka pendek. Tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengubah struktur

ekonomi yang ada menuju struktur ekonomi yang seimbang, dimana industri

menjadi tulang punggung ekonomi didukung kemampuan pertanian yang

tangguh. Untuk mencapainya perlu dibangun sektor industri secara bertahap.

Selama Orde Baru berkuasa sekitar 32 tahun, paling tidak pernah dilakukan

enam kali perubahan kebijakan industri, yaitu sebagai berikut:


82

Tabel 6.
Target-Target Pelita I-V

PELITA TARGET
I • Industri diprioritaskan untuk merehabilitasi alat produksi
yang sudah tua atau tidak berfungsi
• Meneruskan pembangunan beberapa proyek tertunda
(retarded project) yang produksinya sangat dibutuhkan
masyarakat
• Membangun industri yang menunjang sektor pertanian atau
sarana pertanian
• Membangun industri yang dapat mengolah bahan dalam
negeri
• Membangun industri yang bersifat padat karya

II • Membangun dan meningkatkan kapasitas pabrik yang


mengolah bahan mentah menjadi bahan baku
• Menggalakkan pemakaian barang buatan dalam negeri
dengan cara sustitusi impor
• Melipatgandakan produksi sandang, pangan, obat-obatan dan
kebutuhan pokok masyarakat
• Meningkatkan dan menggiatkan industri padat karya, industri
kecil dan industri rumah tangga
• Mendorong dan meningkatkan pembangunan industri PMA
dan PMDN
• Penyebaran industri ke seluruh daerah
• Menghemat pengeluaran devisa dan sebaliknya
menggalakkan ekspor hasil industri untuk memperoleh
devisa
III • Memperdalam struktur industri dengan membangun bidang
usaha yang masih lowong pada “pohon industri”
• Mengusahakan pemerataan hasil industri, perluasan lapangan
kerja, mengurangi ketimpangan antara sektor industri dengan
sektor lainnya dan antara sektor industri sendiri
• Meningkatkan sumbangan sektor industri terhadap
pendapatan nasional
• Mendorong pertumbuhan industri kecil
• Menciptakan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI)
sebagai suatu konsep pembangunan wilayah, berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi pada zona industri yang
memanfaatkan sumber daya alam dan potensi daerah
• Meningkatkan peranan sektor industri untuk menunjang
sektor pertanian dan ketahanan na sional

IV • Menjalankan Pola Pengembangan Industri Nasional yang


berintikan enam butir kebijakan pokok, yaitu :
1. Pendalaman dan pemantapan struktur industri
2. Pengembangan industri permesinan dan elektronika
3. Pengembangan dan pemasaran hasil industri kecil
melalui sistem “Bapak Angkat”
4. Mengganti kebijakan Substitusi Impor dengan Promosi
Ekspor dengan pola broad base (spectrum)
5. Mengembangkan litbang terapan, rancang bangun serta
rekayasa industri
83

6. Mengembangkan kewiraswastaan dan tenaga profesi


• Menciptakan iklim yang kondusif melalui kebijaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi

V • Melanjutkan deregulasi dengan tujuan menarik sebanyak


mungkin industri yang berpindah lokasi (relokasi) dari satu
negara ke negara lain, yang pada umumnya berupa foot loose
industry seperti industri elektronika, sepatu dan garmen yang
padat karya
• Melanjutkan kebijaksanaan Pelita IV

VI Meningkatkan ekspor melalui kebijakan deregulasi

Sumber: www.zulkieflimansyah.com

Rehabilitasi perekonomian nasional dilakukan bersama -sama oleh

pemerintah dan pihak swasta. Untuk mempercepat pembangunan, pemerintah

berusaha menarik modal bukan pinjaman yang diharapkan dapat mengolah

sumber daya yang tersedia lebih banyak sekaligus dapat menciptakan

lapangan kerja baru. Namun modal seperti itu membutuhkan kepastian hukum

dan undang-undang. Maka pada tanggal 10 Januari 1967 pemerintah

mengeluarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal

Asing (UU PMA). Setahun kemudian menyusul dikeluarkannya Undang-

Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6 Tahun 1968 tentang

PMDN).

Seperti telah diuraikan di atas, pada tahap awal pemerintah Orde Baru

mencanangkan suatu konsep tinggal landas menuju negara industri. Sektor

pertanian dianggap sebagai salah satu bidang yang harus mampu menopang

kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Di antara pembangunan bidang

pertanian, dikenal istilah “revolusi hijau”. Era ini juga berlaku di daerah

Tangerang yang ditandai dengan adanya peningkatan hasil produksi pertanian.

Melalui intensifikasi, lahan sawah di sekitar Tangerang yang sebelumnya


84

menghasilkan 2-3 ton padi per hektar, kemudian mampu menghasilkan 6-7 ton

padi per hektar. Hal itu berkat penggunaan pupuk urea dan obat-obatan yang

disebut sebagai salah satu bentuk kebijakan teknologi yang ditentukan oleh

Pemerintah (Ekajati, 2004: 230) .

Seiring gencarnya pembangunan industri, sektor pertanian yang sempat

menopang perekonomian Tangerang, secara bertahap tergantikan dengan

sektor perdagangan dan industri. Hal ini dapat diketahui berdasarkan data

statistik Pemda tentang pendapatan domestik regional bruto (PDRB) tahun

1975 sampai 1985. Pada tahun 1975 tercatat sektor perdagangan sebagai

penyumbang terbesar PDRB yaitu 33,30% kemudian disusul pertanian sebesar

29,07%. Sedangkan sektor industri sebesar 15,17%. Namun, pada tahun 1985

berubah, penyumbang PDRB terbesar adalah sektor industri yaitu 28,91%,

disusul perdaganga n sebesar 21,15% dan dari pertanian sebesar 17,47%.

Berdasarkan hasil penelitian Suryana (1998), industri Tangerang telah

menyumbang pendapatan daerah hingga tidak terlalu bergantung pada

pemerintah pusat. Sumber pemasukan daerah tersebut berasal dari pajak dan

retribusi. Retribusi antara lain: ijin lokasi, saat pembangunan, dan lain-lain.

Akan tetapi, gencarnya pembangunan perumahan oleh para pengembang,

ternyata di kemudian hari menyebabkan pemborosan biaya daerah. Hal itu

terjadi di saat seluruh fasilitas perumahan yang dibangun pengembang

diserahkan ke Pemda dan Pemda mulai rutin membangun sarana publik.

Selama tahun 1993-1998, dalam perhitungan Suryana (1998: 190), kab

Tangerang harus nombok sebesar 69.317.678.800 seandainya seluruh


85

prasarana lingkungan sosial dan utilitas umum diserahkan kepada pemerintah

daerah.

Tabel 7.
Perbandingan Penerimaan
dari Pusat, Dati I, dan Penerimaan Sumber PAD Tahun 1993 -1998
(dalam ribuan)

NO Tahun Penerimaan Penerimaan Penerimaan


Anggaran Pusat Dati I PAD-PBB
1 1993/1994 31.894.812 5.327.975 34.340.901
2 1994/1995 24.501.779 2.715.500 38.210.654
3 1995/1996 27.431.807 4.865.880 51.641.011
4 1996/1997 30.465.983 7801.000 58.285.793
5 1997/1998 40.457.756 7.489.000 58.237.100
Bagian keuangan setwilda tingkat II Tangerang, 1998

Tabel 8.
Struktur Ekonomi Jawa Barat Tahun 1973-1990

PELITA
Sektor I II III IV V
1973 1978 1983 1988 1990

Pertanian 38,83 30,62 26,41 19,77 18,70


Industri 8,81 10,60 10,04 18,91 20,61
Lain-lain 52,36 58,78 63,55 61,32 60,69
Sumber: Bappeda Tk I Jawa Barat, 1993 dikutip Murtono, 1998: 3

Kebijakan pembukaan PMA ternyata juga mendapat sambutan baik dari

para investor asing dan luar negeri. Pada tahun 1987, di Tangerang tercatat

terdapat 350 perusahaan penanaman modal asing (PMA) dengan investasi

US$ 547 juta dan 90 perusahaan dari dalam negeri (PMDM) dengan total

investasi 188 milyar rupiah. Sementara itu tahun 1990/1991 meningkat, PMA

menca pai 13.124 perusahaan dengan investasi US$ 694.735.000 dan dari

PMDN berjumlah 130.479 perusahaan dengan investasi sekitar 932 milyar

rupiah. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun.


86

Hanya saja belum diketahui bagaimana naik turunnya di masa krisis ekonomi

tahun 1997 hingga masa reformasi.

Tabel 9.
PMA di Indonesia Tahun 1967 -1990
INVESTOR NILAI INVESTASI
Jepang 9.666.916.000
Hongkong 3.731.192.000
Korea Selatan 1.860.007.000
Taiwan 1.743.558.000
Singapura 1.012.103.000
Sumber: Bisnis Indonesia, 18 April 1991

Dari sekian ribu perusahaan tersebut, pada tahun 1990, ada sekitar 14

perusahaan yang mampu memasarkan produksi ke luar negeri yaitu Jepang,

Amerika Serikat, Timur tengah, Eropa, dan negara Asean. Produksi yang

dieksport tersebut antara lain pakaian jadi, kain sutting, tempat beras, tepung

ubi, mainan anak, keramik, silet, dan kain tenun.

2. Tangerang Menjadi Penyangga Ibu Kota Jakarta

Pembangunan Tangerang menjadi kota industri semakin gencar tatkala

pada tahun 1976 diberlakukan Instruksi Presiden nomor 13 tahun 1976 tentang

pengembangan wilayah JABOTABEK meliputi Jakarta, Bogor, Tangerang,

Bekasi (Sutiyoso, 2007:15-36). Tangerang dinyatakan sebagai salah satu

daerah penyangga ibukota RI yaitu menampung limpahan penduduk, menjadi

daerah industri, dan perdagangan.

Dalam istruksi presiden tersebut diantaranya disebutkan bahwa wilayah

Tangerang tidak bisa menghindari dari imbas pembangunan yang sedang

berkembang di wilayah Jakarta. Membludaknya arus tenaga kerja dari Jakarta


87

dan tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan serta permukiman baru otomatis

akan berdampak di wilayah sekitarnya, termasuk Tangerang. Maka, gagasan

mengelola Tangerang menjadi kota pun mulai berkembang. Pada tahun 1982

pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 50, tentang Pembentukan Kota

Administrasi Tangerang. Kemudian berubah lagi dengan dikeluarkannya UU

No 2 Th 1993, dimana wilyah tersebut dibagi dua menjadi Kotamadya

Tangerang (sekarang: Kota Tangerang) dan Kabupaten Tangerang.

Sebagai daerah limpahan penduduk Jakarta, dengan sendirinya di daerah

Tangerang dibangun pemukiman-pemukiman baru. Pembangunan pemukiman

tersebut melibatkan pihak swasta dan pemerintah terutama untuk menampung

warga pendatang. Warga pendatang tersebut tidak hanya mereka yang bekerja

di Jakarta, tetapi dengan berkembangnya pabrik di tangerang, pemukiman

baru juga ditukukan bagi pendatang yang menjadi pekerja industri di

Tangerang. Alhasil, Tangerang dibanjiri pendatang dari berbagai daerah dan

berbagai latar belakang.

Tabel 10.
Daerah Pemukiman Kotamadya Tangerang
Tahun 1990
No Kecamatan Jumlah Pemukiman

1. Kecamatan Tangerang 20
2 Batuceper 8
3 Cipondoh 20
4 Jatiuwung 16
5 Ciledug 20

Sumber: Kantor Kotamasya Tangerang dikutip Rizal, 1993: 63


88

Kemudian, dalam penataan Jakarta sebagai ibu kota negara, Tangerang

adalah daerah ideal untuk lokasi pusat industri sebab sangat berdekatan

dengan ibu kota dimana aktivitas bisnis berlangsung.

3. Pembangunan Infrastruktur Industri

Sejak awal penetrasi modal di Tangerang pada zaman kolonial, faktor

transportasi dipandang sangat penting. Demikian pula di era Orde Baru, di

mana Tangerang dijadikan sebagai kota “satelit” Ibu Kota Jakarta, dengan

sendirinya transportasi sangatlah menentukan. Maka dibangunlah jalur

transportasi yang kokoh diantaranya jalan bebas hambatan atau jalan tol. Jalan

tol Jakarta-Tangerang dirancang untuk dapat memberikan aksesibilitas yang

tinggi bagi kawasan industri dan pemukiman di sekitar jalur ini sekaligus

memperlancar arus distribusi barang dan mobilitas manusia antara Jawa dan

Sumatera.

Pembangunan tahap pertama berupa ruas jalan tol Jakarta-Tangerang

Barat (Bitung) sepanjang 26 km yang dimulai pembangunannya pada tahun

1980. Jalan bebas hambatan ini mempunyai dua jalur terpisah dengan masing-

masing jalur terdiri dari dua lajur, dengan menghabiskan biaya sebesar Rp.

37,1 Milyar yang sebagian besar dananya merupakan pinjaman lunak dari

OECF (Overseas Economic Cooperation Found). Proyek ini dikerjakan oleh

kontraktor PT. Hutama Karya beserta 3 kontraktor Jepang yaitu: Tobenaka

Doboku, Tobenaka Komuten dan Nippo Hodo dengan konsultan pengawas

lokal PT. Biec Internasional Inc, PT. Docrea dan PT. Bina Karya bekerja sama

dengan konsultan Jepang PCI (Pasific Consultant Internasional).


89

Pengoperasian pembangunan tahap pertama ini dimulai pada tanggal 28

Nopember 1984 yang dibangun dan dioperasikan oleh PT. Jasa Marga

(Persero). Tahap kedua dibangun Ciujung ByPass dan Serang ByPass yag

dioperasikan pada tanggal 1 Agustus 1988. Sedangkan ruas Tangerang Barat-

Merak yang merupakan kelanjutan dari ruas jalan Jakarta-Tangerang Barat

dibangun oleh PT. Marga Mandala Sakti yang merupakan usaha patungan

antara PT. Jasa Marga (Persero) dab beberapa perusahaan swasta dengan

polaBOT yang panjangnya mencapai 73 Km yang mempunyai 2 jalur dengan

masing-masing teridiri dari 2 lajur, yang menelan biaya investasi sebesar Rp.

452 Milyar.

Adanya jalan tol ini ternyata telah ikut memicu tumbuhnya kawasan-

kawasan pemukiman baru terutama di sekitar Tangerang. Sehingga ruas

Jakarta -Tangerang Barat yang semula hanya 4 lajur sudah tidak mampu lagi

menampung volume lalu lintas , terutam pada jam-jam sibuk. Untuk

mengantisipasi hal tersebut PT. Jasa Marga bekerjasama dengan PT. Adhika

Prakarsatama membangun lajur tambahan sehingga menjadi 6 lajur dan telah

dioperasikan sejak tanggal 15 Pebruari 1996 yang menelan investasi sbesar

Rp. 108,55 Milyar.

4. Pembangunan Kawasan Pabrik: Pengambilalihan Lahan Warga

dan Penataan Ulang Penduduk untuk Melancarkan Akumulasi

Modal

Seiring pembangunan transportasi, di sekitarnya dibangunlah pabrik-

pabrik. Dari informasi awal yang didapat berdasarkan cerita para buruh di

Cikupa, pembangunan pabrik tersebut berjalan secara bertahap seiring


90

pembangunan jalan tol Jakarta-Merak. Pada mulanya dibangunlah pabrik-

pabrik di lahan kering yang kemudian disebut sebagai Blok A. Pembangunan

blok A dimulai sekitar tahun 1970. Kemudian disusul blok B, dab Blok C.

Pengembangan lahan pabrik blok B dan C, memanfaafkan lahan pertanian,

termasuk lahan basah (sawah). Sehingga pada tahun 2007, salah satu

kelurahan di Cikupa yaitu Telagasari, lahan pertanian kini sudah habis. Daerah

kelurahan tersebut telah berubah menjadi kawasan pabrik dan perkampungan

buruh.

Dalam pembangunan setiap blok, terjadi proses pengambilalihan lahan

warga. Seorang buruh bernama Abah Nang, bercerita bahwa pada saat blok C

dibangun, para pengembang bekerjasama dengan sejumlah aparat militer dan

aparat desa untuk memaksa para warga menjual lahannya kepada pemilik

pabrik. Sementara itu, saat berlangsung penjualan tersebut, muncul para calo

yang menyerbu pemilik lahan. Warga lokal secara perlahan kemudian

melepas lahannya dengan harga yang lebih rendah dari yang diharapkan.

Sedang sejumlah warga lokal lain, memilih ditukar dengan lahan lain yang

disediakan pemilik pabrik yang letaknya berada di pinggir daerah kawasan

pabrik. Akan tetapi, ada juga warga yang kemudian tetap bersikukuh bertahan

tidak menjual lahan kepemilikannya. Ia tetap bertahan bila ingin membeli

lahan yang dimilikinya, maka ia menetapkan tidak mau di bawah harga yang

ia kehendaki. Salah satu warga tersebut adalah Abah Nang.

Hanya saja, sikap Abah Nang tersebut juga membawa konsekuensi yang

tak ringan. Lahan dan rumah yang ia miliki, seiring pembangunan pabrik

kemudian berubah menjadi semacam “pulau” di tengah lautan pabrik. Karena


91

pengerukan yang dilakukan pabr ik, lahan Abah Nang berada di posisi yang

lebih tinggi layaknya pulau. Saat hujan, kemiringan tanah tersebut menjadi

arena permainan “prosotan” anak-anak kampung. Akibatnya, lahan Abah

Nang dipastikan sudah tidak subur sebab di saat kemarau pasti akan

kekurangan air. Oleh karena itu, Abah Nang memanfaatkan lahan tersebut

dengan pembangunan rumah kontrakan bagi para buruh. Dari kamar kost-

kostan inilah ia mendapatkan pemasukan. Namun, teror dan tawaran serta

bujukan agar segera menjual lahan itu, masih terus mendarat di telinga Abah

Nang (Wawancara Abah Nang, Cikupa 5 anuari 2007) .

Tabel 11.
Penguasaan Lahan Pada Kawasan industri Tahun 1996

Sudah Sudah
N Ijin
Nama Perusahaan dibebaskan Dibangun Ket
o Lokasi
Ha % Ha %
1 PT Cipta Cakra Murdaya 300 180 60 29 9,6
2 PT Benua Permai Lestari 150 128 85 40 26,6
3 PT Sinar Subur Serpong 100 50 50 30 30
4 PT Mitra Indo Textil 150 40 26,60 16 10,6
5 PT Elang Mas Perkasa 250 50 20 0 0
6 PT Surya Karya Luhur 250 150 60 8 3,2
7 PT BSD 200 150 75 85 42,5
8 PT Graha Permai Raharja 75 75 100 25 33,3
9 PT Purati Kencana Alam 70 70 100 25 35,7
10 PT Adibalaraja 300 265 88 0 0
11 PT Tangerang Bhumimas 250 250 100 15 6
12 PT Putra Daya Perkasa 76 76 100 0 0
13 PT Cidurian Srana Niaga Permai 150 86 57 50 33,3
14 PT Penta Binangun Sejahtera 90 6 6 0 0
Bappeda Kab. Dati II Tangerang 1996 dikutip Suryana, 1998: 108

Berdasarkan pemaparan pola penetrasi modal pada era Orde Baru di atas,

penulis dapat menarik beberapa kesimpulan penting. Pertama , seperti halnya

penetrasi modal di era Kolonial Belanda , penetrasi modal pada era Orde Baru juga

dijalankan secara terencana, sistematis, bertahap, bahkan lebih massif.


92

Perencanaan dimulai sejak Orde Baru berdiri menggantikan kekuasaan orde lama

dengan membuka keran masuknya investasi asing maupun nasional. Strategi ini

bertolak-belakang dengan kebijakan orde lama. Orde Baru merancang

pembangunan nasional dengan merangkul pihak swasta di antaranya dengan

pembangunan bertahap mulai dari sektor pertanian menuju industri. Dengan

datangnya investor, penetrasi modal di Tangerang berlangsung sangat keras dan

massif. Era ini menandai awal kehidupan Tangerang yang sangat kapitalistik.

Sebab, untuk melancarkan laju investor, pembangunan infrastruktur, kawasan

pabrik, dan daerah pemukiman, diperkuat dan dipayungi dengan instrumen hukum

yaitu perundang-undangan hingga aparatusnya seperti pem erintah daerah setempat

maupun aparat TNI/Polri. Dengan instrumen tersebut, masyarakat Tangerang

”dipaksa” untuk tunduk dan harus mengikutinya. Instrumen hukum tersebut

mengiringi dan mensuport kepentingan para pemodal atau investor agar aktivitas

akumulasi modal berjalan lancar.

Kedua, bila pada era kolonial muara dari penetrasi modal ditujukan untuk

keuntungan pemerintah Belanda, dalam hal ini Kerajaan Belanda, pada era Orde

Baru, keuntungan ditujukan atas nama ”pembangunan nasional”. Artinya,

pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa keuntungan aktivitas akumulasi modal

di Tangerang dapat dinikmati masyarakat Indonesia secara nasional dengan

terbukanya lapangan kerja baru sehingga kesejahteraan meningkat. Dalam

prakteknya, tujuan tersebut tidak berjalan secara sinergis. Hal ini terbukti dengan

adanya sejumlah masyarakat pribumi yang justru menjadi ”korban”

pembangunan.
93

Ketiga, pada era Kolonial, kaum Tionghoa dirangkul menjadi penguasa

daerah partikelir kemudian menjadi penguasa yang mengatur masyarakat di

daerah partikelir tersebut. Pada era Orde Baru, peran mereka digantikan oleh para

investor atau pemodal baik asing maupun pemodal nasional. Meminjam istilah

Karl Marrx, kaum pemodal inilah yang menjadi kelas kaya baru yang sukses

dengan menghisap kaum buruh. Para pemodal yang menguasai industri, juga

menguasai kehidupan dalam pabrik bahkan masyarakat sekitar kawasan pabrik.

Keberadaan mereka mampu menempatkan, menggiring, dan memetakan warga

pribumi dan warga pendatang. Proses pemetaan warga pendatang dan pribumi

tersebut tak jarang berimplikasi pada pola relasi dan konflik kepentingan

(bandingkan sub-bab berikut).

E. Implikasi Penetrasi Modal di Tangerang Era Orde Baru

1. Perencanaan Tata Ruang Kota Cenderung Dikooptasi oleh

Kepentingan Akumulasi Modal

Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa pada tahun 1976 telah

mengemuka tentang konsep Tangerang sebagai “penyangga” Ibu Kota

Jakarta seperti termuat dalam Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1976.

Tangerang dinyatakan tidak bisa menghindari dari imbas pembangunan

yang sedang berkembang di wilayah Jakarta. Membludaknya arus tenaga

kerja dari Jakarta dan tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan serta

permukiman baru otomatis akan berdampak di wilayah sekitarnya,

termasuk Tangerang. Maka, gagasan mengelola Tangerang menjadi kota

pun mulai berkembang.


94

Dua faktor penting terkait pembangunan kota Tange rang yang sering

menjadi sorotan adalah perancanaan tata ruang kota dan gerak investasi

dari para pemilik modal. Menurut UU Nomor 4 tahun 1982, ruang adalah

wadah atau tempat dimana manusia berkomunikasi baik di antara sesama,

makhluk hidup lainnya maupun dengan lingkungan alamiah serta

buatannya. Penentuan ruang merupakan bagian dari pengelolaan dengan

mewujudkan keserasian, keselarasan, keseimbangan pemanfaatan ruang

dengan mengindahkan faktor -faktor daya dukung lingkungan. Dalam

wadah yang terbatas, penataan menjadi sangat penting karena dalam ruang

yang terbatas tersebut, semua manusia dan kegiatannya harus ditampung

dengan baik.

Lalu, bagaimana hubungannya dengan modal? Hubungan investasi

dan tata ruang kota bersifat timbal balik. Kegiatan investasi aka n

mempunyai implikasi pada tata ruang seperti: tata ruang untuk industri,

infrastruktur air bersih, sarana olah raga dan rekreasi, area limbah,

pemukiman, dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian,

pengembangan investasi dalam konteks keruangan kota terdapat

pengertian perlunya memperhatikan perencanaan tata ruang (regulasi) dan

sekaligus bagaimana implementasinya.

Bila kemudian menyinggung mengenai kebijakan tata ruang yang

berlaku di Indonesia, khususnya di Tangerang, akan kita temukan

sejumlah kekacauan. Misalnya saja pada era reformasi. Sebelum era

reformasi, peraturan perundangan penataan ruang yang bersumber pada UU

No. 24 Tahun 1992 yang secara prinsip telah meletakkan otonomi


95

perencanaan yang sebesar-besarnya pada daerah kabupaten/kota.

Perencanaan lokal mengacu pada perencanaan regional dan perencanaan

regional mengacu pada perencanaan nasional. UU No. 24 Tahun 1992

Pasal 20 ayat (3) menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional menjadi pedoman untuk: (d) Penataan Ruang Wilayah Provinsi

Dati I dan Wilayah Kabupaten/Kotamadya Dati II.

Akan tetapi, dalam rangka otonomi daerah, UU No. 24 tahun 1992

digantikan dengan UU No 32 tahun 2004 dengan penjabarannya yang

diatur dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan

kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Dalam PP No. 25 tahun

2000 pasal 2 ayat (3) angka 13a menyebutkan bahwa Penetapan Tata

Ruang Nasional berdasarkan Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Ini berarti bahwa hierarki penyusunan tata ruang berbalik arah, di mana tata

ruang nasional mutlak tergantung tata ruang provinsi dan tata ruang

kabupaten/kota.

Salah satu dampak dari kekacauan kebijakan tata ruang tersebut

otomatis berimbas pada persoalan investasi. Sebut saja misalnya kasus

pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di desa Lontar,

kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang. Pembangunan PLTU tersebut

menjadi perdebatan anggota DPRD. Mereka memandang pembangunan

tersebut telah menyalahi aturan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Kabupaten Tangera ng. PLTU sebelumnya direncanakan

dibangun di daerah Teluk Naga. Namun, dipindahkan ke desa Lontar

karena mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi, yakni Perpres Nomor
96

71 Tahun 2006 tentang penugasan kepada PT PLN untuk melakukan

percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan

batubara. Pemindahan lokasi tersebut dipandang sejumlah anggota DPRD

sebagai pelanggaran pihak pemda atas aturan yang sudah dibuatnya. Pihak

Pemda pun kemudian mengaku tengah mengajukan usulan Raperda

Perubahan Renc ana Tata Ruang Wilayah (www.radarbanten.com).

Tidak sinkronya konsep tata ruang kota Tangerang juga seringkali

terjadi karena gerak investasi lebih cepat dibanding perencanaannya. Salah

satu contoh di antaranya adalah persoalan pembangunan pemukiman

buruh pabrik di zona industri Jatiuwung. Berkembangnya pabrik di

Jatiuwung telah diikuti juga dengan maraknya kebutuhan akan tempat

tinggal bagi para pekerjanya. Pada tahun 1990, ditemukan fakta bahwa di

luar pabrik-pabrik yang ditembok-pagar keliling, terdapa t bedeng-bedeng

rumah kontrakan yang dihuni para buruh pabrik. Rumah-rumah bedeng

tersebut berdiri dengan infrastruktur dan utilitas yang sangat minim

sehingga terkesan sangat kumuh (www.tangerangkota.go.id).

Besar kemungkinan bahwa maraknya pemukiman kumuh tersebut,

sebelumnya tidak menjadi hal yang diperhitungkan sebelumnya oleh para

pengambil kebijakan industrialisasi di kawasan tersebut. Hal ini bisa

dibuktikan, tatkala kemudian lahir gagasan pembangunan rumah susun

oleh Pemda Tangerang. Rumah susun tersebut mulai dibangun sekitar

tahun 1994 melalui lika-liku yang tidak mudah mengingat Pemda tidak

mempunyai lahan di sekitar kawasan pabrik Jatiuwung sehingga harus

dilakukan pengambilalihan lahan dari para tuan tanah. Hal ini menandakan
97

bahwa gagasan pembangunan rumah susun sesungguhnya lahir bukan

sebagai suatu perencanaan yang menyeluruh terkait dampak pembangunan

pabrik yang telah mendatangkan banyak buruh sebagai penduduk baru

(dampak industrialisasi), tetapi merupakan langkah reaksioner atas

dampak yang ditimbulkan. Bila pendekatan-pendekatan improvisasi

seperti ini digunakan dalam melakukan pembangunan kota, besar dugaan

dampak negatif lainnya akan lebih tidak terkendali dan melahirkan ragam

masalah sosial. Adalah wajar bila kemudian dewasa ini muncul fenomena

kemacetan kendaraan di jalan raya, sanitasi perkampungan yang tidak

jelas, banjir, pencemaran sungai, dan lain-lain. Ini semua sesungguhnya

adalah bukti dari ketidakjelasan konsep pembangunan kota.

Kekacauan dalam tata ruang kota Tangerang juga diungkap dalam

penelitian Syamsul Rizal. Menurutnya, salah satu penyebab kekacauan

tata ruang disebabkan karena jalannya aturan perundangan dengan

pelaksanaan ijin lokasi industri maupun perumahan tidak sejalan. Dalam

pemberian ijin lokasi seharusnya selalu berpedoman Peraturan Menteri

Dalam Negeri No 5 tahun 1974 dimana harus mempertimbangkan untuk

menghindari penggunaan lahan produktif seperti persawahan irigasi dan

aturan tersebut ditegaskan dalam Keppres No 53 Tahun 1989 tentang

kawasan Industri. Kadangkala untuk memperlancar ijin lokasi, Investor

justru terlebih dulu membeli lahan dari masyarakat baru mengajukan ijin

lokasi untuk kegiatan yang direncanakan.


98

Tabel 12.
Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990

Pola Jenis Penggunaan Lahan Asal


NO Penggunaan Lias (Ha) Tanah
Sawah Lainnya
Lahan Kosong
1 Industri 469,58 83,12 101,51 284,95
2 Perumahan 26.350,44 9.580,45 150,65 16.619,34
3 Jasa 535,36 345,05 7,41 182,90
TOTAL 27.355,38 10.008,62 259,57 17.087,19
Sumber: BAPPEDA Kabupaten Tangerang th 1990 dikutip Rizal, 1993: 92

Tabel 13.
Ijin Lokasi dan Pembebasan tanah
dengan Kesesuaian Rencana Tata Ruang

Jenis Ijin Jml Ijin lokasi yg Jml Ijin Lokasi


Lokasi dan terbit Tidak sesuai RUTR Jumlah Luas
Pembebasan
Tanah Bh Luas (Ha) Bh Luas (Ha)
Industri 235 469,58 73 202,36 15.77 0,79
Perumahan 212 26.350,44 39 3.316,02 8.42 12,12
Jasa 42 535,36 11 104,84 2.38 0,38

Total 463 27.355,38 123 3.623,20 26.56 13,24


Sumber: Dinas PU Kabupaten Dati II Tangerang Tahun 1980 dikutip
Rizal, 1993: 87

Sebagaimana hubungan ijin lokasi dan pembebasan tanah dengan

pengendalian perubahan penggunaan tanah nampaknya masalah

bersumber pada perilaku kelembagaan dan masyarakat dalam penerbitan

ijin. Pemberian Ijin Lokasi adalah alat sebagai upaya pengendalian

pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi pengendalian perubahan

penggunaan lahan (fungsi) dan pengendalian perencanaan (rencanana Tata

ruang Wilayah). Menurut Rizal (1993: 87), terdapat 73 ijin lokasi untuk

kegiatan industri (15,77%), 39 ijin lokasi untuk pembangunan perumahan

(8,42%) dan 11 ijin lokasi untuk jasa (2,37%) dari 463 ijin lokasi tidak
99

sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan pola dasar

pembangunan daerah Tangerang.

2. Ledakan Warga Pendatang Baru Dan Konflik antara Mereka

dengan Warga Yang Telah Menghuni Sebelumnya

Berkembangnya jumlah pabrik di wilayah Kabupaten Tangerang,

diikuti dengan berkembangnya jumlah warga pendatang yang kemudian

tinggal di sekitar pabrik. Mereka berasal dari berbagai daerah pedesaan di

wilayah Jawa maupun luar Jawa (urbanisasi). Kedatangan mereka

sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari kebijakan industrialisasi

Tangerang. Setiap pabrik didirikan, tentunya mempunyai kebutuhan akan

tenaga kerja. Artinya, bila tenaga kerja dari penduduk Tangerang tidak

mencukupi, maka harus didatangkan tenaga kerja dari daerah lain. Dengan

jumlah tenaga kerja yang banyak, maka hukum permintaan dan penawaran

akan berlaku, yaitu membludaknya tenaga kerja di Tangerang akan

menyebabkan harga tenaga kerja menjadi murah. Murahnya tenaga kerja

dengan sendirinya akan menekan biaya produksi pabrik -pabrik tersebut.

Dari sejumlah cerita para buruh, mereka hijrah ke daerah Tangerang

karena susahnya mendapatkan sumber penghidupan di kampung asal

mereka. Di antara para buruh mengaku dari daerah Jawa Tengah seperti

Tegal, Wonosobo, Boyolali, kemudian Jawa Barat, Jawa Timur dan

Sumatera. Di kampung-kampung mereka, pekerjaan sulit didapat sedang

lapangan kerja di sektor pertanian tidak menjanjikan hari depan mereka.

Hasil pertanian selalu tidak sepadan dengan biaya produksinya, sehingga


100

dengan urbanisasi menjadi buruh, mereka berharap, perekonomian mereka

bisa lebih baik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Banten, jumlah

penduduk Kabupaten Tangerang menempati urutan pertama paling

banyak. Lihat tabel berikut ini:

Tebel 14.
Perkembangan Penduduk Per Kabupaten/Kota
Provinsi Banten Tahun 2000-2005

NO Kabupaten/Kota 2000 2001 2002 2003 2004 2005


Kabupaten

1 Lebak 1.011.788 1.025.088 1.040.871 1.082.012 1.100.911 1.106.788

2 Pandeglang 1.030.040 1.034.710 1.044.047 1.122.228 1.132.899 1.139.043

3 Serang 2.781.428 2.873.256 2.983.384 3.185.944 3.194.282 3.324.949

4 Tangerang 1.652.763 1.669.119 1.735.560 1.776.995 1.834.514 1.866.512

Kota
5 Tangerang 1.325.854 1.354.657 1.416.840 1.462.726 1.488.666 1.537.244

6 Cilegon 294.936 301.225 309.097 326.324 331.872 334.408

JUMLAH 8.096.809 8.258.055 8.529.799 8.956.324 9.083.144 9.308.944

Sumber: BPS Provinsi Banten


Tabel 15.
Tabel Proyeksi Jumlah Penduduk 2002 -2017
(Dengan dasar perhitungan bunga beganda Pt = Po (1+r) a

KAB/KOTA 2000 2001 2002 2007 2012 2017

Kab. Serang 1.631.571 1.669.119 1.680.742 1.717.523 1.767.597 1.819.340

Ab. Lebak 1.027.053 1.034.710 1.049.639 1.097.827 1.165.083 1.236.478

Kab. Pandeglang 1.010.741 1.025.088 1.046.103 1.115.296 1.213.704 1.321.338

Kab. Tangerang 2.975.435 2.873.256 2.944.785 3.183.568 3.525.485 3.904.755

Kota Tangerang 1.311.746 1.354.657 1.402.564 1.565.983 1.811.176 2.094.300

Kota Cilegon 295.766 301.225 313.364 403.642 541.301 725.952

JUMLAH 8.052.312 8.258.055 8.437.197 9.083.839 10.024.346 11.102.163

Sumber: BPS Banten Dalam Angka 2001


101

Dari sekitar 3,3 juta pada tahun 2005, mayoritas merupakan warga

yang bekerja di sektor industri (buruh) dan berlatar belakang pendidikan

mayoritas lulusan SD/Madrasah. Lihat tabel berikut:

Tabel 16.
Jumlah Penduduk 10 Tahun ke atas Yang Bekerja
menurut Jenis Pekerjaan Utama per Kabupateb/Kota
di Propinsi Banten Tahun 2004

Lis.,
Kab. / Tamban Indust Bangu Dagan Keuan Jasa-
Kota Tani g ri Gas, nan Trans. g gan jasa
Air

Kab.Serang 230.948 1.524 115.782 3.048 28.642 55.548 132.122 2.786 47.986

Kab.Lebak 257.530 5.153 24.862 660 10.063 37.601 57.379 1.320 27.861

Pandeglang 209.592 1.392 26.364 1.828 9.006 31.347 68.618 3.916 27.959

Kab.Tangerang 108.086 9.318 352.362 2.064 57.152 101.268 237.986 29.608 185.228

Kota Tangerang 908 454 244.252 2.724 16.344 36.774 126.666 27.694 89.892

Cilegon 8.840 254 34.427 1.397 9.138 12.103 28.006 2.352 15.836

JUMLAH 815.904 18.095 789.049 11.721 130.345 274.641 650.777 67.676 394.762

Sumber: Banten Dalam Angka, 2004

Tabel 17.
Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas menurut Jenjang Pendidikan Tertinggi
Yang Ditamatkan di banten Tahun 2005

Pendidikan Yang Ditamatkan


Kab/ Kota SD / SLTP/ SLTA/ Diploma D111 /
< SD JUMLAH
sederajat Sederajat sederajat D1/11 S1
Kab.
Pandeglang 319.640 371.110 97.266 53.304 3.338 9.092 853.750
Lebak 311.043 402.952 106.673 58.810 5.505 13.641 898.624
Tangerang 555.723 731.278 531.035 614.516 18.911 215.795 2.667.258
Serang 489.054 570.583 228.583 154.563 7.783 18.135 1.468.701
Kota
Tangerang 139.832 264.228 242.890 507.572 15.890 84.444 1.254.856
Cilegon 46.825 56.610 58.320 92.790 3.772 15.189 273.506
BANTEN 1.862.117 2.396.761 1.264.767 1.481.555 55.199 356.296 7.416.695
Sumber: Banten Dalam Angka, 2004

Tabel 18.
Mata Pencaharian Tahun 1987 -1991

NO S TA TUS 1987 1988 1989 1990 1991


1 Industri 899.400 89.963 90.675 91.183 100.103
2 Pedagang 56.618 57.018 57.523 58.955 59.763
102

3 Jasa Angkutan 4.151 4.432 4.556 4.679 4861


4 Pertanian 17.670 17.517 17.091 16.446 15.631
5 PNS 25.586 26.199 26.711 28.231 28.842
6 Bangunan/Tukang 9.104 9161 9.381 9.688 9.972
7 Lian-Lain 21.412 22.106 22.613 22.965 23.225

Sumber: Kantor Kotamasya Tangerang Dalam Rizal, 1993: 64

Membaca angka -angka dalam tabel di atas, di balik kehidupan

masyarakat industri Tangerang, paling tidak menunjukkan kehidupan

masyarakat Tangerang yang sangat dipengaruhi oleh sektor industri,

khususnya kehidupan dalam pabrik. Kehidupan mayoritas penduduk

sebagai buruh tentunya akan dipengaruhi oleh kehidupan pabrik seperti

pola memanfaatkan waktu (aktivitas banyak di pabrik), pola pergaulan,

pola konsumsi, dan lain -lain. Salah satu contohnya adalah bagaimana

hubungan sosial antara para buruh dengan warga yang sudah lama tinggal

di sekitar pabrik (warga asli). Terbentuknya relasi antara mereka, ternyata

sangat diwarnai oleh kepentingan industri (pabrik).

Berdasarkan cerita sejumlah buruh, ditemukan informasi mengenai

perbedaan kehidupan warga pendatang dan warga lokal (yang lebih lama

menetap di Tangerang). Penduduk lokal Tangerang dari awal lebih dikenal

sebagai masyarakat agraris. Mereka terbiasa hidup bercocok tanam seperti

bersawah (padi), sayur-sayuran, dan buah-buahan. Dengan kehidupan

agraris tersebut, mereka hidup bersosial dan relatif sederhana. Kebutuhan

hidupnya banyak ditopang lewat aktivitas bertani. Kebutuhan pangan

relatif terpenuhi tanpa harus menjual tenaganya kepada majikan. Dengan

kultur seperti itu, penduduk lokal oleh pihak perusahaan seringkali

memandang mereka sebagai warga yang “malas”. Mereka tidak banyak


103

mau mengisi lowongan kerja yang dibutuhkan pabrik atau kalaupun

bekerja, seringkali dipandang tidak mempunyai etos kerja yang tinggi

Akibatnya, pihak pabrik kemudian tidak banyak mem prioritaskan warga

lokal untuk menjadi tenaga kerjanya. Dan untuk memenuhi kebutuhan

buruh, pihak perusahaan lebih sering menyerap tenaga kerja dari para

pendatang.

Fenomena yang muncul, ada pembagian wilayah kerja di antara

warga lokal dan warga penda tang yang dilakukan oleh perusahaan. Oleh

perusahaan, penduduk lokal sering ditempatkan dalam jabatan sebagai

“keamanan luar”, penerima order “sampah industri”. Sementara itu,

mereka yang tidak terserap dalam pabrik kemudian menjadi tukang ojek,

membuka warung makan, warung kelontong, atau sekedar menjadi

pemilik rumah-rumah kontrakan para buruh.

Keberadaan anggota keamanan luar tak jarang sangat unik. Di antara

mereka, ada yang ditempatkan sebagai security merangkap penanggung

jawab keamanan luar serta menjadi anggota kelompok penyalur kerja

(calo). Saat bertugas di dalam pabrik, maka tugas rutin pengamanan

dipusatkan dalam kontrol terhadap disiplin para buruh seperti kontrol

penyelundupan barang (pencurian), kontrol ijin ke WC. Keluar masuk

pabrik, dan lain-lain. Sedang keamanan luar, menyangkut pengaturan

bagaimana perusahaan berelasi dengan masyarakat serta aparat pemerintah

daerah tempat perusahaan berada. Oleh aparat desa, perusahaan sering

dikenakan iuran untuk pembangunan fasilitas publik, iuran ke amanan dari

pihak aparat militer, maupun pengamanan terhadap para “preman” yang


104

tak jarang juga ingin mendapatkan sejumlah kucuran dana dari

perusahaan.

Tak jarang, warga lokal yang menjadi kelompok keamanan luar

pabrik, juga dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghadapi desakan

para buruh yang dipandang merugikan pabrik. Para buruh seringkali

melakukan pemogokan dan demonstrasi menuntut kanaikan upah. Saat

aksi buruh berlangsung, kelompok keamanan luar biasanya menghadang

sejumlah buruh agar tidak ikut melakukan pemogokan. Tak tanggung-

tanggung, sejumlah buruh tersebut seringkali dijemput dari tempat

kontrakkannya, dan diantar langsung sampai ke pabrik agar tidak dibujuk

kawan buruh lain untuk mogok kerja. Ada pula cara lain yang ditempuh

perusahaan. Lewat kelompok keamanan luar tersebut, aksi demonstrasi

buruh juga sering dihadap-hadapkan secara langsung di lapangan. Untuk

memperkuat kelompok keamanan luar, pihak perusahaan juga seringkali

“membayar” aparat militer (kepolisian dan TNI) untuk berada di bela kang

kelompok keamanan luar. Mereka kemudian berusaha membubarkan

demonstrasi para buruh. Tak jarang disertai teror dan acaman kekerasan

dengan senjata tajam dan senapan. Maka, dapat diperkirakan, kondisi yang

demikian, tentunya menyimpan potensi konflik yang bisa memicu kondisi

chaos. Potensi konflik antara warga lokal dan para buruh bisa saja meletus

dalam bentuk-bentuk yang tidak sehat (Wawancara Otoy, Cikupa 22

Desember 2006).
105

3. Pergeseran Budaya Agraris menjadi Budaya Industri (Modern)

Pada era pendudukan kolonial hingga tahun 1970-an, bisa dikatakan,

kehidupan masyarakat Tangerang masih tetap bersifat agraris. Perubahan

drastis terjadi seiring industrialisasi era Orde Baru. Salah satu unsur

penting untuk mengetahui perubahan tersebut dapat ditinja u dari

perubahan pemaknaan masyarakat terhadap fungsi tanah dan rumah pada

era sebelum 70-an yang agraris menjadi kapitalis pada era selanjutnya..

Dalam logika akumulasi modal (kapitalisme), posisi tanah sebagai

salah satu barang niaga utama yang memiliki nilai ekonomis, berimplikasi

pada posisi fungsi tanah sebagai “komoditas strategis” yang

diperjualbelikan dengan nilai yang sangat tinggi. Seperti disebut oleh Arif

Budiman:

Dalam sistem kapitalis, tanah dihitung sebagai faktor produksi yang


bisa dijadikan mesin pencetak laba. Tanah sebagai komoditas, tanah
yang tidak produktif akan dialihkan fungsinya sebagai alat produksi
yang menghasilkan nilai tambah (Arif Budiman, “Fungsi Tanah
dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial edisi 3/Juli 1996, hal. 11-
12).

Tanah tidak hanya berfungsi secara ekonomis tapi juga sosial yaitu

sebagai alas hidup manusia sehingga posisinya vital, benda yang tak

tergantikan, tak dapat dipindahkan, dan tak dapat diproduksi kembali

(Noer Fauzi, 1996: 44). Tanah juga merupa kan seluruh bangunan

pandangan hidup yang memberi arah bagi gerak proses kemasyarakatan,

bertolak dari dialektika manusia dengan tanah. Bagi masyarakat desa yang

masih agraris , tanah memiliki legitimasi territorial bagi sebuah komunitas,


106

sebagai sumber mata pencaharian, dan simbol identitas sebuah komunitas

(Huzairin, 2002: 20) .

Sebelum industrialisasi di Tangerang begitu gencar, dapat

digambarkan bahwa di atas lahan yang mereka miliki, didirikanlah rumah

dengan pola saling berdekatan dengan saudara. Hal ini disebabkan oleh

sistem pewarisan dimana sudah tradisi bahwa orang tua menyediakan

rumah dan tanah untuk anak-anaknya sehingga dapat tinggal berdekatan.

Juga alasan mata pencaharian, dimana umumnya bertani. Satu keluarga

yang mempunyai lahan cukup luas maka ketika anaknya tumbuh dewasa

mereka bersama dengan orang tuanya menggarap lahan yang biasanya

berada di sekitar rumah. Maka ketika sang anak berkeluarga mereka cukup

membangun rumah di dekat orang tuanya. Kedekatan ini mempermudah

pekerjaan yang mereka lakukan karena lokasi rumah berada dekat dengan

lahan pertanian (Huzairin, 2002: 46-47).

Dalam studi yang dilakukan Huzairin terhadap perubahan struktur

kepemilikan dan fungsi tanah di desa Cibogo, Kecamatan Cisauk,

Kabupaten Tangerang, terdapat temuan yang cukup menarik. Sebelum

tahun 70-an, tanah yang dimiliki masyarakat Ciboga berasal dari warisan

turun temurun. Penduduk belum banyak, dan komunitas berkelompok

berdasarkan hubungan darah. Sistem pembagian warisan banyak berdasar

hukum waris dalam Islam dimana anak tertua laki-laki memperoleh hak

waris yang lebih besar dibanding anak perempuan. Dengan mengolah

lahan warisan itu, mereka dapat hidup berkecukupan. Pada masa itu

hampir dipastikan tidak ada pengangguran. Biarpun hidup sederhana


107

(agraris) denga n produksi utama sebagai penghasil beras dan sayuran,

kerajianan bambu, peralatan dapur dengan pemasaran hingga Jakarta

Proses beralihnya dari generasi ke generasi (waris) menyebabkan

kepemilikan tanah semakin menyempit/sedikit. Seiring penyempitan lahan

yang dimiliki, hantaman “peradaban modern” yang dibawa oleh

industrialisasi menyebabkan jurang nilai kecukupan hidup sangat

mencolok. Sementara itu, hasil pertanian dari lahan yang semakin sempit

tidak mencukupi kebutuhan hidup modern. Hal ini menjadi penyebab

generasi 80-an mulai berpindah profesi di bidang non pertanian (Huzairin,

2002: 70-75).

Setelah tahun 80-an, pola kepemilikan tanah berubah, banyak dijual

ke tangan pendatang. Faktor -faktor yang mendorong penjualan antara lain:

perta ma, pertanian hanya sebagai pekerjaan sambilan, pekerjaan utama:

sebagai kuli pasir, dan pekerjaan lain yang bias rutin mendapat

penghasilan dari pada bertani yang hanya dua kali setahun, itu pun kalau

tidak gagal panen. Akibatnya, mereka mulai merasa bahwa tanah pertanian

tidak lagi menopang hidup dan ketika pendatang data ng menjadi mudah

menjualnya. Kedua , banyaknya pendatang dari daerah dekat kota yang

digusur oleh pembangunan (dalam kasus desa Cibogo dari warga eks

Bumi Serpong Damai). Mereka memilih ahan


l ke pinggir karena harga

tanah bisa lebih murah. Ketiga, harga tanah relative murah dan banyak

dipilih “pendatang.” Keempat, keinginan yang tinggi untuk mengubah

jenis rumah menjadi permanen, beratap genteng, sedang sebelumnya dari

bilik bambu atau pa pan kayu. Pemugaran tersebut dilakukan dengan dana
108

dari penjualan tanah (Huzairin, 2002: 78-81). Dengan demikian, telah

terjadi pergeseran fungsi dan nilai tanah. Pada era 70-an fungsinya hanya

sebagai rumah, sawah dan tegalan, tetapi di era 80-an nilainya tidak hanya

sebagai sumber penghidupan, pembentuk identitas lokal dan pembentuk

pola pemukiman dengan tradisi transfer lewat pewarisan tetapi berubah

menjadi bernilai ekonomi yaitu mulai diperjualbelikan karena harga terus

meningkat.

Memasuki era 90-an, kepemilikan warga Ciboga berkurang drastis,

dimana hanya memiliki tanah untuk rumah dan pekarangan saja.

Sebabnya, hasil pertanian dan perdagangan hasil tani tersisihkan non

pertanian. Tanah banyak diborong oleh industri dan perumahan. Dibeli

murah karena lokasinya berada jauh dari jalan, tetapi setelah dikuasai

pengembang, dibangunlah jalan, akibatnya tanah menjadi naik harganya

dan kemblai dorongan untuk menjual menjadi tinggi lagi

Tabel 19.
Kepemilikan Tanah Perusahaan dan Perseorangan
Di Desa Cibogo

Nama Luas Yang Tahun Kegunaan Kegunaan


Perusahaan dikuasai dibebaskan sebelumnya Sekarang
(Ha)

PT Sion 20 1994 Sawah Galian pasir

Dibiarkan
PT Ustraindo 42 1988 Kebun/ ladang (rencana untk
perumahan)

PT Eko Damai
Mandiri 14 1992 Kebun/ ladang Perumahan
109

PT Indo Galian pasir


13 1999 Kebun/ ladang dan sebagian
Kompas
dibiarkan

Bangunan
Kebun/ladang/ rumah dan
Perseorangan 148,6 1983-2000 sawah sebagian
dibiarkan

Sumber: Huzairin, 2002: 85

Dengan demikian pada era 90-an, sebagian besar lahan dimiliki

orang luar Cibogo dan kepemilikan perusahaan. Sementara itu, fungsi

tanah menjadi barang dagangan terutama sebagai kompleks perumahan,

dan tambang pasir. Artinya, tanah bernilai sebagai komoditas, investasi,

dan spekulasi karena harganya sangat tinggi. Selanjutnya, aktibvitas

masyarakat Cibogo pun berubah menjadi ojek motor, kuli pasir, calo

tanah, dan sektor informal lain (Huzairin, 2002: 88)

Skema 1
Skema Motivasi Penjualan Tanah di Desa Cibogo

Pengaruh eksternal Pengaruh Tidak


Pengaruh Internal (langsung): Langsung
(langsung) - harga jual tanah - perkembangan
- kebutuhan ekonomi tinggi wilayah kota
- produktivitas tani - calo yang dominan - pengaruh
rendah - permintaan tanah budaya/trend
- alternative kerja lain yang tinggi - aksibilitas lancar

,.

Dorongan menjual tanah

(Sumber: Huzairin, 2002: 101)


110

Sejara lebih jauh, perubahan sosial di atas berimplikasi ke berbagai

sisi. Pertama , terhadap tingkat kesejahteraan warga Cibogo, perubahan

tersebut berdampak pada hilangnya kesempatan mengembangkan

produktivitas berbasiskan tanah (peternakan, perikanan) ka rena alat

produksi tanah sudah tidak dimiliki lagi. Bahkan, pertanian sudah tidak

mungkin tumbuh kembali. Juga, kehilangan area bermain anak-anak

(lapangan bola, olah raga lainnya). Menjadi lebih ironis lagi, sebagian

petani yang tersisa, justru menggarap lahan bukan milik mereka lagi.

Padahal dulu adalah milik keluarga mereka. Dan banyak pemuda menjadi

tukang ojek, calo tanah dimana dari pekerjaan itu nyaris sulit

meningkatkan kesejahteraan mereka di masa mendatang termasuk anak-

anak mereka, dan hanya sebatas survival atau bertahan hidup saja.

Kedua, terhadap sistem produksi lokal. Awalnya , Cibogo berfungsi

sebagai pendukung kota Jakarta dengan memproduksi beras, sayuran dan

kerajianan. Artinya tidak bergantung pada produksi orang lain. Ketika

penjualan tanah diharapkan mendapatkan selisih harga yang

menguntungkan, me reka kehilangan alat produksinya (tanah) kemudian

digantikan jasa tenaga mereka untuk alat produksin ya (kuli pasir dan

buruh).

Ketiga, terhadap sistem nilai budaya (reproduksi sosial), yaitu

hilangnya tradisi pewarisan dimana menjadi bentuk tanggung jawab orang

tua pada anak. Maka, hilang pula pola khas warga Cibogo. Akibatnya,

kontrol pola pemukiman terlepas dari kendali mereka. Pembangunan fisik


111

desanya sudah lepas dari kontrol mereka. Sementara itu muncul stereotif

bahwa status seseorang akan semakin meningkat bila membangun rumah

permanen menggantikan rumah berdinding kayu dan bambu.

Keempat, timbul potensi konflik. Para pemuda Cibogo disuguhi

pemandangan aktivitas sosial warga pendatang yang kini menguasai lahan

yang dulu dimiliki mereka sedangkan mereka sendiri justru tidak bisa

mengaksesnya (contoh main sepakbola di pemukiman BSD). Hal ini

menjadi latent conflict yang sewaktu-waktu bisa bergesekan antara

“kelompok pendatang” dan “pribumi” (Huzairin, 2002: 102) .

Skema 2
Alur Mata Pencaharian Generasi Cibogo setelah Era Industri

Lulus/putus Mencari kerja Bekerja


sekolah di pabrik

Tidak diterima

Dagang, ojek
Ada modal motor, ampra
pasir

Tidak Ada Kuli pasir,


modal sopir

Setengah Preman, calo


menganggur tanah, parkir, dll

menganggur

(Sumber: Huzairin, 2002: 69)


112

4. Pergeseran Konsep Keluarga dan Peran Perempuan

Berkembangnya Tangerang menjadi kawasan pabrik dengan banyak

penduduk yang berprofesi sebagai buruh, ternyata tidak hanya berdampak

pada tingkat kehidupan bermasyarakat dan keluarga, tetapi juga pada

kehidupan buruh secara individual. Kehidupan masyarakat buruh

sangatlah bergantung dari sumber penghidupannya yang dipastikan tak

akan jauh-jauh dari pengaruh pabrik tempat ia berkerja. Mereka hidup

dalam kebiasaan yang ditentukan oleh pabrik seperti kapan saat bekerja,

kapan saat pulang, kapan terima gaji, dan berapa besar gajinya, hingga

bagaimana buruh memanfaatkan waktu di luar pabrik untuk bersama

dengan anak dan istri di keluarga. Ketentuan pabrik yang memberlakukan

upah murah dengan sendirinya akan berdampak pada pola konsumsi serta

upaya memenuhi kebutuhannya yang terus melambung. Saat upah dirasa

kurang, maka mereka akan mencari tambahan lewat ruang-ruang yang

tersedia seperti menjadi tukang ojek, berjualan makanan, atau menjalani

kerja lembur.

Dalam salah satu cerita buruh, fenomena yang mengemuka adalah

berkembangnya buruh perempuan. Para istri maupun buruh perempuan

lajang kini semakin membanjiri pabrik. Mereka lebih mudah diterima

bekerja di pabrik karena menurut pihak perusahaan, kalangan perempuan

cenderung lebih bisa diatur dari pada kaum laku-laki. Kemudian bila

dilihat dari upah yang harus diberikan sesuai peraturan yang berlaku, maka

upah buruh perempuan relatif lebih kecil sehingga bisa mengurangi beban
113

biaya produksi pabrik. Contohnya, bagi buruh perempuan dengan status

pekerja tetap tidak perlu menerima tunjangan keluarga (suami dan anak).

Selain itu, maraknya buruh perempuan masuk pabrik juga erat

kaitanya dengan tingkat upah yang diterima buruh laki-laki yang sudah

berkeluarga, semakin tidak mencukupi biaya hidup keluarga mereka.

Untuk itu, kaum istri kemudian ikut membantu mengatasi problem

tersebut. Mereka berdua kemudian bekerja di pabrik sedang anak mereka

kemudian dititipkan pada orang tua di kampung, atau saudara terdekat.

Dengan kondisi seperti itu, kehidupan keluarga mereka bisa berjalan.

Sementara itu, dengan ritme hidup demikian, maka relasi suami-istri-anak

pun ikut terbentuk atau terpengaruhi.

5. Konflik Perburuhan: Buruh Melawan Koalisi Majikan dan

Rezim

Konflik buruh dan majikan atau pihak ma nagemen perusahaan

terjadi karena benturan kepentingan yang bertolak belakang (kontradiksi

kelas). Menurut Karl Marx, kontradiksi tersebut berupa kecenderungan

buruh untuk mendapatkan upah yang sebesar -besarnya sementara pihak

majikan menghendaki upah yang sekecil-kecilnya. Kontradisksi tersebut

melahirkan konflik dalam berbagai bentuk.

Pemicu konflik buruh dapat beraneka ragam seperti: perselisihan

upah minimum, tuntutan kenaikan upah, upah lembur, jam kerja,

keselamatan kerja, THR dan lain -la in. Dalam memperjuangkan

kepentingan buruh, biasanya mereka menggalang kekuatan dengan


114

berserikat. Sementara itu, pihak perusahaan biasanya tidak hanya bermain

di tataran lokal tetapi juga di tataran institusi negara baik di bidang hukum

maupun keamanan. Tak heran bahwa selama Orde Baru, banyak aksi

buruh yang kemudian diredam dengan kekuatan militer. Kecenderungan

negara yang memihak kaum pemegang modal mengingatkan kita pada

pelaksanaan kebijakan kolonial yang juga cenderung berpihak pada kaum

tuan tanah.

Tabel 20.
Kasus Pemogokan Serta Tenaga Kerja Yang Terlibat
Dan Jam Kerja Yang Hilang Tahun 1981-1999
TENAGA KERJA JAM KERJA
TAHUN KASUS
TERLIBAT HILANG
1981 200 54 875 495 144
1982 241 49 525 501 236
1983 96 23 318 295 749
1984 63 10 836 62 906
1985 78 21 148 55 001
1986 75 16 831 117 643
1987 35 8 281 35 664

1988 39 7 544 607 265


1989 19 1 168 29 257
1990 61 27 839 229 959

1991 130 64 474 534 610


1992 251 176 005 1 019 654

1993 185 103 490 966 931


1994 278 136 699 1 226 940
1995 276 128 855 1 300 001
1996 350 221 537 2 497 973
1997 287 145 559 1 225 702
1998 234 152 493 12 254
1999 125 48 232 915 105

Sumber : Data Direktorat Persyaratan Kerja - Ditjen Binawas 1981 - 1999


115

Hingga memasuki era reformasi, problem kehidupan buruh makin

beragam. Ragam problem tersebut juga terkait dengan pola kebijakan yang

ditentukan oleh negara. Tengok misalnya tentang UU No 13 tahun 2003

tentang ketenagakerjaan, UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU

No 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI, Permen Menaker

No.17/2005 tentang penentuan upah minimum provinsi (UMP).

Di antara regulasi tersebut telah membuka fenomena sistem kerja

outsourcing yang makin menjamur, melemahnya kekuatan buruh untuk

menuntut tingkat upah, dan sulitnya mereka memperjuangkan

kesejahteraan melalui jalur yang sudah ditentukan. Outsourcing telah

menimbulkan semakin sedikit pabrik yang menerapkan status pekerja tetap

bagi para buruhnya dan banyak pabrik yang melakukan PHK massal.

Kemudian, para buruh sering harus menjalani kerja yang berpindah-pindah

karena masa kontraknya tidak diperpanjang. Pola seperti ini tentunya

membawa dampak pada ketidakpastian masa depan kehidupan mereka.

Sementara tatkala mereka memperjuangkan kenaikan upah, itu pun tidak

mudah, bahkan seringkali gagal.

6. Pencemaran dan Kerusakan Biosfer

Menurut Arnold Toynbee (2007: 11-12), biosfir adalah suatu lapisan

tanah kering, air, dan udara yang tipis yang menyelimuti planet bumi kita.

Dalam biosfir inilah, berlangsung kehidupan flora, fauna, dan manusia.

Ciri dari biosfir yang sangat signifikan adalah ukurannya yang relatif
116

terbatas kecil dibandingkan alam semesta dan terbatas sumber-sumber

yang disediakannya untuk kehidupan. Umur keberadaan biosfir masih sulit

diungkap secara pasti oleh ilmu pengetahuan, tetapi diyakini sudah jutaan

tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, biosfir mengalami banyak

perubahan. Hal yang paling mencolok pada dewasa kini adalah perubahan

akibat budaya manusia terutama se jak revolusi industri di abad 18 hingga

sekarang ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi buatan manusia telah

menempatkan manusia sebagai “penakluk” biosfir. Akan tetapi, dala m

eksplorasi manusia dalam biosfir, ternyata juga menimbulkan konsekuensi

negatif. Peradaban industri telah memproduksi bahan material yang

mengancam biosfir sebagai tempat kehidupan. Ini pula yang terjadi akibat

industrialisasi di Tangerang.

Seperti kita ketahui bersama, perkembangan kebutuhan manusia

sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk manusia dan

perkembangan kebudayaannya. Perkembangan ini mulai mendorong

manusia untuk memenuhi kebutuhannya diduga telah menimbulkan

benturan lingkungan sosial dan mendesak serta mengubah lingkungan

alami, sehingga kalau tidak terkendalikan, tujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan hidupnya tidak tercapai secara berkesinambungan

Dinamika penduduk yang tinggi disertai dengan meningkatnya

berbagai kebutuhan, apabila terjadi pada tempat yang terbatas maka akan

menimbulkan persoalan lingkungan fisik alam dan sosial yang semakin

rumit. Meningat dinamika penduduk yang cukup tinggi dan pada giliranya

menyebabkan tingginya kebutuhan akan fasilitas untuk menunjang


117

kehidupannya maka tidak ada pilihan lain kecuali mempercepat laju

pertumbuhan pembangunan (atau aktivitas ekonomi), membutuhkan

sumber daya alam. Ini memperlihatkan bahwa perubahan fisik alam dan

lingkungan hidup pada dasarnya timbul akibat adanya aktivitas

pembanguna n untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Kenyataan ini telah

menempatkan faktor penduduk sebagai faktor utama dari aktivitas

ekonomi dan perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial. Hal ini

selanjutnya melandasi bahwa perubahan jumlah dan aktivitas penduduk

yang mendorong laju pembangunan di Tangerang telah menimbulkan

terjadinya perubahan terhadap lingkungan hidup dan lingkungan fisik

lainnya seperti perubahan dalam peruntukan lahan permukiman, kegiatan

industri dan perdagangan, prasarana jalan dan jembata n, kebutuhan air

bersih dan energi (Taqim, 1997: 33-34).

Tahun 1990, ada 660 buah industri di kotamadya Tangerang.

Menurut Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup (NKLD)

Kotamadya Tangerang tahun 1994 beban pencemaran udara yang

bersumber dari 225 buah industri diperkirakan debu sebanyak 157.133,7

ton per tahun, SO2 sebanyak 16,89 ton per tahun, NO2 sebanyak

658.895,27 ton per tahun, THC sebanyak 76.451,55 ton per tahun, CO

sebanyak 4.730 ton per tahun dan lainnya sebanyak 377,44 ton per tahun.

Beban penc emaran air: BOD sebanyak 97.323,01 ton per tahun,

COD sebanyak 115.829,8 ton per tahun, SS sebanyak 1.741,53 ton per

tahun, TDS sebanyak 15.811,68 ton per tahun dan lainnya 191.941,66 ton

per tahun. Tahun 1994, Volume limbah dari industri di Kodya Tangerang
118

dari semua industri ini diperkirakan sebanyak 137.460.710 meter kubik

per tahun (Taqim, 1997: 102-103).

Sementara itu, berdasar analisi kualitas air yang dilakukan oleh

TP2K (Team Pelaksanan Program Kebersihan) BKPMD terhadap 17

industri yaitu: PT Pelita Cengkareng Paper, PT IWWI, PT Sari Mie Asli

Jaya, PT Bapak Jenggot, PT Yasulintex, PT Karya Indonesia, PT Aneka

Karton Elok , PT Polkrik Jaya Chemical, PT Danto Tile Indonesia, PT

Surya Toto Indonesia, PT Indah Kiat, PT Tifiko, PT Kusafiber, PT ITS,

PT Argo Pantes, PT Yasinta Poli, PT Multi Bintang terbukti bahwa:

Sebagian besar memiliki kadar pencemaran di atas ambang toleransi

terutama apabila didasarkan pada Baku Mutu Air Limbah Golongan I

(KEPMEN KLH 1988) yang meliputi kadar pencemar KOK (Kebutuhan

Oksigen Kimiawi), KOB (Kebutuhan Oksigen Biologis), NO2, NH4, Cr,

Mn, Fe, Pb, dan lain -lain (Rizal, 1993: 64).

Tingkat pencemaran diperparah dengan kecenderungan pola

pemukiman yang berada di sekitar industri. Alasan para penghuni

pemukiman di sekitar industri adalah agar dapat menekan biaya sosial para

buruh. Akibatnya : banyak buruh tinggal berdekatan dengan daerah

pembuangan limbah industri, di sekitar kawasan industri timbul kemacetan

akibat pemadatan penghunian, pencemaran sungai dan pertanian.

Pada tahun 1990 ditemukan indikasi kuat bahwa Sungai Cisadane

tercemar dengan tingkat pencemaran terus meningkat. Berdasarkan

Laboratorium, pencemaran Biologi Oksigen Demont (BOD) pada air

sungai Cisadane tercatat 2 Ppm. Padahal, sebelumnya hanya antara 1 – 1,5


119

Ppm sedangkan ambang toleransi sebagai air bakunya hanya 3 Ppm (Rizal,

1993: 75). Bila kondisi ini terus terjadi beberapa tahun mendatang, bukan

mustahil perusahaan air minum seperti PDAM Tirta Kerta Raharja

Tangerang dapat berhenti beroperasi karena bahan baku air tak layak lagi

diolah. Sebab, dengan memaksakan PDAM tetap beroperasi, maka ia telah

melakukan upaya “peracunan” terhadap warga yang mengkonsumsi air

PDAM. Materi pencemaran air yang dikonsumsi manusia secara perlahan

akan mengakumulasikan tingkat keracunan pada tubuh manusia yang

menimbulkan penyakit kanker. Hal ini bukanlah suatu yang mengada -ada.

Indikasi yang paling kuat dwewasa ini adalah punahnya keragaman jenis

ikan yang dulu menjadi menjadi kekayaan Cisadane. Keragaman jenis ikan

sekarang telah digantikan dengan satu jenis ikan bernama ikan sapu-sapu

(www.kompas.com).

Maka tak mengherankan ketika pada tahun 2007, Kabupaten

Tangerang meraih predikat kota besar terkotor se-Indonesia dalam

penilaian program Adipura 2007. Salah satu kabupaten di Provinsi Banten

ini menjadi satu-satunya kota besar di Indonesia yang memperoleh

peringkat nilai "jelek", yakni 53,52. Sementara itu, Kota Tangerang hanya

berada dalam posisi kedua terbawah sebagai kota metropolitan terkotor

dengan kategori nilai "cukup", yaitu 64,44. Penilaian tersebut langsung

dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar,

berdasarkan sejumlah indikator, di antaranya kondisi jalan kota, pasar,

terminal, sungai, jumlah taman kota, dan lain-lain. Hingga tahun 2008,

Tangerang masih tetap berpredikat sebagai kota kotor.


120

Mencermati tingkat pencemaran lingkungan di Tangerang seperti

dipaparkan di atas, maka kekawatiran akan hancurnya lingkungan hidup

yang sehat, bukanlah suatu hal yang mengada -ada. Kekawatiran ini senada

dengan apa yang telah dipaparkan oleh Arnold Toynbee (2007: 764) dalam

bukunya Sejarah Umat Manusia.

Senyatanya, manusia masih mempunyai harapan untuk bertahan


hidup di biosfer ini selama 2.000 juta tahun mendatang, jika
perilakunya tidak terlalu cepat membuat biosfer ini tak bisa
ditinggali. Kini, manusia mempunyai kekuatan material untuk
membuat biosfir ini segera tak bisa ditinggali lagi. Karenanya,
mungkin orang-orang yang masih bisa menghirup udara segar
sebentar lagi akan dilibas oleh bencana buatan manusia yang
menghancurkan biosfir dan manusia beserta seluruh bentuk
kehidupan lainnya.

Dalam skripsi ini, uraian mengenai implikasi penetrasi modal era Orde Baru,

sesungguhnya masih bersifat gambaran umum. Penulis sengaja hanya

memberikan pemetaan umum dari dampak-dampak yang ditimbulkan oleh

aktivitas akumulasi modal di Tangerang. Untuk bisa mendapatkan data dan fakta

yang lebih akurat hingga dapat digunakan sebagai pertimbangan penentuan

kebijakan pembangunan Tangerang di masa mendatang, seharusnya diperlukan

penelitian secara lebih mendalam dan lebih fokus. Salah satu contohnya mengenai

tingginya konflik di bidang perburuhan. Dalam persoalan ini, tidak cukup hanya

dilihat dari kacamata penetrasi modal, tetapi juga perlu dikaji dari kebijakan

pemerintah secara nasional dalam mengatur sistem ketenagakerjaan, persfektif

hak-hak asasi kaum buruh terutama buruh perempuan, serikat buruh, kontribusi

buruh terhadap pembangunan nasional, hingga sejarah perlawanan kaum buruh

terhadap perusahanan dan pemerintah. Demikian halnya dengan soal pencemaran


121

lingkungan, tata ruang, perubahan tingkat kesejahteraan warga pribumi dan

pendatang, dan sebagainya, seharusnya diperlukan penelitian lebih lanjut. Dengan

demikian, setiap dampak dari penetrasi modal sesungguhnya dapat menjadi tema

baru yang menarik untuk dikaji secara mendalam.

Walaupun pemaparan implikasi penetrasi modal era Orde Baru dalam

skripsi ini masih bersifat umum, paling tidak dapat dirumuskan beberapa catatan

penting yang dapat menjadi acuan penelitia n selanjutnya. Beberapa catatan

penting yang dapat penulis rumuskan antara lain: pertama, bahwa dibandingkan

pada era Kolonial Belanda, implikasi penetrasi modal era Orde Baru jauh lebih

kompleks dan makin meningkat. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya masalah

anti Cina, kesenjangan miskin-kaya, ataupun konflik antara kelas penghisap

dengan kelas terhisap, tetapi juga menimbulkan permasalahan krusial yang baru

dan belum pernah terjadi pada era sebelumnya. Yang sangat mencolok adalah

faktor kerusakan lingkungan dan tata ruang kota yang tidak terencana. Persoalan

ini jelas tidak ada di era Kolonial. Justru di era Kolonial, alam Tangerang

ditundukkan dan diatur untuk meningkatkan produksi pertanian, yaitu dengan

pembangunan bendungan Cisadane. Dengan irigasi tersebut, peranan air Cisadane

berguna untuk mengairi persawahan. Sedang di era Orde Baru, seiring

persawahan digusur untuk industri, air Cisadane justru makin tercemar padahal

menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air PDAM menuju pemukiman warga

Tangerang. Dengan demikian, ancaman bahaya bagi kesehatan akan diterima

secara langsung oleh manusia.

Kedua, bila pada era Orde Baru terjadi konflik antara pribumi melawan tuan

tanah yang didukung pihak Kolonial Belanda , pada era Orde Baru juga
122

menunjukkan pola yang sama yaitu antara kaum pribumi dengan pihak pemilik

modal yang didukung oleh pemerintah rezim Orde Baru. Bahkan ada kalanya,

pada era Orde Baru, pihak pribumi mengalami konflik horizontal dengan warga

pendatang. Dalam konflik horizontal ini, pihak pemilik modal (pabrik) seringkali

menggunakan strategi “adu domba” dengan menempatkan warga pribumi sebagai

tenaga pengamanan dalam menghadapi tuntutan para buruh yang mayoritas warga

pendatang.

Ketiga, baik di era Kolonial maupun era Orde Baru, kelompok yang relatif

paling berat menanggung beban atau menjadi korban adalah warga pribumi. Di

era Kolonial mereka diperas oleh kaum tuan tanah, di era Orde Baru, mereka

harus merubah total budayanya. Kaum pribumi yang berbudaya agraris, secara

perlahan digusur dari alat produksinya (tanah) karena dibangun pabrik, sehingga

terus bergeser ke daerah lebih pinggir dan harus meninggalkan sistem mata

pencahariannya. Keahlian bertani tanpa menjual tenaganya harus ditinggalkan dan

digantikan dengan kemampuan memasuki dunia pabrik. Jelaslah bahwa hal itu

menjadi dunia baru. Akibatnya mereka kalah bersaing dengan warga pendatang

yang lebih siap bekerja sebagai buruh. Di samping itu, bila sebelum industrialisasi

mereka hidup relatif sederhana dari hasil pertaniannya, kini harus menjual

tenaganya. Kesederhanaan warga pribumi sebelumnya justru dianggap oleh

pemilik modal sebagai warga “pemalas” sehingga dinomorduakan dalam

perekrutan tenaga buruh. Pemilik modal justru lebih memilih menyerap tenaga

kerja dari pendatang. Akibatnya, warga pribumi hanya mampu mengisi ruang-

ruang baru yang berupa “remah-remah” penghidupan seperti menjadi tukang ojek,

calo tanah, calo tenaga kerja, keamanan luar, preman, tukang parkir, bahkan
123

menganggur. Dengan mata pencaharian itu, masa depan dan tingkat kesejahteraan

mereka jelas akan tidak jelas dan terancam.


124

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan temuan penelitian yang sudah dipaparkan pada bab-bab

sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Daerah Tangerang baik pada era kolonial (1684-1942) maupun pada

masa Orde Baru (1966-1998) menjadi ajang aktivitas untuk akumulasi

modal dika renakan faktor kekayaan alam, potensi sumber daya

manusia, dan letak geografis yang sangat strategis yaitu berdekatan

langsung dengan pusat kekuasaan. Pada masa pendudukan VOC dan

Belanda, Tangerang berbatasan dengan Batavia dimana Tangerang

dijadikan daerah partikelir untuk menghasilkan produk pertanian.

Sedangkan pada masa Orde Baru, Tangerang diarahkan menjadi

penyangga Ibu Kota Jakarta terutama sebagai daerah pemukiman bagi

tenaga kerja yang menjalankan mesin industri, daerah perdagangan,

dan kawasan industri.

2. Untuk mencapai tujuan penetrasi modal, VOC dan Kolonial Belanda

menjalankan suatu kebijakan yang dapat diklasifikasikan dalam

beberapa pola yaitu: tahap merebut daerah Tangerang dari Kasultanan

Banten, menerapkan sistem feodal, menjadikan daerah Tangerang

sebagai daerah partikelir atau swasta dimana pelaksanaannya bersifat

diskriminatif, memperkuat sistem pemerintahan, pembangunan

infrastruktur, dan akhirnya upaya peningkatan produksi.


125

3. Kebijakan VOC dan pemerintah Kolonial Belanda yang sangat

diskriminatif antara etnis Tionghoa (tuan tanah) dan pribumi (petani

dan buruh tani) dimana etnis Tionghoa jauh lebih diuntungkan

daripada pribumi mengakibatkan suburnya perasaan anti Cina. Kaum

pribumi yang menyadari ketertindasan, penghisapan, dan ketidakadilan

sampai akhirnya tak tertahankan kemudian meletup dalam suatu

gerakan pembrontakan yang ditujukan pada tuan tanah dan pemerintah

kolonial. Ada indikasi bahwa perasaan anti Cina masih menjadi

memori sosial dimana sewaktu-waktu dapat meletup kembali seperti

dalam peristiwa Poh An Tui dan kerusuhan 13-15 Mei 1998.

4. Sementara itu, penetrasi modal pada masa Orde Baru dapat

diklasifikasikan dalam beberapa pola antara lain: tahap membuka

investasi atau penanaman modal asing dan nasional, tahap menjadikan

Tangerang sebagai daerah penyangga DKI Jakarta, tahap

pembangunan infrastruktur industri, tahap pembangunan kawasan

pabrik melalui pengambilalihan lahan warga dan penataan ulang

penduduk.

5. Implikasi yang cukup mencolok dari penetrasi modal pada era Orde

Baru antara lain: tata ruang kota yang dikooptasi oleh kepentingan

modal sehingga terjadi tata lingkungan yang tidak sehat dan tertib,

terjadi ledakan penduduk dimana antara pendatang dan warga asli

terjadi gesekan sosial yang berpotensi tinggi tumbuh konflik sosial,

terjadi pergeseran budaya agraris ke modern yang sangat drastis

dimana tingkat kesejahteraan kaum pribumi justru ce nderung merosot


126

dibanding para pendatang dan pemodal, kemudian terjadi pergesaran

konsep keluarga dan peran perempuan, tingginya konflik buruh dan

majikan atau perusahaan, dan yang terakhir adalah lingkungan

Tangerang (biosfir) yang terancam mengalami kerusakan secara

signifikan. Dari seluruh implikasi di atas, dapat ditarik satu lagi

kesimpulan kunci yaitu bahwa penetrasi modal pada masa kolonial dan

dilanjutkan era Orde Baru menunjukkan kompleksitas dampak negatif

yang terus meningkat. Salah satunya, soal ancaman kerusakan

lingkungan Tangerang akibat limbah industri yang baru

memprihatinkan di era Orde Baru. Sementara di masa kolonial,

lingkungan alam Tangerang relatif terkendali.

B. Saran

1. Dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah Tangerang (Pemda

Kabupatan Tangerang dan Kota Tangerang) hendaknya benar-benar

memperhatikan secara menyeluruh (utuh) terhadap kelemahan,

kelebihan, dan potensi yang dimiliki Tangerang sehingga

pembangunan tidak berjalan secara pars ial dimana hanya

menguntungkan satu sisi saja tetapi merugikan sektor lainnya.

Misalnya , dalam perijinan pembangunan pemukiman harus tertib pada

ketentuan hukum dan rencana tata ruang sehingga tidak menyala hi tata

guna lahan.

2. Sepanjang sejarah perubahan sosial masyarakat Tangerang dari era

kolonial hingga Orde Baru, secara jelas tergambar bahwa kepentingan


127

akumulasi modal selalu menjadi faktor pendorong perubahan. Dalam

logika akumulasi modal, keuntungan bagi pemilik modal cenderung

menjadi tujuan utama yang seringkali justru berdampak merugikan

pada masyarakat umum dan lingkungan sosialnya. Maka, perlu kiranya

baik pemerintah daerah Tangerang maupun pemerintah pusat selalu

mengontrol dan mengendalikan kegiatan akumulasi modal sehingga

tidak secara terus-menerus merugikan masyarakat dan menghindari

kerusakan lingkungan secara lebih jauh.

3. Di masa mendatang, dalam menentukan kebijakan terkait penetrasi

modal, hendaknya pemerintah daerah Tangerang terlebih dahulu

didasari penelitian mendalam yang bisa melibatkan ahli lingkungan

(ekologi) dan ahli ilmu sosial (termasuk sejarawan) untuk menekan

kecenderungan implikasi negatif dari perilaku akumulasi modal yang

cenderung destructive bagi lingkungan hidup (biosfir).


128

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Anantatoer, Pramoedya. 1982. Tempo Doeloe . Jakarta: Hasta Mitra

_________ 1998. Hoakiau Di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya

Brousson, H.C.C Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup
Jakarta.

Castles, Lance. 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta.

Djojohadikusumo, Sumitro. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ekajati, Edi S. dkk. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang . Tangerang:.


Pemerintah Kabupaten Tangerang.

______. 1995. Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah . Bandung:


Pustaka Jaya .

Fauzi, Noer. 1997. Tanah dan Pembangunan, Risalah Dari Konferensi


INFID ke -10, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

_________. 1999. Petani Dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik


Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist, Konsorsium Pembaruan Agraria,
Pustaka Pelajar.

Gottschalk Lois. 1985. Mengerti Sejarah , terjemahan Nugroho Notosusanto.


Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Halim, Wahidin. 2005. Ziarah Budaya Kota Tangerang Menuju


Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah. Jakarta: Pendulum.

Hardjasaputra, A. Sobana. 1985. Bupati -Bupati Priangan; Kedudukan dan


Peranannya Pada Abad ke-19. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.

Huzairin, Achmad. 2002. Perubahan Struktur Kepemilikan Dan Fungsi


Tanah, Studi Kasus: Masyarakat Desa Cibogo Kecamatan Cisauk
Kabupaten Tangerang. Depok: Universitas Indonesia.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya .


129

Marx, Karl. 2004. Kapital Buku I. Edisi Terjemahan Oey Hay Djoen.
Jakarta: Hasta Mitra.

__________ 2006. Kapital Buku II. Edisi Terjemahan Oey Hay Djoen.
Jakarta: Hasta Mitra.

Mubyarto, 1992. Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966 -1971,
Jakarta: LP3ES.

Multatuli. 1975. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan.

Murtono. 1998. Proses Transformasi Masyarakat ertanian Menuju


Masyarakat Industri, Studi Kasus Tangerang, Bekasi, Bogor. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Rizal, Syamsul. 1993, Pemberian Ijin Lokasi Pemukiman Dan Industri


Dalam Kaitannya Dengan Penataan Ruang. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Sadyohutomo, Ir. Mulyono, MRCP. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah,


Realita dan Tantangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil Di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia.

Setyanto, Guntur. 2000. Interaksi Sosial Etnis Tionghoa Dan Pribumi,


Studi Kasus Di RT 03 RW 06 Kelurahan Neglasari Kecamatan
Batuceper Kodya Tangerang . Jakarta: Universitas Indonesia.

Soetopo, Toni. 1999. Dampak Proses Pembangunan Terhadap Kualitas


Hidup Masyarakat Lokal, Studi Kasus 3 Desa Kota Baru andiri Bumi
Serpong Damai, tangerang, Jawa Barat. Jakarta: Universitas Indonesia.

Suhendar, Endang. 1994. Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa


Barat. Bandung: Yayasan AKATIGA.

Suryana. 1998. Kontribusi Pembangunan Perumahan Dan Permukiman


Terhadap Pendapatan Daerah Dan Beban Pemerintah Daerah Dalam
Pembiayaan Prasarana Lingkungan, Fasilitas Sosial, Dan Utilitas
Umum, Suatu Studi Kasus Di Kabupaten Daerah Tingkat II
Tangerang. Jakarta: Universitas Indonesia.

Suryana, Nana et al. 1992. Sejarah Kabupaten Banten. Tangerang: Pemda


Tk II Tangerang dan LPPM UNIS Tangerang.

Sutiyoso. 2007. Megapolitan. Jakarta: Gramedia.


130

Taqim, Nursiwan. 1997. Analisis Dinamika Penduduk Terhadap


Perubahan Fungsi Lahan di Kotamadya Tangerang. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Thahirudin. 1971. Sekilas Lintas Kabupaten Tangerang. Tangerang: Pemda


Tk. II Tangerang.

Tjondronegoro, Sediono MP. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan Tulisan


Terpilih. Bandung: Akatiga.

Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia, Uraian Analitis,


Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Yunus, Hadi Sabari, MA. 2006. Megapolitan, Konsep, Problematika, dan


Prospek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

B. Jurnal Penelitian:

Arif Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial


edisi 3, Juli 1996.

Supriono, Jurnal Penelitian Buruh, Desember 2006.

Summary Diskusi Perburuhan Elsam, 29 Oktober 2007.

Transkripsi Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu
Sosial Indonesia dengan presentasi yang disampaikan oleh Hilmar Farid,
05 November 2007.

C. Transkripsi Wawancara:

Transkripsi Wawancara dengan Abah Nang, Cikupa 5 Januari 2007

Transkripsi Wawancara dengan Abdul Mutoi (Otoy), Cikupa 22 Desember


2006

D. Kliping Berita dan Artikel Internet:

“Dinas Tata Ruang Akui Abaikan Perda”, Rabu, 12-Maret-2008, 06:59:42,


http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&
artid=23631

“Kabupaten Tangerang”.bdk:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tangerang
131

Perdana, Ari A. September 2001. “Peranan Kepentingan dalam Mekanisme


Pasar dan Penentuan Kebijakan Ekonomi Indonesia”, CSIS Working
Paper Series,
Bdk: http://www.csis.or.id/working_paper_file/22/wpe061.pdf

Prabowo, Hermas Efendi. ”PDAM Ditengah Industri yang Bandel", Kompas,


21 Mei 2004.

Widodo, Ruseno. “Pembangunan Perkim”, 05/09/2007,


bdk: http://www.tangerangkota.go.id/view.php?mode=71&sort_no=6

______ . “Sungai Cisadane Tercemar, PDAM Tangerang Dapat Berhenti


Beroperasi”, 16/01/2004.
bdk: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/16/metro/805517.htm
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2:
LAMPIRAN 3:
LAMPIRAN 4:
LAMPIRAN 5:

Foto Pengrajin Topi Bambu Tangerang


LAMPIRAN 6:

Cuplikan
Transkripsi Wawancara Sejarah Perburuhan
Yang Diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Lokasi wawancara: Telaga Kocak, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang
Tanggal wawancara: 22 Desember 2006
Nama Narasumber: Otoy (Nama Samaran)
Pewawancara: Pray de Ferri

Catatan:
Transkripsi ini sesungguhnya mencapai 52 halaman. Mengingat jumlah halaman
yang terlalu panjang, berikut ini penulis lampirkan cuplikan beberapa halaman
yang memuat informasi tentang bagaimana relasi antara pabrik, warga pribumi,
dan pendatang. Otoy adalah salah satu warga Tangerang yang menjadi salah
satu “pengaman luar” merangkap sebagai calo tenaga kerja yang bertanggung-
jawab secara tidak langsung kepada pihak pabrik. Cuplikan diambil dari rekaman
kaset 2 side A, halaman 24 hingga kaset 3 side A, halaman 37. J adalah
keterangan narasumber, T adalah pewawancara.

J: ... kalau istilahnya, kalau saya mau jadi calo beneran, menjadi penyalur tenaga
kerja. Karena kita pikir Mas, kalau orang masuk satu juta satu orang, sepuluh
orang sepuluh juta. Satu pabrik saja bisa kita masukin kan kita dulu itu.
Sekarang saja sudah ada dua juta setengah, dua juta pingin masuk kerja ya.
Saya kadang-kadang, “A duh, orang ini saya bilang, dua juta nyari dari mana,
sedangkan dia, saya pikir dia pingin kerja, apa mungkin dia itu dari rumahnya
itu ngejual apa, apa ngejual tanah, apa ngejual apa?” Karena orang yang berani
mahal itu, yang pingin kerja itu orang luar itu, kayak semacam dari Sumatera,
dari Solo, apa dari mana, kan gitu. Kadang-kadang saya nggak gitu, kalau saya
bantu kalau ada kerjaan, ada lowongan saya bantu, kalau nggak ada,
“T olonglah nyari ke orang lain saja ,” kan gitu. Sebenarnya orang-orang,
preman-preman itulah, setiap jatah ada lowongan itu yang dapat duit.
T: Ada premannya juga, ya?
J: Itu yang saya bilang grup tujuh itu.
T: Grup tujuh. Dia dari Talaga juga?
J: Dari Talaga .
T: Apa kerjaan mereka?
J: Ya, kerjaan dia itu, ya sebatas keamanan luarlah, ngakunya kan gitu.
Keamanan luar, dia setiap pabrik dapat jatah kan, ada yang satu juta, ada yang
500 ribu, dan ada yang 800 ribu. Ya, intinya sih katanya keamanan luar, kan
gitu. Dia masing pabrik -pabrik saja sampai sekarang juga sudah mempunyai
jatah, kan gitu.
T: Digaji sebulan?
J: Sebulan dapat jatah, ya digajilah, kan gitu.
T: Itu pasti itu?
J: Itu sudah pasti, sampai sekarang juga masih ada Stenly [nama pabrik] saja
sudah satu juta, KMK sudah satu juta.
T: Berapa?
J: Apanya?
T: Maksudnya, setiap pabrik itu pasti jatah, ya?
J: Pasti dapa t jatah, pasti ngasih jatah.
T: Di kawasan?
J: Di kawasan sini.
T: Ada berapa pabrik, sih?
J: Di sini: KMK, Starmas, Baiksan, Koyo, kurang lebih 10-lah.
T: Setiap pabrik jatah tujuh orang itu?
J: Paling gede sejuta.
T: Untuk tujuh orang?
J: Tujuh orang, enam, yang satunya kan sudah nggak aktif, Haji Lan itu, karena
dia sudah nggak mau. Cuman dia membantu, karena dia bos limbah [sisa -sisa
pabrik yang tak digunakan tapi laku dijual] , karena bos limbah, enam, enam
orang . Ya, tujuh oranglah, karena ada yang ngikut lagi itu, nambahin satu.
T: Bukan satu orang satu juta ya?
J: Nggak, nggak, satu juta itu dibagi tujuh. Bervariasi sih Mas, nggak semua
sejuta, ada yang 500, itu sudah yang paling kecil 500. Antara 500 sampai
sejuta saja sudah.
T: Tugas mereka apa, fungsi-fungsinya?
J: Fungsi-fungsi dia sebenarnya katanya sih ngamanin pabrik gitu.
T: Maksudnya ngamanin dari?
J: Dari luar, kayak orang yang demo, segala mungkin ada yang pemalakan-
pemalakan dari pungutan liar, dari preman lain gitu, apa mungkin dari orang
luar yang sekiranya nggak dikenal mau minta jatah ke pabrik. Karena kalau dia
sudah punya itu, dia yang menghalangi, gitu. Kayak macam sumbangan-
sumbangan liar, intinya gitu. Cuman saya pikir sampai sekarang juga
sebenarnya keamanan luar itu nggak ada fungsinya sama sekali. Apa yang
sebenarnya dia bilang keamanan luar, ya intinya dia sebenarnya , dia pingin
duitnya doang. Karena apa? Yang saya tahu yang kemarin-kemarin demo saja,
dia juga memanfaatkan juga orang yang demo
T: Misalnya gimana?
J: Misalnya, yang kemarin Panah Forest, demo kayak macam KASBI [nama
serikat buruh] itu, ya. Dia itu, KASBI itu, saya nggak tahulah, KASBI itu apa
yang di Panah forest itu kan. Orang Panah Forest kan membayar dia kan satu
bulan itukan jatahnya 500 ribu. Dia kan waktu itu ada yang demo, orang pabrik
kan sudah pasti mengundang dia karena dia sudah dapat jatah kan, keamanan
luar, kan kalau itu kan sudah tugasnya keamanan luar, bukannya tugasnya
satpam lagi. Panggillah dia, tapi dia secara ini mau dia, mau membubarkan itu,
tapi dengan satu syarat dia minta bayaran lagi.
T: Oh gitu,
J: Itu
T: Tapi kan sudah dijatah sebulan?
J: Nah, padahal sudah dikasih jatah satu bulan. Di situkan dia kadang-kadang
manfaatin pabrik yang butuh juga, padahal dia sudah dibaya r. Nggak sanggup
gitu, misalnya dia untuk membayar gitu. Ya dibubarin, ya ternyata ya kata dia ,
“Ya sudahlah tolong” , katanya kan. Dikasihlah, “Ntar kalau misalkan sudah
dibubarkan saya kasih”. Ternyata selama orang KASBI demo di situ, dia
diminta bantuan, ya dapat juga kan? Barang satu orang 100 ribu kan, tujuh
orang, ya tujuh ratus kali dua hari, sejuta empat ratus. Mungkin yang saya tahu
dia dibayar cuman 700.
T: Untuk satu hari?
J: Untuk dua hari itu.
T: Dua hari. Lalu waktu itu kalau nggak salah ada polisi juga, ya?
J: Nah, polisi juga yang dapat itu dua hari itu dibayar satu orang 100 ribu, kalau
nggak salah, jumlah polisi itu lima.
T: Satu hari 100 ribu?
J: Lima orang 500. Saya juga sebenarnya dapat jatah juga, dikasih. Ya mungkin
yang jatah aparat dimasukinnya mungkin jatahnya lima, ya ternyata aparatnya
lima gitu, dimasukin saya satu jadi enam. Jadi, ya satu juta dua ratus , dua hari.
Saya padahal nggak ikut apa, cuman ngelihatin saja (tertawa). Saya kalau
dibutuhkan sama dia , ya sebenarnya saya nggak mau ngelarang orang yang
kayak demo-demo kayak gitu, karena dia mau berjuang buat dia. Ya, kalau
misalkan saya dikasih, siapa sih yang nggak mau kan gitu. Karena saya nggak
minta dari hak-hak orang yang kerja , kan gitu. Saya dikasih orang perusahaan,
di situ juga yang meminta ke perusahaan juga, ya teman saya, P ak Roy, selaku
koordinator satpam itu. Saya dikasih sama dia dengan satu syarat, suruh minta
bantuan, suruh ngantar orang yang kerja, ya saya anterin saja orang-orang yang
kerja dari yang deket-deket rumah saya. Karena dia takut disuruh nggak masuk
kerja gitu. Dia pikir, kalau saya demo takutnya kan diberhentiin yang cewek-
cewek itu. Saya antarkan empat orang, setelah itu, ya dua orang lagi saya suruh
jalan saja, saya nunggu di belakang. Ya sudah, saya nongkrong-nongkrong
saja, besok ditelepon lagi sama dia , suruh bantu pabrik ini, saya datang-datang
saja. Cuman saya lihatin, tapi saya dikasih lagi 100 ribu (tertawa), jadi 200 dua
hari. Waktu itu, juga yang kepolisian juga dibayar
T: Waktu itu yang ngasih P ak Roy itu?
J: Pak Roy itu.
T: Pak Roy ini apa?
J: Pak Roy itu ya, pangkatnya ya kopral. Dulu itu dia , sekarang kan sudah di
Korem, tadinya di Rudal-003. Dia selaku koordinator satpam, dia yang
mengkoordinir satpam itu. Nah, sekarang sudah tergeser, sekarang dia sudah
kurang kepercayaan lagi, kan gitu. Sama, karena apa? Di sini saya juga – ya
saya bukannya menyalahkan aparat apa mungkin dari siapa ya Mas, ya.
Kadang-kadang aparat juga sebenarnya sudah gampang banget dibelinya gitu,
bukannya membantu orang lemah bahkan dia membantu orang yang kuat, gitu.
Apalagi orang yang lemah kan misalkan butuh duit sekali, orang yang kayak
gitu masih butuh duit, bagi orang hukum di sini tegak, gimana di sini hukum
mau ini, karena hukum bisa dibeli, kok. Saya sih bukan jelek-jelekin aparat,
cuman yang saya lihat ya Mas, saya selaku pribumi di sini yang saya tahu, ya
begitu-begitu saja
T: Maksudnya?
J: Ya setiap ada yang demo, setiap apa -apa , kan perusahaan kan kadang-kadang
minta bantuannya, kan kadang-kadang ya aparat luarlah, aparat juga kadang-
kadang ada, tapi apa hasilnya?
T: Apa yang mereka amankan?
J: Ya ngamanin orang yang berbuat anarkislah kayak orang menimpukin pabrik,
keributan, kan intinya ke situ. Cuman, kan selama yang saya tahu yang demo-
demo itu kalau nggak orang pribumi di sini, nggak ada yang nimpukin pabrik.
Yang orang-orang demo itu cuman berjuang demi dia kan, untuk minta
ditetapkan kerja, apa mungkin secara kontrak, apa mungkin yang sudah lama
tetap pingin tetap kerja, apa gimana kan intinya ke situ. Cuman kadang-kadang
perusahaan yang tidak ini, kadang-kadang juga rasanya ketakutan juga kan,
takut dia mungkin pabriknya dibakar, apa gimanalah. Orang-orang yang dari
kepolisian kan diundang juga.
T: Tapi bukannya ada satpam di...
J: Sebenarnya satpam mah ada, ya satpam di situ terbatas sekali Mas, satu.
Keduanya juga satpam yang namanya manusia rasa takut juga ada kan Mas. Ya
mungkin kalau dibackking, mungkin ditemani oleh aparat, dia merasa ada yang
melindungi juga , kan. Kalau dibilang mungkin satpam punya anak polisi juga
(tertawa) kan gitu. Kalau satpam dapat gaji, sih, memang nggak dibayar lagi.
Cuman yang dari luar-luarnya ini kan, gitu. Ya sebenarnya sih, kalau toh
kemarin orang-orang yang mengamankan di situ, ya sebena rnya bukan intiya
buat mengamankan pabrik sih, cuman intniya, ya duit saja sih judulnya.
T: Nyari duit,
J: Nyari duit doang. Nggak dari aparat, nggak dari keamanan luar, yang jelas-
jelas dia datang ke situ intinya bukan, ya mengamankan sih, sebenarnya,
cuman setelah mengamankan, dia itu nggak mau kalau misalkan ini kan, pasti
kan dia dalam hatinya mengharap imbalan juga .
T: Kalau waktu aksi itu, tentara ada juga nggak?
J: Tentara nggak ada
T: Polisi saja?
J: Polisi saja. Cuman selain polisi ya, saya ngelihat sih apa mungkin itu dari
Hercules, apa dari mana, kayaknya orang yang tinggi-tinggi hitam itu banyak
itu di belakang itu,. saya nggak ada yang kenal itu.
T: Dibayar?
J: Dibayar juga itu. Dibayar, dia fungsinya apa saya juga nggak tahu, ini apa
mungkin Hercules, apa mungkin apa juga nggak tahu, karena dari teman-
temannya personalianya kan. Apa mungkin satu kampung, apa mungkin dia
punya jaringan lagi, apa gimana nggak tahu, apa mungkin dia punya grup lagi
nggak tahu. Yang saya tahu sih, orang-orang hitam yang tinggi-tinggi gede itu
kan, mungkin Mas lihat sendiri kan, banyak itu.
T: Dibayar berapa mereka?
J: a rata-rata 100 ribu perhari, ya mungkin kalau orang-orang itu lebih tinggi.
Saya kira yang dari aparat satu orang ya 100 ribu, karena saya buka amplop
sendiri sih, saya dikasih amplop, saya bilang, pikiran saya 50 ribukan “Toy,
katanya jatah aparat yang enem saya lebihin”, katanya. “Yang lima saya
lebihin satu. Ini buat kamu” katanya kan gitu. Jatah polisi itu, saya bilang
“Terima kasih ”, saja. Saya buka, 100 ribu, ya besoknya saya dikasih lagi 100
ribu juga kan, 200. Saya beliin rokok saja kan, saya kasih teman juga, ada yang
pingin rokok, saya beliin juga. Ya, duitnya habis buat saya saja, nggak
dikasiin istri saya. Ya sebenarnya lucu juga sih Mas.
T: Tujuh preman itu, bagaimana mereka bisa membentuk tujuh orang itu?
J: Tadinyakan kepala kuli itukan dia banyak yang resehin juga, ada yang banyak
pingin jadi kepala kulin kan gitu. Ya, dia yang enam orang itu dia rangkul
dengan secara kerja sama, dengan iming-iming kerja sama, jadi setiap ada jatah
itu dia bagi rata, gitu dibagi rata. Karena misalkan kalau dia sendiri ya pastilah
kelompok polisi Uci ini, kepala kuli itu juga merasa nggak bakalan kuat, kalau
ditemani orang-orang yang enam inilah kuatlah kelemahan-kekurangan dia
saling tertutup kan gitu, tertutupilah. Masing-masing orang kan punya
kelemahan, ada yang punya kelebihan kan gitu Mas.
T: Tadinya kepala kuli?
J: Tadinya kepala kuli, asli kepala kuli.
T: Kepala kuli maksudnya apa?
J: Kepala kuli bongkar muat.

Kaset 2, side B

[disela; Otoy menyuruh Ipul yang ketika itu duduk sebelah bapaknya,
mendengarkan cerita bapaknya dia sambil main? “Bilang sama man, suruh bikin
kopi lagi gitu”. Kemudian Ipul memanggil “Nek, nek” sambil mencari dikamar
tidurnya ndak ada]

T: Mungkin bisa dilanjutkan lagi?


J: Lupa saya ngomong apa ya ?
T: Latar belakang tujuh preman ini apa?
J: Latar belakangnya, sebenarnya rata -rata security. Latar belakangnya itu ada
yang security Mas, ada yang tukang ojek, ada yang tukang lele jumbo, itu latar
belakang dia itu. Setelah perusahaan-perusahaan berdiri saja, selama proyek-
proyeknya dia yang menangani pabrik-pabrik ini, gitu. Kadang-kadang
perusahaan barangnya pingin diamankan gitu, sebelum ada, sebelum
produksikan pabrik itu kan nggak mungkin pakai satpam langsung kan Mas.
Kayak kepala kuli, kepala kuli ada keamanan luarnya kan. Di sini itu sistimnya
kayak gitu. Diambilah orang-orang pribumi suruh ngamanin perusahaan yang
mau dibangun itu kan, termasuk saya juga kan gitu. Panggillah mungkin kalau
nggak waktu itu lima orang, empat orang kan ngamanin perusahaan yang mau
dibangun kan gitu. Tapi ya setelah itu kita, pabrik itu berdiri, dia itu ya
meminta jatah juga setiap perusahaan gitu, ya ikut bertanggung jawablah atas
kehilangan ini, kehilangan itu. Itu intinya ke situ, cuman kan kalau misalkan
ujung-ujungnya ya UUD itulah, ujung-ujungnya duit. Setelah dia sudah
menyatukan kelompok itu, kelompok tujuh itu baru dia sudah kuat. Ya ke
sininya itu, dia jadi calo-calo masukin kerja, segala apa, setelah dia sudah
dapat jatah setiap perusahaan itu. Latar belakangnya orang-orang biasa-biasa
saja mas, bukan orang, bukan orang jagoan, bukan geng lagi, orang-orang alim
bahkan ada orang santrinya juga .
T: Oh gitu,
J: Kalau di sini ma, setengah ustadlah pangkatnya ustad itu. Itu kepala kuli itu
sebenarnya orang yang cukup ngerti agama juga.
T: Kalau yang security itu bukan dia dari apa , kemiliteran itu?
J: Bukan, semua yang kelompok tujuh itu nggak ada yang dari militer, nggak ada.
T: Sipil semua?
J: Sipil semua, satu juga dulu ada yang pernah pendidikan militer cuman nggak
lulus. Ya, dia bilang sih, dia nggak mengataskan preman, tidak
mengatasnamakan preman, cuman orang bilang dia preman, karena apa? Dia
menguasai setiap pabrik, siapa lagi kalau bukan preman kan gitu. Cuman dia
dibilang sih grup tujuh saja gitu, mengatasnamakan dia grup tujuh, bahkan
setiap proposal setiap tahun ada permintaan THR dia mengatasnamakan grup
tujuh
T: Oh gitu,
J: Iya
T: Setiap pabrik itu di...
J: Setiap pabrik, dia dimasukin proposal, kalau setiap mau lebaran, kan THR-an
kan karyawan, ya dia memasukin proposal, Grup tujuh keamanan luar kan gitu,
dikasihlah ada yang 300, ada yang 500, ada yang 400, bervariasi sih Mas,
paling kecil 100 ribu. Ya, hidupnya sudah lumayan-lumayan Mas, tadinya
tukang lele jumbo [penjual ikan lele], tukang ojek, security, bahkan ada yang
berhenti dari security Mas. Bahkan ada yang berhenti dari security, satu orang.
Mungkin dia lebih enak nyari duit kayak gitu kan, dari sisi lain juga dia
sebelumnya, disisi lain dia dapat jatah dari perusahaan, dia bisa memasukkan
karyawan dengan iming-iming duit, kan gitu. Ya tadinya dia sih itu mungkin
nggak kepikir ke situ, karena mungkin banyak yang dia kenal setiap
perusahaan, apa dia mungkin sudah mengenal setiap bos -bosnya. Dia kayaknya
masukin kerja tadinya gampang-gampang saja, yang lebih banyak itu dia
mengatasnamakan sih pribumi masukin kerja itu ke setiap pabrik. Cuman kan
di lain itu juga kadang-kadang orang luar juga ada, karena apa? Orang si
pelamar itu sekarang mencari kerjaan itu sangat kesulitan sekali. Datanglah
orang-orang luar yang dari mana-mana pingin kerja, “Sudahlah Mas!” katanya
“Mmasukin saya, ntar saya kasih,” katanya 500. Nah, asalnya dari ke situ.
Sudah mungkin, ternyata cari duit gampang juga. Akhirnya kan banyak yang
kerja juga ada yang ngasih 500, 600, sampai satu juta, sampai bervariasi
sampai dua juta setengah M as satu orang.
T: Duit itu untuk mereka sendiri?
J: Dia dibagi tujuh, setiap dia masukin satu orang, apa dua orang dia mungkin
mendapat penghasilan segitu, ya kalau misalnya teman-temannya tahu ya
dibagi semua kan gitu. Tapi yang berperan masukin orang dia ngambil
misalkan satu juta, yang satu jutanya lagi dibagi enam, dibagi lima kan gitu.
Setiap yang bisa masukin kerja itu dia yang lebih gede, sisanya ntar temannya
dibagi. Itulah, yang itunya. Bahkan dia sampai meninggalkan kerjaan dia yang
sehari-hari jadi security Mas itu. Itu, dia penghasilan saja satu bulan mungkin
kurang lebih kalau misalkan lagi kotor-kotornya satu orang saja sudah nyampai
tiga jutaan Mas.
T: Satu bulan?
J: Satu bulan itu, karena tahu saya. Karena dia itu sampai dia meninggalkan
kerjaan dia yang satu bulan satu juta dua ratus gajinya kan. Mungkin dia
sampai sudah ada yang bikin rumah, di Pandegelang saja sudah gede pabrik –
itu rumahnya, ada yang punya limbah segala, ada yang punya kontrakan
segala. Bayangin saja Mas, dari tahun 2000 sampai tahun 2006 ini sudah enam
tahun kali tiga juta saja dia lagi kotor-kotornya kalau dia nggak doyan apa -apa,
mah sudah dikumpulkan sudah berapa puluh juta kan. Kalau kata Mas,
mungkin dia sudah bisa naik hajilah, kan gitu kalau dia mau niat, kan gitu.
T: Tapi belum ada yang naik haji?
J: Belum, cuman kadang-kadang yang namanya orang mungkin cari duit
gampang Mas, ada yang foya-foya, ada yang ke diskotik, ada yang istrinya
dua, ada yang main, banyaklah. Cuman di antara kelompok grup itu cuman ada
satu doang orang yang kelihatannya berhasil gitu. Karena dia orang satu dia
nggak doyan apa-apa, nggak doyan main judi, nggak doyan main cewek,
nggak doyan mabuk. Dia emang asalnya tukang ojek Mas, dia sekarang sudah
punya kijang kapsul satu, sudah punya limbah, sudah punya kontrakannya 20,
sudah mau punya mobil carry satu, dia itu.
T: Dari hasil itu?
J: Dari hasil itu saja, ya hasil apa sajalah, dari masukin kerja karyawan, dari jatah
perusahaan, dari jatah ngangkat limbah. Kan setiap perusahaan itukan ada
limbahnya kan, nah limbahnya dikelola sama orang grup tujuh itu. Nah grup
tujuh kan dia punya pembuangan ke teman-temannya dia sendiri. Teman-
teman dia sendiri seca, bos -bos gede itu kan ngasih komisi perkilo, ya mungkin
satu perusahaan dia mungkin belinya 8.000 perkilo, dia paling dikasih komisi
perkilonya 1.000 kali berapa ton, dibagi tujuh gitu. Sedangkan setiap
pengambilan barang itu ada seminggu sekali, ada yang dua bulan sekali kan
gitu, ada yang dua minggu sekali gitu, seminggu sekali. Sekali pengangkatan
saja dia sudah komisi mah, sebangsa 800-san sudah kelihatan Mas, seminggu
berapa pabrik di sini, kalau misalkan 10 pabrik sudah ketahuan delapan juta.
800 kali 10 pabrik kan sudah delapan juta dibagi tujuh kan, seminggu. Gimana
nggak gampang dia cari duit. Kalau saya sih, emang orang preman kecil,
cuman ngelihatin saja kan gitu (tertawa). Saya sebenarnya saya juga nggak
pernah ganggu dia, tapi dia jangan ganggu saya, kalau dia ganggu saya, saya
akan ganggu dia kan gitu saja. Ya, alhamdulillah si Mas, walaupun dia orang
segitu juga nggak pernah dia berbuat reseh sama saya, karena dia juga tahu
sifat saya, saya tahu dia , dia tahu saya gitu. Selama saya jadi security di situ
juga saya nggak mau diganggu sama dia gitu, saya juga nggak bakalan ganggu
dia, ya alhamdulillah sampai sekarang saya aman-aman saja kan gitu. Ya
mungkin dia kalau saya ngomongin dia, mungkin dia nggak merasa nggak
terima juga kalau begini (tertawa). Ya sebenarnya juga ada baiknya ada
buruknya juga, ya buruknya kayak gitu Mas. Saya kasihan kalau orang-orang
itu yang masuk kerja itu ya diduitkanlah gitu, dipinta duit. Kadang-kadang
saya juga nggak menyalahkan dia 100% karena apa? Si pelamarnya juga
kadang-kadang dia akan menjanjikan duluan gitu. Misalnya kan gini Mas,
contohnyalah nggak jauh-jauh, Mas misalkan, cari kerjaan satu bulan dua
bulan nggak dapat kerja. Selama inikan Mas perlu makan, perlu bayar
kontrakan, dari pada mungkin dia nggak dapat kerjaan lebih baik dia bayar, dia
bayar berapa juta? Misalkan satu juta, lebih baik dia bayar satu juta dia
langsung dapat kerjaan. Dia untuk ke sananya sudah dapat gaji, kan gitu. Di
situlah, kadang-kadang saya juga nggak habis pikir si pelamar itu mungkin dia
pikir, kalau dia nggak caranya kayak gitu susah untuk cari kerja. Memang
kalau bisa sih, memang kayak-kayak gitu harus dimusnahkan sih, kayak
macam seperti calo-percaloan, setiap pabrik dikuasai seorang preman, apa
mungkin enam preman, apa lima preman, setiap orang yang pingin kerja harus
melewati dia, itu saya sebenarnya itu nggak setuju. Karena apa? Ya
meresahkan orang-orang yang butuh kerja yang sekiranya nggak punya
biayalah. Kayak macam orang yang butuh kerja ternyata dia orang susah,
pingin kerja harus ada duit sekian, kalau nggak ada duit sekian nggak bisa
masuk, itu banyak Mas. Bahkan banyak orang yang sudah ngasih duit duluan
juga nggak masuk kerja, ada yang satu juta, ada yang 500, kadang juga ada
yang ngeluh juga Mas. Sampai saya pernah saya nemuin orang itu sampai
nangis. Selama tiga bulan dia itu sudah masukin duit, teman saya juga sih Mas.
T: Masukin duit ke calo?
J: Calo itu, cuman bukan orang grup tujuh gitu. Adik saya mungkin tidak
dibilangin orangnya, orangnya sudah diberhentikan sih orangnya juga. Sampai
enam bulan, tiga bulan, sampai delapan bulan Mas nggak dimasuk-masukin
kerja, duit sudah keluar 800 ribu itu, ternyata dia sampa i ngejual kalung
istrinya. Saking pingin kerjanya itu Mas. Akhirnya saya ketemu sama dia, ya
saya kasihan juga, ya saya tegur kan orang itu – ya sebenarnya anggota saya
juga, security gitu. Akhirnya kan saya bantu
“tolonglah saya bilang - kalau kamu nggak bisa masukin orang ini saya bilang
– tolong duit ini ganti, kalau nggak diganti saya bilang, akan saya tembuskan
saya bilang, ke pihak personalian, karena saya bilang, kamu menjanjikannya
kerja diperusahaan ini”
“Ya gimana caranya kata dia, saya untuk membayar ini, buat makan juga saya
sudah pas-pasan”
“Oke, saya bantu untuk kasbon keperusahaan” kasbonlah saya keperusahaan
atas nama dia, saya tanda tangan, dapatlah itu dari perusahaan itu satu juta.
Saya ambil 800, saya panggil orang itu saya kasih. Sela ma delapan bulan Mas,
coba, saking orang pingin kerjanya itu, itu terus terang saja orang Subang itu
aslinya
T: Akhirnya nggak kerja juga?
J: Nggak kerja, saya duit saya kembaliin. Itulah manusia-manusia sekarang itu,
nggak bertanggung jawab. Banyak Mas, bukannya satu orang dua orang. Yang
saya tahu saja mungkin lebih dari dua, tiga orang. Mungkin dikawasan depan
juga kayak gitu semua, sekarang cari kerjaan sulitnya minta ampun,
dimanfaatkan orang-orang tertentu yang sekira-kiranya orang itu kenal sama
perusahaan. Apa mungkin dia kerjasama sama personalianya, apa mungkin dia
kerjasama orang kepala bagiannya saya nggak tahu, di dalamnya itu. Karena
yang saya tahu setiap orang yang kerja nggak bisa dia masukin kerja sendiri,
terkecuali dia itu orang-orang ya ng benar-benar dibutuhkan tenaga ahli,
misalnnya kan gitu. Kalau sebenarnya orang-orang yang nggak
berpengalaman, yang lulusan tahun kemarin, orang darimana-mana pingin
kerja itu sendiri sulit, pasti ada calonya. Makanya juga sebenarnya di sini juga
aparat-aparat sini nggak dari militernya, apa mungkin dari kepolisiannya
bukannya nggak tahu, tahu. Tapi selama ini diam saja, mungkin apa dia juga
ikut gabung juga, apa gimana nggak tahu saya juga kan gitu. Cuman yang saya
tahu, semua dari aparat juga sudah tahu seluk beluk tentang di sini tahu. Kalau
sejenis percaloan-percaloan bukannya nggak bisa ditutup-tutupi, sudah lumrah
di sini Mas, sudah dianggap biasa.
T: Bagaimana para preman itu kok bisa kenal dengan perusahaan?
J: Tadinya kan asal-asalnya itu kan, preman-preman itu kenal sama orang-orang
perusahaan karena apa? Sebelum dia mau berdiri perusahaan itu dia sudah
deketin. Berdirikan, perusahaan mau berdiri di daerah sini nih Mas nih, si
preman itu dia deketin. Jadi orang ini harus, perusahaan ini harus dijaga,
banyak yang maling. Di situkan – berdiri perusahaan itu belum ada satpam
Mas, pastikan mengatasnamakan pribumi dulu kan. Perusahaan juga pintar
juga sih, dicarilah orang-orang yang sekira-kiranya berbobot kan, yang sekira-
kiranya ditakutin sama orang-orang maling kan misalnya gitu, panggilin
“tolonglah bantu saya” kadang-kadang ada yang gitu, kadang-kadang ada yang
menawarkan diri perusahaan ini “Ntar saya jagalah, saya tanggung keamanan
luarnya gitu, saya misalnya takut ada apa -apa ntar saya yang bertanggung
jawab” kan kadang-kadang orang begitu, kenallah sama.
T: Jadi pihak perusahaan turun ke kampung langsung?
J: Nggak. Jadi perusahaan itu kan datang ke proyek kan ya, kelompok premannya
juga datang ke proyeknya itu. Berdialoglah dia itu, misalkan dia mau sanggup
ngasih berapa ini untuk mengamankan perusahaan yang mau dia bangun, gitu.
Si perusahaan kadang-kadang, si bosnya ini sanggup membayar sekian ratus
kan gitu, bahkan ada yang lebih satu juta kan gitu. Nah setelah itukan otomatis
kan ke nal si preman-preman gitu. Kenal, sudah gitu terbentuklah perusahaan,
sudah mau produksi-produksi kan ada personalianya, apa, dideketinlah sama
dia kan gitu. Deketin, kadang-kadang perusahaan juga orang-orang preman itu
pingin ketemulah sama personalia ini, ini, tahulah dia mau ngomong apa,
ngomong apa, intinya ke duit -duit juga sih. D i sini sudah lumrah Mas, setiap
perusahaan berdiri pasti bosnya kenal sama orang-orang premannya di sini.
Jadi kadang-kadang ini dari grup ini gitu, dari warga pribumi sini, ikut
membantu, ikut mengamankan perusahaan di sini. Cuman mungkin perusahaan
sanggupnya membayar ke dia berapa kan itu, kadang-kadang di situ ada tawar-
menawar ada dialog dulu Mas, tawar-menawar.
T: Sebelumnya pernah ada kejadian kemalingan?
J: Pernah kejadian kemalingan, mungkin yang maling-malingnya juga teman-
temannya dia sendiri sih. Kadang Mas punya perusahaan, sebelum Mas ngasih
jatah ke saya, misalkan saya preman, Mas mau diriin pabrik, Mas belum
sanggup ngasih saya, ya anak-anak buah sayalah yang nyolong ke Mas.
T: Tujuh preman itu punya anak buah?
J: Punya kumpulan lah gitu, bukannya ini, teman-teman saja kan gitu. Kayak
mungkin teman kesini, kesinilah yang namanya pribumi di sini masa sih nggak
bisa punya teman, kan kemungkinan punya teman. Apa mungkin dari anak
kuli. Kan dulu diakan bekas yang satunya kan kepala kuli, diakan punya anak
buah yang saya bilang dulu itu 60 orang kan, sekarang sudah banyak kerja,
paling yang aktif, paling 25, 30 orang gitu, itukan masih bisa dikerahkan juga,
karena dia masih mengkoordinir juga kan, masih bisa – taruhlah kalau di kita,
masih bisa ditakutin juga kan gitu, masih bisa anak-anak kemarin sih masih
bisa dipermainkan, masih bisa dibohongin. Kadang-kadang orang yang itu
goblok juga “Dah, tolonglah ntar kalau ada apa -apa saya yang tanggung
jawab” gitu. Dicolonglah sama anak-anak, orang-orang kayak gitu, kan
dicolong.
T: Apa yang dicolong?
J: Ya kayak besilah, alat-alat bangunannya kayak macam grinda, kawat las,
kayak mungkin tembaganya, apa mungkin panelnya, alat-alat perusahaanlah
gitu, yang buat diriin pabrik itu kayak macam, kompesornya, besi behelnya
kan gitu, colongin, colongin, colongin, kan lama-lama banyak hilang juga.
Akhirnya si preman-preman itulah datang, gimana caranya perusahaan itu
aman. Ya dia loby setiap perusahaan, ya aman juga akhirnya kan gitu. Itu, itu
politiknya kesitu juga. Sampai sekarang sih emang untuk kemalingan-
kemalingan sih nggak ada lagi Mas, karena si malingnya ya dia -dia juga kalau
kita pikir gitu, kalau nggak kasarnya ya dialah yang nyuruh maling, kan
kadang-kadang dia juga yang beli kan gitu, tahu barang kok. Padahal ya orang-
orang perusahaan kadang-kadang ya lebih percaya sama preman dari pada
orang dari aparat, kalau proyeknya gitu lagi dalam masa-masa proyek, bikin
pabrik gitu ya. Saya pikir perusahaan kadang-kadang lebih percaya sama
preman gitu, saya juga nggak ngerti. Karena mungkin preman lebih luas
jangkauannya gitu mungkin, apa gimana dia pergaulannya sama orang-orang
badung kan polisi belum tahu orang itu si A, si B, yang badung, kalau misalkan
preman sini, mana maling? Mana ustadnya kan tahu. Mungkin perusahaan juga
lebih baik untuk sementara dipegang preman setelah produksi mungkin preman
sama aparat yang diambil kan gitu. Karena setahu saya aparat sekarang setiap
bulannya dapat, preman juga dapat. Ya setiap kepolisian setiap desa setiap
bulan ada jatah Mas, kayak ___ satu pabriknya ada yang 300, ada yang 500,
desa itu. Setahu saya diperusahaan yang saya kerja saja, desa saja 300 satu
bulan, kepolisian 200
T: Desa itu melalui?
J: Lurah.
T: Lurah?
J: Cuman tiap bulan.
T: Jatah apa itu?
J: Jatah desa, setiap bulan itu, setiap pabrik setiap perusahaan ngasih setiap bulan
T: Untuk apa itu biasanya?
J: Ya kurang tahu juga (tertawa).
T: Bukan untuk kegiatan kampung?
J: Bukan. Kan desa juga punya anak buah juga perlu gaji juga, kayak semacam
stafnya, apanya kan gitu. Mungkin perlu digaji juga, kalau mungkin dari situ
dia mau gaji orang-orang macam lapangan itu kayak staf segala yang ngetik
segala darimana dia. Saya juga nggak tahu lurah itu sebenarnya dapat gaji apa
nggak kan gitu. Makanya banyak yang mencalonkan lurah di sini, karena apa?
Penghasilan di sini itu gede Mas, bahkan sampai ratusan juta dia untuk berdiri
jadi lurah saja sudah sampai satu M saja. Setiap perusahaan ada duitnya kok,
satu pabrik saja ada yang 300, ada yang 500, tergantung perusahaannya.
Karena teman saya juga orang desa bahkan jadi security dipabrik itu gitu
T: Merangkap?
J: Merangkap, security, orang desa. Dia dari desa saja digaji satu bulan saja 150
ribu, dia bagian apalah ngetik kadang-kadang itu, bantuin bikin KTP, kartu
keluarga segala apa kan gitu, kadang-kadang suruh nagih, yang nagihin setiap
pabrik dia, teman saya itu. Ya, mungkin jatah desa sih Mas, mungkin sekarang
sudah dibilang otonomi daerahlah kayak gitu, mungkin penghasilannya dari
situ lurah-lurah itu. Setiap perusahaan Mas ngasih
T: Pasti itu?
J: Pasti itu sudah nggak ini lagi, pasti. Bapinsa saja sama Kamtibnas dapat,
Bapinsa dari Koramil, dari Kepolisian, setiap bulan dapat jatah semua pabrik.
Setiap tanggal satu sampai tanggal lima sudah pasti saja darimana-mana pada
datang
T: Fungsinya apa mereka?
J: Babinsa kan itu pembina masyarakat itukan, kamtibnas, keamana n, ketertiban
masyarakat untuk daerah wilayah sini gitu kan, babinsanya dari wilayah
Talaga , Pak siapa gitu. Kamtibnasnya itu, kan dari kepolisian, siapa ...
T: Kalau dalam perusahaan mereka berfungsi juga?
J: Dari setiap perusahaan dia dibilang berfungsi sih saya juga kurang paham
betul, karena saya pikir setiap bulan doang ngambil jatah, ngambil duit. Saya
kira satu hari, dua hari nggak pernah nongkrong di situ, nggak pernah apa yang
ditanyakan ke security nggak pernah ada. Paling setiap ada, ada yang hilang,
mungkin apa karyawannya sendiri maling segala apa, paling yang dihubungi
dia-dia dulu, nah setelah diproses baru dibawa kekepolisian sama kamtibnas
itukan. Bawa kepolisian paling bapinsa mengetahui doang kan gitu, itu doang
bapinsa mengetahui, yang menangani kan orang kepolisian. Dibawalah ke
polisi diproses di polisi, diinterogasi, dan kalau misalkan benar-benar dia itu
ada bukti dia dipenjara, kadang-kadang itu doang yang saya tahu. Yang selain-
lainnya itu nggak ada, nggak ada. Cuman setiap bulannya tanggal satu,
“Tanyain sama kasir! Jatah saya sudah turun belum?” tanya “Ntar pak, katanya
tanggal lima” paling gitu, ngambil tanggal lima. Gede -kecilnya juga bervariasi
juga sih tergantung perusahaan sanggup ngasihnya, gitu.
T: Dan itu nggak pernah telat, ya?
J: Itu nggak pernah telat Mas, setiap bulan harus karena apa? Setiap bulan kalau
dia belum dapat, belum dikasih ya datang lagi-datang lagi nanyain (tertawa).
Makanya di sini kalau saya pikir ya unik gitu, karena apa? Mungkin ya sudah,
sudah kebiasaan kan, mungkin dari dulunya juga mungkin ada kali, apa gimana
nggak tahu juga (tertawa) kan gitu. Ya, mungkin bukan di sini saja Mas,
dimana-mana mungkin juga begitulah. Disetiap perusahaan aparat sama
preman berperanlah, berperan. Berperan ya sebetulnya ujung-ujungnya cuman
duit juga sih, karena apa? Setiap ada kemalingan, mungkin ada massa, setiap
itukan yang lebih beratkan security yang diproses duluan, nggak dari itu, pasti
dari kepolisian juga akan memproses security, dari perusahaan akan menekan
security. Tapi kalau dibilang-bilang, kita yang kerja dia yang dapat duit, nah
itu (tertawa). Karena kalau saya pikir, kenapa kalau misalkan kayak gitu,
kenapa nggak disejahterakan security kalau misalkan kayak gitu, orang yang
jelas -jelas kerja membantu perusahaan, sudah jelas dia nongkrong dipabrik dan
mengamankan perusahaan, setiap hari dia kontrol-setiap hari dia melek. Ya
orang-orang kayak gitulah yang sudah dapat gaji, dapat jatah kan itu
T: Itu ada nggak misalnya perlawanan dari perusahaan terhadap preman ini,
misalnya dia menahan tidak ingin ngasih jatah ke para preman ini?
J: Ada di tempat saya, di tempat saya itu sudah nggak mau kayak dia. Lebih baik
dia pakai ya itulah orang Rudal itu. Ya dulu dia dapat jatah satu bulan itu 800
ribu, berhubung setiap ada permasalahan dia nggak mau menanganin, bahkan
dia sudah duduk-duduk manis saja kan. Ya akhirnya bos saya itu berontak,
“saya sudah nggak mau pakai kamu lagi?”
T: Lalu reaksi dari para preman itu?
J: Nah, cuman bos saya juga orangnya cukup jeli juga sih Mas. Jadi dia macam
kayak di PHK saja gitu, diundang secara baik-baik, diundang tujuh orang itu,
dikumpulkan, dia sudah nggak mau pakai dia dengan itu dia dibayar sesuai dia
preman berapa? Dikasihlah dia sekian juta “tolong jangan ganggu saya lagi”.
Bos saya itu memang orang jeli juga , ya pintarlah kan gitu
T: Di perusahaan apa itu?
J: Di perusahaan Starmas
T: Starmas. Dia produksi apa?
J: Produksinya almunium. Dia, dia baik secara itu, nggak, nggak nyakitin
preman, jadi nggak nyakitin kelompok-kelompok tujuh, dia memberhentikan
orang itu secara baik-baik gitu. Jadi karena apa? Dia pikir dia itu perusahaan
mau berdiri kan dia nggak mau diganggu, dia nggak mau pakai preman. Dia
tadinyakan satu bulan ngasih jatah 800 ribu itu Mas, berhubung nggak mau
pakai, karena apa? Nggak fungsinya preman itu, preman itu nggak ada
fungsinya. Dia pikir kan lebih baik, saya nggak pakai dia walaupun saya keluar
gede cuman hari itu doang, bulan itu saya kasih gede kesononya kan sudah
nggak ngasih lagi, kan gitu. Salut, saya terus terang saja sama bos saya salut
itu. Salutnya ya karena apa? Dia itu, nggak ini royal orangnya gitu. Dari pada
dia diganggu terus kan, lebih baik dia bayar sekaligus, dia nggak mau
diganggu lagi
T: Cukup kritis?
J: Iya, memang dia orang pintar juga sih.
T: Lalu ada juga nggak perusahaan-perusahaan lain yang , sehingga menimbulkan
reaksi para preman?
J: Nggak ada sih sekarang perusahaan-perusahaan masih tetap pakai dia, setiap
perusahaan cuman itu doang Starmas doang sudah nggak pakai dia Mas.
Karena Starmas juga ada preman kaya knya ngelawan dia kayaknya segan
bener gitu, karena bos juga orangnya kayak preman juga sih, berani juga bos
itu, karena emang perusahaannya sudah grup keluarga sih, sudah banyak
grupnya juga sudah banyak perusahaan itu, kayak macam grup Sinar Laut.
Perusa haan keluarga gitu, jadi dia tidak gentar melawan-melawan preman, dia
pikir mungkin lebih baik dia ambil dari aparat, dari pada preman kan gitu. Tapi
alhamdulillah sekarang sudah nggak ada masalah sih Mas di tempat saya itu.
Dulu Mas setiap sebelum ada jatah setiap perusahaan sama preman-preman
ditimpukin
T: Oh gitu.
J: Iya ditimpukin waktu dulu Jayamik itukan, pingin dapat jatah nggak dikasih
jatah kan, ditimpukin, akhirnya keluar juga satu bulannya 600 ribu, sekarang
saja Jayamiknya sudah pindah.
T: Ditimpukin pakai batu?
J: Pakai batu sama orang-orang preman ini (tertawa), lucu juga. Akhirnya kan
mungkin perusahaan pingin amankan, akhirnya diambil juga, ya satpamnya
diambil kan gitu, orang pribumi itu sama orang luar separuh, orang pribumi ya
orang preman juga dapat jatah. Padahal kalau kita imbang-imbangan ya gaji
satu bulan buat preman itu satu bulan gaji security. Taruhnya 800 kan sudah
gaji security satu bulan Mas. Kalau saya pikir 800 ribu kalau misalkan dibagi
satu grup sarang berapa duit kan gitu. Sering berkaitan sih Mas, premannya,
aparatnya, ya berkaitan. Yang saya bilang berkaitan ya itu, mungkin saling
membantu dari jatahnya doang apa gimana juga saya nggak itu. Karena saya
pikir setiap bulan gitu, wah orang sibuklah ngambilin jatah kesetiap
perusahaan ke KMK ngambil satu juta bagi, ngambil dari – dulu Starmas 800
ribu ngambil starmas, tanda tangan bagi tujuh, bagi enam, begitu sajakan.
Baiksan, ntar ngangkat barangnya kan, yang ngangkat barangnya juga kan, ya
dia bilang kalau dijual sama orang-orang sini kan. Ya orang preman pasti
minta jatah juga sama yang beli.
T: Oh, gitu.
J: Jadi kan si bosnya itu, ya beli misalkan, ya tetap komisi, jatah.
T: Yang beli dari luar?
J: Ya tetangga-tetangganya juga sih, kayak orang Bojong, orang Balai Raja,
orang Cimone, apa mungkin orang mana saja, tetap harus ada jatah dia itu.
Kalau kasarnya yang punya wilayahlah, kan gitu, yang punya wilayahlah,
“tolong nih yang punya wilayah” gitu, tahu yang punya wilayahnya siapa
nggak tahu. Itulah, kadang orang mengatasnamakan wilayah kan gitu,
mengatasnamakan pribumi, mengatasnamakan masyarakat, duitnya dimakan
sama dia. Bahkan di sini saja satu bulan saja jatah masyarakat saja 500 ribu
Mas di Stenly
T: Di Stenly ?
J: Di Stenly itu, preman saja satu juta.
T: Preman satu juta ?
J: Satu juta.
T: Masyarakat sendiri lagi itu?
J: Masyarakat lain. Nah kalau masyarakat yang 500 memang dibagikan perorang
10 ribu, saya juga dapat satu bulan 10 ribu dari Stenly. Yang ngangkat
limbahnya saja juga ngasih komisi satu juta, Haji Lan ini, yang dulu di
T: Ngasih ke masyarakat?
J: Bukan, ke kelompok preman ini ya, kelompok tujuh ini ya 500, ke kelompok,
ke RT, 500. Nah RT sebenarnya mengatasnamakan buat masyarakat, jadi ke
mushollah, apa mungkin pengajian, apa mungkin yang sekiranya tidak mampu,
padahal duitnya itu kagak ada sama sekali. Cuman mengatasmanakan
masyarakat saja Mas, sebenarnya duitnya itu nggak, nggak ini, nggak dibagi.
Dalam jangka berapa tahun di sini selama Stanley berdiri. Saya masih tahu
karena saya juga.
T: Kalau masyarakat itu melalui RT?
J: Melalui RT
T: Nggak langsung?
J: Nggak. Kadang ada perwakilan, kalau misalkan jatah uang bising kan ada jatah
uang bising sama jatah masyarakat lain, Mas. Yang punya wilayah kayak
macam RT di sini sama Jaro berperan RT dari pada Jaro, padahal kalau
misalkan dari kedudukan lebih tinggi Jaro dari pada RT. Tapi yang di sini
berperan itu RT Mas, setiap ke mana-mana itu RT yang ngambil jatah, setiap
perusahaan. Nah, uang bising itu, RT kadang-kadang yang ngambil
T: Uang bising lain lagi?
J: Uang berisik, kan gitu. Namanya pabrik ada yang berisik segala apalah, kan
mungkin dari air segala serba kekurangan, kan orang perusahaan pakai air kan
banyak gitu
T: Itu ditarikin juga?
J: Itu cuman yang ada itu duit itu doang, kalau misalkan uang jatah masyarakat
itu sebenarnya dari yang ngangkat limbah itu. Bukan dari perusahaan, kalau
dari perusahaan uang berisiklah, apa uang apalah gitu. Uang bising itu, satu
bulan 10 ribu. Saya juga dapat 10 ribu emang, setiap warga-warga yang deket
ma 10 ribu, 10 ribu dapat gitu, nggak salah kalau kurang lebihnya itu 500.
Yang lebih deket sudah lain gitu, kalau yang paling deket 20 ribu, yang agak
jauh 10 ribu, kalau yang jauh lagi lima ribu (tertawa) gitu bervariasi juga gitu.
Tapi yang ngambilnya ma nggak tahu mungkin apa 20 apa 50 ya nggak tahu,
dia yang bagikan kok, gitu.
T: Itu jatah setiap pabrik?
J: Nggak, cuman Stanley doang.
T: Stanley?
J: Heem. Kalau setiap pabrik ya preman.
T: Nggak, nggak ada jatah masyarakat?
J: Nggak ada jatah masyarakat, kalau Stanley sebenarnya ya baik sih, minta air
ya juga dikasih terus, orang Jepang sih itu. Sebenarnya kalau yang kenyang-
kenyang orang preman Mas.

Kaset 3, side A

J: Ya, yang paling kenyang itu orang-orang preman. Ya kalau kita ma, tetap aja
masyarakat ya kere-kere juga, kan gitu. Bahkan ada yang pingin kerja juga
masyarakat sendiri saja susah. Dia lebih baik mementingkan orang yang lain,
orang jauh kan gitu, dari pada ketimbang orang sini pribumi asli gitu, karena
dia pikir orang jauh ada duitnya.
T: Oh gitu.
J: Iya, orang pribumi sini kan kadang-kadang ngasih duit alakadarnya saja kan,
kadang-kadang “Tolonglah” “Ya, ntar saya bantu”, setiap ada lowongan ma,
orang jauh dulu. Kalau kita nanya belum ada, belum ada, kata dia belum ada
“Tolong nih, gimana?” “Belum ada, ntar aja, ntar aja” Setiap ada lowongan ma
orang luar, kan gitu. Karena dia pikir lebih ada, lebih baik ada duitnya saja gitu
kalau orang luar itu. Kayak macam sinikan, di sini yang berani-berani orang itu
orang-orang Kresek sini Mas, orang-orang dari Balaraja, Balaraja lewat itu. Itu
berani itu, dia paling itu ada calonya juga. Kadang-kadang dia kirim satu mobil
itu ada 10 orang, 12 orang, mintain satu orangnya ada yang 500, ada yang satu
juta, masukin ke pabrik mana macam KMK. Sekarang di sini yang percaloan,
yang saya ketahui yang sekarang ini gencar-gencarnya KMK sama Panah
Forest. Yang masih bisa diloby sama orang-orang preman gitu Mas, lainnya
sudah susah kayak Starmas sudah susah nggak bisa diapa -apain sama dia,
nggak bisa digoyang gitu. KMK saja sekali orang masukin 10 orang ya itu
orang-orang preman. Sekarang begini saja, saya berani taruhan Mas. Orang
sendiri orang yang belum berpengalaman, mau masukin lamaran ke setiap
perusahaan walaupun di situ ada perusa haan menerima karyawan nggak
mungkin ada diterima.
T: Diterima?
J: Diterima. Di situlah, mungkin Mas kalau ini coba saja sendiri ngelamar,
mungkin setiap ada lowongan lamar sendiri, masukin tanpa ada orang tertentu
yang ini, nggak mungkin masuk Mas, saya berani bertaruh itu.
T: Harus melalui calo itu?
J: Harus orang-orang yang tertentu yang sekira-kiranya, ya bisa memasuki orang
itulah kan gitu, calo-calo itu, kalau nggak calo. Kadang-kadang perusahaan
juga saya bingung gitu, kalau setiap penerimaan itu, kadang-kadang ya
sistimnya family, sistimnya kan kadang-kadang ya orang dalamnya sendiri
yang bawa kan gitu, kadang-kadang ya orang preman itulah kadang-kadang
ngotot pingin dimasukin. Misalkan dia punya saudaralah, apa mungkin
pribumilah. Minta 10 orang, ya pribuminya paling empat, yang orang luarnya
enam. Maka setiap ada lowongan pasti dikerumunin orang yang pingin kerja.
Kemarin-kemarin kan SPOTEC pabrik sepatu. Waduh, calonya sudah kenyang
saja itu
T: Tujuh orang ini hanya khusus di kawasan sini saja?
J: Iya, kawasan sini saja. Kalau kawasan satu lagi yang sono kawasan satu, lain
lagi calonya ...
RIWAYAT HIDUP

Nama : Ign. Taat Ujianto

Tempat/Tanggal Lahir : Purworejo, 22 April 1978

Alamat : Villa Mutiara Bogor 2, RT 04/012, Desa Waringin

Jaya, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor

Pendidikan : 1. Tamat SD tahun 1990

2. Tamat SMP tahun 1993

3. Tamat SMA tahun 1997

Pengalaman Bekerja : a. Giro/Klerk Bank Umum Servitia (BUS) tahun

1997-1999

b. Koordinator Program di Lembaga Tim Relawan

untuk Kemanusiaan (TRK) tahun 1998-2005

c. Tenaga Perpustakaan SD Sint Yoseph tahun

2004-2007

d. Tenaga Tata Usaha SMP Sint Joseph tahun 2007

e. Mengajar IPS di SMP Sint Joseph tahun 2007-

2009

Anda mungkin juga menyukai