5
Apakah Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalisme? Jawabannya pasti
tidak. Sistem ekonomi yang dibangun Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila,
yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan dengan sistem koperasi. Koperasi sebagai
soko guru ekonomi Indonesia, yang diabadikan dalam undang-undang. Namun
rupanya idealitas, ya tinggal idealitas, tidak dapat diwujudkan dalam suatu kenyataan
yang kuat. Prakteknya ternyata tetap menggunakan sistem kapitalisme, yang oleh
Yoshihara Kunio dikatakan dengan kapitalisme semu atau “Ersazt Capitalism”.
Salah satu ciri sistem kapitalisme adalah upah rendah dan proteksi dari
pemerintah. Tenaga kerja Indonesia termasuk yang paling murah di Asia Tenggara,
sementara waktu atau jam kerjanya tergolong tinggi dengan tingkat kesejahteraan
kurang dari cukup. UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimun
Profinsi) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum dapat
memberikan jaminan kesejahteraan buruh. Buktinya demontrasi buruh sering terjadi di
perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi.
Praktek kapitalisme kedua adalah proteksi pemerintah kepada pada pengusaha.
Artinya pemerintah melakukan intervensi ke dalam dunia usaha dengan membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan. Maksud dari setiap peraturan adalah baik,
karena ingin melindungi dunai usaha dari praktek-praktek usaha yang tidak adil.
Namun kadang justru memberikan keleluasaan para pengusaha untuk mengembangkan
usahanya, bahkan sampai pada tingkat monopoli usaha dari hulu sampai hilir.
Di bawah ini beberapa pengusaha besar Indonesia yang mendapat lisensi atau
fasilitas dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya, antara lain:
1. Arnold Baramuli. Kelompok Poleko yang dibangun bersama pengusaha lain
memproduksi serat sintesis. Departemen Dalam Negeri adalah pemilik kelompok
usaha ini, dan Baramuli hanyalah pengelolanya. Menurut Yoshihara (1990: 245),
yang pasti tanpa kaitan dengan Departemen Dalam Negeri, Baramuli tidak akan
berhasil dalam bisnis.
2. Probosutedjo. Ia menjadi pengusaha besar karena pada awalnya
mendapatkan lisensi dari pemerintah Orde Baru untuk mengimpor cengkeh, kayu
gelondongan, dan mendapatkan preferensi khusus proyek-proyek pemerintah.
Bendera Mertju Buana yang dikerek untuk mewadahi bisnis dalam bidang
perakitan mobil, manfaktur barang pecah belah, perkebunan, real estate dan
agribisnis semakin besar pada masa Orde Baru, mengingat ia saudara laki-laki dari
Soeharto.
3. Sudwikatmono. Ia bersama Liem Sioe Liong membangun kerajaan bisnis
dalam tepung terigu dan semen. Melalui PT Subentra Multi Petrokimia
memperoleh kontrak dari pemerintah untuk membangun sebuah komplek
petrokimia (Ibid.: 255)
4. Putera-puteri Soeharto. Semua menjadi pengusaha papan atas di Indonesia
karena mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbisnis. Tomy dengan Sirkuit
Sentul, BPPC dan Mobil Timornya. Mbak Tutut dengan Jalan Tol dan BCA-nya,
begitu juga Bambang Triatmojo dengan berbagai macam usahanya (Ibid.: 254-
255)
5. Bob Hasan. Ayah angkat Bob Hasan adalah Gatot Subroto, yang sejak
dahulu kenal dekat dengan Soeharto. Ia mendapat konsesi-konsesi kayu
gelondongan dari pemerintah. Bisnisnya menjadi besar karena mendapatkan
6
kemudahan-kemudahan dari pemerintah. Ia juga disebut “raja hutan” karena
memonopoli perdagangan kayu gelondongan.
6. Sudono Salim atau Liem Sioe Liong. Hubungannya erat dengan Soeharto,
sehingga mendapatkan berbagai macam fasilitas dari pemertintah, monopoli
cengkeh, tepung dan lain-lain. Usahanya merambah ke dunia perbankan, semen,
tekstil, baja dan mobil (Ibid.: 327)
Nama-nama kapitalis Indonesia di atas baru sebagian saja yang disebutkan. Mereka
menjadi besar karena keterlibatan pemerintah dalam memberikan kemudahan-
kemudahan, sehingga mereka dalam kendali penguasa. Kebijakan ekonomi
pemerintah dapat berjalan lancar karena di back up oleh mereka. Pemerintah dan para
kapitalis saling membutuhkan dan saling menarik manfaat. Kapitalis dapat hancur
karena pemerintah, dan pemerintah juga dapat hancur karena kapitalis.
(من احتكر حكرة يريد أن يغلي بها على المسلمين فهو خاطئ )رواه مسلم
“Barangsiapa yang menumpuk-numpuk suatu barang sedang dia bermaksud
hendak menjualnya dengan mahal terhadap kaum muslimin,
maka dia itu bersalah”
Rasa cinta yang berlebihan terhadap harta benda sangat dikutuk, karena itu
dapat menjadi sumber yang menimbulkan rasa tamak dan kikir. Riba dilarang dalam
Islam karena ia merupakan faktor utama timbulnya konsentrasi kekayaan.
Terkonsentrasinya kekayaan pada orang-orang tertentu atau penimbunan barang
merupakan sesuatu yang tidak adil dan merupakan kejahatan, karena menimbulkan
kerugian produksi, konsumsi dan perdagangan (Mustaq Ahmad: 2001: 72).
Dalam kapitalisme berlaku hukum mengeksploitasi tenaga kerja, baik laki-
laki, perempuan dan anak-anak dengan upah yang rendah. Hal ini tidak sesuai dengan
ajaran Islam yang menjunjung tinggi equality antara laki-laki dan perempuan. Upah
atau gaji yang diberikan kepada mereka bukan karena status kelaminnya, melainkan
kualitas kerjanya, لها ماكسبت وعليها مااكتسبت. Manusia bekerja sesuai dengan kapasitas
beban yang ada dalam diri manusia. Seluruh hidupnya tidak hanya untuk bekerja,
melainkan juga untuk beribadah, istirahat dan bermasyarakat. Islam tidak hanya
memperbolehkan dan mendorong segala bentuk kerja produktif, tetapi Islam
menyatakan bahwa bekerja keras bagi seorang muslim adalah suatu kewajiban
(Ibid.:18). Penghargaan kerja keras ini sebagaimana tertera dalam hadis yang
artinya:
“Seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal
itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta
kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw pada suatu hari melewati pasar, dimana dijual seonggok
makanan. Beliau masukkan tangannya keonggokan itu, dan jari-jarinya
menemukannya basah. Beliau bertanya: “Apakah ini hai penjual”? Dia berkata “Itu
meletakannya di atas agar orang melihatnya? Siapa yang menipu kami, maka bukan
dia kelompok kami” (Quraish Shihab, Ibid.: 8).
2. Keadilan
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan
melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk
membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk
dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci
keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum
muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan
sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويل
(35:)السراء
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
10
(Q.S. al-Isra’: 35)
Dari ayat di atas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh
Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang celaka (wail). Kata ini
menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang
curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai
kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang
semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk
dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan
kecurangan, ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.
3. Barang atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya
maupun cara mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun
dengan tidak melihat agama dan keyakinan dari mitra bisnisnya, karena ini
persoalan mu’amalah dunyawiyah, yang penting barangnya halal. Halal dan haram
adalah persoalan prinsipil. Memperdagangkan atau melakukan transaksi barang
yang haram, misalnya alkohol, obat-obatan terlarang, dan barang yang gharar
dilarang dalam Islam (Muhammad dan R.Lukman F, op.cit.: 136-138).
Di bawah ini tabel tentang prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam,
adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Prinsip Halal dan Haram
11
Sumber: Lihat Muhammad dan R. Luman Faurani, Visi Al-Qur’an Tentang Etika
dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 132. Lihat juga Choril Fuad
Yusuf, “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global”, dalam
Ulumul Qur’an, No. 3/V/1997, hlm. 16.
Tabel 2
Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami
Penutup
Praktek kapitalisme di Amerika Serikat yang mengeksploitasi tenaga kerja
dengan upah yang rendah adalah suatu tindakan yang tidak bermoral. Manusia harus
dihargai sesuai dengan kualitas kerja, dan mereka harus diletakkan sebagai mitra
perusahaan bahkan menjadi aset penting dari perusahaan. Manusia tidaklah tepat kalau
diletakkan sebagai unsur terkecil dari keseluruhan proses produksi, sehingga mereka
tidak dapat mengoptimalkan kemampuannya. Mereka hanya dapat bekerja sesuai
dengan jobnya masing-masing tanpa mengetahui pekerjaan lain yang menjadi jaringan
dari proses produksinyanya. Praktek semacam itu selain dikritik oleh Marxis dan non-
Marxis, juga oleh ajaran Islam. Islam tidak membenarkan adanya kepemilihan
individual yang mengakibatkan mereka menguasai kekayaan. Islam juga tidak
membenarkan kepemilikan bersama, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-
prinsip keadilan. Orang yang bekerja keras lebih berhak membelanjakan kekayaan
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Mereka yang malas bekerja tidak
akan mempunyai hak yang penuh atas harta benda orang lain, mereka hanya berhak
untuk menerima derma, infak, sadaqah dan zakat. Kepemilikan harta benda mutlak
hak Allah semata. Manusia hanya diberi wewenang untuk mengelola dan menikmati
sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt.
Islam menawarkan etika bisnis yang berkeadilan dengan berlandaskan pada
keteladanan Rasulullah Saw dalam berbisnis, baik pada waktu sebelum diangkat
menjadi Rasul maupun setelah menjadi Rasul. Al-Qur’an memberikan nilai dasar dan
prinsip-prinsip umum dalam melakukan bisnis.
Mulai sekarang dan selanjutnya Islam sangat tepat dijadikan rujukan dalam
berbisnis, karena didalamnya menjunjung tinggi prinsip kejujuran, keadilan, kehalalan
dan tanggungjawab yang betumpu pada nilai-nilai tauhid.
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1985. Jakarta: Departemen Agama RI.
Abdullah, Taufik (ed.),. 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi.
Jakarta: LP3ES.
Ahmad, Mustaq. 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Mubyarto dkk.1991. Etos Kerja dan Kohesi Sosial. Yogyakarta: Aditya Media.
Muhammad dan R.Lukman Faurani. 2002. Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis.
Jakarta: Salemba Diniyah.
Rahardjo, Dawam. 1995. “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II”, dalam
Prisma, No. 2. Jakara: LP3ES.
Richard T, De George. 1995. Business Ethics, Ed. 4. New Jersey: Printice Hall.
Yusuf, Choirul F. 1997. “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global”,
dalam Ulumul Qur’an, No. 3/Tahun V.
15