Bayu Prajanto
08/265216/22661
Ditahun 1996 negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organitation for Economic
Co-operation Development) mulai mengarahkan para negara anggotanya ke kebijakan-kebijakan
mengenai Teknologi dan Industri untuk memaksimalkan kinerja dan memperkenalkan KBE
(Knowledge Based Economy), yakni suatu sistem perekonomian yang secara langsung
mendasarkan diri pada proses produksi, pendistribusian, serta pemanfaatan pengetahuan dan
informasi. Kecenderungan ini mulai dapat dilihat pada negara-negara OECD dimana
perekonomiannya mengarah ke pertumbuhan-pertumbuhan dalam investasi dibidang industri Hi-
Tech, lebih-lebih lagi pekerja-pekerja dengan keterampilan lebih tinggi, dan peningkatan
keuntungan yang terkait dengan perubahan-perubahan tadi.1
Sekalipun pengetahuan memang sudah lama terbukti merupakan faktor sangat penting
dalam pertumbuhan ekonomi, para ahli ekonomi mulai benar-benar mencari jalan untuk
mengintegrasikan teknologi dan pengetahuan secara lebih jelas lagi dalam model-model teori
mereka. Dalam kaitan tersebut New Growth Theory (OECD, 1996) merefleksikan usaha
keinginan lebih mengerti peran pengetahuan dan teknologi dalam mendorong peningkatan
produktivitas serta pertumbuhan ekonomi. Dalam pandangan itu, investasi dalam research dan
pengembangan (R&D), pendidikan, pelatihan-pelatihan, disertai gaya manajemen baru
menduduki posisi kunci. Salah satu negara yang mampu untuk menjalankan sistem ini dan
sekarang ini memperoleh keberhasilannya dalam pengembangan industri IT khususnya software
adalah negera Cina.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang sedang bangkit dan merintis jalan
menuju KBE seperti India, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, China menempuh jalan yang
sangat berbeda dalam membangun industri perangkat lunak (software). Sejarah China dalam
bidang ini sangat baru. China baru mulai dengan industri ini ditahun 1990-an. Sebaliknya
industri software India sudah mendahului China lebih dari 30 tahun sebelumnya. Yang ada
Baru pada saat itu industri software menjadi bagian penting dari industri IT. Sebagai
keseluruhan baru mencapai ¼ dari seluruh penjualan, jadi sekitar 30% setahunnya. Ini tidak
berarti sama dengan produksi industri besar-besaran dalam perangkat keras lain yang mengambil
90% dari US$11 milyar penjualan dibidang IT. Dengan terjadinya Economic Boom ditahun
1990-an, investasi asing yang langsung (Foreign Direct Investment) dalam bidang IT mengalir
dengan deras ke China; mereka benar-benar memanfaatkan tenaga kerja yang melimpah dengan
upah rendah.
Perlu dicatat China sudah berhasil membuat komputer ditahun 1958 tetapi tidak ada
informasi seberapa baik dan apakah banyak digunakan di China pada awal-awalnya. Tetapi
perkembangan industri software belum tampak secara benar-benar komersial selama 40 tahun.
Dalam pada itu keadaan politik di China mulai berubah dan perekonomian yang terencana secara
sentral lambat laun mulai berorientasi kearah perekonomian pasar terbuka (Open Market
Economy) ditahun 1980-an. Baru sejak itu industri software mulai benar-benar menjadi penting
dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi masih belum benar-benar terlihat jika
dibandingkan dengan unsur-unsur lain dalam perencanaan R&D (Research & Development)
ditahun-tahun antara 1986-2000.
China memandang industri software sebagai inti dari industri informasi dan meletakkan
pentingnya pembangunan sektor software, hal ini dikemukakan oleh Wakil Presiden Departemen
Produksi Elektronik dan Informasi MII, Ding Wenwu, saat berpartisipasi pada conferensi
software baru-baru ini. Sejak dilaksanakannya kebijakan perindustrian yang menguntungkan,
daya saing utama industri software China menjadi meningkat semakin kuat. Ekspor software
China naik dari US$400 juta pada 2000 menjadi US$2,8 miliar pada 2004, naik enam kali lipat
selama lima tahun. Lima tahun lalu, kebijakan mengembangkan industri software diluncurkan
Dewan Negara, Kabinet China, kemudian membuat garis besar untuk pengembangan sektor ini.
Semakin berkembang pesatnya industri software di Cina ini berbanding lurus dengan
semakin berkembangnya tingkat pembajakan terhadap produk ini. Pemerintah Cina pada tahun
2007 bahkan telah memberikan pernyataan bahwa negaranya adalah yang paling besar dalam
usaha pembajakan software di dunia. Menurut Microsoft, lingkaran software bajakan tersebut
setidaknya telah mendistribusikan 19 produk bajakan, dengan total nilai pasar $2 miliar.3 Faktor
utama penyebab tingginya tingkat pembajakan software di Cina adalah masih rendahnya tingkat
apresiasi masyarakat terhadap hak dan kekayaan intelektual atau intellectual propherty. Persepsi
orang terhadap manfaat software dalam membantu pekerjaan masih kurang. Masyarakat suka
membeli hardware tetapi tidak banyak yang mau membeli software.
Masalah pembajakan software komputer sudah menjadi isu global yang paling serius
dibicarakan orang saat ini. Ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena kita dihadapkan oleh
Pemakaian ‘merek’ dalam dunia perdagangan telah dilakukan sejak jaman Yunani kuno.
Demikian pula peniruan atau pembajakan terhadap produk bermerek. Di abad pertengahan,
ancaman sangsi terhadap pelanggaran penggunaan merek juga telah dilakukan, misalnya
ancaman hukuman gantung bagi para pelaku pembajakan. Di era bisnis modern, bisnis produk
bajakan menjadi semakin merajalela dengan skala internasional.Kerjasama internasional antar
Negara telah dilakukan dalam menggalang pemberantasan dengan menghasilkan produk-produk
hukum penangkalnya. Demikian pula upaya pemerintah domestik masing-masing negara di
dunia di bawah koordinasi WTO, telah dan sebagian masih dalam proses menerapkan hukum
perlindungan HKI.
Menjual dan memproduksi produk bajakan adalah suatu tindakan kriminal karena telah
melakukan pelanggaran HKI. Dalam satu dasawarsa terakhir, penegakan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) menjadi bagian yang sangat penting
dalam bisnis internasional karena semakin banyak produk-produk yang berkaitan dengan HKI
menjadi komoditas dunia. Produk yang berkaitan dengan HKI ini tidak lepas dengan
perkembangan teknologi dunia yang sangat pesat, sehingga mendorong kemampuan berinovasi
manusia juga semakin tinggi. Di samping itu produk yang berkaitan dengan HKI juga memiliki
nilai tambah yang sangat besar sehingga mempercepat pula kemampuan pengusaha mengeruk
keuntungan besar dan mempercepat pengembalian modal investasi.
Pembajakan memang marak di negara berkembang, dengan porsi yang terbesar ada di
Asia. Upaya penangkal dari pemerintah setempat telah dilakukan dengan memberlakukan
peraturan yang melindungi HKI dan kesungguhan memberikan sangsi kepada pelaku pelanggran
HKI. Namun pemberlakuan hukum yang berkaitan dengan HKI tidak standar satu dengan
lainnya, sehingga pemberlakuan penegakan hukum juga berbeda-beda. Masih ada banyak
variable lain yang juga perlu dipertimbangkan, seperti sosial, budaya dan ekonomi. Alasan
membajak antara lain :
Harga dapat dijual jauh lebih murah dibandingkan aslinya sehingga dapat menghasilkan
keuntungan yang sangat menjanjikan bagi para pembajak
Dampak penyebaran dan perkembangan teknologi yang sangat pesat di dunia sehingga bisa
diakses oleh semua lapisan masyarakat telah memberikan inspirasi kepada pembajak
untuk melakukan produksi massal produk bajakan yang dapat dibuat sangat identik
dengan produk aslinya.
Memiliki pasar potensial yang sangat besar karena besarnya proporsi konsumen dengan
penghasilan menengah ke bawahyang tidak terjangkau membeli produk aslinya.
Disamping itu, infrastruktur hukum yang masih lemah juga menjadi bagian daya tarik
melakukan pembajakan produk.
Memproduksi produk bajakan karena sulit berkomoetisi dengan produk-produk yang telah
begitu kuat dan popular di mata konsumen, sehingga dengan melakukan pembajakan
akan mempermudah memasarkannya karena mendompleng popularitas produk aslinya.
Bisnis produk bajakan merupakan bisnis yang sangat jauh dari persaingan bisnis yang
adil ketika dikaitkan dengan kompetisi perdagangan. Pabrikan pemegang merek dan paten
produk asli harus berkompetisi dengan yang lainnya melalui berbagai strategi marketing dan juga
pengeluaran dana yang tidak sedikit, tetapi pembajak cukup mendompleng keberhasilan para
pemegang merek dan paten tersebut dalam membangun image produk mereka. Pembajak juga
tidak perlu melakukan investasi yang sangat mahal untuk keperluan kontrol kualitas, material
yang berkualitas, riset dan pengembangan, dan pemasaran. Karenanya pembajak mampu menjual
produknya jauh lebih murah dibandingkan produk yang asli. Kenyataan di atas menunjukkan
juga bahwa pembajak mengabaikan kepentingan konsumen yang berkaitan dengan keselamatan.
Hasilnya adalah, pabrikan pemegang merek asli dan pemerintah dirugikan. Bagi pabrikan
pemegang merek asli paling tidak akan menurunkan tingkat kepercayaan konsumen dan
pemerintah kehilangan pemasukan dari pajak.
Meskipun upaya penangkalan pelanggaran HKI telah dilakukan oleh negara masing
masing maupun dengan cara kerjasama bilateral antar negara, bahkan melalui organisasi
perdagangan dunia atau World Trade Organisation (WTO), menjamurnya bisnis pembajakan di
Asia masih jauh dari harapan pemilik/pemegang merek asli, dan belum bisa diredam atau
dikurangi secara signifikan.4 Salah satu faktor utamanya adalah bahwa banyak negara Asia
mengalami proses industraliasasi masih dalam hitungan umur yang sangat muda. Karenanya
negara-negara tersebut masih belum memiliki format infrastruktur hukum yang jelas dalam
mendukung keberadaan HKI, sehingga penegakan hukum juga masih belum konsisten. Demikian
juga perlu diperhitungkan bahwa kebanyakan masyarakat bisnis Asia memiliki jiwa
kewiraswastaan secara alamiah dan tidak ada kendala moral yang menahan penggunaan atribut
orang lain untuk digunakan kepentingan sendiri. Kenyataan ini nampaknya juga didukung oleh
budaya Asia yang mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan individual. HKI
dianggap sebagai kental dengan pengaruh budaya barat karena membela kepentingan individual
di atas kepentingan bersama.
Pelanggaran HKI subur di Asia (khususnya Cina) karena adanya perbedaan budaya
dalam memahami aspek moralitas dan cara pandang memahami nilai-nilai hidup antara Barat
dan Timur.5 Dikaitkan dengan HKI, Barat dan Timur berbeda pandang dalam konsep
kepemilikan. Budaya Asian secara tradisional menekankan kepada mendahulukan kepentingan
bersama, dan individu memiliki kewajiban memberikan kemampuannya untuk kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, ide-ide baru atau temuan-temuan baru selalu dianggap dapat
4 Jacobs, L., Samli, A. C. & Jedlik, T. (2001), ‘The Nightmare of International Brand piracy, Exploring Defensive
Strategies,’ Industrial Marketing Management, vol. 30, Hal 40.
5 McDonald, G. M. & Roberts, C. (1994), ‘Brand piracy, The Problem that Will not Go Away,’Journal of Product
and Brand Management, vol. 3, no. 4,Hal. 55-65.
diakses atau dimanfaatkan oleh semua orang secara komersial.6
Sebaliknya, HKI merefleksikan nilai-nilai ‘Bangsa Barat’ pada umumnya. Banyak orang
Asia melihat HKI sebagai upaya bangsa barat untuk mempertahankan monopoli perdagangan
mulai dari teknologinya, produksi produknya dan memasarkan produk tersebut. Produk-produk
yang dilindungi HKI hanya akan meningkatkan harga yang lebih tinggi, karenannya ketika
tekanan dari pihak pemerintah ‘Barat” kepada pemerintah ‘Timur’, seperti dalam kasus Cina ini,
supaya membuat hukum-hukum yang yang memberi pelanggaran HKI, pembuatan produk
bajakan di Cina tidak kunjung surut jumlahnya. Kenyataan dilapangan, hukum atau peraturan
untuk melindungi HKI di buat sedemikian rupa, pembajak tetap saja mampu mensiasati hukum
atau peraturan tersebut. Semakin ketat hukumnya, semakin canggih para pembajak melindungi
bisnisnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Negara-negara Asia menjadi daerah
subur pembajakan baik dari proses produksi sampai dengan memasarkannya, dan kondisi ini
mendorong para ahli pemasaran di Asia memperhitungkan dengan serius problem produk
bajakan ini.
Dengan semakin maraknya kegiatan pembajakan terhadap produk software dan juga semakin
ditingkatkannya penegakan HKI, penggunaan software berupa open source perlu ditingkatkan.
software open source ini sekarang banyak tersedia luas di internet dan kita bisa mengunduhnya
tanpa dipungut biaya alias gratis. Keuntungan lainnya dengan penggunaan software open source
adalah melatih kita agar bisa menjadi seorang programer, karena software open source, source
codenya yang terbuka dan bebas untuk dimodifikasi, dan dikembangkan. Hal ini tentu berbeda
jika kita hanya menggunakan software proprietary (tertutup) sehingga hanya membuat kita
sebagai pengguna saja. Sesungguhnya menggunakan software open source sangat cocok untuk
negara-negara berkembang, karena akan menghemat penggeluaran belanja negara. Selain itu,
perusahaan-perusahaan di negara berkembang yang menggunakan software open source hanya
akan mengeluarkan biaya 1/5 saja untuk biaya pelatihan SDM dari biaya pembelian lisensi
software proprietary (tertutup).
Miris memang kita mendengar kenyataan akan mahalnya harga sebuah software. Namun
alangkah tidak menyenangkan pula ketika kita sudah memiliki satu unit komputer, namun untuk
6 Lai, E. L. C. (1998), ‘International intellectual property rights protection and the rate of product innovation,’
Journal of Development Economics, vol. 55, Hal. 133-153.
mengetik saja tidak bisa dipakai karena program Microsoft Officenya, sebagai contoh, terlalu
mahal untuk dijangkau isi dompet. Kenyataan inilah yang membuat orang menjadi nekat untuk
memakai produk bajakan karena memang harganya sangat terjangkau pasar. Saya pribadi kurang
begitu setuju kalau konsumen tidak boleh terlalu dipaksakan membeli produk yang notabene
diluar jangakauan kemampuannya. Saya sangat yakin produsen-produsen besar seperti Microsoft
masih mampu menurunkan harga jualnya hingga mampu dijangkau konsumennya. Pembajakan
software di suatu negara merupakan perlawanan unsur kolektivis terhadap dominasi barat yang
cenderung individualis. Ada faktor lain yang menyuburkan adanya pembajakan, hal ini karena
software sebagai media digital merupakan barang yang sangat mudah untuk dicopy secara
sempurna ketimbang barang-barang lainnya. Selama harga software mahal, selama penegakan
hukum tentang hak cipta masih saja lemah, selama ini pula kegiatan pembajakan software akan
terus berlanjut di seluruh dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Jacobs, L., Samli, A. C. & Jedlik, T. (2001), ‘The Nightmare of International Brand piracy,
Exploring Defensive Strategies,’ Industrial Marketing Management, vol. 30
McDonald, G. M. & Roberts, C. (1994), ‘Brand piracy, The Problem that Will not Go
Away,’Journal of Product and Brand Management, vol. 3
Lai, E. L. C. (1998), ‘International intellectual property rights protection and the rate of product
innovation,’ Journal of Development Economics, vol. 55
http://www.oecd.org/dataoecd
http://id.wikipedia.org/wiki/Cina
http://www.it.dnaberita.com/29 des 09 Cina.php