Anda di halaman 1dari 3

http://www.indomedia.com/poskup/2007/07/20/edisi20/opini.

htm

"Orangtua’ yang kudambakan


(Cetusan hati seorang anak di Hari Anak Nasional 2007)
Oleh Fidel Hardjo *

Aku ingin ibu.... membiarkanku bermain sesuka hati sebentar saja.


Aku ingin ayahku... melakukan semua hal yang dituntutnya padaku.
Aku ingin ayahku... bicara tentang kesalahannya, tidak merasa paling benar.
Aku ingin ibuku... mencium dan memelukku seperti ia memeluk adikku.

Inilah jawaban seorang anak kecil ketika psikolog menyodorkan pertanyaan tentang orangtua
yang didambakannya. Jawaban anak ini sungguh di luar dugaan saya. Jawabannya memang
sangat sederhana. Sesederhana itukah kerinduan seorang anak? Saya tidak habis berpikir. Jika
pertanyaan yang sama diajukan kepada anak-anak NTT, saya pikir anak NTT punya jawabannya
tersendiri.

Anak NTT pasti punya masalah lain. Coba bolak-balik koran kesayangan kita ini. Hampir setiap
hari ada berita kekerasan terhadap anak-anak. Dunia anak-anak begitu akrab dengan berita
diperkosa, dipukul, kurang gizi, busung lapar, ditemukan bayi hidup atau mati di setiap sudut
tempat, dan belum lagi masalah melek huruf dan AIDS. Lengkap sudah ketragisan dunia anak-
anak.

Semua perlakuan salah terhadap anak ini telah mengakibatkan "pengerdilan" dunia anak secara
sistematis. Dunia tanpa masa depan, impian dan harapan. Dunia yang kian suram ini tak pantas
dihuni oleh anak-anak. Itulah sebabnya, tahun 2006 tema laporan tahunan situasi anak dunia
UNICEF yaitu "Terlihat tapi Terabaikan". Perlakuan salah terhadap anak telah menjadi konsumsi
publik. Sayangnya, realitas ini sering terabaikan. Padahal, kita sudah produk UU No 23/2002
tentang perlindungan anak dan telah meratifikasi banyak konvensi anak.

Tahun 2002/2003 UNICEF pernah melakukan suvai di NTB dan NTT. Hasilnya menunjukkan
angka keseriusan perlakuan salah terhadap anak. Survai tahun 2002 melibatkan 125 anak.
Survai ini berlangsung selama enam bulan, dan mencakup wawancara yang dipantau secara
cermat. Survai ini mengatakan dua pertiga anak laki-laki dan sekitar sepertiga anak perempuan
pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan yang disurvai pernah diperkosa.

Dalam survai yang lebih luas cakupannya pada tahun 2003, yang melibatkan 1.700 anak,
kebanyakan anak melaporkan pernah ditampar, ditonjok, atau dilempari sesuatu dan dimarahi
dengan kata yang kasar dan jorok. Dalam hati kecilku berkata, gaya seperti itu sudah biasa bagi
anak-anak NTT. Hal itu akan menjadi luar biasa kalau anak-anak tidak ditonjok, ditampar dan
dicaci maki lagi oleh orangtua mereka. Apa itu mungkin yah?

Terry E Lawson (1997), mengklasifikasi empat macam perlakuan salah terhadapanak. Pertama,
emotional abuse yaitu perlakuan keji secara emosional terhadap anak. Contoh saja, anak
menangis minta dibeliin pisang goreng tapi orangtua malah cuek habis-habisan. Sampai anak itu
sendiri berhenti menangis. Secara emosional anak merasa terluka karena tidak dipedulikan sama
sekali. Amat sayang, kalau hal ini terjadi berulang kali.

Kedua, verbal abuse yaitu menggunakan kata kasar untuk anak seperti "kamu bodoh", "keparat"
dan "setan" bahkan maki-makian. Tidak heran, kalau anak-anak mengenal kata maki lebih dulu
daripada nama ayahnya sendiri. Lucu! Ketiga, physical abuse, terjadi ketika anak diperlakukan
kasar secara fisik seperti ditampar, ditonjok, dipukuli bahkan dibunuh. Keempat, sexual abuse
yaitu pelecehan seksual terhadap anak-anak. Kedua kategori terakhir ini tentu menakutkan.
Persis, sebatas inilah pemahaman publik tentang pengartian tindakan kekerasan terhadap anak.
Konsepsi publik ini tak jarang meleset. Orang lebih menginterpretasi tindakan besar seperti kasus
pemerkosaan, pembunuhan, pemukulan anak sampai mati, baru dikategorikan inilah wajah
kejahatan sesungguhnya. Namun, ketika orangtua tidak memedulikan anaknya, tebang pilih
kasih terhadap anak, memarahi anak dengan teguran verbal yang kasar, dan bersikap protektif
berlebihan adalah hal sepeleh. Realitas seperti ini menjadi menu harian anak-anak di rumah.
Apakah itu hal yang wajar?

Orangtua melihat pola didik ini masih dalam taraf kewajaran. Bahwa itu bagian dari pendidikan
keluarga yang sudah diwariskan sejak dulu kala. Anak dipukul, ditonjok kalau melakukan
kesalahan (reward punishment). Anak yang gagal dan bersalah perlu dimarahi tanpa dijelaskan
mana yang salah dan mana perbaikannya. Sebaliknya, anak-anak yang jujur, berprestasi, dan
berkelakuan baik kurang mendapat respek. Kata-kata sanjung dan puji-pujian begitu sulit
terdengar dari mulut orangtua ataupun masyarakat sekitarnya. Bahkan, di sekolah sebagai garda
terdepan pendidikan tunas bangsa juga menganut mekanisme didik yang sama.

Fakta ini "sedikitnya" benar. Coba kita bayangkan, berapa banyak dialek daerah di NTT yang
punya kata "terima kasih". Mungkin bisa dihitung dengan jari. Lalu, bagaimana sampai nenek
moyang kita tidak mengenal kata itu. Ataukah mereka tidak tahu menyanjung orang lain, yang
pantas disanjungi. Memuji orang lain, yang seharusnya dipuji. Tapi, itu tidak berarti kita harus
menyalahi nenek moyang kita. Setidaknya, ini menjadi kontribusi permenungan kita sekarang.
Ternyata, ada banyak hal yang perlu direorientasi dalam pendidikan regenerasi baru kita.

Kembali ke kisah awal. Jika pertanyaan yang sama di atas, ditanyakan kepada anak-anak NTT:
orangtua (baca: ayah, ibu, guru, pemerintah) yang bagaimana yang kamu dambakan? Maka,
boleh jadi ada beberapa jawaban variatif. Jawaban yang terlahir dari sebuah jeritan hati dari
sekian banyak anak NTT yang nasibnya kurang beruntung.

Pertama, kami ingin "orangtua" menyekolahkan kami setinggi-tingginya. Agar kelak kami menjadi
pemimpin yang peduli terhadap masalah anak-anak miskin. Ribuan anak kurang gizi, busung
lapar, buta huruf dan kesehatan yang memburuk tersebar di mana-mana tanpa pertolongan yang
serius dari pemimpin. Terlihat tapi terabaikan!

Semoga dengan menyekolahkan kami, ada di antara kami yang akan menjadi perawat di desa-
desa, dokter siap siaga 24 jam, guru yang tabah, hakim yang sejujur-jujurnya, DPR yang loyal
kepada rakyat kecil, bahkan sekaligus menjadi bupati atau gubernur yang memperhatikan nasib
anak-anak. Walaupun kami tahu, untuk mencapai cita-cita itu butuh belajar yang keras.
Percayalah bahwa anak-anakmu akan bisa melakukan semuanya ini. Jika kami diberi
kesempatan untuk bersekolah setinggi-tingginya.

Kedua, kami ingin "orangtua" menyediakan lampu neon (baca:listrik) sehingga kami bisa kerjakan
PR, belajar menulis, berhitung dan bermimpi di bawah cahaya terang benderang. Sekian sering,
kami bermimpi akan masa depan yang baik di bawah terang yang begitu suram. Kami
merindukan betapa nikmatnya belajar di bawah lampu neon seperti apa yang diceritakan kawan-
kawan yang biasa pulang dari kota. Belajar di bawah lampu neon seperti belajar di siang hari.
Enaknya bukan main!

Selama ini, kami hanya belajar dengan lampu lentera atau pelita yang sebentar suram dan
sebentar mati ditiup angin dari cela-cela dinding rumah. Konsentrasi belajar kami sekejap juga
terusik. Belum lagi sekarang, harga minyak tanah semakin mahal, sehingga ibu kami sering
membatasi waktu belajar. Katanya, belajar cukup siang hari. Belajar malam hari bikin habis
minyak tanah saja. Kami pun terpaksa duduk bercerita di dalam ruang yang gelap pekat. Kapan
kami seperti anak-anak di kota? Listrik, air dan sarana transportasi berkelimpahan. Sangat ironis!
Ketiga, kami ingin "orangtua" menjadikan rumah dan sekolah serta semua tempat publik ramah
terhadap dunia anak-anak. Tak jarang, kami tidak dipedulikan oleh ayah-ibu. Mereka sering
sibuk, terburu-buru dengan pekerjaan. Kadang kami menjadi korban kekerasan dan kemiskinan
keluarga. Kapan saja, kami bisa menjadi obyek pelampiasan rasa amarah, kebingungan,
kepenatan dan kepanikan atas situasi kehidupan ekonomi yang terseok-seok. Kapan ini
berakhir?

Di sekolah, kadang guru cepat merasa bosan dengan kelambanan cara berpikir kami. Padahal,
anak butuh proses pembelajaran. Kadang guru-guru menggunakan kekerasan untuk
mengdongkrak kebebalan kami. Tapi, tak satu pun di antara kami angkat bicara. Tutup mulut
adalah pilihan terbaik daripada guru-guru mengobok-obok kami lebih tragis lagi.

Di tempat publik, kami berharap diberi kesempatan yang seluas-luasnya dan dilindungi agar kami
bebas mengekspresi diri kami. Kapan kami bisa menikmatipermainan kesukaan kami tanpa
ditakut-takuti oleh kedatangan pemerkosa, penculik, pencuri dan perampok? Sekian sering
tempat publik tak ramah terhadap dunia kami. Aksi kekerasan begitu akrab, perlindungan hukum
begitu lemah, dan kami selalu dianggap tak berarti, menyerupai sampah yang menyesakkan
(waste of place) dan menjadi sasaran tindakan asosial.

Inilah kerinduan yang terpatri dalam hati anak-anak, yang nasibnya kurang beruntung.
Mendambakan "orangtua" yang bersikap ramah terhadap dunia anak. Kerinduan ini sejalan
dengan tema Hari Anak Nasional 2007, Anak Indonesia: Cerdas, Sehat, Kreatif, Berakhlak Mulia
dan Berbudi Pekerti Luhur. Semoga anak-anak NTT semakin Cerdas, Sehat, Kreatif, Berakhlak
Mulia dan Berbudi Pekerti Luhur!

* Penulis, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila

Anda mungkin juga menyukai