Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pendidikan adalah salah satu upaya manusia untuk mencapai tujuannya.

Manusia dalam kehidupan ini selalu menginginkan hal yang terbaik dalam

hidupnya ingin memiliki kedudukan, ingin berhasil, ingin lebih baik, ingin pintar

dan dapat meraih segala impian yang mereka cita-citakan. Pendidikan pada zaman

sekarang ini lebih penting pabila kita kaitkan dengan keadadan zaman yang penuh

dengan perlombaan antara individu. Hal ini menyebabkan hidup ini menjadi

sebuah arena persaingan dan perlombaan.

Allah SWT telah mewajibkan kepada seluruh umat manusia bahwasanya

mencari ilmu itu hukumnya wajib mulai dari seseorang yang masih dalam

pangkuan ibu sampai ia meninggal dunia. Dalam salah satu sunah rasul

disebutkan bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap orang Islam,

laki-laki dan perempuan. Disebutkan juga bahwasanya “tuntutlah ilmu walau

sampai ke negeri China”(H.R Bukhari Muslim).

Hal ini menjadikan bahwasanya pendidikan itu adalah sebagai Hak dan

Kewajiban bagi setiap individu. Pemerintah dahulu kala pernah mengeluarkan

sebuah program Wajib belajar 9 tahun. Hal ini ditujukan agar rakyat Indonesia

tidak ada yang buta huruf lagi. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tercantum dalam Undang-undang dasar

45. pendidikan juga erupakan salah satu permasalahan yang menjadi sorotan
dunia, bukan hanya Negara kita saja. Terbukti dengan berdirinya organisasi

pendidikan sedunia (WEO).

Proses pendidikan diseluruh dunia erat kaitannya dengan pendidik (guru)

dan peserta didik (siswa). Kedua buah komponen terpenting dalam pendidikan ini

harus saling bekerja sama dan saling menunjang demi keberhasilanny proses

pendidikan dan pembelajaran. Dengan adanya hubungan harmonis antara kedua

komponen ini diharapkan dapat mencapai apa yang menjadi tujuan pendidikan

baik dalam tarap Nasional maupun Internasional.Seorang guru, sebagai salah satu

komponen terpenting dalam keberhasilan proses pembelajaran haruslah memiliki

dua komponen ini. Seperti yang diungkapkan oleh Dra. Srie Esti Wuryani

Djiwandono dalam bukunya Psikologi Pendidikan, kedua komponen ini adalah :

“pertama, Guru harus mengerti tentang Psikologi siswa pada


umur-umur yang berbeda dan prinsip-prinsip belajar dan
motivasi. Kedua, Guru harus tahu prosedur khusus untuk
menambah keefektifan mengajar mereka di kelas.” (Djiwandono.
2002:1).

Menurut Teori Dalton disebutkan bahwa “..pengaruh tolong menolong itu,

hasilnya dan faedahnya tidak kalah pengaruhnya. dengan persaingan dan

kompetisi itu, bahkan melebihinya…” (Abubakar. 1981:3). Dari teori Dalton

diatas dapat kita perhatikan bahwa pendidikan itu tidak akan berjalan dengan

berhasil tanpa adanya proses “tolong menolong” antara kedua komponen tersebut.

Sebagai salah satu Fakultas yang terdapat di Universitas Muhammadiyah

Sukabumi. Fakultas Sastra yang walaupun memang bukanlah fakultas keguruan

memberikan kesempatan kepada para mahasiswanya untuk mendapatkan

pengalaman mengajar disekolah-sekolah negeri tingkat atas di wilayah kotamadya


Sukabumi. Hal ini berkaitan dengan salah satu mata kuliah yang diberikan yaitu

Metodologi pengajaran bahasa Inggris (MPBI). “Keterampilan mengajar

bukanlah hereditas, melainkan hasil dari pengalaman” (Djiwandono. 2002:1),

dari sini dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa dengan pengalaman mengajar

guru dapat membantu guru tersebut dan kefektifan dalam proses pengajaran.

Tentunya pepatah juga mengatakan ”bahwa pengalaman adalah guru terbaik”.

Dengan adanya pelatihan mengajar seperti ini, mahasiswa Fakultas Sastra

Universitas Muhammadiyah Sukabumi ddiharapkan mampu menjadi calon-calon

pendidik yang telah siap dan terbekali saat nanti mereka diharapkan untuk

mengajar bahasa Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa Internasional. Mengingat

sebagain besar sekolah-sekolah menengah atas di kotamadya Sukabumi masih

kekurangan guru bahasa Inggris – sebagian adalah guru-guru degan latar belakang

bukan dari jurusan Bahasa Inggris – mengakibatkan kurang efektifnya

penyampaian materi kepada siswa.

1.2 Batasan Masalah

• Perbedaan situasi mengajar kelas IPA dengan IPS di SMAN 3 Sukabumi.

• Penyebab terjadinya perbedaan kondisi kelas IPA dengan IPS di SMAN 3

Sukabumi.

• Perbedaan pendekatan dan metode pengajaran antara kelas IPA dengan

IPS di SMAN 3 Sukabumi.


1.3 Tujuan

• Untuk mengetahui perbedaan situasi kelas IPA dengan IPS di SMAN 3

kotamadya Sukabumi.

• Untuk mengetahui penyebab terjadinya perbedaan kondisi kelas IPA

dengan IPS di SMAN 3 kotamadya Sukabumi.

• Untuk mengetahui metode dan pendekatan apa yang paling tepat untuk

kelas IPA dengan IPS di SMAN 3 kota Sukabumi.

1.4 Manfaat

• Dapat mengetahui perbedaan situasi kelas IPA dengan IPS di SMAN 3

kotamadya Sukabumi.

• Dapat mengetahui penyebab terjadinya perbedaan kondisi kelas IPA

dengan IPS di SMAN 3 kotamadya Sukabumi.

• Dapat mengetahui metode dan pendekatan yang paling tepat untuk kelas

IPA dengan IPS di SMAN 3 kotamadya Sukabumi.

1.5 Kata kunci

Pendidikan itu memiliki dua pengertian, menurut Abubakar dalam

bukunya Pedoman pendidikan dan pengajaran, adalah:

“Pendidikan dengan pengertian umum ialah setiap sesuatu yang


mempunyai pengaruh dalam pembentukan jasmani seseorang,
akalnya dan ahlaknya, sejak dilahirkan hingga dia mati. …
Pengertian khusus ialah semua media yang
dijadikan/dipergunakan untuk mengembangkan jasmani anak,
akalnya, dan untuk pembinaan ahlaknya (yang mulia), dan hanya
meliputi sarana khusus yang memungkinkan disusun suatu sistim
baginya; hal ini terbatas pada pendidikan rumah tangga dan
sekolah”. (Abubakar. 1981:5).
Dari pengertian diatas oleh Abubakar dapat kita tarik kesimpulan bahwa

sebenarnya alam kita ini adalah sebuah “sekolah” yang sangat besar, yang mana

waktu pembelajarannya adalah sejak manusia itu lahir sampai ia meninggal dunia.

Adapaun pengertian lainnya tentang pendidikan adalah salah satunya dari

Aristoteles, seperti yang dikutip dari bukunya Abubakar, Pedoman pendidikan

dan pengajaran, adalah

“Didalam diri manusia itu ada dua kekuatan, yaitu pemikiran


kemanusiaannya dan syahwat hewaniyahnya. Pendidikan itu
adalah alat(media) yang dapat membantu kekuatan pertama untuk
mengalahkan kekuatan yang kedua”. (Abubakar. 1981:6).

Abubakar bahkan membatasi definisi pendidikan itu menjadi “pemberian

pengaruh dengan berbagai macam yang berpengaruh, yang sengaja kita pilih

untuk membantu anak sehingga dia bahagia dalam kehidupannya” (Abubakar.

1981: 9). Begitu banyak sekali definisi-definisi tentang pendidikan, dapat kami

simpulkan bahwasanya pendidikan adalah, upaya pemberian pengaruh dengan

sengaja untuk membuat sang anak, akalnya, mentalnya serta jasmaninya agar ia

bahagia dalam kehidupan ini.

Kelas adalah salah satu bentuk yang diibaratkan sebagai sebuah

perusahaan yang harus dikelola oleh seorang manajer yang dimaksud disini

adalah guru. Sebagai salah satu komponen dan perangkat sekolah, kelas menjadi

salah satu wadah bagi proses pembelajaran secara khusus antara pengajar (guru)

dengan peserta didiknya (siswa).

SMA Negeri 3 kotamadya Sukabumi dikenal dengan reputasinya sebagai

“SMART SCHOOL”. Sebagai salah satu sekolah SMA negeri terfavorit di kota

Sukabumi, SMA Negeri 3 telah menghasilkan banyak sekali lulusan-lusan yang


berkualitas. Bahkan SMA Negeri 3 kota Sukabumi juga memiliki kelas-kelas

berstandar Iternasional yang mana sang guru mata pelajaaran apapun haruslah

menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Terdapat juga kelas-

kelas ekstension untuk anak-anak yang “berbakat”. Sebagai salah satu sekolah

terfavorit, SMAN 3 kota Sukabumi menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi

kami untuk mengajar para siswa-siswanya yang rata-rata nilai bahasa Inggrisnya

itu diatas 8.0, hal ini seperti diutarakan oleh wakil kepala sekolahnya yaitu bapak.

Ade.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengelolaan Kelas

Tidak ada aspek lain dari pengajaran yang sering disebut sebagai masalah

yang besar karena perspektif, permulaan tahun ajaran baru, dan pengalaman guru

sebagai pengelola kelas. Seorang guru yang baik dan jeli, akan dapat

membedakan situasi dan kondisi suatu kelas yang akan ia ajar.

“ Guru yang sukses adalah guru yang bias memahami masalah akademik dan

professional, seperti mengerti motif siswa, kepribadian, kemampuan, gaya

berfikir dan belajar, serta tingkah laku social siswa “ (Djiwandono. 2002:3)

Dari penjelasan oleh Dra. Srie Esti Wuryani Djiwandono diatas dapat kita

ambil kesimpulan, bahwa seorang guru haruslah mampu menganalisa anak

didiknya sehingga ia dapat kemudian menentukan metode pengajaran yang tepat

sehingga proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil.

Pengelolaan kelas adalah salah satu rangkaian tingkah laku yang

kompleks, dimana guru dituntut untuk mengembangkan dan mengatur kondisi

kelas yang akan memungkinkan siswa mencapai tujuan belajar secara efisien. Jadi

”pengaturan atau pengelolaan kelas yang efektif adalah syarat utama untuk

pengajaran yang efektif ”(Djiwandono, 2002:263).

Mengelola kelasa dalah salah satu kemampuan guru yang memungkinkan

guru mengajar dan siswa belajar. Pengelolaan kelas itu diibaratkan seperti halnya

seorang manajer yang mengelola, merencanakan dan mengoordinasikan kegiatan

untuk menentukan dan sasaran khusus sebuah perusahaan. Bagaimanapun sebuah


perencanaan yang baik selalu diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan agar

tercapai keberhasilan.

3.1.1 Definisi Pengelolaan Kelas.

Berdasarkan penelitian Edmund, Emmer, dan Carolyn Evertson (1981),

pengelolaan kelas didefinisikan seperti berikut :

• Tingkah laku guru yang dapat menghasilkan prestasi siswa yang tinggi

karena keterlibatan siswa di kelas.

• Tingkah laku siswa yang tidak banyak menggangu kegiatan guru dan

siswa lain.

• Menggunakan waktu belajar yang efisien.

Bagian awal dari definisi diatas menekankan kebutuhan akan aktifitas guru untuk

melibatkan guru dalam proses belajar. Siswa yang tidak aktif akan memiliki

kesempatan yang sedikit untuk tidak mengerjakan tugas atau bertingkah laku

menyimpang. Memerintahkan siswa untuk mengerjakan tugas adalah aspek

penting dalam pengajaran dan pengelolaan kelas.

Kemudian pada definisi kedua diatas, kedua komponen ini yaitu guru dan

siswa memusatkan perhatian mereka akan kebutuhan untuk menciptakan

lingkungan yang teratur untuk belajar. Didalam kelas biasanya gangguan itu

selalu saja ada. Sebagian besar siswa pada umumnya walaupun dalam kondisi

belajar tetap saja ada yang menyempatkan diri untuk, ngobrol bersama temannya,

tertawa, mengunyah makanan kecil, lupa membawa pencil, terlambat dan

bercanda. Hal seperti ini memang adalah sebuah hal yang biasa-biasa saja dan

lazim dalam setiap kondisi kelas yang guru temui.


Jakob Kounin (1970) adalah orang yang pertama kali memberi nama

kepada gangguan-gangguan yang biasa terjadi dikelas ini dengan istilah “Ripple

effect”. Ripple effect “adalah dampak dari tingkah laku yang menggangu siswa

yang sedang belajar” (Djiwandono, 2002:265).

Definisi ketiga diatas menekankan kebutuhan akan penggunaan waktu

yang seefisien mungkin dalam pengajaran. Banyak waktu yang terbuang setiap

harinya, adalah tugas guru untuk kemudian mengatur waktu seefektif dan

semaksimal mungkin serta mengurangi waktu-waktu untuk hal-hal yang sia-sia.

3.3 Perspektif Pengelolaan Kelas.

3.3.1 Perspektif Sejarah

Pengaturan dan pengelolaan kelas ini telah ditulis selama akhir abad ke-

20. walaupun demikian pengelolaan kelas masih diteliti, didiskusikan dan

diperdebatkan dalam tulisan sejak adanya wajib belajar sekolah.

Arhur C. (1990) dalam buku The mManagement of a City School,

mengidentifikasikan sejumlah sifat-sifat dan keterampilan mengelola kelas yang

sebaiknya dimiliki guru yang efektif. Walaupun tingkah laku akan sulit dirubah,

namun sifat-sifat seorang guru dapat mempengaruhi tingkah laku siswa secara

positif maupun negative. Berikut adalah sifat-sifat guru yang diharapkan oleh

siswa yang diambil dari buku, Psikologi Pendidikan,

• Sikap tenang

• Teguh dan tegas

• Rajin dan kuat

• Gembira
• Simpati

• Hangat

• Waspada

• Terbuka dan adil

• Sikap terhadap kesalahan

• Aturan, system, dan kerapian

• Kompeten

• Kesarjanaan

Sebaliknya ada juga sifat-sifat guru yang tidak diharapkan oleh siswa seperti

berikuit ini:

• Tidak cukup bekerja sama dengan siswa

• Tidak tegas pada waktu memulai

• Tidak mepunyai system perencanaan untuk mengubah kegiatan mengajar

• Memberikan pengarahan dan perintah yang tidak perlu

• Ancaman

• Cacian, penggunaan sindiran tajam dan julukan

• Menghukum

• Memberikan pekerjaab rumah sebagai hukuman

3.3.2 Perpektif Psikologi.

Perkembangan teori-teori tentang pengelolaan kelas berasal dari bagian

bidang Psikologi. Teori yang paling umum berhubungan dengan pengaturan kelas

adalah Teori Skinner. Teori Reinforcements dari B.F. Skinner (1957)


menggambarkan “tingkah laku manusia sebagai hasil dari lingkungan, Jika

lingkungan dapat dikontrol dengan reinforcements maka tingkah laku manusia

dapat dibentuk maupun diubah”.

Jika guru mengajukan pertanyaan, maka sebagian siswa akan mengangkat

tangannya dan sebagian lagi tidak. Ini adalah kondisi yang wajar. Namun guru

tentunya tidak menghendaki siswa untuk menjawab tanpa mengangkat tangannya

terlebih dahulu, yang malah membuat rebut dikelas dan mengganggu yang

lainnya. Maka disini kita dapat gunakan teori Skinner yaitu Reinforcements.

Disini guru dapat memperhatikan mereka yang ingin menjawab dengan

mengacungkan tangannya dan menghiraukan mereka yang menjawab dengan

berteriak-teriak dan tanpa mengacungkan tanganya terlebih dahulu. Disini akan

mulai terjadi penguatan kepada mereka yang mengacungkan tanggannya terlebih

dahulu sebelum menjawab pertanyaan.

3.4 Kondisi Kelas

Berdasarkan kegiatan pengajaran yang dilakukan selama satu bulan di

SMA Negeri 3 Kota. Sukabumi, penulis menermukan bahwasanya kelas IPA dan

IPS memiliki kondisi kelas yang berbeda.

3.4.1 Kelas IPA

Kodisi kelas IPA dapat dijabarkan secara garis besar sebagai berikut:

• Memiliki rasa Respect lebih besar dari kelas IPS.

• Interaktif tapi tidak Hyperaktif.

• Kemampuan kognitifnya jauh lebih merata.

• Lebih tertib dan teratur.


• Kritis dan kooperatif.

3.4.2 Kelas IPS

Secara garis besar kondisi kelas IPS dapat digambarkan sebagai berikut:

• Kurang respect kepada guru.

• Hyperaktif kurang Interaktif.

• Kurang tertib dan teratur.

• Keamampuan kognitifnya kurang merata.

• Tidak kritis dan kurang kooperatif.

3.5. Analisa Kondisi kelas dan Perbandingannya.

Ketika selama satu minggu kami harus mengajar kelas IPA dan IPS, kami

menemukan bahwasanya terdapat perbedaan kondisi kelas antara kelas IPA

dengan kelas IPS di SMA Negeri 3 Sukabumi. Pandangan umum siswa ketika

mendengar kelas IPA umumnya adalah mereka terdiri dari kumpulan siswa-siswa

dengan unsure kognitif yang lebih baik, sedangkan untuk kelas IPS sebagian

mengatakan kemampuan kognitifnya berada dibawah siswa-siswa kelas IPA.

Siswa kelas IPA dapat mengikuti perintah dengan baik dan tanpa

memberikan gangguan-gangguan seperti yang dikatakan oleh Jakob sebagai

“Ripple Effect”. Ketika mengajar di kelas IPA metode pengajaran yang

digunakan juga berbeda dengan metode pengajran ketika mengajar di kelas IPS.

Untuk kelas IPA guru tidak harus menggunakan penguatan atau reinforcements

seperti yang dikatakan Skinner dalam teorinya. Dengan pendekatan personal,

siswa kelas IPA dapat mudah memenuhi keinginan guru dan tujuan

pengajaranpun dapat lebih mudah tercapai. Hal ini di tunjukan oleh hasil-hasil
tugas yang diberikan guru kepada siswa IPA. Sebagian besar dari siswa IPA dapat

menggunakan bahasa Inggris secara baik dengan struktur grammar yang benar

dalam bentuk tulisan dan lisan.

Adapun siswa-siswi kelas IPS, memerlukan penguatan, rewards dan

punishments. Kemampuan mereka dalam menjawab pertanyaan dan mengerjakan

tugas masih kurang merata. Ketika guru menyuruh siswa untuk kedepan dan

memperkenalkan diri mereka dalam bahasa Inggris, sebagian dari mereka masih

kurang dapat menggunakan bahasa Inggris dengan baik. Ketika proses belajar

mengajar berlangsung, gangguan-gangguan dalam kelaspun muncul. Guru harus

lebih memperhatikan mereka satu persatu untuk mengurangi ripple effect ini.

Ketika diberi tugapun mereka cenderung susah memahami perintah dan

melaksanakannya dengan kurang baik.

Adapun analisa ini adalah berdasarkan pengalaman ketika mengajar mata

pelajaran Bahasa Inggris oleh kami selaku guru baru yang mengajar dikelas

mereka serta pendapat dari guru-guru yang sudah sering mengajar di kelas IPA

dan IPS.
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Pengelolaan Kelas IPA dan IPS

Setiap kali sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar, setiap guru

haruslah senantiasa mempersiapkan diri mereka masing-masing baik dalam hal

materi maupun psikologi pengelolaan kelas. Dengan perencanaan yang baik

tentunya diharapkan kegiatan belajar mengajar akan berjalan lebih effektif.

Kondisi kelas IPA di SMA Negeri 3 Kota. Sukabumi memungkinkan guru

jauh lebih mudah dalam melakukan pengelolaan kelas. Dengan kondisi siswa

yang memiliki kemampuan kognitif lebih baik dari kelas IPS, siswa dapat lebih

mudah menyerap pelajaran yang diberikan. Sebelum mengajar di kelas IPA, guru

lebih mefokuskan dalam penguasaan materi sebelum disampaikan kepada siswa.

Siswa-siswi kelas IPA jauh lebih kritis dari kelas IPS. Kemampuan mereka dalam

mengerjakan tugas dan perintah juga lebih baik. Ini ditunjukan oleh hasil tugas-

tugas yang diberikan dan diberi nilai. Kebanyakan dari mereka sekitar 90%

mendapatkan hasil yang bagus.

Kondisi kelas IPS di SMA Negeri 3 Sukabumi berada kurang dibawah

kelas IPA. Mereka lebih sering membuat kegaduhan dikelas, berbicara dengan

temannya dan kurang memberikan perhatian kepada pelajaran.guru harus

memberikan perhatian kepada siswa lebih teliti saat menjelaskan didepan kelas.

Proses belajarpun berjalan lebih lambat, karena siswa tidak dapat menyerap

dengan baik. Guru harus lebih memberikan pendekatan secara personal dan
memberikan penguatan. Hasil nilai yang diberikan guru kepada siswa kelas IPS

masih berada dibawah kelas IPA. Hanya sekitar 60% dari mereka dapat

melaksanakan tugas dengan baik. Bahkan yang menarik adalah ketika diberi tugas

jawaban mereka cenderung sama dengan temannya dan dengan yang tertulis di

buku.

Dengan pertimbangan ini dapat kami ambil kesimpulan bahwa kelas IPA

berada setingkat lebih baik dari kelas IPS. Kesimpulan ini diambil dari analisa

kami ketika mengajar kelas IPA dan IPS di SMA Negeri 3 Kota. Sukabumi

selama satu bulan. Hal ini berlaku untuk kelas XI dan XII.

4.2 Saran dan Kritik

4.2.1 Untuk Pihak Sekolah SMA Negeri 3 Sukabumi

• Alangkah lebih baiknya jika kerja sama ini dapat berlangsung terus

menerus.

• Sebaiknya disediakan waktu khusus untuk berbagi pengalaman dan

pengetahuan tentang pengajaran dari guru-guru yang sudah berpengalaman

khususnya guru bahasa Inggris.

4.2.2 Untuk Pihak Program Studi Sastra Inggris

• Untuk awalnya alangkah lebih baik baik diberikan pembekalan sedari

pertama sebelum masuk ke sekolah-sekolah.

• Karena kita bukanlah jurusan pendidikan, untuk kegitan mengajar

sebaiknya dilakukan micro teaching saja ke Program studi lainnya atau kepada

mahasiswa tingkat I saja sebagai latihan.


• Untuk pembiayaan, harap dihilangkan biaya ongkos untuk pembimbing

dari sekolah yang bersangkutan.

• Format penilaian sebaiknya dibikin lebih sederhana dengan poin-poin

penilaian yang tidak terlalu bertele-tele.

• Karena kegiatan ini hanya 2 SKS maka cukup dibatasi dengan 100 jam

saja.

• Untuk lebih effektif lagi, satu sekolah itu maksimal di isi oleh 3 orang

mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA

Djiwandono Srie Esti Wuryani, Dra. Psikologi Pendidikan. 2002. Jakarta. PT.

Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai