Anda di halaman 1dari 4

Evaluasi Logika Subyektivisme

Metodologi ini dapat menunjukkan dua hal sama benar : 1). Orang merasakan dengan
intuisinya bahwa pernyataan tentang adanya hubungan langsung dengan apa yang
diketahui pada dasarnya benar . 2). Betul, kebutuhan akan pembenaran pernyataan-
pernyataan pengetahuan harus berhenti pada satu tempat. Jika tidak, pembenaran tak
ayal hanya dilanda kemunduran yang tak terhingga. Namun permasalahannya adalah :
apakah pengalaman bisa membuktikan sendiri kebenarannya (keotentikannya) atau
apakah harus ada acuan pada sesuatu yang dari luar.

Alasan kuat dalam menentang subyektivisme saja cukup untuk menjelaskan asal-usul
dan pembenaran keyakinan

1. Subyektivisme hampir selalu berakhir dalam Solipsisme.

Subyektivisme kecuali realisme naif menggiring seseorang menuju dunia yang murni
dunianya. Dunia yang merupakan ciptaan kesadaran seseorang (bak dalam
fenomenologi) atau menolak kriteria Rasional (seperti dalam mistisisme).

Penggunaan pernyataan subyektiv semata. Penganut subyektivisme tidak dapat


menyimpulkan subyektivisme yang satu lebih baik dari yang lain atau lebih baik dari
sudut pandang lain. Karena itu subyektivisme menggiring pada solipisme juga
relativisme.

2. Subyektivisme sulit dalam menjelaskan bagaimana suatu keyakinan dapat keliru.


Karena setiap manusia memiliki keyakinan yang berbeda, tidak selaras dan tidak
konsisten mengenai dunia.
Bagaimana bisa terjadi pihak yang mengetahui berhubungan langsung dengan hal
yang diketahui dari pengalaman bisa membuktikan sendiri autentitasnya??

3. Subyektivisme tidak cukup bagi keyakinan atau pengetahuan. Pengetahuan tidak


hanya membutuhkan pengalaman – pengalaman tetapi juga suatu unsur konseptual.
Kant menjelaskan dengan baik bahwa ” Sensasi tanpa konsep, Buta”

Banyak filsuf menyatakan bahwa keliru untuk berpikir pengetahuan pribadi tidak dapat
diungkapkan. Berbagai kegiatan, bahkan yang melibatkan konfrontasi diatara dua
pokok, dapat di sederhanakan menjadi bentuk proposisi. Mungkin benar pengalaman
yang tersisa dapat hilang dari proposisi tersebut. Tetapi bukan karena pengalaman
tersebut tidak dapat diungkapkan namun karena Terlupakan.
AUTORITARIANISME

Logika autoritarianisme.

Sumber2 umum dari keyakinan adalah kesaksian dari orang lain. Kita menerima
keyakinan sebagai yang benar (kebenaran) ketika kita merasa bahwa sumbernya baik.

1. Sebagai individu kita memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Kita yang hidup di
abad 20 tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan abad-abad sebelumnya,
kita juga tidak terikat dengan peristiwa-peristiwa ditempat lain saat ini, untuk
mengetahui semua itu kita harus bergantung pada kesaksian orang lain.

2. Kita memiliki kecenderungan prima facie untuk menerima kesaksian orang lain.
Kesadaran kita menarik kesimpulan dan mengalami segala sesuatu yang dapat
diketahui membuat kita mempercayai apa yang disampaikan, kecuali ada alasan
yang jelas untuk mencurigai kejujuran atau kompetensi sumber kita.

Membayangkan apa yang terjadi hidup ini bila kita menolak untuk menerima apapun
yang disampaikan kepada kita. Kita dapat menyimpulkan bahwa bila tidak ada alasan
tertentu untuk mempertanyakan otoritas, pada umumnya lebih masuk akal untuk
percaya ketibang ragu-ragu.

Evaluasi Logika autoritarianisme

Autoritarianisme sememangnya perlu dan berguna tetapi tidak dapat menjadi satu-
satunya kriteria untuk membenarkan pengetahuan. Dua alasan kuat untuk ini;

1. Kemustahilan otoritas sebagai kriteria umum

Mengapa kita harus percaya kepada otoritas? Seringkali untuk mendukung otoritas
pertama mengacu kepada otoritas kedua akan tetapi, bisa saja terjadi keraguan
terhadap otoritas kedua dan otoritas2 yang berikutnya yang mungkin dapat dijadikan
acuan. Karena itu mengacu pada yang selain otoritas bisa terjadi. Namun sampai
disini kriteria keabsahan dan sumber keyakinan tidak dapat dilihat lagi sebagai
mengacu kepada otoritas. Kita dapat mengatakan bahwa satu otoritas mengetahui
sepotong pengetahuan karena ia melihatnya, atau karena mencobanya dan berhasil.
atau karena kabar itu sendiri merupakan sebuah Postulat nalar oleh semua mahluk
yang bernalar. Sayangnya pengabsahan ini lebih kepada pragmatis–empiris
dibanding autoritarian

2. Konflik Otoritas

Pandangan yang berlawanan, ketidak selarasan ditimbulkan sebagai akibat dari


ketidaksepakatan otoritas, sebagai contoh : ada seorang yang dianggap pandai,
jujur dan ahli dalam agama, berpendapat bahwa Tuhan tidak ada tetapi disisi lain
juga ada orang yang sama pandai, jujur berpendapat bahwa Tuhan ada. Jika
pengabsahannya hanya didasarkan pada kesaksian, maka kita memiliki
inkonsistensi internal tentang pokok kajian. Keadaan ini tidak dibiarkan oleh dasar
hukum logika, hukum nonkontradiksi.
Masalah konsistensi internal muncul dalam tiap metodologi. Namaun dalam logika-
logika lain terdapat kemungkinan ada acuan dari luar seperti pada fakta-fakta atau
pengalaman yang tidak demikian halya pada logika autoritarian.

Dua tindakan autoritarian yang cenderung diambil bila mana terdapat konflik antar
otoritas:

1. Mengacu pada nalar atau pengalaman untuk menyelesaikan problem


perselisihan. Ini hanya berupa tindakan menerima tanpa bukti tuntutan-tuntutan
agar keaslian otoritas diterima. Banyak kaum epistomologi tidak bersedia
mendiskusikan hal ini, karenanya sering kali mengacu pada nalar, pada
pengalaman atau kriteria yang lain. Tetapi jika hal ini tetap dilakukan sumber
keyakinan dan metode pengabsahan tidak dapat lagi disebut autoritarianisme.

2. Kaum autoritarian mungkin berupaya mengatasi perdebatan dengan memakai


kriteria autoritarian itu sendiri seperti martabat sumber otoritas, jumlah yang
berpegang pada keyakinan, dan ketahanan keyakinan tersebut.

a). Martabat dari otoritas pertama sebagai mempengaruhi keyakinan kita bila
otoritas kita dikenal luas jujur dan pandai, maka kita akan lebih
mempercayainya.

Namun kelemahan pendekatan ini validitas martabat harus dibatasi secara


ketat pada pokok tertentu, dimana otoritas dikenal. Seorang otoritas bidang
matematika bisa sama sekali tidak dipercaya pernyataannya dalam bidang
tumbuh-tumbuhan.

b). Jumlah otoritas penganut suatu pandangan terkadang digunakan sebagai


petunjuk yang bagus.

Contoh : orang bisa berpendapat 50 juta ilmuan tidak mungkin salah tentang
suatu penyakit. Akan tetapi pendekatan ini walaupun meyakinkan belum
dapat dipercaya. 50 juta orang berpendidikan saja dapat – dan selama ini –
melakukan kesalahan ini sering terjadi bilamana bertindak berdasarkan
kepercayaan tanpa memeriksa informasi dengan akal sehat atau
pengalaman.

Akhirnya penggunaan paling umum dari kriteria autoritarian untuk menyelesaikan


problem pertentangan dengan melihat usia suatu keyakinan. Pandangan ini menyatakan
bila suatu keyakinan telah bertahan dalam jangka waktu yang lama, pasti keyakinan itu
sudah benar. Tentu ada manfaat terhadap pendekatan ini. Jika keyakinan telah berjalan
untuk waktu yang lama, mungkin karena didalamnya tidak ditemukan kekeliruan,
keyakinan itu terbukti bermanfaat. Meskipun demikian sejarah panjang dari suatu
keyakinan bukan jaminanan bahwa tidak mungkin ditemukan kekeliruan padanya pada
masa mendatang.
Lebih jauh, setidaknya ada pendekatan yang canggih dan cerdik disini terhadap
pragmatisme. Orang yang menggunakan pendekatan autoritarian ini telah berhenti
menjadikan keyakinan atau kesaksian sebagai kriteria tunggal untuk pembenaran, dan
sebetulnya sedang menilai kebenaran berdasarkan kegunaan.

Anda mungkin juga menyukai