Metodologi ini dapat menunjukkan dua hal sama benar : 1). Orang merasakan dengan
intuisinya bahwa pernyataan tentang adanya hubungan langsung dengan apa yang
diketahui pada dasarnya benar . 2). Betul, kebutuhan akan pembenaran pernyataan-
pernyataan pengetahuan harus berhenti pada satu tempat. Jika tidak, pembenaran tak
ayal hanya dilanda kemunduran yang tak terhingga. Namun permasalahannya adalah :
apakah pengalaman bisa membuktikan sendiri kebenarannya (keotentikannya) atau
apakah harus ada acuan pada sesuatu yang dari luar.
Alasan kuat dalam menentang subyektivisme saja cukup untuk menjelaskan asal-usul
dan pembenaran keyakinan
Subyektivisme kecuali realisme naif menggiring seseorang menuju dunia yang murni
dunianya. Dunia yang merupakan ciptaan kesadaran seseorang (bak dalam
fenomenologi) atau menolak kriteria Rasional (seperti dalam mistisisme).
Banyak filsuf menyatakan bahwa keliru untuk berpikir pengetahuan pribadi tidak dapat
diungkapkan. Berbagai kegiatan, bahkan yang melibatkan konfrontasi diatara dua
pokok, dapat di sederhanakan menjadi bentuk proposisi. Mungkin benar pengalaman
yang tersisa dapat hilang dari proposisi tersebut. Tetapi bukan karena pengalaman
tersebut tidak dapat diungkapkan namun karena Terlupakan.
AUTORITARIANISME
Logika autoritarianisme.
Sumber2 umum dari keyakinan adalah kesaksian dari orang lain. Kita menerima
keyakinan sebagai yang benar (kebenaran) ketika kita merasa bahwa sumbernya baik.
1. Sebagai individu kita memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Kita yang hidup di
abad 20 tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan abad-abad sebelumnya,
kita juga tidak terikat dengan peristiwa-peristiwa ditempat lain saat ini, untuk
mengetahui semua itu kita harus bergantung pada kesaksian orang lain.
2. Kita memiliki kecenderungan prima facie untuk menerima kesaksian orang lain.
Kesadaran kita menarik kesimpulan dan mengalami segala sesuatu yang dapat
diketahui membuat kita mempercayai apa yang disampaikan, kecuali ada alasan
yang jelas untuk mencurigai kejujuran atau kompetensi sumber kita.
Membayangkan apa yang terjadi hidup ini bila kita menolak untuk menerima apapun
yang disampaikan kepada kita. Kita dapat menyimpulkan bahwa bila tidak ada alasan
tertentu untuk mempertanyakan otoritas, pada umumnya lebih masuk akal untuk
percaya ketibang ragu-ragu.
Autoritarianisme sememangnya perlu dan berguna tetapi tidak dapat menjadi satu-
satunya kriteria untuk membenarkan pengetahuan. Dua alasan kuat untuk ini;
Mengapa kita harus percaya kepada otoritas? Seringkali untuk mendukung otoritas
pertama mengacu kepada otoritas kedua akan tetapi, bisa saja terjadi keraguan
terhadap otoritas kedua dan otoritas2 yang berikutnya yang mungkin dapat dijadikan
acuan. Karena itu mengacu pada yang selain otoritas bisa terjadi. Namun sampai
disini kriteria keabsahan dan sumber keyakinan tidak dapat dilihat lagi sebagai
mengacu kepada otoritas. Kita dapat mengatakan bahwa satu otoritas mengetahui
sepotong pengetahuan karena ia melihatnya, atau karena mencobanya dan berhasil.
atau karena kabar itu sendiri merupakan sebuah Postulat nalar oleh semua mahluk
yang bernalar. Sayangnya pengabsahan ini lebih kepada pragmatis–empiris
dibanding autoritarian
2. Konflik Otoritas
Dua tindakan autoritarian yang cenderung diambil bila mana terdapat konflik antar
otoritas:
a). Martabat dari otoritas pertama sebagai mempengaruhi keyakinan kita bila
otoritas kita dikenal luas jujur dan pandai, maka kita akan lebih
mempercayainya.
Contoh : orang bisa berpendapat 50 juta ilmuan tidak mungkin salah tentang
suatu penyakit. Akan tetapi pendekatan ini walaupun meyakinkan belum
dapat dipercaya. 50 juta orang berpendidikan saja dapat – dan selama ini –
melakukan kesalahan ini sering terjadi bilamana bertindak berdasarkan
kepercayaan tanpa memeriksa informasi dengan akal sehat atau
pengalaman.