Anda di halaman 1dari 5

Minangkabau

Baso Minangkabau
Dituturkan
Sumatera (Indonesia), Negeri Sembilan (Malaysia)
di
Daerah Sumatera Barat, bagian barat Riau, bagian utara Jambi
Jumlah
± 7 juta
penutur
Austronesia
 Malayu-Polinesia
o Malayu-Polinesia Inti
 Sunda-Sulawesi
Rumpun
 Malayik
bahasa  Malaya
 Para-Melayu

 Minangkabau
Kode-kode bahasa
ISO 639-1 Tidak ada
ISO 639-2 min
ISO 639-3 min

Bahasa Minangkabau atau Baso Minang adalah salah satu anak cabang bahasa
Austronesia yang dituturkan khususnya di wilayah Sumatra Barat, bagian barat propinsi
Riau serta tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Terdapat pertentangan mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu.


Sebagian pakar bahasa menganggap bahasa ini sebagai dialek Melayu, karena banyaknya
kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru
beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu.
 

Kebanyakkan orang apabila diberitahu bahawa masyarakat Minang merupakan penganut


Islam yang kuat merasa bingung kerana anggapan mereka ialah sebuah masyarakat yang
mengikut sistem saka (matriarchal) akan sering berselisih dengan fahaman Islam yang
lebih patriarchal. Namun sebenarnya, terdapat banyak persamaan di antara fahaman
Islam dan Minangkabau (lebih lagi pada masa kini) sehingga menjadi sukar untuk orang
Minang membezakan satu daripada lain.

Seperti contoh:

 Fahaman Islam: Menimba ilmu adalah wajib.


 Fahaman Minangkabau: Anak-anak lelaki mesti meninggalkan rumah mereka
untuk tinggal dan belajar dengan di surau (langgar, masjid).

 Fahaman Islam: Mengembara adalah digalakkan untuk mempelajari dari


tamadun-tamadun yang kekal dan binasa untuk meningkatkan iman kepada Allah.
 Fahaman Minangkabau: Remaja mesti merantau (meninggalkan kampung
halaman) untuk menimba ilmu dan bertemu dengan orang dari berbagai tempat
untuk mencapai kebijaksanaan, dan untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Falsafah merantau juga bererti melatih orang Minang untuk hidup berdikari,
kerana ketika seorang pemuda Minang berniat merantau meninggalkan
kampungnya, dia hanya membawa bekal seadanya.

 Fahaman Islam: Tiada wanita yang boleh dipaksa untuk berkahwin dengan lelaki
yang dia tidak mahu berkahwin.
 Fahaman Minangkabau: Wanita menentukan dengan siapa yang mereka ingin
berkahwin.

 Fahaman Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih dari bapa.


 Fahaman Minangkabau: Bundo Kanduang adalah pemimpin/pengambil
keputusan di Rumah Gadang.

Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minang sehingga mereka yang tidak
mengamalkan Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minang.
Orang Minangkabau merupakan penduduk asal kawasan yang kini dikenali sebagai
Sumatra Barat di Indonesia.Kebudayaan mereka adalah bersifat keibuan (matrilineal),
dengan harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak perempuan, sementara urusan
ugama dan politik merupakan urusan kaum lelaki (walaupun sesetengah wanita turut
memainkan peranan penting dalam bidang ini). Kini sekitar separuh orang Minangkabau
tinggal di rantau, majoriti di bandar dan pekan besar Indonesia dan Malaysia. Orang
Melayu di Malaysia banyak yang berasal dari Minangkabau, mereka utamanya mendiami
Negeri Sembilan dan Johor.

Dahulunya, Malaysia (Tanah Melayu, Sabah dan Sarawak), Brunei, Sumatera, Jawa dan
beberapa pulau di Indonesia serta Selatan Filipina dikenali sebagai kepulauan Melayu
atau dipanggil nusantara. Penduduk di kepulauan Melayu ini adalah dari rumpun yang
sama.

Maka tiada masalah bagi penduduk dari Tanah Melayu untuk pergi ke Pulau Sumatera
atau sebaliknya.Walaupun suku Minangkabau kuat dalam pegangan agama Islam, mereka
juga kuat dalam mengamalkan amalan turun-temurun yang digelar adat. Beberapa unsur
adat Minangkabau berasal dari fahaman animisme dan agama Hindu yang telah lama
bertapak sebelum kedatangan Islam.
Nikah sesuku bagi orang Minang masih menjadi sebuah yang tabu dan sangat sakral
untuk dilanggar. Mereka yang mencoba kawin sesuku siap-siap saja terjamajinalkan dari
lingkungan keluarga dan masyarakat Minang dimana ia berdomisili. Menjadi bahan
kasak-kusuk orang satu kampung, cemoohan dan pengucilan. Orang yang satu suku tidak
boleh kawin, kendatipun mereka beda kabupaten/kota, kecamatan, desa, jorong, selagi
mereka dalam adat Minang satu suku (pisang, chaniago, koto, sikumbang, piliang dll.)
maka akan susah bagi mereka melangsung sebuah pernikahan.Baru-baru seorang teman
juga sempat cerita, kalau iya dulu memiliki telah seorang calon, menurut penuturannya ia
sudah cukup lama berkenalan. Namun, Laki-laki yang menurutnya pantas menjadi
pasangannya itu tiba-tiba kabur tanpa kabar berita ke Malaysia. Setelah melakukan
penelusuran yang cukup jauh, akhirnya teman saya diberi tahu kalau mereka ternyata satu
suku. Sudah jelas, masing-masing sangat memahami bagaimana resiko kalau kawin
sesuku. Jadi, mereka tidak pernah memikirkan lagi untuk menikah.  (cerita teman saya
itulah yang mengispirasi saya menulis topik ini)Perpisahan dan pembatalan seakan telah
menjadi sebuah yang hal yang lazim, jika mereka yang hendak menikah diketahui satu
suku. Sudah berkenalan cukup lama, sudah ada planning jangka panjang pun barangkali
tidak menjadi bahan pertimbangan bagi mereka mendapat legalitas perkawinan.

Banyak mitos-mitos kawin sesuku yang beredar di Minangkabau, sudah menjadi


keyakinan turun temurun. Diantaranya:

1. Mereka yang kawin sesuku diyakini telah menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya.
2. Mereka yang kawin sesuku akan mendapatkan kutukan dalam biduk rumah tangga
3. Mereka mencoba kawin sesuku diprediksikan tidak akan dikarunia keturunan.
4. Ada pun keturunan yang teralhir akan mengalami kecacatan fisik dan keterbelakangan
mental (akibat genetika)
5. Kalau mereka mendapatkan keturunan maka keturunan diperkirakan akan buruk laku
6.Rumah tangganya akan selalu dirundung pertekengkaran, perseteruan.
7.Mereka yang kawin sesuku diyakin sebagai pelopor kerusakan hubungan dalam
koumnya. .
8. Menimbulkan kesenjangan dalam tatanan sosial.

Anda mungkin juga menyukai