FPI Lagi
FPI Lagi
TPGImages
TERKAIT:
Ryan seorang yang dituduh sebagai ‘Jagal manusia ‘ dari Jombang, kalau selintas kita simak, juga melakukan
berbagai hal karena masalah yang sepele. Dia sampai tega dan berani membunuh demi memenuhi kebutuhan
hidupnya meski diselipi rasa cemburu berlebihan.
Kasus lainnya, berbagai tawuran antar pelajar atau mahasiswa yang sering kita lihat di TV yang bila disimak
penyebabnya sangat sepele hingga seharusnya tidak pantas kalau sampai dibela dan mengorbankan nyawa
sampai mati. Cerita lain menyebut, seorang remaja laki-laki yang cenderung melakukan tindak kekerasan
seperti berkelahi karena takut dikatakan banci oleh teman-temannya. Ironisnya, hal ini banyak dilakukan
meskipun secara normatif perilaku semacam itu tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang disebut pelajar
atau mahasiswa.
Banyak teori agresi yang mengatakan sebab utama yang menyebabkan munculnya perilaku agresi adalah
frustrasi (Hanurawan,2005). Dijelaskan di sini, perilaku agresif muncul karena terhalangnya seseorang dalam
mencapai tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.
Watson, Kulik dan Brown ( dalam Soedardjo dan Helmi,1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustrasi yang
muncul disebabkan adanya faktor dari luar yang begitu kuat menekan sehingga muncul perilaku agresi.
Bandura (dalam Baron dan Byrne. 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses
belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial.
Dari beberapa pandangan teoritik tersebut, dapat dikatakan misalnya bahwa perilaku agresif yang dituduhkan
pada Ryan dapat disebabkan oleh frustasinya yang mendalam sebagai akibat kegagalannya dalam dunia
kerja. Frustasinya menjadi semakin menekan karena dia sudah masuk dalam perangkap kehidupan teman-
temanya yang serba ada dan berkecukupan. Suasana kompetitif dalam masyarakat pun sangat kuat sehingga
bagi mereka yang tidak siap akan mengalami stres berat yang lama kelamaan akan menjadi frustasi.
Di samping itu, faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran media, entah cetak maupun elektronika
yang juga sering menyajikan berita mengenai perilaku agresif ini. Belum lagi acara telivisi yang menyuguhkan
adegan kekerasan seperti Smack Down, UFC atau sejenisnya. Tayangan ini akan menimbulkan rangsangan
dan memungkinkan inidvidu yang melihatnya, terlebih mereka yang berusia muda, meniru model kekerasan
seperti itu.
Situasi yang setiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam sedikit demi sedikit akan memberikan
penguatan bahwa hal itu merupakan hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan ( Davidof,1991).
Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadilah proses belajar dari model yang melakukan
kekerasan sehingga akan memunculkan perilaku agresi. Bila perilaku seseorang membuat orang lain marah
dan kemarahan itu mempunyai intensitas yang tinggi, maka hal itu merupakan bibit munculnya tidak hanya
perilaku agresi pada dirinya namun juga perilaku agresi orang lain.
Ada penularan perilaku ( Fisher dalam Sarlito,1992 ) yang disebabkan seringnya seseorang melihat tayangan
perilaku agresi melalui televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi, seperti
pembunuhan, tawuran masal, dan penganiayaan.
Oleh karenanya, secara internal kita semestinya menjaga diri kita sendiri agar tidak melakukan periku agresif
yang membahayakan. Yang pertama adalah melatih ketrampilan emosi sehingga mampu menerima tanpa
frustasi terhalangnya beberapa tujuan yang kita inginkan dalam hidup kita. Selain itu, karena melihat perilaku
agresi bisa membuat kita juga agresif, kita perlu menyeleksi apa yang akan kita tonton dan yang akan kita
rekam dalam memori kita.
Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=%22agresi%22&meta=&aq=f&aqi=g10&aql=&oq=&gs_rfai=
Opini
Ketika membaca artikel Opini hari Jumat, 20 Juni 2008, saya sangat terkejut ketika
membaca judul Bubarkan FPI Dan Ahmadiyah. Betapa tidak, kata 'bubarkan' yang
ditujukan bagi dua organisasi yang berbeda itu membuat opini pembaca bahwa FPI
dan Ahmadiyah... (Tanggapan Atas Tulisan: Bubarkan FPI Dan Ahmadiyah)
Ketika membaca artikel Opini hari Jumat, 20 Juni 2008, saya sangat terkejut ketika
membaca judul Bubarkan FPI Dan Ahmadiyah. Betapa tidak, kata 'bubarkan' yang
ditujukan bagi dua organisasi yang berbeda itu membuat opini pembaca bahwa FPI
dan Ahmadiyah sama saja. Akan tetapi setelah saya melihat latar belakang sang
penulis, saya bisa dapat memahami bagaimana cara orang yang telah didoktrin
dalam sebuah pergerakan yang mengedepankan pembelaan atas nama demokrasi.
Atau bisa jadi pemikiran liberalisme dan pluralisme yang diusung Gus Dur
mempengaruhi cara berpikir sang penulis.
Setelah membaca artikel itu dua kali, saya merasa berkewajiban memberikan
tanggapan dalam tulisan ini, karena tulisan seperti yang dimuat itu apabila tidak
dilakukan dengan 'adil' akan membahayakan iman orang Islam.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya sebelum masuk pada 10 alasan FPI
jangan dibubarkan.
Ketiga. Pandangan penulis menunjukkan bahwa Ahmadiyah belum tentu sesat. Hal
ini dapat dipahami dari redaksi tulisannya: Redaksi SKB ini sangat buruk,
ambivalen, dan bisa ditafsirkan macam-macam, sehingga membuka kemungkinan
untuk ditarik secara semena-mena untuk memberangus kelompok yang dianggap
'sesat' menurut penafsiran agama Islam 'pada umumnya'. Tanda kutip pada kata
sesat tidak jelas memang, tapi paragraf ini hendak menghubungkan SKB dengan
Ahmadiyah yang belum tentu sesat.
Penulis (Anwar Syadat Hasibuan) berpendapat bahwa SKB ini buruk tidaklah tepat,
karena SKB itu melarang Ahmadiyah mensyiarkan penafsiran yang bertentangan
dengan pokok-pokok ajaran Islam. Umat Islam yang tergabung dalam Forum Umat
Islam berpendapat SKB itu tidak menyentuh aspirasi umat Islam untuk
membubarkan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah sudah menodai ajaran Islam dengan
melakukan penafsiran yang menyimpang dari pokok ajaran Nabi Muhammad SAW.
Pelarangan Ahmadiyah bukanlah penafsiran individu, tapi fatwa dan ijma' ulama
dan lembaga Islam, antara lain: (a) Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah
mengeluarkan maklumat bahwa Ahmadiyah menyimpang dari Islam. (b) Pemerintah
Arab Saudi sudah lama melarang Jemaat Ahmadiyah menunaikan ibadah haji ke
Makkah (c) MUI sudah sejak dulu mengeluarkan fatwa Ahmadiyah sesat (d) Majelis
Tarjih Muhammadiyah mengatakan Ahmadiyah sesat (e) Ulama-ulama di Sumatera
Utara tahun 50-an sudah memfatwakan ajarah Ahmadiyah Qodian sesat (f) Bahkan
di tempat kelahiran ajaran Ahmadiyah, Pakistan, sudah dinyatakan bahwa
Ahmadiyah sebagai kelompok di luar Islam.
Perlu saudara Umar Syadat Hasibuan ketahui bahwa FPI bereaksi karena disebut
dalam orasi AKKBB dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan. Juga perlu
anda ketahui AKKBB sudah dilarang oleh polisi untuk tidak berunjuk rasa di Monas
pada hari Minggu; perlu anda ketahui AKKBB tidak terdaftar di Departemen Dalam
Negeri (illegal); Perlu anda ketahui dalam AKKBB bergabung kelompok Jemaah
Ahmadiyah; Perlu anda ketahui anggota AKKBB membawa senjata api dan
menghunusnya ke atas yang merupakan pelanggaran berat. Tapi sampai sekarang
orang yang membawa senjata itu tidak tersentuh oleh pihak kepolisian. Perlu anda
ketahui sebelum tulisan anda dan kasus Monas sudah ada beberapa lembaga dan
LSM yang menuntut FPI dibubarkan, antara lain: Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI), Pemuda Katolik Perwakilan Gereja Indonesia (PGI) wilayah DKI Jakarta, Yong
Men Cristian Association (YMCA), Garda Bangsa dan Pencak Silat versi Gus Dur,
Banteng Muda Indonesia (BMI), AKKBB dan Jaringan Islam Liberal (JIL)
Ketiga. FPI memasukkan lima prinsip perjuangan yang pernah diletakkan oleh
Mujahid Dakwah Hasan Al-Bannah, yaitu; Allah tujuan kami; Muhammad Rasulullah
adalah teladan kami; Al-Qur'anul karim imam kami; Jihad adalah jalan kami; Asy-
Syahida adalah cita-cita kami. Semboyan perjuangan adalah hidup mulia atau mati
syahid. FPI memiliki motto: Yang haq (kebenaran) tanpa sistem dikalahkan
kebatilan dengan sistem.
Keenam. Pembubaran FPI tindakan yang tidak produktif karena akan menyuburkan
organisasi tanpa bentuk (OTB) bahkan gerakan-gerakan bawa tanah yang tidak
terkontrol oleh pemerintah.
Ketujuh. Pembubaran ormas tidak boleh diskriminatif, maka apabila suatu ormas
dibubarkan karena massa/anggotanya dinilai anarkis, maka semua ormas dan
orsospol serta LSM apa pun yang massa/anggotanya melakukan tindakan arkis
harus juga dibubarkan.
Kedelapan. Pembubaran FPI bukan solusi untuk keluar dari tindak kekerasan
masyarakat, karena selama hukum tidak ditegakkan secara adil maka selama itu
pula kekerasan masyarakat akan menjadi bahasa komunikasi yang tersumbat, atau
bentuk protes sosial masyarakat, atau letupan psikologis dan jiwa yang sudah muak
dengan ketidakadilan.
(ags)
http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=23689
Lagi-lagi FPI
Minggu, 07-09-2008 16:00:22 oleh: Kukuh Setyono
Kanal: Opini
Ini sekali lagi tentang kegiatan organisasi masyarakat (Ormas) yang
menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI) di lingkungan sosial yang
heterogen di Indonesia. Sudah dilarang dan akan ditindak tegas oleh aparat
keamanan sesuai hukum yang berlaku jika mereka masih melakukan upaya
penegakan hukum sendiri, eh masih nekad saja!
Ibarat papatah banyak jalan menuju Roma, kali ini yang dilakukan oleh FPI
bisa dikatakan banyak kegiatan untuk membesarkan nama dan ditakuti
orang. Masih ingat menjelang bulan puasa, pemerintah sudah
mengumumkan akan menindak tegas segala upaya penegakan hukum atas
penutupan tempat maksiat selama bulan ramadan karena itu adalah hak
dari aparat. FPI bisa dikatakan tidak punya taji lagi atau tidak tahu harus
berbuat apa yang sering kali dinamakan atas nama agama.
Nah kemarin, Sabtu (6/9) FPI wilayah Jateng-DIY mempunyai cara lain
untuk bisa tetap eksis disebut pembela agama Allah. Tidak bisa melakukan
penutupan, apalagi melakukan pengerusakan tempat-tempat maksiat di
seluruh wilayah Yogyakarta. Mereka melakukan bentuk intimidasi dengan
cara lain.
Beberapa anggota FPI sabtu sore tersebut berkeliling sepanjang kota
Yogyakarta dan mendatangi beberapa rumah makan yang tetap buka. Tanpa
banyak basa-basi mereka langsung memberikan selebaran yang berisikan
himbau agar rumah makan tersebut besoknya harus tutup sehari penuh dan
diperbolehkan lagi buka pada sore hari.
"Tujuannya adalah untuk mengajak mereka menghormati saudara-saudara
muslim yang sedang melakukan ibadah puasa. Jika memang himbaun ini
tidak diindahkan hingga tiga kali, maka kami akan melakukan langkah tegas
dengan menutup paksa rumah makan tersebut. Rencana ini sedang kita
kordinasikan dengan kepolisian dan pemerintah," kata Korlap FPI yang
meminta namanya di sebut dengan Gus Tommy.
"Wah, apa namanya ini, dan siapa sih mereka?" begitu pikir saya. Sebab,
kita ini hidup di sebuah negara heterogen dengan orang-orang yang
berkeyakinan berbeda dan tentunya ini adalah negara hukum. Memang
kenapa kalau warung tersebut buka dan ada orang yang makan disana,
sebab tidak hanya kaum non muslim saja yang tidak berpuasa dan
membutuhkan mereka. Bisa saja kaum muslim yang tidak berpuasa
membutuhkan mereka untuk mengisi perut kala lapar.
Bukan hanya itu, saya berpikir mereka ini apa pemimpin yang bisa
menghidupi orang lain dengan menghentikan salah satu upaya untuk
mendapatkan uang demi hidup. Bayangkan, jika warung-warung tersebut
tutup, mereka mendapatkan uang dari mana?.
Bisa saja, buka pada pukul 15.00 WIB, tapi bayangkan berapa jam mereka
buka dan siapa saja yang pembelinya?. Sebab dengan rentang waktu yang
hanya tiga jam tersebut pembelinya mungkin hanya orang-orang yang
berkeinginan berbuka atau makan sore, selebihnya mereka akan kembali ke
rumah karena sudah kenyang.
Terus terang secara pribadi saya sangat mengencam tindakan intimidasi
yang dilakukan oleh ormas yang menamakan FPI tersebut. Dan saya dengan
tegas mendukung langkah aparat kepolisian yang akan menindak tegas dan
menghukum sesuai aturan bagi mereka yang tidak mau menuruti hukum.
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10398
Opini
Akhirnya karena desakan yang kuat dari masyarakat (Islam) terhadap Ahmadiyah,
Pemerintah (9/62008) mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). SKB dengan Nomor 3 Tahun 2008;KEP-
003/A/JA/6/2008;199 Tahun 2008 ditandatangani pejabat terkait terdiri dari
Menteri Agama... PROF. Dr. M. ARIF NASUTION, MA
Akhirnya karena desakan yang kuat dari masyarakat (Islam) terhadap Ahmadiyah,
Pemerintah (9/62008) mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). SKB dengan Nomor 3 Tahun 2008;KEP-
003/A/JA/6/2008;199 Tahun 2008 ditandatangani pejabat terkait terdiri dari
Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Menteri
Dalam Negeri Mardiyanto. Salah satu poin dari SKB itu adalah memberi peringatan
dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/ anggota pengurus JAI
sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran
dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.
Radikalisme Agama
Istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan persoalan kekerasan atas nama
agama dan kenapa kekerasan itu muncul adalah radikalisme agama. Dalam sejarah
politik Indonesia, radikalisme bukanlah persoalan baru. Secara Ilmiah istilah
radikalisme ini telah digunakan Sejarawan Sartono Kartodirjo melalui karyanya yang
fenomenal, Protest Movement in Rural Java (1973) dan Ratu Adil (1992). Sartono
Kartodirjo memakai istilah radikalisme untuk menjelaskan gerakan protes (petani)
yang menggunakan simbol agama (Islam) dalam menolak seluruh aturan dan
tatanan yang ada. Kata radikal digunakan sebagai indikator sikap untuk menolak
total terhadap seluruh kondisi yang berlangsung.
Sebagaimana temuan Horace M. Kallen yang kemudian dikutif oleh Bahtiar Effendy
(1998:XVII) setidaknya radikalisme dicirikan oleh tiga kecenderungan umum.
Kedua radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya
mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan
bahwa bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan
dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut
sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata
radic, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara
mendasar.
Ciri yang terakhir, ketiga, adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan
kebenaran program dan atau ideologi yang mereka bawa. Ciri-ciri radikalisme diatas
dapat dijadikan titik tolak dalam memahami fenomena agama yang memiliki
kedekatan karakteristik.
Di sisi lain pemerintah selalu lambat merespon gejolak konflik yang terjadi dari
keberadaan Jemaat Ahmadiyah di masyarakat. Sebenarnya, persoalan Jemaat
Ahmadiyah bisa diselesaikan dengan mudah dan bijaksana oleh umat Islam dan
pemerintah, jika tidak ada kepentingan politik pemerintah di balik kasus ini. Ada
kesan pemerintah memanfaatkan situasi itu untuk mengalihkan perhatian
masyarakat terhadap kenaikan harga BBM. Malah ketika konflik itu memuncak
sebagaimana dalam kasus Monas, pemerintah dengan tidak bijaksana mengikuti
tuntutan opini publik untuk menangkap pimpinan dan anggota FPI. Padahal oleh
sebagian masyarakat FPI dikenal sebagai pejuang moral karena keberanian mereka
untuk memberangus kemaksiatan. Suatu penyakit sosial yang semua agama apa
pun pasti menyuruh untuk memerangi kemaksiatan tersebut.
Keadaan ini dapat berlangsung karena kedua belah pihak mendapat keuntungan.
Pemilik modal mendapat keuntungan atas usahanya ini pemerintah juga
mendapatkan retribusinya. Namun di sisi lain prostitusi maju pesat. Perdagangan
wanita meningkat jumlahnya. Bahkan Indonesia karena keadaan ini dikenal sebagai
salah satu negara penghasil ekstasi terbesar di dunia serta lahan distribusi narkoba
yang dapat mendatangkan keuntungan ratusan miliar rupiah.
Di sisi lain, moralitas masyarakat dan pejabat pemerintah sangat rendah. Berapa
banyak para remaja yang kini mengikuti pemulihan dari ketergantungan narkoba?
Berapa banyak pejabat yang masuk bui karena mengonsumsi dan menjadi
pengedar narkoba? Saya kira sedikit realitas ini harus dijadikan pemahaman dalam
memahami kekerasaan atas nama agama. Karena hanya agamalah, dan bukan
negara yang lebih bisa menggerakkan manusia menuju kebaikan. Walaupun
teknologi dan informasi telah menjadi bagian dari kampanye negara untuk
memantapkan keberadannya di mata masyarakat masih ada dan selalu ada
kelompok masyarakat atas landasan agama menggerakkan manusia untuk
kebaikan.
Penutup
Radikalisme atas nama agama akan terus muncul jika negara lambat dalam
merespon persoalan sosial ekonomi dan politik yang melibatkan agama. Maka oleh
karena itu, negara perlu sadar dan berupaya untuk memperbaiki dirinya di dalam
mengelola masyarakatnya. Jika kemudian negara hanya memperhitungkan
persoalan sosial ekonomi dan politik yang melibatkan agama atas dasar untung dan
rugi maka sebenarnyalah negara yang menjadi akar dan memupuk dari radikalisme
itu. Jadi siapa sebenarnya pejuang moral itu?
(ags)
http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=23690
Ken Conboy, penulis "Medan Tempur Kedua" (Kisah Panjang yang Berujung pada
Peristiwa Bom Bali II), mencatat bahwa pada 1936, Kartosuwiryo mempromosikan
ide tentang Indonesia sebagai suatu negara Islam independen.
Buku yang diterbitkan 2008 oleh Pustaka Primatama Jakarta, yang diterjemahkan
dari "The Second Front: Inside Asia`s Most Dangerous Terroris Network" edisi 2006,
itu menelusuri pemikiran dan aksi kelompok Islam garis keras di Indonesia.
Bertolak belakang dengan latar belakang para pendukung ideologi Islam garis keras
di Indonesia yang lahir belakangan, Kartosuwiryo bukanlah figur lulusan sekolah
keagamaan atau madrasah yang kurikulumnya sarat ilmu agama.
Tokoh yang mengakhiri hidupnya di depan regu tembak militer itu lulusan sekolah
Belanda dan memperoleh nilai tinggi dalam ilmu-ilmu sekuler.
Berjuang di hutan-hutan dan pedesaan Jawa Barat, kelompok partisan Darul Islam
sempat merepotkan pemerintahan RI.
"Pada akhir 1953, gerakan ini sanggup mengerahkan 6.700 orang anggota partisan
dengan lebih dari 2.500 senjata di Jawa Barat," tulis Conboy.
Menurut Conboy, Muzzakar bergabung dengan Darul Islam dan melakukan gerilya
di Sulawesi Selatan karena ia tidak mendapat tempat setelah perang kemerdekaan.
Dengan kata lain, motivasi Muzzakar untuk mendirikan negara Islam di Indonesia
bukan religius murni.
Begitu juga gerakan separatis Islam di Aceh, yang oleh Conboy dinilai sebagai aksi
yang dipicu oleh alasan pribadi.
Islam politis
Sikap anti-PKI yang diperlihatkan Orde Baru yang militeristik searah dengan sikap
kaum pemberontak religius.
Ada kebersamaan antara militer dan organisasi Muslim dalam memerangi komunis.
Situasi politik menjelang Pemilu 1977 mencemaskan Soeharto. Penguasa Orde Baru
ini khawatir kalau-kalau suara kaum Islam menumpuk di PPP.
Itu sebabnya dia menugasi Ali Moertopo mempengaruhi pendukung Darul Islam.
Dalam interaksi dua kubu inilah, wadah baru yang disebut Komando Jihad
terbentuk.
Sebagian di antara anggota Komando Jihad yang ditahan ini, setelah dilepaskan,
ternyata menjadi pendukung setia Orde Baru dan penganjur sejati doktrin
Pancasila.
Dua figur Muslim garis keras yang mulai menangguk kepopuleran di tengah situasi
militeristik Orde Baru adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir. Mereka
memberikan ceramah dengan menelanjangi pemerintahan Soeharto yang jauh dari
ideal hukum Islam.
Imam Samudra, Amrozi, dan Muchklas yang terlibat dalam pemboman di Bali kini
meringkuk di penjara dan menunggu eksekusi di depan regu tembak.
Sekali lagi, rakyat Indonesia menyaksikan bagaimana ide menerapkan hukum Islam
secara murni di Nusantara berantakan sebelum terealisir.