Anda di halaman 1dari 15

Kamis, 5 Juni 2008

Mengejar Surga di FPI


.
(sumber : Harian Republika)
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=336468&kat_id=&kat_id1=&kat_id2==
''Untuk dapat kartu anggota FPI itu susah sekali,'' kata Wahyu, salah seorang simpatisan Front Pembela Islam (FPI).
Menurutnya untuk menjadi anggota FPI dan mendapatkan kartu anggota prosesnya panjang dan sulit.
Selama dua bulan terakhir ini, Wahyu bergabung dalam FPI hanya sebagai simpatisan. ''Saya merasa terpanggil
untuk ikut FPI,'' ujarnya. Wahyu yang saat ditemui Republika masih menganggur mengatakan tidak mengharapkan
apa-apa untuk bergabung dalam FPI.
Wahyu hanya merasa tertarik setelah sering mengikuti pengajian yang diadakan oleh Habib Rizieq Shihab, pimpinan
FPI, di Masjid Al Islhah. Masjid tersebut terletak tidak jauh dari rumah pimpinan FPI itu di jalan Petamburan III,
Tanah Abang, Jakarta Pusat. ''Saya ingin mencari surga,'' tambahnya.
Pengajian yang diadakan setiap malam Kamis itu membahas banyak hal, mulai dari Fiqh, Tauhid, atau Aqidah.
Dalam pengajian itu pertanyaan-pertanyaan sekecil apapun akan dijawab.
Jamal, salah seroang warga yang sudah dua tahun ikut dalam pengajian itu juga merasa semua unek-unek yang dia
punya bisa terjawab. ''Habib itu kalau menjelaskan bisa rinci sekali, satu kata saja bisa dijelaskan dengan sangat
detail,'' katanya. Pada setiap malam Kamis itu, hampir semua warga di seputaran Jalan Petamburan III, berbondong-
bondong datang ke Masjid Al Islhah untuk mengikuti pengajian.
''Tidak benar jika Habib mengajarkan kekerasan dalam pengajian itu, justru Habib menjawab masalah kami, dari hal
seperti cara wudhu hingga memandikan jenazah,'' katanya.
Dari pengajian inilah, banyak orang terpanggil untuk menjadi anggota FPI. Meski begitu, seperti diakui seorang
pemuda lainnya, Suhada, memang tidak mudah untuk masuk menjadi anggota FPI, Suhada. Menurutnya untuk
menjadi anggota FPI harus melalui beberapa tahapan.
Bahkan, kata dia, para anggota baru itu harus melalui sebuah diklat. Selain harus tahu tentang ilmu agama, orang
yang ingin bergabung dengan FPI juga harus mempunyai akhlaq atau perilaku yang baik.
''FPI sekarang tidak sama dengan yang dulu,'' kata Suhada. Dahulu, pada saat awal-awal terbentuknya FPI semua
orang boleh menjadi anggota, tanpa ada penyaringan. Bahkan, katanya, orang-orang yang bisa dibilang preman juga
bisa masuk dalam FPI.
Tapi sejak tahun 2004, semua berubah. Para petinggi FPI menarik semua kartu anggota yang telah dimiliki anggota-
anggotanya. Menurutnya kejadian yang terjadi pada tahun itu memicu adanya perubahan. Pada saat itu, anggota FPI
yang sedang melakukan sweeping tempat-tempat maksiat pada bulan puasa, dihadang polisi. Mobil yang ditumpangi
anggota FPI malam itu ditembaki polisi.
''Sejak saat itu, untuk menjadi anggota harus diketahui bibit, bebet, dan bobotnya, orang tidak boleh sembarang yang
masuk FPI,'' kata Suhada. Menurutnya orang harus mengikuti pengajian dulu, lalu setelah itu akan ada semacam
ujian untuk mereka. Sebuah tim juga diturunkan oleh FPI untuk menyelidiki latar belakang calon anggota tersebut.
Jika anggota itu tidak layak maka tidak boleh menjadi anggota FPI. ''Ini bukti kami tidak akan menerima orang yang
akhlaknya jelek, atau yang menyukai kekerasan.''
Suhada mengatakan kekerasan yang terjadi saat adanya aksi dari FPI itu karena adanya pihak ketiga yang
memprovokasi. Selain itu dia mengatakan anggota FPI itu banyak sehingga terkadang tidak bisa diawasi satu persatu
saat aksi sedang berlangsung. Temperamen setiap anggota pun berbeda-beda. ''Tidak semua buah sama masaknya di
pohon,'' ujarnya beranalogi. Sementara itu, alasan untuk menjadi anggota FPI hampir semua seragam. Yaitu
berusaha mencari surga. Hal itu diungkapkan oleh beberapa orang anggota FPI dari Marunda yang ditemui
Republika di sekitar kediaman Habib Rizieq Shihab, pada Rabu (04/06) setelah aksi penangkapan anggota FPI oleh
Polisi.
''Orang lain ada yang mencari surga dengan menyantuni anak yatim, bersedekah, atau beramal soleh. Namun, kami
memilih mencari surga dengan bergabung dengan FPI,'' kata salah seorang pemimpin rombongan itu.
Namun, ada pula alasan lain bagi anak-anak muda untuk masuk dalam organisasi FPI. ''Saya masuk FPI karena
ngefans dengan Habib," ujar Yusuf, salah seorang laskar FPI. Pria yang masih berumur sekitar 20 tahun ini sudah
tertarik dengan kharisma Habib Rizieq Shihab, pimpinan FPI, sejak masih duduk di bangku sekolah, bahkan saat
FPI masih belum terbentuk.
''Dulu waktu masih sekolah saya sering ikut pengajian Habib di masjid di Tambora," kata Yusuf. Lalu saat FPI
terbentuk tahun 1998 dia memutuskan untuk bergabung dalam FPI. Saat itu usianya masih sekitar 17 tahun. Pada
waktu itu, untuk bergabung dalam FPI cukup hanya mengisi formulir dan menyerahkan foto. ''Tapi semua berubah
sejak tahun 2004, semua kartu anggota ditarik, dan kita harus melalui ujian lagi,'' tambahnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa dalam organisasi FPI ada yang disebut laskar atau sekelompok orang yang
melakukan kegiatan nyata FPI di lapangan. ''Laskar itu pasukannya FPI,'' katanya. Yusuf yang termasuk dalam
laskar tersebut mengatakan untuk menjadi laskar harus ada serangkaian tes lagi.
Orang-orang yang ingin menjadi laskar harus menjadi anggota FPI terlebih dahulu. Setelah itu atas rekomendasi dari
Dewan Pengurus Cabang di wilayahnya masing-masing, mereka mendaftar di markas FPI pusat di Jalan Petamburan
III, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Selama menjadi laskar, Yusuf yang masuk atas rekomendasi Dewan Pimpinan Cabang FPI Pasar Minggu,
mengatakan, banyak hal menarik yang telah dilaluinya. Dia sempat dikirim ke Aceh dan Yogya saat terjadi bencana
gempa. ''Hampir sebulan saya di Yogya,'' katanya. Selain itu bersama dengan Habib Rizieq Shihab, dia pernah pergi
ke Pulau Seribu, Lampung, Medan, dan Riau. ''Selama ini kami tidak digaji, bahkan untuk aksi (unjuk rasa) kami
patungan, tapi (walaupun secara ekonomi sangat memberatkan kami) selalu saja akhirnya kami bisa mengatasinya
sendiri,'' ujarnya.
http://www.fpi.or.id/artikel.asp?oy=suk-15

Perilaku Agresi Ternyata Menular


Rabu, 26 November 2008 | 22:56 WIB

TPGImages

TERKAIT:

• Kecil, Tindak Lanjut Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

• Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat

• Perwati: Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan!

• Perempuan Diajak Rapatkan Barisan Jelang Pemilu

• KDRT Bukan Sebatas Kekerasan Fisik


SETIAP HARI, media elektronika maupun cetak kerap memberitakan berbagai kisah tentang pembunuhan,
penganiayaan dan penyiksaan. Kondisi korban yang diberitakan pun bervariasi. Ada yang meninggal dengan
tubuh terpotong-potong, anggota tubuh yang hilang, dan cacat seumur hidup.
Hal ini menunjukkan bahwa perilaku agresif yang terjadi saat ini menunjukan adanya peningkatan kualitas, tak
hanya sekedar menyakiti atau melukai tetapi juga menghilangkan nyawa korbannya. Sebab-sebab kejadianya
pun kadang-kadang sangat sepele. Misal, gara-gara minta rokok tidak diberi seorang pemuda tega
menganiaya temannya sampai meninggal.

Ryan seorang yang dituduh sebagai ‘Jagal manusia ‘ dari Jombang, kalau selintas kita simak, juga melakukan
berbagai hal karena masalah yang sepele. Dia sampai tega dan berani membunuh demi memenuhi kebutuhan
hidupnya meski diselipi rasa cemburu berlebihan.

Kasus lainnya, berbagai tawuran antar pelajar atau mahasiswa yang sering kita lihat di TV yang bila disimak
penyebabnya sangat sepele hingga seharusnya tidak pantas kalau sampai dibela dan mengorbankan nyawa
sampai mati. Cerita lain menyebut, seorang remaja laki-laki yang cenderung melakukan tindak kekerasan
seperti berkelahi karena takut dikatakan banci oleh teman-temannya. Ironisnya, hal ini banyak dilakukan
meskipun secara normatif perilaku semacam itu tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang disebut pelajar
atau mahasiswa.

Banyak teori agresi yang mengatakan sebab utama yang menyebabkan munculnya perilaku agresi adalah
frustrasi (Hanurawan,2005). Dijelaskan di sini, perilaku agresif muncul karena terhalangnya seseorang dalam
mencapai tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.

Watson, Kulik dan Brown ( dalam Soedardjo dan Helmi,1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustrasi yang
muncul disebabkan adanya faktor dari luar yang begitu kuat menekan sehingga muncul perilaku agresi.
Bandura (dalam Baron dan Byrne. 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses
belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial.

Dari beberapa pandangan teoritik tersebut, dapat dikatakan misalnya bahwa perilaku agresif yang dituduhkan
pada Ryan dapat disebabkan oleh frustasinya yang mendalam sebagai akibat kegagalannya dalam dunia
kerja. Frustasinya menjadi semakin menekan karena dia sudah masuk dalam perangkap kehidupan teman-
temanya yang serba ada dan berkecukupan. Suasana kompetitif dalam masyarakat pun sangat kuat sehingga
bagi mereka yang tidak siap akan mengalami stres berat yang lama kelamaan akan menjadi frustasi.

Di samping itu, faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran media, entah cetak maupun elektronika
yang juga sering menyajikan berita mengenai perilaku agresif ini. Belum lagi acara telivisi yang menyuguhkan
adegan kekerasan seperti Smack Down, UFC atau sejenisnya. Tayangan ini akan menimbulkan rangsangan
dan memungkinkan inidvidu yang melihatnya, terlebih mereka yang berusia muda, meniru model kekerasan
seperti itu.

Situasi yang setiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam sedikit demi sedikit akan memberikan
penguatan bahwa hal itu merupakan hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan ( Davidof,1991).
Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadilah proses belajar dari model yang melakukan
kekerasan sehingga akan memunculkan perilaku agresi. Bila perilaku seseorang membuat orang lain marah
dan kemarahan itu mempunyai intensitas yang tinggi, maka hal itu merupakan bibit munculnya tidak hanya
perilaku agresi pada dirinya namun juga perilaku agresi orang lain.

Ada penularan perilaku ( Fisher dalam Sarlito,1992 ) yang disebabkan seringnya seseorang melihat tayangan
perilaku agresi melalui televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi, seperti
pembunuhan, tawuran masal, dan penganiayaan.

Oleh karenanya, secara internal kita semestinya menjaga diri kita sendiri agar tidak melakukan periku agresif
yang membahayakan. Yang pertama adalah melatih ketrampilan emosi sehingga mampu menerima tanpa
frustasi terhalangnya beberapa tujuan yang kita inginkan dalam hidup kita. Selain itu, karena melihat perilaku
agresi bisa membuat kita juga agresif, kita perlu menyeleksi apa yang akan kita tonton dan yang akan kita
rekam dalam memori kita.
Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=%22agresi%22&meta=&aq=f&aqi=g10&aql=&oq=&gs_rfai=

Thursday, 26 June 2008 14:04

10 Alasan FPI Jangan Dibubarkan

Opini

Ketika membaca artikel Opini hari Jumat, 20 Juni 2008, saya sangat terkejut ketika
membaca judul Bubarkan FPI Dan Ahmadiyah. Betapa tidak, kata 'bubarkan' yang
ditujukan bagi dua organisasi yang berbeda itu membuat opini pembaca bahwa FPI
dan Ahmadiyah... (Tanggapan Atas Tulisan: Bubarkan FPI Dan Ahmadiyah)

AHAMD TAUFIK NASUTION

Ketika membaca artikel Opini hari Jumat, 20 Juni 2008, saya sangat terkejut ketika
membaca judul Bubarkan FPI Dan Ahmadiyah. Betapa tidak, kata 'bubarkan' yang
ditujukan bagi dua organisasi yang berbeda itu membuat opini pembaca bahwa FPI
dan Ahmadiyah sama saja. Akan tetapi setelah saya melihat latar belakang sang
penulis, saya bisa dapat memahami bagaimana cara orang yang telah didoktrin
dalam sebuah pergerakan yang mengedepankan pembelaan atas nama demokrasi.
Atau bisa jadi pemikiran liberalisme dan pluralisme yang diusung Gus Dur
mempengaruhi cara berpikir sang penulis.

Setelah membaca artikel itu dua kali, saya merasa berkewajiban memberikan
tanggapan dalam tulisan ini, karena tulisan seperti yang dimuat itu apabila tidak
dilakukan dengan 'adil' akan membahayakan iman orang Islam.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya sebelum masuk pada 10 alasan FPI
jangan dibubarkan.

Pertama. Tulisan itu mengesankan bahwa FPI dan Ahmadiyah sama-sama


organisasi yang gerakannya berbahaya bagi masyarakat. Padahal perbedaan antara
FPI dan Ahmadiyah seperti: langit dan bumi; putih dan hitam dalam mengamalkan
doktrin ajaran Islam. Oleh karenanya, tulisan itu bisa menimbulkan rasa 'geram'
umat Islam Sumatera Utara terhadap saudara penulis (Umar Syadat Hasibuan).

Kedua. Ketidakpahaman penulis tentang substansi yang dipersoalkan FPI dan


Forum Umat Islam terhadap keyakinan Ahmadiyah. Atau bisa jadi sang penulis
paham, tapi cara berpikirnya dibelenggu kebebasan dengan model HAM yang
diusung Barat.
Persoalan substansi itu adalah tentang keyakinan Mirza Ghulam Ahmad dan
pengikutnya yang menyakini bahwa Mirza adalah Nabi Al-Masih yang dijanjikan
Nabi Muhammad SAW, pengakuan ini dapat dilihat dalam buku Fateh Isalm versi
Indonesia, halama 3. Lalu dipertegas lagi dengan keterangan yang berbeda pada
halaman 14, Mirza mengatakan bahwa dirinya serupa dengan Isa Al-Masih,
lengkapnya tertulis: hamba yang lemah ini pun serupa dalam sifat dengan insan-
insan suci lainnya. Masalah ini diuraikan secara panjang lebar dalam buku saya
Barahini-Ahmadiyya, akan teatapi, kesamaan dengan Isa Al-masih lebih ditonjolkan.
Karakter orang Ahmadiyah selalu berkilah jika fakta-fakta tertulis ini dihadapkan
pada mereka dalam debat. Mereka akan mengatakan bahwa itu bukan buku
keluaran resmi Ahmadiyah. Ini fakta, bahwa kebohongan itu selalu ditutupi dengan
kebohongan.

Ketiga. Pandangan penulis menunjukkan bahwa Ahmadiyah belum tentu sesat. Hal
ini dapat dipahami dari redaksi tulisannya: Redaksi SKB ini sangat buruk,
ambivalen, dan bisa ditafsirkan macam-macam, sehingga membuka kemungkinan
untuk ditarik secara semena-mena untuk memberangus kelompok yang dianggap
'sesat' menurut penafsiran agama Islam 'pada umumnya'. Tanda kutip pada kata
sesat tidak jelas memang, tapi paragraf ini hendak menghubungkan SKB dengan
Ahmadiyah yang belum tentu sesat.
Penulis (Anwar Syadat Hasibuan) berpendapat bahwa SKB ini buruk tidaklah tepat,
karena SKB itu melarang Ahmadiyah mensyiarkan penafsiran yang bertentangan
dengan pokok-pokok ajaran Islam. Umat Islam yang tergabung dalam Forum Umat
Islam berpendapat SKB itu tidak menyentuh aspirasi umat Islam untuk
membubarkan Ahmadiyah, karena Ahmadiyah sudah menodai ajaran Islam dengan
melakukan penafsiran yang menyimpang dari pokok ajaran Nabi Muhammad SAW.

Pelarangan Ahmadiyah bukanlah penafsiran individu, tapi fatwa dan ijma' ulama
dan lembaga Islam, antara lain: (a) Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah
mengeluarkan maklumat bahwa Ahmadiyah menyimpang dari Islam. (b) Pemerintah
Arab Saudi sudah lama melarang Jemaat Ahmadiyah menunaikan ibadah haji ke
Makkah (c) MUI sudah sejak dulu mengeluarkan fatwa Ahmadiyah sesat (d) Majelis
Tarjih Muhammadiyah mengatakan Ahmadiyah sesat (e) Ulama-ulama di Sumatera
Utara tahun 50-an sudah memfatwakan ajarah Ahmadiyah Qodian sesat (f) Bahkan
di tempat kelahiran ajaran Ahmadiyah, Pakistan, sudah dinyatakan bahwa
Ahmadiyah sebagai kelompok di luar Islam.

Keempat. Tulisan Anwar Syadat Hasibuan itu tidak menggambarkan objektivitas


apalagi pembelaan terhadap pokok ajaran Islam tentang khatam al-anbiya'.
Bahkan tulisan itu tidak menyinggung persoalan yang dilakukan AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama), bahkan kata AKKBB itu hanya ditulis satu
kali dalam konteks sebuah nama saja, tidak menyinggung apa yang sedang meraka
lakukan di Monas.

Perlu saudara Umar Syadat Hasibuan ketahui bahwa FPI bereaksi karena disebut
dalam orasi AKKBB dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan. Juga perlu
anda ketahui AKKBB sudah dilarang oleh polisi untuk tidak berunjuk rasa di Monas
pada hari Minggu; perlu anda ketahui AKKBB tidak terdaftar di Departemen Dalam
Negeri (illegal); Perlu anda ketahui dalam AKKBB bergabung kelompok Jemaah
Ahmadiyah; Perlu anda ketahui anggota AKKBB membawa senjata api dan
menghunusnya ke atas yang merupakan pelanggaran berat. Tapi sampai sekarang
orang yang membawa senjata itu tidak tersentuh oleh pihak kepolisian. Perlu anda
ketahui sebelum tulisan anda dan kasus Monas sudah ada beberapa lembaga dan
LSM yang menuntut FPI dibubarkan, antara lain: Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI), Pemuda Katolik Perwakilan Gereja Indonesia (PGI) wilayah DKI Jakarta, Yong
Men Cristian Association (YMCA), Garda Bangsa dan Pencak Silat versi Gus Dur,
Banteng Muda Indonesia (BMI), AKKBB dan Jaringan Islam Liberal (JIL)

FPI Jangan Dibubarkan


Berikut ini saya sampaikan 10 alasan mengapa FPI tidak perlu (jangan)
dibubarkan karena dinilai bermanfaat bagi masyarakat luas.

Pertama. Karena sudah terdaftar di Departemen Dalam Negeri. Organisasi ini


didirikan oleh sejumlah habib, ulama, mubalig dan aktivis Muslim, di halaman
Pesantren Al Um, Cempaka Putih, Jakarta Selatan pada 24 Rabiut Tsani 1419/ 17
Agustus 1998, jam 23.00 WIB.

Kedua. Dalam Anggaran Dasarnya FPI berdasarkan Islam dan beraqidah


Ahlussunnah wal Jamaah yang menetapkan visinya yaitu: amar ma'ruf nahi
munkar.

Ketiga. FPI memasukkan lima prinsip perjuangan yang pernah diletakkan oleh
Mujahid Dakwah Hasan Al-Bannah, yaitu; Allah tujuan kami; Muhammad Rasulullah
adalah teladan kami; Al-Qur'anul karim imam kami; Jihad adalah jalan kami; Asy-
Syahida adalah cita-cita kami. Semboyan perjuangan adalah hidup mulia atau mati
syahid. FPI memiliki motto: Yang haq (kebenaran) tanpa sistem dikalahkan
kebatilan dengan sistem.

Keempat. FPI berjuang dengan serius memberantas tempat-tempat maksiat,


minuman keras, perjudian, pelacuran dan premanisme yang merusak nilai-nilai
agama.
Kelima. FPI mendukung perjuangan pembebebasan Al-Aqsha dan tidak mengakui
keberadaan negara Israel.

Keenam. Pembubaran FPI tindakan yang tidak produktif karena akan menyuburkan
organisasi tanpa bentuk (OTB) bahkan gerakan-gerakan bawa tanah yang tidak
terkontrol oleh pemerintah.

Ketujuh. Pembubaran ormas tidak boleh diskriminatif, maka apabila suatu ormas
dibubarkan karena massa/anggotanya dinilai anarkis, maka semua ormas dan
orsospol serta LSM apa pun yang massa/anggotanya melakukan tindakan arkis
harus juga dibubarkan.

Kedelapan. Pembubaran FPI bukan solusi untuk keluar dari tindak kekerasan
masyarakat, karena selama hukum tidak ditegakkan secara adil maka selama itu
pula kekerasan masyarakat akan menjadi bahasa komunikasi yang tersumbat, atau
bentuk protes sosial masyarakat, atau letupan psikologis dan jiwa yang sudah muak
dengan ketidakadilan.

Kesembilan. Pembubaran FPI dengan dalih tindakan anarkis yang dilakukan


massa/anggotanya adalah bentuk kesemrawutan penegakan hukum, karena
pelanggaran pidana yang dilakukan siapa pun sudah diatur sanksi hukumnya dalam
KUHP sehingga apabila ada massa/anggota suatu organisasi melakukan tindak
pidana maka si pelaku yang ditindak, bukan organisasinya dibubarkan. Dikecualikan
jika suatu organisasi terbukti secara sistematis melakukan makar terhadap negara,
seperti pemberontakan, atau jadi kaki tangan asing membahayakan NKRI, maka
patut dibubarkan.

Kesepuluh. Yang menuntut FPI selama ini adalah lembaga-lembaga yang


platformnya berbeda dengan Islam. Oleh karenanya pembubaran FPI akan memberi
ruang yang luas bagi penodaan dan pendangkalan aqidah Islam.

Penulis adalah pengamat Sosial Keagamaan dan aktivis ESQ

(ags)

http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=23689

Lagi-lagi FPI
Minggu, 07-09-2008 16:00:22 oleh: Kukuh Setyono
Kanal: Opini
Ini sekali lagi tentang kegiatan organisasi masyarakat (Ormas) yang
menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI) di lingkungan sosial yang
heterogen di Indonesia. Sudah dilarang dan akan ditindak tegas oleh aparat
keamanan sesuai hukum yang berlaku jika mereka masih melakukan upaya
penegakan hukum sendiri, eh masih nekad saja!
Ibarat papatah banyak jalan menuju Roma, kali ini yang dilakukan oleh FPI
bisa dikatakan banyak kegiatan untuk membesarkan nama dan ditakuti
orang. Masih ingat menjelang bulan puasa, pemerintah sudah
mengumumkan akan menindak tegas segala upaya penegakan hukum atas
penutupan tempat maksiat selama bulan ramadan karena itu adalah hak
dari aparat. FPI bisa dikatakan tidak punya taji lagi atau tidak tahu harus
berbuat apa yang sering kali dinamakan atas nama agama.
Nah kemarin, Sabtu (6/9) FPI wilayah Jateng-DIY mempunyai cara lain
untuk bisa tetap eksis disebut pembela agama Allah. Tidak bisa melakukan
penutupan, apalagi melakukan pengerusakan tempat-tempat maksiat di
seluruh wilayah Yogyakarta. Mereka melakukan bentuk intimidasi dengan
cara lain.
Beberapa anggota FPI sabtu sore tersebut berkeliling sepanjang kota
Yogyakarta dan mendatangi beberapa rumah makan yang tetap buka. Tanpa
banyak basa-basi mereka langsung memberikan selebaran yang berisikan
himbau agar rumah makan tersebut besoknya harus tutup sehari penuh dan
diperbolehkan lagi buka pada sore hari.
"Tujuannya adalah untuk mengajak mereka menghormati saudara-saudara
muslim yang sedang melakukan ibadah puasa. Jika memang himbaun ini
tidak diindahkan hingga tiga kali, maka kami akan melakukan langkah tegas
dengan menutup paksa rumah makan tersebut. Rencana ini sedang kita
kordinasikan dengan kepolisian dan pemerintah," kata Korlap FPI yang
meminta namanya di sebut dengan Gus Tommy.
"Wah, apa namanya ini, dan siapa sih mereka?" begitu pikir saya. Sebab,
kita ini hidup di sebuah negara heterogen dengan orang-orang yang
berkeyakinan berbeda dan tentunya ini adalah negara hukum. Memang
kenapa kalau warung tersebut buka dan ada orang yang makan disana,
sebab tidak hanya kaum non muslim saja yang tidak berpuasa dan
membutuhkan mereka. Bisa saja kaum muslim yang tidak berpuasa
membutuhkan mereka untuk mengisi perut kala lapar.
Bukan hanya itu, saya berpikir mereka ini apa pemimpin yang bisa
menghidupi orang lain dengan menghentikan salah satu upaya untuk
mendapatkan uang demi hidup. Bayangkan, jika warung-warung tersebut
tutup, mereka mendapatkan uang dari mana?.
Bisa saja, buka pada pukul 15.00 WIB, tapi bayangkan berapa jam mereka
buka dan siapa saja yang pembelinya?. Sebab dengan rentang waktu yang
hanya tiga jam tersebut pembelinya mungkin hanya orang-orang yang
berkeinginan berbuka atau makan sore, selebihnya mereka akan kembali ke
rumah karena sudah kenyang.
Terus terang secara pribadi saya sangat mengencam tindakan intimidasi
yang dilakukan oleh ormas yang menamakan FPI tersebut. Dan saya dengan
tegas mendukung langkah aparat kepolisian yang akan menindak tegas dan
menghukum sesuai aturan bagi mereka yang tidak mau menuruti hukum.

http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10398

Thursday, 26 June 2008 14:07

Pejuang Moral Dan Agenda Politik

Opini

Akhirnya karena desakan yang kuat dari masyarakat (Islam) terhadap Ahmadiyah,
Pemerintah (9/62008) mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). SKB dengan Nomor 3 Tahun 2008;KEP-
003/A/JA/6/2008;199 Tahun 2008 ditandatangani pejabat terkait terdiri dari
Menteri Agama... PROF. Dr. M. ARIF NASUTION, MA

Akhirnya karena desakan yang kuat dari masyarakat (Islam) terhadap Ahmadiyah,
Pemerintah (9/62008) mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). SKB dengan Nomor 3 Tahun 2008;KEP-
003/A/JA/6/2008;199 Tahun 2008 ditandatangani pejabat terkait terdiri dari
Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Menteri
Dalam Negeri Mardiyanto. Salah satu poin dari SKB itu adalah memberi peringatan
dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/ anggota pengurus JAI
sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran
dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.

Persoalannya, apakah dengan dikeluarkannya SKB tersebut akan menjamin tidak


akan bergolak lagi persoalan kekerasan yang disinyalir dilakukan atas nama agama?
Apakah drama kekerasan di Monas yang disinyalir melibatkan JAI yang didukung
kelompok pendukung kebebasan beragama melalui Aliansi Kebangsaan Untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI)
dan Komando Laskar Islam (KLI) tidak akan terulang? Di sisi lain efek dari
kejadian Monas, tokoh-tokoh FPI ditangkap dan FPI dituntut oleh masyarakat untuk
dibubarkan. Bukan hanya oleh Garda Bangsa, organisasi yang dikenal memiliki
hubungan dengan tokoh yang dikenal memperjuangkan kebebasan beragama,
Abdurrahman Wahid tetapi juga oleh para Pekerja Seks Komersial (PSK).
Tulisan ini lebih jauh akan meneropong persoalan kekerasan atas nama agama dan
mengaitkannya dengan persoalan realitas sosial politik yang menjadi latar
belakangnya.

Radikalisme Agama
Istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan persoalan kekerasan atas nama
agama dan kenapa kekerasan itu muncul adalah radikalisme agama. Dalam sejarah
politik Indonesia, radikalisme bukanlah persoalan baru. Secara Ilmiah istilah
radikalisme ini telah digunakan Sejarawan Sartono Kartodirjo melalui karyanya yang
fenomenal, Protest Movement in Rural Java (1973) dan Ratu Adil (1992). Sartono
Kartodirjo memakai istilah radikalisme untuk menjelaskan gerakan protes (petani)
yang menggunakan simbol agama (Islam) dalam menolak seluruh aturan dan
tatanan yang ada. Kata radikal digunakan sebagai indikator sikap untuk menolak
total terhadap seluruh kondisi yang berlangsung.

Sebagaimana temuan Horace M. Kallen yang kemudian dikutif oleh Bahtiar Effendy
(1998:XVII) setidaknya radikalisme dicirikan oleh tiga kecenderungan umum.

Pertama, radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung.


Biasanya respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan
perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berbentuk asumsi, ide lembaga
atau nilai-nilai yang dipandang bertangung jawab terhadap kelangsungan kondisi
yang ditolak.

Kedua radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya
mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan
bahwa bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan
dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut
sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata
radic, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara
mendasar.

Ciri yang terakhir, ketiga, adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan
kebenaran program dan atau ideologi yang mereka bawa. Ciri-ciri radikalisme diatas
dapat dijadikan titik tolak dalam memahami fenomena agama yang memiliki
kedekatan karakteristik.

Pejuang Moral VS Pemerintah


Berangkat dari pemahaman di atas, kasus Monas yang melibatkan FPI dan Jemaat
Ahmadiyah yang didukung AKKBB harus dilihat secara bijaksana. Radikalisme
agama yang muncul dalam kasus Monas harus dilihat sebagai puncak dari polemik
yang muncul atas keberadaan jemaat Ahmadiyah. Sebelum kejadian Monas
tuntutan masyarakat Islam demikian santer agar pemerintah segera membubarkan
Jemaat Ahmadiyah karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir di
samping Nabi Muhammad. Di beberapa daerah bahkan anggota Jemaat Ahmadiyah
mengalami kekerasan fisik dan masjidnya dibakar.

Di sisi lain pemerintah selalu lambat merespon gejolak konflik yang terjadi dari
keberadaan Jemaat Ahmadiyah di masyarakat. Sebenarnya, persoalan Jemaat
Ahmadiyah bisa diselesaikan dengan mudah dan bijaksana oleh umat Islam dan
pemerintah, jika tidak ada kepentingan politik pemerintah di balik kasus ini. Ada
kesan pemerintah memanfaatkan situasi itu untuk mengalihkan perhatian
masyarakat terhadap kenaikan harga BBM. Malah ketika konflik itu memuncak
sebagaimana dalam kasus Monas, pemerintah dengan tidak bijaksana mengikuti
tuntutan opini publik untuk menangkap pimpinan dan anggota FPI. Padahal oleh
sebagian masyarakat FPI dikenal sebagai pejuang moral karena keberanian mereka
untuk memberangus kemaksiatan. Suatu penyakit sosial yang semua agama apa
pun pasti menyuruh untuk memerangi kemaksiatan tersebut.

Sebenarnya, harus diakui munculnya FPI (1998) karena kelambanan dan


ketidakberanian pemerintah di dalam memerangi kemaksiatan. Bukan rahasia
umum lagi bahwa selama ini banyak oknum aparat pemerintah baik tentara
maupun polisi,Ñbaik di tingkat pusat dan daerah membac up dan melindungi para
pemilik modal yang menggerakkan dunia kemaksiatan di Indonesia. Tidak heran bila
kemudian iklan kemaksiatan; prostitusi, minuman keras, pornografi demikian
terbuka dan sangat vulgar.

Keadaan ini dapat berlangsung karena kedua belah pihak mendapat keuntungan.
Pemilik modal mendapat keuntungan atas usahanya ini pemerintah juga
mendapatkan retribusinya. Namun di sisi lain prostitusi maju pesat. Perdagangan
wanita meningkat jumlahnya. Bahkan Indonesia karena keadaan ini dikenal sebagai
salah satu negara penghasil ekstasi terbesar di dunia serta lahan distribusi narkoba
yang dapat mendatangkan keuntungan ratusan miliar rupiah.

Di sisi lain, moralitas masyarakat dan pejabat pemerintah sangat rendah. Berapa
banyak para remaja yang kini mengikuti pemulihan dari ketergantungan narkoba?
Berapa banyak pejabat yang masuk bui karena mengonsumsi dan menjadi
pengedar narkoba? Saya kira sedikit realitas ini harus dijadikan pemahaman dalam
memahami kekerasaan atas nama agama. Karena hanya agamalah, dan bukan
negara yang lebih bisa menggerakkan manusia menuju kebaikan. Walaupun
teknologi dan informasi telah menjadi bagian dari kampanye negara untuk
memantapkan keberadannya di mata masyarakat masih ada dan selalu ada
kelompok masyarakat atas landasan agama menggerakkan manusia untuk
kebaikan.

Tidaklah mengherankan jika kemudian ketika tuntutan terhadap pembubaran FPI


disuarakan. Ia disambut baik para pemilik modal. Artinya, para pemilik modal
memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka. Sebab FPI akan menjadi batu
sandungan bagi mereka untuk melebarkan bisnis maksiatnya.

Penutup
Radikalisme atas nama agama akan terus muncul jika negara lambat dalam
merespon persoalan sosial ekonomi dan politik yang melibatkan agama. Maka oleh
karena itu, negara perlu sadar dan berupaya untuk memperbaiki dirinya di dalam
mengelola masyarakatnya. Jika kemudian negara hanya memperhitungkan
persoalan sosial ekonomi dan politik yang melibatkan agama atas dasar untung dan
rugi maka sebenarnyalah negara yang menjadi akar dan memupuk dari radikalisme
itu. Jadi siapa sebenarnya pejuang moral itu?

Penulis adalah Dekan FISIP USU

(ags)

http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=23690

Jejak Langkah Islam Garis Keras di Indonesia

Oleh: Oleh Mulyo Sunyoto

Jakarta (ANTARA News) - Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo bisa dipandang sebagai


tonggak kehadiran kelompok Islam garis keras di Indonesia, yang salah satu cita-
citanya adalah mendirikan Negara Islam Indonesia.

Ken Conboy, penulis "Medan Tempur Kedua" (Kisah Panjang yang Berujung pada
Peristiwa Bom Bali II), mencatat bahwa pada 1936, Kartosuwiryo mempromosikan
ide tentang Indonesia sebagai suatu negara Islam independen.

Buku yang diterbitkan 2008 oleh Pustaka Primatama Jakarta, yang diterjemahkan
dari "The Second Front: Inside Asia`s Most Dangerous Terroris Network" edisi 2006,
itu menelusuri pemikiran dan aksi kelompok Islam garis keras di Indonesia.

Conboy, pakar mengenai masalah keamanan dan intelejen, memulai kisahnya


dengan menghadirkan sang pemberontak, Kartosuwiryo, yang terlahir sebagai anak
penjual candu di Cepu, Jawa Tengah.

Bertolak belakang dengan latar belakang para pendukung ideologi Islam garis keras
di Indonesia yang lahir belakangan, Kartosuwiryo bukanlah figur lulusan sekolah
keagamaan atau madrasah yang kurikulumnya sarat ilmu agama.

Tokoh yang mengakhiri hidupnya di depan regu tembak militer itu lulusan sekolah
Belanda dan memperoleh nilai tinggi dalam ilmu-ilmu sekuler.

Setelah lulus, Kartosuwiryo masuk Sarekat Islam, organisasi rakyat dengan


kepentingan melindungi pedagang Jawa dari persaingan tajam melawan pedagang
etnis Tionghoa.

Di Sarekat Islam, Kartosuwiryo sempat berjuang bersama Soekarno. Namun


perbedaan idiologi di antara mereka membuat keduanya memilih jalan yang
berbeda.

Soekarno lebih memilih jalan nasionalisme, Kartosuwiryo cenderung ke arah sistem


negara nonsekuler.

Sejarah untuk sementara memihak Kartosuwiryo. Pemikirannya mendapat angin


ketika kekaisaran Jepang menguasai Indonesia. Kaum nasionalis ditindas, kaum
pendukung gerakan keagamaan ditenggang.

Jepang pun mengizinkan Kartosuwiryo mendirikan kamp pelatihan seluas empat


hektar di Jawa Barat bagi milisi pemuda Islam yang baru dibentuk.

Conboy menulis, walaupun Kartosuwiryo Jawa, ia menyadari bahwa pesan


nonsekulernya punya daya pikat kuat di kalangan Sunda.

Perkembangan selanjutnya, antisekularisme Kartosuwiryo mengeras.

Dia menolak perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani Belanda dan


Soekarno.

Dia membentuk Tentara Islam Indonesia sebagai instrumen awal sebelum


memproklamirkan diri sebagai kepala Negara Islam Indonesia, yang juga populer
dengan nama Darul Islam.

Berjuang di hutan-hutan dan pedesaan Jawa Barat, kelompok partisan Darul Islam
sempat merepotkan pemerintahan RI.

"Pada akhir 1953, gerakan ini sanggup mengerahkan 6.700 orang anggota partisan
dengan lebih dari 2.500 senjata di Jawa Barat," tulis Conboy.

Gerakan Kartosuwiryo memang akhirnya tumpas, tetapi idenya masih bergema.


Kahar Muzzakar, yang sempat berpangkat Letnan Kolonel dan menjabat Wakil
Komandan Pasukan Gerilyawan di Jawa Timur prakemerdekaan, adalah salah satu
figur revolusioner yang meneruskan Darul Islam.

Menurut Conboy, Muzzakar bergabung dengan Darul Islam dan melakukan gerilya
di Sulawesi Selatan karena ia tidak mendapat tempat setelah perang kemerdekaan.
Dengan kata lain, motivasi Muzzakar untuk mendirikan negara Islam di Indonesia
bukan religius murni.

Begitu juga gerakan separatis Islam di Aceh, yang oleh Conboy dinilai sebagai aksi
yang dipicu oleh alasan pribadi.

"Karena kehendak mereka tidak tertampung, Aceh memberontak pada September


1953 dan mengumumkan distrik mereka bersekutu dengan Darul Islam," tulis
Conboy, yang mengutip Widjiono Wasis, penulis "Geger Talangsari".

Islam politis

Tumbangnya Soekarno dan munculnya Soeharto merupakan era baru bagi


percaturan politik di kalangan kaum Islam garis keras.

Sikap anti-PKI yang diperlihatkan Orde Baru yang militeristik searah dengan sikap
kaum pemberontak religius.

Ada kebersamaan antara militer dan organisasi Muslim dalam memerangi komunis.

Situasi politik menjelang Pemilu 1977 mencemaskan Soeharto. Penguasa Orde Baru
ini khawatir kalau-kalau suara kaum Islam menumpuk di PPP.

Itu sebabnya dia menugasi Ali Moertopo mempengaruhi pendukung Darul Islam.
Dalam interaksi dua kubu inilah, wadah baru yang disebut Komando Jihad
terbentuk.

Dalam perjalanannya, Komando Jihad akhirnya ditumpas oleh pejabat keamanan


Orde Baru dengan menahan ratusan anggotanya.

Sebagian di antara anggota Komando Jihad yang ditahan ini, setelah dilepaskan,
ternyata menjadi pendukung setia Orde Baru dan penganjur sejati doktrin
Pancasila.

Dua figur Muslim garis keras yang mulai menangguk kepopuleran di tengah situasi
militeristik Orde Baru adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir. Mereka
memberikan ceramah dengan menelanjangi pemerintahan Soeharto yang jauh dari
ideal hukum Islam.

Pasangan Sungkar-Ba`asyir inilah yang mendirikan pesantren Al-Mukmin di Ngruki


Sukoharjo selatan, Solo.

Di pesantren inilah benih-benih Islam garis keras dibentuk dan ditumbuhkan.


Setelah sekian tahun, maka lahirlah lulusan Ngruki.

Sejumlah pelaku pemboman di Indonesia konon alumni Ngruki.

Imam Samudra, Amrozi, dan Muchklas yang terlibat dalam pemboman di Bali kini
meringkuk di penjara dan menunggu eksekusi di depan regu tembak.

Sekali lagi, rakyat Indonesia menyaksikan bagaimana ide menerapkan hukum Islam
secara murni di Nusantara berantakan sebelum terealisir.

Pertanyaannya: masihkah ide itu beterbangan dan termakan oleh generasi


mendatang di republik multietnik-agamis ini?

Menurut seorang pejabat intelejen, hanya dengan mengendalikan para dedengkot


Islam garis keras, pengaruh ide itu bisa dikendalikan.

Tetapi, seorang Muslim moderat berkomentar: di tengah kemiskinan yang


merajalela seperti di Indonesia, godaan untuk mengikuti ide-ide militansi agamis
cukup tinggi.

"Di tengah kemiskinan dan rendahnya tingkat intelektualitas masyarakat, Anda


tidak akan kesulitan mencari pemuda Muslim yang rela meledakkan diri," kata Ali
Masykur Moesa, Muslim moderat itu. (*)

COPYRIGHT © 2008 ANTARA


PubDate: 15/09/08 08:41
http://www.antara.co.id/print/?i=1221442910

Anda mungkin juga menyukai