Muncul kecenderungan baru yang pelan tapi pasti, yaitu bergesernya sumber kemakmuran
dari natural asset seperti tanah, sumberdaya alam, buruh murah ke manufactured tangible
assets yaitu pabrik & peralatannya, dan pengetahuan yang melekat pada manusia yang
mengelola usaha tersebut. Untuk mencitptakan intangible assets diperlukan pengetahuan dan
informasi.
Pengetahuan yang dimiliki oleh entrepreneur itu bisa dipelajari sebagaimana kita
mempelajari pengetahuan lainnya, yang lebih penting adalah menangkap spirit kewirausahaan.
Spirit ini yang akan memotivasi seseorang untuk mengembangkan kemampuan
entrepreneurialnya.
Dalam kesulitan ekonomi yang kita alami sekarang ini nampak ada isyarat bahwa
masyarakat sudah mulai sadar akan pentingya inovasi. Harian Kompas beberapa minggu yang
lalu memuat berita bahwa sekitar 600 paten diajukan oleh usaha kecil dan menengah (UKM).
Reportase majalah Asiaweek edisi Oktober 2001 melaporkan bahwa dari segi pendaftaran paten,
meski Indonesia hanya menempati urutan nomor dua terbawah, tetapi dengan tertiary enrolment
(penduduk yang menamatkan sekolah lanjutan atas) yang mendekati Malaysia (Indonesia 11%,
Malaysia 12%) ada harapan bila situasi ekonomi dan politik sudah kondusif terbuka peluang bagi
munculnya lapisan entrepreneur yang masif.
Data yang dipaparkan Asiaweek dan reportase Kompas adalah suatu isyarat positif bagi
perkembangan UKM, yaitu mereka mulai akrab dengan inovasi, yang merupakan hasil dari
learning orientation dan menjadi embrio bagi terbentuknya wiraswasta inovatif. Learning (belajar)
merupakan salah satu sumber paling penting bagi siapa saja untuk menciptakan keunggulan
bersaing. Di dalam belajar selalu berlangsung suatu dialog yang terus menerus yang
memberikan ruang bagi terbentuknya proses kreatif. Proses belajar akan menghasilkan
pengetahuan (knowledge) baik yang bersifat tacit maupun explicit.
1
Asiaweek
Country Number US Patents Number Tertiary Per Capita Population
1000
Awarded
2000 Enrolment GNP 1999
(2000)
Per 1000 1997% 1999 $US
Melihat data yang dipaparkan oleh Asiaweek (Penghargaan Paten & Kesejahteraan
Penduduk), kita bisa berkaca tentang kualitas wiraswasta kita dibandingkan dengan negara lain.
Untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara-negara Asia Pasifik sudah saatnya
masyarakat perguruan tinggi (khususnya pendidikan tinggi teknik) mempunyai komitmen
mengajarkan pengetahuan kewirausahaan agar virus entrepreneurship menyebar di kalangan
lulusan perguruan tinggi sehingga dimungkinkan munculnya lapisan terpelajar yang mempunyai
spirit entreprneurship yang bisa menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat dan lingkungannya.
Perguruan tinggi dengan tradisi ilmiahnya yaitu selalu mengedepankan sikap skeptis
terhadap “theory in use” dan selalu berusaha mencari kebaruan atau dengan istilah yang
dikenalkan oleh Schumpeter yaitu creative destruction sebenarnya mampu melakukan hal itu.
Mengapa perguruan tinggi di Indonesia, terutama di daerah belum mampu menjadi sumber
inovasi, belum mampu meningkatkan kualitas SDM melalui pemikiran dan karya? Pendapat saya,
sebagai seorang pengusaha, adalah masih rendahnya spirit kewirausahaan.
Saya di sini akan menggunakan pandangan Joseph A. Schumpeter, ekonom asal Austria
yang kemudian menetap di Amerika (1883 – 1950) tentang entrepreneur. Ia mengatakan bahwa
perilaku dan sifat entrepreneur yang khas adalah kemampuannya, kecerdasannya dan
keberaniannya yang ditopang oleh ketetapan hatinya dan keteguhan jiwanya untuk melancarkan
usaha yang serba baru dengan melihat pada kemungkinan-kemungkinan potensial di masa
depan dan berhasil menjelmakan menjadi kenyataan efektif.
Satu hal dari pandangan Schumpeter yang menggugah adalah penilainnya tentang
entrepreneur yang sama sekali berbeda dengan pengusaha (businessman). Entrepreneur
memiliki “sikap jeli” terhadap kemungkinan potensial yang terbayang dalam perkembangan masa
depan, kemudian mampu merintis dan mengatur inovasi, menempuh pola baru dalam
penggunaan sumber dana dan daya produksi dalam suatu kombinasi optimal yang baru pula
(neue Kombination).
Penemuan (Invention) yang ada baik di dunia perguruan tinggi atau di laboratorium-
laboratorium penelitian milik pemerintah tidak akan ada artinya jika tidak digunakan secara
2
komersil. Di sinilah perlunya komunikasi timbal balik antara perguruan tinggi dengan masyarakat
terutama dunia usaha agar mereka mau menggunakan temuan-temuan itu untuk digunakan
dalam kegiatan usaha. Dunia usaha dan masyarakat harus diyakinkan bahwa dengan inovasi
atau lebih tepat disebut Neue Kombination dapat memperbesar laba, menghemat biaya (cost
reducing) atau menciptakan permintaan (demand creating).
Kemitraan antara pendidikan tinggi dengan dunia usaha menjadi prasyarat mutlak untuk
merangsang inovasi di kalangan pendidikan tinggi dan para lulusannya. Banyak tugas akhir
mahasiswa teknik yang potensial memiliki nilai komersil tetapi hanya tersimpan di perpustakaan
saja karena belum tumbuhnya tradisi kerjasama antara pendidikan tinggi dan dunia usaha.
Untuk ke depan sudah saatnya dipikirkan oleh kalangan dunia usaha untuk lebih
meningkatkan kerjasama dengan masyarakat perguruan tinggi dalam kerangka untuk
meningkatkan daya saing dan menyebarkan tradisi entrepreneurship di kalangan pendidikan
tinggi.
Pada umumnya koperasi mahasiswa hanya labelnya saja yang menggunakan mahasiswa.
Pengelolaannya kebanyakan orang luar yang bukan mahasiswa atau keluarga pegawai di
lingkungan kampus. Otoritas kampus khawatir jika mahasiswa yang mengelola ada kemungkinan
gagal. Padahal kegagalan itu sendiri adalah proses belajar yang harus dialami.
Ketika saya bergabung dengan Koperasi Mahasiswa ITB, seluruh pengurusnya adalah
mahasiswa. Saya dan kawan-kawan belajar mengembangkan kewirausahaan secara mandiri.
Kami memeras otak bagaimana agar Kopma ITB mampu bersaing dengan kegiatan usaha yang
sejenis, dan mencari keunggulan yang sulit ditiru. Secara tidak sadar dalam diri saya terbangun
suatu sikap ingin melayani siapa saja sebaik mungkin. Kopma ITB berkembang maju dan bahkan
menjadi subdealer sepeda motor.
Pelajaran yang paling berharga selama aktif di Kopma adalah kami mempunyai
pengetahuan baru tentang membangun networking, menjadi lebih peka dan jeli dalam melihat
sesuatu, yakin mampu menyelesaikan suatu pekerjaan dengan metode yang berbeda dengan
waktu yang lebih singkat dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik, terbiasa berfikir
berbeda dari kebanyakan, menyadari akan keterbatasan sehingga secara sadar harus bisa
bekerja sama dengan orang lain. Ternyata pengalaman yang saya dapat itu merupakan suatu
mekanisme kognitif yang membentuk seseorang menjadi entrepreneur. Ini baru saya ketahui
ketahui ketika membaca jurnal kewirausahaan terbitan Amerika.
Ketika saya kuliah di ITB meskipun aktif di berbagai kegiatan, kuliah tidak pernah
terabaikan saya pernah mendapat predikat sebagai mahasiswa teladan sehingga mendapat
beasiswa khusus (grant) dari Caltex. Saya tidak diikat kewajiban melakukan ikatan dinas. Begitu
lulus saya mendapat tawaran bekerja di sejumlah, diantaranya adalah Caltex. Saya berkunjung
ke Caltex ketemu kawan-kawan semasa kuliah, mereka menyarankan saya membuka usaha
sendiri. “Buat apa kamu bekerja di Caltex. Lebih bagus kamu bikin usaha baru. Lihat Del, kalau
kamu yang bikin tangki itu, saya yakin kamu bisa pasok ke Caltex.” Mereka rupanya sudah
melihat kemampuan saya berbisnis yang sudah saya lakukan di Kampus ITB.
Pikiran saya tergugah, saat itu juga saya putuskan bekerja untuk diri sendiri. Saya
kemudian memanfaatkan networking yang sudah saya rintis sejak di kampus. Kesempatan dan
3
relasi bisnis adalah salah satu dari sekian faktor penting untuk menunjang keberhasilan. Akan
menjadi sia-sia jika ada kemampuan, tetapi tidak memiliki relasi bisnis. Saya sampai pada
kesimpulan keberhasilan suatu usaha adalah fungsi dari kemampuan, kesempatan, relasi dan
sarana.
Saya putuskan memulai bisnis baru dengan kawan-kawan, yaitu Achmad Kalla, Erwin
Kurniadi, Imron Zubaidi dan Muhammad Ashari dengan mendirikan Bukaka. Pada awal kami
memulai bisnis stamina dan mental kami diuji, proyek tidak mudah kami dapatkan. Bukaka mulai
menapaki sukses ketika pemerintah mengeluarkan Kepres Nomor 10 Tahun 1980 yang melarang
impor barang industri yang bisa diproduksi di dalam negeri. Mulailah kami membuat asphalt
mixing plant dan mesin-mesin untuk pembuatan jalan raya, pompa angguk, dan garbarata dan
menempatkan Bukaka sebagai perusahaan terkemuka di bidang infrastruktur.
Kami dan kawan-kawan saat memulai usaha hanya berbekal pengetahuan enjinering yang
diperoleh di kampus, tetapi kami mempunyai rasa percaya diri, jika orang lain bisa melakukan
tentu kita juga bisa. Kepres Nomor 10 Tahun 1980yang mengantarkan kami mendapat proyek
dari pemerintah untuk membuat mesin-mesin pembuat jalan raya (padahal kami belum punya
pengalaman membuatnya) mendorong kami menjadi kreatif dan inovatif. Ketika proyek sudah
ditangan, kami kesulitan untuk mendapatkan mesin-mesin yang akan kami jadikan model untuk
dibuat, perusahaan asing peserta tender yang kalah tidak sudi menjual produknya ke Bukaka. Ini
adalah proyek kemitraan by accident kami merasa diback-up oleh pemerintah sehingga dalam
menangani proyek yang sama sekali baru, kami tetap percaya diri.
Kami diboikot tetapi sekali lagi melalui relasi didapat juga barang yang kami butuhkan.
Mesin-mesin itu kami bongkar dan kami analisa kelemahannya, kemudian kami membuat mesin
baru berdasarkan contekan tetapi dengan menghilangkan kelemahannya. Ini yang dikenal
dengan reverse engineering yaitu menyontek dengan kreatif sehingga hasil contekan menjadi
lebih baik.
Pengalaman lain yang cukup mengesankan adalah ketika saya beraudiensi dengan Rektor
Universitas Indonesia (UI), ketika itu masih dijabat Prof. Dr. Mahar Mardjono. Saya mengundang
sejumlah mahasiswa UI untuk bekerja magang di tempat saya. Lalu Prof. Mahar memanggil lima
mahasiswa. “Kamu mau bekerja magang di tempat Bung Fadel?” begitu kata Prof. Mahar kepada
mahasiswanya.
Saya melihat raut wajah mahasiswa yang diundang untuk bekerja di bengkel saya itu tidak
menunjukkan antusiasme. Mereka malah menunjukkan sikap kurang percaya diri. Mereka
memiliki ilmu pengetahuan, tetapi tidak tahu bagaimana menerapkannya. Melihat pengalaman
itu, maka semakin terobsesi tekad saya untuk menyebarkan virus entrepreneurship di kalangan
mahasiswa, merekalah kelak yang akan mengisi lapisan entrepreneur yang kini jumlanya sangat
tipis. Obsesi saya bertambah bulat setelah melihat fakta bahwa hampir sekitar 35% luluan
perguruan tinggi tidak terserap di lapangan kerja, mereka harus diubah orientasinya agar menjadi
pencipta kerja.
Saya melakukan eksperimen dengan anak-anak ITB yang tergabung ke dalam CSED
(Center for Studies Entrepreneur Development). Anak-anak ITB itu saya bawa ke networking
business kebetulan saya juga sebagai ketua Kadin, ternyata setelah mereka mempunyai relasi
mereka mampu membangun usahanya sendiri. Optima Group (suatu kelompok bisnis dari anak-
anak ITB yang bergerak di teknologi informasi) adalah berasal dari CSED, belakangan ini saya
mendapat kabar proyek-proyek mereka semakin berkembang.
Eksperimen saya yang lain adalah menggunakan bukan anak teknik, tetapi anak ekonomi.
Saya mengajar seminar kewirausahaan di FE Universitas Trisakti. Salah satu syarat untuk lulus
mata kuliah seminar kewirausahaan adalah membuat business plan. Business plan tersebut diuji
layaknya business plan yang diajukan oleh perusahaan. Saya melihat daya inovasi dan
kreativitas mereka sangat tinggi, beberapa business plan berhasil diimplementasikan menjadi
4
kegiatan usaha yang sekarang berkembang dan cukup maju, itu karena ada kemitraan. Mereka
dijadikan mitra oleh beberapa perusahaan yang salah satunya adalah milik orang tua mahasiswa
FE Universitas Trisakti.
Untuk ke depan lulusan perguruan tinggi teknik seyogyanya memilih jalan menjadi
wirausaha. Ini sejalan dengan tren jaman. Ernest & Young sebuah perusahaan konsultan
internasional dalam penelitiannya pada tahun 1998 tentang visi entrepreneuralism terhadap 500
pengusaha terkemuka di Amerika diperoleh temuan yang menarik.
Entrepreneuralism akan menjadi “defining trend of the business” pada abad 21.
Akan semakin banyak orang yang memasuki kegiatan kewirausahaan.
Entrepreneuralism akan meningkat di seantero penjuru dunia, termasuk di negara-
negara yang tidak masuk sebagai negara industri seperti di Afrika dan Timur Tengah.
Peluang kewirausahaan yang menjanjikan pada abad ini adalah sektor teknologi /
internet, kedokteran, food service / hospitality, layanan informasi / manajemen informasi.
Lingkungan ekonomi entrepreneurial ditandai oleh “penekanan yang lebih besar pada
“personal fulfillment”, “inovasi yang meningkat”, dan “creative work arrangement”.
Tanda-tanda jaman ini yang harus ditangkap oleh masyarakat kampus, terutama mahasiswa.
Pada abad ini entrepreneurship memberikan unlimited opportunity terutama kepada mereka yang
mampu menjalin creative work arrangement.
5
Mitos 4: Entrepreneur adalah orang yang canggung baik di dunia akademis atau di masyarakat.
Ada kepercayaan bahwa entrepreneur secara akademis dan sosial merupakan orang yang gagal.
Mereka berhasil menjalankan usahanya karena drop out dari sekolah atau dipecat dari tempat
kerja. Ini kemudian digunakan untuk memahami profil entrepreneur tipikal. Secara historis
sebenarnya pendidikan dan organisasi sosial tidak mengakui entrepreneur. Entrepreneur
disingkirkan dari dunia perusahaan raksasa karena dianggap orang yang canggung. Dalam
pendidikan bisnis, untuk contoh tujuan utamanya adalah memahami aktivitas perusahaan bukan
pada siapa yang berada di balik perusahaan. Sekarang entrepreneur dipandang sebagai hero –
baik secara sosial, ekonomi, dan akademik. Dia bukan lagi si canggung, entrepreneur sekarang
dipandang sebagai profesional.
6
Sebenarnya kegagalan dapat memberikan banyak pelajaran, siapa yang mau belajar dari
kegagalan sering mendapatkan sukses. Ini nampak jelas terlihat dalam prinsip koridor, yang
menyatakan bahwa setiap langkah memiliki risiko, tapi sekaligus memunculkan peluang yang
tidak diduga sebelumnya. Perusahaan 3M menemukan “Pos-it” kertas kecil yang dilapisi lem
dengan tidak sengaja karena memanfaatkan lem yang tidak memenuhi kualifikasi produk. Dari
pada dibuang sayang lebih baik dibuat post-it, akhirnya produk ini menghasilkan jutaan dolar dan
dikenal di seluruh dunia. Sekarang catatan statistik tentang kegagalan entrepreneur itu
menyesatkan. Suatu riset yang dilakukan oleh Bruce A. Kirchoff, melaporkan bahwa dari
pelacakan 814.000 usaha yang mulai start pada 1977 menemukan bahwa 50% tetap hidup dan
dikelola oleh pemilik awal atau pemilik baru. 28% ditutup secara suka rela, dan hanya 18% yang
benar-benar gagal.
Pada waktu lalu berkembang pemikiran yang membedakan secara dikotomis antara
entrepreneur dan bukan entrepreneur. Entrepreneur dicirikan dengan orang yang kreatif –
imajinatif, berfikir bebas sedangkan yang bukan entrepreneur biasanya lebih mengandalkan
logika semata, miopik dan kaku.
Sekarang ini pendikotomian tersebut tidak berlaku. Menurut penelitian David Hills dari
Center for Creative Leadership, USA diperoleh temuan bahwa setiap orang itu mampu untuk
menjadi kreatif. Kreativitas itu bukan bakat tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Hambatan
terjadinya kreativitas diantaranya adalah pola berfikir yang tradisional. Orang tidak pernah dipicu
innate creativity-nya. Kreativitas dapat diasah dengan memfungsikan peran otak kanan antara
lain dengan:
Harus diakui bahwa mengembangkan kreativitas itu bukan pekerjaan mudah. Hambatan
eksternal seperti tekanan waktu, tidak ada dukungan, kebijakan yang rigid adalah salah satu
7
bentuk hambatan yang dihadapi oleh individu dalam mengembangkan kreativitas. Namun
hambatan yang paling sulit untuk diatasi adalah hambatan yang berasal dari diri sendiri, yaitu
berupa gembok mental yang menyebabkan kita tidak bisa berfikir merdeka. Sejumlah gembok
mental yang kerap membatasi kreativitas, yakni:
1. Terfokus pada upaya mencari “satu jawaban yang benar”. Padahal setiap persoalan itu
memiliki ambiguitas. Satu pertanyaan memiliki banyak jawaban yang benar.
2. Terlalu mengandalkan pada logika. Logika memang bagian penting dari proses kreatif,
khususnya ketika mengevaluasi dan mengimplementasikan ide. Namun demikian pada
fase proses imajinatif, berfikir logis sering menggembok kreativitas. Intuisi menjadi lebih
penting, karena ia merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang kaya
dengan perspektif.
3. Mengikuti aturan dengan membuta. Kita sering tidak cukup berani untuk keluar dari
aturan. Seringkali kreativitas itu muncul karena kemampuan kita untuk melanggar aturan
yang sudah ada sehingga kita bisa melihat cara baru untuk melakukan sesuatu. Contoh
yang sangat bagus adalah “Shinkasen Thinking”. Jepang tidak akan mampu
menciptakan kereta peluru berkecepatan tinggi bila terpaku pada rule perkeretaapian
yang sudah ada.
4. Selalu berorientasi praktis. Membayangkan jawaban yang terkadang tidak masuk akal
dari suatu pertanyaan yang logis sering memberikan inspirasi terbentuknya ide kreatif.
5. Menjadi terlalu spesialis. Orang yang terlalu spesialis cenderung kurang tertarik pada
sesuatu yang berada di luar bidangnya. Padahal pemikir kreatif cenderung mencari ide di
luar wilayah spesialisasinya.
6. Menghindari ambiguitas. Ambiguitas dapat menjadi stimulus yang kuat bagi kreativitas.
Ambiguitas mendorong kita untuk memikirkan sesuatu yang berbeda. Ada contoh
menarik, Jeffrey Erexson seorang entrepreneur mengajukan pertanyaan, “apa itu kulit?”
hampir semua orang mengatakan bahwa kulit adalah jangat binatang mamalia. Erexson
kemudian bertanya lagi, “mengapa bukan jangat dari ikan?” Dengan menghargai
ambigiuitas ia akhirnya menemukan peluang usaha dengan mendirikan Ocean Leather
Inc. Bahkan baru-baru ini anak-anak Yogya malah lebih hebat lagi, yaitu menyajikan tas
dan sepatu dari kulit kaki ayam.Inilah pentingnya ambiguitas.
7. Takut kelihatan bodoh. Berfikir kreatif itu tidak memberi tempat bagi konformitas. Ide-ide
baru jarang lahir dari lingkungan yang konformis.
8. Takut berbuat kesalahan. Orang kreatif dalam mencoba gagasan baru sering
menghadapi kegagalan. Namun mereka tidak melihat kegagalan sebagai akhir dari
segalanya. Kegagalan adalah merupakan biaya belajar untuk sukses.
9. Cepat mengaku dirinya tidak kreatif. Banyak orang merasa dirinya tidak kreatif, karena
mereka menganggap kreatif itu hanya milik segelintir orang.