Anda di halaman 1dari 121

MENGHIJAUKAN KATA-KATA BERSAMA SASTRA

MENGHIJAUKAN DAERAH KITA DALAM KARYA NYATA

BERSAMA KITA LINDUNGI


DAN
GALAKKAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN HIDUP
DAFTAR ISI

Sajak-sajak Kepedulian Lingkungan

01. A.Rahman Al Hakim (ARAska) - Pesta Sebuah Jalan Bebas Waktu Sepanjang 46
- Musim Alam Terzholim Tangisan Waktu Kilometer
- Prasasti Kehancuran Alam - Dendam Sungai
- Tubuh Alam Tercabik - Stasiun Waktu Kilometer Lima puluh lima

02. Abdurrahman El Husaini 18. Eza Thabry Husano


- Negeri Asap dan Kini Aku adalah Lelakimu - Turai Hunjuran Meratus
- Menunggu Hujan Tumpah dalam Puisiku - Siklus
- Meratus Rumah Kita
03. Adjim Arijadi
- Kayu-kayuku Hutan-hutanku 19. Fitryani
- Arus Barito - Sajak di Atas Rakit
- Balada Arutmin di Yaumil Akhir
20. H. Muhammad
04. Ahmad fitriadi F - Sebatung Menangis
- Lelaki
21. Hajriansyah
05. Ajamuddin Tifani - Gunung-gunung Pergi Jauh
- Requiem Meratus - Pekerjaan Memindah Gunung
- Madah Meratus
- Nyanyian Hutan 22. Hamami Adaby
- Bumi Semakin Panas
06. Ali Syamsudin Arsi - Aku Menulis
- Sebamban – Batulicin
- Di Mata Kita Ada Asap 23. Hardiansyah Asmail
- Dendam Hutan - Malam Malaris
- Sebab Aku Bukan Orang Bukit - Meratus Berduka
- Ritus Meratus
07. Andi Jamaluddin AR. AK - Cerita dari Hulu Sungai
- Bagaimana Aku Bisa Membaca
24. Harie Insani Putra
08. Antung Kusairi - Kemusnahan Peradaban Bukit
- Kenapa Banjir Melanda
25. Hijaz Yamani
09. Aria Patrajaya - Dalam Pesawat
- Hutan Kemarau. - Riwayat 1

10. Arsyad Indradi 26. Ibramsyah Amandit


- Etam Sayang Gunung - Jembatan Asap
- Dundang Duka Seribu Burung - Meratus Bertutur
- Tafakur Memandang Waduk Riam Kanan.
27. Imraatul Zannah
11. Bakhtiar Sanderta - Perawanku Telah Pergi
- Meratus, Warisan yang Tersisa - Oh, Pedih Nian ...
- Mantera Terakhir
28. Isuur Loeweng S
12. Burhanuddin Soebely - Ke mana Harus Kami Tanam
- Konser Kecemasan - Ibu, Sebenarnya Hutan Ini Milik Siapa?
- Megatruh.
29. Jamal T. Suryanata
13. Dwi Putri Ananda - Surat dari Kota
- Bumi Menggerutu. - Menangisi Airmatamu

14. D. Zauhidhie 30. Lisa Yuliani


- Hutan - Meratus
- Orang Gunung
31. Maman S. Tawie
15. East Star from Asia - Di Lembah Meratus
- Sajak Orang Pedalaman - Dari Balunan ke Lembah Mantar

16. Eddy Wahyuddin SP 32. Micky Hidayat


- Diorama Bukit Malaris - Hutan di Mataku
. - Reportase dari Kaki Pegunungan Meratus
17. Eko Suryadi WS - Kalimantan Selatan 2030 Kemudian
- Meratus Berduka
33. M. Nahdiansyah Abdi 43. Roeck Syamsuri Saberi
- Tinggal Bersama Maniak - Nyanyian Hutan Larangan
- Tongkang Emas Hitam - Raja gundul

34. M. Rifani Djamhari 44. Roestam Effendi Karel


- Jurnal Kecil tentang Perjalanan di Hutan Meratus - Siapakah Lagi yang Peduli

35. M.S. Sailillah 45. Sahdi Anak Amid


- Hutan Surgawi yang Luka - Hutan Bertutur
- Wajah Telanjang
46. Sainul Hermawan
36. M. Syarkawi Mar’ie - Saat Hujan Bertemu Pasang
- Hutan - Rumahku Rawaku

37. Mudjahidin S 47. Sandi Firly


- Hanya Cermin - Sajak Sebatang Pohon Karet
- Yang Bertahan dan Melawan
38. Muhammad Radi
- Sajak tentang Sungai 48. Shah Kalana Al-Haji
- Risau Rimba Sunyi
39. Nailiya Nikmah
- Pada Sebuah Forum 49. Syafiqotul Macmudah
- Rindu Peri - Nyanyian Bisu sang Bumi
- Sebungkus Cerita untuk Bumiku dan Bumimu
40. Noor Aini Cahya Khairani
- Vignet Kalimantan 50. S. Surya
- Sektor di Luar Statistik - Sajak Burung-burung Negeriku

41. Rahmatiah 51. Taufiq Ht


- Air mata yang Hilang - Selepas dari Hutan
- Pagi yang Menangis.
52. Yuniar M. Ary
42. Rahmiyati - Balada Banjarbaru
- Apa yang Masih Tersisa dari Rindu yang Lelah? - Mega Putih
- Kepada Hijau yang Menangis - Waduk Riam Kanan

53. Y.S. Agus Suseno


- Suara Tanah Air dan Udara
- Kuala
- Air Mata Rimba
A.Rahman Al Hakim

Musim Alam Terzholim


Tangisan Waktu

Bila musim telah semusim jerih


angin lirih merintih perih

Derai air mata hujan suram


genangi daratan raya tenggelam
yang kosong dari kehidupan alam
keragaman buram kelam

Gunung-gunung sambut pilu sendu


Gundah luapkan lahar jiwa jiwa resah ngilu
Abu pekat kelam selimuti hati yang buram hancur
Semburan keruh lumpur longsor mengubur
Luluh lantak harapan retak
Amarah serak teriakan sesak

Luka alam timbun sapu segala yang bernyawa


geliat bumi lantakkan mahligai manusia
nelangsa badai banjir menerpa
teriakan pekik kematian bagai dalam neraka

Hilangnya kerimbunan flora


Hilangnya canda fauna

Kala kering kemarau kerontang


meranggas kehijauan tercabik membentang
api bakar alam amarah keserakahan yang terpampang

Bila musim tiba semusim


hilang harapan masa depan rahim
angan indah kenangan alam lalu
menjadi dongeng saksi bisu

Oleh nafsu pengumpul harta dunia


Oleh keserakahan tamak dunia
Melupakan generasi
Sisakan alam kerak basi

Bila musim jelang semusim


Hati pilu alam terzhalim

ARAska-Banjarbaru, 12 Februari 2006


A.Rahman Al Hakim

Tubuh Alam Tercabik

Paru-paru kian sesak retak tiris


O2 kian menipis miris
Udara ini penuh polusi
Oleh-oleh dari ambisi

Kerongkongan-kerongkongan kering
H2O menjadi asing
Air keruh teracuni
Hasil olah limbah indrustri

Perut-perut melilit lapar terkapar aus


Ladang-ladang layu tanah kurus tak terurus
Kesuburan tak lagi alami
Pupuk kimia racuni bumi

Manusia yang katanya berbudi


Dan punya hati
Mana terima kasihmu
Untuk alammu
Tiap detik apa yang kau hirup raup pernafasan
Hasil fotosintesis nafas kehidupan
Dari pepohonan hingga rerumputan
Tapi kini
Kau cekik lehermu sendiri
Dengan hancurkan rimbunan kehijauan
Gali tambang tambang lubang kuburan
Tebar bisa di sungai dan lautan
Produk industri limbah kematian

Nasib petani di nista


Pikul dosa tuan berdasi di belakang meja
Yang tetap kenyang
Kala rakyat meradang

Telah robek paru-paruku


Bersama denyut nadiku
Tubuh alam tercabik ngilu
Kerindangan yang telah berlalu

ARAska-Banjarmasin, 10 Juli 2006


A.Rahman Al Hakim

Prasasti Kehancuran Alam

Dari alam kita peroleh hidup kehidupan


dari alam kita peroleh kebutuhan
dari alam kita mendapat makanan dan energi
setiap hari
atmosfer daratan perairan menyediakan bahan penunjang
bagi kehidupan makhluk di bumi agar tak lekang
tidak untuk sesaat kandas
tapi selama masih bernafas
selama kita jaga kelestarian dan keserasian alam
namun kebodohan dari keserakahan
tiada lagi peduli akan alam

Lihatlah tumbuh tumbuhan dihalaman cita


ayam dan kucing yang dipelihara
burung yang berterbangan dari pohon ke pohon
dan bernyanyi di waktu pagi memohon
serangga yang suaranya melengking
jengkrik yang bersenandung di waktu malam bising
katak yang bernyanyi simponi alam raya
cengkrama satwa di padang savana
canda fauna di rimba belantara
ikan yang berenang di kolam rasa
geliat buaya di rawa penantian masa
jua sungai dan lautan jiwa
cacing yang hidup dalam tanah hati
dan jamur yang tumbuh di kayu kayu mati
semuanya di bumi ini
serasi dan seimbang harmoni
harmonis kestabilan
ekosistem dalam kelestarian
sampai sistem tuan ciptakan
pemusnahan alasan pembangunan
untuk isi anggaran kantong tuan
cicil bunga hutang untuk gaji tuan
dan kami rumput rumput kecil
kian terpencil
dibiarkan menguning di tanah tanah kian gersang
kering meradang

Ketakseimbangan komponen komponen lingkungan


campur tangan manusia keserakahan
eksploitasi berlebihan
menuai panen banjir kehancuran
angin ribut kemarau kebakaran
jaring-jaring makanan terputus
habitat komonitas populasi kian pupus
tanah air udara suhu iklim gravitasi
gurun hutan hujan hutan tropis hutan gugur hutan rimba kini
tiada lagi dapat beradaptasi
air hujan tak lagi lembutkan kulit bumi
akar serapan telah tercerabut mati
hujan asam dan pencemaran udara
sesakkan dada
cemari air racuni tumbuhan
cemari air racuni kehidupan

Berkurangnya lapisan ozon di langit biru


panas muka bumi kian sembilu
kekebalan manusia dan hewan terganggu
kangker kulit sudah menunggu
inilah
hasil rumah kaca negeri industri
hasil transportasi kita setiap hari
hasil limbah yang di buang tanpa hati nurani

Kelestarian keanekaragaman hayati diambang kepunahan


flora dan fauna menanti kehancuran
anggrek yang indah pun akan menghilang tinggal kenangan
pembukaan lahan pemanenan hasil hutan serampangan
penambangan pembangunan perumahan
pengaspalan jalan di daerah terpencil di sana
oleh rancangan yang tiada terencana
ekosistem yang bersambung menjadi terputus rasa
tumbuhan dan hewan terisolir dalam suatu wilayah lara
inilah
awal mula kerusakan yang kini kian parah berdarah
bila jenis punah tinggallah kisah
hubungan rumit antar jenis ikatan biologi dan perilaku – terpisah
bahkan proses proses daur air dan zat hara
yang menghubungkan tiap ekositem dengan proses kimia
dan geologi akan terpengaruh
jengah terperangah
tanah yang tak subur sakit
merangsang berjangkitnya serangan hama penyakit
dan hati kami yang sakit

Perompak perompak alam pelaku industri berjaya


Penggundulan dan perusakan hutan semaunya
hutan yang kian lenyap merana
boldoser dan truk truk raksasa jarah harta pusaka
untuk pesta tuan tuan berdasi di kursi singgasana

sadarlah !
kami rumput rumput kering merintih
minta langit beri keadilan lingkungan tersisih

sadarlah !
jangan sisakan alam yang telah kurus
pada kami generasi penerus

sadarlah !
bila suatu hutan telah digunduli
mungkin 150 tahun sampai dengan 1000 tahun lagi
kerimbunan mungkin baru akan muncul kembali
tapi kami tiada hidup selama ini
karena tuan tuan telah siapkan lubang lubang kubur
yang menganga di atas bukit dan gunung gunung yang dulunya subur
hanya untuk tambang tambang nafsu perut tuan yang takabur
lubang kubur untuk kami pergi berlibur
di taman taman longsor
pesta air bah hidangan lumpur bubur

sadarlah !
bila kita menzholim alam di sayat-sayat
alam akan membalas dengan qisas yang lebih dasyat
dan tuan tuan yang terhormat
tersenyum selamat dibelakang meja kekuasaan
sementara kami pikul bencana warisan penderitaan

sadarlah !
Pohon pinus terakhir yang kian menguning
daun-daunnya berjatuhan meratapi bumi hening
batang yang tumbang dan rebah di atas tanah kering
yang kian menjadi padang gersang asing
badak terakhir akan tampak jelas hidup menyendiri
merana tiada lagi pasangan birahi

nun jauh di samudera


satwa laut hilang di bawa ombak prahara
tanpa diketahui tiada lagi dapat di sua
dan laut akan selalu nampak menggunung gelombangnya
sembunyikan kegetiran kepunahan hidupnya
dan kami rumput kering mati
serta generasi yang peduli
meranggas hati
karena tuan telah mengukir prasasti
kehancuran alam
nasib bumi yang kian kelam

ARAska-Banjarmasin, 9 Juli 2006

A.Rahman Al Hakim (ARAska) lahir di Sei.Namang, kab.HSU, pada 1 Agustus.


Penyair, pelatih & pemain teater, seni gambar dan kriya, instruktur & aktivis jurnalistik
mahasiswa, BEM-DLM-Himpunan dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
ruang lingkup Lingkungan dan Soial, serta pelatih seni bela diri.
ARAska ini pernah menimba pengetahuan di Pondok Pesantren Darussalam Mtp dan
juga salah satu mahasiswa jurusan Sosek.Pert.Fakultas Pertanian Univ.Achmad Yani
Bjb.
Ia juga Menulis sajak, cerpen, esai: sastra – kebudayaan – lingkungan hidup, yang
dipublikasikan di beberapa media cetak, serta menulis naskah teater/ drama dan lagu
banjar.
Sajak-sajaknya terbit dalam kumpulan sajak bersama Sastrawan/i Kalsel :
Naskah Puisi (2006), Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),
Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006),
dalam buku “kitab kecil awal Hikayat Shahifah – R0H” (2007),
Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008), dan Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008),
Do’a Pelangi Di Tahun Emas (2009).
Aktif dalam pengajaran seni budaya dibeberapa sekolah, salah satu pencetus komunitas
Front Budaya Godong Kelor Indonesia, serta bergiat pula dalam pengkaderan generasi
muda seni di Komunitas Apresiasi Studi Seni Budaya Sosial dan Sastra (Art Partner).
Serta mengisi program siaran Lanting Banjar di salah satu Radio FM di Bjm.
ARAska saat ini berdomisili di Bjm.
Hp.05117722990
email: araska.katalangit@yahoo.com, facebook: araska.kalsel@yahoo.com,
web; http://artpartner.blogspot.com, http://araska-araskata.blogspot.com,
http://araska-araskata.hi5.com.
Abdurrahman El Husaini

Negeri Asap dan Kini


Aku adalah Lelakimu

Matahari pasi di cakrawala


Bercerita tentang sebuah negeri asap
Yang membuat hujan buatan dari butiran-butiran
Air mata anak cucu kami

Matahari pingsan di cakrawala


Bercerita tentang sebuah negeri asap
Yang dicibiri negara-negara tetangga

Matahari sekarat di cakrawala


Bercerita tentang sebuah negeri asap
Yang menyewa pesawat asing
Dari cucuran keringat anak cucu negeri ini
Hanya untuk mengusir kabut

Matahari beku di cakrawala


Bercerita tentang sebuah negeri asap
Yang tak mampu mengusir asap

Matahari lenyap di cakrawala


Bernyanyi tentang negeri asap
Yang menambah derita anak cucu kami

Dan kini aku adalah lelakimu


Yang kalian bunuh pada setiap kemarau
Yang jasadnya menjadi patung kebencian di negeri tetangga
Abdurrahman El Husaini

Menunggu Hujan Tumpah dalam Puisiku

Begitulah kutelusuri jejak-jejak asap


Di lahan-lahan gambut membara
Di hutan-hutan ilalang berkelelatu
Kemarau semakin betah
Hujan semakin sombong
Pada wajah bunda borneo yang penuh koreng malu
hujanMu
aku tak pernah lelah
menunggumu tumpah dalam puisiku

Abdurrahman El Husaini (Puruk Cahu, Kalteng, 1 Januari 1965). Aktivis di komunitas


sastra Forum Taman Hati Banjarbaru ini sekarang menjadi pengajar di SMA Negeri 1
Martapura. Sajak-sajaknya terdapat dalam antologi bersama, di antaranya Taman
Banjarbaru (2006) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Adjim Arijadi

Kayu-kayuku Hutan-hutanku

Kayu-kayu meranti
hutanku hutan hijau pesona tanah tenteram
atap dedaunannya, merindangi lantai-lantainya
beribu satwa, beribu puspa langka

Kayuku kayu meranti


dengar, di tiap tiup angin musim ia bernyanyi
kekayaan yang limpah berseru padaku
terbaca dari surat-surat wenang nini-datu

Ada yang hangat mengalir dalam darahku


saat kuberi kau salam dari ketinggian ini
bergemulung riang kau datang padaku
belederu hijau yang terhampar
hingga ke kaki langit wilayah ini

Kayuku kayu meranti


burung tingang membuka gerbang pagi
pendulang emas di hulu menderaikan pantun
dendang penoreh karet terbit mengalun

Lalu datang tahun-tahun yang menghumbalangkanmu


gelegar gigir cakar keserakahan mencerabuti akar pijakmu
ada sungai yang meluapkan air mata
membanjiri tiap-tiap hati, tiap-tiap dada

Lalu tongkang-tongkang seperti memuat budak-budak dipasung


dilayarkan ke seberang sana
adakah kita sama larut dan hanyut ke muara
setelah Barito, laut menganga
mengaut mangsa

Banjarmasin, 1994

____________

Tingang = Burung Enggang. Menurut kepercayaan kaharingan, burung ini


adalah “Burung Dewa”, burung “alam atas”, seperti “Phoenix”.
Adjim Arijadi

Arus Barito

beratus petani buah dan sayuran


menggeser sebeng kecemasan jukungnya
menyinggahkan kelelahan kapal kelotoknya
dari perjalanan panjang: Tamban – Marabahan
tapi lintas Kuwin tertebat rakit batang meranti
di arus lasak sungai Barito ini

bila jukung-jukungmu sudah menepi


dan pengayuh jadi tonggak penambat di air dangkal
kudengar lagi ayun apan dan kucium harum
asap tanakan nasi karang-dukuh

tapi tercemar tuba menayang harapan adalah air


saksikanlah bianglala karbon dioksida
dan bebauan kasturi sia-sia
menggoda bekantan tua
burung-burung sarindit terbakar lidahnya
mencecap air Barito yang cemar
dan asap hitam
kapal-kapal hitam pabrik-pabrik hitam petrodollar
di hilir di hulu menebar sampar
angin mengucurkan hujan asam sianida
menyempurnakan derita; suara kintung dan kurung-kurung

bagai rintihan; angin membawa angkara ke mana-mana


menerpa lanting dan rumah beranjung para raja
air sawah digenangi tahi minyak dan obat pengawet kayu
hutan gilas-rencah pengaplingan keserakahan oleh
tangan-tangan kekuasaan yang sia-sia disembunyikan
dari pandang dunia; kita ini cuma anak angkat
dari beribu kesempatan yang diluangkan kekuasaan
ah Barito, menangislah ke pangkuan penyair saja
atau diamlah, ada cerita bagus tentangmu di televisi
siang ini

Banjarmasin, 1994
Adjim Arijadi

Balada Arutmin di Yaumil Akhir

Arutmin oh Arutmin
Liang kubur kesengsaraan
Kau tatah emas sepuhan
semegah masjid, gereja, madrasah
kemanusiaan dan jembatan
aspal jalanan
iming-iming boneka mainan
industri usaha
di sebatas liang kuburan
Satui
Kintap
Mulia
Batulicin
Asam-asam
Semenanjung Senakin
Liang kuburmu
Liang tambangmu sungguh elok
Tongkang-tongkang berkemampuan
teknologi canggih
meraup mengangkut
emas hitam penghuni hutan
menumpuk menggunung
di Pulau Laut di Utara sana

Arutmin oh Arutmin
kau angkut pusaka karun
nini datu turunan
dikemas dipajang
di pasaran seantero bumi
North Pulau Laut Coal Terminal
Keren dan Wangi
semerbak cendana orang mati

Ketika puisi datang menghiba


Menata kata setandan dandanan
Berderai air mata
membasahi hati sakit
karena emas hitamnya
menularkan penyakit

Arutmin oh Arutmin
Riwayatmu di awal perjanjian
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Mengibarkan panji-panji Republik ini
Bertepuk dada pongah
dengan apa yang kau sebut Mutu
Kalori Tinggi katanya
kandungan Abu Rendah
tak ada lawan
dongak dagu
Akulah Indonesia

Ledakan bom pemecah bebatuan


Alat berat mesin pengeruk
Pemberai lapisan ampas tak berguna
Lampu-lampu surgawi
menyerusup menularkan
penyakit paru-paru berdebu
ke jantung kehidupan lingkungan
Supremasi danau buatan dan taman
oh indahnya
air yang tak pernah kering
demi kemarau

Arutmin oh Arutmin
dendangmu di irama sarunai
kematian
kau ancam kehidupan
anak cucu Adam Banua
kedahsyatanmu tak sedahsyat Tuhan
kau ciptakan sendiri
hari akhir zaman.

Banjarmasin, 7 Juli 2000

Adjim Arijadi (Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940). Penyair, dramawan, sutradara, penulis
naskah teater, film dan sinetron ini adalah pendiri sekaligus pimpinan Sanggar Budaya
Kalimantan Selatan yang masih eksis hingga kini sejak didirikan tahun 1970-an.
Sajaknya terdapat dalam sejumlah antologi bersama, seperti Air Bah (1970), Jabat Hati
(1973), Jejak Berlari (1974), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Ahmad Fitriadi F

Lelaki
Lelaki itu menuju puncak gunung batu
ditikamnya rembulan
dipadamkannya matahari
dibungkamnya halilintar
maka bagi dia ada pesta suka-cita

Dihirupnya air laut


di lidah rasa manis,
manis hei, air laut di sini rasa manis

Dilahapnya akar, batang, ranting, dan pucuk hijau pepohonan


di badan rasa segar, tubuh jadi subur
subur hei, pepohonan di sini sangat subur

Dibongkarnya isi bumi,


ditelannya bebatuan, walau menetes darah
tapi di nafsu terasa nikmat
nikmat hei, batu di sini sangat nikmat

Lalu, para pemuja menyuguhkan persembahan eksotik


tari telanjang, tetabuhan hingar-bingar, lagu puja-puja
menggeliat dalam aroma dan asap kabut warna abu-abu

Eeei... yaho... yahoo


tari telanjang, tetabuhan, lagu puja-puja
semakin menggila disuguhkan

Eeei... yaho... yahoo


tari telanjang, tetabuhan, lagu puja-puja
semakin membakar suasana
pesta kemenangan

Wahai saudaraku,
Hari ini kemenanganku, kemenangan kita, kemenangan
para leluhur, dedemit, hantu-hantu, dan para jin
Puncak gunung batu telah kita taklukkan
Rengkuhlah kenikmatan segera

Para pemuja pun bergegas


bertebaran, meraup, merampas, menggasak dan
memangsa setiap jengkal kesempatan
Tak ada sisa, semua sudah diberi tanda

Lelaki itu berdiri di atas puncak gunung batu


Rona wajahnya merah darah
Air mata, isak-tangis, rintihan janda musuh dan anak-anak
menggiringnya
siapa peduli
kemenangan sudah di telapak kaki

Lelaki itu berdiri di atas puncak gunung batu


Puas rasa, puas raga, puas angkara
Puas kelaki-lakiannya

Kotabaru, Juni 2005


Ahmad fitriadi F (Kotabaru, 33 tahun silam). Sarjana Hukum Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin dan Magister Hukum Universitas Gajah Mada Yogjakarta ini
sekarang bekerja di Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Kotabaru. Sejumlah sajaknya
terbit dalam kumpulan sajak bersama Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu
Kilometer 55 (2005), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Ajamuddin Tifani

Requiem Meratus
Bagi Joko Pekik

dan engkau pun saksi atas terkelupasnya kerak bumi di meratus


dan siapa yang menjadikan suka
atas kesengsaraan ini, jeritan yang dikirim angin kemari
ke rimba-rimba yang terusir
hingga pamdang ke jauh sana, kaki langit membentang
dari jejak riwayat dedaunan ke kerakusan, bagai mulut gurun
yang tak habis dahaga, siapa pemilik sungai gila, reguklah
kekuasaan atas airnya yang darah itu
apa beda antara tangisan dan burung terakhir dan kau yang lelah
ditebas dalam mimpi yang gundah?
o, pipit yang bersarang di reranting awan-awan
jangan meratap, tapi melawanlah

hidup hanya sejari dari mati, fahamilah bebijian yang semedi


dalam perjalanan menuju jadi di bawah waktu
daun kering yang ikhlas, gugur melepas reranting
luluh dengan roh tanah, meragi kehidupan baru, dan engkaulah
pohon garing milik mula jadi dari hakikatnya burung tingang
yang ditimang musim itu di kolam-kolam hatatai; ah, ibu bumi
tempatnya menyusu, meratus namanya
luasan tanah malai tanggungan elang raja
kemala bagi mamang aruh, sasindin air mata di denting kuriding
istana gading, ditujah oleh duri langgundi, di gantang emas
di gantang intan, luluh ke hati, alahai... sibiran tulang,
meratus yang senantiasa menatap langit
dengan gigil yang sangat kasmaran
dan harapan yang keterlaluan

ketika kau disongsong mimpi buruk, lalu merajah waktu-waktumu


hingga kau tak sempat membaca waktu, lalu kau terlempar
hingga ke jazirah katulistiwa ini, hingga impian bercendawan
o, ning hatala di langit pitu, meratus: titian doa dan harapan
tiang langit tuju mahligai bambang siwara, libas mereka,
pasung rohnya, kita tak berseloroh di hadapan kemanusiaan ini
meratus, jenjang alam atas, tempatku moksa
jandih dan bawuk, menata takdir semesta, muara sungai suara
dan air mata pahlawan simpai delapan, berjaga di tiap sudut
maka, jangan renggut meratus dari cinta dan kasih dicurahkan
di siang di malam tak ada bendera putih dan merah
hanya hitam dan kuning, tanda perlawanan akan menjadi abadi
Ajamuddin Tifani

Madah Meratus

salam kepada meratus, paku dan titian


ke asal mula jadi semesta yang menjadi udara
menjadi batu, menjadi angin, pepohonan dan humus tanah
yang menurunkan kantuk dan tangis kepada anak
yang memuai di delta-delta dan padang sabana yang jadi
bianglala dan gugur dedaunan
dicelupnya kawasan seluas-luas kasih, inilah tanah yang dijanjikan
di padi yang menghampar permadani emas hingga ke kaki langit

salam kepada meratus yang senantiasa hadir di warna darah


kambang ilihi, di janur rumbia di sajian aruh banua
di kelengkapan aruh banih ringan, di sasangga doa
penggugah pintu alam atas
tinggal hanya kepongahan penguasa yang ingin menjadi
ning hatala seperti akhnaton dan amenhoteph,
seperti hamnan dan qorun,
peniadaan hak dan kewajiban atas keseimbangan
pepohonan yang merimba dan bantuan tidak seperti itu
ini cuma kebebasan manusia untuk memilih
menghinakan sehina-hinanya diri yang tanah, yang debu
tujuh harkat lebih rendah dari binatang...

salam kepada meratus, yang menyimpan riwayat perjalanan


dan burung-burung yang tertindas, yang sayapnya patah
di sana-sini; nafas perih pada laskar, masih berdesir
di dedaunan yang berjaga di empat sudut
alam prasangka; makanya, jangan curangi tanah meratus
yang segera (adalah cepat membakar kapas; ini lebih dari itu)
menjadi bara, menjadi nyala
tidak saja didamak sumpit roh ditebas
tapi di jalan mudik dan labuh parangmaya

salam bagimu meratus, lumbung emas-pangiri


mercu penghabisan di tanjung yang lengang
haribaan dendam, bersemedi
larut dalam arus: meragi...!
Ajamuddin Tifani

Nyanyian Hutan

nyanyian kumandang sang matahari


terkait di belukar mimpi gundah burung-burung pagi
berlinangan di dedaun kering, burung terakhir itu
bertanya kepada paku-paku “wahai, mana rimbaku?”
reranting mencakari awang-awang, menagih musim hijau
yang sudah pergi lama ke masa lampau
pohon-pohon ditebas, kayu-kayu dimilirkan
meniang malam, membenam hutan

bukan kepada kelam kerakusan dititiskan, tapi


pada kekuasaan yang tangannya sudah lama membesi
o, paras satwa, paras hutan yang sesegera itu tak berupa lagi
ke mana aku harus riwayatkan
perjalanan keji dedaunan
hutan hanyalah bangkai harapan
yang direncah mesin-mesin peradaban

tekukur kinantan ayam kinantan


berkedip matanya si kunang-kunang
terkubur hutan alahai hutan
senyap rimbanya terkenang-kenang

Ajamuddin Tifani (Banjarmasin, 23 September 1951). Selain penyair juga dikenal


sebagai pelukis dan dramawan. Sajak, cerpen, esai sastra dan budayanya dipublikasikan
di berbagai media massa lokal dan nasional. Sajak-sajaknya terbit dalam sejumlah
antologi bersama, seperti Air Bah (1970), Jabat Hati (1973), Jejak Berlari (1973),
Panorama (1974), Busur Waktu (1974), Jembatan I (1975), Jembatan II (1975), Lalan
(1975), Antologi Puisi ASEAN (1983), Kilau Zamrud Khatulistiwa (1984), Banjarmasin
dalam Puisi (1987), Puisi Indonesia ’87 91987), Festival Puisi PPIA XIII (1992),
Sahayun (1994), Jendela Tanah Air (1995), Mimbar Penyair Abad XXI (1996), dan
Antologi Puisi Indonesia 1997 (1997). Antologi sajak tunggalnya yang telah terbit adalah
Tanah Perjanjian (2005). Penyair ini meninggal dunia 6 Mei 2002.
A. Kusairi

Kenapa Banjir Melanda

Ketika banjir itu datang


kita telah mengetahui
kita pun menyadarinya
Kita tahu ia bakal datang
karena kita telah mengundangnya
sejak lama; bertahun-tahun
Jika banjir ibarat tanaman
maka kita telah menyemainya sejak lama
dipupuk, ditumbuhkembangkan
Sebatang pohon kita tebang
ribuan bibit banjir kita semai
sebongkah gunung diruntuhkan
bagi segumpal keserakahan
berjuta riak banjir kita alirkan
ke tanah-tanah leluhur
tanah anak negeri
tanah yang mengalirkan banjir itu sendiri
Banjir bukan musuh kita
ia adalah sahabat lama
yang datang tiba-tiba
karena kita lupa
undangan itu telah lama terabaikan

2006

A. Kusairi (Rantau, 11 Januari 1959). Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Terbuka. Menulis sajak, cerpen, naskah drama, dan esai, sejak 1979. Sajak-
sajaknya terhimpun dalam antologi bersama Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Jejak
Sunyi Tsunami (2005), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Ali Syamsudin Arsi

Sebamban – Batulicin

melewati batas-batas, persinggahan dan simpangan


cakrawala dan kadang fatamorgana
Batulicin suatu siang hari panas menyengat ubun-ubun
tiang-tiang kapal membongkar muat bolak-balik laut-darat
sebentar lagi kayu kita di hutan habis
(tidak adakah yang menanam untuk gantinya?)

melewati batas-batas cakrawala


malam tadi
penyihir mengubah bakau menjadi tambak
udang yang lentik, udang yang cantik

melewati batas-batas fatamorgana


sambil berebut tanah untuk kuburan keluarga

dari Sebamban melewati persinggahan dan simpangan


Sungai Loban, Betung menjamur petak-petak tambak
sampai ke penyeberangan, sementara di bukit-bukit
hijau berubah coklat

Sebamban, September 1998


Ali Syamsudin Arsi

Di Mata Kita Ada Asap

sementara raung tak pernah membuka hati pada luka


sedang luka selalu menjadi tumpuan amarah bunga

dendam ranting pada cabang


dendam cabang pada dahan
dendam dahan pada batang
dendam batang pada akar
dendam akar pada daun
dendam daun pada luka

tersisa tunggul kayu di sela-sela daun ilalang


bunga putih bergoyang diterpa angin
ngilu hati dan langkah semakin jauh ke dalam
gigil jantung dan berapa sudah memakan korban

di mata kita ada asap


dari gunung dari bukit dari hutan dari rimba belantara

sementara raung tak pernah membuka hati pada luka


sedang luka selalu menjadi tumpuan amarah bunga

di mata kita ada asap dan kita tak pernah sadar


ada sekawanan kijang lewat berkelebat
hilang-lenyap dari tatap serta tangkap

(tak lama lagi turunan dimakan dendam)

Sebamban, September 1999


Ali Syamsudin Arsi

Sebab Aku Bukan Orang Bukit

bila ada yang mempertanyakan siapa aku sebenarnya


maka jawablah
sebab dengan jawaban itu membuka mata dan pikiran
siapa saja, sebab aku bukan orang bukit

aku bukan orang yang tepat untuk melestarikan


hening aku bukan
aku bukan orang yang tepat untuk menjaga adat
leluhur aku bukan
aku bukan orang yang tepat untuk menjernihkan
keruh aku bukan
sebab dengan itu semua akan membuka mata dan pikiran
siapa saja, sebab aku bukan orang bukit

bila ada sesuatu yang harus dipertahankan


tentang apa saja, segala sesuatu yang sudah ada,
bahkan turun-temurun
biasanya aku tidak akan pernah tahu
dan memang tidak akan pernah mau tahu
itu adalah urusanmu;
siapa saja, sebab aku bukan orang bukit

rotan mengecil dan terpencil


damar tak ada lagi di ketiak dahan
ulin hanya menyisakan nama-nama gedung dan jalan
jejak kijang hilang disapu amarah sungai
jantung unggas tercemar karena racun mesiu
serat daging ikan tak lagi terasa manis
gemeretak daun kering di ranting-ranting lapuk

apabila harus ada yang menyusun kembali tulang-tulang


masa silam
agar peradaban mempunyai daya untuk bicara
sebab dengan itu semua akan membuka mata dan pikiran
siapa saja, sebab aku bukan orang bukit

aku orang kiriman


akulah yang membuat pasar di tengah hutan
akulah yang meletakkan harga sebiji gunung
dengan segala isinya
bahkan kepadakulah semua tawaran

akulah yang akan membangun istana di gelisahnya rumputan


dan kerajaan tulang-belulang
siapa saja, sebab aku bukan orang bukit
dan aku orang kiriman, datang sebagai mesin
Ali Syamsudin Arsi

Dendam Hutan

Kata dendam adalah suara yang paling pantas


sejak embun meleleh di ujung-ujung daun melintas sepi
semoga cuaca tak pernah berubah dari prasangka
dan marah memuncak di bukit-bukit
alangkah nistanya langkah-langkah berlumut lembab
walau setiap detak rimba tak pernah mengembalikan
raungan malam
ke bentuk semula sementara gemetar ranting gigil di tikungan
antarbenua entah hanyut sampai di mana bersama perahu
bahkan kapal-kapal berbendera asap sutera

lagu-lagu dan tanah bebatuan


lagu-lagu dan daun berguguran
lagu-lagu dan kijang menghilang
lagu-lagu dan awan retak di kejauhan

Sebentar lagi ia datang


(padahal akal kita tak mampu menjelang)

Sebamban, Juli 1999

Ali Syamsudin Arsi (Barabai, 5 Juni 1964). Pendidikan terakhir S1 Universitas


Terbuka. Selain penyair dikenal juga sebagai aktivis teater, dan pernah bergabung di
Teater Mahi Jogjakarta (1981-1984). Antologi sajak tunggalnya adalah ASA (1986),
Seribu Ranting Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989), dan Anak Bawang (1999). Sajak-
sajaknya juga terdapat dalam sejumlah antologi bersama, di antaranya Bandarmasih
(1985), Banjarmasin dalam Puisi (1987), Festival Poesi Kalimantan (1992), Jendela
Tanah Air (1995), Tamu Malam (1996), Wasi (1999), Bahana (2001), Narasi Matahari
(2002), Reportase (2004), Air Mata Malam-malam (2004), Dimensi (2005), Mendulang
Cahaya Bulan (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Seribu Sungai Paris Barantai
(2006), Taman Banjarbaru (2006), dan Antologi Puisi Komunitas Sastra Indonesia
(2008). Kini menjabat Wakil Ketua Dewan Kesenian Banjarbaru serta bergiat di Forum
Taman Hati, sebagai pendiri dan ketuanya.
Andi Jamaluddin AR.AK.

Bagaimana Aku Bisa Membaca


Kepada anak-cucuku di hari esok

Bagaimana aku bisa membaca angin


kalau pepohonan tidak bergerak, berdaun pun tidak?

Bagaimana aku bisa membaca cuaca


kalau keringatku selalu mengucur?

Bagaimana aku bisa membaca awan


yang menggumpal sepanjang waktu
tetapi tidak ada langit dan laut
yang memberinya setitik air?

Bagaimana aku bisa membaca hujan


kalau angin, cuaca, dan awan tidak bersatu?

Bagaimana aku bisa membaca cakrawala


kalau cahaya matahari
hanya membias di balik pepohonan kering
yang tumbuh di setiap sudut jalan?

Pagatan, April 2004

Andi Jamaluddin AR. AK (Pagatan, 14 Februari 1964). Penyair, guru, dan aktivis ini
sudah aktif menulis sajak sejak tahun 1980-an. Sekarang menjabat Kepala SD Negeri
Rantau Panjang, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu. Buku kumpulan
sajak tunggalnya Kehidupan, Domino, Losmen, Matahariku, Pidato Seekor Kakap, dan
Bersujud. Beberapa sajaknya juga termuat dalam antologi bersama Wasi (1999). ZikZai,
adalah buku puisi tunggalnya yang siap diterbitkan.
Aria Patrajaya

Hutan Kemarau

Hutanmulah yang hilang ketika kemarau


melintas di atas kabut pagi
Bumi retak dan daun musim ini
menyanyi lagu tentang kemarau:
“Panas nian kemarau ini”

Hutanmulah yang hilang ketika mereka terlena


oleh kemurahan suburmu
Dan sungai dan sumur musim ini
menyanyi lagu tentang kemarau:
“Panas nian kemarau ini”

Hutanmulah yang hilang ketika panasmu runtuh


karena ozonmu dicabik mereka yang nanar
Padi yang hampa dan petani beserta anak dan
menantunya menangis
Sawah ladang musim ini
menyanyi lagu tentang kemarau:
“Panas nian kemarau ini”

Hutanmulah yang hilang ketika kobar apimu


melalap keruing, melalap ulin, melalap meranti,
melalap jati, melalap lanan, dan melalap semua apa
yang sebenarnya tak boleh kau lalap
Syamsudin, Rustam, dan semua tetangganya
meratap dengan ratapnya yang bisu
Burung-burung di pohon ulin musim ini
menyanyi lagu tentang kemarau:
“Panas nian kemarau ini”

Hutanmulah yang hilang ketika emas, batu, dan semua


benda berharga lainnya berubah jadi patok kayu
Maka manusia pun jadi batu
Para pendulang musim ini
menyanyi lagu tentang kemarau:
“Panas nian kemarau ini”

Hutanmulah yang hilang ketika penggusuran hak


jadi illegal
Dan menyanyilah lagu tentang kemarau:
“Panas nian kemarau ini”

11 September 1997

* Salah satu baris syair lagu Kemarau, dinyanyikan Gito Rollies

Aria Patrajaya (Banjarmasin, 8 Mei 1962). Penyair, cerpenis, dan seorang guru. Kerap
memenangkan lomba penulisan sajak dan cerpen se-Kalimantan Selatan. Sajak-sajaknya
dimuat dalam antologi bersama Festival Puisi Kalimantan (1992), Gerbang Pemukiman
(1998), Wasi (1999), Cakrawala (2000), dan Narasi Matahari (2002). Sekarang bergiat
di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru.
Arsyad Indradi

Etam Sayang Gunung

Rangka Kenyah
Rangka Kenyah dangsanak etam
Dangsanak puaka puaka di riam riam
Darahnya getah kayu talikan
Rangka Kenyah cucu Damang Ebbeh
Pemimpin legendaris pegunungan meratus
Mengajarkan pada etam
Bagaimana mencintai alam
Mengharamkan kotoran narkoba
Mengharamkan budaya ngerpe
Dan segala tipu muslihat
Mengingatkan pada etam
Jangan terbuai dengan hasil teknologi
Karena etam hanya bisa membeli dan memakai
Tetapi tidak bisa menciptakannya sendiri
Mengajarkan pada etam
Jangan menyusahkan guru guru etam
Jangan bikin pusing masyarakat lingkungan

Rangka Kenyah
Rangka Kenyah putra Indonesia
Telah tuan tuan lupakan
Tanah ladang Rangka Kenyah
Tuan gusur tanpa belas kasihan
Kemudian tuan buat pemukiman trans
Tanpa beretika sama sekali

Lihatlah tuan tuan


Seribu Rangka Kenyah tercampak
Di lembah lembah pengasingan
Duhai berbulu landakkah hati tuan
Rangka Kenyah
Rangka Kenyah putra Indonesia
Tuan tuduh huma berpindah
Sumber malapetaka
Padahal hutan hutan beratus tahun
Dibabat habis untuk kekayaan tuan tuan
Sehingga seribu Rangka Kenyah terusir
Di padang padang perburuan
Duhai sarang kabibitakkah jantung tuan
Tuan tuan
Lihatlah tuan tuan

Rangka Kenyah
Seribu Rangka Kenyah menatap langit
Nyanyian seribu duka
Di puncak puncak pegunungan meratus

Etam cinta tanah banyu turun-temurun


Nyalakan damar di ulu ulu
Bumi menangis diamlah sungai mengalir
Etam batandik di duri rukam
Ambilkan sumpit buluh kuning di gunung ampar
Suruh ikat talimbaran di batu pancur
Apabila pecah bulanai
Jangan dipagat akar kariwaya
Maka pagari ruh dengan tulang etam
Maka pagari ruh dengan darah etam
Tajaki tunggul puaka di riam riam

Dangsanak
Pegunungan meratus inilah
Tumpah-darah etam yang tersisa
Dari titis nenek moyang
Maka janganlah dangsanak bikin
Eksploitasi kawasan hutan lindung
Karena dangsanak menciptakan wabah anak sima
yang berlidah halimatak
yang melatik latik di daun daun kehidupan etam
Dan janganlah dangsanak bikin
Pertambangan batubara di tanah banyu etam
Karena dangsanak menciptakan wabah bumburaya
Yang bertaring babi hutan
Yang mengaduk ladang kehidupan etam
Yang membongkar kubur kehidupan etam
Maka dengarkanlah suara hati nurani etam
Demi Indonesia tercinta

Banjarbaru, 2000

_____________

Rangka Kenyah : Kepala suku/Damang


etam : kita/kami
dangsanak : saudara (sapaan)
puaka : demit penunggu hutan
talihan : sejenis ulin
kabibitak : sejenis laba-laba beracun
ulu : daerah atas, daerah hulu
batandik : menari-nari memanggil dewa
talimbaran : tali dari kulit kayu
bulanai : gentong, tajau (tempayan)
dipagat : diputus
kariwaya : sejenis beringin
tajaki : tancapi
riam : sungai menyerupai air terjun
anak sima : hantu bentuknya seperti tuyul
pemakan jantung manusia
melatik-latik : berjalan dengan badan
halimatak : lintah pengisap darah, bentuknya agak
kecil daripada lintah di air dan hidupnya
di hutan lebat
bumburaya : raksasa pemakan mayat
Arsyad Indradi

Dundang Duka Seribu Burung

Yulan ya lalalin
Dahan mana aku berhinggap
Awan mana aku bersayap
Matahari mana aku berterang
Sawang jadi bayangbayang

Hutan kehilangan pohon


Pohon kehilangan daun
Duka langit luka menganga
Dayak yang nestapa

Pegunungan meratus hancur


Cerobong asap mesin pembabat amuk
Rampok yang mabuk

Damaklah mata angin


Sebab guntung tanpa puaka
Sungai tanpa muara
Kembang ilalang terbang
Kepak sayap yang lengang

Yulan ya lalalin
Ke mana senyap ke mana ratap
Ke mana kepak ke mana retak
Dalam sembilu mesin gergaji

Menyarulah sekuat batubatu yang remuk


Pepohonan yang tumbang
Rumah adat yang terbelah
Dalam perangkap eksploitasi
Dan penambang liar membabi

Terbanglah burung seribu burung


Membusur bianglala
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Dundang duka seribu burung


Adalah duka dayak terusir
Dari tanah pusaka
Darah getah kayu talikan adalah
Darah dayak tumpah dari balainya

Yulan ya lalalin
Hutan beratus tahun
Dibabat habis
Batubara dikikis
Untuk kekayaan tuantuan
Kami tercampak
Ke lembahlembah pengasingan
Terusir ke padangpadang perburuan
Kabibitak
Anak sima
Halimatak
Bumburaya
O apa bedanya dengan tuantuan

Ladang kehidupan
Kubur kehidupan
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Nyalakan damar di uluulu


Meratus menangis
Biarkan darah mengalir
Bertandik di duri rukam
Oi ambilkan sumpit buluh kuning
Di gununggunung batu ampar
Ikat talimbaran
Di pancurpancur
Bila pecah bulanai
Jangan dipagat akar kariwaya
Pagari ruh dengan tulangtulang
Pagari ruh dengan darahdarah
Tajaki tunggul puaka di riamriam
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Banjarbaru, 2002
Arsyad Indradi

Tafakur Memandang Waduk Riam Kanan

memandang permukaan wajahmu begitu tenang


langit yang terapung di atas membiaskan spektrum
kehidupan dan mengalir dari bibir bendunganmu
gemuruh di tubuh sungai
entah berapa kampung, dusun, kebunkebun,
ladangladang dan hutanhutan yang merelakan kau lahir
dengan sempurna di lembahlembah hijau
gununggunung yang menopang tubuhmu
dari segenap penjuru yang tak pernah terdengar keluh
dan orangorang tak pernah sepi datang ke sini
menimba kehidupan yang kau berikan
aku memandang pucukpucuk pinus yang berderai
entah apa terbaca hatimu
semacam memendam ribuan rahasia yang belum pernah
siapa pun mau menerjemahkannya
atau orangorangkah yang tak mau jauh berpikir sampai ke sana
tahun ke tahun senantiasa musim tak menentu
yang selalu lepas dari prakiraan cuaca
dan sungguh kau semakin merenta jua
guratanguratan semakin nampak di keningmu
karena lukaluka ini semakin menganga
aku pernah mengingatkan hal ini kepada orangorang
seperti yang pernah kau ajarkan padaku
tapi mungkin kepercayaan ini begitu purba
di khalayak zaman penuh pesona

masih juga wajahmu begitu tenang


tapi ombakombak di wajahmu terus juga melayarkan
bayangbayang kegelisahanku
pada bendunganmu yang meneteskan darah di mataku
dan gemuruh di tubuh sungai
meluap sampai ke segenap penjuru
karena gunung tak berhutan lagi
bukitbukit batu telah menjadi material jalanan
rumah pemukiman atau gedunggedung bertingkat
membayangkan kau tak mampu lagi menampung
guyuran hujan yang berkepanjangan dan loncatan air
dari lerenglereng perbukitan sedang bendunganmu
kian keropos dimakan zaman
membayangkan peristiwa duka yang tak hentihenti
entah berapa kampung dusun bahkan kota ini
dengan penghuninya akan musnah tiada tersisa

dalam muntahan bendunganmu yang teramat mengerikan


membayangkan sebuah kota yang bernama serambi mekah
dalam riwayat yang menyedihkan

masih tersimpan dalam ingatan


sebuah tangis pertama ketika kau lahir
menulis hari kelahiranmu di tebingtebing gunung
dan menulis perhentian hidupmu di lembahlembah
langit dan pepohonan hijau dan bukitbukit batu
saksi sejarah dari sumber hidup dan kehidupan
tapi juga sumber dari petaka
orangorang selalu meratap setelah bencana
tapi adakah yang peduli mengapa terjadi bencana
setiap aku memandang permukaan wajahmu yang biru
dengan segala pinusmu yang belederu
Tuhan, sesungguhnya Kau tak ada niatan murka
pada negeriku

Banjarbaru, 2001

Arsyad Indradi (Barabai, 31 Desember 1949). Penyair, seniman tari dan musik ini
menyandang dua gelar kesarjanaan dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) PGRI Banjarmasin, jurusan Bahasa Indonesia dan Seni, dan FKIP Unlam
Banjarmasin, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang pengajar mata kuliah seni
tari dan drama FKIP jurusan PGTK/PGSD Unlam Banjarbaru. Karya sajaknya terbit
dalam sejumlah buku kumpulan tunggal, seperti Romansa Setangkai Bunga (2005),
Nyanyian Seribu Burung (2006), dan Narasi Musafir Gila (2006). Sajak-sajaknya juga
dimuat dalam antologi bersama Jejak Berlari (1970), Tamu Malam (1992), Jendela
Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Bentang
Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Bulan
Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja (2004), Dimensi (2005),
Garunum (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), dan 142 Penyair Menuju Bulan –
Antologi Puisi Penyair Nusantara (2006). Kini bergiat di Kelompok Studi Sastra
Banjarbaru dan mengelola penerbitan buku-buku sastra.
Bakhtiar Sanderta

Mantera Terakhir
Mancar Mahatala, Mahatala mancar
Hancur daging, mengalir dalam darah wenang Mahatala
Uria empunya kata Mahatala yang dikata
Siapa yang aku tunduk yang aku dalam daging
Siapa yang aku tunduk yang aku dalam darah
Mustahil Mahatala tunduk kepadamu
Mustahil yang dikata tunduk kepadamu

(BALIAN TUA ITU MENYAPU WAJAH DENGAN


RAJAH TANGANNYA)

Aku yang bercermin di mancarmu lengan langit


Berdiri di batu besar karena teguhnya
Duduk di air deras karena mengalirnya
Laksana pagar air pagar batu
Aku di hulu aku di hilir
Menjaga warisan Datu
Datu gunung Riyut gunung Halau-halau

(BALIAN TUA BERDIRI KAKI TUNGGAL


LALU DUDUK JIPUK)

Siapa yang datang lain dangsanak yang datang


Jangan percaya kucapa rayuan sangkala
Sangkala makan daging minum darah kita
Bunyi janji-janji bukan janji Mahatala
Yang ada pada kita bunyi gemerincing kejujuran
Yang ada pada kita giring-giring keadilan

(ORANG-ORANG TEGANG MEMANDANG BALIAN TUA)

Tanda nanti bumi lemah


Tinggal ilalang terbangkan lembukut terbangkan
Bumi jadi hitam hangus dibakar nafsu kuasa
Tidak ada tersisa buah-buah hutan, tidak ada
Mata mati hati mati, jasad kita terpenjara
Nurani kita terluka
Tanda nanti bumi juga terluka, bumi kita
Di sini sudah tak ada apa-apa

(BALIAN TUA MENGHEMBUSKAN NAFAS


MANTERANYA TERAKHIR)

Uria empunya kata mahatala yang dikata


Tidak tunduk kepadamu kecuali kehendaknya.

_____________

dangsanak = Saudara
Kucapa = Orasi
Bakhtiar Sanderta

Meratus, Warisan yang Tersisa

Apakah para pemegang amanat belum jera-jeranya menyantap dusta


Ketika sejarah di tangannya penuh dengan luka-luka bernanah
Omong-omong kosong, orasi-orasi tentang kemakmuran,
duh lelahnya mendengarkan takbir mimpi-mimpi itu
Lalu tanah-tanah, hutan-hutan, gunung-gunung, lembah dan
sungai-sungainya sudah habis diangkut ke atas sana
Propaganda kemakmuran itu terus saja dan tak pernah berhenti
sampai kini
Ketika masih terdengar raung tangis anak-anak kurus telanjang
Karena ibunya mati kelaparan
Karena bapanya tersungkur mati ditembak ketika masuk
hutannya sendiri sampai kini
Ketika berkecamuk cemas dan harapan:
“Meratus, warisan yang tersisa”

Apakah para pewaris cuma dia, cuma mereka, cuma orang-orang itu
Ketika rakus dan tamak bersembunyi di balik panggung birokrasi
Duh, lelahnya generasi-generasi dididik supaya bisa digiring
Sambil mulut dibungkam, lalu Meratus pun digadaikan
dan seisinya, seludesnya diangkut ke sana
Sebagian dan sebagian untuk para penggadai
Kebodohan macam apa, macam mana ketika anak-anak digilas sejarah
Sejarah orang-orang gila!

Kaum dusun-dusun di kaki Meratus mengapa kehilangan kepercayaan


Upacara doa tak mempan
Dan sampai suatu ketika:
Desa-desa hanyut bersama Balai Adat
Hanyut pula bunga Lilihi
Gendang sulit ditabuh para perempuan
Gelang Hiyang menumpuk di Lalaya
Karena para Balian ditidurkan janji-janji
Dan para anak muda mereka hanyut juga ke muara
Menumpuk di bawah jembatan

Banjarmasin, April 2000

Bakhtiar Sanderta (Awayan, 4 Juli 1939). Sarjana Fakultas Keguruan Unlam dan
mantan Kepala Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (1985-1995) ini menguasai
hampir semua cabang seni, khususnya seni tradisional lisan Kalsel, seperti mamanda,
lamut, bakisah, dan wayang gong. Selain sajak yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia
dan daerah (Banjar), ia juga produktif menulis cerpen berbahasa Banjar, pantun, dan
naskah drama sekaligus menyutradarainya. Kumpulan sajak tunggalnya Pasar Terapung,
Telabang Loksado, Bunda dengan Lentera di Tangan, dan Pohon Maksiat. Sajak-
sajaknya ikut dimuat dalam berbagai antologi bersama, seperti Panorama (1974),
Dengarlah Bicara Kami (1984), Kelahiran Sang Cahaya (1985), Banjarmasin dalam
Puisi (1987), Festival Puisi Kalimantan (1992), Jendela Tanah Air (1995), Puisi Banua
Banjar (1998), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Tahun 2008, menerima
penghargaan dari Pemerintah RI melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
sebagai maestro seni tradisi. Kini bergiat di Lembaga Budaya Banjar. Penyair ini
meninggal di Banjarmasin, 6 Maret 2008.
Burhanuddin Soebely

Konser Kecemasan

-- siapakah mereka yang menyesap sanginduyung


menaburkan bau bunga bau cendana
di petanahan purba wadah semaian asa? –

tak ada sahutan. Anak-anak balai bilaran


gelimpangan di lantai, dihempas musik rak-rak-gui
yang muncul dari keganasan chainsaw

bahkan dalam tidur pun musik itu terus mengalun


bersabung dengan raung buldoser erang eksavator
derak loader deru tronton gemuruh ratusan truk
mencipta konser kecemasan dan pemandangan senjakala

lalu bagai kupu-kupu bersayap tunggal


anak-anak itu beringsut merubung lalaya

-- iiii...laaahhh
batang tajunjung batang sasangga
daunnya maharing langit
iii...laaahhh
di langit bajunjung kaca
di tanah barunta anggit --

“ya, apang, ya, umang


apalagi yang tersisa
di mana lagi kami semaikan asa

hutan-hutan tiada
huma-huma tiada
tanah-tanah rekah
mengalirkan nanah
pancur-pancur jelaga
sungai-sungai berbisa

ah, apalagi yang bakal terban


di mana letak keadilan”

perempuan-perempuan berambut putih terjurai


mengais sisa tangis

“jangan bertanya tentang keadilan, Diyang


karena jiwa mereka telah kering
karena mereka adalah bangkai
yang berkisar di antara angka-angka
yang sungainya cuma kerakusan
yang muaranya cuma perasaan
ketakcukupan akan sebiji dunia

dan kita tak lebih dari binatang korban


yang digiring ke altar persembahan
atas nama kemakmuran
tapi jangan menangis, Diyang
kita bukan batu yang bisa digaris-tepikan
kita akan kibarkan bendera perlawanan”

-- siapakah mereka yang merobeki rahim ibu bumi


dan mengangkuti belulang moyang kami? –

tak ada sahutan. Para balian balai bilaran


batandik mengelilingi lalaya, menating mangkuk merah
berisi air mata rembulan, santan kecemasan, darah perasaan

-- iiii...laahhh
langit baputar langit baguncang langit baradin
tanah bargana bakumpang hati carincing gading
basamban darah batunjuk parang batunggang angin –

“awas, jangan papas hutan kami


nanti aku amuk aku tuang wisa ke pembuluh raga
awas, jangan ganggu sorga kami
nanti aku sumpit aku damak aku kirim parang maya
jangan tuang nila jangan bawa bala
amukku amuk sukma amuk maya amuk sangkala
selusupku selusup datu selusup tak berwaktu
jariku jari pahat jari-jari tombak
mataku mata pisau mata-mata mandau
tiupku tiup puja tiup mantera-mantera

awas, jangan papas hutan kami


jangan ganggu sorga kami
aku ada di sukma burung di sukma gunung
aku ada di sukma bayu di sukma kayu
aku ada di sukma batu di sukma datu
mengintai selalu”

-- siapakah mereka yang menyesap sanginduyung


menebarkan bau bunga bau cendana
merobeki rahim ibu bumi
dan mengangkuti belulang moyang kami? –

tak ada sahutan. Pertanyaanku membentur jidat


para birokrat yang terlilit utang pada konglomerat

____________

1 salah satu mantera Balian Dayak Meratus


2 salah satu mantera Balian Dayak Meratus
Burhanuddin Soebely

Megatruh

kediaman itulah yang membuka jalan


di sisi pembaringanmu. Kerlip lampu damar
telah menyambut padam. Dan kau pun menjelma
kenangan, beterbangan di antara doa hutan
kepak sayap burung, gunung yang menjulang

“ sepinggan darah, o, pembuka kata


sambut tetamu ‘tuk bernaung letih
jangan marah, o, kembara maya
kuantar kamu ‘tuk ke gunung putih

Diwata kambang ‘rang cakap malangkapi panggung


Panggung tapusing panggung taputar
Panggung panyambutan maut
iiii...laaaahh

bentara kanan, bakar kemenyan


bentara kiri, ambil lilihi
siapkan bekal dan sesajian
sebelum jarak kami tapaki “

masihkah kau menghitung hari, menjumputi


pecahan bulan di wajah sungai? Atau barangkali
kau lagi termangu menatap langit
yang asing, hutan yang asing, bebukitan
yang asing? Aku tak tahu, cuma memandangi
kaku tanganmu mendekap tingang dan naga
yang terpeta di sarung mandau

“ tabuh gendang, bentara kanan


tiup serunai, bentara kiri
nyanyikan aku kidung perjalanan
tutur pengantar ruh si mati

iiii...laaahh
Nining Bahatara
Urang panjanji maut panjanji nyawa
Di ruang sungkul di ruang balai

ke gunung putih ke gunung putih wadah tujuan


ke gunung sandaran hari sandaran bulan
jangan menoleh jangan menoleh waktu berjalan
kita ‘kan lintasi hutan berbuah kutukan “

perlahan kusintuh tanganmu. Barangkali untuk menegaskan


ketiadaan sekaligus keberadaan. Barangkali juga sekadar
ucapan selamat jalan yang tak terkatakan

“ iiii...laaahhh
panjampaian janji panutusan hajat
maut dunia maut karama
sambut ka Nining Raja Kuasa

ke gunung putih ke gunung putih wadah tujuan


ke gunung sandaran hari sandaran bulan
ke negeri tak ada siang tak ada malam
ke negeri berpasir intan berumput manikam “

Loksado, 2004

_____________

1 salah satu mantera Balian Dayak Meratus


2 tingang = enggang
3 salah satu mantera Balian Dayak Meratus
4 salah satu mantera Balian Dayak Meratus

Burhanuddin Soebely (Kandangan, Kabupten HST, 2 Januari 1957). Sarjana FISIP UT


jurusan Administrasi Negara, kini bekerja di kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Buku sajak tunggalnya yang sudah terbit adalah
Palangsaran (1982), Patilarahan (1987), dan Ritus Puisi (2000). Antologi bersama yang
memuat sajak-sajaknya antara lain Puisi Indonesia ’87 (1987), Festival Puisi XIII (1992),
Wasi (1999), La Ventre de Kandangan (2004), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Penyair, cerpenis, novelis, esais, penulis naskah drama, dan aktivis teater ini sekarang
bergiat di Posko La-Bastari yang bermarkas di kota kelahirannya, Kandangan.
Dwi Putri Ananda

Bumi Menggerutu

Aku sudah tua


Dan aku lelah menopang kehidupan manusia
Tak ada yang peduli
Umurku tak lama lagi
Mengapa aku tak jadi langit saja?
Tak ada yang pernah menjamahnya
Ia hidup tenang di atas sana
Kebisingan yang selalu mendera
Badanku rusak, lubang perutku semakin dalam
Perang menghancurkanku
Keserakahan manusia membuatku miskin
Planet-planet tak lagi mengagumiku
Mereka berbalik mencibirku

Banjarbaru, 5 Agustus 2004

Dwi Putri Ananda (Pamekasan, 10 Februari 1987). Alumni SMA Negeri 1 Banjarbaru
ini di samping produktif menulis sajak juga aktif berteater dan musikalisasi puisi. Sajak-
sajaknya diikutsertakan dalam antologi penyair Banjarbaru Bumi Menggerutu (2005).
Kini bergiat di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha.
D. Zauhidhie

Hutan

Bidang dadanya dan berbulu


Ubun-ubun bertudung kabut sarang labah-labah
Mulut menyuap gelap. Lembab
Kaki-kaki batu-batu menggerundul
Pehong. Tidak melunjur ke laut
Tebing-tebing itu bagai naga yang berendam
Sebentar mengelepak kelelawar ujung sayapnya
mengibas cahaya matahari yang tembus di daun pecah
Batang-batang pohon besar-besar
bercacar. Tegap kukuh bagai menyumbat langit bakal runtuh
Sungguhlah tua bangka
Adakah harimau di sini? Ada ngaum dedaunan berlaga
Ada desingan bagai jet. Apa itu kumbang sedang menyimbat?
Bukankah kota yang benderang itu
Dahulu tempat binatang-binatang kelana dan bercanda
Adakah beruang adakah pelanduk adakah kijang
Kulit bumikah yang mengelupas. Lalat-lalat yang lapar
Adakah si anu di sini
Hoi! Hoi! Sipongang menggelantang
Hoi!
Hoi!
Di sini aku bisa telanjang. Tak ada yang menyindir
Di sini bisa berteriak nyaring-nyaring. Di sini berguling-guling
enak sekali biar gatalan
Hoi! Hoi!!
Hoi! Hoi!!
D. Zauhidhie

Orang Gunung

Aku orang gunung karena lahir di gunung


Aku berhati sejuk karena gunung itu batu
Aku bahagia di gunung tiada resah
Karena gunung hatinya putih

Aku orang gunung sederhana sekali


makan nasi harum ikan kailan
lauknya pucuk-pucukan
Aku orang gunung lugu sekali
hujan turun berpayung daun keladi

Sesekali karibku membawa turun


Katanya itu kota, kataku itu hutan
banyak perampok dan pembunuhan

Aku orang gunung kembali ke gunung


Di gunung kami tak ada itu
Kami damai, pintu jendela terbuka-buka

Jangan ganggu gunung jangan hina kami


nanti kalian lapar dan bisa mati
Nanti aku bisa murka
Aku titisan batu tahan pahat
Aku bisa menjelma jadi balian
bertandik seputar langgatan
sangkar-sangkar dan kindung
Bila mengepul asap dupa menyan
Melayang aku
Hah – hah – hah
Hih – hih – hih
Huh – huh – huh
Bisa kuradang, kudamak, kusumpit, kuparang maya
Puh!
Berhamburan sangga-sangga
Melayup racun-racun
Puh!
buh
Rubuh!
bah
Rebah!

D. Zauhidhie (Muara Teweh, Kalteng, 24 Agustus 1934). Menulis sajak, cerpen, esai,
dan naskah drama. Antologi sajaknya yang telah terbit adalah Imajinasi (1960) dan Hari
Sudah Senja (1986). Antologi bersama yang memuat sajaknya, antara lain Perkenalan
Dalam Sajak (1963), Pesta Seni 1974 (Dewan Kesenian Jakarta, 1974), Festival
Desember (DKJ, 1975), Tanah Huma (Pustaka Jaya, Jakarta, 1978), Antologi Puisi
ASEAN (DKJ, 1978), Temu Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Tonggak II (PT. Gramedia
Widya Sarana, Jakarta, 1989), dan Festival Puisi Kalimantan (1992). Penyair ini
meninggal di Kandangan, 12 Juni 1984.
East Star from Asia

Sajak Orang Pedalaman

ketika pohon-pohon itu ditebang


tubuh kamilah yang luka pertama kali
ketika pohon-pohon itu tumbang
rumah kamilah yang ditimpa pertama kali
kehidupan hijau dahulu yang kami dambakan
tanda sebagai manusia dari dunia bebas
atas nama kemanusiaan telah disingkirkan
dan ketika pohon-pohon itu diperjualbelikan
kamilah yang terakhir kali merasakan bantuan

ketika sungai-sungai itu meluap


air mata kamilah yang mengalir pertama kali
ketika sungai-sungai itu kering
tenggorokan kamilah yang mati pertama kali
kami tak dapat bicara tanpa tenggorokan
dan kami memang tidak memiliki mulut tenggorokan
sebagai ganti rugi semua yang kami dambakan
atas nama kemanusiaan telah disingkirkan
dan ketika sungai-sungai itu meminta korban
kamilah yang terakhir kali merasakan bantuan

bila tubuh kami hanyut menjadi cerita


bila rumah kami hanyut menjadi cerita
hanya air mata anak-cucu yang dapat kami sisakan
dan ketika semua itu menjadi pilu cerita
kamilah disebut penyebab pertama kali
alasan terakhir atas nama membangun kemanusiaan

Banjarbaru, 1990

East Star from Asia, adalah nama pena dari Qinimain Zain (Kandangan, 21 Mei 1965).
Sarjana Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru juga dikenal sebagai ahli strategi dengan
istilah ‘paradigma TQZ (Total Qinimain Zain)’. Menulis sajak, cerpen, esai, dan opini
sejak tahun 1980-an. Beberapa sajaknya dimuat dalam antologi bersama Taman
Banjarbaru (2006).
Eddy Wahyuddin, S.P.

Diorama Bukit Malaris

Berjalan meniti tapak ke bukit Malaris


Ditemani kemesraan angin membagi suara
Kabut mengulur makna bunyi dan aksara
Menyurutkan keyakinan menjadi mati rasa

Riam diam terkurung dalam bilik muram


Memohon pemukiman anak pribumi tetap lapang
Karena selalu akan ada yang lahir di sini
Segala peradaban hidup tanpa tarian perang

Sesekali langkah kita terjaga oleh mantera


Melihat bayang dunia tersungkur ditusuk belati trauma
Doa-doa tak mampu lagi menjelajahi jalan darah
Seperti biasa hal ini membuat mulut terdiam

O, jangan hancurkan kepercayaan alam


Di antara gerak arus menyesatkan pikiran
Peliharalah hidup bukan sekadar nasib
Bagai seorang bayi merindukan payudara ibunya

Sekarang biarkan nyala obor itu tetap terpasang


Biar pula kupu-kupu datang menyerbuki kembang
Bumi kini telah luka, hitam, berjelaga
Tetap berdiri tegak perkasa:
Menuding matahari!

Bukit Malaris – Loksado, 2003

Eddy Wahyuddin SP (Martapura, 20 April 1957). Pendidikan terakhir di Fakultas


Pertanian unlam jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Selain sajak juga menulis cerpen,
naskah drama, dan esai, juga aktif berteater dan musik. Buku sajaknya yang telah terbit
adalah Ketika Bulan Jatuh (1991), Gerhana Separuh Bayang (1991), dan Epigram Rindu
(1992). Antologi bersama yang memuat sajak-sajaknya adalah Siagra Milir I (1980),
Siagra Milir II (1981), Titian Alit (1982), Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi
(1991), Festival Puisi XIII (1992), Festival Puisi Kalimantan (1992), Festival Puisi XIV
(1994), Jendela Tanah Air (1995), Tabur Bunga Penyair Indonesia dalam Setengah Abad
Haul Bung Karno (1995), dan Wasi (1999). Sebagai politisi, kini ia berkiprah di
kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kalimantan Selatan.
Eko Suryadi WS

Meratus Berduka

pergantian abad milenium


warnakan kedukaan
meratus dilukai
dilukai
air matanya mengaliri
melarutkan balai-balai
tandik babalian
tihang manteraku
selaput kabut
sungai dan hulunya

meratus berduka
satwanya menangis
meratusku berduka
ketika kemerdekaan dihanyutkan

kita menyaksikan dunia kecil


paru-paru dunia
dihapuskan dari peta dunia
kita pun melawannya
karena kita sedang dipersiapkan dalam sebuah kubangan
padang ketiadaan
kuburan peradaban

meratusku berduka
meratusku terluka
meratusku
ketika burung-burung meninggalkan sarangnya

Kotabaru, April 2000


Eko Suryadi WS

Pesta Sebuah Jalan Bebas Waktu


Sepanjang 46 Kilometer

ayo, bunyikan musik dari gelombang waktu


hutan-hutan yang kini tidak teduh lagi
kita giring peristiwa pada sebuah pesta ulang tahun kota ini
di jalan bebas waktu sepanjang 46 kilometer

dari suasana serba seremonial


diupacarakan sebuah pesta
oleh kita – untuk kita – tapi, bukan milik kita

musik laut telah diantar para nelayan


musik hutan telah digergaji para pengembara
musik sungai telah ditenggelamkan sampah dan limbah
musik pantai telah disusutkan para pengayuh
musik kota telah diupacarakan
burung-burung pemakan bangkai

di jalan bebas waktu


kita buat pesta sendiri
oleh kita – untuk kita, tapi mestinya juga
milik kita
kota yang selalu menyapa, jangan besar kepala
simpan keramahan itu di almari kepercayaanmu sendiri
aspal yang menawarkan ketelanjangan,
jangan membuatmu berkaca
simpan wajahmu rapat-rapat ke dinding mimpi

gedung-gedung agung, pagar besi, jeruji keangkuhan


bank-bank mengangkang, kantor-kantor berhati dingin
ngayau membawa batu dan buih ke negeri di awan
lihat, iklan-iklan yang menaburi jiwa-jiwa
dengan kemabukan
kalkulator menunggu namamu di toko-toko
kita menyerahkan kemabukan dengan sejumlah uang
pemandangan menjadi tidak bertelinga
eksistensi menguap rahasia hidup
betapa dungu
kita menyerahkan nurani ke instalasi industri – birokrasi
tanpa tabel harga yang jelas

betapa kita masih menyuapi kehidupan


dengan telapak tangan sendiri
sementara orang-orang memanfaatkan teknologi
siasat baru dengan kayuhan besar
bandingkan telapak tanganmu dengan excavator
dan pukat harimau
kita rasakan
bumi, tanah air, tumpah darah ini
menjadi kerontang, bongkok dan agak bugil

kita masih asyik menata kehidupan dengan sendi-sendinya


kesenian dengan renda-rendanya
sawah-sawah, kebun rakyat, lahan masa depan
menjadi telaga real estate, pabrik-pabrik
gedung-gedung, pir hutan industri
semua yang serba menjanjikan
mengusir para pemukim keterasingan

ayo, bunyikan musik untuk pesta kota ini


sepanjang 46 kilometer jalanan bebas waktu
kita renggut renda-renda usang
biarkan pemandangan itu bertelinga lagi
dan kota menjadi miliknya sendiri

Kotabaru, 1996
Eko Suryadi WS

Stasiun Waktu Kilometer


Lima puluh lima
Di stasiun waktu
Kilometer lima puluh lima

Hamparan senja di batas laut, pemandangan itu


Senantiasa kita jumpai dari waktu ke waktu
Bakau mangrove kehilangan akar tanahnya
Satwanya dihalau gergaji
Ke mana perginya udang dan iwak belanak

Sebatung kehilangan ulin dan meranti


Meganya diusir chainsaw dan para pengembara
Ke mana perginya pilanduk dan tupai-tupainya

Ke mana perginya mereka

Di stasiun waktu
Kilometer lima puluh lima
Kita menjual mimpi
melupakan doa dan kasih sayang para leluhur
hutan telah kita punahkan
rumah-rumah kita gergaji
sungai-sungai kita sempitkan kuburnya
kota kita tenggelamkan

akan ke mana perginya kita

di siring laut pada suatu pagi


ketika waktu menghantar kota ini pada kilometer lima puluh lima
kita menyaksikan sebuah pesta
kita rayakan dengan mata terpejam
kita menyaksikan sejarah hitam putih
di semangkok bubur ayam yang siap disantap anak-anak kita
pada setiap sarapan pagi
inikah pewarisan itu

Kita sudah semakin tidak paham dengan diri kita sendiri


isyarat alam kita simpan di almari
betapa dungu hati kita, menisbikannya
kesaksian ketidakberdayaan ini
menunjukkan bahwa kita yang pongah ini ternyata tolol
kedukaan yang kita ciptakan seperti tanpa salah
alam telah kita haru-birui
kita lukai pohon
kita buldoser mimpi tanah
kita tenggelamkan masa depan

esok pagi kita harus siap berlarian

Kotabaru, 2005
Eko Suryadi WS

Dendam Sungai

kau ambil ruhku dari hulu hingga muara


kemerdekaanku kau rebahkan
dengan kesewenang-wenangan

kau sempitkan rongga dadaku


dengan bangunan-bangunan
jembatan yang salah konstruksi

kau usir satwa-satwa dari pangkuanku


dalam pengungsian tanpa batas
limbah dan kotoranmu menggiringnya
ke padang kepunahan

kau ambil kemerdekaanku


dengan kesewenang-wenangan

padahal aku adalah kehidupan


jika aku bukan lagi kebutuhan
kan kukirimkan dendamku
kan kutenggelamkan kesemena-menaan itu

sebab keangkuhan cuma sebutir pasir


yang siap kusapu dengan banjir
akan ke mana kau berdiri
aku akan menangkap kakimu

Mei 2000

Eko Suryadi WS (Kotabaru, 12 April 1959). Lulusan pasca sarjana Universitas Dr.
Soetomo, Surabaya, dan sekarang bekerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Kotabaru. Buku sajak tunggalnya yang telah terbit adalah Di Balik Bayang-bayang
(1982), Sebelum Tidur Berangkat (1983), dan Di Batas Laut (2005). Sejumlah sajaknya
juga termuat dalam antologi bersama Dahaga – B. Post 1981 (1982), Ulang Tahun
(1984), Tamu Malam (1993), Kesaksian (1996), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000),
Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima puluh lima (2005),
dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Kini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia
(KSI) Kabupaten Kotabaru, sebagai Ketua.
Eza Thabry Husano

Turai Hunjuran Meratus

Musim tak lagi lurus mengemudi mahatara


di antara bukit dan lembah. Tanah ladang tak mampu
membangunkan penghuni balai serta menghidupi banua
Hunjuran Meratus. Kembang-kembang hangus
Padi pun mandul tak bunting-bunting
Burung-burung tak bersarang

Cadas leluhur benar-benar jadi batu


Kuburan leluhur jadi batu
Tahi cacing membatu
Beratus mulut tengadah bersatu
menuruni tangga balai rumah adat menuju mahatara
Balian sang perantara menunjuk ke langit
“Hai Ning Diwata, hai Sangiyang
Baturai guruh baturai guntur
Runtuhkan rintik runtuhkan hujan”

Adakah runtuh, di antara bukit dan lembah


Selain azab dunia?

Jarang terlihat orang menghantak-hantak asak


manugal tanah ladang di gunung
dan cericit burung-burung

Sang Balian tidaklah Kuasa


menghijaukan Meratus menghijaukan banua
Beratus mulut tengadah tak bisa dibantu
Setelah kutatap Mikail berdiri pihak Ku
“Istiqa, Istiqa”. Hud pun berseru.

1983
Eza Thabry Husano

Meratus Rumah Kita

meratus denyut jantung matahari dan sungai


degupan banua ke timur ke barat di pembuluh
hutan dan mineral.
jangan tinggalkan meratus, cuma setangkup jantung kita
ketika semua jatuh hati tergoda batubara
meratus rumah kita, jendela dan air mata rumah balai
suku dayak bukit yang kehilangan halaman pembangunan
untuk pulang.
tuahnya dilipati kabut lalu-lintas peradaban
burung-burung menghitamkan sarang, kembang-kembang gunung
menggagap irama wanginya dari kepulan asap rimba zaman
tanah tugalan, lereng bukit, tepi sungai, mata air
dicabik-cabik beruang pengusaha
tiada pula kelestarian menjadi rupa.

amsal pengembangan usaha telah tuli jeritan lingkungan


dan kemanusiaan.
telah ditulikan yang seharusnya di telingakan
telah dibutakan yang seharusnya di matakan
tanah pijak kehilangan peta kata-kata
ombak kemanusiaan tak lagi menjadi daya
tak terdengar lagi pada lagu manusia
tembang manis satu hujan satu gerimis
rekah kelopak batu yang satu!
tangan-tangan batu mengusik benteng mata rantai timur-selatan
bumi meratus kiamat dilantak paku-paku tanpa kepala
dalam perjudian manusia.
bencana pun tiba tak pernah berpura-pura, katamu.
kuuurr sumangat kuuurr sumangat kuuurr sumangat...
kupanggil-panggil jiwa dupa kehidupan, sejuta bukit leluhur
hempasan sejuta jeram batu-batu riam, lanting-lanting
peradaban, tapi kabut jatuh berabad-abad.

jangan usik setitik api pun, meratus!


nyala mengapung jutaan belati
jangan usik meratus
jangan jamah meratus
kutiup damak racun – mati tak peduli.

Banjarbaru, 2000
Eza Thabry Husano

Siklus

Kukenali daun dalam putikku


Di kerimbunan pohon menjulang
Di ganggang sekian masa
Menatap keluasan langit tiada tara

Dari putik tumbuh melebat


Menelusuri tangkai dan daun
Memikul makna batang, akar-akar
serta segumpal tanah
Pucuk-pucuk pun berseri

Pengembaraan pohon menjulang


Tumbuh kemudian tumbang
Dari wajah tanah roboh ke tanah
Ciptaan keluasan langit tiada tara

1985

Eza Thabry Husano (Kandanga, Kabupten HST,, 3 Agustus 1938). Menulis sajak,
cerpen, naskah drama, dan esai. Buku sajak tunggalnya Rakit Bambu (1984), Surat Dari
Langit (1985), Clurit Dusun (1993), dan Aerobik Tidur (1996). Sejumlah antologi
bersama juga memuat sajak-sajaknya, antara lain Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat
(1982, antologi berdua dengan Hamami Adaby), Festival Puisi Kalimantan (1992),
Jendela Tanah Air (1995), Getar (1995), Getar II (1996), Bangkit III (1996), Gerbang
Pemukiman (1997), Wasi (1999), Datang Dari Masa Depan (1999), Cakrawala (2000),
Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Narasi
Matahari (2002), Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), La Ventre de
Kandangan (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman
(2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Perkawinan Batu (DKJ, 2005), dan
Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Kini bergiat di komunitas Kilang Sastra Batu
Karaha yang didirikannya sejak 1996.
Fitryani

Sajak di Atas Rakit

Kurangkai sajak ini di atas rakit


Setelah angin tanpa irama
Setelah hujan tanpa suara
Mengguyur lorong, kebun, dan sawahku
Menggenang pondok atap rumbia
Peraduan anakku yang mati tanpa keranda
Tanpa kuburan berhias nisan juga taburan bunga kenanga

Kurangkai sajak ini di atas rakit


Ketika air mulai membukit
Melaut nestapa sederas air mata
Kukayuh sendiri mencari bangkai anakku
Dengan kayuh tangan ini, langka

Nak, kau harus tahu


Merekalah yang menenggelamkanmu
Seiring musnahnya kayu jati dan pohon meranti
Yang ditanam kakekmu dengan siraman darah dan keringat
Yang ditebang penjahat berkawan aparat

Nak, kau harus tahu


Ketika sampai pada bait ini
Kampung dan pondok kita benar-benar tenggelam
Rakit ini makin melaju
Selaju kata menyambangi penyair
Yang dirangkai bagi mereka
Yang tak punya hati nurani

Fitryani (Banjarmasin, 24 April 1977). Menyelesaikan pendidikan di FKIP Unlam,


Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang berstatus sebagai guru di SMA
Negeri 1 Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalsel. Sajaknya dimuat dalam antologi Kau
tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih tak Bersebab (antologi pemenang lomba
penulisan puisi se Kalimantan Selatan, 2006).
H. Muhammad

Sebatung Menangis

Pedih perih
Kubawa berlari
Berlari tak punya kaki
Napas pun tiada
Karena aku hanya
Tanah yang menonjol
Dari perut bumi
Temanku ada
Rumput semak belukar pepohonan
Mereka bernapas
Tak bisa jalan
Aku terlindung
Teduh dan tenang
Kini, temanku dibabat habis
Diterkam macan bergigi besi
Perutku dibongkar
Dikeruk dikikis
Katanya emas hitam
Membawa rezeki
Tak peduli perutku robek
Lubang-lubang menganga
Penebang liar
Penambang liar
Tak peduli
Asal kantong berisi
Temanku ditebang habis
Mati
Megaku berangsur pupus
Kulitku gundul
Temanku penyanggah banjir
Kini, aku menangis
Merana merintih pilu
Ke mana mengadu?

Kotabaru, 2005

H. Muhammad (Kotabaru, 10 Maret 1940). Pensiunan PNS pada Dinas Pendidikan


Kabupaten Kotabaru. Buku sajaknya yang telah terbit Sebatung Menangis, juga dimuat
dalam antologi bersama penyair Kotabaru Stasiun Waktu Kilometer Lima puluh lima
(2005).
Hajriansyah

Gunung-gunung Pergi Jauh

Gunung-gunung pergi jauh


bersama barisan panjang
truk malam segelap batu bara

Hujan turun
Tanah berdebu
Gunung-gunung menjelma lembah
dan bukit-bukit berubah arah

Ingin kutulis sajak panjang


mengenang kehilangan akan gunung
dan bukit, dan pohon yang
mengering: setumpuk celana tua

Sepuluh tahun lagi, Kawan


Saat air laut membanjiri rumah kita
kemudian seratus tahun lagi;
Saat pulau ini kehilangan keseimbangannya
hanya tangis anak-cucu
yang akan sampai ke pekuburan kita

Dan sebuah cerita:


Telah kita tinggali anak-cucu kita
Lubang yang dalam
Hutan yang kerontang
dan bumi yang sekarat.
Sampai cerita itu naik ke langit
menggumpal gelombang awan
dan hujan air mata

Menangislah!
Menangislah sekarang,
mumpung ceritaku belum jadi kenyataan

Banjarmasin, 23 November 2007


Hajriansyah

Pekerjaan Memindah Gunung

Rumah-rumah di sebelah
rumah kita, dan rumah kita tentunya,
adalah gunung-gunung baru
di tengah kota
Orang-orang memindahkannya
batu demi batu; tanah, pasir

Gedung-gedung di dekat rumah kita,


dan rumah kita tentunya,
dindingnya adalah batu gunung
di sebelah rumah kawan
di kampung sana; pasir, semen,
koral yang diracik dari batu itu
Orang-orang memindahkannya
dengan kerja keras
demi tujuan yang jelas: sesuap nasi,
sekantung kesenangan,
sebuah mimpi indah untuk anak dan istri

Genteng, kaca, jendela


Kayu-kayu penopang
Keramik, sendok, piring,
meja rias, dan begitu banyak
pemandangan indah telah pindah
ke rumah kita, dari gunung-
gunung yang menyangga bumi kita,
rumah sejati kita

Ketika datang banjir


kita hanya bisa menangis,
sedih; bukankah kita
yang memindahkan semuanya
Laut, sungai, lahar;
Panas; kesedihan

Pekerjaan memindah gunung


bukan pekerjaan tercela tentunya
Kerja keras, harapan
Kebahagiaan, kesuksesan
Lalu datang kesedihan
Kepapaan, kerja keras
Rasa kecewa, penghujatan

Lalu di mana rasa syukur kita


Rumah-rumah dan
gedung besar di tengah kota,
di sebelah rumah kita,
dan rumah kita tentunya,
adalah bagian dari harapan dan
kekecewaan, kesenangan dan
kesedihan, kerja keras dan
kerja keras
Semoga bumi ini tetap
menjadi rumah untuk
anak-cucu kita kelak;
Dan air mata kesedihan,
adalah sungai-sungai panjang
pengharapan

Banjarmasin, 16 Oktober 2006,


direvisi 24 November 2007

Hajriansyah (Banjarmasin, 10 Oktober 1979). Penyair dan pelukis produktif ini adalah
alumni MSD (Modern School of Design) Jogjakarta dan ISI (Institut Seni Indonesia)
Jogjakarta, Program Studi Seni Lukis. Semasa kuliah menjadi Ketua Keluarga
Mahasiswa Seni Lukis (KMSL) ISI, dan sering berpameran tunggal lukisan-lukisannya.
Jejak Air merupakan buku sajak tunggal pertamanya yang terbit tahun 2007. Antologi
sajaknya bersama penyair M. Nahdiansyah Abdi adalah Jejak-jejak Angin (2007). Kini
mengelola Tahura Media, sebuah lembaga dengan visi pengelolaan sumber daya ekonomi
untuk pengembangan budaya Banjar, penerbitan dan event organizer.
Hamami Adaby

Bumi Semakin Panas

Musim telah menggugur kesetiaan siklus


sementara lapisan ozon mulai menipis
panas bumi seperti bermilyar koloni
dari sengatan lebah madu
tereliminasi dari kehidupan.

Paru dunia yang kita tuang


ke dalam gelas kaca putih
berubah warna jadi betonan kota
tempat habitat manusia.

Lapis ozon mulai melebar


polusi pabrik dan knalpot
mulai menikam ulu hati
cacar tanah mengeringkan sungai
dan pohon seakan kemarau berabad.

Kupungut doa dari luka hati


agar dunia tak jadi sekarat
menikam bumi dengan mentari
Hamami Adaby

Aku Menulis

Kucoba menulis laut, dalam maha luas


Gelombang tak pernah teduh apalagi diam
Kucoba menulis langit, tinggi sekali
Di bawahnya ikan, kerang taman berebut garis air.

Alam teduh dan indah, elok.


Matahari di sela ranting daun mengajari warna
dari ranting daun angin melodi. Syahdu.

Manakala melihat alam bersedih, meringis


muram tersedu, aku menangis sekuatnya
dan belukar yang mandul sunyi sepi menjerit
: tolong selamatkan dari malapetaka, katanya
menatap mataku dengan penuh iba.

Aku menangis lebih keras lagi, melolong:


Hutanku sekarat telah jadi peti mati.

Sekali waktu kutulis tentang cinta.


Panorama wajahnya cantik dan jeramnya mengalirkan
riak hati bergejolak di bukit bunga liar
warna-warni bunga tak tahu namanya.

Cinta terombang-ambing bahkan mulai sekarat.


Dipahatnya batu jadi memori cinta.
Begitu dahsyat. Aku sadar tertunduk
“aku tak menyalahkan siapa-siapa”

3 Mei 2005

Hamami Adaby (Banjarmasin, 5 Mei 1942). Pensiunan PNS yang pernah menjabat
Kepala Kantor Departemen Penerangan di Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Barito
Kuala, Kalimantan Selatan ini menghimpun sajak-sajaknya dalam antologi Desah (1984),
Senja (1994), Iqra (1997), Kesumba (2001), Dunia Telur (2001), Nyanyian Seribu Sungai
(2001), dan Bunga Angin (2002). Antologi bersama yang memuat sajaknya adalah
Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995),
Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000),
Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam
(2003), Anak Zaman (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2004), Baturai Sanja (2004),
Bulan Ditelan Kutu (2004), Dimensi (2005), Bumi Menggerutu (2005), Garunum (2005),
Seribu Sungai Paris Barantai (2006), dan 142 Penyair Menuju Bulan (2006). Kini
bergiat di Kelompok Studi Sastra Banjarbaru.
Hardiansyah Asmail

Malam Malaris

Deru angin jenggala mengiris cakrawala


Merebahkan senja
Sepuluh lelaki luka menari dalam irama sukma
Lagu hutan sengsara
Hingga rembulan pun payah meng-igali-nya
Seribu dengung gong menggaris pagi yang ngilu
Hingga matahari pun menangis dalam nadiku
Sepuluh lelaki kian gila menari
Menyetubuhi malam hingga memuntahkan miang rimba
Merebahkan ulin dan kariwaya
Sehingga bilaran tapah kehilangan rambatan
damak pun kehilangan ipuh
Sepuluh lelaki kian gila menari
Menyetubuhi hutan perawan dan ibu bumi
Menghumbalangkan kesumat nirmala
Sepuluh lelaki gila kian mabuk dalam irama tampulu
Hingga muntahnya menjelma banjir dan debu batubara
Seluruh sungai dalam nadiku mempat dalam sekejap
Sepuluh lelaki menjelma hutan dan terbakar
Miangnya menebar aroma jelaga membopengkan wajah ibu bumi
Sepuluh lelaki gila masih menari hingga pagi tiba
Meperapuh altar yang kubangun dalam samadi senja.
Hardiansyah Asmail

Meratus Berduka

Jenggala yang perawan ini bakal hilang rupa


dikudapaksa oleh peradaban yang melahirkan
juriat nestapa yang berkepanjangan
rintih dan isak tangisnya pun naik ke langit menusuk hati puisi
air matanya berubah jadi banjir yang melanda kota-kota
menenggelamkan banua lima
melahirkan duka membirukan luka
melahirkan perih yang berkepanjangan
bagi anak cucuBambang Siwara

Oo... mengapa kita tiba-tiba menjadi harimau di antara sesama


Mengapa engkau tiba-tiba menjadi raksasa super rakus
tak cukup memakan daun-daun malah menelan pohon-pohon
tak kenyang oleh pohon-pohon malah bumi sendiri tempat berpijak
kau gadaikan pada matahari lain
apakah kau akan menanam keranda di cakrawala
hingga bumi pertiwi ini kau garuk-garuk digali dan terus digali
batubara kami kau kemas buat hari tua
hutan kami hanya tinggal dalam peta buta dan yang lebih terasa
menyembilu emas-emas kami dicuri oleh pencuri yang ultrasakti

Kami anak cucu Bambang Siwara hanya menyaksikan saja karena


dianggap tak cukup pintar untuk mengelola
Jika kami ingin menggali itu berarti pencuri dan liar
jika kami ingin menebang itu berarti perambah
dan melanggar undang-undang tiang layar
padahal itu hanya suatu cara untuk memperpanjang tanah jajahan
dan menegakkan bendera ambisi dalam dinasti

Sekarang wahai para pencuri ultrasakti para perambah bermobil mewah


para penggali negeri sendiri
mari bicara dalam bahasa bunga atau bahasa ringkik kuda
namun jika ini tak bisa kami akan bicara ke langit saja
sambil mengasah pedang puisi maramu ipuh
menyebar tuba ke cakrawala
dan mengangkat tinggi bendera perang

Kami pun bisa jadi harimau


Kami pun pandai jadi macan dan serigala mampu jadi raksasa
Dan kami juga bisa menjadikan tanah ini jadi sahara
atau padang Karbala
Hardiansyah Asmail

Ritus Meratus

Seribu luka telah menggaris huma


Seribu upacara telah tunai kami hajatkan
Namun engkau masih berharap persembahan
Seribu liku jalan berdebu bertabur di tubuhmu
Meratus yang dulu gadis lugu berbibir biru
Tarikan nafasmu bosanova indah hutan kariwaya
Meratus yang dulu adalah jeram-jeram di hulu
Yang mengaromakan anggerik bulan dan turun dayang
Yang mengusik pertapa dalam samadi senjanya
Meratus kini layu dan sakit-sakitan
Sering mencret dan demam berpanjangan
Mencret di hulu banjirnya di tepian
demam dahulu panasnya kemudian setelah itu hutan
hutan kebakaran pohon-pohon kehilangan daunan tumpah harapan
Ritus meratus kembali merajut kenangan pada hutan
yang kehilangan biji-bijian
Meratus kini dijadikan arena perlombaan
tempat berpacu kuku kekuasaan
Ke manakah kami hinggap jika jenggala hilang rupa
ujar kacer angkat wicara
Meratus kini dalam genggaman
Dibius anak zaman dengan seribu perjanjian
Lalu ke mana lagi kita akan mengantar persembahan
sebab jejak di bukit telah dihapus
oleh roda-roda peradaban yang mengatasnamakan
illegal logging dan illegal mining

Kandangan, 2006
Hardiansyah Asmail

Cerita dari Hulu Sungai

(Siapa yang menggali kecemasan demi kecemasan


akan menuai nestapa berkepanjangan)

Untuk saudaraku di Ampalit, di Sangga-sangga, di Sungai Durian


dan terkhusus bagi mereka yang terkubur hidup-hidup
di terowongan perburuan emas

Tanah lengkung ini telah mengabarkan nestapa kepadaku


entah berapa banyak sudah keperawanan rimba yang kau renggut
dikudapaksa

ladang dan huma kau bopengkan ke muka sendiri


hingga menjelaga sampai ke cakrawala bahkan ke negara tetangga
Cerita dari hulu sungai adalah cerita nestapa bumi yang terbencana
oleh tangan-tangan hitam yang selalu mengagungkan pada bendera
kemunafikan

dan bertindak atas dasar hukum tiang layar yang memegang teguh
pada praduga kecipak riak tepi pantai

Kini bumiku kehilangan rupa


hutan dan jenggala tak lagi menebar aroma dupa
miangnya pun telah pergi entah ke mana
semuanya telah kehilangan hakikatnya sebagai rimba

Semua ini telah kukabarkan pada langit


pada laut, pada pohon-pohon yang hanya tinggal nama dalam diktat
Dendrologi mahasiswa fakultas kehutanan
pada burung-burung yang telah kehilangan ricau dan pijakan
Termasuk pada engkau wahai burung garuda yang kini mulai
patah sayap

Sekarang aku ingin bertanya apakah satu juta hektar hutan yang kau
babat dalam sekali kepak sayapmu berdasar pada aspirasi
burung-burung atau demi menegakkan keberadaan hukum tiang
layar yang kau agungkan itu

Suatu hari nanti kau akan mengerti


bahwa kepak sayapmu selama ini hanya melahirkan angin kesangsian
dan memperanakkan prahara yang berkepanjangan

Kandangan, April 2000

Hardiansyah Asmail (Kandangan, Kabupten HST, 1 Oktober 1960). Guru SMP Negeri
7 Kandangan. Buku sajak tunggalnya Bawanang (1996) dan Kembara (1997). Sajak-
sajaknya antara lain terhimpun dalam antologi Jendela Tanah Air (1995), Meratus
Berduka (2000), Jembatan (2000), La Ventre de Kandangan (2004), dan Seribu Sungai
Paris Barantai (2006). Kini bergiat di Posko La-Bastari Kandangan.
Harie Insani Putra

Kemusnahan Peradaban Bukit

Kami puas menetas di bukit-bukit


berselimut embun
cuaca demi cuaca
merdeka kita merdeka
selamat pagi, peradaban pagi; selamat malam
peradaban malam

PERADABAN; manakala bersarang senja di atas rumputan


meneduh sinar di kamar-kamar
kita membagi minum dari sungai
deras jauh ke peluncuran
Selalu ada untuk kita berbagi
Selalu juga ada yang menghabiskan peradaban hari ini

di peradaban batu ekspansi kami, sisa kemusnahan


peradaban bukit
cicit tak lagi sarang dahan, akar tak lagi sisakan tumbang
daun-daun gugur bertangisan luka
mengeringkan setiap getah bening bunga-bunga makam
di kali kuning melukis semua keserakahan
pagi MAKAN pagi peradaban, malam,
MAKAN malam peradaban

senyum kami di peradaban batu


kau miliki juga batu-batu
lalu di mana kami tinggal
terlalu murah kau beli kami
TUUUHAANNN

24 Mei 2004 – Juni 2005

Harie Insani Putra (Banjarmasin, 25 Februari 1981). Selain sajak juga produktif
menulis cerpen. Cerpennya “Rahasia Sedih tak Bersebab” menjadi pemenang pertama
lomba menulis cerita pendek se-Kalimantan Selatan 2006, dan dimuat dalam antologi
Kau tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih tak Bersebab (2006). Sajaknya juga ikut
dalam antologi Dimensi (2005). Kini bergiat di Kelompok Studi Sastra Banjarbaru dan
redaktur di buletin sastra WaTas.
Hijaz Yamani

Dalam Pesawat
(Banjarmasin – Kotabaru)

Kami pandang lembah


merayap
di bawah sana
bumi pun membuhulkan uap pagi hari
awan tipis di lereng-lereng meratus
yang tidak membentengi
bayang-bayang
bertanggalan
Dan butir-butir
nadi-nadi hijau itu
merayap juga
begitu pasti
menuju laut lepas
Lepas

1980
Hijaz Yamani

Riwayat 1

sungguh seorang tua begitu setia bersamamu dulunya


pengembara ketika masih anak muda dan anak muda yang lain zaman
berikutnya tidak tahan dalam gua lengang dengan beribu riwayat
ketika wabah yang menciptakan mayat-mayat di sini
tapi aku ingin bertanya bagaimana riwayat tahun-tahun depan
jika seorang tua yang terbaring menerima amanat leluhur
dengan sisa lentur-lentur kesetiaannya
sedang di kiri-kanannya pohon-pohon bertumbangan
dan jalan raya tidak mengenal daun-daun gugur lagi karena
pohon-pohon sisanya gundul
dan engkau sendiri terjepit di kebalauan negeri yang maya

1982

Hijaz Yamani (Banjarmasin, 23 Maret 1933). Menulis sajak, cerpen, naskah drama, esai
sastra dan budaya. Pendiri Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan
ini juga mengasuh Ruang Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni, serta Ruang Sastra dan
Budaya pada RRI Nusantara III Banjarmasin hingga akhir hayatnya. Di tahun 1980-an
juga menjadi redaktur ruang sajak ‘Dahaga’ harian Banjarmasin Post. Sajak-sajaknya
terhimpun dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Perkenalan di Dalam Sajak
Penyair Kalimantan (1963), Panorama (1974), Pesta Seni (Dewan Kesenian Jakarta,
1974), Pesta Puisi (DKJ, 1975), Tanah Huma (Pustaka Jaya, Jakarta, 1978), Temu
Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Kilau Zamrud Khatulistiwa (1984), Tonggak (Jilid II,
editor Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987), Bosnia Kita (1992), Tamu Malam
(1992), dan Jendela Tanah Air (1995). Percakapan Malam merupakan kumpulan sajak
tunggalnya yang diterbitkan tahun 1997. Sebagai seorang politisi, ia pernah menjadi
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kota Banjarmasin
dan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pertama di
Kalimantan Selatan. Selama 25 tahun lebih berkiprah di lembaga legislatif sebagai wakil
rakyat. Meninggal dunia di Banjarmasin, 17 Desember 2001.
Ibramsyah Amandit

Jembatan Asap

Pohon-pohon tahun ini berkhutbah asap


dan tongkat api. Bagai perahu-perahu mendayung fatwa
dan bahan diskusi

Gemuruh suara berloncatan;


fenomena alam pada angin musim;
bukit-bukit yang terkoyak
ozon yang tercabik dan teriakan hutan yang diobrak-abrik
Ah, jari-jari zaman berselingkuh dalam lipatan!

Tapi pastikanlah; itu takkan lama


kemarau akan berlalu
dan anak-anak negeri segera lupa Tuhan memegang batu-Nya
sebelum melempar muka manusia

Betapa sayang ...


mereka lupakan makna selarik duka
dan tanpa kesanggupan melihat tanda-tanda
bahkan semacam isyarat-isyarat kabut pekat dalam jiwa

Oo, betapa sayang ...

Tamban, November 1997


Ibramsyah Amandit

Meratus Bertutur

Kubuka peta kepulauan Nusantara;


ada tokoh Semar alam pewayangan
merasuk merohani pulau Kalimantan
ia pendek tangan
dudu dewa, dudu manungsa
ora nangis ora ngguyu

Di benua ini banyak bayang-bayang


penyamaran demi penyamaran
orang pun menangis tidak
tertawa pun tidak
antara sekian banyak tangan
pendek dan kepanjangan
bikin limbah pencemaran
bagi sejarah dan kehidupan daerah

Di bawah “udel” Semar : Meratus


alam sekitar bertutur pinutur
mulai gunung Singsingan
desa Batuah redup tuahnya
Buluh Kuning ibarat lanting sangkut di kering
Sungai Durian tak ada buah yang runtuh
jalan setapak pun enggan tersentuh
bila tidak menyiapkan kucuran peluh

Di gunung Batu Digahai


sayup-sayup kulihat lobang terburai
membiru kawah bekas kubangan
“hadangan Japan” jenis buldoser
menyeruduk menggaruk-garukkan tanduk
mengugai-ugai tambang komoditas supply
tapi di perut tanah jeritan tersimpan
suaranya: “aduhai, aduhai...
banua kami hilang permai
banua kami lebur terkulai”

Naik ke gunung Tunggangan


tampak terhampar tunggul tebangan
selesai hutan dimangsa buruan
tapi oleh siapa menunggang siapa?
ketika desa Gendang Timburu
mendayukan irama gendang
dalam lagu pilu dan cemburu
Di gunung Barangkupan
ketinggian 1104 meter itu
aku cepat-cepat berlalu
karena saat memberi salam dan sapa
jari penduduk dingin dan kelu
waktu tapak tangan kami berangkup beradu
rasanya hilang akrab persahabatan dulu
yang dijalin para leluhurku

Di gunung Banyu Tawar;


sebuah danau biru kucicipi
aku bimbang; air apa rasa asam belerang
mungkin lunturan sisa galian tambang

Lewat gunung Canting Dalam


ke puncak Gunung Besar
di gunung Halau-Halau
roh manusia hantu dihalau ke situ
mungkin semasa hidupnya kacau-balau
kalah kebenaran oleh napsu
dunia memukau membuat ia silau
kudengar pula suara sarun dan babun
mengalun gaib dalam belantara hutan
kutengok hulu Riam Kiwa di Peramasan
orang sibuk menangguk harta karun
emas memang merombak struktur perekonomian
tapi kilau kuningnya mengubah pola kehidupan
orang tambah taat, orang pun jadi lupa Tuhan

Tiba di gunung Panginangan


di balik tawing palupuh
ibu-ibu duduk bersimpuh
kacip kapur sirih
pinang dan gambir diasuh
kinangan dikunyah antara gigi yang kokoh
terbayang gadis-gadisku di kota jauh
mengoleskan lipstick merek Revlon
lalu buru-buru keluar salon
karena lobang giginya cari tambalan

Aku pun ke gunung Menteng


bukan Menteng Jakarta Raya
ini Menteng di hutan belantara
beberapa pohon keminting tumbuh di hutan
dalam udara sejuk teduh dan nyaman
bukannya bising panas kehidupan metropolitan

Dari gunung Karurangan ke Huluniwani


menyusuri Hampang ke Sungai Kupang
tiba aku di desa Pantai
sejenak di sini berandai-andai
kepada sebuah rumah
yang letak pintunya salah!
ia cuma menghadap lintas jalanan
membaca hilir-mudik para pejalan
tangan pendek dan kepanjangan
yang carut-marut menata lingkungan

Oo, pintu yang letaknya salah


dengari ini sedikit petuah;
lingkungan adalah atribut dan bias
bayang-bayang dari pintu dirimu sendiri
kalau suara tanpa makna kesungguhan
itu bual jual obrolan
senda-gurau di emper pelataran
apa arti eksistensi tanpa esensi?
bilamana hati nurani insan pilihan
dalam kamar 4 lapis tersimpan
kau tak temukan masalah inti kebenaran
Hati adalah “Sultan” di istana anjungan
ia Rajamu dan Raja orang-orang dahulu
coba lihat tanah wilayah patih Gajah Mada
tanyakan pula pada Hayam Wuruk
mengapa bumi Majapahit gemah ripah loh jinawi
tanpa gempa, bencana dan tsunami
ekonomi pun juga tidak terpuruk

Atau tanyalah juga Sriwijaya


kerajaannya yang merentang samudera
tulang punggung negara cuma perahu cadik
tapi aman makmur sentosa
padahal tak banyak orang yang cerdik

Di pantai itu aku keras berpikir


penyebab apa yang segala jadi kucar-kacir
adalah loba, rakus dan tamak
di Majapahit orang mau hidup berpahit-pahit
mereka tidak berpantang pada pisang godok
padahal apa susahnya bikin kolak semangkok
Tapi kita ini orang-orang sialan
hidup maunya selalu “bersantan”
karena banyak hal dirasuk nafsu kesetanan
yang berdampak pada lingkungan

Dari gunung Aluran ke Kayu Juhara


lewat gunung Riam Dinding
tingginya tak berapa
tapi pohon-pohonnya dan tambang buminya
aduhai, memikat antero negara
keduanya bagai runner-up dan juara
tapi bagi siapa?
Bila rakyat cuma penonton putih mata

Melewati gunung Hapare


tiba di gunung Tanah Baambin
bulu romaku di sini tegak merinding
bagiku tanah cuma lantai dan dinding
bila ajal datang dikubur terbaring
mana kumau maambin tanah
ke kota-kota penduduk yang padat
aku bukanlah pemilik real estate

Di gunung Beringin Kuantan


kulangkahi gunung Tinggi (515 meter)
tiba di gunung Ambalangan
di hadapanku gunung Batu Tungku
seperti sebuah bayang-bayang menyapaku:
“ngono ya ngono
nanging aja ngono”
(ah, jumpa suara Semar lagi!)

Batu Tungku, Batu Tungku ...


kearifan cara dan keseimbanganmu itu
ajaran Semar ada di situ
tapi aku adalah “Pramuka” bayangan
mengambil posisi jalan Panyipatan
di bawah pinang habang
Ambi kawanku membelah bumbung lamang
isinya nasi dari beras taring pilanduk
sedang aku makan ketan dan hintalu jaruk
Kau kira; kami kelelahan
keluar masuk hutan-hutan
padahal menyimak perkara di tempat duduk

Tamban, Agustus 2006

Ibramsyah Amandit (Kandangan, Kabupten HST,, 9 Agustus 1943). Pendidikan terakhir


sarjana muda FKIS IKIP Jogjakarta. Selama studi di Jogja 1970-an, pernah bergabung di
PSK (Persada Studi Klub) pimpinan ‘presiden malioboro’ Umbu Landu Paranggi.
Sajaknya antara lain terhimpun dalam antologi bersama Bahalap (1995), Pelabuhan
(1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan (2004),
Sajak-sajak Bumi Selidah (2005), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Imraatul Zannah

PERAWANKU TELAH PERGI

Cinta, belajarlah untuk mencinta. Jika hari ini burung-burung enggan beterbngan, dan
hutan-hutan tak lagi memperdulikan rimbunnya dedaunan, engkau yang mengurai air
mataku diantara hitamnya batu-batu, menakar aroma nafasmu di cawan-cawan
peradaban

Tapi perawanku telah pergi, menyisakan debu-debu yang luruh dalam banjir air mata
anak cucu kita, lahan-lahan kosong, gersang, dan terbuang, memformulasikn bahasanya
untuk meratapi keangkuhan gedung-gedung yang menggerayangi wajahnya yang
semakin tak berdaya
“Bakarlah indahnya dedaunan dan kicau riang populasi hewan-hewan!” teriakmu

(kita senantiasa dikeramas roh pohon-pohon ketika mesin air matanya mengantarkan
sesaji ke meja-meja purba yang memetakan nafas kekuasan di laci-lacinya)

Kandangan, 11 Desember 2008


Imraatul Zannah

OH, PEDIH NIAN ...

Burung-burung mengepakkan sayap-sayap lusuh di kekelaman masa depan, semak


belukar merundukkan wajahnya, lidah-lidah api menjelmakan ranting-ranting patah
menjadi gemuruh luka di cakrawala, seperti angin yng mencumbui roh-roh bukit dalam
lekuk penghijauan yang sia-sia

Ribuan anak-anak berlarian di antara perih dan lapar, memahat cinta di lahan-lahan
kering dan aroma kemiskinan yang tak juga selesai, kemarau menaburkan daun-daun
kering di atas jenazah sungai
“siapa yang peduli?” desaknya pada irama nasib yang mempertaruhkannya pada rumah-
rumah kaca yang kian menambah volume panas di wajah bumi

Oh, pedih nian traktor-traktor keserakahan merampas denyut nadi kehidupan hutan-
hutan kita, jelmakan lahan-lahan terbuka tanpa nama!

Imraatul Zannah, dengan nama pena Annisa (Kandangan, Kabupten HST, 2 Mei 1982).
Dari Madrasah Aliyah Darul Ulum Kandangan, melanjutkan ke PONPES Darussalam
Martapura. Buku kumpulan sajak tunggalnya adalah Epilog Hari Ini (2002), dan Jika
Cinta Telah Menyapa (2004). Sajaknya yang terhimpun dalam antologi bersama antara
lain Potret Tiga Warna (2002), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam
(2003),Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu (2005), Seribu Sungai Paris
Barantai (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006),
Kugadaikan Luka. (2007). Kini dia sudah kembali kekampung halamannya di
Kandangan.
Kandangan, 12 Desember 2008
Isuur Loeweng S

Ibu, Sebenarnya
Hutan Ini Milik Siapa?

ibu
kenapa
sekepak mata memandang
tak lagi aku
melihat indah jajar galam
ulin dan gaharu

kenapa pohon-pohon berubah, kini


berbunyi nyaring
dan
disiram bensin serta solar
kenapa?

ibu
kenapa tanah-tanah disayat-sayat
dikeruk, lalu
batu-batu
diangkut dengan kotak-kotak
yang meraung gila

kenapa kita
diam!
kapan kita akan hentikan
makhluk-makhluk bengis
yang merebut milik kita
ibu?

ah, ibu
coba lihat,
kenapa yang berdiri di tanah-tanah kita
bukan nenek-moyang kita
tapi
orang-orang tak sedarah dengan kita

ibu
bukankah hutan-hutan ini
punya nenek-moyang kita
tapi!

oh ibu
sebenarnya, ini hutan siapa punya
hutan ini milik siapa
ibuu!

Banjarbaru, November 2007


Isuur Loeweng S

Ke mana Harus Kami Tanam

kalau saja,
kami masih punya semangat
untuk menciptakan bibit ulin
tanah sebelah mana
yang harus kami gali

bukankah semua hutan


telah dipenuhi bibit air mata
yang ditanam
bengis ekskavator gila

bopeng-bopeng berhamburan
di setiap sudut katulistiwa,
seakan ada perjanjian!
di sini kita harus timbun
air mata

padahal tanah-tanah
itu hak anak-cucu kita
lalu esok
ke mana mereka meneduhkan hati

seandainya kami masih


punya semangat
katakan, katakan pada kami
ke mana semangat itu harus kami tanam

Banjarbaru, November 2007

Isuur Loeweng S (Jogjakarta, 8 Juni 1980). Pendidikan terakhir di Institut Seni


Indonesia (ISI) Jogjakarta, mengambil minor jurusan Pencipta Seni Tari. Aktif pula di
bidang seni teater. Buku sajak tunggalnya Sajak Buat yang Tercinta (2005), Padang
Luka (2006), dan kini sedang menyiapkan penerbitan antologi sajak terbarunya.
Beberapa sajaknya juga terhimpun dalam antologi bersama penyair kota Banjarbaru,
Dimensi (2005). Kini bergiat di Loeweng Production dan mengelola buletin sastra
WaTas (Warta Tentang Sastra).
Jamal T. Suryanata

Menangisi Airmatamu

airmata yang sembunyikan perih dunia itu


telah mengalir dari getir keperawananmu
betapa deras, betapa derasnya membanjiri
setiap selokan dan lorong kota-kota, lalu
orang-orang pun tersentak dari igau-mimpinya

“aku memang tak perawan lagi. Sudah lama,


lama sekali,” bisikmu lirih dengan pucat
wajahmu yang selalu menyisakan kecemasan,
“tapi, aku masih punya cinta. Aku punya
kecantikan, kelembutan, dan susu montok
yang mengundang berahi segala petualang
aku sanggup melayani semuanya sampai orgasme
maka, setubuhilah aku dengan kasih sayang.”

“sayang,” kataku iba, “kau tidak mengenal uang


alat tukar ekonomi yang menciptakan neraka
engkau pun tidak mengerti bahasa keserakahan
jangan jual dirimu, jangan gadaikan sisa
kegadisanmu – mahkota hijau kilau daunan
wahai, akulah mimpi sejuta cinta tak bermusim
yang terhimpit di sela batu-batu jejak kakimu.”

airmata itu pun kemudian kian menderas


membuncah selunas-lunas tangis diamnya
mengalir, terus mengalir dari aroma tanah,
batu hitam, desau angin, kicau burung, bisa ular,
hijau pohonan, segar buahan, dan puing-puing
keperawanan yang masih tersisa

“setubuhilah aku dengan kasih sayang,” pintamu


“kecuali kuberikan cinta,” jawabku sambil mengelus
mulus tubuh yang menanti getar jemari kemanusiaan,
“engkaulah mimpiku, engkaulah masa depanku,”
teriakku berulang hingga membelah sunyi semesta

airmata yang sembunyikan perih dunia itu


telah jauh mengaliri seluruh nadi dan aortaku
betapa sejuk, betapa sejuknya membekukan bahasa
persinggungan antara cinta dan keserakahan
seperti bongkahan salju yang jatuh di telaga

2000
Jamal T. Suryanata

Surat dari Kota

telah kudengar isak-tangismu yang jauh, kawan


menggaung dari kisah duka penawaran pasar terbuka
ada desah angin membisikkan risau alam raya
ada kuik elang dan tabuhan tifa mengabarkan maut
semua kuhafal sebagai tanda-tanda menjelang kematian

kawan, salamku dari kota yang menyimpan neraka


kita diuji dengan kesabaran dan keberingasan
padamkan api dendam, redamkan segala kecemasan
bersenandunglah bersamaku dalam lirik pesisiran:

kurangkai syair kisah nelangsa


kaum pinggiran di belantara
menunggu nasib bak di penjara
putusan hakim yang berkuasa

dalam takut dan rasa cemas


alamat diri bakal terhempas
hutan meratus akan digilas
kalau penguasa memang tak waras

(jadi, hanya ada dua pilihan bagi kita


berjuang melawan keserakahan dan kelaliman
atau pasrah menunggu nasib dalam kecemasan
dan itu berarti awal dari kehancuran kita)

kawan, rinduku dari kota bernama angkara


di sini, kemanusiaan bukan lagi perhitungan
moncong senapan serupa suara kekuasaan
palu keadilan bahkan telah diperdagangkan
maka berjuanglah untuk mendapatkannya

kawan, kuharap ini bukan surat terakhir yang kau terima


karena setiap saat aku bisa saja masuk penjara

2000

Jamal T. Suryanata (Kandangan, Kabupten HST, 1 september 1966). Lulusan pasca


sarjana FKIP Unlam yang meraih gelar Magister Pendidikan ini selain dikenal sebagai
penyair juga produktif menulis cerita pendek berbahasa Indonesia dan bahasa daerah
(Banjar). Pernah mengikuti Writing Program Majelis Sastera Asia Tenggara (1999) dan
Ubud Writer’s and Reader’s Festival (2004). Bukunya yang sudah diterbitkan antara lain
Untuk Sebuah Pengabdian (1995), Di Bawah Matahari Terminal (2001), Problematik
Pembelajaran Bahasa dan Sastra (2003), Galuh (2005), dan Boneka untuk Brenda
(2005). Sajaknya terhimpun dalam antologi bersama Festival Puisi Kalimantan (1992),
Mimbar Penyair Abad 21 (1997), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Menghimpun sajak-sajaknya dalam manuskrip Lentera (1988), Sel (1990), Sajak
Sepanjang Trotoar (1992), dan Topeng Kota Pendaki (1992). Kini bekerja sebagai PNS
di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut dan bergiat di Dewan Kesenian
Kabupaten Tanah Laut, sebagai Wakil Ketua.
Lisa Yuliani

Meratus

Suasana kembali purba


Manakala kabut liar itu terperangkap dalam butah
Sementara entah gumam siapa
meretas padang lalang, bernada kesumat
Betapa wangi bulir air matamu, meratus
Meski rimbun buluh dan ilalang
menyimpan bayang prahara

Aku tersentak ketika mahligai bilaran bergulir


Aku terhenyak ketika hunjuran meratus terbongkar
Kini akan ku akarkan di mana benih padi dan biji kesturi
bila huma dan ladang terhampar

Duhai peradaban yang nanar


Wajah alammu mengiris ngilu
Di mana wajah alamku nan indah
Hamparan pohon dan rerumputanmu
Bak permadani hijau nan nyata

Meratus kini tak berdaya


Meratus kini terkungkum lara
Ketika pohon terakhir telah kering
Ketika hutan itu lenyap dan air pun sirna
Tanah mengering dan menjadi debu
Manusia tak akan berdaya, hanya bisa meratap
dan menyesal
Karena ulah tangan yang berkuasa terhadap meratus

Meratus, begitu berharga dirimu


Kau adalah lukisan Tuhan nan indah dan nyata
Meratus, tersenyumlah selalu untuk manusia
Terima kasih, meratus
Karena napasmu adalah napasku

Lisa Yuliani, puisinya dalam antologi ini adalah puisi yang masuk dalam 10 puisi
nominasi nonranking lomba cipta puisi pelajar se-kabupaten Balangan tahun 2008. kini
bermukim di Paringin, kabupaten Balangan.
Maman S. Tawie

Dari Balunan ke Lembah Mantar


– perjalanan imajiner bersama Uma Adang

dari Balunan ke lembah Mantar:


dinihari seperti kembali purba
ketika udara yang berat
dan embun yang likat
begitu jinak di pangkuan Ning Batara

begitulah
ceracau anggang yang kusekap dalam butah
menuntun langkahku meretas tanah basah

dari Balunan ke lembah Mantar:


angin Munjung meruapkan dupa meratus
betapa harumnya
bayang-bayang petaka pun lampus
terbenam di selangkang rimba
dan di kehijauan lumut pada tebing-tebing andesit
kubelai kuntum-kuntum Turun Dayang
kutanam wanginya di patilarahan Bukit
sungai-sungai pun mengurai mayang
dalam tandik bawanang

uuuiii, Datung Kilai


ulurkan tangga-tangga balai
balian Mambur segera sampai

dari Balunan ke lembah Mantar:


langit mendadak suram
Tangkaramin dan haratai menggeram
dan aku tersentak ketika bumi mahligai bilaran bergetar
dan aku terhenyak ketika hunjuran Meratus terbongkar

o, buldoser-buldoser negeri seberang


akan kutanam di mana sekar-sekar Lilihi
akan kusemai di mana biji-biji kasturi
cuaca menghitam batu-batu arang
ladang-ladang terhumbalang

o, bubuhan dingsanak di tahta raja-raja


tolong, jangan cabik-cabik hamparan zamrud banua
tolong, jangan hancurkan peradaban nini-datu kita

dari Balunan ke lembah Mantar:


senja berangkat malam, betapa letihnya perjalanan
dan bersuluh kandil damar
kuruyak gelap di depan
Uma Adang. Mari, Uma Adang
kita pulang
di sebelah sana banjir melanda
gemuruhnya adalah bencana hidup kita

22 April 2000
Maman S. Tawie

Di Lembah Meratus

dinihari seperti kembali purba


ketika udara yang berat
dan embun yang likat
begitu jinak di pangkuan Ning Diwata
dan ceracau anggang yang kusekap dalam butah
menggiring langkahku meretas rumput-rumput basah

betapa harumnya banua lima


ketika kehijauan meruapkan dupa lembah Meratus
bayang-bayang petaka pun lampus
terbenam di selangkang rimba
dan pada dingin lumut di tebing-tebing andesit
kuhikmati kuntum-kuntum Turun Dayang
kutanam wanginya di patilarahan Bukit
sungai-sungai pun mengurai mayang
dalam tarian bawanang

– oooii, Datung Kilai


sintak tangga-tangga balai
balian Mambur sebentar sampai –

mendadak langit suram


jeram-jeram menggeram
dan aku tersentak ketika bumi mahligai bilaran bergetar
dan aku terhenyak ketika lembah Meratus terbongkar

o, buldoser-buldoser negeri seberang


akan kutanam di mana sekar-sekar lilihi
akan kusemai di mana biji-biji kasturi
cuaca menghitam batu-batu arang
ladang-ladang terbantun dan terhumbalang

senja berangkat malam, betapa letihnya perjalanan


dan bersuluh kandil damar
kuruyak gelap di depan

Banjarmasin, 22 April 2000

___________
Ning Diwata : sebutan untuk Tuhan bagi suku Dayak Bukit
di pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
butah : wadah dari anyaman purun, bamban atau rotan.
banua lima : sebutan untuk lima Kabupaten di Kalimantan Selatan
yang terdapat di sepanjang lereng pegunungan
Meratus sebelah barat, yaitu: Tapin, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara
dan Tabalong.
andesit : jenis batu gunung
Turun dayang : nama jenis anggrek di lembah Meratus
patilarahan : alam gaib tempat roh-roh para leluhur Dayak Bukit.
bawanang : pesta kemenangan
sintak : tarik (bahasa Banjar).
balai : rumah panjang adat Dayak Bukit.
balian : dukun.
Mambur : konon adalah raja dukun suku Dayat Bukit
yang dianggap setingkat dewa.
bilaran : jenis tumbuhan merambat/menjalar.
lilihi : bunga khas pegunungan Meratus.
kasturi : jenis buah asam yang dijadikan maskot flora
Kalimantan Selatan.

Maman S. Tawie (Lokpaikat, Kabupaten Tapin, 25 September 1957). Selain sajak juga
menulis cerpen, esai dan kritik sastra. Menghimpun sajak-sajaknya dalam beberapa
manuskrip Sajak-sajak Dahaga (1981), Dinding Kaca (1982), dan Kebun Di Belakang
Rumah (1995). Nyanyian Dusun merupakan buku kumpulan sajak pilihannya yang
sedang dalam proses untuk diterbitkan. Sajak-sajaknya dimuat pula dalam beberapa
antologi bersama Dahaga – B. Post (1981), Terminal (1984), Elit Penyair Kalsel 1979-
1985 (1986), Banjarmasin Dalam Puisi (1987), Puisi Indonesia 87 (1987), Harkat
Kemanusiaan (1990), Tamu Malam (1992), Festival Puisi Kalimantan (1992),
Pemberontak yang Gagal (1998), Wasi (1999), Datang Dari Masa Depan (2000), Malam
Palestina (2000), Perkawinan Batu (2005), Aku Cuma Punya Kata (2006), dan Seribu
Sungai Paris Barantai (2006). Tahun 1996 mendirikan “Forum Diskusi Sastra”
(FORDIAS) dan menjabat Ketua hingga sekarang. Di samping ketekunannya mengelola
dokumentasi sastra, ia juga menjadi Redaktur Pelaksana majalah bulanan Tunggal
Dharma Visudha (TDV) yang diterbitkan Humas Polda Kalsel.
Micky Hidayat

Hutan di Mataku

sebuah hutan
tak bernama
tak berpeta
tak terbaca
terhampar di anganku

sebuah hutan
tak berpohon
tak berakar
tak berdahan
tak beranting
tak berdaun
terbakar di jantungku

sebuah hutan
menjerit-jerit
melolong-lolong
mengerang-erang
meraung-raung
merintih-rintih
terkapar
di lorong jiwaku

sebuah hutan
menjelma jadi api, asap,
bara, dan puing
berserakan
di ruang
sunyiku

sebuah hutan
adalah luka adalah duka
sebuah hutan
adalah perih adalah pedih
sebuah hutan
menjadi hujan di mataku
menderaskan bencana
berkepanjangan

Banjarmasin,2005
Micky Hidayat

Kalimantan Selatan 2030 Kemudian


Teruslah perkosa aku
senafsu-nafsu rakusmu
tebas dan cabik tubuhku
sebirahi-birahi erangmu
cakar dan bongkar isi perutku
sepuas-puas raungmu.
Lemparkan jasadku
dari ketinggian jurang menganga
hingga rohku melayang-layang di udara
melintasi gunung-gunung dan samudera tak bernama
menjelajahi hutan-hutanku yang sirna tanpa suara

Renungkanlah! Sebuah peristiwa yang tak akan pernah tercatat dalam


sejarah kemanusiaan, betapa tragis dan memilukan: tahun 2020 nanti,
jasadku akan bangkit menuntut balas atas perlakuanmu yang semena-mena,
brutal, sadis, psikopat dan tak berperikemanusiaan yang adil apalagi
beradab terhadap tubuhku.

Maka terimalah pelampiasan dendam-kesumatku: bumi Kalimantan Selatan


beserta seluruh isinya ini akan kutenggelamkan dan kurendam sedalam-
dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu pulau ini. Maka terimalah
laknat dan azabku: semua desa dan kota kutenggelamkan. Jangan pernah
kau cari lagi di mana geografi kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah
laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu
Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito Kuala, kota Banjarbaru dan
Banjarmasin. Semuanya kutenggelamkan dan lenyap tak ada yang tersisa
hingga hilang dari peta kemanusiaan.

Terimalah gelegak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas
keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia
memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam. Jangan kau sesali dan
tangisi lagi tragedi alam ini. Segalanya kulumatkan, kululuhlantakkan,
kuhancur-leburkan! Jangan kau cari tempat mengungsi ke bukit-bukit dan
gunung-gunung, sebab bukit dan gunung pun sudah lenyap
kutenggelamkan. Tiada guna lagi kau cari kapal Nuh penyelamat
nyawamu. Jangan kau cari lagi rahim kehidupan, sebab kehidupan telah
tiada. Semuanya telah kutuntaskan!

Maka terimalah karmaku – ini bukan sekadar kiamat qubra


Tapi sebenar-benar kiamat bagi dosa-dosamu sebagai manusia.

Banjarmasin, 2007
Micky Hidayat

Reportase dari Kaki


Pegunungan Meratus

Inilah reportase mengerikan


Dari kawasan pegunungan Meratus
Yang mulai meranggas
Menjelma hamparan nestapa
Menyisakan bilur-bilur luka

Inilah berita memilukan


Yang tak sempat terbaca
Tentang tebing-tebing yang longsor
Tentang tanah yang retak-merekah
Tentang batang dan ranting yang hangus
Daun-daun layu dan kering
Kabut asap liar menggumpal dan menari-nari
Batu-batu merintih
Pohon dan satwa pun bersedih

O, Meratus nestapa
Masih pantaskah aku menyebutmu cantik rupawan
Teguh mempertahankan tradisi warisan
Petuah para leluhur-moyang
Menjaga mahkota keperawanan tegar bertahta
Terhindar dari segala marabahaya dan bencana

– desing gergaji mesin berdesingan, melengking-lengking, meraung-raung,


melolong-lolong, memekakkan gendang telingaku, menggedor-gedor dan
menyayat-nyayat dinding jiwaku, bagaikan pendekar ninja tanpa ampun
dengan beringasnya membabat-libas dan menumbangkan pohonan raksasa
di kawasan hutan Meratus, Kalimantan Selatan. Hutan lindung seluas
46.270 hektare itu telah berubah statusnya menjadi hutan produksi terbatas.
Pesona hutan perawan itu terancam. Memang, menurut teori, di hutan
produksi terbatas ini hanya pohon berdiameter 60 centimeter ke atas yang
boleh ditebang. “Tetapi, siapa yang dapat menjamin tidak ada penebangan
sembarangan?” tanya Musa, kepala Adat Suku Dayak Meratus, yang
tinggal di Desa Pantai Mangkiling di tepi hutan lindung itu.

O, Meratus sengsara
Aku pun tersentak mendengar keluh dan isak-tangismu
Telah aku saksikan hutan dan isi perutmu dijarah membabi-buta,
tanpa akal dan nurani. Telah aku saksikan raungan gergaji mesin
dengan buasnya menyembelihmu tanpa ampun. Telah aku
saksikan buldoser mengerang-erang menumbangkan
keperkasaanmu, tanpa kompromi, dengan bahasa keserakahan
dan kesombongan manusia. Maka aku pun tak sanggup lagi
bertanya tentang hari depanmu. Karena hari depanmu adalah
buldoser, eksavator, chainsaw, dump truk, tronton raksasa,
kontiner, tongkang, ekspor nonmigas, dan mesin-mesin
peradaban. Karena hari depanmu telah menjelma virus teknologi
super canggih yang bersemayam di jantungku. Karena hari
depanmu hanyalah sebuah kehancuran; erosi, longsor,
kolam-kolam raksasa galian batubara tanpa reklamasi, banjir
bandang, kobaran api, kabut asap, suara bising, keputusasaan,
rasa dendam dan amarah purba.
Karena hari depan bagimu hanyalah ketidakberdayaan
Bahkan sejarah pun tak lagi mencatat
Bahwa keperkasaan alam pernah kau miliki
Juga hamparan hutan yang asri.

Inilah berita menyakitkan


Dari Meratus yang terluka
Meratus yang menangis
Air matanya menjelma banjir di setiap musim hujan
Hingga ladang dan kebun kehidupan tenggelam
Kota-kota dan desa pun menjelma jadi lautan.

O, paduka-paduka eksekutif yang terlena


menikmati singgasana tahta, yang merasa dilegitimasi
kesaktian panah dewa. Jangan seenak udel kalian
bikin peraturan tidak konsisten pengelolaan sumber daya alam
tanpa memedulikan kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia.
Dengan dalih keberlangsungan pembangunan, menyokong
pendapatan asli daerah, kepentingan pertumbuhan ekonomi, dan untuk
kemakmuran rakyat, telah kalian tolerir izin ratusan perusahaan pemegang
hak pengusahaan hutan, surat keterangan
sahnya hasil hutan, dan kuasa pertambangan,
dan kalian pun kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu
praktik illegal logging dan illegal mining yang kian leluasa dan
membabi-buta mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan
sumber daya alam kita.
Telah kalian lahirkan keputusan dan rekomendasi tidak
bermartabat, atas nama pemberdayaan masyarakat setempat.
Telah kalian jungkirbalikkan hukum alam dan hukum adat
Dan kalian perjualbelikan hukum Tuhan dan agama
Untuk melawan, menindas, dan memerkosa hak-hak rakyat.
O, paduka-paduka legislatif yang merasa diri terhormat
Yang hobinya studi banding sekalian refreshing berwisata
Yang hobinya mengoleksi arca-arca tunjangan dibeli dari
uang rakyat. Jangan seenak jidat kalian mengetok palu
tanda setuju terhadap kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat.
O, paduka-paduka penegak hukum yang kongkalikong
dengan para cukong dan mafia pembalakan hutan dan
penambangan liar.
Telah kalian rekayasa proses hukum dengan metode
tebang pilih, sehingga penjahat lingkungan yang telah
memorak-porandakan bumi dan kehidupan
bersuka-cita menghirup udara kebebasan
untuk kembali mengendalikan bisnis haram
dan penegakan hukum pun semakin suram.

Meratus yang uzur


Meratus yang lelah
Nyanyi pedihmu
Tangis di hatiku

Saudara-saudaraku, senasib sepenanggungan


Apabila ketenteraman telah terusik oleh kebisingan
Apabila kesejukan dan kesegaran tercemar oleh kekotoran
Apabila keluguan dan keikhlasan dibayar dengan penindasan
Apabila kejujuran dimanipulasi menjadi kebohongan
Apabila kearifan alam disambut dengan kehancuran
Apabila keramahan diteror dengan bahasa kekerasan
Maka tak ada lagi pilihan, Saudaraku
Kecuali kalian melawan, lawan dan lawan!
Dengan tetes darah penghabisan.

Banjarmasin, 2000

Micky Hidayat (Banjarmasin, 4 Mei 1959). Semasa kuliah di Fakultas Teknik Unlam
aktif di MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) dan LSM Kompas Borneo. Selain sajak
juga menulis esai sastra, kritik sastra, dan reportase. Tulisannya dipublikasikan di
berbagai media massa lokal dan nasional. Kumpulan sajak tunggalnya Percakapan dalam
Diam (1982), Jalan Sunyi (1985), dan Meditasi Rindu sedang dalam proses penerbitan.
Sejumlah sajaknya juga dimuat dalam antologi bersama, antara lain Penyair ASEAN
(Bali, 1983), Puisi Indonesia ’87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Kul Kul (Bali, 1992),
Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Solo, 1995), Datang Dari Masa Depan
(Tasikmalaya, 2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Jakarta, 2000), Ragam Jejak Sunyi
Tsunami (Medan, 2005), Perkawinan Batu (DKJ, Jakarta, 2005), Kolaborasi Nusantara
dari Banjarbaru (Jogjakarta, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Banjarbaru, 2006),
Medan Puisi – Antologi Temu Penyair Internasional (Medan, 2007), Cinta Disucikan,
Kehidupan Dirayakan (Bali, 2007), dan beberapa antologi bersama penyair Kalsel.
Selama sepuluh tahun lebih menjadi pengurus di Dewan Kesenian Kalimantan Selatan
(Ketua Komite Sastra), kemudian mengundurkan diri dan kini lebih berkonsentrasi
mengelola Pusat Dokumentasi Sastra, serta bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Banjarmasin dan KSI Pusat periode 2008-2011, menjabat Ketua III.
M. Nahdiansyah Abdi

Tinggal Bersama Maniak

Tinggal bersama maniak


Kamu merasa utuh-utuh saja

Kamu pergi bekerja dengan tenang


Kamu duduk manis di sekolah

Sekali latah
Ramai-ramai menghujat koruptor
Ramai-ramai menghujat pembalak

Suatu waktu rumahmu gelap


Petir sambar-menyambar, hujan turun dengan deras
Kutuk. Kutuk mengepungmu
Kamu hanyut sambil mengigau-igau
memanggili berhala-berhala kecilmu

Ya, kamu memang ditakdirkan menjadi pengungsi


Seumur hidupmu
Sepanjang sejarah kemanusiaanmu

2007
M. Nahdiansyah Abdi

Tongkang Emas Hitam

Seribu tongkang merasuki sungai membangkitkan hasrat


Arus yang dahsyat berputar-putar di dalam
Kelipan lampu kibaran angin telah benar-benar pekat
Emas hitam berayun-ayun di retakan ombak

Di anjungan kapal ia hirup bumi yang purba, dengan santai


menawarkan kopi pada roh-roh yang terbelenggu
Tidak terlihat serius, roh-roh tahu
di laut lepas telah digali kuburan-kuburan
tidur bersama nafsu kosong, ketololan-ketololan

Maka nyanyian-nyanyian yang mungkin,


syair-syair kuno, jeritan-jeritan
hidup beribu tahun dalam koral dan kerang
Dan lebatnya hutan dapat dihayati pada laut yang menangkup
Pun humus, siklus, dan labirin peradaban
terperangkap di riak samudera saat maut menyeludup

2007

M. Nahdiansyah Abdi (Barabai, 29 Juni 1979). Lulusan Fakultas Psikologi Universitas


Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Sekarang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Tamban,
Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sajak-sajaknya terhimpun dalam antologi
bersama Bumi Menggerutu (2005), Melayat Langit, Kau tidak akan pernah tahu rahasia
sedih tak bersebab (2006), dan Jejak-jejak Angin (2007, antologi berdua dengan penyair
Hajriansyah). Kini bergiat di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru.
M. Rifani Djamhari

Jurnal Kecil tentang Perjalanan


di Hutan Meratus

inilah desa penghabisan: los-los pasar yang kosong, desa


yang lengang, beberapa lelaki dan anak-anak tak berbaju
– merubung kami. Sungai iyam yang mendesau
membasuh batu waktu mengalir dari rahim kasih sayang
dan kesetiaan bumi ini. Tengoklah, langit sore yang
sederhana: polos seperti kain dikanji.

Di jalan setapak ini, para lelaki kehilangan keangkuhan diri.


Dipermainkan tebing, gunung dan lembah: rumah semakin
jauh! Namun tetap saja sungai iyam mendesau menjelujuri
waktu. Mencari jalan ke arah hatimu!

***
Sepetak huma di lereng bukit menjala sepi musim matahari.
Lelaki sederhana melambai dan tersenyum padaku. “Inilah
kehidupan kami: Sebuah pondok tak berdaun pintu.”
Hanya dari puncak bukit dapat kau saksikan bagaimana
angin membersihkan langit.

Meratus, 2000

M. Rifani Djamhari (Margasari, 8 Juli 1959). Alumni Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Unlam Banjarbaru ini adalah seorang praktisi di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
Universitas Lambung Mangkurat (PPLH-Unlam) Banjarbaru. Menulis sajak, cerpen, esai
sastra, artikel kebudayaan dan lingkungan hidup yang dipublikasikan di media cetak lokal
dan nasional. Buku sajak tunggalnya adalah Oda dan Doa (1977), Lanskap Laut (1979),
Sajak-sajak (1980), Sajak Jambon Buat Dik Ami (1981), Luka (1982), dan Surat Terbuka
dari Laki-laki dengan Vonis Mati (2004). Antologi bersama yang memuat sajak-sajaknya,
antara lain Tiga Karangan Sajak Perjuangan Sayembara Mengarang Hari Pahlawan
(1977), Bandarmasih (1980), Pesta Baca Puisi (1980), Antologi Puisi Penyair Fakultas
Pertanian Unlam Banjarbaru (1986), Tamu Malam (1992), Festival Puisi Kalimantan
(1992), Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman
(1997), Wasi (1999), Bahana (2001), Anak Zaman (2004), Taman Banjarbaru (2006),
dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Kini bergiat di Keluarga Penulis Banjarbaru
(KPB), Forum Taman Hati (FTH) Banjarbaru, dan mengelola Pusat Dokumentasi Sastra
Budaya dan Lingkungan (PDSBL) Jerami Banjarbaru.
M.S. Sailillah

Hutan Surgawi yang Luka

Yang hilang
Yang tenggelam
Yang digelontor dikikis
Yang hanyut disapu banjir
Adalah kau saudaraku

Hanya dengan curah sebersit


Telah tertebas musim dan tangis
Apalah lagi bila badai dan petir merenggut
Akan runtuhlah langit
Dan terbenamlah bumi terpental tersenggol senyum cibir
Adalah kau saudaraku yang luka

Beranda belakang rumah kita


Telah dicabik-cabik serigala yang menyeringai tiap saat
Ruang bermain anak-anak kita
Telah dijadikan sarang ribuan pemangsa yang berbisa
Semua dilahap rakus tanpa sisa
Cuma bangkai busuk yang terserak di pinggir jalan
Orang-orang berbaring sambil menutupi hidungnya
Sebab tangis selalu ingin meledak di udara
Adalah kau saudaraku yang luka

Pernah terucap sebait kata dengan rajut laba-laba


Sepuluh tahun lagi benua ini akan terbenam
Tapi kau nyana baru lima tahun dadaku pecah
Oleh belatimu yang tajam
Darah semburat dari bumi memuntahkan segala isinya
Meratusku yang menangis tak henti-henti menggelepar
Dicengkeram lapar
Tak mampu lagi mendirikan tiang penyangga
Maafkan aku meratus, kalau aku terlihat cengeng dan bebal
Maafkan aku ikut menangis hutan surgaku yang luka
Karena isi perutmu telah dikuras untuk berpuasa

Banjarmasin, 6 Juli 2006


M.S. Sailillah

Wajah Telanjang

wajah-wajah niskala
telah menenggelamkan matahari sebelum senja
dihijabkannya mata di belantara birahi
dan menangislah hutanku

masya allah,
tersapu banjir di belia usia waktu
yang telah mempertaruhkan senyum dengan cekikikan iblis
maka terbukalah pintu neraka
kotaku terbenam air di mana pun datang

masya allah,
aurat siapa yang menggelepar di kolam neraka
disaksikan gapai-gapai bara membakar
tapi tak ada tangan mengulur
karena mulut telah lama terkunci

wahai
sebelum Allah sentakkan benang kasih rahimnya
dari sulaman sutra hatimu
tutuplah pintu durjana dengan iman
tanpa menoleh tanpa lirik
lalu senyumlah dengan istigfar
banjir dan air adalah tanda teguran

M.S. Sailillah (Pelaihari, 19 Juni 1953). Sarjana FISIP Universitas Islam Kalimantan
(UNISKA) Banjarmasin ini juga seorang aktivis teater. Menulis sajak, cerpen, esai sastra,
dan naskah drama. Antologi sajak tunggalnya Titian (1981) dan Saat-saat yang Perih
(1982). Sajaknya juga terhimpun dalam antologi bersama Bingkisan (1981), Tamu Malam
(1992), Festival Puisi Kalimantan (1992), Bunga Api (1994), Jendela Tanah Air (1995),
Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (1995), dan Seribu Sungai Paris
Barantai (2006). Kini bekerja di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Banjarmasin
dan penyiar di Radio ‘Abdi Persada’ Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
M. Syarkawi Mar’ie

Hutan

Sepuluh tahun yang lalu


hutan ini masih menghijau
ada rama-rama aneka warna
dan burung-burung masih berkicau.

Sepuluh tahun yang lalu


di sini rimba belantara
sinar matahari tidak menggapai
punggung semut
tanah menyimpan air
dan batu berlumut.

Sepanjang hari ada bunyi


bersatu dengan alam bagaikan gita buana
merdunya simponi bumi ciptaan Tuhan
kelompok bekantan menari di atas dahan.

Waktu ini hutan menjadi sunyi


burung tidak berkicau dan gema alam
tidak berbunyi
kupu-kupu terbang jauh tidak kembali.

Pohon kasturi sudah ditebang


hutan menjadi lengang
pemilik bumi bagaikan sisa hidup
yang terbuang.

Tidak ada lagi pohon yang dipeluk


tidak ada lagi bunga yang dicium
hanya tinggal tanah yang retak di musim panas
dan bencana banjir di musim hujan

Banjarbaru, Desember 1994

M. Syarkawi Mar’ie (Kandangan, Kabupten HST, 2 Februari 1938). Sarjana IKIP-


STKS Bandung ini menulis sajak, cerpen dan esai sastra sejak tahun 1950-an. Ketika
bermukim di Surakarta (1954-1958) pernah bergabung di Himpunan Sastrawan Indonesia
Surakarta pimpinan W.S. Rendra. Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru
merupakan tempatnya bergiat hingga akhir hayatnya. Sajaknya antara lain terhimpun
dalam antologi bersama Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang
Pemukiman (1997), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Bahana (2001), dan
Narasi Matahari (2002). Penyair ini wafat di Banjarbaru, 9 Oktober 2002.
Mudjahidin S.

Hanya Cermin

Bercermin di danau itu


bayangan dijilat lapik bukit
dataran bertanya, bila dendam
melantak!
merombak membawa arus berkarat

Di danau itu
hanya cermin balik menyilau perjanjian
yang disepakati, mencari dan menghitung
dari sisa-sisa galian
yang dikorbankan atas nama benua
yang memerkosa benuanya

Bercermin aku memandang kaki bukit


dalam waktu tak menentu
danau cermin lukamu dalam menganga
tak pernah dijahit dan diobati

Di sini hanya bercermin


Longsor bukit, air sungai sakit
melekat debu penyakit, di pohon dan di kulit
bias panas
batu hitam
batu membara
jantung bercuka
sementara di hotel itu asyik ketawa
membikin naskah sandiwara

Di sini, karena aku juga kau


sebelum mentarimu menghilang ke barat
ingat ingat danaumu menjebak
Cermin benua!
retak
menyayat perih
mendidih.

Benua anak negeri, 1998

Mudjahidin S (Banjarmasin, 14 Juli 1946). Menulis sajak, cerpen, dan esai sastra sejak
1970-an. Sebagai aktivis teater, ia juga banyak menulis naskah drama, pelakon sekaligus
menyutradarainya. Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi bersama Panorama (1974),
Terminal (1984), Dengarlah Bicara Kami (1984), Bunga Api (1994), Wasi (1999), dan
Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Antologi sajak tunggalnya adalah Pakem-pakem
Kehidupan (2006). Pensiunan PNS di Badan Informasi dan Komunikasi Pemerintah Kota
Banjarmasin ini sekarang bergiat di Lembaga Seni Qasidah Indonesia (LASQI)
Kalimantan Selatan dan konsultan LASQI Pusat.
Muhammad Radi

Sajak tentang Sungai

Sungai mengalir tanpa kata,


hening menyimpan makna.
Dalam heningnya sungai ber”filsafat”,
“bertanya” tentang dari dan ke mana
(padahal bukankah ia dari dan ke mana?)
“bertanya” tentang ada dan tiada
(padahal ia pun ada dan tiada?)

Sungai, dari “langit” ke “tubuh-tubuh” bumi


nyungsep ke “mata” mata air.
Orang-orang sibuk menggali sumur,
nyari “setetes” hidup. O bumi menyimpan air
Hutan “ibu”nya air.
Namun orang-orang terus saja berburu hutan.
Hutan-hutan “berlarian” serabutan, “menguap” ke langit!
Dan bebukitan pun jadi sering iseng nanya.
Padahal ia, kan, yang paling nggak doyan ke-iseng-an?

(Ah, tiba-tiba sungai jadi pembunuh kehidupan.


Di mata air menggenang air mata,
Nggak terbendung!)

Kandangan, 2004

Muhammad Radi (Kandangan, Kabupten HST, 17 April 1962). Sarjana FKIP Unlam
Banjarmasin jurusan MIPA. Semasa kuliah pernah mengikuti program Pertukaran
Pemuda Indonesia-Australia ke wilayah New South Wales, Victoria, dan Australian
Capital Territory. Juga mengikuti forum science dan kebudayaan di Victoria, Osaka,
Yokohama, Lyon, Marsielle, dan Koln. Sajaknya terhimpun dalam antologi bersama Bah,
Tis! Gaung Kami (1985), Jendela Tanah Air (1995), La Ventre de Kandangan (2004),
dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Nailiya Nikmah

Rindu Peri

Aku rindu
Pada bau daun di pagi hari
Ketika kau suguhkan aku secangkir kopi
Lalu kita berbincang tentang peri
Katamu peri tinggal di hutan
Makanya jangan rusak hutan, kasihan peri
Aku tertawakanmu geli

Aku rindu
Pada bau rumput seusai hujan
Ketika kau sangakan aku sepiring gumbili
Lalu kita berbincang tentang negeri ini
Katamu negeri ini umpama intan
Harusnya kita bangga dan lindungi

Lalu aku menelponmu


Bertanya apakah kau juga merindu
Nyatanya malah ambisi beradu
Dari sebrang kau terbahak
Persetan dengan peri
Kubanting intan dalam genggaman

Ku lari menggenggam banyu


Terlambat
culas kau nyalakan api di hutanku
Kulihat peri-peri berlari sambil menangis
Peri hutan yang dulu kutertawakan
Kini membuatku nangis tak tertahankan

Banjarmasin, 2007

______________

sangakan : gorengkan
gumbili : ketela
banyu : air
Nailiya Nikmah

Pada Sebuah Forum

Pada sebuah forum


aku diminta bicara
tentang hutan, yang konon terbanyak di pulau kami
Aku gagap
tak banyak yang kuingat

Maaf, hadirin
Aku lupa bagaimana hijaunya daun
Aku ragu bagaimana kokohnya dahan
Aku gagu bagaimana gemerisik rimbun

Forum gemuruh,
seolah ambil ancang hendak membunuh

Maaf, hadirin
yang kutahu sakitnya paru
gara-gara udara yang tabu
karena debu dan asap beradu

Lalu, apa yang tersisa untuk kami? Forum riuh

Aku tertunduk malu


Pada sebuah forum
yang seharusnya jadi ajang busung dadaku
karena berjaya di masa lalu

Aku tak mampu mengangkat dagu


pada sebuah forum
yang pesertanya tak lain adalah cucu-cucuku.

Banjarmasin, 2007

Nailiya Nikmah (Banjarmasin, 9 Desember 1980). Sarjana (S1) dan Pascasarjana (S2)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Unlam Banjarmasin.
Koordinator Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Kalimantan Selatan ini selain menulis
sajak juga produktif menulis cerpen dan novel. Kini menjadi pengajar di Politeknik
Negeri Banjarmasin. Sajak, cerpen, dan novelnya sedang dalam persiapan untuk
diterbitkan.
Noor Aini Cahya Khairani

Vignet Kalimantan

1
di atas sungai hitam
hutan dan gunung berjalan
menuju mantra kekuasaan

2
antara hutan larangan dan cerobong industri
membentang kabel-kabel kekuasaan
sementara krisis bergayutan di tengahnya
ratusan titik api mengepung bayi-bayi

3
di sini tak pernah unjuk rasa sebenarnya
karena penduduknya begitu berbakti
meski kekuasaan mengajarkan kecemasan
namun selalu ditelan bersama pil kb

4
kami naik dari perahu
karena sungai tak lagi biru
kami dipindahkan dari pedalaman
karena hutan kami yang menawan
kami kehabisan sungai dan bukit
dan tenggelam di langit

5
di sini matahari padam di timur
dan pulau tidak milik kami
maka ketika ia kehilangan pesona
flora dan fauna berderak tanpa arti
Noor Aini Cahya Khairani

Sektor di Luar Statistik

sektor yang terlempar ke luar statistik seperti boma


lewat pintu atau tidak, mencapai bumi
dan punya dendamnya sendiri

konon di sini pohon tumbuh dari biji api


batubara lahir dari lahar bumi
minyak dan emas mengalir dari air mata
di atas sungai air mata hutan dan gunung menuju ibukota

maka ketika hutan merindukan api


gunung mencium lahar
kota memeluk banjir
dunia menyetubuhi cemas
adakah ini dari sektor yang luka?

Indonesia, 22 Maret 2002

Noor Aini Cahya Khairani (Banjarmasin, 10 Januari 1959). Menulis sajak, cerpen, esai
sastra dan kritik seni. Ia sering menjadi pemenang pertama lomba penulisan sajak dan
cerita pendek se-Kalimantan Selatan. Sajak-sajaknya terhimpun dalam beberapa antologi
bersama, antara lain Antologi 4 Penyair Muda Banjarmasin (1984), Banjarmasin Kota
Kita (1985), Elite Penyair Kalsel. 1979-1985 (1986), Puisi Indonesia ’87 (1987),
Perjalanan (1990), Festival Puisi XIII PPIA (1992), Jendela Tanah Air (1995), Refleksi
Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), dan API – Antologi Puisi Indonesia (1997).
Antologi sajak tunggalnya adalah Sungai Hitam Semesta Berkabut (2004). Penyair ini
wafat di Banjarmasin, 4 Agustus 2003.
Rahmatiah

Air mata yang Hilang

Bulan berkaca-kaca di langit


Daun-daun itu terus saja gemetar, mengaminkan gelisahku
Sejak hijau tak mampu lagi bertengger di sana

Telah lapuk rupanya ranting keringku


Di tempat di mana hutan telah dikuburkan
Dengan bekas-bekas luka dan lebam
Dibiarkan menganga di lambungnya
Hingga suara-suara yang kau titipkan di lubang telingaku
Menjadi asin dan berlumut

Kabarnya, laut pun hendak kembali memunggungi aku


Melepaskan bibirnya yang pasang untuk kembali melaut
Aku pun kehilangan pantai untuk pulang
Lalu di suatu hari aku membayangkan hujan
Mengetuk pintu rumahmu
Begitu ramai pohon-pohon mengaduh, terkadang saling menikam
Batu-batu pun tak lagi bisu di tempatnya

Hujan dan angin sama-sama terpelanting


Engkau kembali entah sebagai hujan atau sebagai abu
Satu-satunya yang kukenali hanyalah bau air mata
Yang mengalir di tubuhmu
Janganlah bertanya ke mana burung-burung akan terbang setelahnya
Kelak ikan-ikan pun akan belajar mencuri sayap
Meninggalkan sungai yang terus saja mengapungkan jasadnya
Hingga ke atap-atap

Sepagi ini kita telah belajar menikam senja


Diam-diam senja pun mulai belajar menikam kita

Banjarbaru, 14 Desember 2007


Rahmatiah

Pagi yang Menangis

Langit basah
Berapa banyak pesan yang disampaikan
rintih akar dan denyut tanah?
Aminkan saja doa-doa
yang terlepas dari busurnya
agar genangan air mata tak lagi
tenggelamkan rumah anai-anai kita

Di lembah dan gunung-gunung


yang kehilangan denyut rimba
entah, apakah Tuhan tengah marah?
Ia mengirimkan bala dengan seribu wajah
hampir di setiap sudut rumah

Meratus, April 2007

Rahmatiah (Nusa Tenggara Barat, 3 Juli 1979). Pendidikan terakhir D III Keperawatan,
kini bekerja di Direktorat POLTEKKES Banjarmasin, dan bermukim di Banjarbaru.
Sajaknya dimuat dalam antologi bersama Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak
bersebab (2006).
Rahmiyati

Apa yang Masih Tersisa


dari Rindu yang Lelah?

Pada para raksasa yang tertawa


Pada binatang-binatang yang riang
Pada hijau yang sempurna dan
Pada tanah yang basah

Aku seperti renta yang bernafas pada ingatan masa kecil


Sungguh, aku seperti lagu-lagu cinta yang patah

Apa yang masih tersisa dari rindu yang lelah?


Rindu pada tanah yang silam
Adalah mimpi buruk yang selalu menyudutkanku
Di tempat yang sama
Mungkin yang tersisa hanya sisa
Seperti ketika manusia masih bisa tertawa
Saat hujan mulai retak
Saat hutan-hutan terluka

Maka saat itu pula dingin yang teduh enggan berbagi


Hanya riak-riak jelata yang meminta tolong
Tapi pada siapa dan entah pada tolong yang mana
Sungguh, yang tersisa hanya sisa
Hutan dan hujan
Entahlah

Rantau, 9 Juli 2006


Rahmiyati

Kepada Hijau yang Menangis

Kami tak lagi punya kekuatan sehingga hanya bisa ikut menangis
Tangis karena sedikit dari kami yang berkhianat
Terlalu naif dan lebih memilih diam lalu menyerah
Pada yang kusebut tajam melukaimu
Hanya rintihan kecil yang begitu samar
Nyaris tak terdengar
Sementara siang terlalu tuli
Dan hijaumu semakin tak tampak

Rantau,9 Juli 2006

Rahmiyati (Rantau, 8 Juni 1983). Sarjana FKIP Unlam jurusan PBSID. Semasa kuliah
aktif pula berteater di Komunitas Ilalang FKIP Unlam. Sajaknya dimuat dalam antologi
bersama Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak bersebab (2006).
Roeck Syamsuri Saberi

Nyanyian Hutan Larangan

Cerita apa lagi yang kau tuturkan hutanku


ketika ribuan pohon rebah tersandar
menangisi akarnya di sepanjang musim

Kidung apa lagi yang kau tembangkan hutanku,


ketika berpuluh gergaji mengusik rimbunan
pohon dari barisan hutan larangan

Protes apa yang hendak kau sampaikan hutanku,


ketika kau dengar raung bekantan yang kehilangan
anaknya, mati terhimpit ranting
dan kuik elang yang kehilangan sarangnya

Amanat apa yang ingin kau sampaikan hutanku,


ketika wajah dan parasmu gundul dan bopeng
oleh gencarnya perburuan dan penebangan liar
mengeringkan hijau dedaunanmu
dan gemercik air di antara akarmu

Hutanku, tatkala kau semaput dan kepayahan


tinggal sisa tangis embun yang menetes
dari ranting yang kering

Dan tunas-tunas di rebung dedaunan yang gugur


tak mampu menggapai tanah kehidupan
yang makin gersang dan tandus

Sementara keserakahan makin menina bobokan


nurani pembalak.

Marabahan, Juni 2006


Roeck Syamsuri Saberi

Raja Gundul

Kau memang tak peduli


meski kalian dicaci-maki
meski kalian meresahkan negeri
karena amanat yang kalian ingkari

Tidak sekadar ingin menikmati kesejahteraan


tapi nafsu serakah dan kerakusan
yang kau tampakkan

Pembalak, telah kau gunduli hutan larangan


telah kau runtuhkan gunung pujaan
telah kau cemari sungai kehidupan
telah kau rambah dusun impian

Gaduh teriakan di celah jendela kecemasan


tak pernah kau dengarkan
bahkan kau remas beratus hektar
hutan warisan

Jeritan derita karena banjir dan tanah longsor


tak pernah kau hiraukan
yang terbayang olehmu jutaan dolar kekayaan

Kau memang tak peduli meski kau dicaci-maki


karena kau adalah garis-garis mati
yang tak terketuk oleh nurani

Marabahan, Juni 2006

Roeck Syamsuri Saberi (Banjarmasin, 11 Juni 1949). Menulis sajak, cerpen, artikel
kebudayaan, dan naskah drama. antologi sajak tunggalnya Tembang buat Ida, Puisi-puisi
Mantra Jajarat dan Kariau (2003), Nyanyian Kuala (2003), dan Rumah Anakku (2003).
Sajak-sajaknya juga dimuat dalam antologi bersama: Banjarbaru Kotaku (1974), Riak-
riak Barito (1979), Kuala (1984), 7 Penyair Marabahan (1984), Menatap Cermin (1987),
Tembang Sungai Lirik (1993), Rimbun Tulang (1994), Bunga Api (1994), Bahalap
(1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Gardu (1998), Jembatan Asab (1998),
Sajak-sajak Bumi Selidah (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Seribu Sungai
Paris Berantai (2006). Pensiun PNS Pada Kantor Departemen Penerangan dan mantan
anggota DPRD Barito Kuala ini sekarang bergiat di Dewan Kesenian Kabupaten Barito
Kuala, menjabat Ketua.
Roestam Effendi Karel

Siapakah Lagi yang Peduli

Siapakah lagi yang kini masih peduli


pada jeritan pilu yang berkepanjangan
atau teriakan putus asa yang terancam
di antara deru serbuan besi-besi keserakahan

Dada kami, bumi ini telah lama dicabik-cabik


Bukit dan gunung-gunung kami digunduli
Hutan-hutan kami ditebangi
Sungai-sungai kami dicemari

Satu-satu kami terusir dan diusir


dari rumah kami, ladang-ladang kami
Satu-satu satwa sahabat kami berlarian
pergi dari habitatnya tanpa tujuan

Kami semua bukan lagi pemilik bumi ini


Bukit dan gunung-gunung ini
Hutan-hutan ini
Dan sungai-sungai ini

Mereka burung-burung besi


Kuda-kuda troya zaman kini
Merampas hak-hak dan kemerdekaan kami
Kami sudah tidak tahu lagi
Siapakah yang kini masih peduli?

Banjarmasin, 4 Mei 2000

Roestam Effendi Karel (Alabio, Kabupaten HSU, Kalsel., 1938). Penyair dan wartawan
yang pernah pernah menjabat Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Kalimantan Selatan ini selain menulis sajak juga menulis cerpen, esai sastra, dan naskah
drama sejak tahun 1950-an.
Sahdi Anak Amid

Hutan Bertutur

Ketika dongeng hutan


Bertutur tentang hutan
Tentang hijau dan hitam
Tentang halimun
Tentang Lembayung
Tentang harum

Satwa saling sapa


Memindai pekik dan auman
Melantunkan kicauan
Dan siulan

Dan hutan menuturkan


Kedamaian
Di telapaknya menetes air
Kehidupan

Halong, 9 Januari 1974

Sahdi Anak Amid (Kandangan, Kabupaten HST, 19 Februari 1951). Nama aslinya
Noor Sjahdi. Menulis sajak dalam berbagai bahasa, di antaranya Indonesia, Inggris,
Rusia, Thailand, Jepang, dan Banjar. Sajak-sajaknya berbahasa Thai dimuat dalam Asia
Pasific Scout Forum Bulletine (Bangkok, 1985). Sajaknya juga dimuat dalam antologi
bersama penyair Banjarbaru Bahana (2001). Purna tugas pegawai negeri sebagai Kepala
Dinas Pariwisata Kota Banjarbaru. Mantan Ketua Dewan Kesenian Banjarbaru ini
sekarang mengabdikan diri sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Islam
Kalimantan, Banjarbaru.
Sainul Hermawan

Rumahku Rawaku

Kemarau: debu dan asap


Penghujan: becek dan banjir
Laksana irama sedih dari senar-senar panting
Yang memadamkan purnama di atas banua

Siapakah yang menghitamkan nasibmu


Di tengah rimbunan kopiah haji
Yang kau beli setiap tahun dengan darah nurani
Yang mudah lenyap
Dihitamkan kembali oleh nasibmu

Bicaralah sederhana saja di rumahku


Dengan pikiran anak yang masih suka bertelanjang
Kaki, dada, kepala, dan hati
Aku mengerti tuhan telah ada saat Ia meniupkan udara pertama
Dalam relung persalinan
Tapi kenapa kau buat rumit
Membuat semua lupa
Pada daun hijau yang digilas truk batu bara
Pada air-air sungai yang mulai terasa gerah
Beraroma kematian dari kerukan-kerukan serakah di bumi kita

Rumahku di rawa-rawa
Dari kayu yang mudah bersenyawa dengan bara
Saat kemarau tiba
Dan kelalaian kita tak pernah sirna:
Betapa mahalnya menjadikan nasib sebagai hiburan
Menjelang pemilu atau perebutan kekuasaan

Rumahku di rawa-rawa
Kemarau: asap dan penyakit tenggorokan
Penghujan: musim bencana bertunas muda
Seperi jamur
Subur
Makmur
Bersama nasib yang tak mujur

Banjarmasin, 9/12/2007
Sainul Hermawan

Saat Hujan Bertemu Pasang

Saat hujan bertemu pasang


Kota kita berkecipak, tapi ini bukan banjir sayang
Hanya luapan air sungai beraroma pesing
Membawa entah lendir apa ke depan pintu rumah kita

Setiap hujan bertemu pasang


Kita tak pernah sempat berhitung
Berapa sungai telah mati
Rongga-rongga rawa kota kita
Arteri tanah banua dipasung, disumbat beton-beton

Jika kelak hujan maha deras bertemu pasang paling dalam


Mereka berpeluk mesra berhari-hari
Merendam kota kota kita bersama bah bau bangkai
Lantas kemana kita akan berpaling?

Kita terlalu jauh bicara peradaban


Mimpi-mimpi usang yang selalu kita usung ke kuburan latah
Lantas kita lupa memberi ruang pasang
Dan hujan yang ingin bercengkarama
Di rawa-rawa kota kita
Membuat panggung terbuka
Bagi kodok-kodok yang ingin bernyanyi

Banjarmasin, 9/12/2007

Sainul Hermawan (Desa Brakas, Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep, Madura,


Jatim, 13 Maret 1973). Setelah menyelesaikan studi pascasarjananya di Pascasarjana
Sastra Universitas Gajah Mada Jogjakarta pada 2003, dia kembali mengajar di
almamaternya, FKIP Universitas Islam Malang. Sejak 2005 menjadi staf pengajar di
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PS-PBSID) FKIP
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dengan spesialisasi mata kuliah Teori
Sastra, Kritik Sastra, Semantik, sosiolinguistik, Penerjemahan, dan Ilmu Budaya Dasar.
Menulis sajak, cerpen, esai dan kritik sastra, artikel seni, budaya, pendidikan, sosial,
politik, dan resensi buku. Selain sebagai dosen tetap di FKIP UNLAM, dia juga menjadi
dosen tidak tetap di STKIP PGRI Banjarmasin, membina mata kuliah Filsafat Ilmu dan
Penulisan Kreatif Sastra. Bukunya yang sudah diterbitkan adalah Tionghoa Dalam Sastra
Indonesia (2005) dan Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2005-2007 (2007). Kini bergiat
di Dewan Kesenian Kalimantan Selatan (Komite Sastra) dan berumah maya di
www.geocities.com/sainulh.
Sandi Firly

Sajak Sebatang Pohon Karet

Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi


seperti pasukan Abrahah di tepi hutan ini
berderap, menerbangkan debu hitam batubara
dan tanah kering merah bata

Pepohonan sunyi burung


embun lesap sebelum mencium daun
angin kaku, kehilangan peta arah
pada subuh beraroma barah

Tanah terang, anak penakik getah datang


wajahnya pucat lesi bulan kesiangan
telah terbayang harga karet turun beribu-ribu
sebab getahku berserbuk, kesat kain belacu

Nadiku tercekat berlarat-larat


dalam bola mata anak penakik getah yang sekarat
tepi hutan, tepi kematian
suaranya kian menghilang

Kubayangkan arakan ababil datang dari samudera sunyi


menghujani gajah-gajah besi dengan batu api
langit terbakar, berkibar, menerbangkan lelatu
tepi hutan ini pun berubah menjadi abu

bulan awal tahun 2008


Sandi Firly

Yang Bertahan dan Melawan


: kepada Jhonson Maseri di pegunungan Meratus

Selalu ada yang bertahan dan melawan


di tanah ulayat dan hutan larangan
setiap jengkal tanah, sebatang pohon
adalah warisan hidup tujuh turunan

Chico Mendes
lelaki liat hutan Amazonia
meradang
menghadang deru gergaji siang malam
meski akhirnya tumbang ditembus peluru bayaran
di tanah basah ia rebah
…,
dan kita membaca
seorang teman mengenangnya, Luis Sepulveda
pada buku Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta

bulan awal tahun 2008

Sandi Firly (Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalteng, 16 Oktober 1975). Alumni
FISIP jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin ini
sekarang menjadi Redaktur Pelaksana dan merangkap sebagai Redaktur Cakrawala Sastra
dan Budaya serta kolomnis di harian Radar Banjarmasin. Menulis sajak, cerpen, esai
sastra dan kebudayaan. Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi bersama Bulan Ditelan
Kutu (2004) dan Taman Banjarbaru (2006). Mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan ini sekarang bergiat di Rumah Cerita Banjarbaru
dan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru.
Shah Kalana Al-Haji

Risau Rimba Sunyi

aku tulis hati ini ketika derai kembang jambu


runtuh di air mata pedalaman
tangisan tak lagi jadi kesedihan

kemarau ngalir di sungai kayu merapuh pandang


kembang ilalang
kesedihan bukan pula ketakutan

tatap langit detak jantungnya telah henti


tinggal air mata yang curah di tingkap-tingkap
rimba mati

mambang kuning menjeram rekah tanah


mengeja asap menghitung hutan
mendesah kemarau air mata pedalaman
di musim-musim keakuan

tangisan tak lagi jadi duka


kesedihan bukan pula ketakutan
ketakutan bisa jadi bara murka
pemuka-pemuka pedalaman

tangisan
kesedihan
ketakutan
adalah risau sunyi pedalaman

aku tulis puisi ini ketika derai kembang jambu


runtuh ripuk di atas keringnya
mata air kemanusiaan

riau-kapuas-bontang-banua, 2006

Shah Kalana Al-Haji (Samarinda, Kaltim, 23 November 1970). Sajaknya dimuat dalam
antologi bersama Taman Banjarbaru (2006). Kini bergiat di komunitas Front Budaya
Godong Kelor Banjarbaru dan redaktur buletin sastra WaTas.
Syafiqotul Machmudah

Sebungkus Cerita untuk


Bumiku dan Bumimu
Inikah yang kau sebut bumi
Dengan lantang kau teriakkan sebagai tempatmu
menghembus nafas
Bisa kita ulang dengan perlahan!
Kali ini dengan ejaan dan suara yang membata saja
Karena yang kuyakini
bumi yang kau pijak ini hanya reruntuhan yang mulai
terserak
bumi yang menyanggahmu ini,
hanya ribuan hektar lahan yang mulai gersang dan
berubah warna
bisa kau ubah teriakanmu dengan berbisik saja
karena semua yang kau sebut dengan bumi,
bukan lagi tanah impian yang menjanjikan ribuan
mimpi hijau yang membentang
atau bukan lagi tempat menyambung nyawa yang
nyaman
bumi itu sudah mulai menua dan merapuh
tapi kau tak jua memapahnya dengan cinta dan kasih
yang membuatnya kuat dan terus tersenyum
bahkan kau pun telah mulai lepas kendali,
mulai menyiksa rentanya dengan air mata yang
menggenang
memotong tulang-belulang di tubuhnya yang telah
mulai manula

kau dan berjuta persepsi tentang bumimu itu,


begitu memuakkan bagai polusi seribu sampah yang
kau kalungkan sebagai aksesoris kotamu
sudahlah,
tak perlu kau teriakkan dengan lantang bumi-bumimu itu
karena yang terekam dalam benakku
bumimu itu telah membaur dengan bara hitam dan
hijau sawit
bumimu itu telah mengganas dalam banjir dan lumpur

kita sudahi sajalah,


dan taruh bumi-bumi kita dalam ruang yang semestinya
dalam udara yang seharusnya
dan di antara tangan yang mengasihinya
karena yang kuyakini bumi kita tak akan bisa bernafas
dengan baik tanpa cinta dari kita

sekarang kita bisa mulai teriakkan dengan lantang


dan dengarkanlah di telingamu bahwa bumi ini
milikmu dan juga milikku
satu dan indah dalam cinta kita

Banjarbaru, 12 April 2007


Syafiqotul Machmudah

Nyanyian Bisu sang Bumi

Mereka bernyanyi dengan hati dan suara yang terbata


hingga hampir tak tertata karena jiwa mereka
telah kau jadikan bara
yang hilang seketika terbawa udara yang kau hirup
dengan percuma

kau dan berbagai keinginanmu


telah menenggelamkan mereka dalam tangis yang tertahan
hingga akhirnya mereka hanya bisa menimbun amarah,
lewat bencana yang terkirim dengan beribu pesan untukmu

entahlah,
cinta mana yang kau bicarakan
kasih dan ketulusan mana yang kau berikan
yang terlihat hanya kau yang terpenjara oleh nafsu
menguasainya
yang terdengar hanya ribut kicaumu tentang
keserakahan menginginkannya
yang terasa hanya tangan-tanganmu sajalah yang
dengan leluasa menghancurkannya

Mereka bernyanyi dengan hati dan suara yang terbata


hingga hampir tak tertata karena jiwa mereka telah kau
jadikan bara
yang hilang seketika terbawa udara yang kau hirup
dengan percuma

kini bisa kau dengar nyanyian bisu mereka


nyaris, mereka hanya bisa menangis dan menangis
tak terkendali,
walaupun kau yang coba pegang kendali
hingga sukmamu akhirnya kalut
sempurna mengatakan dirimu sebagai pecundang

kau selalu muncul dengan warna-warni berbeda itu,


memukulnya, menendangnya dan mencoba menghentikan
nafasnya secara perlahan dengan jari-jari setanmu yang
menari-nari di tengah kegetiran ribuan makhluk.

Kau bisa tiba-tiba muncul dengan wajah hitam nan


dingin, lalu-lalang menyebarkan debu yang tak berkesudahan
dan meninggalkan jejak-jejak penuh bencana.
Ternyata perih itu benar-benar dengan indah kau buat
untuk para korbanmu.

Lalu tiba-tiba kau hadir di depanku dengan berjuta mesin


pemotong dan berdiri dengan gagahnya menantangnya.
Dengan derai tawa dan perhitungan keuntungan yang tak
berkesudahan kau mainkan tangan orang-orang bodoh
hingga akhirnya kau bodohi dirimu sendiri, kau ciptakan
khayalanmu yang semu, menata serakan daun kering seperti
kau tata dirimu yang bermoral bobrok.
Kau hijaukan hutan dengan sawit yang entah dengan
jumlah ke berapa telah menguasai berhektar-hektar
kehidupan masyarakat adat.
Kau sebut itu kemakmuran?
Kau pura-pura bodoh atau berkamuflase menjadi
orang pintar
Kau rusak hijaunya bumi yang alami itu dengan hijau
buatan yang menyengsarakan
Kau memang tak bisa berdamai dengan semua itu...
Damaimu hanya susunan uang yang kau sulap setinggi
piramida
Omonganmu hanya bual yang seketika layu terbawa hujan
Kau pura-pura bodoh atau berkamuflase menjadi
orang pintar
Kau dengar?
Dasi dan jasmu benar-benar membuatku muak
Kau tak ubahnya binatang bahkan binatang pun lebih
tinggi derajatnya darimu
Binatang berdasi, yah berdasi penghancuran dan berjas
pengkhianatan
Kau sadarkah itu?

Suara rakyatmu kau bayar bencana


Suara bumimu kau bayar bencana
Suara alammu kau bayar penghancuran
Suara Tuhanmu kau bayar pengkhianatan

Hingga
Mereka bernyanyi dengan hati dan suara yang terbata
hingga hampir tak tertata karena jiwa mereka telah kau
jadikan bara
yang hilang seketika terbawa udara yang kau hirup
dengan percuma

kini nyanyian mereka hanya bisa menjadi sejarah bisu


hingga bumiku yang dulu hijau akankah hanya dongeng
nenek moyang
untuk generasiku

lihatlah dirimu dalam cermin wahai penguasa


kekuasaan takkan membuatmu kekal
dan abadi dengan damai

Banjarbaru, 17 April 2007

Syafiqotul Macmudah, sering mencantumkan nama Viefin dalam mempublikasikan


karyanya.(Kebumen,13 oktober 1984). Penyair dan cerpenis perempuan produktif. Sajak-
sajak dan cerpennya banyak dipublikasikan di rubrik sastra harian Radar Banjarmasin.
Kini bermukim di kota Banjarbaru.
S. Surya

Sajak Burung-burung Negeriku

Burung-burung negeriku
bila kau tak mau kena peluru pemburu
atau pemulut menebar jala gala rindu
terbanglah kau ke hutan menuju hulu
di sana kau dapat beranak-cucu

Burung-burung negeriku
bila waktu datang juga pemburu
perambah liar, penebang pilih atau penebang
habis beratus ribu
mengungsilah kau ke semenanjung atau ke
hutan lindung bertengger di pokok kayu
tapi relakan anak-cucumu
yang tertinggal hidup mati tak menentu

Burung-burung negeriku
bila waktu datang juga pemburu
perambah liar, penebang pilih atau penebang
habis beratus ribu
mengungsilah kau ke awan atau ke langit biru
bila terpaksa serahkan diri pada tuhanmu.

S. Surya (Negara, Kabupaten HSS, Kalsel., 14 Mei 1945). Nama lengkapnya Sofyan
Hadi Surya Negara. Selain penyair dikenal juga sebagai pelukis, penyanyi, dan
dramawan. Antologi sajak tunggalnya yang sudah terbit adalah Sepi, Sajak Burung-
Burung Negeriku (1997), dan Nyanyian Anak Seribu Sungai (1998). Antologi bersama
yang memuat sajaknya adalah Panorama (1974). Penyair ini meninggal dunia di
Banjarmasin
Taufiq Ht

Selepas dari Hutan

Serdadu-serdadu liar kekal dalam nafasku


seratus kupu-kupu menjalar-jalar serupa siluman
daun-daun rontok menyajikan diri
menjelma buntalan ular!

Kuputari jalan-jalanmu
garis tanah terdengar rintih, sehening maut
di ranting rapuh, burung bicara lewat biru langit
mengabarkan rumah sangkar terburai lebar
berbaur teduh di ubun tanah, hilanglah segala tabiat

Akar-akar melengkung, merancahi batubatu


jauh menuju wangi rumput
di mana hinggap cahaya waktu

Telah kusinggahi hamparan-hamparan itu


paling tidak, biarlah aku menyimpan rahasianya sendiri
dari kesunyian yang paling jauh
di kegetiran sajak ini

Taufiq Ht (Barabai, 17 Juli 1982). Alumnus Perguruan Tinggi Negeri UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, jurusan Aqidah Filsafat. Semasa Kuliah, selain aktif di organisasi
kampus, ia berkecimpung di Sanggar Teater Eska UIN SUKA angkatan XV (binaan
Hamdy Salad dan Teater Garasi UGM Yogyakarta.
Yuniar M. Ary

Balada Banjarbaru

sore ini
kuguncang jantungku
dengan iringan truck iblis
dari gunung
yang datang membonceng angin tenggara
gemuruh menghempas dalam gelap
teriakan suara knalpot bercampur
asap solar
membakar pandang menyesak nafas

sore ini
air mancur simpang empat
berhenti muncrat
tidak ada bianglala yang bertebar
yang membentuk fenomena lorong gaib
laron dan belalang
mengungsi ke bukit
cahaya lampu yang berbinar
temaram redup gejolak perasaan berontak
di dada ada bara api
yang tak pernah padam
karena kotaku sayang
diperkosa dan diobrak-abrik
truck iblis
dari gunung

sore ini
kubasuh wajahku
dengan air mata wangi cendana
getaran dimensi kehidupan
memancarkan energi penyejuk
walaupun mendung
menggelantung di langit kita
Yuniar M. Ary

Mega Putih

sudah lama
mega putih tak berarak
di langit Banjarbaru
berpendar dihantam
angin puting beliung
dari hembusan
hidung kerbau pejabat kota
nafas-nafas tahi kuda
berkumpul di meja runding
kelabu menumpuk
mengotori cakrawala

para pendekar rakyat (baca: LSM)


mati suri
mulut mereka tersumpal
bongkahan hitam batubara
kawula cilik
tersengal
(dalam hati mereka bergumam: mampus lu)

kapan
mega putih berarak lagi
di langit Banjarbaru?
hanya
Tuhan yang tahu
Yuniar M. Ary

Waduk Riam Kanan

terbaring tidur ratusan gunung


bagai laskar antasari yang
kalah perang
membiru di antara mega kelabu
hijau pucuk ilalang
hutan gundul, hitam angus
kuik elang kawin
sudah tak terdengar
iwak nila, kalui dan tauman
berbaris naik ke hulu
yang tinggal
sapi kurus
kelaparan

tadi pagi
raksasa penjaga hutan
lagi ngorok
kekenyangan makan bakpao
reboisasi
lapor pak menteri
hutan sudah dihijaukan
sepuluh ribu hektar
kentut

air waduk sebening air mata


beriak diusap angin gunung
tik tok tik tok
kelotok berbaris memburu rejeki
ganti rugi
atas kuburan nenek moyang
yang mati lemas
tenggelam di dasar waduk

Yuniar M. Ary (Banjarmasin, 19 September 1942). Akhir tahun 1968 hijrah dan
bermukim di Surabaya serta bergabung dengan penyair Muhammad Ali, D. Zawawi
imron dan Sabrot D. Malioboro. Pernah menjabat Ketua Seni Sastra dan Research
Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) Banjarmasin (1967-
1968). Tahun 1999 pulang ke Kalimantan Selatan dan menetap di kota Banjarbaru. Sajak-
sajaknya dimuat dalam antologi bersama penyair Banjarbaru Notasi Kota 24 Jam (2003),
Bulan Ditelan Kutu (2004), dan Bumi Menggerutu (2005). Kini bergiat di komunitas
Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru.
Y.S. Agus Suseno

Suara Tanah Air dan Udara


Aku mendengar langkahmu, Saudaraku
Apakah kau melihat gerakku?
Akulah tanah. Kuberi kalian jalan: manusia hewan tumbuhan
Melalui tangan Tuhan kuberi kalian kehidupan
Sejak tanah dihamparkan bebijian tumbuh menjadi tanaman
Tak kubedakan apakah untuk kebaikan atau kebusukan
Padaku ditanamkan zat Tuhan:
memberi tanpa meminta
membagi seikhlasnya
Kalau aku sakit, kalianlah yang merasakan perihnya
Kalian taburi aku dengan insektisida, kalian yang merasakannya
Kalian bongkar isi perutku, kalian gali jantung dan empedu
Kalian ciptakan mahkota angkara kemegahan dunia
Tapi kalian jualah yang kelak menanggung bencana

Aku mendengar suaramu, Saudaraku


Apakah kau mendengar gemericikku?
Akulah air. Kuberi kalian minum: manusia hewan tumbuhan
Memancur di tangan Tuhan kuberi kalian kesejukan
Sejak aku dialirkan pepohonan tumbuh menjadi hutan
Tak kubedakan untuk apa aku digunakan
Padaku menetes rahmat Tuhan:
mengalir sebebasnya
membasahi mayapada
Kalau aku kotor dan bau, kalian yang mereguknya
Kalian campur aku dengan limbah beracun, kalian yang
menghirupnya
Kalian aduk kedalamanku, kalian cemari di hilir dan di hulu
Kalian buih ombak bencana keluasan sungai dan samudera
Tapi kalian jualah yang kelak tenggelam oleh prahara

Aku mendengar napasmu, Saudaraku


Apakah kau mendengar desirku?
Akulah udara. Kuberi kalian kemurnian: manusia hewan tumbuhan
Melalui napas Tuhan kuberi kalian kehidupan
Sejak aku dihembuskan tepungsari berhamburan
Tak kubedakan timur barat utara selatan
Padaku ditiupkan keabadian:
berembus di alam fana
menghidupi semesta
Kalau aku bising berisik, kalianlah pendengarnya
Kalian dentumkan raungan mesin zaman, kalian kehilangan
ketenangan
Kalian kotori aku dengan limbah industri, polusi dan gas emisi
Kalian bor keheninganku, kalian guncang kediamdirianku
Kalian jualah yang menanggung pilu

Akulah tanah air dan udara


Kalian mengaku membutuhkanku
Tapi kalian memang budak hawa nafsu
Kalian tak bergeming sebelum waktu

Banjarmasin, 22 April 2000


Y.S. Agus Suseno

Kuala

Dari hulu sampai pesisir sungai


Wajahmu berdarah. Hutan-hutan rebah
Dalam gelimang lumpur darah
Hablur keringatmu mendaki
Melumuri batang kayu besi

Engkau yang meratapi kaki langit


Menatap kegersangan gurun Kalimantan
Adakah tersiasa di hati perlawanan
Bersama mandau dan tombak
Mendayung mengarungi telaga empedu
Menelusuri rawa beku
Memanggili kepergian emas intan dan batubara
Yang mengalir ke kuala

Kuala. Kuala sungai siapa


Tempat para dewa bertahta
Perompak bermahkota
Mata hatinya tak ada

2000
Y.S. Agus Suseno

Air Mata Rimba

Air matamu turun di ujung daun


Ranting dan batang pohon
Membanjiri akar tunjang
Humus dan tanah rawa
Di manakah mata ikan yang berenang semalam
Di sungai tak ada
Jeritanmu tak bergema
Di lembayung matahari senja

Di sini tinggal kemarau yang tua


Membungkam kicau burung-burung terpenjara
Di rimba beton baja

Air matamu yang menggenangi danau hutan bakau


Menguap jadi embun
Mengambang di udara juga hatimu
Hatimu yang tak pernah damai
Sampai rimba langit tak terpermanai
Menjeritkan sangsai

2004

Y.S. Agus Suseno (Banjarmasin, 23 Agustus 1964). Menulis sajak, cerpen, esai sastra,
naskah teater, dan reportase seni budaya. Ia juga pemerhati dan aktivis teater di
Banjarmasin. Antologi sajak tunggalnya adalah Di Bawah Langit Beku (1991). Sajak-
sajaknya terhimpun dalam antologi bersama, antara lain Dahaga – B. Post 1981 (1982),
Forum Empat Penyair Muda Banjarmasin (1984), Elite Penyair Kalsel 1979-1985
(1986), Perjalanan (1990), Potret Pariwisata Indonesia Dalam Puisi (1991), Sahayun
(1994), Cerita Dari Hutan Bakau (1994), Wasi (1999), Seribu Sungai Paris Barantai
(2006), dan Taman Banjarbaru (2006). Kini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai