Anda di halaman 1dari 10

ELANG DI ATAS DESA

Senja baru saja menjelang dikampung Tanah Sirah.

Semburat cahaya orange sudah mulai menghilang ditelan

gelapnya malam. Kampung yang tadi sore sangat ramai

mendadak menjadi sunyi. Hal itu disebabkan oleh beberapa ekor

elang yang melintas di angkasa atas kampung itu.

“Akan ada lagi yang akan meninggal” mak Salma bergumam

didalam hati. Entah apa yang mendasari pemikirannya itu. ia

yang seorang “orang sakti” yang kata-katanya selalu didengar

oleh masyarakat kampung maghrib itu memandang ke angkasa.

Baginya burung elang yang melintas di atas kampung pada senja

hari adalah pertanda bahwa akan ada orang yang akan

meninggal. Entah apa yang mendasari pemikirannya itu.

semuanya tidak ada hubungan sama sekali. Tapi itulah, orang

kampung yang masih sangat lekat dengan mistik menelan

semuanya. Makanya, sekarang kampung itu sudah sunyi senyap.

***

Jam masih menunjukan jam 6 pagi, tapi udara sudah mulai

terasa panas. Entah kenapa sejak semalam sepincing pun aku

tidak bisa mengatupkan mata ini, padahal siang ini aku harus

menghadapi sidang tugas akhirku.

Semuanya telah aku persiapkan sejak enam bulan yang

lalu. Penelitian, makalahnya, serta dasar-dasar teori dari tugas

akhirku. Penelitian untuk tugas akhirku saja memakan waktu


tidak kurang dari empat bulan.

Gemuruh didadaku terasa kian kencang, gugupkah aku?

Aku rasa tidak, karena Sedikitpun aku tidak pernah merasa

gugup. Bagiku berinteraksi dengan orang lain adalah sebuah

kesenangan, makanya dulu aku bisa menjabat sebagai ketua

Senat mahasiswa kampusku. Aku juga ingat betapa dulu aku

sangat vokal, seorang Dekan saja sampai meninggalkan ruangan

sewaktu berdebat denganku.

Ah..itu masa lalu, sekarang aku sudah di akhir kuliahku,

seandainya nanti sidang tugas akhirku suskes maka aku sah

menyandang gelar seorang dokter. Seorang dokter, ah betapa

indahnya kata-kata itu, bahkan sangat indah. Mungkin aku orang

yang pertama kali menyandang gelar itu dikampungku. Betapa

bangganya nanti orang tuaku, anaknya telah menjadi dokter.

Sidang tugas akhirku berjalan lancar. Semua dosen penguji

salut dengan risetku. Apalagi aku dengan lancar menerangkan

semua teori yang berhubungan dengan risetku itu. oleh karena

itu semua dosen penguji sepakat memberiku nilai sempurna. Bagi

mereka aku telah menyelesaikan tugas akhirku dengan sangat

baik, mereka yakin aku membuat dan mengerjakan sendiri tugas

akhir itu. dalam perkiraanku, mereka, para dosen penguji yakin

aku tidak seperti kebanyakan budaya pelajar sekarang.

Kesenangan telah menyelesaikan sidang ujian akhirku

hanya berlangsung sesaat, entah kenapa dadaku kembali

bergemuruh. Getarannnya sangat kencang, tapi aku tidak tahu


darimana asalnya getaran ini.

Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya, tapi, tolong

hal itu tidak akan mungkin kulakukan di keadaan seperti ini.

Apalagi yang harus keperbuat supaya gemuruh ini reda? Entah,

aku sudah kehilangan akal untuk menghilangkan perasaan

cemas ini. kuambil HP kupencet sembarang nomor yang ada

didalamnya, lalu kumatikan. Kupencet nomor lain, lalu kumatikan

lagi. Hal itu kuulangi hingga beberapa kali, sampai aku bosan

sendiri.

“Ada apa aku ini? Tuhan tolong aku” aku menjerit didalam

hati. Kucoba membuka semua memori yang pernah tersimpan di

kepalaku, siapa tahu ada yang terlewatkan, semakin keras aku

berusaha berpikir, semakin bingung aku dibuatnya. Dalam

kebingungan masih meliputiku, tiba-tiba mataku terantuk pada

sebuah album foto.

Saat akan membuka album foto itu, entah kenapa gemuruh

didadaku semakin kencang. Kupelototi satu persatu foto yang

ada di dalam album itu, aku ingat semua foto didalam album itu

kuambil waktu aku tamat kelas tiga SMA. Kuperhatikan lagi

dengan seksama setiap foto yang ada di dalam album itu,

semuanya masih sama seperti waktu aku dulu membawanya dari

kampung. Foto keluargaku lengkap, ayah, ibu, kakak dan adekku,

masih terletak di sampul depan, foto desaku yang kuambil dari

puncak bukit masih menunjukan betapa indahnya desaku yang

terletak diantara dua gunung itu. semuanya masih seperti dulu


pikirku, Cuma satu yang agak berubah, yaitu foto-fotonya sudah

mulai kusam.

Sial, mataku silau karena beradu dengan sinar matahari

yang menerobos dari celah-celah dinding kamar kosanku ini.

kulirik jam, ternyata sudah jam 8 pagi, astaga aku tidak sholat

Isya dan Subuh. Perasan menyesal kemudian menyelimutiku,

“Ampuni aku ya ALLAH, aku telah lalai mengerjakan perintahmu”

aku berujar lirih.

Byur..aku segera mengguyur tubuhku dengan air. Huf!!

Lumayan segar, walau tak sesegar air dikampungku. Kalau

dikampungku, jangankan mandi jam enam pagi, jam sembilan

pagi saja air masih sangat dingin, aku jadi teringat dulu aku

sering tidak mandi pagi kalau berangkat ke sekolah, lebih baik

mencuci muka saja, pikirku waktu itu.

Semenjak kemaren entah kenapa pikiranku selalu saja

tertuju kepada kampungku, wajar memang, sebab semenjak

kuliah aku baru dua kali pulang kampung, itupun pada waktu

lebaran. Selebihnya aku tidak pernah pulang, tidak ada masalah

dalam hal tersebut, sebab jika bicara jarak, lama perjalanan dari

kampungku ke kota tempatku kuliah Cuma delapan jam diatas

bus, lalu soal biaya, aku juga tidak mempunyai masalah.

Itulah hal yang selalui kujadikan alasan kepada teman-

temanku, “Terus apa dong masalahnya?” kebanyakan teman-

temanku pasti akan bertanya begitu, dengan enteng aku selalu

menjawab “Ya suka-suka gue dong”. Mereka kebanyakan masih


penasaran, kemudian kembali menimpali, “Orang Tua gimana?”

pada awalnya mereka tidak akan pernah percaya kalau aku

bilang orang tuaku malah mendukung aku jarang pulkam, “Kok

gitu sih???” protes mereka pada umumnya.

“Rio, ini ada surat buat kamu, aku letakkan diatas meja

kamarmu” terdengar suara parau dika, tetangga kosku. “Surat

dari siapa?” aku berteriak dari dalam kamar mandi, “Baca saja

sendiri kayaknya penting” ujar Dika sambil berlalu. Dengan

bergegas aku menyelesaikan mandi, benakku diliputi berbagai

pertanyaan, siapa yang mengirim surat itu untukku.

Dari ibu ternyata, ada apa gerangan? Batinku bertanya

sesaat surat itu kupegang. “Nak, sekarang saatnya kau

mengabdikan ilmu yang telah kau dapatkan untuk kampungmu.

Pulanglah dengan segera nak, orang kampung membutuhkanmu”

apa lagi ini?? aku semakin bertanya-tanya setelah membaca

surat itu. tanpa pikir panjang segera kukepak barangku,

kutelepon agen bus menuju kampungku, apa masih ada mobil

yang berangkat hari ini. ternyata aku beruntung, satu jam lagi

akan ada mobil yang berangkat. “Ya sudah, saya pesan satu kursi

pak, jemput ke jalan Pahlawan blok-d 4, makasih pak” aku

menutup telpon. Mobil datang tepat satu jam kemudian. Semua

penumpang telah duduk di kursi masing-masing. Aku kebetulan

dapat duduk di kursi terdepan disebelah supir. Disamping duduk

seorang perempuan paruh baya, di bagian belakang tidak

satupun aku mengenal penumpangnya. Berarti Cuma aku saja


yang dari kampungku, semuanya rata-rata pasti akan turun di

kota kecamatan, aku membatin.

Perjalanan terasa sangat lambat sekali, aku tersadar saat

sang supir menepuk pundakku seraya mengatakan telah sampai.

“lah sampai diak, jagolah lai”, aku yang baru tersadar spontan

mengucek-ngucek mataku, ah ternyata diluar telah gelap.

Penumpang yang lain semuanya sudah pada turun, kulirik jam,

sudah jam delapan malam. Kucari mushala terdekat untuk

menunaikan sholat Isya. Selesai sholat aku memutuskan hendak

tidur saja di mushala itu sampai pagi, karena mobil yang

mengangkut penumpang dari kampungku ke kota kecamatan

Cuma beroperasi pada pagi dan sore hari saja. Pada pagi itu

untuk mengangkut hasil sayuran ke kota kecamatan, sorenya

untuk pulang para petani itu setelah berbelanja kebutuhan

harian. Makanya malam ini aku memutuskan tidur di mushala ini

saja.

“Rio” terdengar seseorang memanggilku. Ternyata suara itu

berasal dari suara Mak Itam, tetanggaku yang baru saja dari

jamban mushala itu. “Mak Itam” aku seperti tidak percaya,

“Ngapain Mak malam-malam ke kota kecamatan?” aku bertanya

sedikit menyelidik, “Mamak membeli ini” ujar Mak Itam seraya

menyerahkan kertas putih kepadaku. “Untuk siapa ini Mak?” aku

kembali bertanya. “Itu untuk anak mamak, si Putri, masih ingat

kau?” “masih dong mak, masa Rio lupa sih” aku berkata pelan,

“Lalu dari siapa Mak mendapat resep ini?” aku masih penasaran,
“Itu dari buk dokter bantuan dari kecamatan, sebab telah enam

orang yang meninggal karena penyakit itu sampai sekarang.

Makanya dokter dari kecamatan diutus ke desa, tapi sayang

Cuma beberapa orang saja yang mau berobat ke dokter.

Selebihnya masih percaya pada mak Salma, kau tahu sendirilah

kebisaan orang kampung kita.

”Ya tahu lah, hal itulah yang menyebabkan orangtuaku

melarangku untuk sering-sering pulang. Dengan sikapku yang

kritis mereka takut aku akan menjadi musuh masyarakat

kampungku, bagi mereka lebih baik aku jarang pulang daripada

harus bermusuhan dengan mak Salma dan orang kampung. Aku

masih ingat saat terakhir pulang, saat itu aku berdebat keras

dengan orang kampungku yang membela mak Salma. Mereka

mengatakan anak yang saat itu suhu tubuhnya sangat panas dan

menggigil Tasapo, aku bilang anak itu Cuma demam.

Tidak satupun mereka percaya padaku, dua hari Mak Salma

berusaha mengobati anak itu, tapi sedikitpun tidak ada

perubahan. Ibuku yang mengetahui permasalahannya, membantu

dengan memberikan obat demam dariku kepada orang tua anak

itu. dan esoknya anak itu telah sehat kembali. Sebagai catatan,

anak itu adalah Putri, anak dari Mak Itam yang kini berada di

dekatku ini.

Itulah sebab utama mengapa aku sangat jarang pulang

kekampung. Selain itu kesibukanku di organisasi kemahasiswaan

yang aku ikuti ikut menyedot waktuku. “Kamu mau pulang,?”


tiba-tiba mak Itam bertanya kepadaku, “Iya dong mak, ibu

menyuruhku untuk cepat sampai rumah. Tapi, mak yakin orang

kampung semuanya meninggal karena penyakit ini?” aku

berusaha meyakinkan diriku. “Iya, mak sangat yakin sebab ibuk

dokter juga bilang begitu” mak Itam menjawa datar. “baik mak,

aku pulang bareng dengan mak saja, tapi tunggu dulu sebentar”

aku segera berlari meninggalkan mak Itam yang masih

keheranan.

“Saya beli semuanya” aku membeli semua vaksin penyakit

seperti yang mak Itam bilang, yang tersisa di satu-satunya apotik

yang ada di kota kecamatan ini. apotik ini tadinya hampir tutup.

Lalu, aku menelepon salah seorang teman untuk mengirimkan

peralatan yang rasanya aku perlukan untuk penanganan penyakit

ini. aku pastikan kepadanya, sebab kirimannya harus cepat

sampai.

Kalau sudah berada di kampung, otomatis aku sudah tidak

bisa menghubunginya, sebab jaringan seluler belum sampai ke

kampungku. “Ayo mak, kita pulang” aku mengejutkan Mak Itam

yang termenung sembari menghisap tembakau. “sudah siap kau

kiranya” ayo kita berangkat. Aku segera membonceng sepeda

motor astrea bulan milik Mak Itam.

Butuh waktu setengah jam lebih untuk sampai di

kampungku, selama perjalanan kami lebih banyak diam hanyut

dengan pikiran masing-masing. Sesampai di kampung, aku tidak

segera menuju rumah, tapi lebih dahulu ke rumah mak Itam.


Segera aku Vaksinasi Putri anak Mak Itam dengan obat yang tadi

aku beli di kota kecamatan. Mak Itam dan Istrinya juga aku

Vaksinasi. Awalnya istri mak Itam menolak aku vaksinasi, tapi

setelah diberi penjelasan oleh Mak Itam, akhirnya istrinya pun

mau.

“Assalamualaikum” aku mengucapkan salam sembari

mengetok pintu rumahku, “Waalaikumsalam” aku mendengar

suara ayah dan ibu serentak menjawab dari dalam. “Akhirnya

pulang juga pahlawan ayah” ayah memelukku saat melihat aku

ada di depan pintu, “Ti,Ti…anakmu pulang ni” ayah sedikit

bersorak memanggil ibu. Aku lihat ada air mata menetes di

pelupuk mata ibu. Air mata kebahagiaan tentunya. Setelah

melepas penat, aku berbincang dengan kedua orang tuaku,

kebetulan adikku juga belum tertidur.

Dari pembicaraan dengan kedua orangtuaku aku tahu

sedang terjadi wabah cacar air di kampungku. Kedua orang tua

dan adikku telah divaksin oleh dokter dari kecamatan.

Sedangkan warga kampung lainnya sama sekali tidak mau, hanya

mak Itam saja yang mau, itupun setelah didesak oleh ibuku. Hari

ini setelah kiriman dari teman datang aku berencana untuk

mendatangi satu persatu rumah penduduk.

Pada awalnya tidak ada satupun yang mau ku vaksinasi.

Semuanya masih percaya pada mak Salma. Habis juga akalku

untuk mengajak warga kampungku. Untunglah esoknya petugas

puskemas dari kecamatan datang. Bersama kami meyakini


penduduk untuk mau divaksinasi, akhirnya dengan bantuan dari

Mak Itam beberapa penduduk akhirnya mau divaksinasi. Esoknya

usaha kami untuk memvaksinasi penduduk semakin mudah,

dengan kesaksian Mak Itam dan anaknya Putri yang telah

sembuh semakin banyak penduduk yang mau divaksinasi.

Seminggu setelah itu semua warga kampungku telah

divaksinasi. Cuma satu keluarga yang tidak mau divaksinasi,

yaitu keluarga Mak Salma. Sore ini aku mendatangi rumah mak

Salma, masih dengan tujuanku untuk memvaksinasinya.

“Assalamualaikum” aku mengucapkan salam. “Walaikumsalam”

aku melihat Mak Salma memandang kepadaku, “Kenapa lagi kau

kemari?” kalau kau mau memberiku, yang kausebut vaksin itu,

kukatakan sekali lagi aku dan keluargaku tidak mau” Mak Salma

bicara dengan nada yang tinggi. “Tapi Mak..” “Alah, tidak ada

pakai tapi-tapi, kualat kau anak muda sekarang pergilah kau dari

hadapanku. Tahu apa kau tentang penyakit. Kau pasti akan

menerima balasannya.” Belum sempat aku berbicara Mak Salma

kembali membentakku.

Kau lihat itu anak muda, elang melintas diatas desa kita.

Kau tahu itu pertanda besok akan ada warga kita yang

meninggal.” Sekarang pergilah kau, aku diusir oleh Mak Salma.

Esok paginya kulihat orang ramai didepan rumahnya Mak

Salma, “Mak Salma telah mendahului kita” belum sempat ku

bertanya ibuku telah menjelaskan padaku.

Anda mungkin juga menyukai