PROPOSAL PENELITIAN
Oleh:
Rudy Wiratama
09/282836/SP/23591
YOGYAKARTA
2010
Ragam Kemasan Pentas Wayang Kulit Purwa sebagai Media Kampanye dan
Pakeliran wayang kulit purwa sebagai sebuah seni pertunjukan yang masih
terus hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak masa kemunculannya hingga
dari kepentingan estetik murni, ekonomi (lewat acara penggalangan dana sosial,
sarana mencari nafkah bagi dalang dan awak produksinya), pariwisata, religi
(lewat acara ruwatan, bersih desa dan sedhekah bumi), sosial budaya (dalam
peristiwa pernikahan, khitanan dan kelahiran), hingga politik. Sebagai sebuah seni
yang bersumber dari dalam lingkungan keraton sebagai pusat pemerintahan, tidak
dapat dipungkiri bahwa pakeliran wayang kulit purwa amatlah dekat dengan dunia
politik dan kekuasaan, sehingga amat mudah pula bagi para elit politik untuk
memanfaatkan seni pertunjukan ini sebagai salah satu sarana penyampai pesan
politis dalam bentuk yang amat beragam, mulai dari sekedar pengokohan
2
politik mulai dari tingkat terbawah hingga pusat masih saja memanfaatkan media
penyangga kehidupan seni pakeliran ini, wayang telah menjadi bagian yang tak
sehari-hari mereka. Meskipun cerita wayang kulit purwa berasal dari epos Hindu
aspek kehidupan orang Jawa terus berjalan hampir tanpa masalah, dari generasi ke
nilai dari dunia pewayangan akibat langkanya pertunjukan wayang dan hilangnya
ketertarikan dan pemahaman generasi muda orang Jawa akan pakeliran secara
teknis, baik dari segi kemasan pertunjukan maupun linguistik sebagai bahasa
pengantarnya, akan tetapi kelekatan orang Jawa dengan dunia pewayangan terus
hidup dan tumbuh setiap waktu, seiring dengan terjadinya inovasi-inovasi dalam
dengan lebih mudah ke dalam alam pikir mereka lewat kisah-kisah dan
model ideal bagi masyarakat, seperti Prabu Kresna, Bima, Arjuna, Gatotkaca dan
Panakawan. Kedekatan ini berlaku secara universal dalam berbagai lapisan sosial
3
pendidikan, kesejahteraan materi ataupun ideologi, asal-usul dan keturunan. Hal
ini pula yang kemudian membuat seni pertunjukan wayang kulit purwa menjadi
pesan politik dari berbagai pihak secara persuasif, terutama setelah masa
kemerdekaan, di mana dunia politik tidak lagi bersifat unipolar (satu kutub)
dengan keraton sebagai pusat politik dan pemerintahan, melainkan telah menjadi
multipolar inilah yang kemudian menuntun masyarakat untuk menjadi dewasa dan
dan segenap organisasi afiliasinya. Di sisi yang lain pula, partai politik yang ,
ingin mencitrakan diri sebagai sebuah perhentian yang tepat bagi para
sebuah citraan ideal sebagai sebuah solusi bagi problematika masyarakat ini pula
yang mendorong partai politik ini bisa diwujudkan dengan berbagai cara, seperti
sosialisasi dan kampanye yang pada hakikatnya adalah proses transmisi stimulus-
menghadapi kerangka ideologis masyarakat Jawa yang amat dekat dengan citra
4
sosialisasi belaka, akan tetapi lebih jauh lagi dalam rangka pembangunan citra
politis ini para pemakai media pagelaran wayang kulit, dalam hal ini organisasi-
untuk itu.
sosialisasi politik berbagai institusi ini sebenarnya sudah dimulai sejak Pemilu I
(1955) sampai akhir masa Orde Lama (1966), yang bahkan mengakibatkan
memberikan pencerahan batin bagi penikmatnya. Pada masa Orde Baru pun, tren
seperti ini terus berlanjut, meskipun semangat yang dibawa sudah beralih menjadi
kewajiban melaporkan konten dan meminta izin pentas kepada birokrasi dan
otoritas setempat. Setelah era reformasi berjalan (1998), wayang sebagai media
media pertunjukan wayang kulit purwa. Tidak seperti yang terjadi di era
sebelumnya, ketika kini wayang kulit purwa telah menjadi sebuah industri hiburan
kesenian ini sebagai sarana komunikasi politik menjadi semakin luas, tidak hanya
5
sebatas pembuatan lakon carangan saja, melainkan telah merambah ranah
jauh lagi, yang akan kita bahas lebih lanjut dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa masalah yang akan dikaji dalam
potensial?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa sajakah aspek seni pakeliran wayang kulit purwa
6
2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik identitas organisasi politik,
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam segi akademis maupun praktis,
yaitu:
• Manfaat Akademis
ranah ilmiah, sehingga dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang seni
• Manfaat Praktis
Lewat penelitian ini, diharapkan para pengguna sarana pertunjukan wayang kulit
purwa sebagai media komunikasi politik, baik dalang, penanggap maupun penulis
naskah lakon dapat mengetahui aspek mana sajakah yang tepat untuk disisipi
7
pesan politis dan seperti apakah respons masyarakat terhadap bentuk-bentuk
menetapkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien dalam penggunaan media
penelitian ini juga sebagai masukan bagi masyarakat, khususnya para penikmat
seni pakeliran wayang kulit purwa, agar dapat bersikap kritis dan proaktif dalam
muatan politis dalam seni pakeliran wayang kulit purwa telah melebihi batas
E. Kerangka Pemikiran
untuk mengetahui latar belakang kultural, sejarah, aspek teknis pertunjukan dan
pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta yang kami jadikan sebagai objek utama
penelitian ini.
yang beragam. Kata kampanye sendiri dalam bahasa Inggris memiliki dua makna
8
yang berada dalam konteks yang jauh berbeda, yaitu: serangkaian tindakan untuk
mencapai sebuah tujuan tertentu, atau sebuah operasi militer yang dilaksanakan
dalam keadaan perang1. Tentu saja dalam konteks ini definisi yang mendekati
harapan kita adalah definisi pertama yang sayangnya masih terlalu luas, sehingga
umum sebagai sebuah periode yang disediakan oleh panitia pemilu untuk
memaparkan program kerja dan memengaruhi opini publik sehingga mau memilih
Sementara Norris (2000) juga memberikan definisi yang hampir sama tentang
kampanye politik, akan tetapi lain halnya dengan Lilleker dan Negrine yang
pencitraan (imaging) di mata masyarakat bahwa merekalah yang paling peduli dan
kampanye politik tidak dibatasi oleh waktu, melainkan bisa saja terjadi dalam
1
__________. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University Press, p.58.
2
Firmanzah. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, p. 270-271.
9
kampanye yang tak terpisahkan dengan citra kandidat dan pemilihan umum.
kekuasaan, dan kampanye memiliki tugas untuk menutup kekurangan itu guna
tata laksana dan kemasannya makin lama bisa semakin berkembang, bahkan
sekarang kampanye bisa dilakukan tidak hanya di atas podium saja seperti pada
masa-masa awal demokrasi3. Konten sosialisasi politik berupa kampanye ini dapat
dimasukkan dalam ruang-ruang yang semula tak terjamah, semisal dalam bentuk
pertunjukan hiburan (panggung musik, teater, bahkan film), iklan, bahkan dalam
krusial, yaitu: (1) Pre-primer, (2) Primer, (3) Konvensi dan (4) Pemilihan Umum4.
kandidat mulai merumuskan siapa dirinya dan membentuk citraan ideal tentang
10
mendatang. Dalam tahap ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pihak
partai politik untuk penunjukan kandidat dan persiapan transmisi pesan politik
menentukan isu utama yang akan diangkat melalui kampanye dan pemilihan
umum mendatang5.
Tahap Primer adalah sebuah tahap ketika kandidat telah diperoleh dan mulai
informasi yang cukup tentang siapa sebenarnya seorang kandidat itu dan mulai
terlibat dalam proses komunikasi politik. Tahap primer ini adalah tahap ketika
mulai terjadi transaksi pesan antara kandidat dan konstituennya secara praktis.
Pada tahap ini, massa mengenali partai politik dan programnya dalam
personifikasi kandidat, dan karenanya merasa lebih dekat lagi dengan wadah
umumnya, para kandidat mulai turun ke lapangan dan memperkecil jarak dengan
meskipun secara virtual, tentang siapa yang akan mereka dukung pada pemilu
kandidat atau partai yang telah mentransmisikan pesannya kepada konstituen akan
5
Ibid, p.27-32
6
Ibid.,p.48-49.
11
dari masyarakat dan hanya bisa diakses oleh media-media besar. Akan tetapi, di
sisi lain citraan kandidat dan partai telah menjadi baur dan hidup di benak
mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari sang kandidat atau partai. Pada
tahap ini legitimasi dibangun lewat ritual-ritual politik. Tidak diperlukan lagi
sosialisasi politik yang bersifat persuasive pada tahap ini karena pada hakikatnya
telah terjadi integrasi massa ke dalam faksi-faksi kandidat atau partai. Di sini
keempat tahap tadi, sekaligus merupakan puncak dari proses komunikasi politik
yang dirintis dalam ketiga tahap sebelumnya, karena pada saat ini yang dapat
diamati hanyalah aspek kuantitatif lewat hasil penghitungan perolehan suara dan
persebarannya7.
terutama pada tahap kedua dan ketiga, meskipun ada beberapa kasus yang akan
dibahas lebih lanjut tentang penggunaan wayang kulit purwa sebagai media
Karesidenan Surakarta.
12
dengan simbol-simbol dan citraan politis tertentu, untuk meningkatkan
partai politik8.
masyarakat pada masa pemilu amatlah sedikit dipengaruhi campaign appeal yang
dimiliki oleh seorang kandidat. Sebaik apapun kandidat dalam kehidupan nyata,
menurut Nimmo, harus didukung dengan kemasan yang baik, berdasarkan asumsi
dan teknik komunikasi tertentu. Hal ini perlu, terutama bila mengingat bahwa
pemenangan kandidat dalam pengambilan suara dan bila individu tertentu saja
karena pada dasarnya sebaik apa pun individu yang diusung oleh sebuah partai
pasti memiliki kecacatan, kelemahan dan tidak bisa memenuhi harapan orang
banyak. Oleh karenanya, sifat komunikasi yang harus diberikan hendaknya tidak
afektif dari para pemilih, untuk meyakinkan mereka memilih sebuah wadah
13
terutama kampanye, ada delapan pendekatan yang bisa digunakan untuk meraih
dianggap dekat di hati masyarakat tentang seorang kandidat atau partai, bisa
artis, tokoh agama, ataupun politisi lain yang lebih dulu berkecimpung di
mata masyarakat bahwa para kandidat atau fungsionaris partai ini sebenarnya
adalah bagian yang melekat erat dalam masyarakat dan karenanya sudah
“saudara” yang mudah dijangkau. Praktek plain folks ini bisa menggunakan
3. Snob folks, berkebalikan dari plain folks, metode ini menganjurkan agar
dengan tingkat toleransi yang disesuaikan dengan norma dan nilai yang
14
5. Glittering generalities, ialah tindakan yang menggambarkan fakta secara
dapat dilakukan bila sebuah institusi kandidat atau partai politik yang
muka umum
kurang terkait dengan titik acuan yang seharusnya dicapai, semisal pembelian
lama hidup dan dekat dengan masyarakat, di berbagai belahan dunia telah
15
sama, sehingga mereka mau menerima persuasi selanjutnya tentang saran-
hiburan dan media secara teknis maupun nonteknis pertunjukan dapat meliputi
semua metode tersebut dalam segi teknis maupun muatannya, sehingga dianggap
Sri Muljono dalam bukunya Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya
sebagai media kampanye politik telah sejak dahulu terjadi ketika pakeliran
wayang kulit purwa tumbuh di bawah patronase para elit politik, semisal kaum
aristokrat maupun raja sendiri. Berkaitan dengan itu, kedekatan wayang kulit
purwa dengan para pemegang kebijakan ini mengakibatkan bentuk kesenian ini
memiliki fungsi ganda sebagai sarana ekspresi seni murni dan wahana legitimasi
dan hegemoni yang dipergunakan oleh para bangsawan guna meraih kepatuhan
mendapatkan pembenaran atas perang saudara yang disulutnya atas kakak tirinya,
yaitu Hemabhupati. Dalam kedua kasus ini kedua raja tersebut menempatkan diri
sebagai sosok protagonis, yaitu Arjuna dan Pandawa, sementara pihak lawannya
10
Anthony Casale dan Ula Casale. Content Area Reading: a Heuristic Approach. Ohio: Merrill
Publishing Co., p.253.
16
ditempatkan sebagai kaum raksasa atau Kurawa. Kedua kakawin ini kemudian
menjadi sumber cerita wayang kulit purwa yang berkembang pada saat itu. Pada
berkaitan dengan penggunaan wayang sebagai sarana komunikasi politik, bisa jadi
karena belum terlalu memasyarakatnya kesenian ini, atau karena para raja dan
para dewa Hindu dibandingkan dengan para tokoh Mahabharata atau Ramayana
politik belaka, akan tetapi di sisi lain juga sarana penanaman nilai-nilai ideal
11
Sri Mulyono. Wayang,Asal-usul,Filsafat dan Masa Depannya.Jakarta: Alda, p.232-233.
12
Kathy Foley dalam Kanti W.Walujo. Wayang Kulit as a Medium of Communication. Surabaya :
Fakultas Komunikasi Universitas Dr. Soetomo, p.4-5.
17
S. Haryanto dalam Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan
wayang kulit purwa sebagai media komunikasi politik telah memunculkan ragam-
jauh lagi, setelah menginjak era Pemilu I dan seterusnya, penggunaan wayang
melainkan telah menjelma menjadi kepentingan parsial yang memuat ideologi dan
Baru, tendensi politik ini makin terwadahi semenjak secara organisasional para
13
S. Haryanto. 1988. Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta:
Djambatan, p: 184.
14
Wawancara dengan dalang senior dari Surakarta, Ki Bambang Suwarno,S.Kar, M.Hum, tanggal
3 April 2010. Dalam wawancara ini beliau menyebutkan beberapa contoh seperti ketika terjadi
konflik Soekarno-Nasution, para dalang di Jawa Tengah, terutama dalang-dalang anggota Lekra
(Lembaga Kesenian Ra’jat) menciptakan genre lakon-lakon “Kembar”, seperti Gathutkaca
Kembar, Kresna Kembar Telu, Janaka Sewu dan lain sebagainya. Keterangan yang hampir sama
didapatkan dari Ki Sutarko Hadiwacono dan Ki Hali Djarwosularso, tentang penggantian lambang
negara Amarta dari “Kalimasada” (Ketuhanan) menjadi “Polorito” (Palu Arit-lambang Partai
Komunis Indonesia) dan adanya tokoh wayang Jaran (kuda) yang secara peyoratif dimaksudkan
untuk melecehkan faksi Islam (Masyumi-NU-Muhammadiyah) dengan tatahan berbentuk “bulan-
bintang” di kepalanya, dan tokoh Banteng yang digambar serupa dengan logo PNI (Partai Nasional
Indonesia) yang memang berbentuk banteng.
18
asuhan tokoh-tokoh pemerhati budaya yang mayoritas adalah tokoh-tokoh
birokrasi dan Golkar (Golongan Karya) yang memang berkuasa pada saat itu.
Keterangan yang hampir sama didapatkan pada buku Umar Kayam yang
berjudul Kelir Tanpa Batas (2001) yang menyatakan bahwa secara paradoksal
perhatian lebih yang diberikan birokrasi dan institusi politik kepada seni
makna sejatinya sebagai “tontonan dan tuntunan”, akan tetapi terlepas dari
penilaian etis atas fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa campur tangan
perkembangan seni wayang kulit purwa sebagai seni kemasan dan seni
variasi pakeliran yang bermotifkan politik sebenarnya terjadi bukan hanya karena
ikatan masyarakat dengan dalang dan pertunjukannya semata, akan tetapi juga
semacam “balas budi” yang dilakukan oleh dalang akibat sebuah institusi politik
15
Umar Kayam. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media, p. 230-232.
16
Bambang Murtiyoso. Menggapai Popularitas: Aspek-Aspek Pendukung menjadi Dalang
Kondang. Surakarta: ISI Press, p. 46.
19
Dari berbagai uraian dan sumber di atas, dapat kita ambil pokok-pokok
pemikiran utama yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya pada penelitian
ini, yaitu:
sejiwa dengan semangat kampanye itu sendiri, yang bersifat populis dan
jelas. Sebaliknya, dari sisi institusi politik, setiap partai pun memiliki
20
efektif pula transmisi pesan politik yang dilakukan oleh partai atau
Kedua pokok pemikiran ini akan menjadi landasan peneliti dalam pengumpulan
wayang kulit purwa yang berfungsi sebagai media kampanye politik di eks-
1. Objek yang diteliti hanya sebatas pakeliran wayang kulit purwa gaya
21
3. Peneliti mengklasifikasikan dalang sebagai pelaku utama pertunjukan
22
Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-64, bukan dalam konteks politik
kepartaian.
partai dan sebagainya) dan pertunjukan wayang kulit yang diadakan oleh
DAFTAR REFERENSI
23
A. KEPUSTAKAAN
University Press
Jakarta: Djambatan
24
Nimmo,Dan N. 2001. Political Persuaders: The Techniques of Modern Election
Littlefield
B. WAWANCARA
25