2340
Selasa, 28-Juni-2005, 01:40:45
klik
Dalam tiga dasawarsa terakhir, peredaran gelap dan masalah narkoba di
Indonesia terus berkembang. Hal ini antara lain tercermin dalam berbagai kasus
kejahatan yang terkait masalah narkoba, termasuk berupa candu, hashis, heroin,
dan morfin.
Yang selalu terpikir dalam merefleksi Hari Anti-madat Sedunia yang jatuh setiap tanggal
26 Juni adalah fakta makin tingginya kasus penyalahgunaan narkoba. Data menunjukan
bahwa jumlah kasus narkoba meningkat dari 3.478 kasus tahun 2000 menjadi 8.401 kasus
pada 2004 (atau naik rata-rata 28,9% per tahun). Sedangkan jumlah tersangka tindak
kejahatan narkoba naik dari 4.955 tersangka tahun 2000 menjadi 11.315 tersangka pada
2004 (naik rata-rata 28,6% per tahun).
Pengguna narkoba dengan jarum suntik juga meningkat. Bahkan dari 169 ribu pengguna
lebih, 50 persen di antaranya terinveksi HIV/AIDS. Sejak 2000-2004, BNN (Badan
Narkotika Nasional) dan Polri menyita narkoba jenis narkotika antara lain ganja dan
derivatnya sebanyak 127,7 ton dan 787.259 batang, heroin 93,9 kg, morfin 244,7 gram,
dan kokain 84,7 kg, serta barang sitaan psikotropika jenis ATS, antara lain ekstasi
741.061 tablet dan shabu 233.106,81 gram.
Yang juga ironis, pelaku kejahatan narkoba tidak hanya kaum laki-laki tapi juga wanita
dan juga ada yang berstatus ibu rumah tangga. Bahkan, tak jarang anak-anak juga
dilibatkan pada transaksi narkoba. Dari temuan yang ada, secara umum bersumber pada
soal kemiskinan sehingga mereka berani terjun ke bisnis narkoba. Fakta ini sangat
beralasan dengan mengingat penegasan Ansori (2003) bahwa masalah narkoba di
Indonesia telah melalui sejarah yang panjang.
Dalam tiga dasawarsa terakhir, peredaran gelap dan masalah narkoba di Indonesia terus
berkembang. Hal ini antara lain tercermin dalam berbagai kasus kejahatan yang terkait
masalah narkoba, termasuk berupa candu, hashis, heroin, dan morfin. Secara umum,
mereka yang terlibat kasus narkoba di Indonesia sebagian besar adalah WNI (98%), dari
berbagai profesi, termasuk PNS (0.73%), mahasiswa (4.74%), pelajar (3.36%) dan
pengangguran (32.90%). Bahkan, para pelawak pun tidak ketinggalan terjerat kasus
narkoba pula. Sementara pejabat publik atau PNS yang tersangkut kasus narkoba
memang relatif masih sedikit, tetapi angka yang sebenarnya diduga jauh lebih besar
karena tak terlaporkan. Sementara angka pecandu narkoba yang pengangguran tampak
tinggi, termasuk di sini adalah anak-anak muda. Generasi muda pengangguran memang
cukup rentan menjadi korban narkoba. Sebagian di antara mereka masih berada di
bangku SMU dan SMP, berumur 15-24 tahun, 80% laki-laki dan 20% perempuan. (BNN,
2003).
Sebenarnya, pelaku kejahatan narkoba tidak hanya WNI, tetapi juga WNA. Bahkan, ada
dugaan kuat telah terjalin sindikat dalam berbagai transaksi narkoba di Indonesia. Dalam
beberapa temuan menunjukan bahwa pada 5 tahun terakhir sebanyak 20 warga Australia
terlibat pelanggaran narkoba di Bali dan WNA yang tertangkap kasus narkoba di Bali
berjumlah 79 orang.
Sebenarnya pemerintah dan dunia internasional sangat gencar memerangi kasus ancaman
narkoba. Namun sayangnya, peredaran narkoba justru bertambah gencar seiring dengan
gencarnya peperangan melawan narkoba itu sendiri.
Memang, di satu sisi publisitas ini bisa meredam peredarannya. Namun di sisi lain, yang
dibutuhkan adalah tindakan konkret agar peredaran narkoba bisa diminimalisasi (baca:
jika dihilangkan memang tak bisa). Angka penyalahgunaan narkoba meningkat tajam
meskipun aparat keamanan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Gerakan Anti-narkoba
(Granat) serta beberapa LSM semakin gencar memerangi peredaran narkoba. Tentu ada
banyak alasan yang mendasari mengapa kasus ini tetap tidak bisa dituntaskan. Oleh
karena itu, kerja kolektif dan sistematis sebaiknya memang harus lebih ditingkatkan
untuk mencegah semakin meluasnya peredaran.
Perlu dibedakan tingkatan pengunaan narkoba (drug user): Yakni: a) Orang yang dalam
keadaan tak memakai narkoba (abtinence). b) Tahap coba-coba (experimen user). c)
Pemakaian narkoba sebagai bagian dari kegiatan rekreasi atau pesta (social user). d)
Pemakaian narkoba secara teratur (habitual user). e) Pemakai yang merasa sangat
tergantung dengan norkoba (addict) (Pada tahap ini, secara psikologis pengguna merasa
sulit terlepas dari narkoba). f) Pemakai yang sudah tergantung dengan narkoba (H-C
addict/dependent). Pada tahap ini, secara fisik dan psikologis sang pecandu sudah sulit
melepaskan diri dari ketergantungannya mengonsumsi narkoba.
Tingkatan a-d relatif masih bisa ditolong. Mereka juga belum perlu menjalani proses
ditoxsifikasi (mengeluarkan racun narkoba dalam darah). Mereka hanya perlu terapi
sosial, tapi bagi yang sudah berada pada tahap addict dan dependent, mereka perlu di-
detox dan perlu menjalani proses rehabilitasi secara intensif untuk memperkuat proses
penyembuhannya. (Ibid, 2003).
Terlepas dari berbagai faktor tersebut, yang juga sangat ironis ternyata tidak sedikit dari
kaum perempuan yang terjerumus ke narkoba. Terkait hal ini, wajar jika kemudian
Adiningsih (2003) menegaskan bahwa eksistensi kaum perempuan dalam narkoba hanya
sebagai pelaku-pengedar saja atau justru sebagai korban bisnis narkoba?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan mudah karena sangat tipis perbedaan antara
keduanya. Tidak tertutup kemungkinan, suatu kondisi tertentu membuat perempuan yang
awalnya adalah korban, berubah menjadi pelaku. Bahkan, tipisnya batas itu, sehingga
bisa saja seorang perempuan yang sesungguhnya adalah korban namun tampak seperti
pelaku, sehingga ia justru diperlakukan layaknya penjahat. Jadi, kondisinya memang
sangat ironis dan fakta ini menjadi ancaman serius bagi kontinuitas pembangunan
kualitas SDM ke depannya.
Narkoba telah menjadi masalah pelik di negeri ini. Korbannya berasal dari berbagai
kalangan, tak terkecuali para pejabat publik dan sebagian anak muda kita. Yang jelas
narkoba berdampak buruk dari segi apa pun. Pecandunya akan mengalami psiko-sosial
dissorder. Berbagai studi menunjukan bahwa penyalahgunaan narkoba berkaitan dengan
peristiwa kecelakaan lalu lintas dan tindak kejahatan, bahkan dewasa ini, penggunaan
jarum suntik narkoba menjadi transmisi penularan PMS, HIV, hepoatitis C yang sangat
efektif. Di Indonesia, kasus HIV/AIDS melalui transmisi narkoba suntikan meningkat
secara drastis. Apabila tahun 2001 angka kasus infeksi HIV yang melalui narkoba
suntikan sebesar 1%, maka pada tahun 2001 menjadi 19%, dan terus meningkat sekitar
40-50% pada tahun 2003. (Depkes RI, 2003).
Fakta itu menunjukkan bahwa HIV/ AIDS kini telah menjadi ancaman serius. Berdasar
data dari PBB, penderita HIV/ AIDS sebagian besar perempuan. Data itu menunjukkan
bahwa secara global sekitar 41-50% perempuan terinfeksi HIV/AIDS, bahkan di Sub-
Sahara Afrika, sekitar 58% penderita HIV/AIDS adalah perempuan. Dua-pertiga dari
perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS berusia di bawah 24 tahun dan kecenderungan ini
banyak terjadi di Asia. Paradigma baru pencegahan-penanggulangan HIV/AIDS yang
memberdayakan perempuan, menyentuh aspek keadilan serta kesetaraan gender, dan juga
menggunakan perspektif hak asasi perempuan dengan demikian sangatlah mendesak.
Paradigma baru ini tidak sempit pada solusi medis dan moralitas, melainkan lebih luas
pada transformasi politik, ekonomi, sosial, budaya dalam kerangka membangun keadilan
dan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.
Narkoba telah menjadi masalah serius. Oleh karena itu harus ada komitmen dari semua
pihak untuk memerangi narkoba. Keterlibatan para orang-tua bagi pengawasan putra-
putrinya menjadi sangat penting dalam upaya memerangi narkoba. Ini terutama mengacu
pada pertimbangan bahwa peran orang-tua dalam menanamkan jiwa keimanan sangat
dominan dalam lingkup keluarga. Jika tidak sekarang kita memerangi narkoba, kapan
lagi? Apakah harus menunggu semakin banyak korban? ***
Sekarang yang menjadi sasaran peredaran gelap itu tidak lagi mengenal batas stratifikasi
sosial dan usia. Narkoba pun telah menyebar bukan hanya di kota-kota, tapi juga di daerah-
daerah terpencil. Para pengguna narkoba bukan lagi terbatas pada usia dewasa, tapi anak usia
dini pun telah menjadi korbannya, bahkan yang paling rentan adalah generasi muda usia
remaja dan muda.
Apa itu Narkoba? Menurut WHO (1982), Narkoba adalah semua zat padat, cair maupun gas
yang dimasukkan ke dalam tubuh yang dapat merubah fungsi dan struktur tubuh secara fisik
maupun psikis, tidak termasuk makanan, air dan oksigen yang mana dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi tubuh normal.
NARKOBA adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan/Zat Adiktif, selain istilah
narkoba dikenal pula istilah NAPZA yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif. Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari tanaman atau sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menurunkan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan Psikotropika
adalah zat/obat alamiah atau sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktifitas mental dan perilaku. Kemudian Zat Adiktif adalah bahan lain bukan narkotika atau
psikotropika yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan baik psikologis atau
fisik.
Masalah selanjutnya adalah bahwa narkoba tidak hanya berdampak semakin ‘teler’ dan
kecanduannya bagi pemakainya, tapi juga ada dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan,
yakni bahaya penyebaran HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba, khusus narkoba suntik
atau lebih dikenal dengan Inject Drugs Users (IDU)/Pengguna Narkoba Suntik (Penasun).
Sebagai gambaran saja, mengenai penggunaan Jarum Suntik dan kaitannya dengan endemi
HIV/AIDS di Dunia. Sampai saat ini diperkirakan terdapat 13.2 juta pengguna jarum suntik di
dunia. Penggunaan jarum suntik ini sudah dilaporkan berkembang pesat di 134 negara,
kemudian di 114 negara tersebut di antaranya melaporkan adanya HIV di kalangan pengguna
narkoba suntiknya. Untuk konteks Asia, epidemi HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba
suntik sebagai salah satu penyumbang terbanyak pada epidemi HIV/AIDS di Asia. Konteks
Indonesia, di tiga daerah terbesar endemi HIV/AIDS-nya seperti Jakarta, Jawa Barat dan Papua,
dilaporkan bahwa tingkat penyebaran HIV/AIDS di Jakarta dan Jawa Barat paling banyak
menyebar di kalangan pengguna narkoba suntik, kecuali Papua yang mana HIV/AIDS
menyebar lebih banyak lewat hubungan seksual.