Anda di halaman 1dari 18

Neuralgia Paska Herpetika

Ilustrasi Kasus

Ny. A, seorang wanita berusia 50 tahun datang ke poli neurologi RSCM pada tanggal 9/10/08
dengan keluhan rasa nyeri seperti terbakar, gatal pada bahu dan lengan kiri sejak hampir 1
tahun yang lalu. Nyeri awalnya timbul bersamaan dengan munculnya kelainan kulit berupa
gelembung-gelembung berisi cairan di dada atas kiri sampai lengan kiri. Pasien berobat ke
dokter umum dan tidak ada perbaikan, lalu pasien melanjutkan berobat ke bagian kulit RSCM
mendapatkan terapi asiklovir 5x800mg.
Setelah kelainan pada kulit menghilang sekitar 10 hari, nyeri seperti terbakar masih ada. Nyeri
pada kulit tersebut menyebabkan pasien tidak mau menggunakan pakaian yang menutupi
daerah tersebut dikarenakan bila terkena kain nyeri bertambah.

Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan: tahun 1998, pasien didiagnosis mempunyai gangguan
pengentalan darah sehingga pasien makan obat simarc secara teratur. Tahun 2000, pasien
menjalani operasi mioma uteri. Tahun 2002, pasien didiagnosis emboli paru dan dirawat sampai
sembuh. Riwayat hipertensi dan kencing manis disangkal. Riwayat alergi obat disangkal.

Riwayat perjalanan penyakit pasien:

12/11/07, pasien didiagnosis dengan herpes zoster pada bagian kulit dan mendapat terapi
asiklovir 5x800mg, tramadol 3x1 tablet dan bedak salisil. Kontrol kembali ke bagian kulit tanggal
19/11/07, tidak didapatkan lesi baru, tetapi nyeri masih ada. Pasien mendapat terapi analgesik.
Tanggal 26/11/07, pasien kembali datang oleh karena nyeri, dan pasien mendapat terapi
nonflamin, neurobion, metampiron dan asam mefenamat. Tanggal 8/1/08, os kembali kontrol
oleh karena masih sakit sehingga pasien sulit tidur. Pasien mendapat terapi kream doxepin,
cetrizine dan metampiron.

Pada pemeriksaan umum, pasien tampak sakit ringan dengan kesadaran kompos mentis.
Tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 80x/menit, pernafasan 16x/menit dan suhu tubuh
afebril. Kepala: normosefali; mata: konjungtiva pucat-/, sclera ikterik-/-; THT: dalam batas
normal; paru: vesikular di kedua lapangan paru, ronki-/-, wheezing-/-; jantung: bunyi jantung I
dan II dalam batas normal, murmur-, gallop-; abdomen: cembung, tidak terdapat pembesaran
hepar dan lien, bising usus normal; ekstremitas: perfusi baik. Pada pemeriksaan kulit
didapatkan lesi makula hipopigmentasi multipel ukuran lentikular numular berbatas tegas di

1 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

region dada atas kiri, bahu kiri sampai lengan kiri.

Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan GCS:E4M6V5; pupil: bulat isokor dengan diameter
3/3mm, RCL/TL +/+; tanda rangsang meningeal-; nervus kranial: paresis-; motorik:
hemiparesis-; refleks fisiologis: dalam batas normal pada keempat ekstremitas, refleks
patologis:- ; sensorik: terdapat hiperalgesia dan allodinia dermatom C3-C4 sinistra; otonom:
inkontinensia uri dan alvi-

Dengan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien, ditegakkan diagnosis
kerja neuralgia paska herpetika. Pasien di poli saraf mendapat terapi gabapentin dan kapsul
campur dengan isi parasetamol, ibuprofen, amitriptilin. Pada kontrol berikutnya, pasien sudah
mengalami perbaikan terhadap nyeri dan aktivitas sehari-hari dapat dilakukan tanpa terganggu
oleh nyeri.

Diagnosis neurologis:

Klinis: hiperalgesia dan allodinia dermatom C3-4 sinistra

Topis: dermatom C3-4 sinistra

Etiologi: varicella herpes zoster

Patologi: deaferentasi

Prognosis:

2 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

Quo ad vitam: bonam

Quo ad functionam: bonam

Quo ad sanationam: bonam

Diskusi

Definisi Neuralgia paska herpetika

            Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik
yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957,
mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi.
Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam
herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau
berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin,
1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah
onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher
mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster
lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling
tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin.

Etiologi

3 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

            Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. St ruktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid
yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella
zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.

Patologi dan patogenesis

            Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan
pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui sistem
respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran
darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh.
Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini
bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.

            Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella
zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan
pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya
imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis
dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson
menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara
parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan
lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz
inclusion body’. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik,
dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian
dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.

            Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster:

1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau

4 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat
dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar dan
ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar
saraf yang terlibat.

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika
ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi
tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.

Epidemiologi

Insidens dan prevalensi

Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan dari data
Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara tersebut
bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat
kali lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada
penderita imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000;
sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita
imunidefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak
dibandingkan kelompok sehat usia sama.

Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia paska herpetika setelah onset
ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5
kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitia Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia

5 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

paska herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta
kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.

            Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan,
tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan
mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat.

            Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya
mengalamia neuralgia paska herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih
dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%.

Faktor resiko

            Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya usia,
nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam
berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami
neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam
menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien
dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.

Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika

            Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa
terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang
terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah
tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa

6 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan
ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari
awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi
biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.
Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.

            Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan
pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat
dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang
paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai
dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain
dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri
yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.

Komplikasi

            Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan
dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan
komplikasi herpes zoster.   Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana
menetapnya nyeri di tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi
neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase:

-                          Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya
berlangsung < 4 minggu

7 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

-                          Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4
bulan

-                          Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi
kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa
tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia
dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri
tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat tidur. Keluhan
sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif terhadap perubahan
temperatur.

Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan sensorik
pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia /
hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik
meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal
lebih berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.

Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang meluas
ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi), ensefalitis,
hepatitis, pneumonitis.

Mekanisme nyeri

8 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis:

1. Proses stimulasi singkat


2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi
jaringan
3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf

Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan timbulnya
persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya lesi, maka rasa nyeri
yang terjadi hanya dalam waktu singkat. Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya
inflamasi jaringan atau dikenal sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya
kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa.

Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan mengakibatkan
hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan
perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa
gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas
sistem saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan
gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas
abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu:

1. aktivitas ektopik
2. sensitisasi nosiseptor
3. interaksi abnormal antar serabut saraf
4. hipersensitifitas terhadap katekolamin

Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak
menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut Aß yang biasanya berupa sentuhan halus
atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme

9 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya

1. sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai


respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang rangsang sehingga stimuli non
noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
2. perubahan serabut Aß dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada nyeri
neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang dari perifer berupa
ectopic discharge
.
3. hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin
berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat. Tetapi
pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena
kematian sel-sel inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi berlebihan.

Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari
perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal pada sistem saraf
pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga
menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan
menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf
perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu
dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan
terhadap semua rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam
proses sehingga dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska herpetika
memerlukan beberapa macam pendekatan pula.

Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika

            Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non
farmakologis.

10 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

Terapi farmakologis:

Analgesik

Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer
maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan
penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif
dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat
reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga
maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding plasebo
dalam pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya
amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik
dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan
takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik
dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. Dosis
yang digunakan maksimal 60 mg/hari pada NPH.

Anti epilepsi

            Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated
sodium channel dan
kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi
glutaminergik yang bersifat eksitatorik.

Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal
kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat

11 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen.

Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium,
sehingga terjadi hambatan.

Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya
gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari v
oltage-gated calcium channel
, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P,
dan
calcitonin gene-related peptide
) pada
primary afferent nerve terminals
. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia
paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma
medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas

Anti depressan

            Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan
kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf
spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik
amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga
sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin.

TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective
serotonine reuptake inhibitor
) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA
menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya
menghambat reuptake serotonin.

12 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

            Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti
blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan,
menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik.

            Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah
amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.

Terapi topikal

            Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated


sodium channels .
Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja
lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan
adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi
aktivitas NMDA.

            Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam
mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan
lidocaine patch
5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan
dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai
sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.

            Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin
sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika.
Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini
melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan
dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Pada suatu uji klinik acak terkendali
melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika, dilaporkan setelah pengobatan selama 4
minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6%

13 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

nyeri berkurang pada kelompok kontrol (p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek
sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya ( 1/3 pasien pada uji klinik
ini).

Terapi non farmakologis

Akupunktur

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa
penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun
penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi
tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.

TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)

            Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit
pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan
hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.

Pencegahan neuralgia paska herpetika

14 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

            Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada
penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska
herpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah
kerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri
dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.

Kasus

            Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan. Diagnosis tersebut adalah :

Klinis: hiperalgesia dan allodinia dermatom C3-4 sinistra

Topis: dermatom C3-4 sinistra

Etiologi: varicella herpes zoster

Patologi: deaferentasi

            Diagnosis klinis sesuai dengan apa yang ditemukan secara klinis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada pasien ditemukan hiperalgesia dan allodinia yakni respon nyeri akibat
stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Hiperalgesia dan allodinia ini terdapat pada dermatom
C3-C4 sinistra, sesuai dengan dermatom pada ruam herpes zoster yang dialami 1 tahun
sebelumnya.

Diagnosis topis dilihat dari klinis menunjukkan keterlibatan dermatom C3-4 sinistra. Diagnosis

15 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

etiologis diketahui dari anamnesis yakni proses tersebut terjadi akibat adanya reaktivasi oleh
virus varisella zoster berupa timbulnya ruam herpes zoster 1 tahun sebelumnya. Diagnosis
patologis berupa terjadinya deafferensiasi. Pada neuralgia paska herpetik, nyeri yang terjadi
bukanlah disebabkan oleh stimulus dari nosiseptor tetapi dari cetusan ektopik yang berasal dari
saraf aferen perifer. Kerusakan akson saraf aferen perifer diakibatkan oleh reaktivasi virus
varisella zoster

            Prognosis pada pasien adalah :

Quo ad vitam                :  bonam

Quo ad functionam       :  bonam

Quo ad sanactionam     :  bonam

            Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi
sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan
perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.

            Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih


mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan
tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.

Daftar Pustaka

16 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

1. Gnann JW Jr, Whitley RJ. Clinical practice. Herpes Zoster. N Engl J Med
2002;347:340-6.
2. Fields HL, Baron R. Postherpetic Neuralgia: irritable nociceptors & deafferentation.
Neurobiol Dis 1998;5:209-27.
3. Brewer RP, Patin DJ. Postherpetic Neuralgia: a model for treating severe pain.
Supplement to managed care 2007;vol16(11):1-16.
4. Lara QA, Claudia V, et al. Epidemiology and burden of Herpes Zoster and
Post-herpetic Neuralgia in Australia, Asia and South America. Herpes 14 Supplement  
2007;2:40A-44A.
5. Haanpää M, Laippala P, Nurmikko T. Allodynia and pinprick hypesthesia in acute
herpes zoster, and the development of postherpetic neuralgia. J Pain Symptom Manage
2000;20:50-8.
6. Meliala L. Patofisiologi nyeri. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan.
Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2001;1-22.
7. Whitley RJ. Varicella-Zoster Virus Infection. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
17th ed. New York, NY: McGraw Hill;2008:1102-5.
8. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. 6th ed. New York, NY:
McGraw Hill;2005:84-85.
9. Noughton B, Williams M, Rosenthal T. Office Care Gerriatrics. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins;2006:499-500.
10. Hauser SL. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. New York, NY: McGraw
Hill;2006:505-6
11. Hopper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New
York, NY: McGraw Hill;2005:641-644.
12. Justins DM. Neuropathic Pain. Pain 2005-An updated review. Seattle:ISAP PRESS
;2005:91-119.
13. Meliala A. Nyeri pasca herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan.
Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2001;57-66.
14. Gnann JW Jr, Whitley RJ. Clinical practice. Herpes Zoster. N Engl J Med
2002;347:340-6.
15. Bowsher D. The lifetime occurence of herpes zoster and prevalence of post-herpetic
neuralgia: a retrospective survey in an elderly population. Eur J Pain 1999;3:335-42.
16. Woolf CJ, Mannion RJ. Neuropathic pain: aetiology, symptoms, mechanisms, and
management. Lancet 1999;353:1959-64.
17. Cunningham AL, Dworkin RH. The management of post-herpetic neuralgia. BMJ
2000;321:778-9.
18. Kumar P. Treatment of post-herpetic neuralgia. A textbook of pain. Modern
Publishers 2005;54:265-267.
19. Revest P, Shortland P, Michael A. Pain and Analgesia. The Nervous System.

17 / 18
Neuralgia Paska Herpetika

Edinburgh: Churchill Livingstone 2007;5:86-111.


20. Dworkin RH, Portenoy RK. Proposed classification of herpes zoster pain. Lancet
1994;343:1648.

18 / 18

Anda mungkin juga menyukai