Khalidin adalah bekas gubernur pertama Aceh Merdeka (AM). Usianya 59 tahun. Ia
tinggal di desa Ulee Ceue, Pidie. Ia akan mengenalkan saya pada sahabatnya,
Syamsudin bin Ahmad atau biasa dipanggil Geuchik Din. Lelaki itu pejuang AM
angkatan pertama dan salah satu ideolog gerakan perlawanan tersebut. Perjalanan
menuju rumah Geuchik Din melewati jurang dalam dan tebing yang mudah longsor
di musim hujan. Khalidin juga menyarankan kami sudah meninggalkan Geumpang
di sore hari. Dalam kegelapan malam dan deras hujan, pengemudi mobil sukar
melihat jurang dan tebing longsor itu. Teledor sedikit saja, mobil bisa tergelincir
ke jurang.
Perjalanan ke Geumpang ini merupakan bagian dari pembuatan film saya tentang
sejarah Aceh Merdeka, yang kelak dijuluki Gerakan Aceh Merdeka atau GAM oleh
pemerintah Indonesia. Saya akan mewawancarai para bekas pejuang yang usianya
sudah tak muda lagi untuk merekam pengalaman mereka sebagai saksi-saksi
sejarah negerinya.
Azhari, direktur Komunitas Tikar Pandan, sahabat saya dan sastrawan Aceh,
meminjamkan kamera dan mengutus seorang anggota komunitasnya untuk
membantu saya. Kelak film ini akan jadi wujud kerjasama sindikasi media Aceh
Feature dan Komunitas Tikar Pandan.
Fahmi pernah menjabat sekretaris jenderal Partai Gapthat, partai yang dibangun
para ulama Aceh dan berbasis di dayah-dayah. Partai ini tidak lolos verifikasi,
sehingga gagal jadi partai peserta Pemilu 9 April 2009 lalu. Fahmi ayah dari tiga
anak laki-laki. Kakaknya, Cut Nur Asikin, pernah jadi juru runding GAM dan
dihukum 14 tahun penjara oleh pemerintah Indonesia. Di tahun kedua masa
tahanannya, tsunami menyapu Aceh dan meratakan penjara Lhok Nga tempat Cut
Nur dikurung. Sore harinya Fahmi menumpang pikap tua dan disambung jalan kaki
menuju Lhok Nga untuk mencari kakaknya. Ia hanya melihat dataran luas, sunyi,
dan tiga tentara bersenjata yang mondar-mandir bingung tapi masih sempat
menghardiknya. “Beberapa hari kemudian ada orang memberitahu saya bahwa dia
melihat jasad kakak. Entah benar, entah tidak. Kak Cut mungkin dimakamkan di
salah satu kuburan massal,” katanya.
Darussalam atau Darus adalah adik kandung Yahya Mu'ad, sekretaris jenderal Partai
Aceh atau PA. Penampilannya sederhana dan tak banyak cakap. Suara tawanya tak
sekeras yang lain ketika menyambut cerita lucu. Ia hanya bicara kalau ditanya.
Berbeda dengan abangnya, ia sama sekali tak tertarik pada politik. Kakek mereka
dulu pernah dibuang ke Pulau Jawa. “Kami memang dari keluarga pemberontak,”
katanya pada saya. Ia pulang ke Aceh karena hendak ikut mencontreng dalam
Pemilu Aceh bulan April 2009. Bertahun-tahun Darus tinggal di Jakarta. Istrinya
bekerja sebagai pegawai negeri sipil di sana.
“Yang tak ada bagiannya di Pemda Aceh sini. Darus ingin istrinya pindah, tapi
nggak bisa, karena nggak ada bagian itu, entah apa nama bagiannya,” kata Fahmi,
tertawa.
Fakhrul bersetelan kemeja dan pantalon rapi, juga mengenakan sepatu kulit. Ia
baru saja menghadiri kenduri. Ia langsung duduk di jok tengah bersama saya.
Fahmi di depan, di samping Fajri sebagai pengemudi. Darus memilih menyendiri di
jok belakang.
Mobil pun bergerak lagi, melaju ke Pidie. Kami akan menjemput Khalidin.
Sepanjang jalan Fakhrul dan Fahmi bercerita soal kepulangan singkat Hasan Tiro
pada November 2008. Kini pencetus kemerdekaan Aceh itu telah berada di Aceh
lagi. Ketika Tiro berada di satu rumah di Pidie pada November itu, seorang kawan
seperjuangannya yang tak masuk dalam daftar undangan memaksa menemuinya. Ia
bahkan ingin ikut bersama Tiro ke Swedia. Tengku Ishak, nama lelaki itu. Ia
kehilangan semua anak lelakinya dalam konflik bersenjata antara pemerintah
Indonesia dan GAM.
“Kata pendamping Wali, entah Malik Mahmud, entah siapa, jangan ikut dulu, tapi
dia membentak, ‘diam kamu, saya ada urusan dengan Tengku Hasan, saya mau ikut
dengan dia. Sudah lama sekali saya ditinggalkan, bahkan suatu hari dulu dia
menenangkan kami dengan ‘halo, halo, mereka segera datang, kami dalam
keadaan terdesak’. Amerika sudah datang katanya. Terus dia pergi, tidak pulang
lagi’ Begitu kata Tengku Ishak,” tutur Fakhrul, terbahak-bahak.
Wali adalah sebutan orang Aceh untuk Hasan Tiro. Secara harafiah, artinya pewaris
atau penjaga kedaulatan.
“Itu sudah rahasia umum. Suatu hari kalau kakak menanyakan langsung pada Wali
apa yang terjadi, secara pribadi, jangan ada orang lain ya, Wali juga akan
mengatakan yang sebenarnya pada kakak,” kata Fakhrul, lagi.
TAK berapa lama Fakhrul membuka tas plastik yang dibawanya. Ia mengeluarkan
beberapa helai surat dan potret seorang pria.
“ Ini foto abang saya,” katanya. Orang dalam potret berambut agak gondrong,
bertubuh kurus.
Fakhrul juga menyodorkan sehelai surat pada saya. Kertas itu tampak lusuh, tapi
tulisan yang tertera di situ masih jelas terbaca. Penulis surat bernama Teungku M
Rasyid Meuraxa.
“Setahu saya, dia dulu di bawah Panglima Daud Paneuk. Setahu saya, dia yang
menguasai gerilyawan dalam gunung,” kata Fakhrul.
Daud Paneuk adalah bekas anggota Darul Islam di Aceh. Ia salah satu pengikut
Daud Beureuh. Pada 1953, Mayor Jenderal Daud Beureuh, Gubernur Militer Aceh,
Langkat dan Tanah Karo, memimpin pemberontakan terhadap republik dengan
memproklamasikan Darul Islam di Aceh, sebagai bagian dari Darul Islam/ Tentara
Islam Indonesia yang dipimpin Sekarmaji Kartosoewirjo di tanah Jawa.
Penyebabnya, pemerintah Soekarno tak mau memberi otonomi untuk Aceh dan
menetapkan Aceh jadi bagian Sumatera Utara. Hal ini akan memperkecil basis
suara untuk Masyumi, partai Islam tempat Beureuh bergabung. Di masa Soekarno,
Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi pernah bekerjasama untuk menggulingkan
pemerintahannya dengan bantuan senjata dari Amerika. Beureuh kelak menyerah
dan bekas pasukannya diberi pekerjaan oleh pemerintah Soekarno, di lembaga sipil
maupun militer. Namun, Daud Paneuk tak menyerah.
“Rusli Ahmad ini siapa?” tanya saya, membaca nama yang disebut Teungku Rasyid
dalam surat.
“Abang kandung saya. Ini surat pemberian wewenang. Dia diberi wewenang
menjabat salah satu panglima muda sagoe Geumpang Baru, wilayah Pidie. Surat ini
bertahun 1981. Tak pernah ada yang menulis tentang Teungku Rasyid. Dia juga
komandan sekuriti untuk wilayah Pidie dan menyangkut seluruh Aceh. Sekuriti
dalam bahasa AM waktu itu adalah sebagai komandan BIN (Badan Intelijin
Negara),” kata Fakhrul.
Di kepala surat tertera tulisan “Islamic State of Aceh Sumatera”. Rupanya faksi
Darul Islam cukup kuat di awal pendirian AM. Tiro sendiri orang sekuler,
berpendidikan Barat dan doktor ilmu politik lulusan Universitas Columbia.
Menurut Fakhrul, surat-surat ini boleh saya baca, tapi belum boleh diperbanyak
dalam bentuk fotokopian.
“Karena yang tinggal dari Komandan Rasyid di seluruh Aceh, cuma ini. Yang saya
pikirkan nanti kalau saya memegang ini sama dengan Wali memegang mandat yang
diberi oleh Tengku Cik Di Tiro. Suatu saat saya bisa mengoreksi kalau perjuangan
ini dialihkan,” katanya, sungguh-sungguh.
“Saya ada empat undangan hari ini. Tapi saya merasa yang ini lebih penting,”
katanya, lagi.
Begitu ia naik, mobil pun melaju ke arah Geumpang, ke rumah Geuchik Din.
“Beliau ini orang pertama yang ikut Wali Neugara. Dia orang yang tidak setuju
dengan apa yang dilakukan orang-orang hari ini, yang mencari kekayaan pribadi,
tidak pernah melihat anak-anak yatim dan janda-janda yang jadi korban akibat
konflik ini,” tutur Khalidin tentang orang yang akan kami jumpai nanti.
“Hampir tiap bulan jumpa. Dia ke rumah. Kami macam kakak-beradik. Dia orang
yang berbicara tegas, tak ada pantang-pantang.”
“Tentang keluarga, pribadi. Perjuangan mau bicara apa lagi? Semua sudah tahu.
Sejak MoU (Perjanjian Helsinki), (perjuangan) sudah tamat. Menikmati hasil
perjuangan adalah bagi orang-orang yang mendapatkannya, yang berkeinginan
untuk itu, sedangkan kita tidak.”
Geuchik Din bekerja di kebun kopi. Sebelum tsunami, ia beternak ayam dan bebek.
Anak laki-lakinya hilang dalam tsunami, juga istrinya.
“Anak laki-laki Geuchik Gin satu-satunya. Dia ini sudah selamat, tapi teringat
ibunya, lalu pulang lagi dia ke rumah. Di situ dia kena. Anak Geuchik Din yang
perempuan tinggal di Banda Aceh. Sekarang Geuchik Din tinggal dengan istri
mudanya di Geumpang. Istri muda, tapi sebenarnya tidak muda juga,” ujar
Khalidin.
“Dia menikahi istri bekas stafnya yang syahid, Muhammad Alibin, janda beranak
delapan.” Fakhrul menimpali ucapan Khalidin.
Khalidin kemudian bercerita tentang masa lalunya. Sebelum jadi gubernur pertama
GAM, ia menjabat bendaharawan GAM. Ia pernah mengumpul uang sumbangan
masyarakat hingga Rp 2 milyar di tahun 1990-an.
“Waktu itu ada bantuan pemerintah berjuta-juta untuk membangun kampung dan
masyarakat memberinya untuk perjuangan. Kalau sekarang ibaratnya dana itu
sebesar 10 juta, 2 juta untuk perjuangan,” katanya.
“Zaman Mega, Mega Pratama. Ada toko di situ Mega Pratama.” Ia berseloroh. Mega
yang ia maksud tak lain dari Megawati Soekarno, presiden Indonesia di masa itu.
Megawati membuat kami teringat pemilihan presiden di bulan April lalu. Ada tiga
pasangan calon presiden dan wakil presiden Indonesia: Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY)-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati Soekarno-Prabowo Subianto.
“Menurut saya, GAM tetap (memilih) SBY . Orang masih senang sama SBY.
Kemudian wakilnya, meski banyak partai tak senang, tapi pribadi wakil juga bagus.
Wakilnya itu ahli ekonomi, kemudian hidup dengan sederhana dia,” kata Khalidin.
“Kalau yang dua itu kan memang sudah ada masalah dengan Aceh. Wiranto pernah
membuat pernyataan tak perlu orang Aceh, yang perlu tanah Aceh, katanya. Nggak
perlu orang Aceh, yang penting tanah Aceh. Begitu juga Prabowo, bermasalah
dengan orang Aceh,” katanya, lagi.
Saya menanyakan pendapatnya tentang calon pemimpin dari generasi muda Aceh.
Apakah ada yang terbaik dari mereka untuk memimpin Aceh masa depan?
“Siapa pun yang memimpin, Aceh tetap di bawah NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Tidak ada lagi AM. Wali pernah bilang, ini yang pertama dan terakhir.
Kalau tak merdeka sekarang, tak akan ada merdeka lagi. Dia sangat optimis waktu
itu. Tapi yang berhak diterima orang Aceh sekarang adalah otonomi. Waktu
Indonesia dijajah Belanda bahkan ada radio Rimba Raya yang berpusat di Aceh dan
menyiarkan soal Indonesia dan tentang orang Aceh menyumbang pesawat pertama
untuk Indonesia. Jadi tak mungkin Aceh keluar dari Indonesia. Aceh ibarat kepala
bagi Indonesia. Tanpa Aceh tak ada Indonesia. Tanpa kepala, hanya badan saja,”
katanya.
Fakhrul menjawab pertanyaan ini, “Masih eksis. Cuma yang agak terkesan berat di
segi logistik. Waktu darurat sipil, bukan darurat sipil yang saya lihat. Mereka
(tentara Indonesia) melakukan operasi, istilahnya dalam bahasa kami, operasi obat
nyamuk. Pokoknya waktu itu yang saya lihat sempit adalah makanan. Kalau nyali
nggak bergeser sedikit pun.”
“Karena tsunami?”
“Bukan. Karena memang faktor pencegahan TNI yang sudah memang puluhan ribu
pasukannya. Tapi waktu itu, kedua-duanya sudah stress, TNI maupun GAM.
Seandainya memang ada perang sekitar lima tahun lagi. Pemerintah juga akan
jatuh kapal. GAM juga terpaksa mengganti anak pelurunya dengan buah jambu,”
ujar Fakhrul, terbahak-bahak.
HUTAN tampak di kanan kiri jalan. Hujan deras. Mobil terus melaju. Tiba-tiba
Fakhrul berkata sambil menunjuk ke hutan di kanan kami. “Saya pernah ditembak
di sini. Markas kami di atas sana. Kami punya anak buah waktu itu sekitar 700
orang. 300 perempuan, 400 laki-laki. Saya pernah tinggal di sini enam bulan,
sebagai asisten pelatih. Nama hutan ini, Keumala Dalam,” katanya.
“Dia lah yang memecat kakak saya dari komisi pemantauan COHA,” tukas Fahmi.
“Kak Cut waktu itu dipecat bersama dengan Tengku Zulfan, karena Tengku Zulfan
menceritakan pada saya, karena saya satu pasukan dengan dia waktu itu,”
katanya.
“Setelah dipecat, Tengku Zulfan ditembak oleh aparat, kakak saya dipenjara
selama 14 tahun. Jadi kakak saya orang RI bukan, orang GAM juga bukan. Atau dia
orang GAM yang tidak diakui GAM dan dituduh RI, sementara RI menganggap dia
GAM,” kisah Fahmi.
“Kak Cut kan luwes. Kalau ada TNI bilang assamualaikum Kak Cut, Kak Cut jawab
wa’alaikum salam, Kak Cut bersalam, jabat tangan. Zakaria bilang, jangan jabat
tangan. Misalnya, suatu hari seorang Makarim minta api rokok pada orang kita,
perunding dari GAM, padahal rokok belum dimatikan, tapi begitu diminta rokok
langsung dimatikan. Jadi Makarim tangannya begini minta api rokok, orang GAM
langsung matikan (rokok). Jadi kak Cut bilang, kalau begitu cara perjuangan, nggak
akan ada guna perundingan. Api rokok pun kita nggak mau kasih, bagaimana kita
ambil hati,” jawab Fahmi.
“Zakaria menganggap taktik Kak Cut itu salah, ditambah lagi Kak Nur menghadiri
makan malam dengan Hasan Wirayuda, menteri luar negeri Indonesia waktu itu, di
Jakarta. Dipecatlah sudah,” lanjutnya.
Cut Nur yang sudah dipecat GAM didatangi orang-orang dari pihak pemerintah
Indonesia. Mereka menawarinya jadi gubernur transisi Aceh, menggantikan
Abdullah Puteh yang dipenjarakan di Jawa karena kasus korupsi. Ia tidak bersedia.
Ia juga ditawari mengurus penambangan emas di Busang, Kalimantan. Ia pun
menolak tawaran itu.
“Kalau ini tak mau, itu tak mau, bagaimana kalau masuk penjara, kata RI. Kak Cut
bilang, itu oke, lalu dia masuk penjara. Hahaha….” Fahmi tertawa-tawa.
JALAN yang kami lewati ini merupakan jalur pertempuran tentara Indonesia dan
GAM.
“Blang Malo. Ini markas TNI (Tentara Nasional Indonesia),” kata Khalidin,
memberitahu nama daerah ini.
“Yang kejadian ranjau di daerah ini juga. Yang dipasang ranjau di bawah,” kata
Fakhrul.
“TNI terjun ke sana. 80 truk jumlah mereka. Itu tahun 1999. Mereka kan diserang
AM dari atas, terus mereka masuk ke sini semua. Sebulan mayat mereka diambil,
seperti nggak habis-habis,” kata Fakhrul.
“Banta Hasan, tapi dia sudah meninggal dalam satu pertempuran yang kalau nggak
salah, di Jeunim atau Peurelak,” jawab Fakhrul.
“ Itu cara perang tradisional Aceh, memakai senjata igeuh?” tanya saya, lagi.
“Itu jebakan. Orang ini diserang dari atas, mereka terjun ke lembah. Begitu terjun
bukan ke lembah, tapi masuk ke perangkap.”
“Kalau hujan gini, ngeri kita lewat sini. Makanya orang pagi-pagi ke Geumpang.
Jam segini pulang,” ujar Fakhrul.
Mobil terus melaju. Khalidin bercerita tentang mobil yang jatuh ke jurang dan
banyak penumpang meninggal dunia. Di kiri kami, jurang dalam menganga.
Saya melihat dataran hijau terhampar, sejuk, sesaat menyela rupa jurang itu.
Fahmi tiba-tiba berkata bahwa tempat itu adalah perkampungan jin terbesar se-
Asia Tenggara. Ketika kami tertawa mendengar pernyataannya, ia mencoba
menyakinkan kami bahwa raja jin di kampung itu telah memperistri perempuan
desa di Pidie.
HUJAN deras tak kunjung berhenti. Mobil berhenti di muka sebuah rumah di
kawasan Geumpang, diparkir di situ. Kami harus berjalan kaki ke rumah Geuchik
Din.
Di seberang jalan, di samping rumah warga, ada jalan setapak. Di ujung jalan itu
terbentang sebuah jembatan, yang membuat saya agak waswas menaksir
kekuatannya.
Jembatan gantung ini terbuat dari tali dan kayu yang berayun-ayun saat orang
maupun sapi-sapi melangkah di atasnya. Saya menjejakkan kaki di situ ketika sapi-
sapi dan penggembala itu hampir sampai di seberang sana. Panjang jembatan
sekitar 100 meter, dengan tinggi sekitar 40 meter. Saya tak bisa membayangkan
bagaimana ia dibuat. Di bawah sana, sebatang sungai mengalir deras. Tetes-tetes
hujan menghunjam permukaannya. Pandangan saya ikut memburam oleh lebat
hujan.
Batu-batu yang berserak di bawah jembatan tampak begitu sayup. Udara begitu
dingin. Angin kencang. Saya berhenti sebentar di sisi kiri jembatan ini, memegang
erat-erat payung yang telah mengembang saat sebuah sepeda motor bergerak
perlahan di sisi yang lain. Di ujung jembatan sana tak tampak satu rumah pun.
Pohon-pohon dan semak menghijau, melindungi permukiman di belakangnya.
Rumah tampak nyaris roboh. Ibarat pakaian, ia usang dan penuh tambalan. Dulu
penghuninya telah mengirim 16 orang anggota Aceh Merdeka untuk berlatih perang
di Libya dengan uangnya sendiri. Geuchik Din dulu kontraktor. Zakaria Saman,
menteri pertahanan GAM, bahkan pernah bekerja untuknya.
Dinding-dinding rumah ini terbuat dari papan yang dicat hijau muda. Kusam dan
tua. Ketika melewati ambang pintu, saya menjejak lantai rumah yang dilapisi
plastik biru. Langit-langit juga berlapis plastik biru-merah. Tak ada seperangkat
kursi dan meja tamu di ruang depan. Sehelai tikar rumbia usang terhampar
menghadap pintu masuk. Tak berapa lama orang-orang meributkan pacet yang
masuk ke rumah. Tuan rumah berkata bahwa musim hujan membuat binatang itu
datang.
Geuchik Din lahir tahun 1932. Ia tamat Sekolah Rendah Islam atau SRI.
“Tahun ’75 bulan 11, kami dari Geumpang dipesan oleh Teungku Hasan Muhammad
Di Tiro untuk datang ke Tiro. Waktu itu tanggal 30 bulan 11, kami datang ke Tiro,
empat orang. Geuchik Pakeh, Pawang Rasyid, saya, Wahab Cut, sudah meninggal
dia. Tanggal 4 bulan 12 tahun 1976, hari itulah diproklamirkan Aceh Merdeka di
Kluk Kak, Tiro. Lebih kurang kami waktu itu 40 orang,” tuturnya.
Setelah itu ia mulai mencari orang-orang yang bersedia ikut serta memperjuangkan
kemerdekaan Aceh. Ia pertama kali ditahan pada 1977 oleh aparat atas kegiatan
politiknya itu.
“Saya ditahan satu bulan di kecamatan. Dilepas di siang Hari Raya Haji, tak dapat
sembahyang hari raya,” katanya.
Pada 1979 ia ditangkap lagi, lalu dibawa ke Sigli dan dijatuhi hukuman penjara tiga
bulan. Ia tak langsung dilepas, tapi dibawa ke Banda Aceh dan ditahan selama dua
tahun.
“Setelah itu saya dibebaskan, pulang ke kampung. Sampai di kampung, dapat surat
dari Panglima Daud Paneuk. Saya ditugaskan ke Meulaboh. Tugas saya adalah
membawa seluruh bahan-bahan (selebaran) yang sudah dibuat Hasan Tiro, supaya
orang Meulaboh mengikuti Aceh Merdeka,” katanya.
“Ini Tengku Hasan Tiro sudah pulang, dia ingin dirikan Aceh Merdeka kita, karena
kita dari dulu, dari masih Iskandar Muda belum pernah menyerah. Jadi
menyambung perjuangan Indatu (nenek moyang) kita, agar Aceh ini dapat
merdeka,” jawabnya.
Ia juga berpura-pura hendak mencari tanah sawah saat masuk ke Aceh Barat.
Namun, sepandai-pandainya ia berkelit aparat berhasil mengetahui tujuan
sejatinya. Pada 1982, Geuchik Din ditangkap lagi. Meski berkali-kali ditangkap, ia
tidak pernah jera.
Terakhir kali ia ditangkap pada 1990. Ia disiksa berat. Aparat bahkan memberi
tanda silang pada BAP (Berita Acara Pemeriksaan)-nya dan berkata, “Geuchik Din,
habis!” Bekas-bekas penyiksaan itu masih tampak jelas. Dua tonjolan besar di
pangkal lengannya. Tulang-tulangnya remuk. Ia juga tak bisa berjalan normal lagi.
“Tapi saya tetap bekerja untuk Aceh Merdeka. Karena saya sudah sumpah. Badan
saya, nyawa saya, harta saya… demi untuk Aceh Merdeka. Tidak ada lain. Tidak
ada untuk damai. Tidak ada untuk menyerah,” katanya.
“ Tidak ada untuk otonomi. Kalau kawan saya sudah habis, tinggal saya, tetap saya
memilih merdeka. Karena saya sudah janji, janji pada Yang Maha Kuasa. Saya tak
mau ikut orang tu. Tidak mau saya jumpa orang tu. Tidak pernah saya datang
makan dengan orang tu. Karena orang tu menyerah, bukan damai itu. Kalau damai,
tidak ada potong-potong senjata. Dijual Aceh ini pada orang Jawa. Mereka ambil
kesenangan, mereka berpijak di atas darah bangsanya,” katanya.
Kami semua duduk bersila di tikar rumbia mendengar Geuchik Din bicara. Murthada
merekam adegan dengan kamera. Geuchik Din berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Katanya, belum waktunya orang membuat peraturan untuk menggunakan Bahasa
Aceh, kecuali saat Aceh sudah merdeka.
Ia juga tak mau disebut suku Aceh.
“Saya adalah bangsa Aceh, bukan suku Aceh, seperti bangsa Jawa, bangsa Dayak di
Kalimantan… Semua itu, di pulau-pulau itu bangsa, tapi Indonesia mengecilkannya
menjadi suku,” katanya.***