Anda di halaman 1dari 70

PENDAHULUAN

Wudhu ( ) adalah sebuah sunnah (petunjuk) yang berhukum wajib, ketika seseorang
mau menegakkan sholat. Sunnah ini banyak dilalaikan oleh kaum muslimin pada hari ini
sehingga terkadang kita tersenyum heran saat melihat ada sebagian diantara mereka yang
berwudhu seperti anak-anak kecil, tak karuan dan asal-asalan. Mereka mengira bahwa
wudhu itu hanya sekedar membasuh dan mengusap anggota badan dalam wudhu. Semua ini
terjadi karena kejahilan tentang agama, taqlid buta kepada orang, dan kurangnya semangat
dalam mempelajari Al-Quran dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji masalah dunia, bahkan
ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak
diantara kita malas dan menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya. Bahkan terkadang
menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot, dan terbelakang. Ini tentunya adalah
cara pandang yang keliru. Naudzu billahi min dzalik.

Para pembaca yang budiman, demi menghilangkan kejahilan dan keraguan kita tentang cara
berwudhu, maka ada baiknya kami mengajak anda berkeliling menikmati dan
memperhatikan hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang menjelaskan tata cara
dan kaifiat wudhu yang benar. Karena pembahasan wudhu ini agak panjang, maka insya
Allah- kami akan menurunkan pembahasan ini secara musalsal (berseri).
DEFINISI DAN BATASAN WUDHU
Bila menilik kitab-kitab dan manuskripsi klasik dan kontemporer para ulama kita, maka anda
akan menjumpai bahwa para ahli ilmu telah membahas definisi dan batasan wudhu (
) dari sisi bahasa maupun istilah dalam syara.

Pengertian Secara Bahasa


Al-Imam Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- (Seorang ahli bahasa) menjelaskan
bahwa jika dikatakan wadhu ( ), maka yang dimaksud adalah air yang digunakan
berwudhu. Bila dikatakan wudhu ( ), maka yang diinginkan disitu adalah
perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan, sedang wadhu adalah air wudhu. [Lihat
An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (5/428)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafiiy -rahimahullah- berkata, "Kata wudhu terambil dari
kata al-wadhoah/kesucian ( ). Wudhu disebut demikian, karena orang yang
sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci". [Lihat
Fathul Bariy (1/306)]

Pengertian Secara Syariat


Adapun makna wudhu menurut tinjauan syariat, kata Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-
Sadlan -hafizhohullah-,

"Makna wudhu adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada anggota-anggota
badan yang empat (wajah, tangan, kepala, dan kaki) berdasarkan tata cara yang khusus
menurut syariat". [Lihat Risalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar (hal. 19)]

untuk mensucikan badan dari hadats kecil.


HIKMAH WUDHU
1. Syariat wudhu mengandung hikmah yang amat dalam. Diantara hikmah wudhu,
seorang dibimbing agar ia memulai aktifitas ibadah dan kehidupannya dengan kesucian
dan keindahan. Sebab wudhu itu sebenarnya bermakna keindahan, dan kesucian [Lihat
Ash-Shihhah fil Lughoh (2/282) karya Al-Jauhariy]
2. Wudhu ( ) adalah sebuah syariat kesucian yang Allah -Azza wa Jalla- tetapkan
kepada kaum muslimin sebagai pendahuluan bagi sholat dan ibadah lainnya. Di dalamnya
terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang
muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir dan batin. Sebab asal
kata ini sendiri berasal dari kata yang mengandung makna kebersihan dan keindahan (
) sebagaimana yang dijelaskan para ahli bahasa Arab. [Lihat An-
Nihayah (5/428), dan Ash-Shihhah (2/282)]
KEUTAMAAN WUDHU
Syariat Kesucian ini mengumpulkan banyak hikmah, faedah, dan fadhilah (keutamaan) yang
menjelaskan urgensi dan kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Sebab suatu amalan
jika memiliki banyak faedah dan fadhilah, maka tentunya karena memiliki makanah aliyah
(kedudukan tinggi).

Wudhu disyariatkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyariatkan
dalam seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu berada dalam
kondisi bersuci (wudhu) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik
dalam kondisi senang atau dalam kondisi susah dan kurang menyenangkan (seperti, saat
musim hujan dan musim dingin). Kebiasaan berwudhu ini butuh kepada kesabaran tinggi,
sebab kita terkadang terserang perasaan malas. Perasaan malas ini akan hilang Insya Allah-
saat kita mengetahui keutamaan wudhu.

Pembaca yang budiman, keutamaan-keutamaan wudhu kali ini kami akan tuangkan di
hadapan kalian agar menjadi penyemangat dan penggerak motor semangat yang selama ini
dingin dan tak tergerak. Diantara keutamaan-keutamaan wudhu yang terdapat dalam
Kitabullah dan Sunnah shohihah dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :

1. Syarat Memasuki Sholat


Seorang ketika hendak memasuki sebuah rumah atau gedung, maka ia akan melewati pintu-
pintu yang ada padanya. Pintu ini biasanya tak bisa dilewati, kecuali seseorang memiliki
kunci untuk membuka pintu-pintu itu. Sebelum seseorang masuk ke dalam rumah tersebut,
maka ada syarat yang harus dipenuhi. Demikianlah perumpamaan wudhu bagi sholat;
seorang tak mungkin akan masuk dalam sebuah sholat, kecuali ia memenuhi syarat-syarat
sholat, seperti wudhu. Oleh karena itu, Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki". (QS. Al-Maaidah: 6)

Jadi, jika seseorang hendak sholat, maka syaratnya harus berwudhu sebagaimana yang
dijelaskan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam ayat ini dan diterangkan oleh Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dalam sunnahnya.

Bila seorang yang masuk dalam sholat, tanpa wudhu, maka sholatnya tak akan diterima,
bahkan tak sah, sebab wudhu adalah syarat sahnya wudhu, dan tercapainya pahala sholat.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

"Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu" . [HR. Al-
Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536) dari Abu
Hurairah]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan beberapa
faedah dari hadits ini, "Hadits ini dijadikan dalil tentang batalnya sholat disebabkan oleh
hadats (seperti, kentut, buang air, junub dan lainnya), baik hadats itu keluar karena pilihan
(sadar), maupun terpaksa". [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/309), tahqiq
Ali Asy-Syibl, cet. Darus Salam, 1421 H]

Demikian pula ijma (kesepakatan) para ulama bahwasanya shalat tidak boleh ditegakkan
kecuali dengan berwudhu terlebih dahulu, selama tidak ada udzur untuk meninggalkan
wudhu tersebut (Al Ausath 1/107).

Dan disunnahkan berwudhu setiap kali akan sholat meskipun wudhu yang sebelumnya
belum batal. Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu setiap kali mau shalat (HR. Al-
Bukhari dan Imam Empat). Beliau bersabda, Seandainya saya tidak menyusahkan umatku
niscaya saya akan memerintahkan mereka untuk berwudhu setiap kali mau shalat, dan
bersama wudhu ada bersiwak. (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam
Al-Muntaqa)

2. Penghapus Dosa Kecil & Pengangkat Derajat


Perlu kita sadari, bahwa manusia itu bukanlah makhluk yang sempurna, bahkan Allah
subhanahu wataala sebagai Sang Khaliq (Pencipta) mensifati manusia dengan sifat yang
sering lalai dan bodoh, sehingga sering terjatuh dalam perbuatan dosa dan kezhaliman.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wataala (artinya):

Sesungguhnya manusia itu amat aniaya (zhalim) dan amat bodoh. (Al Ahzab: 72)

Ditegaskan pula dalam hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin
Malik:

Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang
melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya. (HR Ahmad, Ibnu Majah,
dan Ad Darimi)

Akan tetapi, dengan rahmat Allah subhanahu wataala yang amat luas, Allah subhanahu
wataala memberikan solusi yang mudah untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa
diantaranya dengan wudhu. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu maka ia akan
bersih dari noda-noda dosa tersebut.

Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu kemudian mencuci wajahnya, maka akan
keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya
bersama air wudhu atau bersama akhir tetesan air wudhu. Apabila ia mencuci kedua
tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama
air wudhu atau bersama akhir tetesan air wudhu. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka
akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu atau
bersama tetesan akhir air wudhu, hingga ia selesai dari wudhunya dalam keadaan suci dan
bersih dari dosa-dosa. (HR Muslim no. 244).

Wudhu adalah amalan ringan, tapi pengaruhnya ajaib dan luar biasa. Selain menghapuskan
dosa kecil, wudhu juga mengangkat derajat dan kedudukan seseorang dalam surga.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

"Maukah kalian aku tunjukkan tentang sesuatu (amalan) yang dengannya Allah
menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat derajat-derajat?" Mereka berkata, "Mau, wahai
Rasulullah!!" Beliau bersabda, "(Amalan itu) adalah menyempurnakan wudhu di waktu
yang tak menyenangkan (seperti pada keadaan yang sangat dingin, pent.), banyaknya
langkah menuju masjid 1 , dan menunggu sholat setelah menunaikan sholat 2 . Itulah ribath
(pos penjagaan) 3 ". [HR. Muslim (251;586)]

Abul Hasan As-Sindiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan amalan-amalan yang


terdapat dalam hadits ini, "Amalan-amalan ini akan menutup pintu-pintu setan dari dirinya,
menahan jiwanya dari nafsu syahwatnya, permusuhan jiwa, dan setan sebagaimana hal ini
tak lagi samar. Inilah jihad akbar (besar) yang terdapat pada dirinya. Jadi, setan adalah
musuh yang paling berat baginya". [Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Sunan An-Nasa'iy
(1/114)]

Dari Utsman bin Affan wasallam- bersabda: dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi

Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya 4 , niscaya kesalahan-


kesalahannya keluar dari badannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya. (HR. Muslim
no. 245)

Dari Utsman bin Affan wassalam- bahwa beliau mendengar Nabi -alaihishshalatu bersabda:

1
Setiap langkah kakinya ke masjid akan dihitung sebagai amalan sunnah. Demikian pula shalat (sunnah wudhu)
yang dia lakukan setelahnya. Karenanya disunnahkan untuk berjalan kaki ke masjid selama masih
memungkinkan dan tidak menaiki kendaraan, demikian pula disunnahkan untuk mengerjakan shalat sunnah
wudhu
2
Orang yang berwudhu dalam keadaan dingin yang sangat akan diangkat derajatnya oleh Allah dihapuskan
dosa-dosanya dan pahalanya bagaikan dia tengah berjihad di jalan Allah. Pahala seperti ini juga didapatkan oleh
orang setelah dia mengerjakan shalat dia tidak pulang ke rumahnya akan tetapi dia menunggu shalat berikutnya
di masjid. Karenanya disunnahkan untuk berdiam di masjid -selama memungkinkan- untuk menunggu shalat
berikutnya atau melakukan amalan yang menjadi wasilah kepadanya, misalnya mengadakan pengajian antara
maghrib dan isya agar para jamaah tidak pulang tapi bisa mengikuti pengajian tentunya disertai dengan niat
menunggu shalat isya
3
Ribath adalah amalan berjaga di daerah perbatasan antara daerah kaum muslimin dengan daerah musuh.
Maksudnya pahalanya disamakan dengan pahala orang yang melakukan ribath.
4
Maksud memperbaiki wudhu adalah mengerjakannya secara sempurna (mencakup rukun, wajib, dan sunnah
wudhu) sesuai dengan petunjuk Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
Barangsiapa berwudhu demikian niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Sedangkan shalat dan berjalannya dia ke masjid adalah dihitung sebagai amalan sunnah.
(HR. Muslim no. 228)

Jadi, seorang yang melazimi amalan-amalan tersebut dianggap telah melakukan pertahanan
untuk menutup pintu-pintu setan. Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari setan, maka
hendaknya ia melazimi wudhu, menghadiri sholat jamaah, dan bersabar menunggu sholat
jamaah lainnya.

3. Tanda Pengikut Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.


Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengabarkan kepada kita bahwa beliau akan
mengenali ummatnya di Padang Mahsyar dengan adanya cahaya pada anggota tubuh mereka,
karena pengaruh wudhu mereka ketika di dunia.

"Perhiasan (cahaya) seorang mukmin akan mencapai tempat yang dicapai oleh wudhunya".
[Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Tablugh Al-Hilyah haits Yablugh Al-Wudhu' (585)]

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,

"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi pekuburan seraya bersabda,


"Semoga keselamatan bagi kalian wahai rumah kaum mukminin. Aku sangat ingin melihat
saudara-saudara kami". Mereka (para sahabat) berkata, "Bukankah kami adalah saudara-
saudaramu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Kalian adalah para sahabatku. Sedang
saudara kami adalah orang-orang yang belum datang berikutnya". Mereka berkata,
"Bagaimana anda mengenal orang-orang yang belum datang berikutnya dari kalangan
umatmu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Bagaimana pandanganmu jika seseorang
memiliki seekor kuda yang putih wajah, dan kakinya diantara kuda yang hitam pekat.
Bukankah ia bisa mengenal kudanya". Mereka berkata, "Betul, wahai Rasulullah". Beliau
bersabda, "Sesungguhnya mereka (umat beliau) akan datang dalam keadaan putih wajah
dan kakinya karena wudhu. Sedang aku akan mendahului mereka menuju telaga. Ingatlah,
sungguh akan terusir beberapa orang dari telagaku sebagaimana onta tersesat terusir. Aku
memanggil mereka, "Ingat, kemarilah!!" Lalu dikatakan (kepadaku), "Sesungguhnya mereka
melakukan perubahan setelahmu". Lalu aku katakan, "Semoga Allah menjauhkan mereka".
[HR. Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Istihbab Itholah Al-Ghurroh (583)]

Seorang muslim akan dikenali oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan cahaya pada
wajah dan tangannya. Maka hendaknya setiap orang diantara kita menjaga cahaya ini dengan
menjaga wudhu, dan sholat. Abdur Rauf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata,
"Barangsiapa yang lebih banyak sujudnya atau wudhunya di dunia, maka wajahnya nanti
akan lebih bercahaya dan lebih berseri dibandingkan selain dirinya. Maka mereka (kaum
mukminin) nanti disana akan bertingkat-tingkat sesuai besarnya cahaya". [Lihat Faidhul
Qodir (2/232)]

Pada hari kiamat nanti, umat Nabi Muhammad Nabi shalallahu alaihi wasallam akan
terbedakan dengan umat yang lainnya dengan cahaya yang nampak pada anggota wudhu.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua
tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu. (HR. Al Bukhari no. 136 dan
Muslim no. 246) dalam riwayat yang lain:

Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu


alaihi wasallam Seraya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab: Tahukah kalian
bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-
kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan
mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: Tentu wahai Rasulullah. Rasulullah
berkata: Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan
kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu mereka. (HR. Mslim no. 249)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:

Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah, tangan, dan kaki
yang bercahaya 5 karena bekas-bekas wudhu mereka. Karenanya barangsiapa di antara
kalian yang bisa memperpanjang cahayanya 6 maka hendaklah dia lakukan. (HR. Al-
Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menyatakan bahwa cahaya ini hanya dimiliki karena wudhu
merupakan keistimewaan umat ini yang oleh umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam
tidak diberikan kepada umat selainnya. Walaupun dalam hal ini -yakni: Apakah wudhu ini
disyariatkan pada umat sebelumnya atau tidak- ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Adapun bagi kaum muslimin yang meninggal dalam keadaan belum sempat berwudhu maka
dia tidak akan mendapatkan cahaya ini, hanya saja dia tetap akan dikenali oleh Nabi -
alaihishshalatu wassalam- sebagai umat beliau akan tetapi dengan tanda yang lain.

4. Separuh Iman
Seorang tak akan meraih pahala sholat, selain ia melakukan wudhu, lalu mengerjakan sholat.
Jadi, wudhu ibaratnya separuh dari iman (yakni, sholat). Ini menunjukkan kepada kita

5
Asal makna ghurrah adalah bulu putih pada kepala kuda yang berbulu hitam, dan makna at-tahjil adalah bulu
putih pada kaki-kaki kuda yang berbulu hitam
6
Makna memperpanjang wudhu adalah mengusahakan agar dirinya selalu di atas thaharah dengan cara selalu
berwudhu setiap kali wudhunya batal walaupun tidak sedang akan shalat. Bukan maknanya menambah bagian
tubuh yang dicuci melebihi apa yang ditetapkan oleh syariat
tentang ketinggian nilai dan manzilah wudhu di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

"Bersuci (wudhu) adalah separuh iman. Alhamdulillah akan memenuhi mizan (timbangan).
Subhanallah wal hamdulillah akan memenuhi antara langit dan bumi. Sholat adalah cahaya.
Shodaqoh adalah tanda. Kesabaran adalah sinar. Al-Quran adalah hujjah (pembela)
bagimu atau hujatan atasmu. Setiap orang keluar di waktu pagi; maka ada yang menjual
dirinya, lalu membebaskannya atau membinasakannya". [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab:
Fadhl Ath-Thoharoh (533)]

Al-Hafizh Ibnu Rojab -rahimahullah- berkata, "Jika wudhu bersama dua kalimat syahadat
mengharuskan terbukanya pintu surga, maka wudhu menjadi separuh iman kepada Allah dan
Rasul-Nya menurut tinjauan ini. Juga wudhu termasuk cabang-cabang keimanan yang
tersembunyi yang tak akan dilazimi, kecuali seorang mukmin". [Lihat Iqozhul Himam (hal.
329)]

5. Jalan Menuju Surga


Jalan-jalan surga telah dimudahkan oleh Allah -Azza wa Jalla- bagi orang yang Allah berikan
taufiq dan hidayah. Perhatikan Bilal bin Robah -radhiyallahu anhu-, beliau mendapatkan
kabar gembira bahwa ia termasuk penduduk surga, sebab ia telah berusaha menapaki sebuah
jalan diantara jalan-jalan surga. Dengarkan kisahnya dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-,
ia berkata,

"Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada Bilal ketika sholat Fajar,
"Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan yang pernah
engkau amalkan dalam Islam, karena sungguh aku telah mendengarkan detak kedua
sandalmu di depanku dalam surga". Bila berkata, "Aku tidaklah mengamalkan amalan yang
paling aku harapkan di sisiku. Cuma saya tidaklah bersuci di waktu malam atau siang,
kecuali aku sholat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku". [HR. Al-
Bukhoriy dalam Al-Jum'ah, Bab: Fadhl Ath-Thoharoh fil Lail wan Nahar (1149), dan
Muslim (6274)]

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa berwudhu lalu sholat sunnah setelahnya
merupakan amalan yang berpahala besar. Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata, "Di dalam
hadits ini terdapat anjuran untuk melakukan sholat usai berwudhu agar wudhu tidak kosong
(terlepas) dari maksudnya". [Lihat Fathul Bari (4/45)]

6. Pelepas Ikatan Setan


Setan senantiasa mengintai dan mengawasi kita. Bahkan ia selalu mencari jalan untuk
menjauhkan kita dari kebaikan yang telah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya. Diantara
makar setan, ia membuat buhul pada seorang diantara kita saat kita tidur agar kita berat
bangun beribadah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

"Setan membuat tiga ikatan pada tengkuk seorang diantara kalian jika ia tidur. Setan akan
memukul setiap ikatan itu (seraya membisikkan), "Bagimu malam yang panjang, maka
tidurlah". Jika ia bangun seraya menyebut Allah (berdzikir), maka terlepaslah sebuah ikatan.
Jika ia berwudhu, maka sebuah ikatan yang lain terlepas. Jika ia sholat, maka sebuah
ikatan akan terlepas lagi. Lantaran itu, ia akan menjadi bersemangat lagi baik jiwanya. Jika
tidak demikian, maka ia akan jelek jiwanya lagi malas". [HR. Al-Bukhoriy (1142 & 3269)
dan Muslim (1816)]

Al-Qodhi Abul Walid Sulaiman bin Kholaf Al-Bajiy -rahimahullah- berkata, "Nabi -
Shallallahu alaihi wa sallam- memaksudkan dengan hadits ini bahwa dengan dzikrullah,
wudhu, dan sholat, maka semua ikatan (buhul) setan akan terlepas, dan seorang muslim
akan selamat dari makar setan, dan keburukan buhul-buhulnya. Lantaran itu, ia akan
bersemangat di waktu pagi, (sedang ia telah terlepas darinya buhul-buhul yang telah
membuat dirinya malas), dan jiwanya menjadi baik dengan sebab amalan kebajikan yang ia
lakukan semalam". [Lihat Al-Muntaqo (1/434) karya Al-Bajiy]

Para pembaca budiman, inilah beberapa buah petikan fadhilah dan keutamaan wudhu.
Semoga menjadi pendorong bagi kita semua untuk melazimi wudhu demi meraih
keutamaann-keutamaan tersebut di atas. Kami memohon kepada Allah agar Dia menjadikan
kita sebagai ummat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang dikenali dengan cahaya wudhu.
Syarat-syarat wudhu
Syarat-syarat wudhu ada delapan :

1. Islam,
Berdasarkan pembuka ayat wudhu dengan menggunakan seruan yang mulia ini,

Wahai orang-orang yang beriman.


Allah mengarahkan pembicaraan kepada orang yang disifati dengan keimanan; karena
dialah yang mau mendengarkan perintah-perintah Allah dan mengambil manfaat dari
padanya. Karena inilah Nabi Shalallahu alahi wa sallam bersabda :
Dan tidaklah menjaga wudhu kecuali orang yang beriman. (Dikeluarkan dari hadits
Tsauban oleh: Ahmad (22429) [5/355]; Ibnu Majah (278) [1/178] dan dikeluarkan pula
oleh imam yang lainnya dari shahabat lain.)

2. Berakal,
3. Tamyiz
Maka wudhu tidak sah apabila dilakukan oleh orang kafir, orang gila, anak kecil yang
belum mumayyiz

4. Niat;
Niat, berdasarkan sabda Nabi yang masyhur, Sesungguhnya setiap amalan -syah atau
tidaknya- tergantung dengan niat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Berniat untuk
berwudhu di dalam hati dengan tidak mengucapkannya. Karena Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam tidak pernah melafadzkan niatnya baik di dalam wudhu maupun shalatnya, dan
juga seluruh ibadahnya. Begitu pula karena Allah Subhanahu wa Taala mengetahui apa
yang ada di dalam hati sehingga tidak ada perlunya untuk diberitakan lewat lisannya.

Maka wudhu tidak sah apabila dilakukan oleh orang yang tidak berniat untuk berwudhu;
seperti berwudhu untuk mendinginkan anggota badan atau membasuh anggota wudhu
untuk menghilangkan najis atau kotoran.

5. Wudhu disyaratkan juga menggunakan air yang suci


sebagaimana yang telah lewat.
Apabila air tersebut najis, maka tidak memenuhi syarat.

6. Wudhu disyaratkan juga menggunakan air yang mubah


(boleh untuk dipergunakan).
Apabila air tersebut adalah hasil rampasan atau memperolehnya dengan cara yang tidak
syari, maka tidak sah wudhunya menggunakan air tersebut.

7. Wudhu disyaratkan untuk didahului dengan istinja dan


istijmar
sebagaimana yang telah lewat perinciannya.

8. Wudhu disyaratkan juga untuk menghilangkan hal-hal yang


menghalangi sampainya air kekulit.
Maka orang yang berwudhu harus menghilangkan apa yang ada pada anggota wudhu,
seperti: tanah, pasta, lilin, kotoran yang menumpuk atau cat yang tebal; agar air bisa
mengalir mengenai kulit anggota wudhu secara langsung tanpa adanya penghalang
MEMBERSIHKAN NAJIS
Sebelum berwudhu hendaklah terlebih dahulu membersihkan seluruh najis yang ada pada
badannya, pakaiannya, atau lingkungan sekitarnya. Asal pembersihan terhadap perkara najis
adalah dengan menggunakan air. Allah berfirman:

Dia menurunkan kepada kalian air dari langit (hujan) agar Dia mensucikan kalian
dengannya. ( Al-Anfal: 11)

Dan Kami menurunkan air dari langit sebagai pensuci . (Al-Furqan: 48)

Pembersihan najis dengan air ini dapat berpindah kepada sarana lain, seperti hadits Abu Said
Al Khudri yang menyebutkan sabda Nabi pembersihan najis pada sandal dengan digosokkan
ke tanah atau hadits tentang istijmar (bersuci dengan menggunakan batu). Oleh karena itu,
kita lihat pembersihan beberapa perkara najis yang datang penjelasannya di dalam hadits
Rasulullah.

1. Kencing
Ketika ada seorang Arabi (Arab gunung) kencing di salah satu sudut masjid. Para
shahabat yang ada di tempat tersebut berteriak mencerca orang tersebut, namun
Rasulullah melarang mereka. Rasulullah berbuat demikian dan setelahnya beliau
bersabda :

Tuangkan di atas kencingnya itu satu timba penuh yang berisi air1. (HR. Bukhari
no. 220, 6128 dan Muslim no. 285)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa tanah yang terkena
najis dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya dan tidak disyaratkan tanah itu
harus digali. Ini merupakan pendapat kami dan jumhur ulama. (Syarah Muslim, 3/190-
191).

Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan, tanah dapat
disucikan dari najis dengan menuangkan air yang banyak tanpa harus memindahkan
tanah yang terkena najis ke tempat lain. (Ihkamul Ahkam, 1/83).

Tanah ini bisa disucikan dengan cara tersebut, sama saja apakah tanah itu lembek atau
padat, demikian dikatakan Imam Shanani (Subulus Salam, 1/42)

Adapun kalau kencing tersebut mengenai pakaian maka dicuci bagian yang terkena najis
sebagaimana mencuci sesuatu yang kotor/najis. Tidak seperti perbuatan orang-orang
Yahudi yang menggunting pakaian mereka bila terkena kencing, sebagaimana disebutkan
haditsnya dalam Shahih Bukhari (no. 226) dan Shahih Muslim (no. 273).

2. Kotoran Manusia
a. Najis Pada Sandal
Rasulullah bersabda : Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah
dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran manusia
padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat. (HR. Imam
Ahmad, 3/20. Hadits ini shahih kata Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al Jamiush
Shahih 1/526)

Dalam hadits di atas, Rasulullah mengajarkan cara Tanah Itu Bisa


membersihkan alas kaki (sandal ataupun sepatu) yang Sebagai Pensuci
menginjak kotoran yaitu dibersihkan dengan
Dari Najis Selain
menggosokkannya ke tanah. Ini menunjukkan tanah itu bisa
sebagai pensuci dari najis selain air. Air

Berkata Imam Syaukani rahimahullah : Dzahir hadits ini menunjukkan tidak ada
perbedaan antara berbagai jenis najis, bahkan setiap yang menempel pada sandal yang
dianggap sebagai kotoran maka pensuciannya dengan mengusapkannya ke tanah. (Nailul
Authar, 1/76)

b. Istinja (Bersuci Dari Buang Air Kecil/Besar)

i. Dengan menggunakan air


ii. Rasulullah juga mengajarkan cara bersuci dari buang air kecil dan buang air besar
selain dengan air, yaitu dengan menggunakan batu yang diistilahkan dengan
istijmar, sebagaimana datang haditsnya dari Abu Hurairah z bahwasanya Rasulullah
bersabda:

Dan siapa yang bersuci dengan menggunakan batu, hendaklah ia


mengganjilkannya . (HR. Bukhari no. 162 dan Muslim no. 278)

Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah sebagaimana beliau memerintahkan Abdullah
ibnu Masud z untuk mencari batu (HR Bukhari no.156) dan juga perintah beliau
kepada Abu Hurairah untuk mengambil batu yang hendak beliau gunakan untuk
bersuci (HR Bukhari no. 155). Kedua riwayat ini mengandung perintah sehingga
menunjukkan bahwasanya istijmar bisa dilakukan dalam keadaan apa pun walaupun
ada air, karena akan meminta diambilkan air Rasulullah apabila beliau memang
ingin bersuci dengan air.

Dikatakan pula oleh Al Hafidz ketika menerangkan bab Istinja bil Hijarah (bersuci
dari buang air besar dan kecil dengan menggunakan batu) bahwa bab ini merupakan
bantahan terhadap orang-orang yang berpandangan bahwa istinja hanya khusus
menggunakan air. (Fathul Bari 1/321)

Hitungan ganjil yang dimaksud dalam hadits ini minimal dengan tiga batu
sebagaimana dalam hadits Salman z, di antaranya ia berkata: Sungguh melarang
kami untuk Rasulullah istinja (cebok) dengan menggunakan kurang dari tiga batu.
(HR. Muslim no. 262) Demikian pula pendapat Imam Syafii, Imam Ahmad dan
ashabul hadits, bahkan mereka mensyaratkan tidak boleh kurang dari tiga batu agar
najis itu bersih. Apabila belum tercapai pembersihan itu hanya dengan tiga batu, maka
dia boleh menambahnya sampai bersih, dan dalam hal ini disenangi untuk
mengganjilkan jumlah batu tersebut. (Fathul Bari 1/323)
iii. Dibolehkan pula untuk mengganti ketika tidak ada batu dengan selainnya, kecuali
tulang dan kotoran (tahi) kering karena telah datang larangan pemakaian keduanya
dari Rasulullah . Ini pendapat jumhur ahlul ilmi. (Syarah Muslim 3/157)

3. Wadiy
Pembersihannya hanya dengan mencuci kemaluan dengan air seperti halnya bersuci dari
kencing dan buang air besar.

4. Madzi
Ketika Ali z menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, menanyakan tentang tata
cara kepada Rasulullah membersihkan madzi yang mengenai kemaluan. Beliau menjawab:
Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu. (HR. Bukhari no. 269 dan Muslim
no. 303)

Nabi memerintahkan untuk mencuci kemaluan bila keluar madzi. Yang dimaksud dengan
mencuci di sini menurut pendapat Imam Syafi`i dan jumhur ulama adalah mencuci bagian
yang yang terkena madzi saja (dari kemaluan dan anggota badan lainnya yang terkena) tidak
perlu mencuci seluruh kemaluan (Syarah Muslim, 3/213)

Ibnu Hazm berkata: Mewajibkan pencucian kemaluan secara keseluruhan adalah


pensyariatan yang tidak ada dalil padanya. (Al Muhalla,1/107)

5. Darah haid yang mengenai pakaian


Asma bintu Abi Bakr x menceritakan :

: Ya Rasulullah, jika Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah salah seorang dari
kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang bersabda, Apabila darah haid harus
ia lakukan? Maka Rasulullah mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia
mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia boleh shalat memakai pakaian tersebut.
(HR. Bukhari no. 227, 307 dan Muslim no.291 )

Imam Shanani mengatakan: Wajib untuk mencuci pakaian yang terkena darah haid dan
bersungguh-sungguh untuk menghilangkan bekasnya berdasarkan apa yang disebutkan dalam
hadits dengan dikerik memakai jari, dikucek dengan air dan dicuci untuk menghilangkan
bekas darah tersebut. Dan dzahir hadits menunjukkan tidak wajibnya melakukan selain hal
tersebut. Kalau masih terlihat bekas darah maka tidak wajib menggosoknya dengan
menggunakan benda yang keras/kesat karena tidak disebutkan hal demikian dalam hadits
Asma x sementara hadits ini merupakan tempat keterangan dan juga karena datang riwayat
pada selain hadits ini dengan lafadz : Tidak bermasalah bagimu bekas darah tersebut
(setelah berusaha menghilangkannya dengan tata cara yang disebutkan) (Subulus Salam,
1/60)
Disenangi mencuci darah haid yang terkena pada pakaian dengan menggunakan air dan daun
bidara2 serta dikerik dengan ranting karena hal ini bisa menghilangkan bekas darah dari
pakaian tersebut daripada sekedar dicuci dengan air saja3. Demikian dikatakan Ibnu
Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/141) dengan membawakan hadits Ummu Qais bintu
Mihshan tentang darah haid yang yang bertanya kepada Rasulullah mengenai pakaian.
Sedangkan hadits Ummu Qais ini dikatakan oleh Ibnul Qaththan: Sanadnya benar-benar
shahih dan saya tidak mengetahui padanya ada cacat. (Talkhis Habir, 1/52)

6. Kulit bangkai
Bangkai hewan termasuk perkara najis, demikian pula kulitnya. Oleh karena itu bila kulit
bangkai itu hendak dimanfaatkan harus disucikan terlebih dahulu dengan cara disamak.

Rasulullah bersabda :

Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya . (HR. Muslim no. 366)

Yang dimaksud dengan menyamak adalah menghilangkan bau busuk dan lendir (cairan) yang
najis dengan mengunakan benda-benda atau obat-obatan tertentu dan selainnya. Kata Ibrahim
An Nakhai: Penyamakan adalah segala sesuatu yang mencegah rusaknya kulit. (Tuhfatul
Ahwadzi , 5/327).

Berkata Syaikh Abul Qasim sebagaimana dinukil dalam Al Muntaqa Syarah Muwaththa
Imam Malik: Kulit bangkai sebelum disamak itu najis namun setelah disamak menjadi suci
dengan kesucian yang khusus.

Dengan penyamakan ini kulit tersebut menjadi suci, luar dan dalamnya, sama saja apakah
kulit itu berasal dari hewan yang dimakan dagingnya ataupun tidak. Setelah kulit disamak
boleh dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan benda-benda yang kering dan yang cair.
(Tuhfatul Ahwadzi, 5/327)

7. Air liur anjing pada bejana


Nabi bersabda:

Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencuci bejana
tadi sebanyak tujuh kali. (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan: cucian yang pertama dicampur dengan tanah.

Hadits di atas menunjukkan bejana yang dijilat anjing dicuci dengan air sebanyak tujuh kali
dan cucian yang pertama dicampur dengan tanah. Kita mengambil riwayat: cucian yang
pertama dicampur dengan tanah. Sementara di sana ada riwayat-riwayat lainnya, karena
riwayat ini lebih kuat dari sisi banyaknya, lebih terjaga dari keganjilan dalam periwayatannya
dan juga lebih kuat dari sisi makna, demikian kata Al Hafidz Ibnu Hajar. (Fathul Bari , 1/346)

Imam Shanani mengatakan: Riwayat yang menyebutkan pencucian pertama dengan tanah
lebih kuat karena banyak yang meriwayatkannya, juga karena dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim. Yang demikian ini dipakai ketika mentarjih (menguatkan) riwayat-riwayat yang
berselisih. (Subulus Salam, 1/39)

Dan pencucian sebanyak tujuh kali ini hukumnya wajib, demikian pendapat Syafii, Ahmad
dan jumhur ulama. (Aunul Mabud, 1/94)
Pembersihan jilatan anjing ini bisa dengan cara menuangkan air ke atas tanah atau
menuangkan tanah di atas air atau bisa pula dengan cara mengambil tanah yang telah
bercampur dengan air lalu digunakan untuk mencuci bejana tersebut. Adapun sekedar
mengusap bekas najis dengan tanah maka tidaklah mencukupi. (Taisirul Allam, 1/35).

Mungkin muncul pertanyaan, apakah tanah bisa digantikan oleh pembersih yang lain seperti
sabun/deterjen. Perkara ini diperselisihkan oleh ulama, namun yang kuat adalah tanah tidak
bisa digantikan oleh yang lain.

Karena apabila telah datang nash yang menunjukkan terhadap makna tertentu dan
dimungkinkan makna yang khusus terhadap makna tertentu tersebut maka tidak boleh
mengesampingkan ataupun membuang nash tersebut. Demikian dinyatakan oleh Al-Imam
Ibnu Daqiqil Ied dalam Ihkamul Ahkam, 1/31.

Wallahu taala alamu bish-shawab.


AIR YANG SUCI LAGI MENYUCIKAN
Ulama berselisih tentang pembagian air, penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t ketika ditanya tentang pembagian air, beliau
menjawab: Yang rajih, air itu terbagi dua, thahur (suci dan mensucikan -red) dan najis.
Air yang berubah karena masuknya benda najis maka air itu najis. Sedangkan air yang
tidak berubah dengan masuknya benda najis maka air itu suci. Adapun menetapkan jenis
air yang ketiga, yaitu air yang thahir (suci tapi tidak mensucikan -red) maka tidak ada
asalnya dalam syariat. Dalil dalam hal ini adalah karena tidak adanya dalil. Kalau
memang ada dalam syariat pembagian air yang thahir, niscaya akan diketahui dan
dipahami dengan hadits-hadits yang menjelaskan. Karena perkara ini sangat dibutuhkan
penerangannya dan hal ini bukanlah perkara yang remeh, permasalahannya berkaitan
dengan pilihan apakah seseorang bisa menggunakan air tersebut untuk bersuci atau tidak,
sehingga ia harus tayammum.
(Majmu` Fatawa wa Rasail, Fadlilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/85 sebagaimana
dinukil dalam Fatawa Al Mar'ah Al Muslimah, 1/187)
NAJIS YANG DIPERSELISIHKAN

Kesalahpahaman tentang ini najis, dan itu bukan najis banyak kita jumpai di masyarakat.
Misalnya, sebagian orang ketika kakinya terluka karena jatuh atau tertusuk paku, maka serta-
merta tak mau sholat, karena alasan bahwa ia harus bersihkan dulu darahnya yang ia yakini
sebagai najis, padahal bukan najis!! Darah (selain darah haidh, dan nifas), seperti luka yang
keluar dari tubuh kita, tidaklah membatalkan wudhu, dan bukan pula najis. Selain itu , ada
orang yang tak mau bersentuhan dengan orang yang junub (orang yang habis mimpi basah
atau habis jimak), dengan dalih orang junub itu najis. Benarkah?? Ikuti pembahasan manis
berikut ini:

1. air liur anjing,


2. mani,
3. orang kafir,
4. khamar, dan
5. Darah -selain Haidh, dan Nifas- adalah Suci
Darah yang keluar dari tubuh seseorang bukanlah najis, selain darah haidh, dan nifas.
Dahulu kaum muslimin di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sering melakukan
jihad fi sabilillah, dan terluka oleh sabetan pedang, tusukan panah, dan tombak. Namun
mereka tetap sholat dengan memakai pakaian mereka yang berlumuran darah. Ini juga
menunjukkan bahwa darah yang keluar tersebut tidaklah membatalkan wudhu dan shalat
kita.

Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy-radhiyallahu anhu- berkata,

- -

"Kami pernah keluar bersama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, yakni waktu
Perang Dzatur Riqo. Maka ada seorang sahabat yang membunuh istri seorang musyrikin.
Kemudian sang suami bersumpah, "Aku tak akan berhenti (melawan) sampai aku
menumpahkan darah sebagian sahabat-sahabat Muhammad". Maka ia pun keluar mengikuti
jejak Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Lalu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- (waktu
itu) berhenti pada suatu tempat seraya bersabda, "Siapakah yang mau menjaga kita?. Maka
bangkitlah seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin, dan seorang dari kalangan Anshor.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Tetaplah kalian di mulut (gerbang) lembah.
Tatkala dua orang itu keluar ke mulut lembah, maka berbaringlah laki-laki muhajirin itu,
sedang laki-laki Anshor berdiri melaksanakan sholat. Kemudian datanglah orang musyrik
tersebut. Tatkala ia melihat sosok tubuhnya sang Anshor, maka si musyrik tahu bahwa sang
Anshor adalah penjaga pasukan. Kemudian si musyrik pun membidiknya dengan panah, dan
mengenai sasaran dengan tepat. Sang Anshor mencabut anak panah itu sampai ia dibidik
dengan 3 anak panah, lalu bersujud. Kemudian temannya (sang Muhajirin) tersadar. Tatkala
si musyrik tahu bahwa mereka telah mencium keberadaannya, maka ia pun lari. Ketika sang
Muhajirin melihat darah pada tubuh sahabat Anshor, maka ia berkata, "Subhanallah,
Kenapa engkau tidak mengingatkan aku awal kali ia memanah?" Sang Anshor menjawab,
"Aku sedang berada dalam sebuah surat yang sedang kubaca. Maka aku tak senang jika aku
memutuskannya". [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (198). Hadits ini di-hasan-kan oleh
Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1/1/606)]

Al-Allamah Abu Ath-Thoyyib Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy-rahimahullah- berkata


dalam Aunul Mabud (1/231-232), "Hadits ini menunjukkan dengan jelas tentang dua
perkara. Pertama, keluarnya darah dari selain dua lubang (dubur & kemaluan) tidaklah
membatalkan wudhu, baik ia mengalir atau tidak. Itu adalah pendapat kebanyakan ulama,
sedang itulah yang benarKedua, darah luka adalah suci, dimaafkan bagi orang yang
terluka. Ini adalah madzhab Malikiyyah, sedang inilah pendapat yang benar. Hadits-hadits
telah datang secara mutawatir bahwa para mujahidin fi sabilillah mereka dahulu berjihad,
dan merasakan sakitnya luka-luka lebih dari yang tergambar. Tak seorang yang bisa
mengingkari adanya aliran darah dari luka-luka mereka, dan terlumurinya pakaian mereka.
Sekalipun demikian, mereka tetap sholat dalam kondisi begini, dan tidak ternukil (suatu
hadits) dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau memerintahkan mereka
untuk melepas baju mereka yang berlumuran darah dalam
.lalu para sahabat
kondisi sholat. Sungguh Sad -radhiyallahu anhu- telah
mendiamkan hal itu, terkena musibah pada waktu perang Khondaq. Kemudian
tanpa ada dibuatkan kemah baginya dalam masjid. Jadi, ia berada
pengingkaran. Ini tiada dalam masjid, sedang darahnya mengalir dalam masjid.
lain, kecuali karena Senantiasa darahnya mengalir sampai ia meninggal".
sucinya darah yang
keluar pada luka.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa darah luka bukan
najis, atsar tentang kondisi Umar bin Al-Khoththob -
radhiyallahu anhu- saat menjelang wafat. Al-Miswar bin
Makhromah -radhiyallahu anhu- berkata,

"Aku pernah masuk masuk bersama Ibnu Abbas menemui Umar ketika beliau ditikam. Maka
kami berkata, "Waktu sholat telah tiba". Umar berkata, "Sesungguhnya tak ada bagian
dalam Islam untuk orang yang menyia-nyiakan sholat". Maka beliau sholat, sedang lukanya
mengucurkan darah". [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (579), Ad-Daruquthniy
dalam As-Sunan (1), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (37067) dengan sanad
yang shohih]

Sudah dimaklumi bahwa luka yang mengalir pasti akan melumuri pakaian, dan mustahil
Umar -radhiyallahu anhu- melakukan sesuatu yang tidak boleh menurut syariat, lalu para
sahabat mendiamkan hal itu, tanpa ada pengingkaran. Ini tiada lain, kecuali karena sucinya
darah yang keluar pada luka. [Lihat Aunul Ma'bud (1/232)]

Qotadahbin Diamah As-Sadusiy-rahimahullah- berkata,


"Jika seorang mimisan, lalu belum berhenti, maka ia menutup hidungnya, dan sholat. Jika ia
khawatir kalau darahnya masuk ke dalam rongga tubuhnya, maka hendaknya ia (tetap)
sholat, walaupun darahnya mengalir, karena Umar sungguh telah sholat, sedang ia
mengucurkan darah". [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (574)]

6. Muntah Manusia adalah Suci


Muntah yang kita keluarkan juga bukan najis, karena tak ada dalil yang menjelaskan bahwa
ia adalah najis. Sedangkan hukum asalnya sesuatu adalah suci.

Ahli Fiqih Negeri Syam, Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam kitabnya


Tamamul Minnah (hal.53) saat membantah Sayyid Sabiq, "Penulis (Sayyid Sabiq) tidak
menyebutkan dalil tentang hal itu (yakni, najisnya muntah), kecuali ucapannya yang
berbunyi, "disepakati kenajisannya". Ini adalah pengakuan yang terbatalkan. Sungguh Ibnu
Hazm telah menyelisihi dalam hal itu ketika beliau menyatakan sucinya muntah seorang
muslim. Silakan rujuk Al-Muhalla (1/183). Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syaukaniy
dalam Ad-Duror Al-Bahiyyah, dan Siddiq Hasan Khan dalam syarahnya terhadap terhadap
kitab ini (1/18-20) ketika keduanya tidak menyebutkan muntah manusia dalam golongan
najis secara muthlaq. Inilah pendapat yang benar".

Jadi, muntah manusia bukanlah najis yang membatalkan sholat atau wudhu kita, sebab
tak ada dalil yang jelas menunjukkan kenajisannya. Andai ada, maka akan dinukil oleh para
ulama.

7. Keringat dan Ludah adalah Suci


Orang yang junub dan wanita haidh bukanlah orang yang najis sehingga harus menjauh atau
dijauhi sebagaimana keyakinan orang-orang Yahudi. Adapun dalam agama kita, maka Allah
dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa mereka suci
badannya, sekalipun memang mereka diwajibkan mandi junub saat hendak sholat.

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-,

"Bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah menemuinya pada sebagian jalan-jalan
kota Madinah, sedang ia (Abu Hurairah) junub. Maka aku mundur dari Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam. Kemudian Abu Hurairah pergi mandi, lalu ia datang. Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda, "Dimana engkau tadi, wahai Abu Hurairah?" Ujar Abu
Hurairah, "Aku tadi junub, maka aku benci kalau aku menemani Anda duduk, sedang aku
tidak suci". Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Subhanallah, sesungguhnya
seorang muslim tidak najis". [HR. Al-Bukhoriy (283), dan Muslim (372)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, "Al-Bukhoriy berdalil dengan hadits ini
tentang sucinya keringat orang yang junub, karena badannya tidak najis disebabkan oleh
junub". [Lihat Al-Fath (1/391)]

Para ulama telah menjelaskan bahwa keringat, dan ludah orang yang junub, haidh,
dan nifas adalah suci. Al-Imam Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata dalam Al-
Istidzkar (1/299), "Adapun ludah, dan keringat, maka ia jelas permasalahannya dari semua
ulama (bahwa ia suci), baik dari segi penukilan, dan amaliah".

Bahkan dalam permasalahan ini sebagian ulama telah menukil adanya ijma dari seluruh
ulama kaum muslimin. Al-Imam Al-Ainiy-rahimahullah- berkata, "Diantara konsekuensi
kesucian seorang manusia adalah kesucian keringatnya. Tapi tidak khusus keringat seorang
muslim. Kondisi yang ada bahwa keringat seorang kafir juga suci". [Lihat Umdah Al-Qori
(3/237)]

Al-Imam Al-Ainiy-rahimahullah- berkata, "Semua ahlul ilmi (ulama) sepakat bahwa


keringat orang junub adalah suci. Hal itu (kesucian keringat) telah nyata dari Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, dan Aisyah bahwa mereka menyatakan hal itu (suci)".[Lihat Umdah Al-Qori
(3/240)]

Muhaddits Negeri India, Al-Imam Al-Mubarokfuri y -rahimahullah- berkata, "Mereka


sepakat tentang kesucian keringat orang junub, dan keringat wanita haidh. Dalam hadits ini
terdapat dalil tentang bolehnya menangguhkan mandi bagi orang yang junub, dan
menyelesaikan hajatnya".[Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (1/325)]

Inilah pernyataan para ahlul ilmi bahwa keringat orang-orang junub, haidh, dan nifas,
bukanlah najis, karena badan mereka suci. Maka sesuatu yang keluar dari badan mereka
berupa keringat atau ludah juga suci berdasarkan ijma. Inilah yang harus kita yakini demi
menyelisihi orang-orang Yahudi !!

8. Daging Babi adalah Suci


Ulama berselisih tentang najis atau tidaknya daging babi, namun yang rajih (kuat) daging
babi ini suci bukan najis. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Daud Adz Dhahiri.
(Tahqiq fi Ahaditsil Khilaf, 1/70).

Mereka yang mengatakan daging babi najis berdalil dengan firman Allah dalam surat Al-
Anam ayat 145 :

Katakanlah; Dari apa yang diwahyukan kepadaku, aku tidak mendapatkan sesuatu yang
diharamkan untuk memakannya kecuali bila makanan itu berupa bangkai, atau darah yang
mengalir, atau daging babi karena dia merupakan rijs atau merupakan sebab kefasikan dan
keluar dari ketaatan atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.

Rijs dalam ayat di atas mereka maknakan dengan najis. Tapi yang benar maknanya adalah
haram, karena memang demikian yang ditunjukkan dalam konteks ayat ini, di mana ayat ini
datang untuk menjelaskan perkara yang diharamkan untuk memakannya bukan perkara yang
najis. Dan sesuatu yang haram tidak berarti ia najis, bahkan terkadang didapatkan sesuatu
yang haram itu suci seperti firman Allah yang menyatakan haramnya menikahi ibu dan yang
seterusnya dari ayat ini, sementara seorang ibu tidaklah najis.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Tsalabah Al Khasyani yang menunjukkan perintah
untuk mencuci bekas bejana ahlul kitab dengan alasan mereka menggunakan bejana tersebut
untuk memasak babi dan untuk minum khamar. Maka dalil mereka ini dijawab bahwa
perintah mencuci bejana di sini bukan karena najisnya tapi untuk menghilangkan sisa
makanan dan minuman yang diharamkan untuk mengkonsumsinya. Demikian dijelaskan oleh
Imam Syaukani dalam Sailul Jarrar (1/38).

9. Bekas makanan dan minuman hewan adalah Suci


Berkata Ibnul Mundzir t: Seluruh yang kami hapal dari ahlul ilmi berpandangan bahwa
bekas makanan/minuman hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Di antara yang kami hafal
berpendapat demikian ini Ats Tsauri, Syafi`i, Ahmad dan Ishaq. Ini merupakan pendapat
ahlul Madinah dan ashabur rayi dari ahlul Kufah. (Al Ausath 1/313). Bahkan dinukilkan
dari beliau adanya ijma` (kesepakatan) dalam masalah ini.

Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya diperselisihkan oleh ahlul ilmi, namun
kebanyakan dari mereka, di antaranya Imam Syafii dan Malik, berpendapat suci bekas
makanan/ minuman tersebut. Dan pendapat ini yang rajih, dengan alasan bahwasanya secara
umum sulit untuk menghindar dari hewan-hewan ini, karena penduduk di pedesaan bejana-
bejana mereka terbuka sehingga didatangi oleh hewan-hewan liar ini dan minum darinya.
Seandainya kita mengharuskan mereka untuk menumpahkan air tersebut dan mewajibkan
mereka untuk mencuci bejana bekas jilatan hewan tersebut niscaya hal itu sulit bagi mereka.
(Syarhul Mumti, 1/396). Pendapat ini berpegang dengan hukum asal, karena sesuatu itu
dihukumi suci selama tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, atau rasa).
RUKUN DAN KEWAJIBAN WUDHU
Dalil sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
Perlu diketahui bahwa dalam mengetahui sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-,
kebanyakan para ulama bersandarkan pada hadits Utsman bin Affan dan hadits Abdullah bin
Zaid yang keduanya adalah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Karena itu ada baiknya kalau
kami menyebutkan kedua hadits ini:

1. Hadits Utsman bin Affan

bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu: Lalu dia menuangkan air dari bejana ke
dua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia
memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq
(menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci
wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia
mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah
selesai dia (Utsman) berkata, Saya melihat Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu
seperti yang saya lakukan ini. (HR. Al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)

2. Hadits Abdullah bin Zaid,

Dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi. Dia meminta baskom berisi air lalu
menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali.
Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq
dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air
lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci
tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap
kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali. Kemudian dia mencuci kedua
kakinya.
Dalam sebagian riwayat: Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya
kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya
kembali ke bagian depan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 186 dan Muslim no. 235)

Rukun Wudhu
Rukun wudhu adalah semua yang diperintahkan oleh syariat dalam berwudhu, yang kalau
ditinggalkan -sengaja maupun tidak sengaja- maka akan membatalkan wudhu. Hanya saja
kalau dia sengaja maka dia berdosa. Rukun wudhu meliputi niat dan empat anggota wudhu,
yaitu semua yang tersebut dalam firman Allah Taala,

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah: 6)

1. Mencuci/Membasuh 7 wajah
2. Mencuci kedua tangan sampai kepada dua siku.
3. Mengusap 8 sebagian kepala berlaku umum bagi yang memakai penutup kepala dan
selainnya, termasuk telinga. Mengusap telinga sama seperti mengusap kepala, cukup
sebagian saja sudah syah. Hanya saja tidak cukup hanya mengusap jilbabnya, tapi harus
mengusap telinganya. Wallahu alam
4. Mencuci kedua kaki sampai melewati mata kaki
5. Melakukannya secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Al-Quran (QS. Al-
Maaidah : 6)
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Taala,

Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki...(Q.S Al-Maidah:6)
Dan Nabi Shalallahu alahi wa sallam mengurutkan wudhu beliau sebagaimana cara ini
dan beliau bersabda :
Ini adalah wudhu yang Allah tidak akan menerima shalat kecuali dengannya.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan lainnya) (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits
Ibnu Umar (419)[1/250];Abu Yala didalam Al Musnad nomor (5598); dan Ad Daruqutni
(257)[1/83]
6. Terus menerus ; yaitu membasuh anggota-anggota tersebut secara terus-menerus artinya
tidak ada yang memisahkan antara membasuh satu anggota dengan satu anggota
sebelumnya. Bahkan berkesinambungan dalam membasuh anggota-anggota dari pertama
dan seterusnya menurut kemampuan

Wajib Wudhu
Wajib wudhu, adalah semua yang diperintahkan oleh syariat dalam berwudhu, tapi tidak
disebutkan dalam surah Al-Maidah ayat 6. Hukumnya: Kalau ditinggalkan -sengaja maupun
tidak sengaja- maka tidak membatalkan wudhu, tapi kalau dengan sengaja maka pelakunya
berdosa. Para ulama fiqih telah menerangkan bahwa wudhu memiliki kewajiban-kewajiban (
), yakni anggota-anggota badan yang harus dan wajib dibasuh (dicuci). Kewajiban-
kewajiban ( ) tersebut adalah:

1. Mencuci hidung (istinsyaq dan istintsar)


2. Mengusap kepala (termasuk kepala, adalah kedua telinga kita)

7
Mencuci anggota wudhu, Yakni menyiramnya dengan air dimana semua bagian anggota wudhu yang dicuci
harus terkena siraman air, kalau tidak maka mencucinya tidak syah dan secara otomatis wudhunya pun tidak
syah.
8
Mengusap anggota wudhu, Ini hanya berlaku bagi kepala, yaitu sekedar mengenakan air pada seluruh bagian
kepala atau sebagiannya dan tidak perlu menyiramnya
3. Mencuci kedua kaki sampai kepada kedua mata kaki
4. Melakukannya secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Al-Quran (QS. Al-
Maaidah : 6)
5. Dilakukan secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama.

Inilah enam furudh (kewajiban) bagi wudhu yang harus anda penuhi. Kapan ada salah
satunya yang tak terpenuhi, maka wudhu kita tak sah, walaupun berwudhu beribu-ribu kali.
Enam perkara ini telah disebutkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.9

Sunnah Wudhu
Sunnah wudhu, Yaitu semua amalan wudhu yang tidak diperintahkan oleh syariat, tapi
hanya sebatas anjuran atau hanya disebutkan bahwa Nabi melakukannya tapi tidak
memerintahkannya. Hukumnya: Tidak berdosa meninggalkannya dan tidak pula
membatalkan wudhu -sengaja maupun tidak sengaja-.

1. Bersiwak atau Sikat Gigi.


2. Membaca basmalah. Tasmiah ini tidak terdapat dalam ayat wudhu (almaidah ayat 6) dan
tidak juga terdapat dalam sifat wudhu nabi yang tersebut dalam hadits Utsman, Abdullah
bin Zaid, dan Ali bin Abi Thalib. Karenanya hukum perintah di situ hanya menunjukkan
hukum sunnah. wallahu alam.
3. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali dan hukumnya adalah sunnah berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin
4. Kemudian berkumur-kumur, dan hukumnya adalah sunnah karena tidak adanya hadits
shahih yang memerintahkannya,
5. Ketika mencuci wajah untuk menyelang-nyelingi jenggot
6. Mengusapkan kedua tangan pada bagian depan kepala kemudian mendorong keduanya
sampai ke tengkuk kemudian dikembalikan lagi ke kepala bagian depan, seperti tersebut
dalam hadits Abdullah bin Zaid di atas.
7. Disunnahkan memulai dengan bagian kanan dalam mencuci semua anggota wudhu
yang berjumlah sepasang, kecuali telinga karena keduanya diusap secara bersamaan. Nabi
-alaihishshalatu wassalam- bersabda, Kalau kalian memakai pakaian dan kalau kalian
berwudhu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian. (HR. Abu Daud dengan sanad
yang shahih)
Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

Nabi shallallahu alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan
sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau. (HR. Al-Bukhari
no. 168 dan Muslim no. 268)
8. Sunnah mencuci dua kali dan tiga kali pada tiap anggota wudhu kecuali ketika
mengusap kepala dan telinga. Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berwudhu dengan
mencuci setiap anggota wudhu sebanyak satu kali-satu kali,

9
Penjelasan lebih lanjut akan dibahas pada masing-masing kewajiban wudhu
Dari Ibnu Abbas beliauberkata, Nabi shallallahu alaihi wasallam berwudlu sekali-
sekali. (Al-Bukhari no. 153)
juga pernah dua kali-dua kali dan juga tiga kali-tiga kali. Dan beliau bersabda, Barang
siapa yang menambah lebih dari itu maka sesungguhnya dia telah berbuat jelek,
melampaui batas dan berbuat zhalim.
9. Membaca doa setelah wudhu.
10. Berhemat dalam menggunakan air untuk wudhu:

Dahulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika berwudhu hanya menggunakan


air sebanyak satu mud (secakupan 2 telapak tangan). (Muttafaqun alaih)
MENCUCI TELAPAK TANGAN
Mencuci Tangan adalah bagian tata cara wudhu yang disunnahkan. Akan tetapi, sebelum itu,
ada baiknya dilakukan beberapa perkara yang dianjurkan sebelum berwudhu di antaranya:

1. Didahului dengan bersiwak atau menyikat gigi.


Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, sungguh akan aku
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu. (HR. Ahmad, dan Malik dalam
beberapa tempat dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 70)

sebelum wudhu, seseorang juga disunnahkan untuk bersiwak. Siwak secara bahasa
mempunyai dua makna:

Akar kayu yang sudah maruf (diketahui bersama) yang digunakan untuk
membersihkan gigi.
Pekerjaan membersihkan gigi.

Karenanya semua pekerjaan membersihkan gigi itu dinamakan bersiwak walaupun tidak
menggunakan kayu siwak, menurut pendapat yang paling kuat. Maka jika seseorang tidak
mempunyai kayu siwak, dia tetap bisa mengerjakan sunnah yang mulia ini dengan cara
membersihkan giginya dengan pasta gigi, atau sekedar dengan sikat gigi atau dengan
menggosok giginya dengan kain atau jari, dan seterusnya dari bentuk pekerjaan
membersihkan gigi.

Walaupun demikian, tentu saja lebih utama seseorang itu bersiwak dengan kayu siwak,
karena inilah yang datang dalam nukila perbuatan Nabi , bahwa beliau bersiwak dengan
menggunakan kayu siwak.

Hadits Abu Hurairah tentang siwak di atas juga sebagai sanggahan kepada sebagian
ulama yang memakruhkan atau melarang seseorang yang berpuasa untuk
bersiwak/menggosok gigi setelah zuhur. Hal itu karena hadits di atas datang dalam bentuk
umum setiap kali wudhu, tanpa ada pembedaan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam-
antara sedang puasa dengan tidak puasa. Karenanya tetap disunnahkan seseorang yang
berpuasa untuk bersiwak, dan bagi yang menggunakan pasta gigi harus tetap menjaga
jangan sampai ada pasta yang tertelan olehnya.

2. Lalu membaca basmalah


Disebutkan dalam hadits yang lainnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Subhanahu wa Taala
ketika melakukannya. (HR. Ahmad dan yang lainnya dan dihasankan oleh Al-Albani
rahimahullahu di dalam kitabnya Al-Irwa`)

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin rahimahullah ketika ditanya: "Apakah
mengucapkan tasmiyah (membaca bismillah) itu wajib di dalam berwudhu?". Beliau
menjawab:

"Tasmiyah saat mulai berwudhu' tidaklah wajib akan tetapi sunnah karena hadits
masalah tasmiyah ini ada pembicaraan di dalamnya (fihi nazhar).

Al Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Tidak ada satu hadits pun yang kokoh dalam
masalah ini." Padahal telah diketahui oleh semua orang bahwa Al Imam Ahmad
termasuk salah seorang imam dalam perkara hadits dan salah seorang yang
mencapai puncak hafalan dalam hadits. Apabila beliau mengatakan "tidak ada satu
hadits pun kokoh dalam masalah ini.", maka keberadaan hadits tasmiyah menyisakan
ganjalan di hati. Dan apabila penetapan terhadap hadits ini ada pemicaraan
tentangnya maka tidak boleh seseorang mengharuskan/memaksakan orang lain
berpegang dengan sesuatu yang tidak pasti datangnya dari Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam.

Karena itulah aku memandang tasmiyah dalam wudhu' itu sunnah. Akan tetapi, orang
yang menetapkan kokohnya hadits tasmiyah ini wajib untuk berpendapat dengan apa
yang dikandung oleh hadits tersebut yaitu bahwa tasmiyah ini wajib karena ucapan
nabi "tidak ada wudhu'" yang shahih maknanya adalah menafikan kesempurnaan
wudhu'." (Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, hal 116-117)

Sumber : www.asysyariah.com

-dan hukumnya adalah sunnah-, dengan dalil sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-,
Berwudhulah kalian dengan membaca bismillah. (Dihasankan oleh Al-Albani)

3. Sunnah Mencuci Tangan


Sebelumnya perlu diketahui, para ulama bersepakat bahwa mencuci kedua tangan hukumnya
hanya sunnah, bukan wajib, apalagi rukun wudhu. Maka, asalnya tidak ada masalah, jika
tangan tidak dicuci. Dalam artian, walaupun dia tidak mencuci kedua tangannya maka
wudhunya tetap syah dan juga dia tidak berdosa.

Hanya saja, mencuci kedua tangan termasuk dari kesempurnaan wudhu, sementara
Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- telah bersabda dalam hadits Laqith ibnu Shoburoh -
radhiyallahu anhu-:

"Sempurnakanlah wudhu." (HR. Imam Empat, lihat Bulughul Marom no. 44)
Memutar Cincin Ketika Mencuci
Karenanya, jika air wudhu bisa mengenai seluruh tangannya tanpa melepas cincinnya, maka
tidak mengapa tetap dipakai. Tapi jika cincinnya menyebabkan ada kulit jarinya yang tidak
terkena air, maka afdholnya (tidak wajib) dia melepaskan cincinnya terlebih dahulu, guna
kesempurnaan wudhunya. Wallahul Muwaffiq.
MEMBASUH WAJAH

Allah Subhanahu wa Taala berfirman :

Maka basuhlah mukamu. (Al-Maidah-6).

Allah memerintahkan untuk membasuh seluruh wajah. Maka barang siapa meninggalkan
sedikit saja dari wajah, berarti dia tidak menunaikan perintah Allah Subhanahu wa Taala.

Termasuk dari wajah adalah hidung dan mulut

Perkara lain yang perlu ditoleh ketika berwudhu khususnya saat membasuh wajah-,
berkumur-kumur, dan menghirup air ke dalam hidung dari satu telapak tangan, lalu
menyemburkannya. Berkumur dan menghirup air ke hidung merupakan kewajiban yang
masuk dalam kewajiban membasuh wajah, sebab mulut dan hidung bagian dari wajah.

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

"Jika seorang diantara kalian berwudhu, maka hendaknya memasukkan air dalam
hidungnya, lalu semburkanlah". [Muslim dalam Ath-Thoharoh (237)]

Beliau juga bersabda dalam memerintahkan berkumur,

"Jika engkau berwudhu, maka berkumur-kumurlah". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya
(144). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud
(1/48/no. 144), cet. Maktabah Al-Ma'arif, 1421 H]

Di dalam hadits ini terdapat perintah berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, lalu
menyemburkannya. Ini menunjukkan wajibnya kedua perkara itu, sebab segala yang
diperintahkan beliau hukumnya wajib, kecuali jika ada dalil lain yang memalingkan
hukumnya menjadi mustahab atau mubah, sedang dalam perkara ini tak ada dalil yang
memalingkannya. Jadi, hukumnya tetap wajib. Wallahu alam bish showaab.

Selanjutnya melakukan istinsyaq dan istintsar dan kedua amalan ini hukumnya adalah wajib.
Berdasarkan sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, Kalau salah seorang di antara kalian
berwudhu maka hendaknya dia memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian
mengeluarkannya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Beliau
menggabungkan antara kumur-kumur dan istinsyaq dengan cara setengah dari air yang beliau
ambil, beliau masukkan ke dalam mulut dan setengahnya lagi ke dalam hidung. Beliau
istinsyaq dengan tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri, berdasarkan hadits Ali bin
Abi Thalib. Dan beliau memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq kecuali
dalam keadaan berpuasa dengan sabdanya, Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air
ke hidung kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa. (HR. Abu Daud dari Laqith bin
Saburah)
MENCUCI KEDUA TANGAN
Firman Allah Subhanahu wa Taala :

Dan tanganmu sampai dengan siku. (Al-Maidah 6)

Artinya : Beserta siku-siku. Dikarenakan Nabi Shalallahu alahi wa sallam membasuhkan air
dengan memutar pada kedua siku-siku beliau (Dikeluarkan dari hadits Jabir oleh : Daruquthni
(268)[1/86]; dan Al-Baihaqi (256)[1/93]

Dan didalam hadits lainnya:

(Yang) Artinya : Beliau membasuh kedua tangan hingga lengan beliau. (Dikeluarkan dari
hadits Nuaim bin Al-Mujammir (578)[21/158])

Hadits ini termasuk yang menunjukkan bahwa kedua siku-siku termasuk didalam anggota
yang harus dibasuh.

Hukum Wudhu bagi Wanita yang Berkuteks


Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu:

Kuteks yang dipakai oleh wanita di kukunya memiliki lapisan/cat yang menempel, sehingga
tidak boleh dipakai bila hendak shalat karena menghalangi sampainya air ke bagian jarinya
dalam wudhu. Segala sesuatu yang mencegah sampainya air ke anggota wudhu tidak boleh
dipakai oleh orang yang berwudhu atau orang yang mandi wajib. Karena Allah Subhanahu
wa Taala berfirman,

Maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian. (Al Maidah:6)

Kuteks yang dipakai oleh seorang wanita pada kukunya akan menghalangi air mengenai
kuku/jarinya sehingga tidak bisa dikatakan ia telah mencuci tangannya. Dengan begitu ia
telah meninggalkan suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban wudhu atau mandi.

Adapun wanita yang sedang tidak shalat karena haid tidak mengapa memakai kuteks ini.
Hanya saja memakai kuteks termasuk kekhususan wanita-wanita kafir. Karena alasan ini
maka tidak boleh memakainya, agar tidak jatuh dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai)
dengan orang-orang kafir.

Aku pernah mendengar sebagian orang berfatwa bahwa memakai kuteks bisa dikiaskan
dengan memakai khuf (sementara ada pensyariatan mengusap di atas khuf dan ada ketentuan
waktunya), dengan begitu seorang wanita boleh memakainya sehari semalan bila ia sedang
tidak safar/bepergian dan tiga hari tiga malam bila ia musafir. Namun ini fatwa yang salah.

Karena tidak setiap yang menutupi tubuh seseorang disamakan dengan memakai khuf. Kalau
khuf dibolehkan oleh syariat untuk mengusapnya karena umumnya ada kebutuhan. Kedua
telapak kaki ini butuh dihangatkan dan butuh ditutup karena keduanya bersentuhan dengan
tanah, kerikil, rasa dingin, dan selainnya, maka syariat ini pun mengkhususkan pengusapan di
atas keduanya.

Terkadang mereka juga mengkiaskan dengan sorban dan ini pun tidak benar. Karena sorban
itu tempatnya di kepala, sementara kepala dari asalnya memang diringankan. Kepala hanya
wajib diusap dalam amalan wudhu, beda halnya dengan tangan, kedua tangan harus dicuci.
Karena itulah, Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak memperkenankan wanita mengusap
kaos tangannya ketika wudhu, padahal kaos tangan tersebut menutupi tangannya. Ini
menunjukkan tidak bolehnya seseorang mengkiaskan segala penghalang/penutup yang
menghalangi sampainya air ke anggota wudhu dengan sorban dan khuf.

Yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah mencurahkan segala kesungguhan dan
upayanya untuk mengetahui al haq serta janganlah berfatwa melainkan dalam keadaan ia
menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Taala kelak akan menanyakan kepadanya tentang
fatwa tersebut (meminta pertanggungjawabannya), karena ia memberikan penggambaran
tentang syariat Allah Subhanahu wa Taala. Allah Subhanahu wa Taala lah yang memberi
taufik, yang membimbing kepada ash-shirath al- mustaqim. (Majmu Fatawa wa Rasail
Fadhilatusy Syaikh, 11/148-149)
MEMBASUH KEPALA DAN TELINGA
Firman Allah Subhanahu wa Taala,

Dan sapulah kepalamu. (Al-Maidah-6)

Mengusap Sebagian Kepala Sudah Mencukupi


Mengusap sebagaian kepala adalah rukun dan sudah syah.

Mengusap Kepala Seluruhnya Lebih Mengikuti Sunnah


Adapun cara yang disunnahkan dalam mengusap kepala adalah: Mengusapkan kedua tangan
pada bagian depan kepala kemudian mendorong keduanya sampai ke tengkuk kemudian
dikembalikan lagi ke kepala bagian depan, seperti tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid di
atas.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

(Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam mengusap kepala) memulai dari bagian
depan kepalanya dan kemudian menjalankan kedua telapak tangannya sampai ke (batas)
tengkuknya, kemudian mengembalikan lagi kedua telapak tangannya ke tempat memulai
mengusapnya (bagian depan kepala). (Muttafaqun alaih)

Boleh hanya mengusap sebagian kepala kalau dia menggunakan imamah (kain yang dililitkan
di kepala) dan boleh juga hanya mengusap di atas imamah. Demikian pula halnya jilbab bagi
kaum wanita

Telinga Wajib Diusap Seperti Halnya Mengusap Kepala


dengan Air Sisa Usapan Kepala
Para pembaca yang budiman, ketika seseorang berwudhu, maka ada beberapa perkara yang
perlu diingat bahwa saat mengusap kepala, hendaknya jangan lupa mengusap kedua telinga
karena keduanya termasuk kategori kepala. Oleh karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- pernah bersabda usai mengusap kepala dan telinganya,

"Kedua telinga termasuk kepala". [HR. Abu Dawud (134), At-Tirmidziy (37), dan Ibnu
Majah (444). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (36)]
Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah-
berkata saat menjelaskan faedah-faedah dari hadits ini,

"Jika hadits ini sungguh telah shohih, maka ia menunjukkan tentang dua perkara yang
berselisih di dalamnya pendapat para ulama.
Adapun perkara yang pertama, yaitu bahwa mengusap kedua telinga, apakah wajib atau
sunnah (mustahab)?
1. Pendapat pertama (wajibnya mengusap telinga) didukung oleh orang-orang
Hanabilah. Hujjah mereka adalah hadits ini, karena sesungguhnya hadits ini tegas
dalam memasukkan kedua telinga dalam kategori kepala. Tidaklah demikian, kecuali
untuk menjelaskan bahwa hukum keduanya dalam pengusapan seperti hukum kepala
dalam hal itu.
2. Jumhur condong menyatakan bahwa mengusap kedua telinga adalah sunnah
(mustahab) saja sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-
Arbaah (1/56). Namun kami belum pernah menemukan hujjah yang boleh dipegangi
dalam menyelisihi hadits ini (yakni, hadits di atas), kecuali ucapan An-Nawawiy dalam
Al-Majmu (1/415), "Sesungguhnya hadits itu dhoif (lemah) dari seluruh jalur-jalur
periwayatannya". Jika anda telah mengetahui bahwa masalahnya tidaklah demikian,
dan bahwa sebagian jalur-jalur periwayatan hadits itu adalah shohih, belum pernah
ditelaah oleh An-Nawawiy; sebagiannya lagi shohih li ghoirih, maka anda mampu
mengenal kelemahan hujjah ini (yakni, pernyataan An-Nawawiy), dan wajibnya
berpegang teguh dengan pendapat yang ditunjukkan oleh hadits di atas berupa
wajibnya mengusap kedua telinga, dan bahwa keduanya dalam hal itu seperti
kedudukan kepala.
Cukuplah sebagai teladan bagi kalian dalam pendapat ini Imam Sunnah Abu Abdillah
Ahmad bin Hanbal. Sedang pendahulu beliau dalam pendapat tersebut adalah sekelompok
sahabat yang telah berlalu penyebutan nama sebagian diantara mereka di sela-sela men-
takhrij hadits ini (yakni hadits di atas). Sedang An-Nawawiy sungguh telah
mengembalikan pendapat ini (1/413) kepada mayoritas salaf". [Lihat Ash-Shohihah
(1/1/95/no. 36)]

Jadi, pendapat tentang wajibnya mengusap kedua telinga , sebab ia adalah bagian dari kepala
adalah pendapat yang terkuat berdasarkan hadits di atas. Oleh karenanya, kebanyakan salaf
(sahabat dan tabiin) menguatkan pendapat ini.

Al-Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidziy -rahimahullah- berkata
tentang hadits yang menyatakan bahwa telinga termasuk kepala,

"Amalan adalah berdasarkan hadits ini di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan orang-orang setelahnya bahwa kedua telinga
termasuk bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dinyatakan oleh Sufyan Ats-Tsauriy,
Ibnul Mubarok, Asy-Syafiiy, Ahmad, dan Ishaq". [Lihat Sunan At-Tirmidziy (1/152), cet.
Dar Ihya' At-Turots Al-Arobiy, 1422 H]
Mencuci Kedua Kaki
Firman Allah Subhanahu wa Taala;

Dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki. (Al-Maidah-6)

sampai dengan bermakna: beserta hal itu berdasar hadits hadits yang
menerangkan tentang sifat wudhu. Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang masuknya dua
mata kaki pada anggota yang dibasuh.

Dalil wajibnya
Dari sebagian sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah berkata,

"Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seseorang melakukan sholat, sedang
pada punggung kakinya terdapat lumah (bagian yang tak tercuci) seukuran uang dirham
yang tak terkena air wudhu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pun memerintahkannya
untuk mengulangi wudhu dan sholatnya". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/216), dan
Ahmad (14948). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (86)]

Kewajiban mencuci bukan mengucap


Dari sebagian sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah berkata,

"Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seseorang melakukan sholat, sedang
pada punggung kakinya terdapat lumah (bagian yang tak tercuci) seukuran uang dirham
yang tak terkena air wudhu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pun memerintahkannya
untuk mengulangi wudhu dan sholatnya". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/216), dan
Ahmad (14948). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (86)]

Muhaddits Negeri India, Syamsul Haqq Al-Azhim Al-Abadiy -rahimahullah- berkata saat
memetik faedah agung dari hadits ini, "Hadits ini di dalamnya terdapat dalil yang gamblang
tentang wajibnya muwaalat (melakukan wudhu secara beruntun, tanpa selang waktu yang
lama). Karena perintah mengulangi wudhu sebab membiarkan adanya lumah (bagian yang
tak tercuci). Perintah itu tak terjadi, kecuali karena wajibnya muwaalaat. Ini adalah
pendapat Al-Imam Malik, Al-Auzaiy, Ahmad bin Hanbal, dan Asy-Syafiiy dalam sebuah
pendapat beliau". [Lihat Aunul Ma'bud (1/192)]
Hadits ini adalah hujjah atas orang-orang Syiah-Rofidhoh, sebab hadits ini menjelaskan
wajibnya mencuci kaki, bukan diusap sebagaimana yang disangka oleh orang-orang jahil dari
kalangan Syiah-Rofidhoh. Barangsiapa yang tidak mencuci alias membasuh kaki saat
berwudhu, maka wudhunya tak sah, dan juga sholatnya tak sah. Bahkan boleh jadi ia
berdosa dengan perbuatannya tersebut, sebab ia menganggap sesuatu yang haram sebagai
ibadah dan ketaatan!!

Al-Hafizh Abul Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa


(seperti, kalangan Syiah) yang mewajibkan mengusap kedua kaki sebagaimana khuff (sepatu
selop) diusap, maka sungguh ia sesat, dan menyesatkan!! Demikian pula barangsiapa yang
membolehkan untuk mengusap kedua kakinya, dan membolehkan mencuci keduanya, maka
sungguh ia telah keliru juga. Barangsiapa yang menukil dari Abu Jafar Ibnu Jarir bahwa
beliau mewajibkan mencuci keduanya berdasarkan hadits-hadits tersebut, dan mewajibkan
pengusapan keduanya berdasarkan ayat ini, maka ia belumlah mendudukkan madzhab Ibnu
Jarir dengan benar dalam perkara itu. Karena ucapan beliau dalam Tafsir-nya hanyalah
menunjukkan bahwa yang beliau maksudkan bahwa wajib menggosok kedua kaki
dibandingkan anggota badan lainnya, sebab kedua kaki menyentuh tanah, lumpur, dan
lainnya. Lantaran itu, beliau mewajibkan untuk menggosok kedua kaki agar hilang sesuatu
yang ada di atasnya. Cuma beliau mengungkapkan tentang menggosok dengan kata
"mengusap". Maka orang yang tidak merenungi ucapan beliau meyakini bahwa beliau
menginginkan wajibnya menggabungkan antara mencuci dan mengusap kedua kaki!!". [Lihat
Tafsir Al-Qur'an Al-Karim (3/53)]

Diantara dalil dari As-Sunnah An-Nabawiyyah yang menunjukkan wajibnya mencuci kaki,
hadits dari Abdullah bin Amr -radhiyallahu anhu- beliau berkata,

"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah tertinggal dari kami dalam suatu safar
yang kami lakukan. Kemudian beliau pun menjangkau kami, sedang sungguh sholat telah
menjumpai kami yaitu sholat Ashar-. Kami berwudhu, lalu kami mulai menggosok kedua
kaki kami. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berteriak dengan sekeras-kerasnya,
"Sempurnakanlah wudhu!! Kecelakaan bagi tumit-tumit dari neraka". [HR. Al-Bukhoriy
(60), dan Muslim (241)]
DOA SETELAH WUDHU
Dari Umar dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau bersabda:

Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudlu, lalu bersungguh-sungguh atau


menyempurnakan wudhunya kemudian dia membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH
WA ANNA MUHAMMADAN ABDULLAHI WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada
sembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah
dan utusan-Nya) melainkan kedelapan pintu surga akan dibukakan untuknya. Dia masuk dari
pintu manapun yang dia kehendaki. (HR. Muslim no. 234)

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

Barangsiapa yang berwudhu lalu membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH


WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU
WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.

riwayat lainnya yang dishahihkan oleh Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu


ada tambahan:

ALLAHUMMAJALNI MINAT TAWWABINA WAJALNI MINAL MUTATHAHHIRINA (Ya


Allah jadiknlah saya termasuk golongan orang-orang yang telah bersuci).

Atau membaca, Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta


astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya
bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan
bertaubat kepada-Mu).
PEMBATAL WUDHU YANG SAHIH
Telah kita ketahui bersama bahwa hadats adalah suatu keadaan yang mengharuskan
seseorang untuk bersuci, baik itu hadats besar maupun hadats kecil. Dan telah dijelaskan
bahwa hadats besar adalah hadats yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub dan yang
semacamnya, sementara hadats kecil adalah yang bisa dihilangkan cukup dengan wudhu,
walaupun bisa juga dihilangkan dengan mandi.

Sebelum kami mulai, maka di sini ada satu kaidah yang perlu diperhatikan, yaitu: Asal
seseorang yang telah berwudhu adalah wudhunya tetap syah sampai ada dalil shahih yang
menyatakan wudhunya batal.

1. Semua yang keluar dari qubul dan dubur


a. Buang Air Besar dan Buang Air Kecil

Berdasarkan firman Allah Taala,

Atau salah seorang di antara kalian datang dari buang air atau kalian menyentuh
wanita lalu dia tidak menemukan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah
yang baik. (QS. Al-Maidah: 6)

Juga hadits Shafwan bin Assal radhiallahu anhu dia berkata,

Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam


memerintahkan agar kami tidak membuka sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga
malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusap sepatu karena
buang air besar, buang air kecil, dan tidur. (HR. At-Tirmizi no. 96, An-nasai no.
127, Ibnu majah no. 471 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no.
104)

b. Keluar Wadhi

Semisal dengannya wadi, dia adalah air yang keluar setelah seseorang melakukan
suatu pekerjaan yang melelahkan atau sesaat setelah selesai kencing. Hukumnya sama
seperti kencing.

c. Keluar Madzi,

Madzi yaitu cairan yang keluar dari kemaluan ketika sedang melakukan percumbuan
dengan istri atau ketika mengkhayalkan hal seperti itu. Dari Ali bin Abi Thalib -
radhiallahu anhu- dia berkata:
Aku adalah lelaki yang sering keluar madzi, tetapi aku malu untuk bertanya Nabi -
shallallahualaihiwasallam- karena puteri beliau adalah istriku. Maka aku menyuruh
Al-Miqdad bin Al-Aswad supaya bertanya beliau, maka beliau menjawab,
Hendaklah dia mencuci kemaluannya dan berwudhu. (HR. Al-Bukhari no. 269 dan
Muslim no. 303)

d. Kentut (Keluar Angin dari Dubur)

Dari Abdullah bin Zaid bin Ashim -radhiallahu anhu- dia berkata:

Seorang lelaki mengadukan kepada Nabi -shallallahualaihiwasallam, bahwa dia


seolah-olah mendapati sesuatu (kentut) ketika shalatnya. Beliau bersabda, Dia tidak
perlu membatalkan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau. (HR.
Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)

Dari Hammam bin Munabbih bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata:
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudhu.
Seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya, Apa yang dimaksud dengan hadats
wahai Abu Hurairah? Abu Hurairah menjawab, Kentut baik dengan suara atau
tidak. (HR. Al-Bukhari no. 135 dan Muslim)

Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-
Asqalani rahimahullah, beliau berkata: Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats
dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan
bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada
hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar
di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain. (Fathul Bari,
1/296)

Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama
saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)

Aisyah radhiallahu anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu alaihi wa


sallam atau istrinya Abu Rafi maula Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, datang
menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi yang
telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun bertanya kepada
Abu Rafi: Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi? Abu Rafi menjawab:
Ia menyakitiku, wahai Rasulullah. Rasulullah bertanya lagi: Dengan apa engkau
menyakitinya wahai Salma? Kata Salma: Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya
dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka
kukatakan padanya: Wahai Abu Rafi, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka
kentut, ia harus berwudhu. Abu Rafi pun bangkit lalu memukulku. Mendengar hal
itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: Wahai Abu
Rafi, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan. (HR. Ahmad
6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jamiush Shahih,
1/521)

Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit
beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah rahimahullahu,
1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka
ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats
tersebut. (Asy-Syarhul Mumti, 1/221)

Fatawa Lajnah Daimah V/256. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta,
Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa:

Apabila seseorang mendengar suara angin dalam perutnya setelah berwudhu'


maka wudhu'nya tidaklah batal jika tidak keluar sesuatu dari perutnya.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Jika seseorang dari kamu merasakan sesuatu dalam perutnya sehingga ia ragu
apakah keluar sesuatu darinya ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari
masjid hingga ia mendengar suara atau mencium baunya."(H.R Muslim I/190)

e. Keluar hadats besar

1) Keluar Darah Haid dan Nifas

Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah
hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena
hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya
mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu
kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang
menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan
wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus
keluar. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: Bila si wanita yang
menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci
terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah
dengan kain. (Risalah fid Dima Ath-Thabiiyyah Lin Nisa, hal. 50)

2) Jima (senggama)

Abu Hurairah radhiallahu anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu


alaihi wa sallam pernah bersabda:
Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian
dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah
wajib baginya untuk mandi (janabah). (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim
no. 348) Dalam riwayat Muslim ada tambahan:

Sekalipun ia tidak keluar mani.

Dari hadits di atas kita pahami bila jima (senggama) sekalipun tidak sampai
keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima perkara yang
membatalkan wudhu.

Dan tentunya semua perkara yang mewajibkan mandi (hadats akbar) juga
merupakan pembatal wudhu, seperti keluar darah haid dan nifas, keluarnya mani,
jima. Insya Allah pembahasan pada mandi wajib.

2. Kehilangan Akal
Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:

1. Hilangnya akal secara keseluruhan sehingga seseorang tidak waras lagi dalam
berpikir, seperti gila.
2. Tertutupnya akal seseorang dalam beberapa saat karena suatu sebab seperti pingsan,
mabuk, tidur, dan semisalnya.

Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan dan mabuk karena minum khamr atau karena
minum obat, membatalkan wudhu seseorang, sebentar ataupun lama. Sehingga bila
seseorang gila kemudian waras kembali, atau mabuk, atau jatuh pingsan kemudian
siuman, maka wajib baginya memperbarui thaharahnya. (Al-Mughni, 1/114, Syarah
Shahih Muslim, 4/74, Al-Majmu, 2/25). Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami,
wallahu alam bish-shawab.

Adapun Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dan yang sependapat dengan beliau
memandang bahwa semua perkara di atas selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan
perkara tersebut tidak dapat di-qiyas-kan dengan tidur.(Al-Muhalla, 1/212)

a. Tidur
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:

1. Tidur tidak membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Dinukilkan


pendapat ini dari Abu Musa Al-Asyari, Ibnul Musayyab, Abu Mijlaz, Syubah
dan Humaid Al-Araj.
2. Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Ini merupakan pendapat
Al-Hasan Al-Bashri, Al-Muzani, Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Ishaq dan satu
pendapat yang gharib dari Imam Syafii. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata:
Aku berpendapat demikian. Diriwayatkan juga pendapat yang semakna dari
Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Anas.
3. Tidur yang banyak/nyenyak membatalkan wudhu bagaimanapun posisinya,
sedangkan tidur yang sedikit tidak membatalkan. Demikian madzhab Az-Zuhri,
Rabiah, Al-Auzai, Malik, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya.
4. Tidur dalam posisi duduk dan pantatnya mapan menempel ke tanah tidaklah
membatalkan wudhu. Selain dari posisi ini membatalkan wudhu sama saja
tidurnya sedikit ataupun banyak, di dalam shalat ataupun di luar shalat. Demikian
madzhab Asy-Syafii rahimahullah.
5. Tidur dalam posisi orang yang sedang shalat seperti dalam posisi ruku, sujud,
berdiri, dan duduk tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah itu terjadi di
dalam shalat ataupun di luar shalat. Apabila tidurnya itu dalam keadaan berbaring
atau terlentang di atas tengkuknya maka akan membatalkan wudhunya. Demikian
madzhab Abu Hanifah, Dawud dan satu pendapat yang gharib dari Asy-Syafii.
6. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang ruku dan sujud.
Diriwayatkan pendapat ini dari Ahmad.
7. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang sujud. Diriwayatkan
pendapat ini juga dari Ahmad.
8. Tertidur ketika sedang shalat tidak membatalkan wudhu. Adapun di luar shalat
membatalkan wudhu. Ini merupakan pendapat yang lemah dari Al-Imam Asy-
Syafii. (Syarah Shahih Muslim, 4/73)

Yang rajih dari pendapat yang ada 10 adalah tidur yang nyenyak/pulas membatalkan
wudhu (pendapat ketiga ed). Adapun tidur yang ringan/ hanya sekedar terkantuk-
kantuk, di mana orang yang tidur ini masih mendengar suara di sekitarnya, tidaklah
membatalkan wudhu. (Al-Mughni, 1/116)

Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata: Diserukan iqamah untuk shalat
sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berbicara pelan (berbisik-bisik)
dengan seseorang. Maka beliau terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga
para shahabat beliau tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.
Kata Anas: Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu. (HR.
Muslim no. 376)

Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata: Para shahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam
keadaan kepala mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian
mereka bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu. (Sunan Abu Daud hadits
no.172 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil,
1/149)

Al-Imam Ash-Shanani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan 11 yang


menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi dengan tidur

10
Walaupun penulis (Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari ed) menyadari bahwa pendapat yang mengatakan
tidur secara mutlak (membatalkan wudhu) juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut
dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam Al-Muhalla (1/213) dan Al-Imam Al-Albani
rahimahullah dalam Tamamul Minnah hal.99-103 dan silahkan pembaca melihatnya. Namun yang
menenangkan hati penulis adalah pendapat yang penulis rajihkan. Wallahu taala alamu bish-shawab wal ilmu
indallah.
11
Hadits Shafwan yang dimaksud adalah:
nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang kesadaran). Adapun apa
yang disebutkan Anas berupa mendengkurnya (beberapa) shahabat ketika
dibangunkan, mereka membaringkan/ merebahkan tubuh mereka hingga mereka
dibangunkan untuk mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang
tidak nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya
sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring tetapi tidak
mesti menunjukkan tidur yang nyenyak. Dan juga seseorang yang baru tertidur bisa
saja ia dibangunkan agar ia tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya. (Kami
nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: Pingsan membatalkan wudhu,


karena pingsan itu lebih dari sekedar tidur sementara tidur yang nyenyak itu
membatalkan wudhu, di mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada
sesuatu yang keluar dari (kemaluan)-nya. Adapun tidur yang ringan di mana bila
orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti ini tidak
membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk bersandar atau
duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari keadaan-keadaan yang ada. Selama ia
bisa merasakan keluarnya hadats tersebut (seandainya ia berhadats). Beliau juga
menyatakan: Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu 12 , hanya saja tidur ini
merupakan satu keadaan yang diperkirakan/ diduga bisa terjadinya hadats pada
keadaan tersebut. Dengan demikian bila hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang
tersebut dapat merasakan bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah
membatalkan wudhu. (Majmu Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)

Ada dua jenis dalil yang lahiriah nya bertentangan di sini. Yang pertama adalah
hadits Shafwan bin Assal:

Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam


memerintahkan agar kami tidak membuka sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga
malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusap sepatu karena
buang air besar, buang air kecil, dan tidur. (HR. At-Tirmizi no. 96, An-nasai no.
127, Ibnu majah no. 471 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no.
104)

, yang menunjukkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu. Yang kedua adalah dalil-
dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat pernah lama menunggu Nabi -shallallahu
alaihi wasallam- untuk keluar melaksanakan shalat isya, sampai-sampai sebagian di
antara mereka tertidur kemudian bangun kemudian tertidur lagi kemudian tertidur
lagi, baru setelah itu Nabi keluar untuk mengimami mereka. (Hadits Ibnu Umar serta
hadits Ibnu Abbas yang keduanya riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dan hadits
selainnya) . Bahkan dalam sebuah riwayat Abu Daud dari Anas disebutkan,

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak
melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Namun bila hanya
buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya). (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dihasankan
oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jamius Shahih, 1/538)
12
Seperti kencing misalnya, banyak ataupun sedikitnya kencing tetaplah membatalkan wudhu
Kemudian mereka mengerjakan shalat dan mereka tidak berwudhu. Maka hadits
ini menujukkan bahwa tidurnya mereka tidak membatalkan wudhu mereka.

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membedakan antara tidur yang
nyenyak dengan tidur yang tidak nyenyak atau sekedar terkantuk-kantuk. Yang
pertama membatalkan wudhu -dan tidur inilah yang dimaksudkan dalam hadits
Shafwan-, sedang tidur yang kedua tidak membatalkan wudhu -dan inilah yang
dimaksudkan dalam hadits Anas-, wallahu alam. Ini adalah pendapat Malik, Az-
Zuhri, Al-Auzai, Rabiah, dan Al-Auzai, dan inilah yang dikuatkan oleh Ibnu
Qudamah, Ibnu Rusyd, Ibnu Abdil Barr, dan dari kalangan belakangan: Al-Lajnah
Ad-Daimah, Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Abdurrazzaq
Afifi, dan selainnya -rahimahumullah-. [Lihat An-Nail: 1/190, Syarh Muslim karya
An-Nawawi: 4/74 dan Al-Ausath: 1/142]

b. Pingsan, mabuk, dan gila


Diikutkan kepada hukum tidur, pingsan dan hilangnya akal (karena mabuk dan gila-
ed) berdasarkan kesepakatan para ulama, sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni: 1/113.

3. Makan Daging Unta


Ada dua pendapat dalam hal ini:

(1) Makan daging unta membatalkan wudhu

Dari Jabir bin Samurah -radhiallahu anhu- dia berkata:

Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahualaihiwasallam,


Apakah aku harus berwudhu karena makan daging kambing? Beliau menjawab,
Jika kamu mau maka berwudhulah, dan jika kamu mau maka janganlah kamu
berwudhu. Dia bertanya lagi, Apakah aku harus berwudhu disebabkan (makan)
daging unta? Beliau menjawab, Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging
unta. Dia bertanya, Apakah aku boleh shalat di kandang kambing? Beliau
menjawab, Ya boleh. Dia bertanya, Apakah aku boleh shalat di kandang unta?
Beliau menjawab, Tidak. (HR. Muslim no. 360)

Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Asy-Syafii, Muhammad bin Ishaq, Ahmad, Ishaq
bin Rahawaih, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah,
Al-Baihaqi dan dinukilkan pendapat ini dari Ashabul Hadits, sahabat Jabir bin
Samurah radhiallahu 'anhu, dan sekelompok shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; Al-Mughni, 1/122; Al-Muhalla, 1/226;
Subulus Salam, 1/106).
Mereka berdalilkan dengan hadits Samurah di atas dan juga hadits Al-Barra` secara
marfu, Berwudhulah kalian karena makan daging onta dan janganlah kalian
berwudhu karena makan daging kambing. (HR. Imam Empat kecuali An-Nasai).

Jabir bin Samurah radhiallahu 'anhu berkata: Kami berwudhu dari makan daging
unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing. (Diriwayatkan Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 1/46, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-
Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hal. 106)

(2) Makan daging unta tidak membatalkan wudhu

Pendapat lain menyatakan bahwa makan daging unta tidaklah membatalkan wudhu
dengan dalil hadits Jabir: (Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan
makanan yang disentuh api (dimasak). (HR. At-Tirmidzi no. 80 dan An-Nasai no.
185).

Mereka yang berpendapat seperti ini adalah jumhur tabiin, Malik, Abu Hanifah, Asy-
Syafii dan murid-murid mereka dan dihikayatkan pula dari Ibnu Masud, Ubay bin
Kaab, Abud Darda, Abu Thalhah, Amir bin Rabiah, Abu Umamah. (Syarah Shahih
Muslim, 4/48; Al-Mughni 1/122; Subulus Salam, 1/106)

Dari dua pendapat yang ada, maka yang rajih dalilnya adalah pendapat pertama.
Adapun hadits Jabir: (Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh
api (dimasak), hadits ini dinyatakan oleh Abu Hatim mudhtharib pada matannya. Dan
sangat dimungkinkan seorang rawinya yakni Syuaib telah salah di dalam menyampaikan
haditsnya. (Al-Ilal Ibnu Abi Hatim, 168) . Juga telah ada pembicaraan terhadap hadits ini
di kalangan para imam Ahlul Hadits, lihat At-Talkhisul Habir, 1/174-176.

Hadits ini juga merupakan hadits yang lafadz dan hukumnya umum, sementara hadits
yang menunjukkan wudhu karena makan daging unta adalah hadits yang khusus. Dan
kaidah yang masyhur sebagaimana diterangkan ulama ahli ushul, ketika ada dalil yang
khusus maka dikedepankan pengamalannya daripada dalil yang umum, wallahu alam.
Juga, makan daging unta itu membatalkan wudhu bukan karena ia disentuh api, namun
karena keberadaannya sebagai daging unta sehingga ia dimasak (dengan api) ataupun
dimakan dalam keadaan mentah tetap keberadaannya membatalkan wudhu. (Syarah
Shahih Muslim, 4/49; Al-Mughni, 1/122-123; Al-Majmu 2/670; Ilamul Muwaqqiin
1/298-299; Ijabatus Sail hal. 36)
PEMBATAL WUDHU YANG DIPERSELISIHKAN

1. Menyentuh Wanita Tidak Membatalkan Wudhu


Masalah batal atau tidaknya wudhu' seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang
diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat:

(1) menyentuh wanita membatalkan wudhu membatalkan wudhu'. Ini adalah pendapat
Imam Az-Zuhri, Asy-Sya'bi, dan yang lainnya.
(2) Tidak batal wudhu' seseorang yang menyentuh wanita secara mutlak, yang mahram
maupun yang bukan-, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini. Ini adalah
pendapat Daud Azh-Zhahiri dan mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu Jarir Ath-
Thabari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan
muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil dan selainnya

Dalil-dalilnya sebagai berikut:

a. Sebagian ulama yang berdalilkan dengan firman Allah Taala,

Atau kalian menyentuh wanita , (QS. Al-Maidah: 6)

bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu. Maka bisa dijawab dengan
dikatakan bahwa arti kata menyentuh dalam ayat ini, terdapat dua pendapat di
kalangan ulama, yaitu:

i. Sebagian mereka menafsirkan menyentuh dengan jima (senggama), seperti


pendapat Ibnu Abbas, Ali, Ubay bin Kab, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, Ubaid
bin Umair, Said bin Jubair, Asy-Syabi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir
Ibnu Katsir, 2/227)
ii. ahlul ilmi yang lain berpendapat menyentuh di sini lebih luas/ umum daripada
jima sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium,
bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu
Masud dan Ibnu Umar dari kalangan shahabat. Abu Utsman An-Nahdi, Abu
Ubaidah bin Abdillah bin Masud, Amir Asy-Syabi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim
An-Nakhai dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang
dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima sebagaimana hal ini
ditunjukkan dalam Al-Quran sendiri, pada ayat:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita


mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka,
maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah. (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita
maka yang dimaksudkan adalah jima.

Bagaimana mungkin saya akan mempunyai seorang anak sementara saya belum
pernah disentuh oleh seorang manusia pun dan saya bukanlah seorang pezina. (QS.
Maryam: 20)

Dan kata disentuh di sini juga tentu saja bermakna jima sebagaimana yang bisa
dipahami dengan jelas.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Yang dimaukan (oleh ayat Allah Subhanahu
wa Ta'ala ini) adalah jima, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu
'anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari Ali
radhiallahu 'anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini.
Sementara menyentuh wanita (bukan jima) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-
Quran maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu.
Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun
tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena
menyentuh para wanita (istri).

Beliau juga berkata: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Al-Hasan bahwa
menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf.
Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib
berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan
disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi
berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa
syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf
bahwa hal itu membatalkan wudhu. (Majmu Al-Fatawa, 21/410)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: Pendapat yang rajih adalah


menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan
syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau
mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang
keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu. (Majmu
Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)

b. Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain
jima) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Berdasarkan hadits Aisyah dia berkata,
Sesungguhnya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium sebagian
istrinya kemudian beliau keluar mengerjakan shalat dan beliau tidak berwudhu
lagi. (HR. Ahmad, An-Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah)
Aisyah radhiallahu 'anha berkata:
Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen)
maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku
pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan
kedua kakiku. (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu 'anha juga mengabarkan:

Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam


dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua
tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang
ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan
sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-
Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu
dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang
Engkau puji terhadap diri-Mu. (HR. Muslim no. 486)

Seandainya menyentuh wanita membatalkan wudhu, niscaya beliau -shallallahu


alaihi wasallam- akan membatalkan shalatnya ketika menyentuh Aisyah.

c. Orang-orang yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu'


berdalil dengan riwayat yang datang di dalam as-Sunan dari hadits Mu'adz bin Jabal
radliyallahu 'anhu bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan berkata:

Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita. Maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam terdiam sampai Allah 'azza wa jalla turunkan:

Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam.
Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan.

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya : Berdirilah,


kemudian wudhu' dan shalatlah dua rakaat.

Syaikh Muqbil menjelaskan dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 tentang hadits ini:

Pertama, hadits ini tidak tsabit (kokoh) karena datang dari jalan 'Abdurrahman bin
Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadits ini dari Mu'adz bin Jabal. Ini satu sisi
permasalahan.
Kedua, seandainya pun hadits ini kokoh, tidak menjadi dalil bahwa menyentuh
wanita membatalkan wudhu', karena bisa jadi orang tersebut dalam keadaan
belum berwudhu'. Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia
bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu', dan engkau telah
mengetahui bahwa Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma menafsirkan ayat ini dengan
jima'. Wallahul musta'an.

Sehingga jelaslah disini bahwa yang dimaukan dari ayat tersebut bukanlah menyentuh
secara umum, akan tetapi dia adalah menyentuh yang sifatnya khusus, yaitu jima
(hubungan intim).

[Lihat An-Nail: 1/195, Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-Ausath: 1/113 dan
Asy-Syarh Al-Mumti: 1/286-291]

Catatan:
Menyentuh wanita -baik yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan
wudhu, hanya saja ini bukan berarti boleh menyentuh wanita yang bukan mahram.
Karena telah shahih dari Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,
Seseorang di antara kalian betul-betul ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -
dalam sebagian riwayat: Sampai tembus ke tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya
daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya. (HR. Ath-Thabarani dari
Maqil bin Yasar)

Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari
Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:

Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal
itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah
mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan
hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua
itu adalah kemaluan.

Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tanpa keperluan tidak
diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau
wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk
suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang
sangat dari fitnah

2. Tidur yang tidak nyenyak tidak membatalkan wudhu


Pembahasannya telah berlalu pada tidur yang nyenyak pembatal wudhu.

3. Menyentuh Kemaluan Tidak Membatalkan Wudhu


Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
(1) Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu seperti pendapatnya Umar, Ibnu Umar,
Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, Az Zuhri,
Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-
Laits, Al-Auzai, Asy-Syafii, Ahmad, Ishaq, Hanabilah, Zhahiriah, Malik dalam
pendapatnya yang masyhur dan selain mereka. Mereka berdalil dengan hadits Busrah.
(Sunan Tirmidzi 1/56; Al-Mughni 1/117; Al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282).
Hadits Busroh bintu Shafwan -radhiyallahu anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:

Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.


(HR. Abu Dawud no. 154, dishahihkan Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu Main dan
selainnya. Kata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah: Hadits ini paling shahih dalam
bab ini. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu
Dawud no. 174)

Dalam riwayat At-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi


wa sallam bersabda:

Siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia


berwudhu. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini: Hadits
shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim. (Al-Jamiush Shahih, 1/520)

Dalam riwayat lain,

"Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu." (HR.


Ahmad: 6/406 dan 407, Abu Daud no. 181, At-Tirmidzi no. 82, An-Nasa`i no. 163,
dan Ibnu Majah no. 479) Hadits ini dishohihkan oleh Imam: Ahmad, Yahya bin
Main, At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, dan yang lainnya -rahimahumullah-.

(2) Menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu. Hadits ini dijadikan pegangan
oleh mereka, seperti Ali, Ibnu Masud, Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda,
Imran bin Hushain, Al-Hasan Al-Bashri, Rabiah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan
murid-muridnya (madzhab Hanafiyah) dan selain mereka. (Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-
Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)

Hadits Tholq bin Habib -radhiyallahu anhu-, bahwa beliau bertanya kepada Nabi -
Shallallahu alaihi wasallam- mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya di
dalam shalat, apakah wajib baginya untuk berwudhu? Maka beliau menjawab:
"Tidak perlu, dia hanyalah bagian dari tubuh kamu." (HR. Ahmad: 4/23, Abu Daud
no. 182 dan 183, At-Tirmidzi no. 85, An-Nasa`i no. 165, dan Ibnu Majah no. 483)
Haditsnya dishahihkan oleh Imam: Amr bin Ali Al-Fallas, Ali ibnul Madini, Ath-
Thahawi, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahumullah-.

Dalam riwayat lain, Thalaq bin Ali radhiallahu 'anhu mengabarkan bahwa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh)nya? (HR. At-
Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah: Hadits ini lebih baik daripada
hadits Busrah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkan sanadnya dalam
Al-Misykat)
Kedua pendapat ini lemah. Karena sepanjang kedua haditsnya shahih, maka tidak boleh
mengambil salah satunya lalu meninggalkan yang lainnya, selama kedua hadits itu masih
bisa dikompromikan. Dan itulah yang terjadi di sini.
(3) Menyentuh kemaluan hanya membatalkan wudhu apabila disertai dengan syahwat. Ini
merupakan pendapat sebagian Malikiyah.
(4) Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhunya secara mutlak (baik dengan
syahwat atau tidak), hanya saja disunnahkan baginya untuk mengulangi wudhunya,
tapi tidak wajib. Ini adalah pendapat Imam Malik dalam satu riwayat, dan inilah -
wallahu Alam- pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Pendapat yang
dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin
adalah pendapat yang memadukan kedua hadits ini dengan menyatakan: Menyentuh
kemaluan tidaklah membatalkan wudhu akan tetapi disunnahkan -tidak diwajibkan-
bagi orang yang menyentuh kemaluannya untuk berwudhu kembali. Jadi perintah
yang terdapat dalam hadits Busrah bukanlah bermakna wajib tapi hanya
menunjukkan hukum sunnah, dengan dalil Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak
mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana dalam hadits Thalq-. Wallahu alam
bishshawab. [Lihat Al-Ausath: 1/193, A-Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh
Al-Mumti: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149, Lihat: Bidayatul Mujtahid karya Ibnu
Rusyd hal. 28-29 dan Asy-Syarhul Mumti' karya Syaikh Ibnu Utsaimin: 1/279-284]

Pendapat inilah (yang keempat-ed) yang penulis pilih dan memandangnya sebagai
pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah
pendapat yang juga kuat di mana pendapat ini banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi
seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shanani (di dalam Subulus Salam, 1/104), Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar, 1/283; Ad-Darari Al-Mudhiyyah hal. 36) dan
yang lainnya. Namun penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu taala
alam bish-shawab wal ilmu indallah.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:


Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah dzakar itu bagian dari
(tubuh)mu, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang
tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam
keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain.
Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak
bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Karena secara
kebiasaan menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi dengan syahwat.
Perkara ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui. Berdasarkan
hal ini maka hadits: Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu tidak bisa
dijadikan dalil oleh madzhab Al-Hanafiyyah untuk menyatakan bahwa menyentuh
dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun hadits ini merupakan
dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat
tidaklah membatalkan wudhu. Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat maka
dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian
terkumpullah di antara dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku
ketahui. Wallahu alam. (Tamamul Minnah, hal. 103)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

Apabila seseorang menyentuh dzakarnya maka disenangi baginya untuk berwudhu


secara mutlak 13 , sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak.
Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib
baginya berwudhu sangatlah kuat 14 , namun hal ini tidak ditunjukkan secara dzahir
dalam hadits. Dan aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya namun demi kehati-
hatian sebaiknya ia berwudhu. (Syarhul Mumti, 1/234). Wallahu taala alam bish-
shawab wal ilmu indallah.

4. Muntah Tidak Membatalkan Wudhu


Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:

(1) Muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu.

Di antara mereka yang sependapat adalah Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu
Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan
keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268). Mereka berdalil di antaranya:

Hadits Madan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata
Madan: Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku
sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: Abu Ad-Darda benar, akulah
yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. At-
Tirmidzi no. 87)
13
Juga disenangi wudhu di sini dalam rangka kehati-hatian, wallahu taala alam bish-shawab
14
Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Al-Baihaqi mengatakan bahwa
hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih
maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.

Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak
bisa ditegakkan hujjah dengannya. (Nailul Authar, 1/268).

Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam taliq beliau terhadap kitab Ar-
Raudhatun Nadiyyah mengatakan: Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam
masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat
dijadikan hujjah. (taliq beliau dinukil dari Taliqat Ar-Radhiyyah, 1/174) 15

Al-Imam At-Tirmidzi berkata: Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabiin
berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian
pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara
sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu
karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafii. (Sunan
At-Tirmidzi, 1/59)

Sementara hadits Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu


'alaihi wa sallam bersabda:

...

Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas 16 atau madzi (di
dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu. (HR.
Ibnu Majah no. 1221)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Hadits ini dinyatakan cacat oleh


sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Ismail ibnu Iyasy dari
orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini
Ismail meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena
para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang mereka itu adalah
para tokoh penghapal meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi
periwayatan Ismail yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung)
pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar.
Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-
Daruquthni dalam kitab Al-Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau
mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Ismail. Ibnu Main
berkata hadits ini dhaif. (Nailul Authar, 1/269)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan


selain beliau men-dhaif-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36). Begitu pula
melemahkannya Al-Baihaqi.

15
Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-
Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
16
Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
(2) Muntah, baik memuntahkan sesuatu yang sudah ada di dalam perut atau yang masih
berada di tenggorokan, tidak membatalkan wudhu.

Ini pendapat Asy-Syafii (imam yang faqih dari Madinah), Ibnu Hazm dan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiah, dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafii, juga satu
riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain
qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali
bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-
Syarhul Mumti, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami.
Mereka berdalil sebagai berikut:

a. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang
menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia
membawakan dalil.
b. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil
syari, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya
(menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syari.
c. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh
mayoritas ulama.
d. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fiil (perbuatan)
sedangkan yang semata-mata fiil tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-
Syarhul Mumti, 1/224-225)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: Tidaklah batal wudhu dengan


keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan,
darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik
keluarnya banyak ataupun sedikit. 17 Demikian pendapat Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin
Abdillah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, Atha, Mak-hul,
Rabiah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: Ini merupakan
pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in. (Al-Majmu, 2/63)

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmuatur Rasail


Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana
dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau
menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111,
112)

5. Darah yang keluar dari Tubuh (termasuk Mimisan) Tidak


Membatalkan Wudhu
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan
wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul,

17
Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi
sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu (2/63).
Rabiah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafii. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat
yang rajih menurut penulis. Wallahu taala alam bish-shawab.

Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak.
Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan
membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq.
(Nailul Authar, 1/269)

Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang
shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir
karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara muallaq
dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan
teguran dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan
akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan
penjelasan/penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan.
Mereka para shahabat radhiallahu 'anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran
hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari
mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa
perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu taala alam bish-shawab wal ilmu indallah.

a. Mimisan
Syaikh Muqbil rahimahullah menjawab pertanyaan, apakah mimisan (keluarnya
darah dari hidung) membatalkan wudhu: Mimisan tidaklah membatalkan wudhu,
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dia membatalkan wudhu. Telah warid
(datang) satu hadits dhoif (lemah) yang menyatakan bahwa dia membatalkan
wudhu dan tidak warid dari Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam dan
para shahabat Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam, mereka
sholat dalam keadaan berdarah luka-luka mereka. Maka (mimisan) tidak
membatalkan (wudhu), akan tetapi jika dia takut mengotori mesjid, maka
hendaknya dia keluar dan mencucinya kemudian kembali dan mengulang
sholatnya, wallahul mustaan.

6. Darah Istihadhah Tidak Membatalkan Wudhu.


Dia adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita, bukan pada waktu haidnya dan
bukan pula karena melahirkan. Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah
bahwa darah istihadhah tidaklah membatalkan wudhu, karena tidak adanya dalil shahih
yang menunjukkan hal itu. Dan hukum asal pada wudhu adalah tetap ada sampai ada dalil
yang menetapkan batalnya.
Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail, Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan
hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi wanita yang mengalami istihadhah.

Di antara dalil lemah tersebut adalah hadits Aisyah tentang sabda Nabi kepada seorang
sahabiah yang terkena istihadhah, Kemudian berwudhulah kamu setiap kali mau
shalat. Hadits ini adalah hadits yang syadz lagi lemah, dilemahkan oleh Imam Muslim,
An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan selainnya. [Lihat Al-Fath: 1/409, As-Sail:
1/149 dan As-Subul: 1/99]

7. Mengangkat dan memandikan jenazah Tidak Membatalkan


Wudhu
Ada beberapa hadits dalam permasalahan ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah
secara marfu,

Barangsiapa yang memandikan mayit maka hendaknya dia juga mandi, dan
barangsiapa yang mengangkatnya maka hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad, An-
Nasai dan At-Tirmizi)

Akan tetapi hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu Hatim, Ahmad, Ali bin
Al-Madini dan Al-Bukhari. Adapun hadits-hadits lainnya, maka kami sendiri pernah
mentakhrij jalan-jalannya dan kami menemukannya sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Ahmad -rahimahullah-, Tidak ada satu pun hadits shahih yang ada dalam
permasalahan ini.

Ada beberapa pembatal lain yang tidak sempat kami sebutkan karena tempat yang
terbatas, wallahul mustaan.

Memandikan jenazah tidaklah membatalkan wudhu dan inilah pendapat yang rajih dari
sebagian ahlul ilmi seperti Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
kebanyakan fuqaha. Abul Hasan At-Tamimi berkata: (Bagi orang yang memandikan
jenazah) tidak harus berwudhu. (Al-Mughni 1/124, Syarhul Umdah, 1/341)

Mereka menyatakan bahwa menetapkan sesuatu sebagai pembatal wudhu itu


membutuhkan dalil syari sementara tidak ada dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah
ataupun ijma yang menunjukkan memandikan jenazah itu membatalkan wudhu.

Adapun atsar dari ketiga shahabat yang disebutkan dari Ibnu Umar, Abu Hurairah dan
Ibnu Abbas (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya no. 1601, 6107) bahwa
mereka memerintahkan orang yang memandikan jenazah untuk berwudhu maka
dimungkinkan berwudhu di sini bagi orang yang memandikan jenazah adalah perkara
yang mustahab (sunnah). Sehingga kalau dianggap wajib maka butuh dalil syari yang
menenangkan jiwa, karena mewajibkan sesuatu yang tidaklah wajib sama dengan
mengharamkan sesuatu yang tidak haram. (Asy-Syarhul Mumti, 1/247)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: Yang wajib bagi kita adalah berhati-
hati dalam masalah pembatal wudhu, sehingga jangan sampai ada di antara kita yang
berani mengatakan perkara ini adalah pembatal wudhu kecuali apabila ia mendapatkan
dalil yang jelas yang akan menjadi hujjah (argumen) baginya di sisi Allah Subhanahu wa
Ta'ala. (Asy-Syarhul Mumti, 1/247)

Adapun yang lain dari kalangan ahlul ilmi berpendapat bahwa memandikan jenazah
membatalkan wudhu sebagaimana atsar dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas
di atas dan pendapat seperti ini dipegangi oleh Ishaq dan An-Nakhai. (Al-Mughni, 1/124)

8. Berbekam (Hijamah) Tidak Membatalkan Wudhu


Madzhab Al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah)
merupakan salah satu dari pembatal wudhu.

As-Sarkhasi berkata: Menurut kami, seseorang yang berbekam maka wajib baginya
berwudhu dan mencuci bagian tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan
keluarnya najis (yaitu darah bekaman (dianggap) najis di sisi mereka). Bila dia
berwudhu namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu lebih
besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun bila kurang dari itu
boleh baginya mengerjakan shalat.

Adapun madzhab Al-Malikiyyah dan Asy-Syafiiyyah berpendapat bahwa berbekam atau


sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya
segumpal darah dengan cara diisap tidaklah membatalkan wudhu. Az-Zarqani berkata:
Berbekam tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang
yang dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau
urat.

Dalam kitab Al-Umm disebutkan: Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan dan
berbekam. (Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah, 17/14). Inilah pendapat yang rajih, karena tidak
adanya dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa berbekam itu membatalkan wudhu.
Adapun hadits 18 yang menyatakan dukungan penguatan bahwa berbekam itu tidak
membatalkan wudhu pada sanadnya ada pembicaraan terhadap salah seorang rawinya
yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang
Shalih: Bukan seorang yang kuat. Dan hadits ini didhaifkan oleh para imam seperti Al-
Baihaqi, An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar. (Al-Majmu 2/63, At-Talkhisul Habir,
1/171) (Sehingga kembali kepada hukum asal atau baraah ashliyah-red)

9. Makan Makanan yang Dimasak Tidak Membatalkan


Wudhu
Ulama berselisih pendapat dalam masalah memakan makanan yang dimasak, apakah
membatalkan wudhu atau tidak? Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga pendapat:

(1) Wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak yang disentuh api,
demikian pendapat Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Az-Zuhri, Abu Qilabah, Abu

18
Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu 'anhu:

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu. (HR. Ad-
Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)
Mijlaz, dan dihikayatkan Ibnul Mundzir dari jamaah shahabat: Ibnu Umar, Abu
Thalhah, Abu Musa, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu anhum.
(2) Tidak wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak apa pun, termasuk di
dalamnya makan daging unta dan sama saja apakah makanan itu disentuh api
(dimasak) atau pun tidak. Demikian pendapat jumhur ulama dan dihikayatkan dari
Ibnu Masud, Ubay bin Kaab, Abu Thalhah, Abu Darda, Amir bin Rabiah dan Abu
Umamah. Juga pendapat jumhur tabiin, Malik, dan Abu Hanifah.

Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan


shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabiin dan orang-orang setelah mereka
berpendapat tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang dimasak. (Sunan
Tirmidzi, 1/53)

Ucapan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih


Muslim dan di dalam Al-Majmu: Mayoritas ulama berpendapat (makan daging
unta) tidaklah membatalkan wudhu, di antara mereka yang berpendapat demikian
adalah Al-Khulafaur Rasyidun yang empat Ini merupakan anggapan yang keliru
dari beliau rahimahullah.

Kesalahan beliau ini telah diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dalam Al-Qawaid An-Nuraniyyah (hal. 9) beliau menyatakan:

Adapun yang dinukilkan dari Al-Khulafa Ar-Rasyidun atau jumhur shahabat


bahwa mereka tidak berwudhu karena makan daging unta, maka sungguh orang
yang menukilkan demikian telah keliru dalam anggapannya terhadap mereka.
Kesalahan anggapan tersebut dikarenakan adanya riwayat dari mereka bahwa
mereka tidaklah berwudhu karena memakan sesuatu yang dimasak. Padahal yang
diinginkan di sini menurut mereka adalah keberadaan sesuatu yang dimasak
bukan sebagai satu sebab diwajibkannya berwudhu. Sementara Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu karena makan daging unta bukan
disebabkan daging unta ini telah dimasak. Sebagaimana dikatakan: Fulan tidak
perlu berwudhu karena menyentuh kemaluannya, walaupun dalam satu keadaan
wajib baginya untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya apabila keluar
madzi dari kemaluannya. (Sebagaimana dinukilkan dari Tamamul Minnah hal.
105)

(3) Tidak wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak apa pun, kecuali
makan daging unta secara khusus, demikian pendapat Ahmad, Ishaq, Yahya bin
Yahya dan Al-Mawardi menghikayatkan pendapat ini dari jamaah shahabat seperti
Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Hurairah dan Aisyah
radliallahu anhum. Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Jabir bin Samurah
radhiallahu 'anhu, Muhammad bin Ishaq, Abu Tsaur, Abu Khaitsamah dan ia
memilih pendapat ini, demikian pula Ibnu Khuzaimah. (Al-Majmu, 2/68)

Pendapat (terakhir, yang ketigaed) inilah yang rajih dengan hadits Jabir ibnu Samurah
radhiallahu 'anhu yang telah terdahulu penyebutannya dan perkataan beliau: Kami
berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging
kambing. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/46, dishahihkan
sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hal. 106)
WAKTU UNTUK BERWUDHU
Berikut ini akan kami paparkan beberapa waktu disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu.
Dengan ini kita akan mengetahui betapa tinggi peranan dan pengaruh dari sebuah amalan
wudhu. Sehingga kita tidak menganggapnya enteng. Diantara waktu yang disunnahkan
untuk berwudhu, yaitu:

1. Berwudhu Ketika Hendak Pergi ke Masjid


Termasuk sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berwudhu sebelum berangkat
shalat berjamaah ke masjid. Yang memiliki pengaruh (nilai) yang lebih dibanding tidak
berwudhu sebelumnya. Yaitu Allah subhanahu wataala menjadikan barakah pada setiap
langkah kaki kanan maupun kiri berupa pengahusan dosa dan penambahan pahala.

Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

Apabila seorang dari kalian berwudhu, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian ia


pergi ke masjid karena semata-mata hanya untuk melakukan shalat, maka tidaklah ia
melangkahkan kaki kirinya melainkan terhapus kejelekan darinya dan dituliskan kebaikan
bersama langkah kaki kanannya hingga masuk masjid. (HR. Ath Thabrani dalam Al
Mujam Al Kabir dari shahabat Ibnu Umar dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam
Shahih Al Jami no. 454)

2. Menyentuh Mushaf Al Quran


Al Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
shalallahu alaihi wasallam sebagai kitab suci umat Islam. Dalam rangka memulikan Al
Quran sebagai kalamullah (firman Allah) maka disunnhakan berwudhu sebelum memegang
kitab suci Al Quran ini. Al Imam Ath Thabrani dan Al Imam Ad Daraquthni meriwayatkan
hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dari shahabat Hakim bin Hizam radhiallahu
anhu:

Janganlah kamu menyentuh Al Quran kecuali dalam keadaan suci.


Bagaimana jika hanya membacanya saja tanpa menyentuhnya, apakah hal ini juga
disunnahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam? Ya, hal itu
disunnahkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sebagaimana sabdanya:
Sesungguhnya aku tidak menyukai berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.
(HR. Abu Daud dan An Nasai dari sahabat Ibnu Umar dan dishahihkan Asy Syaikh Al
Albani).
Tentunya, membaca Al Quran adalah semulia-mulia dzikir kepada Allah subhanahu
wataala.

Berwudhu Ketika Hendak Tidur


Termasuk sunnah Rasulullah adalah berwudhu sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap
muslim dalam kondisi suci pada setiap kedaannya, walaupun ia dalam keadaan tidur. Hingga
bila memang ajalnya datang menjemput, maka diapun kembali kehadapan Rabb-Nya dalam
keadaan suci.

Dan sunnah ini pun akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan terjauhkan diri dari
permainan setan yang selalu mengincarnya. (Lihat Fathul Bari 11/125 dan Syarah Shahih
Muslim 17/27)
Tentang sunnah ini, Rasulullah telah menjelaskan dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari
sahabat Al Barra bin Azib, bahwasanya beliau berkata:
Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana wudhumu
untuk shalat. (HR. Al Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710)
Lebih jelas lagi, dari riwayat shahabat Muadz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam bersabda:
Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dalam keadaan dengan berdzikir dan bersuci,
kemudian ketika telah terbangun dari tidurnya lalu meminta kepada Allah kebaikan dunia dan
akhirat, melainkan pasti Allah akan mengabulkannya. (Fathul Bari juz 11/124)

Demikianlah sunnah yang selalu dijaga oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ketika
hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim meneladaninya. Bahkan ketika beliau
terbangun dari tidurnya untuk buang hajat, maka setelah itu beliau berwudhu lagi sebelum
kembali ke tempat tidurnya. Sebagaimana yang diceritakan Abdullah Bin Abbas radhiallahu
anhuma:
Bahwasanya pada suatu malam Rasulullah pernah terbangun dari tidurnya untuk
menunaikan hajat. Kemudian beliau membasuh wajah dan tangannya (berwudhu) lalu
kembali tidur. (HR. Al Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan Asy
Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4217)

Berwudhu Ketika Hendak Berhubungan Dengan Istri

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga memberikan bimbingan bagi para pasutri
(pasangan suami istri) ketika hendak bersetubuh. Hendaknya bagi pasutri berdoa sebelum
melakukannya, dengan doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:

Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkan
(gangguan) setan terhadap apa yang Engkau rezikan kepada kami. (HR. Al Bukhari no. 141)
Kemudian ketika sudah usai dan ingin mengulanginya lagi maka hendaknya keduanya
berwudhu terlebih dahulu. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Apabila
seseorang telah berhubungan denga istrinya, kemudia ingin mengulanginya lagi maka
hendaklah berwudhu terlebih dahulu. (HR. Muslim no 308, At Tirmidzi, Ahmad dari Abu
Said Al Khudri dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ats Tsamarul Mustathob
hal.5)
Dengan tujuan agar setan tidak ikut campur dalam acara yang sakral ini dan bila dikarunia
anak, maka setan tidak mampu memudharatkannya.

Para pembaca, bila kita baca biografi para ulama, maka kita dapati mereka amat bersungguh-
sungguh menjaga wudhunya dalam setiap keadaan. Sebagai contoh, Al Imam Asy Syathibi.
Beliau adalah seorang yang buta, akan tetapi tidaklah beliau duduk disuatu majlis ilmu,
kecuali beliau selalu dalam keadaan suci. Bahkan diantara ulama ada yang tidak mau
membaca hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hingga mereka berwudhu
terlebih dahulu. Bukan karena mereka berpendapat wajibnya berwudhu ketika hendak
membaca hadits, akan tetapi yang mendasari hal itu adalah kesungguhan mereka untuk
memuliakan ilmu dan untuk mendapatkan keutamaan yang besar dalam wudhu.

Akhir kata, wudhu bukanlah amalan yang remeh bahkan amalan yang besar disisi Allah
subhanahu wataala. Sehingga mendorong kita untuk selalu dalam kondisi suci (berwudhu)
dan berupaya bagaimana berwudhu dengan sempurna yang sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Maka ikutilah pada edisi-edisi mendatang yang insya
Allah akan menampilkan sebuah tema menarik tentang taca cara wudhu yang sesuai dengan
sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
PERMASALAHAN LAIN SEPUTAR WUDHU
1. Wudhu Makmum Yang Tidak Benar Bukan Penyebab
Kacaunya Bacaan Imam
Seorang imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah beberapa
persangkaan yang buruk. Ada diantara mereka berpendapat bahwa kacaunya bacaan imam
disebabkan adanya diantara jamaah yang tak beres melaksanakan wudhu atau mandi junub.
Ini didasari oleh hadits palsu yang bukan hujjah,seperti hadits yang berbunyi:

"Jika kalian sholat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu kalian, karena kacaunya
bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu orang yang ada di belakang
imam". [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)]

Hadits ini palsu, sebab di dalamnya terdapat rowi yang majhul, seperti Abdullah bin Aun
bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rowi lain, Muhammad bin Al-Furrukhon, ia
seorang yang tak tsiqoh. Dari sisi lain, sudah dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy
bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad Al-Firdaus, maka hadits
itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini dalam Adh-
Dhoifah (2629).
Contents
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
DEFINISI DAN BATASAN WUDHU ........................................................................................................... 2
Pengertian Secara Bahasa ................................................................................................................... 2
Pengertian Secara Syariat .................................................................................................................. 2
HIKMAH WUDHU ................................................................................................................................... 3
KEUTAMAAN WUDHU............................................................................................................................ 4
1. Syarat Memasuki Sholat ............................................................................................................. 4
2. Penghapus Dosa Kecil & Pengangkat Derajat ............................................................................. 5
3. Tanda Pengikut Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. ................................................................... 7
4. Separuh Iman .............................................................................................................................. 8
5. Jalan Menuju Surga ..................................................................................................................... 9
6. Pelepas Ikatan Setan ................................................................................................................... 9
Syarat-syarat wudhu ............................................................................................................................. 11
1. Islam, ......................................................................................................................................... 11
2. Berakal, ..................................................................................................................................... 11
3. Tamyiz ....................................................................................................................................... 11
4. Niat; ........................................................................................................................................... 11
5. Wudhu disyaratkan juga menggunakan air yang suci sebagaimana yang telah lewat. ............ 11
6. Wudhu disyaratkan juga menggunakan air yang mubah (boleh untuk dipergunakan). .......... 11
7. Wudhu disyaratkan untuk didahului dengan istinja dan istijmar ............................................ 12
8. Wudhu disyaratkan juga untuk menghilangkan hal-hal yang menghalangi sampainya air
kekulit................................................................................................................................................ 12
MEMBERSIHKAN NAJIS ......................................................................................................................... 13
1. Kencing ...................................................................................................................................... 13
2. Kotoran Manusia ....................................................................................................................... 13
3. Wadiy ........................................................................................................................................ 15
4. Madzi......................................................................................................................................... 15
5. Darah haid yang mengenai pakaian .......................................................................................... 15
6. Kulit bangkai.............................................................................................................................. 16
7. Air liur anjing pada bejana ........................................................................................................ 16
AIR YANG SUCI LAGI MENYUCIKAN ...................................................................................................... 18
NAJIS YANG DIPERSELISIHKAN .............................................................................................................. 19
1. air liur anjing, ............................................................................................................................ 19
2. mani, ......................................................................................................................................... 19
3. orang kafir, ................................................................................................................................ 19
4. khamar, dan .............................................................................................................................. 19
5. Darah -selain Haidh, dan Nifas- adalah Suci ............................................................................. 19
6. Muntah Manusia adalah Suci.................................................................................................... 21
7. Keringat dan Ludah adalah Suci ................................................................................................ 21
8. Daging Babi adalah Suci ............................................................................................................ 22
9. Bekas makanan dan minuman hewan adalah Suci ................................................................... 23
RUKUN DAN KEWAJIBAN WUDHU ....................................................................................................... 24
Dalil sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-. ......................................................................... 24
Rukun Wudhu .................................................................................................................................. 24
Wajib Wudhu ................................................................................................................................... 25
Sunnah Wudhu ................................................................................................................................ 26
MENCUCI TELAPAK TANGAN ................................................................................................................ 28
1. Didahului dengan bersiwak atau menyikat gigi. ....................................................................... 28
2. Lalu membaca basmalah........................................................................................................... 28
3. Sunnah Mencuci Tangan ........................................................................................................... 29
Memutar Cincin Ketika Mencuci ....................................................................................................... 30
MEMBASUH WAJAH.............................................................................................................................. 31
MENCUCI KEDUA TANGAN ................................................................................................................... 33
Hukum Wudhu bagi Wanita yang Berkuteks .................................................................................... 33
MEMBASUH KEPALA DAN TELINGA ...................................................................................................... 35
Mengusap Sebagian Kepala Sudah Mencukupi ................................................................................ 35
Mengusap Kepala Seluruhnya Lebih Mengikuti Sunnah .................................................................. 35
Telinga Wajib Diusap Seperti Halnya Mengusap Kepala dengan Air Sisa Usapan Kepala ................ 35
Mencuci Kedua Kaki .............................................................................................................................. 37
Dalil wajibnya .................................................................................................................................... 37
Kewajiban mencuci bukan mengucap .............................................................................................. 37
DOA SETELAH WUDHU......................................................................................................................... 39
PEMBATAL WUDHU YANG SAHIH ........................................................................................................ 40
1. Semua yang keluar dari qubul dan dubur ................................................................................. 40
a. Buang Air Besar dan Buang Air Kecil.................................................................................. 40
b. Keluar Wadhi ........................................................................................................................ 40
c. Keluar Madzi, ....................................................................................................................... 40
d. Kentut (Keluar Angin dari Dubur) ........................................................................................ 41
e. Keluar hadats besar ............................................................................................................... 42
2. Kehilangan Akal ......................................................................................................................... 43
a. Tidur...................................................................................................................................... 43
b. Pingsan, mabuk, dan gila ...................................................................................................... 46
3. Makan Daging Unta................................................................................................................... 46
PEMBATAL WUDHU YANG DIPERSELISIHKAN...................................................................................... 48
1. Menyentuh Wanita Tidak Membatalkan Wudhu .................................................................... 48
2. Tidur yang tidak nyenyak tidak membatalkan wudhu ............................................................. 51
3. Menyentuh Kemaluan Tidak Membatalkan Wudhu ................................................................. 51
4. Muntah Tidak Membatalkan Wudhu ....................................................................................... 54
5. Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu ...................................................................................... 56
6. Darah Istihadhah Tidak Membatalkan Wudhu. ....................................................................... 57
7. Mengangkat dan memandikan jenazah Tidak Membatalkan Wudhu ..................................... 58
8. Berbekam (Hijamah) Tidak Membatalkan Wudhu .................................................................. 59
9. Makan Makanan yang Dimasak Tidak Membatalkan Wudhu ................................................. 59
WAKTU UNTUK BERWUDHU................................................................................................................ 62
1. Berwudhu Ketika Hendak Pergi ke Masjid ............................................................................... 62
2. Menyentuh Mushaf Al Quran .................................................................................................. 62
PERMASALAHAN LAIN SEPUTAR WUDHU ........................................................................................... 65
1. Wudhu Makmum Yang Tidak Benar Bukan Penyebab Kacaunya Bacaan Imam ..................... 65
REFERENSI ............................................................................................................................................. 69
10. HIKMAH DAN KEUTAMAAN WUDHU, Oleh: admin : Di: Fiqih,
http://www.assalafy.org/mahad/?p=39 .......................................................................................... 69
REFERENSI

1. Sumber : Beginilah Cara Wudhu dalam Sunnah, Buletin Jumat At-Tauhid edisi 118 Tahun
II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Tene
No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n
Ust. Abu Faizah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Faizah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Mahad Tanwirus Sunnah Gowa.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Faizah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro.
Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp.
200,-/exp)
2. Sumber : Menguak Keutamaan Wudhu, Buletin Jumat At-Tauhid edisi 115 Tahun II

3. Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah Vol. 01/Th01/2006, http://almakassari.com/artikel-


islam/fiqh/apakah-mimisan-membatalkan-wudhu.html
4. Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=69, INDAHNYA KESUCIAN, Penulis:
Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari, Syariah, Seputar hukum Islam, 29 - Juni - 2003, 14:45:15
5. http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/ternyata-bukan-najis-bag-ii.html, Buletin
Jumat Al-Atsariyyah edisi 73 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat :
Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Tene No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Faizah). Pimpinan
Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Faizah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan
Redaksi : Santri Mahad Tanwirus Sunnah Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Faizah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan
hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
6. http://almakassari.com/tanya-jawab/memakai-cincin-saat-wudhu.html. (Dijawab oleh Ust.
Hammad Abu Muawiyah)
7. http://almakassari.com/tanya-jawab/menyentuh-kemaluan-membatalkan-wudhu.html,
Dijawab oleh Ust. Hammad Abu Muawiyah)
8. http://almakassari.com/artikel-islam/hadits/sebab-kacaunya-bacaan-imam.html, Sumber :
Buletin Jumat Al-Atsariyyah edisi 46 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren
Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Tene No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu Faizah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Faizah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Mahad Tanwirus Sunnah Gowa.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Faizah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi.
Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-
/exp)
9. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=7,
Selasa, 27 April 2003 - 20:18:09, Penulis : Ustadz Abu Ishaq MuslimKategori
: Problema AndaMenyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?
10. HIKMAH DAN KEUTAMAAN WUDHU, Oleh: admin : Di: Fiqih,
http://www.assalafy.org/mahad/?p=39
11. http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hukum-wudhu-bagi-wanita-yang-
berkuteks/, Sumber: Asy Syariah No. 49/V/1430 H/2009, Katagori: Fatawa Al Marah Al
Muslimah, Halaman 89 s.d. 90. Hukum Wudhu bagi Wanita yang Berkuteks, posted in Fatwa
Ulama, Fiqh Ibadah | Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu
12. http://al-atsariyyah.com/?p=522, Sifat Wudhu, [Asal sifat wudhu ini kami nukil dari kitab Ats-
Tsamar Al-Mustathab fi Fiqih As-Sunnah wa Al-Kitab karya Asy-Asyaikh Al-Albani: 1/10-11
dengan beberapa perubahan]
13. Keutamaan Wudhu, http://al-atsariyyah.com/?p=1800,
14. Sifat Wudhu Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, http://al-atsariyyah.com/?p=1805,
15. http://www.asysyariah.com/syariah.php?id_online=689&menu=detil, Berwudhu dan Tata
Caranya, Jum'at, 20 Juni 2008 - 02:27:26, Penulis : Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.Kategori
: Khutbah
16. http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=565, Wajibkah membaca bismillah ketika
akan wudhu', Kamis, 01-Februari-2007, Penulis: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin
17. http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=648, BAB Tentang Hukum-Hukum Wudhu,
Dikutip dari Buku Ringkasan Fiqih Islami Terbitan Pustaka Salafiyyah
18. http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/pembatal-pembatal-wudhu/,
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=237, Pembatal-Pembatal
Wudhu, Penulis : Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari
19.

Anda mungkin juga menyukai