Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau
digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Puslit
Tanah dan Agroklimat, 2000). Badan Litbang Pertanian (2003) mengkategorikan
sebagai lahan marjinal, karena memiliki satu atau lebih permasalahan sebagai berikut
(i) kondisi biofisik yang mencakup produktivitas/kesuburan tanah yang rendah,
topografi berbukit (peka erosi), sumberdaya air terbatas; dan (ii) ketersediaan
infrastruktur terbatas.
Penyebaran lahan kering di Indonesia umumnya terdapat pada dataran rendah
yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 700 m diatas permukaan laut
(dpl) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl. Lahan tersebut
dapat dikelompokkan kedalam berbagai tipologi lahan sesuai dengan macam dan
tingkat kendala biofisiknya, sehingga perlakuan pengelolaannya akan berbeda. Luas
lahan kering berdasarkan ketinggian tempat di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.
Berdasarkan penggunaannya untuk pertanian, maka lahan kering
dikelompokkan menjadi pekarangan, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput,
lahan sementara tidak diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan, dan perkebunan. Tetapi
secara umum pengembangan lahan kering jauh tertinggal dibandingkan pertanian di
lahan subur beririgasi teknis. Lambatnya perkembangan di hampir semua lahan
kering berkaitan dengan masalah kesuburan tanah (produktivitas lahan),
infrastruktur, dan kelembagaan usahatani. Teknologi yang tersedia bagi
pengembangan lahan marjinal tadah hujan umumnya masih memerlukan input yang
tinggi.

1
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Potensi dan Kendala Lahan Kering


Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peluang besar
untuk dimanfaatkan secara optimal, khususnya untuk pembangunan pertanian baik
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Menurut data Puslit
Tanah dan Agroklimat (1998) areal lahan kering di Indonesia cukup luas yaitu
mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera
(14,8 ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa
Tenggara (6,2 juta ha), dan Papua (11,8 juta ha).
Selanjutnya dikatakan bahwa sebagian besar lahan kering tersebar di daerah
aliran sungai (DAS) bagian hulu yang bentuk wilayahnya berombak sampai berbukit
dengan curah hujan antara rendah sampai tinggi. Pada daerah yang memiliki
intensitas hujan yang tinggi dapat memacu terjadinya erosi dan berakibat
menurunnya tingkat produktivitas lahan. Kendala lain yang dijumpai pada lahan
kering adalah reaksi tanah masam, kesuburan tanah rendah, dan miskin bahan
organik.
Sifat tanah pada lahan kering beriklim basah yang paling menonjol adalah
tingkat produktivitasnya yang rendah, sedangkan lahan kering beriklim kering
kendala yang paling menonjol adalah ketersediaan air yang terbatas karena curah
hujan rendah dan panjangnya musim kemarau. Hal ini mengakibatkan terjadinya
evapotranspirasi yang lebih besar dari pada curah hujan, sehingga dapat
menimbulkan perubahan reaksi tanah (aciditas/alkalinitas dan atau salinitas) serta
keseimbangan hara terganggu (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2000).
Aktivitas budidaya komoditas pertanian pada lahan kering dataran tinggi
dengan topografi berbukit sampai bergunung, terutama untuk tanaman perkebunan,
tanaman pangan dan hortikultura/sayuran yang intensif, mengandung resiko yang
sangat besar karena lahan demikian sangat peka terhadap gangguan atau perubahan
dari luar seperti hujan yang menyebabkan erosi, longsor, dan banjir sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungan sekitarnya.

2
B. Konservasi Air dan Tanah
Usaha tani konservasi (Conservation farming) pada lahan kering merupakan
penerapan beberapa paket teknologi yang ditujukan untuk melestarikan lingkungan
sekaligus berfungsi meningkatkan produksi. Teknologi konservasi air dan tanah
merupakan komponen teknologi yang tidak dapat ditinggalkan, sebab lahan sebagai
fungsi produksi harus dipertahankan kelestarian kesuburannya agar produksi tidak
menurun dari waktu ke waktu.
Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan, faktor
kelangkaan air (water scarcity) menjadi faktor pembatas yang perlu ditanggulangi
untuk menunjang keberlanjutan sistem usahatani. Oleh karena itu konservasi dan
pemanfaatan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan kering
untuk peningkatan produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas lahan melalui
konservasi dan pengelolaan air perlu diintegrasikan dengan pengelolaan hara dan
bahan organik tanah (Subagyono, et al., 2004).
Pemanfaatan rorak, merupakan alternatif untuk memanen air dan
meningkatkan kelengasan tanah. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal
(slot mulch) mampu mengurangi erosi sampai 94% (Noeralam, 2002). Efektivitas
strip rumput dalam pencegahan erosi juga sudah banyak dibuktikan (Abujamin,
1983, Garity dan Agus, 1999, Dariah et al., 1993, 1999, dan Erfandy et al., 1997).
Hujan merupakan sumber utama air untuk tanaman yang jumlahnya
melimpah ruah pada sebagian besar wilayah Indonesia. Hanya sekitar 1% dari 193
juta lahan Indonesia mempunyai curah hujan setahun kurang dari 1.000 mm (Badan
Meterologi dan Geofisika, 1994). Jumlah 1.000 mm ini bila dimanfaatkan secara
efisien akan dapat menunjang proses produksi tanaman pangan semusim untuk dua
musim tanam (Agus, dkk. 2002), dengan asumsi bahwa kebutuhan air untuk tanaman
pangan lahan kering adalah 120 mm per bulan (Oldeman, 1980). Oleh karena itu
pembuatan kedung atau embung diharapkan mampu menampung air hujan selama
musim penghujan, untuk digunakan pada saat musim kemarau. Agus (2002)
mengemukakan bahwa berbagai penelitian di Indonesia telah mencoba sistem
pembuatan embung atau kedung, namun tidak dijumpai hasil penelitian yang
komprehensif yang memberikan analisis kemampuan embung dalam menyediakan
air pada musim kemarau (proporsi yang ideal antara dimensi embung dengan luas

3
lahan yang akan diairi). Namun demikian pembuatan embung atau kedung
merupakan salah satu teknologi alternatif dalam memanen hujan di lahan kering.

C. Integrasi Tanaman Ternak


Upaya peningkatan produktivitas lahan melalui konservasi air dan
pemanfaatan bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan
usahatani ternak, karena
dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya
jika diintegrasikan dengan ternak (Watung et al., 2003; Subagyono et al., 2004).
Ternak dan produk sampingannya berupa kotoran ternak, baik secara langsung
maupun diolah terlebih dahulu menjadi kompos (Bokashi) merupakan sumber bahan
organik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang diusahakan. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa produk dan kandungan nitrogen kotoran ternak cukup
memadai untuk mensubstitusi unsur hara yang dibutuhkan tanaman apabila bahan
tersebut dikelola dengan baik (Tabel 2). Sedangkan tanaman yang digunakan sebagai
bahan konservasi lahan dan air dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan yang
diperlukan untuk makanan ternak.
Tabel 2. Produk dan kandungan N kotoran berbagai ternak piaraan
Berat
Produk
hidup Kandungan Produksi Produksi N
Spesies kotoran
dewasa N (%) N (g) kg/tahun
(kg/hari)
(kg)
Kerbau 460 5,80 0,80 46,40 16,90
Sapi 350 4,40 0,73 32,10 11,70
Kambing 20 0,30 1,32 4,00 1,50
Domba 20 0,30 0,91 2,70 1,00
Ayam 2 0,05 3,90 0,20 0,07
Itik 2 0,05 3,00 0,18 0,07
Sumber : Devendra, 1993
Menurut Abdurachman (1997) penanaman rumput pada strip-strip searah
kontur tidak secara langsung dapat memperkaya bahan organik tanah. Tetapi cara ini
dapat menghambat penurunan kadar bahan organik tanah melalui pengendalian erosi.
Jika rumput yang ditanam berupa rumput hijauan pakan ternak, maka petani dapat
mengembalikan bahan organik ke dalam tanah dalam bentuk pupuk kandang.

4
Dengan demikian kemungkinan bahan organik dapat ditingkatkan, bahkan mungkin
dapat dipertahankan tetap tinggi dalam jangka panjang.
Sistem pertanaman lorong (alley cropping) juga dapat dimanfaatkan bersama
dengan ternak, karena penelitian sistem pertanaman lorong pada umumnya
menghasilkan kesimpulan yang mendukung upaya penerapannya, antara lain dapat
menekan laju erosi, dan menghasilkan bahan hijauan yang dapat dimanfaatkan
sebagai tambahan pakan ternak atau dijadikan mulsa. Jenis tanaman pakan dapat
dipilh, bila yang diharapkan adalah usaha pengembangan ternak, sedangkan kotoran
ternaknya dapat diberikan ke dalam tanah sebagai pupuk kandang. Beberapa tanaman
yang dapat digunakan sebagai tanaman pagar, disajikan dalam Tabel 3.
Oleh karena itu dalam konservasi air dan tanah, maka strategi yang dapat
ditempuh adalah dengan pemanfaatan tanama-tanaman yang secara langsung dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, baik pada konservasi melalui pembuatan rorak
atau rorak yang dikombinasikan dengan mulsa, tanaman penutup tanah (cover crop),
penanaman dalam strip (strip cropping), dan pertanaman lorong (alley cropping)

5
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelangkaan air (water scarcity) di lahan kering merupakan faktor pembatas
yang perlu ditanggulangi untuk menunjang keberlanjutan sistem usahatani. Oleh
karena itu konservasi dan pemanfaatan air merupakan kunci keberhasilan dalam
pengelolaan lahan kering untuk peningkatan produktivitas pertanian. Peningkatan
produktivitas lahan melalui konservasi dan pengelolaan air perlu diintegrasikan
dengan pengelolaan hara dan bahan organik tanah.
Sifat tanah pada lahan kering beriklim basah yang paling menonjol adalah
tingkat produktivitasnya yang rendah, sedangkan lahan kering beriklim kering
kendala yang paling menonjol adalah ketersediaan air yang terbatas karena curah
hujan rendah dan panjangnya musim kemarau. Hal ini mengakibatkan terjadinya
evapotranspirasi yang lebih besar dari pada curah hujan, sehingga dapat
menimbulkan perubahan reaksi tanah (aciditas/alkalinitas dan atau salinitas) serta
keseimbangan hara terganggu.

B. Saran
Upaya peningkatan produktivitas lahan lebih baik dengan melalui konservasi
air dan pemanfaatan bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan
dengan usahatani ternak, sehingga dalam implementasinya konservasi lahan dan air
akan terjamin keberlanjutannya jika diintegrasikan dengan ternak.

6
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A.1994. Teknologi usahatani lahan kering untuk pengembangan


pertanian di Kalimantan. Hal. 115-133 dalam Prosiding Temu Konsultasi
Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya,
5-6 Oktober 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
A. Abdurachman, Sutono, dan I. Juarsah. 1997. Pengkayaan bahan organik tanah
dalam upaya pelestarian usahatani lahan kering di DAS bagian hulu.
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Makalah Review. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
A. Hidayat, dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian dalam Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Peneliitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Badan Meterologi dan Geofisika (BMG). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai