Disusun Oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dewasa ini masih menghadapi tiga persoalan pokok kependudukan, yakni
jumlah penduduk besar dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Kualitas penduduknya masih
rendah, dan persebarannya tidak merata. Pada saat ini, menurut data di BKKBN, jumlah
penduduk Indonesia telah mencapai sekitar 220 juta orang. Tingkat pertumbuhannya sekitar
1,48 persen per tahun dan tingkat kelahiran (TFR) sebesar 2,6. Berkat kerja keras jajaran
BKKBN dan seluruh lapisan masyarakat, baik instansi pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh
agama, LSM dan institusi kemasyarakatan lainnya, tingkat kelahiran tersebut telah berhasil
ditekan dari sekitar 5,6 pada awal 1970-an. Sementara tingkat pertumbuhannya diturunkan
dari sekitar 2,3 pada periode 1980-an.
Para pakar dan pemerhati masalah kependudukan memperkirakan jumlah penduduk
Indonesia akan terus bertambah hingga mencapai jumlah sekitar 298 juta jiwa pada tahun
2050 sebelum akhirnya akan terjadi keseimbangan antara jumlah yang lahir dan jumlah yang
meninggal, yang disebut penduduk tanpa pertumbuhan.
Namun harus dicatat proyeksi tersebut mengikuti tren kondisi kependudukan pada
tahun 1980-2000, yakni saat perhatian seluruh komponen masyarakat dan kebijakan
pemerintah dari pusat hingga ke desa/kelurahan mendukung sepenuhnya program Keluarga
Berencana (KB) nasional. Maklum, dengan adanya otonomi daerah, kebijakan dari pusat
belum tentu sepenuhnya disambut sepenuh hati oleh pemerintah kabupaten maupun
pemerintah kota. Jika ternyata kepedulian para pengambil kebijakan terhadap program KB
melemah, bukan tidak mungkin jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2050 akan melebihi
298 juta jiwa.
Desentralisasi Program KB berpengaruh terhadap komitmen kabupaten/kota yang
umumnya sangat bervariasi dan kurang memberikan prioritas terhadap Program KB.
Keragaman kelembagaan mempengaruhi pengelolaan program KB di tingkat kabupaten/kota.
Perubahan kewenangan pengelolaan Program KB (yang ditandai dengan P3D) sehubungan
dengan otonomi daerah. Perubahan tersebut berpengaruh terhadap bervariasinya nomenklatur
SKPD Pengelola KB. Adanya kekuatiran terhambatnya Program KB sehingga dapat memicu
ledakan jumlah penduduk.
Menyikapi era otonomi daerah yang menempatkan program KB sebagai urusan wajib
(sesuai PP Nomor 38 Tahun 2007 dan PP Nomor 41 Tahun 2007), BKKBN berupaya secara
terus menerus menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dengan menggalang
kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
KB dan Pemberdayaan Perempuan yang merupakan unsure pemerintah daerah tingkat
kabupaten/kota yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sesuatu hal yang tidak
mudah, tapi jika melihat gejala pertumbuhan penduduk dan dampaknya harus tetap optimis.
BKKBN juga berupaya mewujudkan program KB nasional yang responsif gender, yaitu yang
sudah memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan, dengan terlebih dahulu
meresponsifkan petugas pengelola dan pelaksana program hingga ke tingkat lini lapangan.
Untuk mewujudkan ini BKKBN membentuk Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan
Kualitas Perempuan. Melalui institusi ini BKKBN berupaya menyosialisasikan (melalui
pelatihan, sosialisasi, dll) informasi tentang gender, termasuk mengenai kekerasan dalam
rumah tangga.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah program KB banyak menuai kendala.
Baik dari segi kelembagaan maupun pelaksaan teknis program KB itu sendiri. Adanya
desentralisasi pada otonomi daerah juga mempengaruhi pelaksaan program KB di daerah.
Alasan Kami mengambil tema tersebut yaitu karena ingin mengetahui program KB
dijalankan di Kota Surakarta dan ingin mengetahui peletakan kelembagaan program KB di
Kota Surakarta.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN]
A. PROGRAM KB
UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang UU perkembangan kependudukan dan perkembangan
keluarga sejahtera.
Dalam perkembangan keluarga sejahtera program keluarga berencana termasuk di dalamnya.
Ada 4 pokok kegiatan penting dalam program KB yakni :
1. Pendewasaan usia perkawinan
2. Pengaturan kelahiran
PEMERINTAH PUSAT
WIL.ADM
PEMPROV
PEMDA
PROVINSI
PEMDA PEMDA PEMDA
KAB/KOTA KAB/KOTA KAB/KOTA
Gambar 1.1
Hubungan Pemerintah provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
Gambar 1.2
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Pemerintah provinsi di satu sisi merupakan daerah otonom dan di sisi lain merupakan
wilayah administrasi. Sebagai wilayah administrasi, provinsi dikepalai oleh kepala wilayah
administrasi sebagai wakil pemerintah pusat. Oleh karena itu, ia bertanggungjawab kepada
pemerintah pusat. Sedangkan sebagai daerah otonom, provinsi dikepalai oleh kepala daerah
otonom. Oleh karena itu, ia bertanggungjawab pada DPRD. Kedudukan pemerintah provinsi
dapat dilihat dari gambar di bawah ini :
PEMERINTAHAN PUSAT
WIL.ADM
PEMPROV
PEMDA
PROVINSI
Gambar 1.3
Kedudukan Pemerintah Provinsi
Dalam program KB setelah otonomi daerah saat ini institusi yang mengelola
program KB telah mengalami desentralisasi, di mana penanganan
masalah keluarga berencana di daerah sebagian menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota. Merekalah yang menentukan ada tidaknya
institusi daerah yang secara spesifik menyelenggarakan program
keluarga berencana. Pemkab atau pemkot mempunyai wewenang penuh untuk
menentukan program-program yang menjadi prioritas di daerahnya masing-masing. Selain
itu, tiap daerah mempunyai pemahaman sendiri-sendiri tentang pentingnya KB bagi
pembangunan secara keseluruhan. Akibatnya, masih ada daerah yang belum mengedepankan
program KB. Kelangsungan program KB di daerah tergantung dari keberhasilan daerah
memajukan kualitas sumber daya manusianya. Karena kemajuan suatu negara bukan
tergantung dari sumber daya alamnya, melainkan kualitas sumber daya manusianya
Tahun 2004 merupakan tahun pertama pelaksanaan program keluarga berencana
nasional di era desentralisasi. Pada pasca pelimpahan kewenangan ini isu utama yang paling
urgen saat ini adalah bagaimana melanjutkan keberhasilan keluarga berencana nasional
sehingga visi misi yang telah ditetapkan dapat terwujud, sehingga upaya untuk meyakinkan
pemerintah daerah yang sampai saat ini belum memahami arti pentingnya KB bagi
pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan berkelanjutan di daerah mutlak harus
dilakukan. Peran dari pemerintah pusat dalam era ini adalah lebih memfokuskan pada
pemberian arah kebijakan serta acuan yang lebih mengarah pada penetapan standar pelayanan
minimal. Dengan acuan ini, pemerintah daerah menyesuaikan langkah dan program yang
dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing.
Dalam konteks ini perlu menekankan kesinambungan pelaksanaan program KB di
daerah-daerah. Karena jika pelaksanaan program KB dihentikan, maka secara tidak langsung
program pembangunan di setiap daerah tidak akan berjalan. Kendati tidak memiliki
kontribusi langsung terhadap penerimaan daerah, tanpa adanya program KB untuk mengatur
pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk, dapat dipastikan bahwa pembangunan di
bidang lainnya akan menjadi kurang bermakna dalam meningkatkan derajat kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, adanya komitmen bersama para eksekutif dan legislatif tentang bentuk
kelembagaan yang harus ada di daerah kabupaten/kota, kedudukan , tugas dan fungsi,
kewenangan, struktur organisasi sampai pada P3D di seluruh kabupaten/kota.
Perkembangan KB di Indonesia
1. Periode Perintisan dan Peloporan
a. Sebelum 1957 Pembatasan kelahiran secara tradisional (penggunaan ramuan, pijet,
absistensi/ wisuh/ bilas liang senggama setelah coitus).
b. Perkembangan birth control di daerah Berdiri klinik YKK (Yayasan Kesejahteraan
Keluarga) di Yogyakarta. Di Semarang : berdiri klinik BKIA dan terbentuk PKBI
tahun 1963. Jakarta : Prof. Sarwono P, memulai di poliklinik bagian kebidanan
RSUP. Jawa dan luar pulau Jawa (Bali, Palembang, Medan).
2. Periode Persiapan dan Pelaksanaan
Terbentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencanan Nasional) yang mempunyai tugas
pokok mewujudkan kesejahteraan sosial, keluarga dan rakyat. Bermunculan proyek
KB sehingga mulai diselenggarakan latihan untuk PLKB (Petugas Lapangan keluarga
Berencana).
PERDA
JUMLAH
NO. PROVINSI DINAS BADAN KANTOR TOTAL
KAB/KOTA
MERGER MERGER JUMLAH MERGER MERGER JUMLAH MERGER MERGER JUMLAH
UTUH 1 2
UTUH 1 2
UTUH 1 2
1 NAD 23 0 0 0 0 0 3 11 14 0 6 1 7 21
2 SUMUT 33 0 0 1 1 4 7 3 14 2 2 1 5 20
3 SUMBAR 19 0 0 0 0 0 10 5 15 0 3 1 4 19
4 RIAU 11 0 0 0 0 0 4 2 6 0 1 1 2 8
5 JAMBI 11 0 0 0 0 0 6 1 7 0 3 0 3 10
6 SUMSEL 15 0 0 0 0 6 9 0 15 0 0 0 0 15
7 BABEL 7 0 0 0 0 0 1 1 2 2 3 0 5 7
8 BENGKULU 10 0 0 1 1 0 3 5 8 0 0 0 0 9
9 LAMPUNG 14 0 0 0 0 0 9 0 9 0 1 0 1 10
10 JABAR 26 0 0 0 0 0 19 5 24 0 1 0 1 25
11 BANTEN 8 0 0 0 0 0 4 3 7 0 0 0 0 7
12 JATENG 35 0 0 0 0 1 20 12 33 0 2 0 2 35
13 DIY 5 0 0 0 0 0 1 1 2 1 0 0 1 3
14 JATIM 38 0 0 0 0 3 23 6 32 1 3 0 4 36
15 KALBAR 14 0 0 0 0 0 4 5 9 0 0 2 2 11
16 KALTENG 14 0 0 0 0 0 10 2 12 0 2 0 2 14
17 KALTIM 14 0 0 0 0 2 2 1 5 0 5 0 5 10
18 KALSEL 13 0 0 0 0 0 7 6 13 0 0 0 0 13
19 BALI 9 0 0 0 0 1 5 1 7 0 2 0 2 9
20 NTB 10 0 0 0 0 1 7 1 9 0 0 0 0 9
21 NTT 21 0 0 0 0 3 11 3 17 0 0 0 0 17
22 SULSEL 24 0 0 0 0 3 16 1 20 0 0 0 0 20
23 SULTENG 11 0 0 0 0 2 7 0 9 0 1 0 1 10
24 SULUT 15 0 0 0 0 0 7 7 14 0 0 1 1 15
25 GORONTALO 6 0 0 0 0 0 3 1 4 0 0 0 0 4
26 SULTRA 12 0 0 0 0 0 11 0 11 0 0 0 0 11
27 MALUKU 11 0 0 1 1 0 4 3 7 0 1 0 1 9
28 MALUT 9 0 0 0 0 0 1 0 1 1 2 0 3 4
29 PAPUA 29 0 0 0 0 0 4 0 4 0 3 0 3 7
30 IRJABAR 10 0 1 0 1 0 1 1 2 0 3 0 3 6
31 KEPRI 7 0 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 0 2
32 SULBAR 5 0 0 0 0 0 1 4 5 0 0 0 0 5
33 DKI Jakarta 6 0 0 0 0 0 6 0 6 0 0 0 0 6
TOTAL 495 0 1 3 4 26 227 92 345 7 44 7 58 407
Data Kelembagaan OPD-KB kab/kota (berdasarkan PP41 th 2007) Tahun 2008 PERDA
File: Data Kelembagaan SKPDKB Januari-09 (Exel)
A. Kesimpulan
Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.