Anda di halaman 1dari 177

BUDAYA DAN PERILAKU POLITIK

MASYARAKAT PENGIKUT SAMINISME


(Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo
dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung
Kabupaten Blora Jawa Tengah)

SKRIPSI

Oleh :

HUZER APRIANSYAH

NIM : F1D001043

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU POLITIK
PURWOKERTO
2005
2

BUDAYA DAN PERILAKU POLITIK


MASYARAKAT PENGIKUT SAMINISME
(Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo
dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung
Kabupaten Blora Jawa Tengah)

SKRIPSI

Oleh :

HUZER APRIANSYAH

NIM : F1D001043

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada
Program Strata Satu Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jenderal Soedirman

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU POLITIK
PURWOKERTO
2005
3

SKRIPSI

BUDAYA DAN PERILAKU POLITIK


MASYARAKAT PENGIKUT SAMINISME
(Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo
dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung
Kabupaten Blora Jawa Tengah)

Oleh :

HUZER APRIANSYAH
NIM : F1D001043

Diterima dan disahkan


Pada tanggal :………………..

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Bambang Suswanto, M.Si Drs. M. Soebiantoro, M.Si

NIP. 131809063 NIP. 131771423

Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jenderal Soedirman

Drs. Bambang Kuncoro, M.Si


NIP. 131569011
4

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat Nya

yang begitu luar biasa hingga penulisan skripsi berjudul Budaya dan Perilaku

Politik Masyarakat Pengikut Saminisme (Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur

Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren

Kecamatan Randublatung Kaqbuapten Blora Jawa Tengah) dapat diselesaikan

dengan baik.

Selanjutnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-

tingginya penulis sampaikan kepada :

1. Drs. Bambang Kuncoro, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Jenderal Soedirman yang juga merupakan pembimbing

akademik penulis.

2. Drs. H. Bambang Suswanto, M.Si selaku pembimbing pertama dalam

penulisan skripsi ini.

3. Drs. M. Soebiantoro, M.Si selaku pembimbing dua dalam penulisan

skripsi ini.

4. Drs. Solahuddin Kusumanegara, M.Si selaku outsider dalam skripsi ini.

5. Segenap Staf pengajar di jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal

Soedirman.

6. DR. Heddy Shri Ahimsa-Putra antropolog senior di Jurusan Antropologi

UGM, selaku tempat bertanya bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5

7. DR. Amrih Widodo, selaku tempat bertanya penulis dalam penyusunan

skripsi ini.

Semoga kebaikan, ketulusan dan kesabaran bapak-bapak mendapatkan balasan

berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat dari Allah SWT. Amin

Akhirnya sebagai sebuah karya ilmiah tentulah hal-hal yang ada dalam

karya ini bersifat tentatif semata, dan tentupula kekurangan masih terdapat

banyak. Untuk itu saran, kritik dan masukan dari semua pihak sangat kami

butuhkan untuk perbaikan karya ini di masa depan sebagai bentuk karya ilmiah

yang lebih sempurna.

Purwokerto, 10 November 2005

Penulis
6

RINGKASAN

Penelitian ini berjudul Budaya dan Perilaku Politik Masyarakat Pengikut


Saminisme (Studi Kasus di Dusun Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan
Banjarejo dan Dusun Ploso Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung
Kabupaten Blora Jawa Tengah).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kecendrungan
masyarakat pengikut saminisme semakin terpinggirkan karena adanya faktor
penghilangan identitas kesaminan yang dilakukan oleh pihak-pihak pemerintah
daerah. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa orientasi-orientasi politik
berupa, orientasi kognitif, afektif dan evauatif sebagai berikut : Orientasi kognitif
pengikut Saminisme menunjukkan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan
pemahaman terhadap sistem sistem politik dan hal-hal dasar dalam negara
tergolong sedang. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan mereka mengenai dasar
negara, kewilayahan dan sistem pemilihan umum yang biasanya bersifat sangat
umum dan tidak terperinci. Lalu aspek afektif menunjukkan bahwa mereka
memiliki perasaan yang cenderung negatif terhadap sistem politik yang ada saat
ini dan pada sisi evaluatif pengikut Saminisme cenderung merasa terpisah dari
sistem politik. Dari kecendrungan-kecendrungan tersebut, maka dapat dikatakan
tipe budaya politik murni pengikut Saminisme adalah tipe subyek dengan tipe
varian gabungan termasuk dalam tipe subyek parokial.
Tipe budaya politik subyek adalah tipe dimana orientasi terahdap sistem
politik dan output sistem politik relatif baik tetapi pemahaman individu sebagai
partisipan aktif dalam sistem politik relatif rendah. Sedangkan tipe subyek
parokial adalah tipe yang menekankan kesetiaan terhadap sistem politik yang
lebih kompleks dari model kesukuan tetapi nilai-nilai tradisiona; masih relatif kuat
mempengaruhi perilaku politik mereka.
Selanjutnya, perilaku politik dilihat dari partisipasi politik menunjukkan
bahwa masyarakat Samin cenderung hanya menganggap pemilu sebagai
formalitas yang harus diikuti karena faktor eksternal. Berdasar kategorisasi
Milbrath dan Goel yang membagi perilaku politik berdasar partisipasi politik
menjadi empat tipe; apatis, spektator, transisional dan gladiator, maka paertisipasi
pengikut samin tergolong dalam tipe spektator, yaitu sekedar berpartisipasi dalam
pemilu tanpa keinginan untuk terlibat lebih jauh dalam usaha mempengaruhi
sistem politik. Sedangkan berdasar pendapat Huntington yang dikerahkan, maka
bila partisipasi politik masyarakat pengikut Saminisme termasuk dalam tipe
partisipasi yang dikerahkan.
Budaya dan perilaku politik pengikut Saminisme sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor: perasaan keterasingan atau rendah diri karena labelisasi yang
negatif terhadap mereka, faktor keyakinan terhadap nilai-nilai leluhur dan kondisi
sosial ekonomi mereka.

Kata Kunci : Saminisme, Etnografi, Budaya Politik, Perilaku Politik, Subyek


Parokial, Partisipasi yang dikerahkan
7

SUMMARY

The tittle of this research is Political Culture and Political Behaviour of


Saminism Follower (Case Study in Klopu Duwur Sub Village of Klopo Duwur
Village of Banjarejo District and Ploso Wetan Sub Residence of Kediren Village
of Randublatung District of Blora Residence of Central Java.
This research found the facts are samin society in research location be
marginal (periferal) society cause the local goverment try to erased the cultural
identity of Saminism. The facts about political orientations of Samin society on
cognitive and afection side show to us are inside in high performance but aren’t
follow with an active participation to influenced the political system. From the
facts of political orientations of Samin society support the political culture of them
inside the subject tipe. And, for the category of political culture based on
combination of political culture primary tipe the samin society inside the subject –
parokial type.
Subject tipe of political culture is the tipe where the orientations of the
people about political system especially about output from the political system
inside the good level but the individuals perception about political participation on
political system inside in poor performance. Also, the subject – parokial varian
type is the type with focus on allegiance to political system and ancient value very
influenced factor in this type.
After that, political behaviour of Samin Society looking from political
participation on 2004 general election show to us the perception of Samin society
about general election participation just formality activities for them. From the
facts of that, this research conclude the political behaviour of them is the passive
type. If using the political behaviour category by Samuel Huntington, the Samin’s
political behaviour inside the mobilizied participation type. Mobilizied
participation type is participation in political activities influenced by outside
factors, like pressure by political actors or goverment. If we are use the category
of political behaviour by Milbrath and Goel, the Samin political behaviour inside
the spectator type. Spectator type is the type in political participation where the
individuals just follow on general elections without other activities to influenced
the political system. For the individuals in this type political participation just
formality activities not important thing for them.
The influenced factors of political culture and political behaviour of Samin
society are : ancient value of Saminism, social and economic condition of them
and uncomfort feeling to the political system

Keywords : Saminism, Etnography, Political Culture, Political Behaviour,


Subject-Parokial Type, Mobilizied Participation
8

MOTTO

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar


dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman
dan beramal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran”
(Q.S. Al. Ashr 1-3)

“Bumi ini mengandung cukup sumber daya


untuk seluruh umat manusia tapi tidak cukup
untuk memenuhi kerakusan segelintir manusia saja”
(Mahatma Ghandi)
9

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini penulis dedikasikan


sekaligus ucapan terima kasih kepada :

Mama dan Papa


“Didikan penuh kasih sayang sedariku lahir hingga detik ini telah menjadi
sumber inspirasi bagi hidupku”

Efra & Chika


“Adik-adikku sekaligus sahabat-sahabat terbaikku, tumbuhlah menjadi
generasi yang tercerahkan dan mencerahkan”

Kawan-Kawan Seperjuangan Tercinta di :


PC. IMM Banyumas periode 04-05, Komsat IMM Soedirman, Koorkom IMM
Ahmad Dahlan, Koorkom IMM UMP, Komsat IMM Stiekes Gombong,
DPD IMM Jawa Tengah

Sahabat-Sahabat di :
Forum Studi Ilmiah (FOSIL) Unsoed, Alm. Institut Kebudayaan BMS, Lingkar
Diskusi Seribu Atap Jogja, Lingkar Studi Lilin FIB UGM, Society, dan kawan2
di Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed

Saudara-Saudaraku di Carpediem Community :


Hari, Teguh, Fany, Bagus dan Andi

Emi, Evi, Noe-noe, Tungguh, Affan, Bangkit, Inayah, Iwan, Dila,dll


Sahabatku yang banyak memberi warna dalam karya ini dan juga hidupku

Sahabat-sahabat di :
BYEE Club Indonesia ; Asti, Amar, Nurul, Aldi, Yuli, Indah, dkk
10

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... ii
PENGESAHAN............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iv
RINGKASAN............................................................................................... vi
SUMMARY.................................................................................................... vii
MOTTO........................................................................................................ ix
PERSEMBAHAN........................................................................................ x
DAFTAR ISI................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL........................................................................................ xiv
DAFTAR BAGAN DAN MATRIK............................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xvii

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah............................................................................ 8
1.3. Tujuan Penelitian................................................................................ 9
1.4. Manfaat Penelitian.............................................................................. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Budaya Politik.................................................................................. 11
2.2. Perilaku dan Partisipasi Politik......................................................... 20
2.2.1. Perilaku Politik....................................................................... 20
2.2.1.1. Ruang Lingkup Perilaku Politik................................ 22
2.2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik............. 23
2.2.1.3. Pemimpin Politik....................................................... 25
2.2.2. Partisipasi Politik................................................................... 26
2.3. Civil Disobedience (Pembangkangan Warga).................................. 30
2.4. Saminisme........................................................................................ 33
11

2.5. Studi-Studi Terdahulu....................................................................... 37


2.6. Kerangka Pemikiran......................................................................... 41
III. METODE DAN ANALISIS DATA
3.1. Metode Penelitian
3.1.1. Sasaran Penelitian................................................................. 45
3.1.2. Lokasi Penelitian.................................................................. 45
3.1.3. Fokus Penelitian.................................................................... 46
3.1.4. Metode Penelitian................................................................. 47
3.1.5. Pendekatan Penelitian........................................................... 48
3.1.6. Pengeumpulan Data.............................................................. 49
3.1.7. Sumber Data......................................................................... 50
3.1.8. Teknik Pemilihan Informan.................................................. 50
3.1.9. Teknik Analisis Data............................................................ 51
3.1.10. Keabsahan Data.................................................................. 56

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN


I. Hasil Penelitian.................................................................................. 58
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ........................................................ 58
B. Kondisi Sosial Ekonomi Pengikut Saminisme............................. 72
C. Sejarah dan Perkembangan Saminisme....................................... 80
D. Ajaran-Ajaran Saminisme........................................................... 87
E. Politik Penghilangan Identitas Saminisme.................................. 99
F. Orientasi Politik Masyarakat Pengikut Saminisme..................... 102
G. Perilaku Memilih Pengikut Saminisme....................................... 115
II. Pembahasan Penelitian
A. Tipe Budaya dan Perilaku Politik Masyarakat
Pengikut Saminisme................................................................. 126
B. Faktor yang Mempengaruhi Budaya dan
Perilaku Politik Masyarakat Pengikut Saminisme.................... 149

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI


12

A. Kesimpulan ...................................................................................... 151


B. Implikasi............................................................................................ 153

DAFTAR ISTILAH.................................................................................... 156


CATATAN................................................................................................. 158
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 161
LAMPIRAN-LAMPIRAN......................................................................... 166
13

DAFTAR TABEL

No Tabel Hlm.

1. Hubungan kesamaan dan perbedaan antara audaya dan


struktur politik......................................................................................... 16
2. Jumlah penduduk dan desa-desa yang ada di wilayah
Kecamatan Banjarejo............................................................................... 60
3. Jumlah penduduk dan desa-desa yang ada di wilayah
Kecamatan Randublatung........................................................................ 61
4. Alokasi penggunaan lahan di Desa Klopo Duwur tahun 2005................ 64
5. Alokasi penggunaan lahan di Desa Kediren tahun 2005......................... 68
6. Alokasi penggunaan lahan di Desa Kediren tahun 1996......................... 69
7. Perbandingan alokasi penggunaan lahan Desa Kediren
tahun 1996 dan 2005................................................................................ 69
8. Selisih alokasi lahan Desa Kediren tahun 1996 an 2005......................... 69
9. Perkiraan jumlah keluarga pengikut Saminisme di
Dusun Klopo Duwur dan Ploso Wetan.................................................... 75
10. Tingkat Pendidikan anak umur 5 tahun ke atas di
Dusun Klopo Duwur dan Ploso Wetan.................................................. 77
11. Tingkat pendidikan informan................................................................ 78
12. Pekerjaan penduduk di Desa Klopo Duwur dan Kediren...................... 79
13. Pekerjaan informan................................................................................ 80
14. Tingkat partisipasi dalam pemilu legislatif tahun 2004
di Desa Klopo Duwur............................................................................ 116
15. Tingkat partisipasi dalam pemilu presiden dan wakil
tahun 2004 di Desa Klopo Duwur......................................................... 116
16. Tingkat partisipasi dalam pemilu legislatif di Dusun Klopo Duwur..... 117
17. Perolehan suara pemilu presiden putaran I di Desa Klopo Duwur........ 118
18. Perolehan suara pemilu presiden putaran I di Dusun Klopo Duwur..... 119
14

19. Tingkat partisipasi dalam pemilu legislatif di Desa Kediren 2004........ 120
20. Tingkat partisipasi dalam pilkada di Desa Kediren tahun 2005............ 121
21. Tingkat partisipasi dalam pilkada di Dusun Ploso Wetan tahun 2004. . 121
22. Perolehan suara pemilu legislatif di Desa Kediren tahun 2004............. 122
23. Perolehan suara pemilu presiden putaran I di Desa Kediren 2004........ 123
24. Perolehan suara pemilu presiden putaran I di
Dusun Ploso Wetan 2004....................................................................... 124
25. Tingkat kecendrungan pengetahuan informan mengenai
sistem politik.......................................................................................... 139
26. Tingkat kecendrungan perasaan informan terhadap sistem politik....... 139
15

DAFTAR BAGAN DAN MATRIK

No. Bagan atau Matrik Hlm.


1. Bagan kerangka pemikiran penelitian............................................. 42
2. Bagan model analisis interaktif....................................................... 56
3. Matrik pengetahuan informan mengenai dasar negara
Kewilayahan dan sistem pemilu...................................................... 134
4. Matrik pemahaman informan untuk mempengaruhi
Sistem politik................................................................................... 136
5. Matrik perasaan informan terhadap sistem politik saat ini ............. 137
6. Matrik pandangan informan terhadap kenaikan BBM.................... 138
7. Matrik alasan informan berpartisipasi dalam pemilu...................... 147
8. Matrik faktor-faktor yang mempengaruhi informan dalam
Menentukan pilihan dalam pemilu.................................................. 147
16

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Hlm.


1. Daftar informan penelitian.................................................................... 166
2. Foto-foto penelitian.............................................................................. 168
3. Repro foto Samin Surosentiko dan tokoh-tokoh pendiri Samin........... 176
4. Peta Desa Klopo Duwur....................................................................... 177
5. Peta Desa Kediren................................................................................. 178
6. Peta Kecamatan Banjarejo.................................................................... 179
7. Peta Kecamatan Randublatung............................................................. 180
8. Peta Kabupaten Blora dalam Peta Jawa Tengah................................... 181
9. Lambang Kabupaten Blora................................................................... 182
10. Makna lambang Kabupaten Blora........................................................ 183
11. Model D-1 Pemilu Legislatif DPR Desa Klopo Duwur tahun 2004.... 184
12. Model D-PWP Pemilu Presiden dan Wapres Putaran I
Desa Klopo Duwur tahun 2004............................................................ 192
13. Model D-1 Pemilu Legislatif DPRD Kabupaten di Klopo Duwur
Tahun 2004........................................................................................... 193
14. Model D- PWP Pemilu Presiden dan Wapres Putaran II
Kecamatan Randublatung tahun 2004.................................................. 215
15. Model D-PWP Pemilu presiden dan Wapres Putaran I
Desa Kediren tahun 2004...................................................................... 222
16. Rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Legislatif
Kecamatan Randublatung tahun 2004.................................................. 231
17. Model D1-PWP Pemilu Presiden dan Wapres di Desa Kediren
Tahun 2004........................................................................................... 239
18. Model D-KWP Pilkada Kab. Blora di Desa Kediren 2005.................. 243
19. Daftar lokasi TPS di Desa Kediren....................................................... 255
20. Daftar Pertanyaan Wawancara............................................................. 256
17

21. Curiculum vitae penulis........................................................................ 258


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budaya politik adalah fenomena dalam masyarakat yang memiliki

pengaruh terhadap struktur dan sistem politik (Sastroatmodjo, 1995 : 35).

Sedangkan menurut Walter A. Rosenbaum (1975 : 4) ; The Definition of political

culture refers to the collective orientation of people toward the basic elements in

their political system. Terkait dengan budaya politik sebagai fenomena dalam

masyarakat, maka budaya politik tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik yang

merupakan proses interaksi politik antara berbagai elemen. Seperti masyarakat

dengan pemerintah, sesama masyarakat atau pemerintah dengan kelompok

kepentingan dan sebagainya (Sastroatmodjo, 1995 : 2).

Studi mengenai budaya dan perilaku politik ini merupakan studi yang

penting bagi upaya mengenali dan memahami karakter politik dari sebuah

masyarakat. Pada negara yang tengah berada dalam fase demokratisasi,

pemahaman yang menyeluruh terhadap karakter budaya dan perilaku politik

masyarakatnya merupakan kemutlakan. Pemahaman yang menyeluruh tersebut

terkait dengan pembangunan pondasi sistem politik yang baik. Pada konteks

inilah studi budaya dan perilaku politik menemukan urgensinya.

Mochtar Mas’oed dalam catatan editor sebagai pengantar tulisan Gabriel

A. Almond (Mas’oed dan MacAndrews 1987:33) bahkan menuliskan bahwa

kebudayaan politik merupakan kunci untuk memahami setiap sistem politik. Tapi,

perhatian terhadap kajian budaya politik di Indonesia relatif kecil dan studi yang
18

dilakukan oleh ilmuwan politik Indonesia masih belum optimal (Nazaruddin

Syamsudin, 1991 : 6). Mengenai studi perilaku politik telah sangat banyak

dilakukan penelitian terutama mengenai partisipasi politik, tapi penelitian yang

secara spesifik mengkaji perilaku politik masyarakat marjinal (terpinggirkan)

relatif masih kecil. Penelusuran pustaka yang penulis lakukan mencatat publikasi

ilmiah mengenai perilaku politik masyarakat marjinal tidak terlalu banyak. Ada

sebuah publikasi yang dilakukan J.Hardimin dengan bukunya Demokrasi

Indonesia dan Dinamika Politik Arus Bawah (2001), buku ini mengulas perilaku

politik masyarakat marjinal di beberapa daerah di sekitar Pantai Utara Jawa

(Pantura) serta sebuah publikasi hasil penelitian yang ditulis tim Yayasan Akatiga

Tasikmalaya mengenai perilaku politik masyarakat Mikung (2001). Kondisi masih

minimnya studi budaya politik dan perilaku politik terutama budaya dan perilaku

politik masyarakat marjinal, membuat perlu untuk melakukan kajian dalam

bidang tersebut.

Berbicara mengenai budaya dan perilaku politik di Indonesia sebagai salah

satu negara berkembang yang berada dalam proses transisi demokrasi, tentu akan

mengingatkan kita pada tulisan Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam

terjemahan Sahat Simamora (1990 : 5). Almond dan Verba melukiskan kondisi

negara yang berada pada fase transisi demokrasi akan mengalami sebuah kondisi

politik dimana akan saling berhadapan nilai-nilai tradisional yang melekat kental

dalam elite maupun masyarakat umum dengan nilai-nilai baru yang datang seiring

perkembangan pengetahuan dan teknologi. Dalam ranah politik hal ini juga

berpengaruh dalam proses pembentukan karakter politik nasional. Budaya dan


19

perilaku politik di Indonesia merupakan hasil persinggungan antara banyak faktor

termasuk di dalamnya nilai tradisional-lokal dan juga nilai sosial ekonomi

lainnya. Kondisi sistem politik terkini Indonesia juga ikut dipengaruhi oleh hal-

hal tersebut.

Melihat kondisi kehidupan politik di Indonesia terutama dalam aspek

budaya politik bila merujuk pada studi yang dilakukan Almond dan Verba,

digambarkan bahwa terjadi interaksi antara nilai-nilai dan institusi tradisional

dengan nilai-nilai demokrasi baru. Institusi tradisional dalam skala yang sangat

kecil terutama di beberapa daerah Jawa (Yogyakarta dan Surakarta) masih ikut

memberi kontribusi dalam kancah politik lokal dan ikut menentukan karakter

budaya politik setempat. Meskipun institusi lokal relatif kecil, namun nilai-nilai

tradisional yang muncul di Indonesia pada era kerajaan-kerajaan ikut memberi

warna hingga saat ini. Feodalisme merupakan salah satu warisan nilai yang

muncul sampai saat ini, pada titik tertentu nilai tradisional ini sangat

mempengaruhi budaya politik di Indonesia. Maka, dalam konteks kajian budaya

politik di Indonesia terdapat keunikan-keunikan yang menambah daya tarik

kajian.

Pada tingkat politik kenegaraan, kehadiran nilai-nilai tradisional dalam

segala bentuk-bentuk telah menjadi penghambat bagi demokratisasi. Almond dan

Verba menuliskan bahwa paling tidak ada dua faktor yang menghambat

demokratisasi di negara-negara transisi demokrasi, satu diantaranya adalah masih

dominannya nilai-nilai tradisional yang anti demokrasi dalam sebuah masyarakat

(Almond dan Verba, 1990 : 7). Selanjutnya bila kita memperhatikan uraian
20

Almond dan Verba mengenai budaya politik di Inggris, maka kita akan

menjumpai bahwa budaya politik Inggris saat ini tak dapat dilepaskan dari proses

sejarah perjalanan bangsa tersebut. Maka, bila kita kontekskan dengan kondisi

Indonesia yang masing-masing masyarakatnya memiliki akar sejarah lokal yang

berbeda-beda, tentu saja akan memunculkan budaya politik yang beraneka ragam.

Katakanlah seperti yang diuraikan J.Mardimin ( 2001 : 6-36) antara masyarakat

pesisir (pantai utara Jawa) dan masyarakat daerah pegunungan cenderung

memiliki perbedaan karakter politik. Di Pesisir masyarakatnya cenderung

memiliki iklim politik yang lebih egaliter daripada masyarakat di sekitar

pegunungan. Hal ini juga terkait dengan faktor kesejarahan, dimana daerah yang

pada masa lalu merupakan daerah sekitar pusat kerajaan dan daerah manca (jauh

dari pusat kerajaan) juga memiliki perbedaan budaya politik.

Perilaku politik masyarakat Indonesia telah mengalami perkembangan

seiring perjalanan sejarah bangsa. Di era penjajahan, perilaku politik bisa

dikatakan dibatasi oleh kekuatan pemerintah yang menggunakan kekerasan, ruang

untuk melakukan aktivitas politik sama sekali tertutup, karena kondisi yang ada

adalah strong state (negara kuat) dan masyarakat lemah. Barulah pada periode

politik etis tingkat partisipasi politik mulai tumbuh, meski masih sangat terbatas

pada kelompok yang telah memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Selanjutnya

perilaku politik rakyat Indonesia menemui titik kebangkitan ketika

diselenggarakan pemilihan umum multi partai tahun 1955 di bawah orde lama.

Perjalanan selanjutnya kembali membawa rakyat Indonesia pada kondisi

perilaku politik pasif akibat kuatnya negara, kondisi ini terjadi ketika rezim orde
21

lama mulai menampakkan wajah otoriternya dengan mengangkat Sukarno sebagai

presiden seumur hidup. Pada masa orde barupun terjadi pembatasan aktivitas

politik. Rakyat dikendalikan secara penuh oleh negara. Instrumen ideologis

(pancasila) dan instrumen bersenjata (militer) dijadikan pengendali aktivitas

politik warga negara. Barulah ketika terjadi gerakan politik yang dimotori oleh

rakyat (kelas menengah) dan mahasiswa pada tahun 1998 terjadi perubahan dalam

perilaku politik warga negara.

Secara umum politik nasional telah mengalami pasang surut seiring

perjalanan sejarah politik Indonesia yang telah pula memberi pengaruh bagi

konstruksi budaya politik dan perilaku politik warga negara. Tetapi gejala-gejala

umum tersebut merupakan gejala umum yang terpantau pada permukaan saja.

Karena masih banyak aktivitas politik yang dilakukan oleh komunitas tertentu

yang biasanya termarjinalkan (terpinggirkan) tidak terekam oleh intelektual

Indonesia. Hingga seolah budaya politik yang terbentuk dalam masyarakat

tersebut terlepas dari budaya politik Indonesia secara umum. Bagitu pula dengan

perilaku politik mereka yang luput dari rekaman sejarah politik Indonesia.

Berbicara mengenai komunitas dalam masyarakat Indonesia yang

memiliki kekhasan budaya dan perilaku, maka kita akan segera ingat dengan

beberapa masyarakat adat. Masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya,

masyarakat Baduy di beberapa daerah di Banten, masyarakat Dayak di Pedalaman

Kalimantan, masyarakat Anak Dalam (Suku Kubu) di pedalaman Jambi dan

Sumatera Selatan, masyarakat Tengger di Jawa Timur dan yang juga terkenal
22

adalah masyarakat Samin yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah dan

Jawa Timur.

Komunitas adat tersebut di atas memiliki kekhasan dalam berbagai hal.

Koentjaraningrat (1981 : 155) menuliskan bahwa dalam batas wilayah sebuah

negara nasional seperti Indonesia, antara kelompok-kelompok masyarakat yang

satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan atau kekhasan. Perbedaan dan

kekhasan tersebut biasanya disebabkan karena adat istiadat, bahasa serta karena

keyakinan religi. Secara teoritis dikenal pula istilah golongan sosial yang muncul

karena tiga faktor, sistem norma, rasa identitas sosial dan keberlanjutan sosial

(Koentjaraningrat 1981 : 167). Golongan-golongan sosial inilah yang kemudian

memberikan pengaruh pada budaya lokal. Koentjaraningrat juga menyebutkan

bahwa penggolongan sosial juga dapat terjadi karena persepsi negatif terhadap

sebuah kelompok tertentu, dalam konteks ini ia mencontohkan golongan Negro

atau blacks di Amerika Serikat. Sebagaimana kita ketahui kelompok di luar Negro

memang mempersepsikan masyarakat yang memiliki ras negroid ini sebagai

individu yang keras, anarkhis dan tidak taat aturan. Dari persepsi itulah terbentuk

penggolongan sosial kepada mereka.

Di Indonesia proses marjinalisasi masyarakat tertentu telah berlangsung

sejak masa penjajahan hingga masa pemerintahan orde baru. Anna Lowenhaupt

Tsing menguraikan bahwa antara negara sebagai pemegang kekuasaan mulai dari

masa kolonial hingga orde baru dengan masyarakat lokal yang marjinal terdapat

kesenjangan yang luar biasa. Masyarakat marjinal mendapat persepsi negatif

karena perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Terutama pemikiran yang


23

berbeda dari arus utama pemikiran negara. Negara dalam persepsi kebudayaan

nasional sering kali mempersepsikan orang-orang marjinal sebagai sisa-sisa dari

masyarakat primitif yang memiliki kecendrungan tidak beradab. Maka,

pemerintah harus mengintervensi proses sosial politik masyarakat tersebut. (anna

Van Lowenhaupt 1998 : 3 – 48).

Marjinalisasi (peminggiran) terhadap kelompok masyarakat tertentu juga

terjadi karena faktor sejarah perlawanan politik masyarakat tertentu. Hal ini terjadi

dalam masyarakat Samin yang berkembang di Blora, Pati, Bojenegoro dan

Rembang. Samin Surosentiko pengembang ajaran Samin merupakan tokoh lokal

yang mengembangkan perlawanan tanpa kekerasan dengan memunculkan

karakter nggendeng (Sastroatmodjo, 2003 : 10 –13). Masih menurut

Sastroatmodjo (2003 : 11) ada tiga unsur dalam masyarakat Samin ;

(1) Gerakan Samin serupa dengan organisasi proletariat kuno yang menentang
sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung.
(2) Gerakan samin memiliki sifat yang utopis, tanpa perlawanan fisik yang
mencolok.
(3) Gerakan Samin melakukan tantangan terhadap pemerintah yang
diperlihatkan dengan prinsip diam, tidak bersedia membayar pajak, dan
tidak bersedia menyumbangkan tenaga pada pemerintah.

Realitas sejarah gerakan perlawanan masyarakat Samin inilah pula yang

membuat mereka terkena stigma negatif sebagai masyarakat pembangkang.

Hingga pemerintah orde baru melalui pemerintah daerah berupaya memisahkan

masyarakat Samin yang masih tersisa terpisah dengan latar sejarah mereka.

Pemerintah Kabupaten Blora pada tahun 1991 dengan resmi mengatakan bahwa

orang Samin atau masyarakat Samin saat ini sudah tidak ada (Berita Nasional 11

November 1991 dalam Basis Nomor 9-10 tahun 2000). Di tengah berbagai upaya
24

yang dilakukan pemerintah orde baru untuk memarjinalisasi masyarakat Samin,

namun Samin tetap ada dan memunculkan identitasnya dalam berbagai bentuk,

seperti ekonomi, politik dan yang paling menonjol adalah melalui seni lokal.

Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang memiliki latar belakang

sosial-politik-budaya yang sangat khas. Kekhasan itu juga muncul dalam bentuk

sejarah gerakan perlawanan yang mereka lakukan. Maka seiring perjalanan

sejarah Indonesia yang bergerak ke arah kondisi modern termasuk di dalamnya

modernisasi politik muncullah beragam pertanyaan mengenai bagaimana

masyarakat Samin mempertahankan eksistensi komunitas mereka. Terutama

terkait dengan identitas politik perlawanan mereka, lalu bagaimana mereka

bersikap terhadap berbagai rezim politik yang pernah berkuasa di Indonesia. Serta

sejauh mana perubahan struktur politik dan pola perilaku politik mereka dari

waktu ke waktu. Sketsa di atas dan pertanyaan-pertanyaan di atas telah menarik

perhatian penulis untuk mencoba melakukan kajian mendalam mengenai budaya

dan perilaku politik masyarakat Samin.

Proses pra penelitian yang dilakukan penyusun dengan penelusuran

pustaka, dan mencoba melakukan kajian mengenai kemungkinan-kemungkinan

metodologis yang tepat maka penelitian ini sangat mungkin dilakukan dan

beragam variasi metodologis juga dapat digunakan dalam penelitian yang

mengarah pada etnografi seperti penelitian ini.

1.2. Perumusan Masalah

Kompleksitas faktor yang membentuk budaya politik dan perilaku politik

tidak hanya terjadi dalam masyarakat modern yang telah memiliki pranata sosial
25

politik yang lengkap, tetapi juga terjadi pada masyarakat tradisional. (Ramlan

Surbakti, 1992 : 131-132). Proses interaksi antar faktor-faktor tersebutlah yang

perlu dikaji. Kajian antar faktor tersebut tentu akan dapat memberikan gambaran

mengenai pola budaya politik dan perilaku politik dalam sebuah masyarakat.

Pola budaya politik dan juga proses perilaku politik masyarakat tradisional

juga merupakan faktor yang penting dalam pelembagaan demokrasi, khususnya di

negara berkembang (Dahl, 2001 : 109). Terkait dengan hal tersebut penting untuk

mendapatkan deskripsi empirik mengenai budaya dan perilaku politik masyarakat

yang ada di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara berkembang yang tengah

melakukan penguatan demokrasi.

Dalam rangka memberikan gambaran yang menyeluruh dan utuh

mengenai budaya dan perilaku politik masyarakat samin, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut yang akan dijawab dalam penelitian ini.

1. Bagaimanakah tipe budaya politik dan perilaku politik yang terjadi dalam

masyarakat Samin ?

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi budaya dan perilaku politik

masyarakat Samin ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan tipe budaya politik dan perilaku politik yang terjadi

dalam masyarakat Samin.

2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi budaya dan perilaku

politik masyarakat Samin.


26

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan akan dapat menambah khasanah pengetahuan

dalam kajian budaya politik dan perilaku politik di Indonesia. Khususnya

dalam kajian budaya dan perilaku politik masyarakat tradisional.

2. Manfaat empiris

a. Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan gambaran secara deskriptif

mengenai budaya politik dan perilaku politik masyarakat Samin.

b. Dari hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan referensi bagi stake

holders dalam menyusun kebijakan publik yang berhubungan dengan

peningkatan partisipasi politik masyarakat Samin.


27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Politik

Tinjauan teoritis mengenai budaya politik dan beragam aspek yang

membentuk budaya politik mutlak dilakukan dalam penelitian ini, dalam rangka

menyusun pondasi teoritis dalam penelitian. Lalu dalam tinjauan teoritis mengenai

budaya politik yang digunakan adalah pendekatan budaya politik yang ditawarkan

oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Mengapa pendakatan Almond dan

Verba yang dipilih dalam penelitian ini ? Ada beberapa alasan, antara lain ;

1. Pendekatan kebudayaan politik yang diajukan Almond dan Verba

memiliki tingkat kelengkapan unsur yang tinggi bila dibandingkan

dengan pendekatan lainnya, seperti yang diajukan Bernard Susser dalam

tulisannya The Behavioral Ideology: A Review and a Retrospect (dalam

Bernard Susser 1992 : 76-100)

2. Almond dan Verba telah menyusun uraian mengenai bagaimana

interaksi antara institusi tradisional serta nilai tradisional dengan nilai-

nilai baru yang dibawa oleh ilmu pengetahuan. Maka pendekatan ini

sesuai bila ingin diterapkan dalam penelitian budaya politik masyarakat

tradisional Indonesia.

3. Pendekatan yang dilakukan Almond dan Verba bersifat aplikatif dalam

penelitian, karena pendekatan budaya politik yang mereka kemukakan

telah diterapkan dalam penelitian ilmiah yang akurat di lima negara.


28

4. Di luar hal-hal di atas sebenarnya ada sebuah faktor yang sangat

menentukan mengapa penulis menggunakan pendekatan budaya politik

dari Almond dan Verba, yaitu dikarenakan referensi mengenai budaya

politik yang paling mudah ditemukan adalah referensi yang ditulis oleh

Almond dan Verba dibanding dengan referensi yang ditulis lainnya.

Kebudayaan politik bukan merupakan sebuah kebudayaan modern secara

mutlak, kebudayaan politik merupakan kombinasi antara kebudayaan modern

dengan tradisi (Almond dan Verba, 1990 : 6). Maka konsekuensi dari teori

tersebut adalah kajian budaya politik tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai

budaya yang mentradisi dan melekat pada kelompok masyarakat tertentu.

Almond dan Verba mendefiniskan budaya politik suatu bangsa merupakan

distribusi pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat bangsa

tersebut (1990 : 16). Selanjutnya Almond merumuskan pola orientasi politik,

rumusan ini didasarkan pada rumusan yang diajukan Talcott Parsons dan Edward

A. Shils. Berikut tiga orientasi politik tersebut;

1. Orientasi kognitif, pengetahuan tentang sistem politik dan kepercayaan

pada sistem politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan

outputnya.

2. Orientasi afektif, perasaan terhadap sistem politik, peranannya dan

penampilannya.

3. Orientasi evaluatif, keputusan dan pendapat tentang obyek–obyek

politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan

kriteria dengan informasi dan perasaan.


29

Orientasi-orientasi individual dalam masyarakat terhadap negara, dapat

dijadikan arah penentuan tipe kebudayaan politik suatu masyarakat. Untuk

menentukan orientasi tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara

sistematis (1990 : 19 – 20). Pertama, pengetahuan individu terhadap sistem

politik, baik mengenai pengertian sistem politik yang dianut di negaranya, sejarah,

sifat-sifat konstitusi dan pengetahuan umum lainnya yang menyangkut sistem

politik di negara bersangkutan.

Kedua, pemahaman individu mengenai input sistem politik, seperti

pengetahuan mengenai struktur dan peranan elit politik serta mekanisme

pengajuan-pengajuan tuntutan politik atau pengajuan kebijaksanaan politik.

Kemudian perasaan-perasaan individu mengenai struktur elite beserta proposal

kebijaksanaan yang mereka ajukan ke sistem politik.

Ketiga, pemahaman individu mengenai output sistem politik, seperti

pemahaman mengenai kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh sistem

politik. Juga mengenai mekanisme pemunculan kebijakan-kebijakan tersebut serta

mengenai perasaan mereka terhadap dampak yang dirasakan dari kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan sistem politik.

Keempat, partisipasi politik individu. Menyangkut argumentasi individu

mengenai perasaannya sebagai bagian dari sistem politik. Lalu pengetahuan

mereka terhadap hak-hak, kewajiban serta strategi-strategi individu untuk

melakukan tekanan atau mempengaruhi sistem politik.

Empat unsur pengetahuan dan pemahaman di atas oleh Almond dan Verba

digunakan untuk merumuskan tipe budaya politik menjadi tiga tipe. Tipe parokial
30

adalah tipe dengan kondisi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang rendah mengenai empat unsur di atas serta pula perasaan yang

negatif terhadap sistem politik. Tipe subyek merupakan masyarakat yang

memiliki pengetahuan dan pemahaman yang relatif baik untuk unsur pengetahuan

umum mengenai sistem politik dan output politik tetapi rendah dalam

pengetahuan mengenai input sistem politik serta partisipasi politik yang pasif.

Tipe ketiga adalah tipe partisipan, yaitu masyarakat dengan pengetahuan dan

pemahaman yang tinggi mengenai semua unsur di atas dan memiliki tingkat

partisipasi politik yang aktif. (1990 : 19-20).

Penjelasan secara rinci mengenai ketiga tipe budaya politik di atas adalah

sebagai berikut (1990 : 20-22)

a. Kebudayaan politik parokial

Kebudayan politik parokial muncul jika frekuensi orientasi terhadap empat

unsur obyek politik di atas mendekati nol. Kondisi ini biasanya terjadi dalam

komunitas lokal yang otonom seperti yang ada di suku-suku pedalaman Afrika.

Tidak terdapat peran-peran politik khusus dari individu dalam komunitas,

pembagian peran biasanya didasarkan pada faktor politis-ekonomis dan

keagamaan. Kemudian orientasi politik tidak terlepas dari orientasi relegius dan

sosial yang mereka anut.

Orientasi parokial juga mengindikasikan minimnya harapan-harapan akan

perubahan yang diinisiasikan oleh sistem politik. Masyarakat dengan tipe budaya

politik parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik yang ada.
31

b. Kebudayaan politik subyek

Tipe kebudayaan politik subyek memiliki frekuensi orientasi yang tinggi

terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem tersebut.

Meski demikian frekuensi orientasi terhadap aspek input sistem politik serta

pemahaman terhadap individu sebagai partisipan aktif dalam sistem politik relatif

kecil atau mendekati nol.

Masyarakat dengan budaya politik subyek menyadari akan otoritas

pemerintah, mereka secara efektif diarahkan pada otoritas tersebut. Orientasi

subyek dalam sistem politik yang telah mengembangkan pranata-pranata

demokrasi lebih bersifat afektir dan normatif daripada kognitif.

c. Tipe kebudayaan politik partisipan

Budaya partisipan adalah sebuah bentuk budaya dimana anggota-anggota

masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai

keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif.

Masyarakat dengan tipe budaya politik partisipan memiliki ragam aktivitas politik

dalam sistem politik. Mereka cenderung menjadi aktivis masyarakat, sekalipun

perasaan dan evaluasi mereka terhadap sistem politik bisa dalam bentuk menerima

atau menolaknya.

Almond dan Verba mengingatkan bahwa klasifikasi budaya politik

berdasarkan orientasi di atas merupakan awal dari klasifikasi budaya politik,

karena tidak ada budaya politik tersebut di atas yang berlaku secara murni. Setiap

klasifikasi memiliki sub kelasnya (1990 : 23-24). Kebudayaan politik murni,

parokial, subyek dan partisipan memiliki kesejajaran atau kesebangunan dengan


32

struktur politik. Budaya parokial sebangun dengan struktur politik tradisional,

budaya subyek sebangun dengan struktur otoritarian yang sentralistis, dan budaya

partisipan sebangun dengan struktur politik demokratis.

Hubungan kesamaan dan ketidaksamaan antara budaya politik dan struktur

politik dirumuskan Almond dan Verba dalam tiga karakter politik, seperti

tergambar dalam tabel berikut ini;

Tabel 1. Hubungan kesamaan dan ketidaksamaan antara budaya politik dan


struktur politik
Allegiance Apathy Alienation
(kesetiaan) (apatis) (pengasingan)

Orientasi kognitif + + +
Orientasi afektif + 0 -
Orientasi evaluatif + 0 -
Sumber : Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990 hlm.25

Keterangan :
+ : Frekuensi kesadaran yang tinggi, atau perasaan positif ataupun evaluasi
terhadap obyek politik.
-: Frekuensi evaluasi dan perasaan negatif yang tinggi
0: Frekuensi keacuhan tinggi
Karakter kesetiaan akan terwujud bila frekuensi orientasi positif (+),

selanjutnya apatis muncul tatkala positifnya orientasi kognitif tidak diikuti dengan

orientasi afektif dan evaluatif atau dengan kata lain masyarakat memiliki

pengetahuan mengenai sistem dan struktur politik tetapi orientasi afektif dan

evaluatif sangat rendah atau mendekati nol. Pengasingan akan dilakukan

masyarakat jika mereka memiliki pengetahuan mengenai struktur politik tetapi

orientasi afektif dan evaluatif menunjukkan negatif (-). Sikap alienasi ini

cenderung menolak institusi-institusi pemerintah dan struktur politik.


33

Menurut Almond dan Verba (1990 : 26-27) kebudayaan politik parokial,

subyek dan partisipan tidak hadir dalam bentuk yang sederhana atau murni, tetapi

merupakan sebuah bentuk kompleks. Terjadi interaksi antara ketiga budaya politik

tersebut. Maka ada tiga bentuk budaya politik baru yang merupakan campuran

antar tipe budaya politik murni, yaitu: Kebudayaan subyek parokial, kebudayaan

subyek-partisipan dan kebudayaan parokial-partisipan. Berikut penjelasan yang

diberikan Almond dan Verba mengenai tiga tipe kebudayaan politik campuran

tersebut. (1990 : 27-32).

a. Kebudayaan subyek-parokial

Kebudayaan subyek parokial merupakan suatu tipe kebudayaan politik

dimana sebagian besar masyarakat menolak tuntutan eksklusif masyarakat

kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan mengembangkan kesetiaan terhadap

sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur pemerintahan pusat yang

bersifat khusus. Kondisi ini biasanya runtutan sejarah peralihan dari model

kerajaan menuju pemerintahan yang tersentralisasi.

b. Kebudayaan subyek-partisipan

Cara bagaimana proses peralihan dari kebudayaan parokial menuju

kebudayaan subyek dilakukan pasti akan mempengaruhi cara bagaimana proses

peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan berlangsung. Dalam

proses peralihan dari budaya subyek menuju partisipan, pusat-pusat kekuasaan

parokial dan jika mereka memang ada akan mendukung pembangunan

infrastruktur demokratis. Dalam budaya subyek-partisipan yang bersifat campuran

itu sebagian besar penduduk telah meperoleh orientasi-orientasi input yang


34

bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis.

Sementara sisa penduduk lainnya terus diorientasikan ke arah struktur

pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi

yang pasif.

Ketidakstabilan struktural yang sering menyertai kultur subyek partisipan,

tumpulnya infrastruktur demokratis dan sistem pemerintahan cenderung

menghasilkan tendensi alienatif di antara sebagian penduduk yang berorientasi

demokratik. Kebuntuan budaya politik yang bisa terjadi dalam budaya subyek

partisipan ini akan cenderung melahirkan sindrom dengan unsur-unsur aspirasi

kaum idealis dan keterasingan dari sistem politik, termasuk infrastruktur politik.

Budaya subyek partisipan yang bersifat campuran tersebut, jika

berlangsung dalam waktu lama, juga dapat mengubah karakter sub budaya

subyek. Selama perselang-selingan demokrasi itu berlangsung, maka kelompok

otoritarian yang cenderung masih harus bersaing dengan kelompok demokrat

dalam kerja demokrasi formal.

c. Kebudayaan parokial partisipan

Dalam tipe kebudayaan parokial partisipan merupakan kecendrungan

kebudayaan politik yang terjadi di negara berkembang. Karena hampir semua

negara berkembang memiliki unsur budaya parokial yang kuat. Namun

persentuhan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan politik dunia

membuat mereka mengorientasikan budaya politik pada budaya partisipan. Maka

kondisi sistem politik dalam kebudayaan parokial partisipan ini dianalogikan oleh

Almond dan Verba seperti pemain sirkus yang berakrobat di atas seutas tali.
35

Kadang kala condong ke pemerintahan demokratis tapi kadang kala condong pada

pemerintahan yang otoriter.

Mengenai kebudayaan politik dan kontekstualitas fungsi analisanya

Almond dan Verba (1990 : 38) menyatakan bahwa

“Hubungan antara sikap-sikap dan motivasi individu yang mempunyai ciri-ciri


tersendiri yang membentuk sistem-sistem politik dan karakter politik serta
penampilan sistem politik dapat dilacak secara sistematis melalui konsep budaya
politik. Dengan kata lain budaya politik adalah rantai penghubung antara makro
dan mikro politik”

Terkait dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, pendekatan budaya

politik Almond dan Verba akan digunakan sebagai acuan dalam memahami

orientasi politik individu-individu yang secara historis dan kultural memiliki

ikatan dengan komunitas Samin yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko.

Dalam konteks peran kebudayaan politik sebagai rantai penghubung antara mikro

dan makro politik, tentu sangat tepat pijakan teori budaya politik ini digunakan

dalam penelitian ini, karena pada titik mikro penelitian ini mencoba memahami

perilaku politik dan partisipasi politik masyarakat Samin. Hingga diharapkan akan

didapatkan sebuah deskripsi analitis mengenai pola-pola kebudayaan politik yang

masyarakat Samin masa kini terkait dengan faktor kesejarahan yang mereka miliki

serta faktor kebudayaan lokal yang ada.

Pendekatan budaya politik yang disampaikan Almond dan verba memang

cenderung berbicara dalam lingkup negara, artinya budaya politik secara luas pada

sebuah negara. Tetapi pada bagian pengantar (1990 : 1-5) disebutkan bahwa

pendekatan budaya politik dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan politik

dalam lingkup komunitas tertentu. Hingga secara teoritis pendekatan budaya


36

politik Almond dan Verba ini bisa digunakan untuk melihat budaya politik

masyarakat Samin. Meskipun pendekatan budaya politik Almond dan Verba ini

dijadikan pondasi teoritis dari penelitian yang akan calon peneliti lakukan tetapi

penelitian ini juga akan tetap memperhatikan faktor etnografi. Karena seperti

dikemukan oleh Spradley bahwa kondisi khusus dalam sebuah komunitas

masyarakat tidak hanya bisa dilihat dari permukaan saja tetapi harus

memperhatikan kedalaman dan etnografi memberikan jalan kearah hal tersebut

Perilaku dan Partisipasi Politik

2.2.1. Perilaku Politik

Pendapat Ramlan Surbakti (1992 : 131) mengenai perilaku

politik menyebutkan bahwa

“Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan


proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan
kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan
pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi-fungsi
pemerintahan yang dipegang pemerintah dan fungsi politik yang
dipegang masyarakat.”

Sedangkan menurut Sastroatmodjo dalam konteks

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perilaku politik memiliki arti

yang sangat luas.

“Keluasan arti perilaku politik bukan saja karena perilaku politik itu
merupakan perilaku masyarakat termasuk anggotanya yang duduk
dalam pemerintahan, melainkan juga karena perilaku politik ini
menyangkut bidang lainnya, seperti nilai-nilai, norma-norma dan
etika.” (1995 : 225).

Sejalan dengan pengertian politik yang terkait dengan input dan output

sistem politik (Budiarjo, Miriam, 1985 : 8) maka perilaku politik


37

berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai

suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya

suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat ke arah

pencapaian tujuan tersebut. Politik senantiasa berkenaan dengan public

goal (tujuan bersama) bukan tujuan orang perorang. (Sastroatmodjo,

1995 : 3).

Perilaku politik berkaitan dengan sikap politik. Antara sikap

dan perilaku politik terdapat perbedaan. Menurut Mar’at sikap

meurpakan kesiapan untuk beraksi terhadap obyek lingkungan tertentu

sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut. (Dalam

Sastroatmodjo, 1995 : 4). Sikap belum merupakan tindakan atau

aktivitas melainkan baru bersifat kecendrungan atau pre-disposisi.

Sikap politik memiliki tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi.

Beranjak dari pemahaman tersebut di atas Sastroatmodjo

mendefiniskan sikap politik sebagai kesiapan untuk beraksi terhadap

obyek tertentu yang bersifat politik, sebagai hasil penghayatan

terhadap obyek tersebut. Dengan memahami sikap politik tentu dapat

digunakan sebagai perkiraan terhadap perilaku politik yang sekiranya

akan terjadi. (1995 : 4-5).

Kajian mengenai perilaku politik pada akhirnya akan

memunculkan pertanyaan seputar subjek politik sebagai unit analisis,

apakah perilaku politik merupakan tindakan yang dilakukan lembaga


38

atau individu. Maka terjadilah perdebatan antara penganut paham

kelembagaan dan penganut paham behavioral .

Paham kelembagaan merupakan paham yang menempatkan

peran lembaga-lembaga politik lebih penting daripada individu-

individu aktor politik. (Sastroatmodjo, 1995 : 28) Sedangkan paham

tingkah laku menurut David Apter lebih memfokuskan perhatian pada

hubungan antara pengetahuan politik dan tindakan politik , bagaimana

percakapan politik diperoleh dan bagaimana cara orang menyadari

perisitiwa-peristiwa politik (dalam Sastroatmodjo, 1995 : 31).

Gambaran teoritis di ataslah yang kemudian memantapkan

penyusun untuk menggunakan pendekatan tingkah laku dalam

mengkaji orientasi politik masyarakat Samin. Penelitian ini diarahkan

untuk melihat sejauh mana aktivitas politik masyarakat Samin saat ini

terkait dengan konteks budaya dan sejarah yang melatarbelakangi

kehidupan mereka. Maka, pendekatan tingkah laku yang lebih

mengarahkan kajian dengan pendekatan kualitatif yang berarti lebih

mengutamakan deskripsi yang holistik (utuh) akan sangat relevan

digunakan.

Ruang Lingkup Perilaku Politik

Sesuai dengan pendapat Ramlan Surbakti di permulaan

pembahasan mengenai perilaku politik ini, bahwa perilaku politik

terbagi dalam dua, yaitu tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh

pelaksana pemerintahan dan tindakan politik yang dipegang oleh


39

masyarakat. Maka implikasi dari ini adalah mengenai ruang lingkup

kajian ilmu politik. Sastroatmodjo (1995 : 10) menyatakan bahwa

“Subyek perilaku politik dapat berupa pemerintah yang melakukan


tindakan-tindakan pembuatan keputusan politik dan pelaksanaan
keputusan politik. Sedangkan subyek lainnya adalah masyarakat yang
melakukan tindakan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
politik oleh pemerintah dan tindakan melaksanakan kebijakan politik
atau menolaknya.”

Menurut Ramlan Surbakti (1992 : 132) perilaku politik dapat

dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yaitu individu aktor politik,

agregasi politik dan tipologi kepribadian politik. Dalam kategori

individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik,

dan individu warga negara biasa. Agregasi politik yaitu individu aktor

politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai

politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa. Sedangkan yang

dapat dipelajari dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe

kepribadian pemimpin otoriter, machiavelist dan demokrat.

Terkait dengan kelembagaan politik terdapat dua macam

kelembagaan politik, pertama adalah lembaga politik pemerintahan

(suprastruktur politik) dan lembaga poltiik kemasyarakatan

(infrastruktur politik) (Sastroatmodjo, 1995:11). Maka dalam kaitan

tersebut ruang lingkup politik juga mencakup dua lembaga politik

tersebut.

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

Untuk memahami perilaku politik diperlukan tinjauan yang

multidimensi. Maka, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik


40

tidak bersifat determinan tetapi memberikan pengaruh (Sastroatmodjo,

1995 : 12). Dapatlah dikatakan bahwa dalam memahami perilaku

politik penting pula untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku politik, dan untuk memahami faktor-faktor

tersebut tentulah dibutuhkan bantuan dari disiplin ilmu lainnya seperti

sosiologi, anthropologi, ekonomi dan sebagainya. Almond dan Verba

(1990) menjaskan dalam konteks kompleksitas faktor politik terdapat

keterkaitan yang mutlak antara perilaku dan budaya politik Dari hal

tersebutlah dalam penelitian ini tidak hanya dilakukan kajian budaya

politik semata melainkan juga dilakukan kajian perilaku politik.

Kembali berbicara mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku politik Sastroatmodjo (1995 : 13) berpendapat bahwa perilaku

politik aktor politik seperti perencanaan, pengambilan keputusan, dan

penegakan keputusan dipengaruhi oleh berbagai dimensi latar belakang

yang merupakan bahan pertimbangan politiknya. Demikian pula

dengan perilaku politik dari warga negara dipengaruhi berbagai faktor

dan latar belakang.

Ramlan Surbakti (1992:132-133) menyebutkan ada empat

faktor yang mempengaruhi perilaku politik, yaitu

1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik,

sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa.

2. Lingkungan sosial politik langsung. Tiap individu mengalami

proses sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat,


41

termasuk norma dan nilai kehidupan bernegara dan pengalaman-

pengalaman hidup pada umumnya. Lingkungan langsung ini

dipengaruhi oleh lingkungan tak langsung

3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Analisis

struktur kepribadian perlu dicatat tiga basis fungsional sikap, yaitu

kepentingan, eksternalisasi dan penyesuaian diri.

4. Lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan

yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak

melakukan kegiatan.

Dalam mempengaruhi perilaku politik individu faktor-faktor tersebut

saling berinteraksi dan tidak berdiri secara sendiri-sendiri. Sebagai

gambaran dari interaksi antar faktor tersebut Ramlan Surbakti (1992 :

133) memberikan penjelasan bahwa faktor lingkungan sosial politik

tak langsung mempengaruhi lingkungan sosial politik langsung yang

berupa sosialisasi, internalisasi dan politisasi. Selain itu, faktor sosial

politik langsung akan ikut mempengaruhi struktur kepribadian (sikap).

2.2.1.3. Pemimpin Politik

Penelitian ini juga diharapkan mendapatkan gambaran

mengenai pemimpin perjuangan politik masyarakat Samin, seperti

Samin Surosentiko, Surohidin dan Engkrak yang merupakan pemimpin

masyarakat Samin yang ajaran-ajarannya masih mempengaruhi

masyarakat Samin (Murbandono dalam artikel Sekilas Saminisme

Politik, Sinar Harapan 5 Februari 2005). Maka penelitian ini


42

membutuhkan parameter teoritis untuk melihat tipe pemimpin dalam

masyarakat Samin.

Dalam uraian mengenai ruang lingkup perilaku politik, telah

dijelaskan bahwa pemimpin politik merupakan unit analisis yang

penting dalam studi perilaku politik. Maka penelitian ini perlu

memiliki landasan teoritis mengenai kepemimpinan politik.

Menurut Ramlan Surbakti (1992 : 134) mengenai

kepemimpinan adalah

“Kepemimpinan merupakan bagian dari kekuasaan, tetapi kekuasaan


belumlah berarti kepemimpinan. Kepemimpinan politik adalah
hubungan antara pihak yang memiliki pengaruh dan pihak yang
dipengaruhi, dan juga menyangkut penggunaan sumber pengaruh
secara efektif. Kekuasaan cenderung memiliki banyak jenis sumber
pengaruh sedangkan kepemimpinan cenderung mengandalkan persuasi
untuk mempengaruhi. Di samping itu, kekuasaan politik belum tentu
menggunakan pengaruh untuk mencapai kepentingan bersama,
sedangkan kepemimpinan politik merupakan upaya melaksanakan
suatu tujuan yang menjadi kepentingan bersama antara pemilik
pengaruh dan pihak yang dipengaruhi.”

Ramlan Surbakti (1992 : 134) juga menyebutkan bahwa terminologi

kepemimpinan politik mengarah pada pemimpin yang ada pada

sufrastruktur dan infrastruktur politik.

Partisipasi Politik

Kajian mengenai perilaku politik cenderung mengaitkan diri

dengan partisipasi politik. Apa sebenarnya perbedaan antara perilaku

politik dan partisipasi politik ? Surbakti (1992 : 141) menguraikan bahwa

partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak

memiliki kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan


43

pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan warga negara biasa ini pada

umumnya dibagi dua, yaitu mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut

menentukan pembuat dan pelaksana keputusan politik. Maka dapat

dikatakan partisipasi politik merupakan perilaku politik, tetapi perilaku

politik belum tentu merupakan partisipasi politik.

Adapun kriteria sebuah perilaku politik termasuk dalam partisipasi

politik atau tidak, Surbakti (1992 : 141) menyebutkan beberapa kriteria

1. Partisipasi politik adalah kegiatan atau perilaku luar individu warga


negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa
sikap atau orientasi.
2. Partisipasi politik merupakan kegiatan atau perilaku politik yang
diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik. Termasuk dalam kategori ini adalah
kegiatan mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat
dan pelaksanan keputusna politik, dan kegiatan mendukung atau
menolak keputusan politik yang dibuat pemerintah.
3. Kegiatan yang berhasil dalam mempengaruhi pemerintah maupun
yang gagal termasuk dalam partisipasi politik.
4. Partisipasi politik dapat berupa kegiatan langsung maupun tidak
langsung.
5. Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan dengan kegiatan
yang sesuai prosedur dan tanpa kekerasan ataupun dengan aktivitas
yang tidak sesuai posedur dan menggunakan kekerasan.

Partisipasi politik ini menurut Surbakti juga terbagi dalam dua macam.

Pertama adalah partisipasi yang muncul karena kesadaran diri (self

motion) dan yang kedua adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar

desakan, manipulasi dan paksaan dari pihak lain (mobilisasi).

Partisipasi sebagai kegiatan dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif

dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif ialah kegiatan mengajukan usul

mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum


44

yang berlainan dengan kebijakan yang disusun pemerintah. Sedangkan

partisipasi pasif adalah kegiatan mentaati pemerintah, menerima dan

melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. (Surbakti, 1992 : 142)

Partisipasi aktif cenderung berorientasi pada input (masukan) dan

output (keluaran) dari sistem politik, sedangkan partisipasi pasif

cenderung hanya berorientasi pada output semata. Di samping itu juga

terdapat golongan masyarakat yang tidak termasuk dalam partisipasi aktif

maupun pasif, yaitu mereka yang menganggap sistem politik yang ada

telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini

disebut kelompok apatis atau golongan putih (Surbakti, 1992 : 143).

Goel dan Olsen (dalam Sastroatmodjo, 1995 : 77) menggunakan

tingkat partisipasi politik sebagai stratifikasi sosial dengan membagi enam

golongan masyarakat terkait dengan partisipasi politik, yaitu pemimpin

politik, aktivis politik, komunikator politik, warga negara marjinal, dan

orang-orang yang terisolasi (jarang melakukan partisipasi politik).

Sastroatmodjo juga berpendapat bahwa partisipasi politik bukan

hanya terkait dengan apa yang telah dilakukan tetapi pula terkait dengan

apa yang mendorong seseorang melakukan partisipasi politik. Terkait

dengan motif partisipasi politik ini Sastroatmodjo (1995 : 83)

menggunakan pendekatan motivasi Weber, yaitu ;

1. Motif yang rasional-bernilai, yaitu motif yang didasarkan atas


penerimaan secara rasional atas nilai-nilai suatu kelompok
2. Motif yang afektual-emosional, yaitu motif yang didasarkan atas
kebenaran (enthusianisme) terhadap suatu ide, organisasi, atau
individu.
45

3. Motif yang tradisional, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan


norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok sosial.
4. Motif yang rasional-bertujuan, yaitu motif yang didasarkan atas
kepentingan pribadi.

Milbrath dan Goel dalam Ramlan Surbakti1 membedakan tingkat

partisipasi menjadi empat kategori. Apatis, yaitu orang yang menarik diri

dari proses politik. Kategori kedua adalah spektator, kategori ini adalah

orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilu. Ketiga

adalah tipe transisional, artinya mereka yang tidak secara langsung

menjadi aktor politik tetapi memiliki hubungan yang dekat dengan aktor

politik dan aktif menghadiri diskusi-diskusi politik. Tipe keempat adalah

tipe gladiator, merupakan aktor utama dalam politik, bisa merupakan

seorang pemimpin partai politik, calon untuk duduk dalam jabatan politik

dan sebagainya yang sifatnya berhubungan langsung dengan kepentingan

politik.

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994:9) membagi

partisipasi politik menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat otonom

(autonomous participation) atau self motion. Tipe lainnya adalah

partisipasi yang dikerahkan (mobilized participation), partisipasi tipe ini

disebabkan karena dikerahkan oleh pihak lain.

Dalam konteks partisipasi politik di Indonesia Arbi Sanit (1985 :

94-95) membagi partisipasi politik dari aspek tujuan. Pertama partisipasi

politik yang bertujuan memberikan dukungan kepada penguasa dan

pemerintah. Kedua, partisipasi politik yang berusaha menguraikan

kelemahan dari sistem politik dan juga pemerintah dan yang ketiga adalah
46

partisipasi politik dalam bentuk tantangan politik secara langsung terhadap

pemerintah. Samuel Huntington (1994) juga menyebutkan dalam negara

berkembang seperti Indonesia kemungkinan partisipasi politik yang

terbentuk adalah pseudo participation (parisipasi semu), yaitu partisipasi

yang lebih dominan dikarenakan faktor eksternal atau mobilisasi politik.

Civil Disobedience (Pembangkangan Warga)

Masyarakat Samin identik dengan perlawanan politik dan oleh ST. Sularto

perlawanan politik masyarakat Samin ini digolongkan dalam bentuk

pembangkangan warga atau civil disobedience (Kompas, Senin 5 Agustus 2002).

Maka untuk membangun pondasi teoritis dalam penelitian ini, peneliti

memasukkan teori-teori mengenai perlawanan sipil dan juga pembangkangan

warga atau civil disobedience.

Ramlan Surbakti (1992 : 143) mendefinisikan civil disobedience sebagai

partisipasi politik secara agresif dan tidak menggunakan kekerasan. Sedangkan

bila partisipasi politik agresif menggunakan kekerasan disebut sebagai kekerasan

politik (political violence). Sedangkan Zuly Qodir (dalam Jurnal Swara Politika

Volume 1 Nomor 1 Tahun 2002) mendefinisikan civil disobedience sebagai

gerakan perlawanan (pembangkangan) yang dilakukan masyarakat sipil karena

penindasan-penindasan, tekanan dan pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan oleh

negara demi kepentingan kelompok tertentu tetapi mengatasnamakan rakyat

banyak. Gerakan pembangkangan yang dilakukan atas dasar moralitas politik

yang membela keadilan dan kesejahteraan umum. Selanjutnya civil disobedience

bukan merupakan fenomena sosial politik yang berdiri sendiri melainkan


47

melibatkan banyak faktor. Termasuk di dalam faktor-faktor tersebut adalah

kondisi sosio-kultural masyarakat tersebut di samping juga kondisi sistem politik.

Bila dikontekskan dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat Samin

yang merupakan masyarakat dengan latar budaya agraris tentu gerakan

perlawanan politik masyarakat Samin perlu pula mendapat tinjauan dalam konteks

perubahan masyarakat dan juga mengenai karakteristik masyarakat tradisional-

agraris.

Dalam masyarakat tradisional legitimasi bertumpu pada pengakuan akan

beberapa tokoh, kejadian atau tatanan masa lampau (baik nyata atau simbolik)

sebagai fokus identitas kolektif, selaku perancang bidang dan hakikat tatanan

kebudayaan serta sosial. Kondisi inilah yang menjadi pemicu utama proses

perubahan dalam masyarakat tradisional (Eisenstadt, 1986 : 71). Selanjutnya

menurut Eisenstadt dalam masyarakat tradisional seperti masyarakat petani

memiliki kecendrungan untuk munculnya pemberontakan otonom dan

berlangsung lama (1986 : 73). James C. Scott (dalam edisi Indonesia 2000 : 40)

juga menyebutkan bahwa kecendrungan perlawanan kelompok petani (tradisional)

lebih menampakkan diri dalam model perlawanan yang normal atau biasa-biasa

saja atau dalam istilah Scott adalah perlawanan sehari-hari, perlawanan jarang

sekali muncul dalam bentuk yang sporadis dan menggunakan kekerasan.

Marc Bloch dalam bukunya French Rural History seperti dikutip Scott

(2000 : 38) menggambarkan perjuangan petani sebagai berikut ;

“karena nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, maka
pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil
yang lestari. Pertarungan yang sabar dan diam-diam yang dilakukan dengan tekad
48

yang kuat oleh masyarakat-masyarakat desa selama bertahun-tahun akan lebih


banyak mendatangkan hasil daripada percikan-percikan gelora seketika itu.”

Scott berpendapat bahwa perlawanan kaum tani tidak muncul dalam

bentuk pembangkangan yang terang-terangan secara kolektif melainkan dengan

menggunakan senjata biasa dari kelompok tak berdaya seperti, melakukan

pencurian makanan, menipu, berpura-pura patuh, pura-pura bodoh, membakar,

melakukan sabotase dan sebagainya (2000 : 40). Bentuk-bentuk perlawanan ini

biasanya memiliki karakter tidak memerlukan koordinasi dan perencanaan, lebih

merupakan bentuk kerjasama pribadi dan secara cerdas menghindari setiap

konfrontasi simbolis langsung dengan pemegang kekuasaan.

Dalam konteks radikalisasi petani di Indonesia Kuntowijoyo (1994 : 1-2)

berpendapat bahwa pola hubungan antara petani dan politik diwarnai oleh dua

tesis utama. Pertama, tesis yang menekankan adanya polarisasi masyarakat

pedesaan yang susunan kelasnya terdiri atas tuan tanah dan petani penggarap,

yang keduanya berada dalam kedudukan yang berkesenjangan. Kedua, adalah

tesis yang menaknai ketegangan kultural antara mereka yang kuat agama (santri)

dan yang tidak taat agama (abangan). Di samping dua tesis utama tersebut

menurut Kuntowijoyo masih ada tesis ketiga yakni tesis yang beranggapan bahwa

masyarakat pedesaan di Indonesia menderita dua macam konflik yakni konflik

sosial-ekonomi sekaligus juga konflik kultural. Tesis ketiga inilah yang kemudian

sering digunakan untuk menjelaskan ketegangan petani di sekitar peristiwa

Gerakan G 30 S PKI pada tahun 1965.


49

Saminisme

Saminisme bertama kali disebarkan oleh Samin Surosentiko (Soerjanto

Sastroatmodjo, 2003 : 7). Samin Surosentiko dilahirkan pada tahun 1859 dengan

nama Raden Kohar di desa Ploso Kedhiren Randublatung Blora. Ayahnya

bernama Raden Surowijaya atau yang di kemudian hari dikenal dengan nama

Samin Sepuh. Raden Kohar menggunakan nama Samin Surosentiko, menurut

Murbandono (dalam Sinar Harapan, 5 Februari 2005) untuk mendekatkan diri

dengan rakyat kecil, karena nama Samin adalah nama untuk golongan rakyat

kecil.

Penyebaran ajaran saminisme dimulai dari Desa Klopoduwur, Blora, dari

sinilah Saminisme mendapat simpati dari rakyat kecil dan dalam waktu singkat

pengikutnya telah bertambah dengan cepat. Saminisme menurut Mangoensarkoro

(dikutip Amrih Widodo dalam Basis nomor 09-10 tahun 2000) merupakan

gerakan sosialis waham (utopian socialism), sedangkan J.E. Jasper (Dikutip

Amrih Widodo, Basis nomor 09-10 tahun 2000) mendefiniskan saminisme

sebagai “kelainan jiwa” yang disebabkan oleh besarnya perubahan sosial akibat

adanya politik etis. Tjipto Mangoenkosemo menyimpulkan bahwa Saminisme

adalah hasil perpaduan antara ajaran Hindu dan perilaku anarkhis petani kuno

yang mengekspresikan diri karena penjajahan Belanda dan eksploitasi

kapitalisme. Seorang ahli Belanda Petrus Blumberger menyimpulkan bahwa

Saminisme adalah ajaran yang didasarkan pada persamaan untuk semua manusia

dan pemilikan bersama atas semua tanah dan hasilnya. Juga melakukan penolakan

terhadap kekuasaan dalam bentuk apapun atau kewajiban-kewajiban sosial


50

lainnya yang berbentuk keharusan membayar pajak dan kerja tanpa upah. (dalam

Amrih Widodo).

Pada tahun 1907 tepatnya pada tanggal 8 November, Samin Surosentiko

diberi gelar Prabu Panembahan Suryangalam (Raja yang menyinari alam).

Pemberian gelar ini menurut Morbandono dapat digunakan untuk melihat bahwa

gerakan Saminisme juga memiliki kesamaan dengan beberapa gerakan

perlawanan rakyat lainnya di Pulau Jawa, yaitu merupakan gerakan mesianis atau

gerakan Ratu Adil.

Selanjutnya, Soerjanto Sastroatmodjo (2003 : 11) menyebutkan ada tiga

unsur dalam gerakan Saminisme, yaitu;

1. Gerakan Saminisme ini merupakan gerakan yang mirip dengan organisasi


proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonialisme dengan
kekuatan agraris terselubung.
2. Aktivitas dari Saminisme merupakan aktivitas berkelanjutan, gerakan ini
bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok.
3. Tantangan terhadap pemerintah yang ditampakkan oleh Saminisme adalah
dengan prinsip “diam”, tidak bersedia membayar pajak dan tidak bersedia
menyumbangkan tenaga untuk negera.

Sedangkan dari buku berjudul Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin

Kabupaten Blora Jawa Tengah yang ditulis oleh Titi Mumfangati dan kawan-

kawan (2004) merumuskan lima ajaran pokok Saminisme, yaitu;

1. Agama adalah senjata atau pegangan hidup.


2. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati, dan jangan
mengambil hak milik orang lain
3. Bersikap sabar dan jangan sombong
4. Manusia harus memahami kehidupannya sebab hidup hanya satu dan akan
dibawa abadi selamanya.
5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati.
51

Buku ini nampaknya berupaya menghindari realitas sosial dan politik yang

mengitari keberadaan Saminisme, cenderung membahas hal-hal yang sifatnya

normatif.

Ada kata-kata yang sangat terkenal yang diucapkan oleh Samin

Surosentiko ketika berceramah di tanah lapang di Desa Bapangan Blora, ia

mengatakan bahwa tanah Jawa bukan milik Belanda, melainkan milik wong

Jowo, maka tidak perlu membayar pajak, justru sang pemiliklah yang harus

memanfaatkannya. (Murbandono, Sinar Harapan 5 Februari 2005). Ajaran-ajaran

perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas dan tidak adil secara detail ditulis

Samin Surosentiko dalam sebuah kitab Serat Jamus Kalimasada. Namun menurut

Sastroatmodjo (2003 : 12) serat ini jatuh ke tangan pejabat Belanda dan

dimusnahkan, hingga sulit untuk melacak ajaran perlawanan Saminisme, namun

sebagian masih dapat ditelusuri dari tembang macapatan dan juga dari salinan

serat tersebut yang masih disimpan penduduk.

Dalam konteks politik pengaruh ajaran Saminisme telah mampu

menggerakkan perlawanan non violence (tanpa kekerasan) yang dilakukan oleh

pengikut Samin terhadap pemerintah Belanda. Pembangkangan-pembangkangan

terhadap negara dilakukan oleh pengikut Samin di Blora, Bojonegoro, Pati,

Rembang dan Grobogan serta beberapa daerah lainnya. Sedangkan penganjur

ajaran Samin Ki Samin Surosentiko meninggal dunia di pembuangannya di

Sawahlunto Sumatera barat pada tahun 1914. Menurut Murbandono orang-orang

Samin sampai saat ini masih mendapat hinaan dari orang di luar pengikut Samin.
52

Begitupun dengan kehidupan berpolitik masyarakat Samin cenderung masih

dimarjinalkan.

Pada masa setelah kemerdekaan keberadaan masyarakat Samin kerapkali

mengalami penyangkalan dari pemerintah, terjadi penghilangan identitas yang

dilakukan secara sistematis. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi

perlawanan yang mungkin timbul kembali dalam masyarakat Samin (Amrih

Widodo dalam Basis nomor 09-10, 2000). Menurut Amrih rasionalisasi dari

penghilangan identitas kultural masyarakat Samin dikemukakan dengan alasan

bahwa masyarakat Samin telah bertingkah laku secara normal dan mengambil

bagian dalam program pemerintah. Padahal sesuai dengan ajaran dasar

Saminisme, mereka akan selalu melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang

tidak adil dan semena-mena.

Gambaran-gambaran historis yang ada telah menimbulkan banyak

pertanyaan-pertanyaan, antara lain; bagaimana budaya politik masyarakat Samin

pada saat ini terkait dengan latar belakang sejarah dan latar belakang budaya yang

melekat pada mereka ? lalu apakah perilaku politik masyarakat Samin saat ini

juga dipengaruhi oleh faktor sejarah dan budaya tersebut ? dan masih adakah

partisipasi politik dalam bentuk civil disobedience atau pembangkangan warga

yang dilakukan oleh masyarakat Samin setelah masa kemerdekaan ? serta

pertanyaan lainnya adalah apakah ajaran-ajaran Saminisme memberi pengaruh

dalam budaya dan perilaku politik masyarakat Samin saat ini ?


53

Studi - Studi Terdahulu

Untuk menambah ketajaman penelitian, maka penulis merasa perlu

menjadikan penelitian-penelitian terdahulu sebagai referensi dalam upaya

mencapai tujuan penelitian secara baik. Penelitian-penelitian terdahulu yang

dijadikan referensi adalah penelitian-penelitian yang membahas mengenai

perlawanan politik masyarakat petani, serta dalam kajiannya terfokus pada budaya

politik dan atau perilaku politik.

Setelah melakukan penelusuran ada beberapa penelitian terdahulu yang

sesuai untuk dijadikan referensi bagi penelitian ini, penelitian-penelitian tersebut

yaitu penelitian James C. Scott yang dituliskan dalam buku Weapons of the Weak

: Everyday Forms of Peasant Resistence terbit tahun 1985 dan diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh Zainuddin Rahman, Sajogjo dan Mien Joobhaar

pada tahun 2000 dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Penelitian ini

merupakan penelitian perilaku politik dan kehidupan keseharian masyarakat

petani yang ada di Kampung Sedaka Malaysia. Scott dalam penelitiannya

menggunakan pendekatan etnografi yang berusaha mendeskripsikan pola-pola

perlawanan petani dalam bentuk-bentuknya yang sederhana terhadap para pemilik

modal dan juga terhadap negara. Scott juga memaparkan kondisi sosial ekonomi

masyarakat Sedaka dengan merinci tingkat kepemilikan lahan dan pola hubungan

antara petani pemilik lahan dan petani penggarap.

Dalam penelitiannya Scott menemukan bahwa para petani di Sedaka

melakukan perlawanan politik terhadap kekuasaan dari pemegang modal dan

negara melalui cara-cara yang terselubung dan dalam bentuk perlawanan pasif
54

yang sifatnya berusaha mempersulit pemegang kekuasaan. Sebagai contoh Scott

memberi gambaran mengenai perlawanan petani Sedaka terhadap kebijakan

modernisasi yang dilakukan pemerintah. Rakyat sedaka membangun gerbang desa

yang berguna untuk menghalangi datangnya truk dan juga traktor, begitu pula

dengan kebijakan-kebijakan untuk mengubah lahan pertanian juga dilawan oleh

petani dengan perlawanan yang tidak langsung atau secara terselubung.

Perlawanan politik para petani menurut pengamatan Scott juga muncul

dalam percakapan sehari-hari mereka, yang menciptakan istilah-istilah yang

berkonotasi negatif terhadap kekuasaan, seperti istilah kedekut (kikir) untuk

orang-orang yang berkuasa tetapi tidak memiliki kepedulian pada para petani.

Penelitian yang sama-sama menggunakan pendekatan etnografi juga

dilakukan oleh Anna Lowenhaupt Tsing yang melakukan kajian sosial politik

terhadap masyarakat Dayak Meratus di Pegunungan Meratus di Kalimantan

Selatan. Laporan penelitian ini didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Di

Bawah Bayang-Bayang ratu Intan : Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat

terasing. Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1998.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan etnografi, beberapa temuan

menarik dari penelitian etnografis ini adalah mengenai pola perubahan sosial

politik yang terjadi pada masyarakat terasing di Meratus. Seiring dengan

perkembangan pembangunan di Kalimantan Selatan masyarakat Meratus terus

terdesak, pembangunan perkebunan-perkebunan pemerintah yang dimulai dengan

penanaman karet pada masa pemerintahan Belanda sampai pada masa orde baru

telah mendesak masyarakat Meratus. Tetapi dalam prosesnya masyarakat


55

Meratus juga melakukan interaksi politik dengan pihak luar termasuk dengan

pemerintah. Meski pada masa pemerintahan Belanda masyarakat Meratus sama

sekali tidak mendapatkan pendidikan tetapi dalam kesadaran mereka mereka

mengetahui bahwa Belanda bukanlah pihak yang menguntungkan, hingga mereka

melakukan perlawanan ketika dipaksa untuk ikut berkebun karet mereka menolak,

begitupun saat masa Orde Lama dan Orde Baru mereka melakukan perlawanan

dengan mengabaikan anjuran-anjuran pemerintah termasuk di dalamnya anjuran

program keluarga berencana (KB).

Dalam partisipasi politik konvensional mereka juga masih cenderung

berusaha menutup diri untuk terlibat dengan kegiatan-kegiatan politik, seperti

pemilihan umum atau upaya membentuk pemerintahan desa. Tetapi perubahan

sosial terjadi seiring dengan perkembangan masyarakat yang dipengaruhi oleh

proses interaksi dengan pihak luar akibat dari berkembangnya sarana transportasi.

Meski demikian, dalam sikap politik mereka, masyarakat Meratus cenderung

merasa terpisah dari sistem politik yang ada. Mereka tetap merasakan

keterasingan meski telah terjadi interaksi dengan berbagai pihak .

Selanjutnya sebuah penelitian mengenai perilaku politik masyarakat desa

di Pantai Utara Jawa dilakukan oleh J.Mardimin dan laporannya ditulis dalam

sebuah buku berjudul Demokrasi Indonesia dan Dinamika Politik Arus Bawah

(2001). Dalam bukunya ini terdapat beberapa laporan penelitian yang secara

umum menggambarkan pengaruh latar belakang budaya dan sejarah serta tipologi

sosiologis masyarakat pesisir dalam membentuk perilaku politik masyarakat

tersebut.
56

Penelitian mengenai orientasi dan perilaku politik dengan pendekatan

sejarah dilakukan oleh Kuntowijoyo. Penelitian Kuntowijoyo ini mengenai

sejarah perlawanan politik masyarakat tradisional di daerah Tegal, Brebes dan

Pekalongan. Penelitian ini tersarikan dalam sebuah artikel berjudul Mitos Politik

Dalam Historiografi Tradisional : Kasus Kaliwungu dan Serat Cebolek yang

dipublikasikan dalam kumpulan tulisan Kuntowijoyo yang berjudul Radikalisasi

Petani diterbitkan oleh Bentang tahun 1994 (cetakan kedua). Penelitian ini

menggunakan dokumentasi-dokumentasi sejarah politik di tiga daerah tersebut

baik yang ditulis oleh rakyat kecil maupun yang ditulis oleh penguasa. Temuan

menarik dalam penelitian ini adalah perlawanan politik masyarakat lokal setempat

yang dengan berani menentang keputusan penguasa terkait dengan pemimpin

yang diangkat penguasa.

Masyarakat lokal di Brebes menggantikan pejabat daerah yang diangkat

pemerintah dan mengangkat seorang tokoh (Kyai Sathori) menjadi pejabat pilihan

mereka. Hal serupa juga terjadi di Tegal, rakyat mengangkat Kyai Abu Suja’i

sebagai pejabat pilihan mereka. Dalam penelitian ini Kuntowijoyo menemukan

hubungan antara faktor agama dan politik. Agama telah menjadi motif yang kuat

bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan politik terhadap penguasa.

Selanjutnya permasalahan agama juga telah menjadi pemicu dari konflik-konflik

vertikal di tiga daerah tersebut.

Kajian yang juga menjadikan masyarakat Samin sebagai sasaran penelitian

telah dilakukan oleh Wisnu Susanto dengan judul Perilaku dan Pandangan Hidup

Orang Samin (tidak dipublikasikan hanya dalam bentuk stensilan buku bahan
57

kuliah di Fakultas Hukum Unair dalam Basis nomor 09-10 tahun 2000). Temuan

yang paling menarik dalam kajian ini adalah temuan yang menyatakan bahwa

sikap dan perilaku masyarakat Samin adalah pembuktian keaslian dan kelokalan

pancasila sekaligus menjadi asal-usul pancasila.

Secara umum penelitian-penelitian terdahulu memiliki persamaan dengan

penelitian ini. Namun juga terdapat perbedaan antara penelitian terdahulu dengan

penelitian ini. Pada umumnya pendekatan heuristik (historis) sangat

mempengaruhi penelitian terdahulu, sedangkan pada penelitian ini sangat

menekankan aspek kekinian. Selanjutnya penelitian-penelitian terdahulu sangat

mengandalkan data dari dokumen sedangkan penelitian ini mengandalkan data

primer dari hasil wawancara dan pengamatan lapangan. Pada sisi lain kekhususan

penelitian ini adalah penggunaan pendekatan etnografi untuk memahami

fenomena politik. Padahal sangat jarang ditemui penelitian dengan pendekatan

etnografi untuk menguraikan fenomena politik.

2.6. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini tentunya membutuhkan kerangka pemikiran untuk

memberikan arah atau orientasi yang jelas dalam penelitian. Kerangka pemikiran

ini merupakan formulasi antara referensi teoritis, fokus penelitian dan tujuan

penelitian. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini akan digambarkan melalui

bagan berikut ini;


58

Bagan 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Masyarakat Samin

Struktur Sosial Konstruksi


ekonomi Budaya

Identitas Sosial, Ekonomi


Dan Politik

Faktor historis Sistem politik


(kesejarahan)

Budaya Politik Perilaku Politik

 Orientasi politik  Sikap politik


masyarakat Samin masyarakat Samin
 Tipe Budaya politik Perubahan sistem terhadap sistem politik
Masyarakat Samin politik nasional  Sikap politik terhadap
 Hubungan antara partai politik
faktor pembentuk  Tipe partisipasi politik
identitas dengan  Faktor-faktor yang
budaya politik mempengaruhi
partisipasi politik

Tipe budaya dan perilaku politik dan faktor yang mempengaruhi

Penelitian ini memiliki sasaran yaitu masyarakat Samin khususnya

yang bermukim di wilayah administratif Kecamatan Randublatung dam

Banjarejo Kabupaten Blora. Masyarakat Samin sebagai bentuk kolektivitas

tentu memiliki identitas seperti dikemukakan oleh Eisenstadt (edisi

Indonesia 1986). Identitas-identitas tersebut antara lain identitas sosial,


59

politik dan juga budaya. Identitas-identitas tersebut tidaklah terbentuk secara

alamiah melainkan karena ada faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain

struktur sosial ekonomi, sistem politik, faktor kesejarahan masyarakat Samin

dan juga tatanan budaya.

Masyarakat Samin secara kultural, politik dan sosial memiliki banyak

keunikan dibanding masyarakat lainnya. Namun, sebagai manusia tentu

masyarakat Samin juga tergolong mahluk sosial dan mahluk politik, karena

dari zaman ke zaman mereka melakukan interaksi dengan sistem politik

yang ada, baik pada masa kolonial maupun pada masa-masa pasca kolonial.

Tentu proses interakasi dengan sistem politik serta struktur politik

memunculkan pola-pola perilaku politik khas masyarakat Samin dan juga

tipe budaya politik.

Penelitian ini berusaha mendeskripsikan hal-hal seputar budaya politik

dan perilaku politik masyarakat Samin. Dalam konteks budaya politik sesuai

dengan landasan teoritis berdasar pendekatan kebudayaan politik Almond

dan Verba penelitian ini berusaha untuk mengetahui orientasi-orientasi

politik masyarakat Samin, yaitu orientasi kognitif, afektif dan juga evaluatif.

Setelah orientasi-orientasi politik ini diketahui barulah dianalisis untuk

mengetahui kecendrungan tipe budaya politik yang dianut oleh masyarakat

Samin. Penelitian ini juga mencoba menguraikan bagaimana faktor-faktor

pembentuk identitas politik masyarakat Samin mempengaruhi budaya politik

mereka. Sedangkan pada wilayah perilaku politik penelitian ini berusaha

mengetahui sikap politik masyarakat Samin. Perlu dijelaskan bahwa antara


60

orientasi politik dan sikap politik terdapat perbedaan. Orientasi berisikan

pengetahuan dan pandangan politik yang masih bersifat umum sedangkan

sikap politik lebih merupakan kecenderungan yang membentuk perilaku

politik (lihat penjelasan Almond dan Verba serta Ramlan Surbakti). Sikap

Politik masyarakat Samin yang ini diketahui meliputi sikap terhadap sistem

politik dan juga terhadap partai politik atau lembaga infrastruktur politik

lainnya. Juga akan diuraikan mengenai bagaimana tipe partisipasi politik

masyarakat Samin.

Pengumpulan data mengenai orientasi dan sikap politik tidak akan

dilepaskan dengan pertautan sejarah politik nasional, yaitu proses perubahan

politik secara nasional. Maka, penggalian data akan dikaitkan dengan urutan

sejarah politik nasional.

Setelah melakukan eksplorasi mendalam mengenai orientasi politik,

sikap politik, pola perilaku dan bentuk partisipasi politik dari waktu ke

waktu pada masyarakat Samin, maka penelitian ini berusaha mengetahui

faktor yang mempengaruhi budaya dan perilaku politik masyarakat Samin.


61

BAB III

METODE DAN ANALISIS DATA

3.1 Metode Penelitian

3.1.1. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah masyarakat Samin di wilayah Dusun

Klopo Duwur Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo dan Dusun Ploso

Wetan Desa Kediren Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora,

Provinsi Jawa Tengah

3.1.2. Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian ditetapkan di Dusun Klopo Duwur

Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo dan Dusun Ploso Wetan Desa

Kediren Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa

Tengah. Ada beberapa alasan dalam pemilihan lokasi penelitian, yaitu :

a. Di wilayah Ploso Wetan dan Klopo Duwur inilah awal mula lahirnya

saminisme, karena di wilayah kecamatan ini merupakan tempat

kelahiran sesepuh masyarakat Samin yaitu Ki Samin Surosentiko dan

dari sinilah Ki Samin mengembangkan ajarannya.

b. Data awal yang terkumpul menunjukkan masih relatif besar jumlah

pengikut ajaran Samin di wilayah kedua desa ini.

c. Data awal menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir ada beberapa

kali tindakan anarkhisme massal yang terjadi di wilayah

Randublatung. Terutama terkait dengan penjarahan hutan jati oleh

penduduk.
62

3.1.3. Fokus Penelitian

Menurut Moleong (1989 : 69) dalam penelitian kualitatif ada dua

maksud dari penetapan fokus penelitian. Pertama, fokus adalah upaya

untuk membatasi studi. Kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk

memenuhi kriteria inklusi-eksklusi suatu informasi yang diperoleh di

lapangan. Hingga dengan arahan dari fokus penelitian, seorang peneliti

dapat mengetahui secara persis mana data yang relevan dengan penelitian

dan mana yang tidak relevan. Kemudian fokus penelitian juga untuk

memberi panduan bagi peneliti selama di lapangan, hingga peneliti tidak

terlalu disulitkan dengan datum-datum yang terlalu banyak hingga akan

mempersulit analisa data. Meski demikian fokus penelitian tidak mengikat

secara mutlak peneliti, karena fokus penelitian bersifat tentatif atau

sementara (Moleong, 1989 : 70)

Penelitian ini juga menyusun fokus penelitian, untuk

mempermudah peneliti di lapangan serta untuk membatasi studi dalam

penelitian ini. Adapun fokus dalam penelitian ini adalah

1. Untuk melihat tipe budaya politik masyarakat pengikut Saminisme,

maka yang dijadikan ukuran adalah orientasi politik masyarakat

pengikut Saminisme, yang meliputi; orientasi kognitif, orientasi afektif

dan orientasi evaluatif.

2. Orientasi kognitif dalam penelitian ini dilihat dari pengetahuan dan

pandangan pengikut saminisme terhadap dasar negara (pancasila),


63

kewilayahan Indonesia dan sejarah nasional Indonesia (peristiwa

sejarah) serta sistem pemilihan umum langsung.

3. Orientasi afektif dalam penelitian ini dilihat dari perasaan yang bersifat

subyektif dari pengikut saminisme terhadap sistem politik yang ada saat

ini, dan perasaan mereka terhadap kinerja dan juga kebijakan-kebijakan

yang dibuat oleh sistem politik yang ada saat penelitian dilakukan,

yaitu kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

4. Orientasi evaluatif dalam penelitian ini dilihat dari bentuk keputusan

dan perasaan dari pengikut saminisme terhadap sistem politik berdasar

pengetahuan dan nilai-nilai yang mereka miliki. Seperti keinginan

untuk menyampaikan pendapat (input) terhadap sistem politik atau

terlibat dalam upaya-upaya memperbaiki keadaan hidup.

5. Perilaku politik dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam partisipasi

politik pengikut saminisme pada pemilihan umum tahun 2004 dan

pemilihan kepala daerah secara langsung di Kabupaten Blora tahun

2005 serta aktivitas-aktivitas pengiksut saminisme dalam upaya

menyampaikan aspirasi politik terhadap sistem politik.

6. Pengikut saminisme dalam penelitian ini adalah individu-individu di

lokasi penelitian yang masih mengakui keberadaan ajaran saminisme

dan menjadikannya salah satu referensi dalam kehidupan sehari-hari.

3.1.4. Metode Penelitian

Penelitian ini berdasarkan pada permasalahan-permasalahan yang

ingin dipecahkan serta dilihat dari fokus penelitian, maka penelitian ini
64

merupakan penelitian dengan metode kualitatif. Metode kualitatif menurut

Miles dan Huberman (1992 : 15) selalu menghasilkan data dalam bentuk

kata dan bukan rangkaian angka. Data dapat dikumpulkan dalam beragam

cara seperti, observasi, wawancara dan intisari dokumen. Sedangkan

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1989 : 3) mendefinisikan penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis dan atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.

3.1.5. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini berdasarkan pada permasalahan-permasalahan yang

ingin dipecahkan serta dilihat dari fokus penelitian, maka penelitian ini

merupakan penelitian dengen metode kualitatif. Selanjutnya

pendekatannya menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi menurut

Spradley (1997:9) merupakan pendekatan yang berusaha menyelami

secara lebih dalam makna di balik fenomena sosial. Spradley juga

menyebutkan bahwa Etnografi adalah pekerjaan penelitian untuk

mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utamanya adalah untuk

memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli.

Maka etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat tetapi belajar dari

masyarakat.(Spradley, 1997: 3).

Etnografi dapat digunakan untuk melihat berbagai perspektif dalam

masyarakat terkait dengan fenomena sosial dan politik. Etnografi akan

tepat digunakan untuk memahami masyarakat yang kompleks. (Spradley,


65

1997:15). Mengingat tingkat kompleksitas penelitian ini maka tepat bila

pendakatan penelitian yang digunakan adalah etnografi.

3.1.6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan tiga macam

teknik, yaitu :

1. Wawancara mendalam (in-depth interview)

Teknik wawancara mendalam dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan terbuka dan dilakukan secara lentur dan longgar, agar dapat

menggali dan menangkap kejujuran informan dalam memberikan

informasi.

2. Observasi

Observasi dilakukan guna memperoleh data dan informasi mengenai

perilaku dan partisipasi politik masyarakat Samin, di samping itu

observasi juga dimaksudkan untuk mengamati dan mencermati

perisitiwa keseharian masyarakat Samin yang masih memiliki

keterkaitan dengan ajaran Saminisme.

3. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data dari

dokumen, arsip dan berbagai laporan mengenai aktivitas politik

masyarakat Samin dan juga catatan sejarah perlawanan politik

masyarakat Samin serta ajaran-ajaran politik masyarakat Samin.


66

3.1.7. Sumber Data

Spradley menyebutkan (1997 : 35) menyebutkan bahwa dalam

penelitian etnografi sumber data utama adalah berupa kata-kata, dan

tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

Terkait dengan hal tersebut sumber data dalam penelitian ini adalah :

a. Kata-kata dari informan kunci

b. Perisitiwa dan kejadian yang terjadi selama penelitian berlangsung dan

memiliki keterkaitan dengan fokus penelitian.

c. Dokumen-dokumen yang memiliki kesesuaian dengan fokus

penelitian.

3.1.8. Teknik Pemilihan Informan

Informan awal dipilih secara purposive atas dasar pemilihan pada

subyek yang menguasai pemasalahan yang berkaitan dengan judul,

permasalahan maupun fokus penelitian. Informan selanjutnya, didasarkan

atas snowball sampling. Informan terakhir didasarkan pada tingkat

kejenuhan dari informasi, yaitu ketika sudah tidak ada lagi variasi

informasi yang diberikan oleh informan.

Informan awal dalam penelitian ini direncanakan adalah :

1. Cucu dari Samin Surosentiko yang sampai saat ini masih hidup, yaitu

Mbah Randim.

2. Perangkat Desa di lokasi penelitian

3. Tokoh sesepuh masyarakat pengikut Saminisme


67

3.1.9. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis dilakukan baik ketika di lapangan

maupun setelah data dikumpulkan. Data yang akan dikumpulkan,

kemudian diolah agar sistematis. Pengolahan dimulai dari menuliskan,

wawancara, hasil observasi, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi,

menyajikan data dan menyimpulkan data. Proses analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan

oleh Miles dan Huberman (1984) yang lebih dikenal dengan model

analisis interaktif. Model analisis ini adalah melalui proses berikut : data

yang terkumpul direduksi berupa pokok-pokok temuan penelitian yang

relevan dengan bahan penulisan, dan selanjutnya disajikan secara naratif.

Reduksi dan penyajian data adalah dua komponen analisis yang dilakukan

bersamaan dengan proses pengumpulan data. Proses selanjutnya adalah

penarikan kesimpulan, yakni dilakukan setelah proses pengumpulan data,

disajikan, dideskripsikan dan kemudian diberi pemaknaan dengan

interpretasi logis. Dengan cara ini sasaran akhir analisis adalah

memperoleh sejumlah pemahaman terhadap budaya politik dan perilaku

politik masyarakat Samin.

Analisis data akan merupakan suatu uraian logis. Di samping data

yang bersifat kualitatif yang berupa pandangan-pandangan tertentu

terhadap realitas sosial politik masyarakat Samin, juga digunakan data

kuantitatif berupa angka-angka dan persentase hubungan antara data yang

berkaitan dengan pokok bahasan. Dengan demikian akan diperoleh suatu


68

hubungan penyilangan yang dapat memberikan penjelasan tentang budaya

dan perilaku politik.

Ketiga komponen dalam model analisis interaktif ini sangat

penting untuk diperhatikan oleh peneliti, yaitu ; 1) Reduksi data (data

reduction), 2) penyajian data (data display), dan 3) menarik

kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman 1992 ; 15-21).

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilhan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data

“kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Sebagaimana kita ketahui, reduksi data, berlangsung terus-menerus selama

proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung. Sebenarnya bahkan

sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya reduksi data

sudah tampak waktu penelitinya memutuskan (acapkali tanpa disadari

sepenuhnya) kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan

penelitian, dan pendekatan pengumpulan data yang mana yang dipilihnya.

Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi

selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat

gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo). Reduksi data/proses

transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai

laporan akhir lengkap tersusun.

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia

merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian

data mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang

meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa yang sedang


69

berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi

data merupakan seuatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-

kesimpulan finalnya dapat ditarik dan verifikasi.

Secara sederhana dapat dijelaskan : dengan “reduksi data” kita

perlu mengartikannya sebagai kuantifikasi. Data kualitatif dapat

disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara: Melalui

seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat,

menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas, dan sebagainya.

Kadangkala dapat juga mengubah data ke dalam angka-angka atau bagan

atau juga grafik.

2. Penyajian Data

Alur penting yang kedua dari analisis adalah penyajian data.

Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif pada masa

yang lalu adalah bentuk teks naratif. Manusia tidak cukup mampu sebagai

pemroses informasi yang besar jumlahnya ; kecendrungan kognitifnya

adalah menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan

bentuk (Gestalt) yang disederhanakan dan selektif atau konfigurasi yang

mudah dipahami.

Teks naratif, dalam hal ini melebihi beban kemampuan manusia

dalam memproses informasi (Faust, 1982) dalam (Miles dan Huberman,

1992 : 17) dan menggerogoti kecendrungan mereka untuk menemukan

pola-pola yang sederhana.


70

Penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang

utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian. Jenis-jenis penyajian

tersebut antara lain; jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya

dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu

bentuk yang padu dan mudah diraih, dengan demikian seorang

penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan

apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah

melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan oleh penyajian

sebagai sesuatu yang mungkin berguna.

Penciptaan dan penggunaan penyajian data tidaklah terpisah dari

analisis. Ia merupakan bagian dari analisis. Merancang deretan dan kolom

sebuah matriks untuk data kualitatif dan memutuskan jenis dan bentuk

data yang harus dimasukkan ke dalam kotak-kotak matriks merupakan

kegiatan analitis.

3. Menarik Kesimpulam / Verifikasi

Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan

dan verifikasi dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis

kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola,

penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan

proposisi. Peneliti yang berkompoten akan menangani kesimpulan-

kesimpulan itu dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi

kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas, namun dengan

meminjam istilah klasik dari Glaser dan Strauss (1967) dalam (Miles dan

Huberman 1992:19) kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan

mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan “final” mungkin tidak


71

muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya

kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan

metode pencarian ulang yang digunakan, kecakapan peneliti, dan tuntutan-

tuntutan pemberi dana, tetapi seringkali kesimpulan itu telah dirumuskan

sebelumnya sejak awal, sekalipun seorang peneliti menyatakan telah

melanjutkannnya “secara induktif”.

Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari

konfigurasi yang muncul. Kesmipulan-kesimpulan juga diverifikasi

selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran

kembali yang melintas dalam pikiran penganalisis selama ia menulis, suatu

tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, atau mungkin menjadi

begitu seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali serta tukar

pikiran diantara teman sejawat untuk mengembangkan “kesekapatan

intersubyektif”, atau juga upaya-upaya yang luas untuk menempatkan

salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya,

makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,

kekokohannya dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.

Jika tidak demikian, yang kita miliki adalah cita-cita yang menarik

mengenai sesuatu yang terjadi dan yang tidak jelas kebenarannya dan

kegunaannya.

Aktivitas ketiga komponen tersebut berinteraksi sampai diperoleh

kesimpulan yang benar. Apabila kesimpulan kurang memadai, maka

diperlukan kegiatan pengujian ulang, yaitu dengan cara mencari data lagi

di lapangan dan mencoba menginterpretasikannya dengan fokus yang

lebih terarah. Dengan demikian aktivitas analisis dengan pengumpulan


72

data, dan merupakan proses siklus sampai penelitian selesai. Adapun

proses sebagaimana diuraikan di atas, apabila digambarkan adalah

sebagaimana tersaji dalam gambar berikut :

Bagan 1. Model Analisis Interaktif

Pengumpulan Data

Sajian Data

Reduksi Data
Kesimpulan-
Kesimpulan

Sumber : Miles and Huberman (1984)

3.1.10. Keabsahan Data

Setiap penelitian memerlukan standar untuk melihat derajat kepercayaan

atau kebenaran terhadap hasil penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif,

standar tersebut disebut keabsahan data. Adapun upaya-upaya yang ditempuh

dalam penelitian ini untuk mengupayakan keabsahan data adalah melalui

triangulasi data dan sumber.

Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan

atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dengan sumber berarti

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi

yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
73

Menurut Patton dalam Moleong (1990:178), untuk mencapai hal

tersebut, dapat dicapai dengan jalan :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa

yang dikatakannya secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang

berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada dan orang

pemerintah.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi situasi dokumen yang

berarti.
74

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Hasil Penelitian

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yaitu dua dusun. Satu dusun

berada di wilayah Desa Klopo Duwur Kecamatan Banjarejo, satu dusun lagi

berada di wilayah Desa Kediren Kecamatan Randublatung. Semuanya

berada dalam wilayah Kabupaten Blora. Dusun yang ada di Desa Klopo

Duwur yang dijadikan lokasi penelitian adalah Dusun Klopo Duwur,

sedangkan dusun di Desa Kediren yang dijadikan lokasi penelitian adalah

Dusun Ploso Wetan.

Pemilihan kedua dusun tersebut dikarenakan di kedua dusun

tersebutlah Saminisme sebagai nilai-nilai masih melekat dalam masyarakat.

Di samping itu, dari data awal penelitian ditemukan data bahwa di Dusun

Ploso Wetan ini terdapat lokasi bekas rumah Samin Surosentiko, sampai saat

ini tanah tersebut masih ada dan tidak berani didirikan rumah di atasnya

walaupun oleh keturunannya2 (lihat foto-foto lokasi tanah dalam lampiran).

Kemudian di Dusun Klopo Duwur ajaran Saminisme berkembang yang

disebarluaskan oleh Pak Engkrek dan Samin Surosentiko3.

Kedua lokasi penelitian ini berada dalam wilayah Kabupaten Blora.

Kabupaten Blora adalah Kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan daerah

perbatasan antara Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur (lihat peta

Kabupaten Blora dalam peta Jawa Tengah di Lampiran). Secara geografis


75

Kabupaten Blora terletak di antara 111º 16’ s.d. 111º 338’ Bujur Timur dan

diantara 6º 528’ s.d. 7º 248’ Lintang Selatan. Kemudian Kabupaten Blora

secara administratif berbatasan dengan beberapa kabupaten, meliputi;

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Rembang – Jateng

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro – Jatim

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Ngawi – Jatim

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Grobogan – Jateng4

Kecamatan Banjarejo adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten

Blora dengan luas wilayah 103,52 KM² dengan ketinggian rata-rata antara

75 hingga 181 mdpl5. Di Kecamatan Banjarejo inilah Desa Klopo Duwur

berada. Jarak pusat Kecamatan Banjarejo ke ibukota kabupaten sejauh 10

KM, kemudian batas-batas administrasi Kecamatan Banjarejo adalah

sebagai berikut;

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Tunjungan, Kab.Blora

Sebelah Timur : Berbatasan dengan dan Kecamatan Jepon, Kab. Blora

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Randublatung, Kab. Blora

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Ngawen, Kab. Blora6

Secara administratif di Banjarejo terdapat 20 Desa dengan jumlah penduduk

sebanyak 55.448 jiwa, berikut desa-desa yang ada di Kecamatan Banjarejo

beserta jumlah penduduk di masing-masing desa.


76

Tabel 2 Kelurahan/Desa yang ada di wilayah Kecamatan Banjarejo beserta


jumlah penduduk berdasar jenis kelamin
Desa/Kelurahan Penduduk Pria Penduduk Wanita Jumlah
1. Jatisari 492 507 999
2. Jatiklampok 338 344 682
3. Sidomulyo 2682 2650 5332
4. Balongsari 1270 1275 2545
5. Bacem 2092 2091 4183
6. Wonosemi 1014 995 2009
7. Sendanggayam 848 838 1686
8. Banajarejo 2342 2389 4731
9. Mojowetan 1764 1823 3587
10. Sumberagung 2518 2316 4834
11. Klopoduwur 2165 2241 4406
12. Gedongsari 1372 1412 2784
13. Sendangwungu 1339 1475 2814
14. Balongrejo 624 667 1291
15. Karangtalun 980 1005 1985
16. Kebonrejo 1272 1279 2551
17. Sembongin 919 911 1830
18. Kembang 599 609 1208
19. Plosorejo 753 780 1533
20. Buluroto 2198 2260 4458
Jumlah 27.581 27.854 55.448
Sumber : Banjarejo Dalam Angka Tahun 2003

Kecamatan Randublatung memiliki luas wilayah sebesar 1.820,59

KM² dan memliki 16 kecamatan, dua diantaranya adalah Kecamatan

Randublatung dan Kecamatan Banjarejo.

Kecamatan Randublatung adalah kecamatan dengan wilayah terluas

di wilayah Kabupaten Blora, yaitu seluas 211,13 KM². Randublatung secara

adminstratif memiliki batas wilayah sebagai berikut;


77

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Banjarejo, Kab. Blora


Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Jepon, Kab. Blora
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Kradenan, Kab. Blora
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Jati, Kab. Blora.
Jarak dari ibukota Kabupaten Blora ke Randublatung sejauh 30 KM dengan

waktu tempuh 1 jam. Kecamatan Randublatung memiliki 18 kelurahan/desa.

Berikut data kelurahan/desa yang ada di wilayah Randublatung beserta

jumlah penduduk berdasar perbandingan jenis kelamin.

Tabel 3. Kelurahan/Desa di wilayah Kecamatan Randublatung beserta perincian


jumlah penduduk
No Desa/Kelurahan Penduduk Pria Penduduk Wanita Jumlah

1. Tlogotuwung 571 670 1241


2. Bodeh 767 748 1515
3. Gembyungan 968 965 1933
4. Sambowangan 1952 2049 4001
5. Randublatung 2974 3177 6151
6. Pilang 3162 3302 6464
7. Temulus 1760 1721 3481
8. Sumberejo 2384 2452 4836
9. Kutukan 4192 4111 8303
10. Kalisari 1264 1274 2538
11. Kediren 2445 2283 4728
12. Wulung 3565 3588 7153
13. Kadengan 1742 1737 3479
14. Bekutuk 1372 1547 2919
15. Plosorejo 2098 2034 4132
16. Jeruk 1052 1034
2086
17. Tanggel 2431 2428 2859
18. Ngliron 1270 1283 2553
Jumlah 35.964 36.403 73.372
Sumber : Randublatung Dalam Angka Tahun 2003
78

A.1. Desa Klopo Duwur

Desa Klopo Duwur adalah salah satu desa yang ada dalam wilayah

Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora. Desa Klopo Duwur berjarak sekitar 4

kilometer dari pusat kecamatan Banjarejo, sedangkan dari pusat kecamatan

Randublatung berjarak 30 kilometer yang bisa ditempuh dengan waktu 1 jam

perjalanan menggunakan bus. Bila diukur dari Desa Kediren jarak kedua desa ini

sekitar 27 kilometer, namun kedua desa ini berada dalam kecamatan yang

berbeda.

Untuk mencapai Desa Klopo Duwur dari arah Blora (ibukota kabupaten)

dapat ditempuh dengan menggunakan bus jurusan Blora-Randublatung kemudian

turun di Desa Klopo Duwur, yang berjarak sekitar 10 kilometer saja dari Blora,

selain itu bisa pula menggunakan angkutan pedesaan jurusan Blora-Banjarejo

kemudian turun di perempatan SLTPN 3 Blora dan perjalanan dilanjutkan dengan

menggunakan jasa ojek.

Kondisi jalan Randublatung - Klopo Duwur merupakan jalan aspal yang

mulai rusak dengan medan yang berbukit dan di pinggiran jalan dipenuhi oleh

tanaman jati. Namun bila kita menuju Klopo Duwur dari arah Blora jalan relatif

datar dengan aspal yang lebih baik bila dibandingkan dengan jalan Randublatung-

Klopo Duwur.

Di Desa Klopo Duwur terdapat 6 pedukuhan yang masing-masing dipimpin

oleh seorang kami tuwo, berikut ini nama pedukuhan dan kami tuwo yang

memimpin masing-masing pedukuhan;


79

1. Wot Rangkul dengan kami tuwo Pardjo

2. Klopo Duwur dengan kami tuwo Kartono

3. Semengkoh dengan kami tuwo Sirin

4. Saleh dengan kami tuwo Rusman

5. Mbandong Kidul dengan kami tuwo Giwan

6. Mbandong Geneng dengan kami tuwo Wiji Sunarto7

Di tingkat desa, Klopo Duwur dipimpin oleh kepala desa bernama Setyo Agus

Widodo yang telah menjabat sebagai lurah sejak tahun 1998 hingga saat ini atau

sekitar tujuh tahun. Sebelum Setyo Agus Widodo kepala desa Klopo Duwur

dijabat oleh masing-masing sebagai berikut :

1. Sarbini lurah pada tahun 1947 s.d. 1949

2. Karyo lurah pada tahun 1949 s.d. 1989

3. Hartono lurah pada tahun 1989 s.d. 1997

4. Setyo Agus lurah pada tahun 1998 s.d. sekarang8

Secara administratif Desa Klopo Duwur berbatasan dengan tiga desa dan

hutan negara, berikut perincian mengenai batas Desa Klopo Duwur:

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gedong Sari

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sumberagung

Sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan negara

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Blora kota

Desa Klopo Duwur memiliki luas wilayah 687,705 Ha dengan ketinggian 162

Mdpl. Berikut alokasi penggunaan lahan di Desa Klopo Duwur,


80

Tabel 4 Alokasi penggunaan lahan di Desa Klopo Duwur tahun 2002


No Jenis Penggunaan Lahan Jumlah dalam Ha
1 Perumahan dan pekarangan 104,297
2 Sawah pengairan sederhana 122,703
3 Pertanian tanah kering 200,000
4 Hutan Negara 257,705
5 Lain-lain 3,000
Jumlah 687,705
Sumber : Kecamatan Banjarejo dalam Angka Tahun 2002

A.1.1. Dusun Klopo Duwur


Pedukuhan Klopo Duwur berada di pusat desa, masjid, balai desa

dan kantor pos desa berada di wilayah Dusun Klopo Duwur. Klopo Duwur

dipimpin oleh seorang kami tuwo bernama Kartono dan dibantu oleh

seorang kebayan bernama Hadi Samidjan.

Bila dilihat dari peta desa Dusun Klopo Duwur berada di tengah-

tengah desa, jalan kabupaten yang menghubungkan antara Kecamatan

Randublatung dengan ibukota Kabupaten Blora melalui wilayah dukuh

Klopo Duwur. Pengikut saminisme menurut pak Suradi (Sekdes Klopo

Duwur) paling banyak di wilayah Dusun Klopo Duwur terutama di daerah

grumbul karang pace yang berada di sebelah Selatan pusat desa, dan

berdekatan dengan lokasi pasar kayu milik perhutani.

Data monografi Desa Klopo Duwur sama sekali tidak dapat

ditlusuri, menurut pengakuan staf bidang pemerintahan Bapak Sutarno,

monografi desa dalam bentuk tertulis telah dipinjam oleh seorang

mahasiswa dari IAIN Walisongo Semarang dan sampai penelitian ini


81

dilakukan belum dikembalikan. Karena hal tersebutlah peneliti kesulitan

mengumpulkan data geografis dan juga data kependudukan mengenai

Dusun Klopo Duwur. Namun demikian batas wilayah dusun Klopo Duwur

masih dapat terlacak melalui peta desa, berikut batas wilayah Dusun Klopo

Duwur;

Sebelah Utara berbatasan dengan Dusun Mbandong Kidul

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sumberagung

Sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun Wot Rangkul

Sebelah Timur berbatasan dengan Dusun Semengkoh

Menurut kami tuwo Klopo Duwur, Bapak Kartono bahwa di wilayah

pedukuhannya ajaran Saminisme tetaplah sesuatu yang dipegang masyarakat

secara kuat. Meski demikian bukan berarti mereka menolak secara penuh segala

sesuatu yang datang dari luar. Mereka berusaha menyesuaikan keadaan tetapi

tidak ingin merusak adat dan keyakinan.

A.2. Desa Kediren

Desa Kediren termasuk di dalam wilayah Kecamatan Randublatung, jarak

dari pusat kecamatan ke Desa Kediren sekitar 3 kilometer yang bisa ditempuh

dengan menggunakan jasa ojek sepeda motor atau becak atau juga dapat ditempuh

dengan berjalan kaki. Kediren berada di sebelah Timur Laut dari pusat kecamatan

Randublatung. Bila menggunakan bus dapat melalui dua jalur. Jalur pertama

menggunakan bus jurusan Cepu lalu berhenti di perempatan Ploso, perempatan ini

berada kurang lebih 1,5 KM arah Timur pasar Randublatung, kemudian

perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke arah utara kurang lebih 1 KM.
82

Sepanjang perjalanan menuju pusat Desa Kediren kita bisa menjumpai areal

persawahan yang pada musim kemarau berubah menjadi ladang yang ditanami

jagung (lihat lampiran foto). Setelah melalui perjalanan akan dijumpai kompleks

sekolah dasar Kediren, di sebelah Barat kompleks sekolah dasar tersebut terdapat

balai Desa Kediren. Jalur kedua adalah menggunakan bus jurusan Randublatung-

Blora, lalu berhenti di depan SMU Negeri 1 Randublatung, lalu perjalanan

dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 1,5 KM ke arah Timur

menuju pusat desa.

Perjalanan melalui jalur pertama dari jalan raya Randublatung-Cepu, jalan

desa menuju balai desa berupa jalan tanah berbatu dengan lebar sekitar dua meter,

sedangkan bila melalui jalur kedua yaitu jalur jalan Randublatung – Blora, maka

jalan desa yang dilalui berupa jalan beraspal kasar yang keadaannya sebagian

besar rusak dan berlubang. Desa Kediren secara geografis berada pada ketinggian

± 52 Dpl dengan suhu maksimum 35°C dan suhu minimum 26°C 9. Kemudian bila

dilihat dari batas administratif Desa Kediren berbatasan dengan lima desa secara

langsung, meliputi :

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kalisari

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wulung

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pilang

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kutukan dan Sumberejo

Desa Kediren memiliki tujuh dusun, yaitu :

1. Dusun Ploso Kulon

2. Dusun Ploso Wetan


83

3. Dusun Dong Jambu

4. Dusun Kediren

5. Dusun Tengklik

6. Dusun Dong Glonggong

7. Dusun Sendang Rejo

Masing-masing dusun tersebut dipimpin oleh seorang kami tuwo atau kepala

dusun, dalam masyarakat para kami tuwo ini dikenal dengan panggilan pak wo

yang dalam tugas kesehariannya dibantu oleh seorang kebayan atau dikenal

masyarakat dengan sebutan bayan. Berikut ini nama-nama kami tuwo di wilayah

Desa Kediren ;

1. Kami tuwo Ploso Kulon : Slamet Widodo berusia 38 tahun

2. Kami tuwo Ploso wetan : Supatno berusia 39 tahun

3. Kami tuwo Dong Jambu : Mijo berusia 62 tahun

4. Kami tuwo Kediren : Sampai saat ini belum ada Kami tuwo

5. Kami tuwo Tengklik : Yahwan berusia 50 tahun

6. Kami tuwo Dong Glonggong : Ali Imron berusia (data tidak ada)

7. Kami tuwo Sendang Rejo : Prayitno berusia 48 tahun

sedangkan di tingkat desa, kepala desa awalnya diduduki oleh Didik WS, namun

pada saat penelitian dilakukan kepala desa bersangkutan tengah mengalami

skorsing dari pemerintah kabupaten, karena kasus penyalahgunaan keuangan desa

dan masalah dengan warga terkait pembuatan akta tanah.10 Selanjutnya tugas

kepala desa dijalankan oleh Hartono B.A. yang sebelumnya menjabat sebagai

sekretaris desa, yang kini berkedudukan sebagai pelaksana tugas kepala desa (Plt).
84

Dalam tugas keseharian kepala desa dibantu oleh lima orang kepala urusan, para

kepala urusan tersebut sebagai berikut :

Kepala urusan pemerintahan dijabat : Kustam

Kepala urusan pembangunan dijabat : Sri Basuwono

Kepala urusan keuangan dijabat : Sukidjo

Kepala urusan umum dijabat : Asa Mulya

Kepala urusan kesejahteraan sosial dijabat : Mudjito

Selanjutnya bila dilihat dari luas wilayah,maka Desa Kediren memiliki luas

1.042,877 Ha dengan alokasi lahan sebagai berikut

Tabel 5 Alokasi penggunaan lahan Desa Kediren tahun 2005


No Jenis Penggunaan Lahan Jumlah dalam Ha
1 Perumahan dan pekarangan 77,396
2 Sawah pengairan sederhana 301,178
3 Pertanian tanah kering 43,773
4 Hutan Negara 595,500
5 Lain-lain 25,030
Jumlah 1.042,877
Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Kediren tahun 2005

Setengah dari wilayah Desa Kediren adalah areal hutan negara yang dikelolah

oleh Perhutani. Sawah penduduk dan pertanian tanah kering luas lahannya bersifat

tentatif, karena sawah dengan pengairan sederhana pada musim kemarau akan

berubah menjadi ladang atau pertanian tanah kering.

Bila dibandingkan dengan alokasi penggunaan lahan pada tahun 1996

terdapat pergeseran penggunaan lahan terutama pada lahan sawah pengairan

sederhana, berikut tabel alokasi penggunaan lahan pada tahun 1996.

Tabel 6. Alokasi penggunaan lahan Desa Kediren tahun 1996


85

No Jenis Penggunaan Lahan Jumlah dalam Ha


1 Perumahan dan pekarangan 59,274
2 Sawah pengairan sederhana 321,178
3 Pertanian tanah kering 47,773
4 Hutan Negara 595,500
5 Lain-lain 19,152
Jumlah 1.042,877
Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Kediren tahun 1996

Perhatikan tabel berikut untuk melihat perubahan pengalokasian lahan

Tabel 7 Perbandingan Alokasi Lahan Desa Kediren Antara Tahun 1996 dan 2005
No Jenis Penggunaan 1996 2005
Lahan
Jumlah (Ha) % Jumlah (Ha) %
1 Perumahan dan 59,274 5,7 77,396 7,4
pekarangan
2 Sawah pengairan 321,178 30,8 301,178 28,9
sederhana
3 Pertanian tanah 47,773 4,6 43,773 4,2
kering
4 Hutan Negara 595,500 57,1 595,500 57,1
5 Lain-lain 19,152 1,8 25,030 2,4
Sumber : Daftar Isian Desa Kediren Tahun 1996 dan 2005 dan perhitungan
peneliti
Berikut tabel selisih alokasi penggunaan lahan di Desa Kediren pada tahun 1996
dan 2005
Tabel 8. Selisih alokasi penggunaan lahan di Desa Kediren tahun 1996 dan 2005
No Jenis Penggunaan Lahan Selisih Antara 1996 dan 2000
Jumlah lahan (Ha) %
1 Perumahan dan pekarangan + 18,122 + 1,7
2 Sawah pengairan sederhana - 20,122 - 1,9
3 Pertanian tanah kering - 4,000 - 0,4
4 Hutan Negara 0 0
5 Lain-lain + 6,122 + 0,6
Sumber : Perhitungan peneliti berdasar data isian potensi Desa Kediren

Perubahan alokasi penggunaan lahan terbesar terjadi pada sawah pengairan

sederhana yang berkurang 20.122 Ha dari tahun 1996 dan peningkatan


86

penggunaan lahan terjadi pada jenis penggunaan untuk perumahan dan

pekarangan. Selanjutnya pada penggunaan lahan untuk pertanian tanah kering

berkurang sebanyak 4.000 Ha atau sekitar 0,4 %, penggunaan lahan untuk

kebutuhan lain-lain seperti jalan, pemakamam umum dan sebagainya meningkat

sebanyak 6.122 Ha.

Fasilitas umum yang tersedia di Desa Kediren antara lain sebuah taman

kanak-kanak dan tiga sekolah dasar, bangunan sekolah tersebut berada dalam satu

kompleks dan penggunaannya saling bergantian (Lihat lampiran foto). Dari daftar

isian potensi desa tahun 2005 dapat pula diketahui Desa Kediren memiliki jalan

desa beraspal sepanjang dua kilometer, namun dari pengamatan langsung di

lapangan kondisi jalan dapat dikatakan rusak, karena sebagian besar berlubang

dan aspal sudah mulai menghilang. Desa Kediren juga memiliki jalan tanah

berbatu sepanjang 1,5 kilometer serta sebuah jembatan beton. Fasilitas lainnya

berupa enam buah posyandu, namun posyandu tersebut tidaklah memiliki tempat

khusus yang permanen melainkan berupa rumah penduduk yang dipakai secara

bergantian pada hari tertentu, yaitu hari sabtu.

A.2.1. Dusun Ploso Wetan

Lokasi utama penelitian ini adalah di salah satu dusun yang ada di

Wilayah Desa Kediren yaitu Dusun Ploso Wetan. Pusat pemerintahan

Desa Kediren berada di wilayah perbatasan antara Dusun Ploso Wetan dan

Ploso Kulon (lihat peta Desa Kediren dalam lampiran). Kemudian bila

dilihat dari peta desa, Dusun Ploso Wetan ini merupakan dusun terluas

keempat setelah Dusun Dong Jambu, Ploso Kulon, dan Kediren.


87

Jalan umum di Ploso Wetan terdiri dari jalan berbatu dan jalan

tanah. Rumah-rumah penduduk memanjang mengikuti jalan dusun.

Sebagian besar rumah penduduk merupakan rumah dengan bentuk atap

joglo dengan lantai tanah (lihat foto rumah penduduk di lampiran). Dari

peta desa juga nampak bahwa Dusun Ploso Wetan berada di tengah-tengah

desa dengan berbatasan dengan dusun-susun lain, yaitu :

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kalisari dan Hutan Perhutani

Sebelah Barat berbatasan dengan Dusun Ploso Kulon

Sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun Tengklik dan Dong Glonggong

Sebelah Timur berbatasan dengan Dusun Dong Jambu

Dusun Ploso Wetan dipimpin oleh kami tuwo atau pak wo

bernama Supatno yang lahir pada tanggal 28 November 1966, pak wo

berpendidikan akhir di Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA).

Kegiatan sehari-hari pak wo selain menjalankan tugas pemerintahan juga

bertani layaknya penduduk lainnya. Beliau memiliki dua orang putra yang

tengah bersekolah di sekolah dasar.

Di Dusun Ploso Wetan inilah terdapat sebidang tanah yang

merupakan tanah peninggalan Samin Surosentiko. Di lokasi tanah tersebut

di bagian depan terdapat rumah yang dihuni oleh keturunan Samin

Surosentiko, namun di bagian belakang lahan yang menurut warga

merupakan lokasi pondok Samin Surosentiko ketika berada di Ploso

Kediren. Pondok tersebut menurut Mbah Randim (cucu Samin

Surosentiko yang kini bermukim di Tanduran, Kedung Tuban) dirusak


88

oleh Belanda ketika mereka menggeledah kediamannya dan juga

mengambil kitab karangan Samin Surosentiko.

Selanjutnya di Dusun Ploso Wetan ini terdapat beberapa fasilitas

umum seperti sebuah masjid, sebuah posyandu dan sebuah mushollah. Di

ujung Timur dusun dan juga di ujung Selatan terdapat pos ronda, yang

pada siang hari biasanya dijadikan tempat berkumpul para pemuda dan

bapak-bapak.

B. Kondisi Sosial Ekonomi Pengikut Saminisme

“..sak iki wis okeh sing obah, wis podo sekolah malah ono sing dadi guru, polisi
karo pegawai. Namung yo kuwi tetap iling lan ngamalke ajarane leluhur..”

(Sekarang ini sudah banyak yang berubah, sudah pada sekolah malah ada yang
jadi guru, polisi dan pegawai. Tetapi ya itu tetap ingat dan ngamalkan ajaran
leluhur)
(Bapak Suradi, cucu Lurah Karyo yang menjabat di Klopo Duwur pada
tahun 1948 s.d. 1989)

Masyarakat Samin terus mengalami perubahan seiring berubahnya keadaan.

Perubahan sosial, ekonomi dan politik di tingkat nasional maupun di tingkat

kabupaten ikut memberi pengaruh atas perubahan pada masyarakat Samin.

Sebagai bentuk komunitas sosial tentulah masyarakat Samin mengalami adaptasi

sosial untuk mempertahankan identitas sosial budaya mereka. Berikut ini petikan

pidato Lurah Karyo yang masih diingat oleh cucunya, Bapak Suradi. Petikan

pidato ini disampaikan oleh Lurah Karyo pada saat perpisahan dengan mahasiswa

KKN Semarang pada tahun 1969.

“..lur sedulur angger arep turun putumu pinter uduh keminter lho yo, pinter
koyo mas-mase iki mestine turunmu disekolahke. Nek ora, kabean turunmu
sing tek iyek nengkene yo ora pinter-pinter. Nek ora sekolah nasibe yo ora
bakal bedo karo bapak ibune sing macul wae saben dino”
89

( Saudara kalau mau anak cucumu pintar bukan kemintar lho ya, pintar seperti
mas-mas ini (peserta KKN), seharusnya anakmu disekolahkan. Kalau tidak,
semua turunanmu yang lahir disini tidak akan pintar. Kalau tidak sekolah
nasibnya ya tidak bakal berbeda dengan bapak ibunya yang mencangkul setiap
hari)

Demikianlah salah satu hal yang bisa dijadikan rujukan mengapa perubahan sosial

terjadi dalam masyarakat Samin, terutama menyangkut pendidikan. Bila dilihat

dari pendidikan, masyarakat di Desa Kediren dan Klopo Duwur sudah sangat

beragam mulai dari tidak tamat sekolah dasar hingga yang berpendidikan di

perguruan tinggi.

Saat ini masyarakat pengikut Saminisme telah hidup membaur dengan

masyarakat luas, tidak ada struktur khusus yang dimiliki masyarakat Samin,

seperti ketua adat, atau sebagainya. Meski demikian mereka biasanya masih

menganggap satu atau dua orang sebagai sesepuh masyarakat Samin.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai masyarakat samin terlebih

dahulu kita definisikan apakah yang dimaksud masyarakat Samin dalam penelitian

ini, yaitu: kelompok individu di lokasi penelitian yang masih mengakui

keberadaan ajaran saminisme dan menjadikannya salah satu referensi dalam

kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Samin saat ini merasa malu bila disebut atau mengakui

kesaminan mereka, pelabelan bahwa masyarakat samin adalah masyarakat yang

edan dan tidak beradab. Hal tersebut dapat kita lihat dari petikan-petikan

wawancara berikut;

“wong samin itu sering dianggap gila mas, padahal sesungguhnya mereka itu
yo biasa, sama seperti kita. Cuma dalam berkomunikasi kita harus pandai-
pandai memahami mereka. Contoh saja kalau bertamu ke rumah mereka kalau
90

sudah ditawari suguhan harus segera kita makan atau minum, karena kalau
sampai suguhan itu ditarik lagi, sampai kapanpun kita tidak akan disuguhi”11

“Pemerintah malah ora nguri-uri budaya neng kene, malah dianggap ora
pener, cobo mas bayangke jamane bupati Sumarno S.H. mung gara-gara nek
pertemuan sering diecehi bupatine wong Samin terusane sing berbau Samin
dilarang, lha njuk piye ?sing edan ki sopo”12

(Pemerintah malah tidak menjaga/memperhatikan budaya disini, yang terjadi


justru dianggap tidak benar, coba mas bayangkan zamannya Bupati Sumarno
S.H. cyma gara-gara kalau pertemuan sering diejek “bupatine wong Samin”
terus semua yang berbau samin dilarang)

“ Samin itukan orang-orang lugu mas jadi kesannya memang aneh, di masa
sekarang melihat orang yang berbuat seperti Samin itu memang begitu, tapi
sekarang sudah banyak yang berubah”13

“Saya dulu pernah bertugas di Randublatung sekitar tahun 1970an, nah waktu
acara-acara pramuka biasanya kita melakukan perjalanan hingga ke Klopo
Duwur. Kalau ketemu dengan masyarakat Samin itu anak-anak memang
merasa agak khawatir, tetapi setelah kita beri penjelasan ya kekhawatiran itu
hilang. Anak-anak khawatir karena banyak mendengar cerita miring tentang
Samin”14

Dari pengamatan di lapangan masyarakat Samin akan mudah dikenali dari watak

kesederhanaannya. Kesederhanaan itu terlihat dari cara berpakaian, rumah dan

juga dari cara mereka memandang kehidupan di dunia. Hasil pengamatan di

lapangan di lokasi penelitian ada beberapa hal menonjol dalam masyarakat samin

yang ditemukan hingga saat ini:

1. Bentuk rumah berupa joglo berbahan dasar kayu dan tidak dilantai semen,

jadi langsung berlantai tanah atau ada sebagian kecil yang berlantai semen

kasar. Di sebagian besar kandang ternak menyatu dengan rumah dan

berada di bagian depan rumah (lihat foto dalam lampiran)

2. Pakaian keseharian mereka sangat sederhana, umumnya kaum pria

bercelanan kolor hitam dengan baju kaos atau sebagian lain bertelanjanng
91

dada dan jarang menggunakan alas kaki. Namun untuk kalangan pemuda

biasanya sudah menggunakan busana modern. Kaum perempuan lazimnya

menggunakan kain.

3. Dalam melakukan banyak pekerjaan biasanya dilakukan bersama-sama,

misalnya dalam ngarit dan sebagainya.

4. Yang paling utama adalah cara pandang mereka yang sangat berdekatan

dengan ajaran Saminisme yang menekankan harmoni dan kesederhanaan

Berdasarkan wawancara dan pengamatan lapangan dalam penelitian ini jumlah

masyarakat yang masih cukup kuat mengikuti ajaran Saminisme di lokasi

penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 9.Perkiraan Jumlah Keluarga Pengikut Saminisme15


No Nama Dusun Jumlah KK

1 Dusun Klopo Duwur Desa 21 s.d. 30 KK


Klopo Duwur, Banjarejo
2 Dusun Ploso Wetan Desa 11 s.d. 15 KK
Kediren, Randublatung

Sumber : Data Primer penelitian, 2005

B.1. Suasana Dusun

Suasana kedua Dusun Ploso Wetan pada pagi hari keadaan dusun

cukup ramai, biasanya para orang tua berangkat ke ladang pada sekitar pukul

06.30 pagi, kemudian para warga yang memperjualbelikan hasil pertanian

mereka ke pasar juga berangkat pada waktu-waktu tersebut. Anak-anak

sekolah yang bersekolah di Sekolah Dasar Kediren 01 dan 02 juga berangkat

ke sekolah pada waktu-waktu tersebut dengan beramai-ramai berjalan kaki

dari rumah. Sedangkan anak-anak yang bersekolah di jenjang SLTP dan


92

SMU juga berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, biasanya anak-anak

SMU bersekolah di SMU Negeri 1 Randublatung dan yang SLTP di SLTP

Negeri 1 Randublatung. Khusus yang bersekolah di SLTP Negeri 1

Randublatung dan juga di SMK setelah berjalan kaki melanjutkan perjalanan

dengan menggunakan bus.

Pada waktu antara pukul 8 pagi hingga 12 siang suasana dusun

biasanya senyap, yang tinggal di rumah biasanya hanya orang-orang tua,

para ibu dan anak-anak yang belum bersekolah. Pada petang hari setelah

beristirahat sepulang dari ladang atau sawah biasanya masyarakat berkumpul

di kursi bambu yang biasanya ada di depan-depan rumah penduduk. Kursi-

kursi bambu ini hampir ada di tiap depan rumah penduduk di kedua dusun.

Banyak hal yang diperbincangkan di kursi bambu ini, beberapa kali saat

penulis hadir di kursi bambu mendapatkan perbincangan seputar kondisi

ladang, harga jagung, rencana dana kompensasi BBM, cerita-cerita mistik

dan sebagainya. Keadaan yang hampir serupa juga di Klopo Duwur.

B.2. Keadaan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu aspek sosial yang diamati dalam

penelitian ini. Secara umum tingkat pendidikan masyarakat di tingkat Desa,

baik di Klopo Duwur maupun di Kediren sangat beragam. Namun penelitian

ini tidak menemukan data tingkat pendidikan di tingkat Dusun Klopo Duwur

dan Ploso Wetan. Berikut ini data tingkat pendidikan penduduk di Desa

Klopo Duwur dan Kediren pada tahun 2003.

Tabel 10. Tingkat Pendidikan Anak Umum 5 tahun ke atas di Desa Klopo
Duwur dan Kediren Tahun 2003
93

Tingkat Pendidikan Desa Klopo Duwur Desa Kediren

1. Tidak sekolah 178 331


2. Belum Tamat SD/MI 559 563
3. Tidak Tamat SD/MI 972 124
4. SD/MI 985 3437
5. SMP/MTS 646 241
6. SLTA/Sederajat 482 129
7. Sarjana 41 52
Jumlah 4016 4724

Sumber : Banjarejo dalam Angka Tahun 2003 dan Randublatung dalam Angka
Tahun 2003

Di kedua desa tersebut penduduk terbanyak berpendidikan SD

sederajat, di Kediren ada 3437 orang atau sekitar 72,7%, selanjutnya 563

orang belum tamat SD atau sekitar 11,9 %. Sedangkan di Desa Klopo

Duwur ada 985 orang yang tamat SD/MI atau sekitar 24,5 %, yang tidak

tamat SD/MI sebanyak 972 orang atau sekitar 24,2 %.

Penelitian ini belum berhasil mengumpulkan data pendidikan di

tingkat dusun Klopo Duwur dan Kediren dikarenakan data yang tersedia

hanya di tingkat desa bukan dusun. Berikut ini data mengenai tingkat

pendidikan informan yang merupakan pengikut ajaran saminisme dan

berdomisili di Ploso Wetan dan Klopo Duwur.

Tabel 11. Tingkat Pendidikan Informan Pengikut Ajaran Saminisme Di


Klopo Duwur dan Ploso Wetan
Tingkat Pendidikan Klopo Duwur Ploso Wetan

∑ % ∑ %
94

1. Tidak Tamat SD 5 62,5 8 80


2. SD/MI 1 12,5 1 10
3. SMP/MTS 1 12,5 1 10
4. SLTA/Sederajat 1 0 0 0
5. Sarjana 0 0 0 0
Jumlah 8 100 10 100

Sumber : Data Primer diolah, 2005

Tingkat pendidikan pengikut saminisme di kedua dusun lokasi

penelitian yang terbesar berpendidikan sekolah dasar. Di Ploso Wetan dari

10 informan, lebih dari setengah atau 60 % berpendidikan sekolah dasar dan

di Klopo Duwur setengah dari informan berpendidikan sekolah dasar.

B.3. Pekerjaan Penduduk

Penduduk di kedua desa lokasi penelitian ini mayoritas bekerja di

sektor pertanian disusul kemudian pekerjaan di sektor jasa perdagangan.

Berikut tabel pekerjaan penduduk di Desa Kedien dan Desa Klopo Duwuwr

berdasarkan data Badan pusat Statistik Kabupaten Blora tahun 2003.

Tabel 12 Pekerjaan Penduduk Di Desa Kediren dan Klopo Duwur


Pekerjaan Klopo Duwur Kediren

∑ % ∑ %
95

1. Petani 3045 69 936 19,8


2. Buruh Tani 1114 25,3 546 11,6
3. Buruh Industrti 50 1,1 72 1,5
4. Buruh Bangunan 35 0,8 94 1,99
5. Pengusaha 5 0,1 13 0,3
6. Pedagang 58 1,3 89 1,9
7. Sopir 29 0,7 23 0,5
8. PNS/Polri/TNI 27 0,6 37 0,8
9. Pensiunan 29 0,7 4 0,1
10. Lainnya 13 0,3 2904 61,5
Jumlah 4405 100 4718 100

Sumber : Randublatung Dalam angka Tahun 2003 dan Banjarejo Dalam


angka Tahun 2003

Sektor pertanian jika dilihat dari tabel merupakan pekerjaan utama

penduduk, tetapi perlu dilihat penduduk yang bekerja di sektor pertanian

terdapat dua jenis, yaitu petani yang memiliki lahan dan buruh tani. Buruh

tani lazimnya mengerjakan tanah pertanian milik orang lain. Pekerjaan

utama lainnya setelah pertanian adalah sektor perdagangan.

Data mata pencaharian di tingkat dusun tidak tersedia. Untuk

memberi gambaran mengenai kehidupan ekonomi masyarakat pengikut

Saminisme di dua dusun lokasi penelitian ini berikut akan disajikan data

pekerjaan informan yang merupakan pengikut saminisme di kedua dusun

lokasi penelitian;

Tabel 13 Pekerjaan Informan Penelitian yang merupakan pengikut


Saminisme di Dusun Klopo Duwur dan Ploso Wetan
Pekerjaan Klopo Duwur Ploso Wetan

∑ % ∑ %
96

1. Petani 2 25 5 50
2. Buruh Tani 3 37,5 5 50
3. PNS/Polri/TNI 1 12,5 0 0
4. Lainnya 2 25 0 0
Jumlah 10 100 8 100

Sumber : Data Primer diolah, 2005

Informan penelitian di kedua dusun terbesar memiliki pekerjaan di

bidang pertanian, baik petani dengan lahan maupun buruh tani yang

menggarap lahan milik orang lain.

C. Sejarah dan Perkembangan Saminisme

Saminisme sebagai sebuah paham telah berkembang dan mengalami

berbagai peristiwa sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan pengikut

Saminisme ada yang dipengaruhi keadaan di luar masyarakat samin dan ada yang

terjadi secara independen tanpa pengaruh dari luar masyarakat Samin. Berikut ini

adalah deskripsi mengenai sejarah dan perkembangan ajaran Saminisme dari awal

berdiri hingga saat ini. Sumber utama dari deskripsi mengenai sejarah

perkembangan saminisme ini ada beberapa sumber :

1. Sebuah tulisan tangan yang ditulis oleh seorang guru dasar di Kecamatan

Jepon bernama Soewarso yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1928.

Tulisan tersebut ditulis pada tahun 1977. Penelitian ini berhasil

mendapatkan salinan dari tulisan tersebut dalam bentuk copy. Untuk

mempermudah proses pengutipan dalam deskripsi berikut untuk sumber

dari tulisan ini akan diberi kode (SW)


97

2. Sumber kedua adalah tulisan Suripan Sudi Hutomo berjudul Samin

Surosentiko dan ajaran-ajarannya yang ditulis tahun 1973 dan diterbitkan

dalam kumpulan tulisan berjudul Tradisi dari Blora. Citra Almamater

Surabaya tahun 1996. (SSH)

3. Tulisan Sartono Kartodirjo dengan judul Comparative History of Rural

Conflict yang disampaikan dalam European Colloquium II di Goterborg

tahun 1991 dan dibukukan dalam buku Indonesian Historiography terbitan

Kanisius Yogyakarta 2001. (SK)

4. Tulisan Hamid Abdullah berjudul Peranan Elit Pedesaan Dalam Gerakan

Sosial yang dibukukan dalam buku Hasil Seminar Sejarah Nasional IV

terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan

Nilai Tradisonal Tahun 1991.(HA)

5. Tulisan Soerjanto Sastrtoatmodjo berjudul Masyarakat Gerakan

Saminisme : Siapakah mereka ? yang dimuat dalam majalah Optimis

nomor 43 tahun 1983 dan dibukukan dalam buku berjudul Masyarakat

Samin, Siapakah Mereka ? terbitan Narasi Yogyakarta tahuun 2003.

6. Hasil wawancara dengan Mbah Randim (cucu Samin Surosentiko yang

tinggal di Tanduran Desa Mantren Blora)

7. Hasil wawancara dengan Mbah Nyamu (masih keturunan kemungkinan

cicit Samin Surosentiko)

Saminisme pertama kali diajarkan oleh Samin Surasentiko di sebagian

tempat terutama di daerah Tapelan Bojonegoro, Menden dan Randublatung

namanya yaitu Samin Surantika. Samin Surosentiko lahir di Desa Ploso Kediren 16
98

pada tahun 1859 (SSH : 13). Samin memiliki empat oang saudara, hingga dalam

tradisi pengikut Saminisme, lima bersaudara ini diidentikkan dengan pandawa

lima (penuturan mbah Nyamu). Ayah dari Samin Surosentiko adalah Raden

Surowijaya, oleh pengikut Saminisme dikenal dengan Samin Sepuh.

Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar kemudian diganti

menjadi Samin untuk memberi citraan lebih merakyat (SSH:13). Menurut Harry J

Benda dan Lance Castles (1969) seperti dikutip Suripan (1996:13) Samin

memiliki pertalian saudara dengan Kyai Keti di Bojonegoro dan Pangeran

Kusumaningayu atau yang bernama Raden Mas Adipati Brotodoningrat yang

memerintah di Sumoroto17 pada tahun 1802-1826 (SSH:13) namun menurut

Soerjanto Sastroatmodjo, nama Pangeran Kusumaningayu merupakan sebuah

kesalahan karena nama tersebut mengarah pada nama putri istana. Maka yang

benar menurut Sastroatmodjo adalah Pangeran Aryo Kusumowinahyu (SS:59).

Menurut Soewarso Samin Surosentiko bukanlah petani biasa, ia termasuk

keturunan bangsawan yang juga mendapatkan pendidikan selayaknya anak-anak

bangsawan (SW : 5). Dalam perkembangannya sejak tahun 1889 Samin mulai

mengembangkan ajarannya di berbagai tempat, mulai dari Ploso Kediren,

Bapangan, Klopo Duwur dan beberapa tempat lainnya (SSH:14).

Dari berbagai sumber yang digunakan dalam penelitian ini terutama yang

disebut pada permulaan, secara kronologis sejarah dan perkembangan Saminisme

dideskripsikan sebagai berikut :

Tahun 1890
99

Samin Suraosentiko mulai mengembangkan ajarannya di Desa Klopo

Duwur. Di samping orang asli Klopo Duwur juga banyak orang-orang dari desa

lainnya seperti Tapelan datang ke Klopo Duwur untuk berguru pada Samin

Surosentiko.

Pemerintah kolonial Belanda hanya menganggap Saminisme sebagai

ajaran kebatinan yang sama sekali tidak membahayakan pemerintahan. Pada fase

awal ini memang Samin lebih mengedepankan ajaran kebatinan18

Tahun 1903

Pada tahun ini Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 772

orang pengikut Saminisme yang tersebar di 34 desa di Blora bagian Selatan dan di

daerah Bojonegoro.19

Tahun 1905

Orang-orang desa penganut Saminisme pada tahun-tahun ini mulai

mengubah tatacara hidup mereka dalam masyarakat. Mereka mulai melakukan

pembangkangan dari menyetor pajak dan menghindari kerja untuk kepentingan

pemerintah. Mereka juga mulai menolak menyetor padi ke lumbung desa.

Pengikut Saminisme pada saat ini mulai menolak untuk mengandangkan sapi di

kandang umum bersama masyarakat lainnya.20

Tahun 1907

Orang-orang Samin berjumlah 5000 pemerintah kolonial Belanda mulai

merasa takut, apalagi tatkala mendengar bahwa tanggal 1 Maret 1907 mereka

akan berontak. Pada waktu itu desa Kedung Tuban Blora, ada orang Samin
100

menyelenggarakan selamatan. Orang samin yang datang menghadiri selamatan di

Desa Kedung Tuban tersebut lalu ditangkap sebab mereka dianggap

mempersiapkan pemberontakan.

Selanjutnya pada tanggal 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat

oleh para pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan

Suryangalam. Kemudian setelah 40 hari dari pengangkatan tersebut, Samin

Surosentiko ditangkap oleh raden Pranolo, Ndoro Seten di Randublatung, Blora.

Kemudian Samin dipindahkan ke Rembang untuk menjalani pemeriksaan

akhirnya Samin bersama delapan orang pengikutnya dinyatakan bersalah dan

diasingkan ke luar Jawa. Samin Surosentiko diasingkan ke Sumatera Barat.21

Tahun 1908

Pengikut Samin Surosentiko, Wongsorejo menyebarkan ajaran Samin di

distrik Jiwan, Madiun. Pengikutnya hingga ratusan, mereka menolak membayar

pajak. Namun Wongsorejo dan dua orang sahabatnya ditangkap dan gerakan

Saminisme di Madiun mulai melemah.22

Tahun 1911

Surohidin, menantu samin Surosentiko dan Engkrak, murid Samin

Surosentiko menyebarkan ajaran Saminisme di Grobogan. Karsiyah pengikut

Samin mengembangkan ajaran Saminisme di Kajen, Pati.23

Tahun 1912

Pengikut ajaran Saminisme mencoba menyebarkan Saminisme di Jatirogo,

Tuban. Namun usaha tersebut gagal

Tahun 1914
101

Tahun ini merupakan tahun kenaikan pajak oleh pemerintah Belanda. Hal

ini membuat perlawanan masyarakat Samin memuncak. Pengikut Saminisme

sama sekali sudah tidak mau berhubungan dengan pamong desa dan aparat

pemerintahan. Di Madiun juga terjadi hal serupa, begitupun di Kajen dan

Larangan, Pati. Bahkan di Larangan penduduk desa menyerang lurah dan polisi.

Di Tapelan Bojonegoro, asisten wedana diancam oleh masyarakat. Namun

kemudian masyarakat yang mengancam ditangkap dan dipenjara.

Pada tahun inipulalah Samat, pengikut Saminsme di Pati, yang memimpin

penduduk desa mengajarkan bahwa Ratu adil akan segera datang bila tanah yang

digadai oleh pemerintah Kolonial Belanda dikembalikan kepada orang Jawa.24

Tahun 1915

Pengikut Saminisme kembali mencoba mengembangkan ajarannya ke

Jatirogo, Tuban, namun untuk kedua kalinya juga gagal.25

Tahuun 1916

Ajaran Saminisme mulai berkembang di daerah Undaan, Kudus.

Tahun 191726

Para pengikut Pak engkrak meningkatkan perlawanan terhadap Kolonial

Belanda dengan strategi yang disebut “Pratikel Pasif”27

Tahun 1930

Saminisme mulai mengalami kemunduran yang sangat besar.

Pengembangan Saminisme terhenti bahkan pengikut ajaran terus berkurang.

Kepemimpinan di tubuh pengikut juga sangat lemah.28


102

Secara ringkas demikianlah tahun-tahun penting dalam sejarah dan

perkembangan Saminisme sebagai sebuah ajaran. Selanjutnya perlu pula

dideskripsikan bagaimana Samin dan pengikut utamanya menghadapi desakan

pemerintah kolonial Belanda untuk membayar pajak. Berikut ini merupakan

petikan wawancara Bapak Soewarso dengan Mbah Suro Kuncung yang terdapat

dalam salinan tulisan tangan karya Bapak Soewarso29

“Diklumpukna ning alun-alun, didhoreti bar didhoreti yo tetep ora ngekeki


etung-etungan, terus dikon balik ning mondhokane kanjengan meneh, malah
beneran theruk-theruk dikeki mangan, wong bature akeh. Terus esuke sembok
karo aku nusul ning kanjengan. Wong-wong yo disusul sikep sak turune
kabeh, ana sing nggawa bayi cilik barang. Kantore nganti bek uwong,
menowo kanjengan bingung, terus kon muleh kabeh”30

(Dikumpulkan di alun-alun lalu mukannya dicorat soret dusuruh memberikan


pajak, namun setelah itu tetap saja tidak diberikan. Lalu kebenaran disuruh
pulang ke rumah asisten wedana. Nah disana sembari membungkuk-
bungkukkan badan diberi maka. Keesokan harinya saya dan ibu menyusul,
banyak orang-orang yang kesana, istri juga ada yang masih membawa anak
kecil, hingga kediaman asisten wedana penuh. Hingga pejabat pada bingung
dan semua disuruh pulang.)

Petikan di atas menunjukkan bagaimana Samin Surosentiko dan pengikut

Saminisme dikumpulkan oleh pemerintah kolonial Belanda di alun-alun Randu-

blatung, namun dengan berbagai cara termasuk dengan tidak menjawab dan acuh

terhadap pamong pemerintahan. Hal ini membuat frustrasi pemerintah kolonial

dan akhirnya semua yang dikumpulkan disuruh kembali ke kantor asisten wedana.

Keesokan harinya semua sanak famili warga yang dikumpulkan, mulai dari orang

tua istri dan anak-anak datang menjenguk sampai akhirnya asisten wedana

menyuruh pulang semua pengikut Saminisme yang dikumpulkan. Pemerintah

kolonial tidak berhasil menarik pajak dari masyarakat pengikut Saminisme


103

Berikut ini juga hasil wawancara langsung di lapangan dengan Mbah

Randim mengenai ketegaran pengikut Saminisme menghadapi tekanan

pemerintah kolonial;

“Nduk Ploso mondhokane mbahku digledah oleh opas, kabeh dibongkari.


Wong-wong Samin ora podo wedih, pokok’e kabeh tetep sedulur. Ora
masalah ora disenengi karo londone”31

(Di Ploso rumah mbahku -maksudnya Samin Surosentiko- di geledah oleh


pasukan Belanda, semua di bongkar, tapi masyarakat tidak takut, kita semua
tetap saudara, tidak masalah walau pemerintah Belanda tidak suka)

Petikan wawancara di atas menunjukkan bahwa saat penggeledahan rumah

Samin Surosentiko tidak membuat pengikutnya menjadi menyerah dan berhenti

mengikuti ajaran Saminisme. Demikianlah beberapa gambaran mengenai

perjuangan pengikut Saminisme memperjuangkan keyakinan politik mereka.

D. Ajaran-Ajaran Saminisme

Saminisme sebagai sebuah ajaran menurut Soewarso memiliki tiga macam

ajaran khusus yang dikembangkan, yaitu ajaran politik, sosial dan budaya.

Sedangkan menurut Suripan (1996 : 21), disamping ajaran politik dan sosial

saminisme terfokus pada ajaran kebatinan atau spiritual.

Berikut ini adalah deskripsi mengenai ajaran-ajaran saminisme, untuk

mempermudah pemaparan agar lebih sistematis, penjelasan akan dibagi dalam

tiga sub pemaparan; ajaran spiritual, ajaran sosial dan ajaran politik Saminisme.

Sumber data dalam pembahasan mengenai ajaran Saminisme ini adalah;

1. Sebuah tulisan tangan yang ditulis oleh seorang guru dasar di Kecamatan

Jepon bernama Soewarso yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1928.

Tulisan tersebut ditulis pada tahun 1977. Penelitian ini berhasil


104

mendapatkan salinan dari tulisan tersebut dalam bentuk copy. Untuk

mempermudah proses pengutipan dalam deskripsi berikut untuk sumber

dari tulisan ini akan diberi kode (SW)

2. Sumber kedua adalah tulisan Suripan Sudi Hutomo berjudul Samin

Surosentiko dan ajaran-ajarannya yang ditulis tahun 1973 dan diterbitkan

dalam kumpulan tulisan berjudul Tradisi dari Blora. Citra Almamater

Surabaya tahun 1996. (SSH)

3. Tulisan Soerjanto Sastroatmodjo berjudul Masyarakat Gerakan Saminisme

: Siapakah mereka ? yang dimuat dalam majalah Optimis nomor 43 tahun

1983 dan dibukukan dalam buku berjudul Masyarakat Samin, Siapakah

Mereka ? terbitan Narasi Yogyakarta tahun 2003.

4. Hasil wawancara dengan Bapak Suradi, tokoh Saminisme di Klopo Duwur

yang juga cucu dari lurah Karyo (lurah Klopo Duwur pada tahun 1948 s.d.

1989)

5. Hasil wawancara dengan Mbah Randim (cucu Samin Surosentiko yang

tinggal di Tanduran Desa Mantren Blora)

6. Hasil wawancara dengan Mbah Nyamu (masih keturunan kemungkinan

cicit Samin Surosentiko)

D.1. Ajaran Spiritual Saminisme

Menurut Suripan Sudi Utomo (1996:22) ajaran spiritual Samin

Suronsentiko adalah mengenai manunggaling kawula gusti atau sangkan


105

paraning dumadi. Sangkan paraning dumadi diintepretasikan oleh Parsudi

Suparlan dalam kata pengantar pada buku Santri, Abangan dan Priyayi

karya Clifford Geertz: Darimana manusia berasal, apa dan siapa dia pada

masa kini, dan kemana tujuan hidup yang dijalani dan dituju. Keyakinan

spiritual Saminisme menurut Victor T. King (1973:459) seperti dikutip

Suripan Sudi Hutomo (1996:22) disebut sebagai agama adam atau The

Relegion of Adam.

Keyakinan mengenai manunggaling kawula gusti diibaratkan rangka

umanjing curiga (tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya), hal

ini terdapat dalam serat uri-uri pambudi :

“Rangka umanjing curiga punika ngibarating ngilmu anedahaken


pamoring kawula gusti ingkang sejati. Sinaning kawula, jumeneng Gusti
balaka. Ageng (gonja) wesi aji punika senepa pamor netepaken bilih
kados makaten punika dipun wastani pamoring kawula Gusti,
Sejatosipun gesang punika namung kaling-kalingan wuwujudan kita
piyambak. Inggih gesang penjenengan inggih ingkang anggesangaken
badan kita punika nunggil pancer. Gesanng sejati punika inggih
egesangi sagung dumados”32

(Tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya mengibaratkan


ilmu ke Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (percampuan) antara
mahluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahluk musnah,
yang ada hanyalah Tuhan. Senjata tajam merupakan ibarat campuran
yang menunjukkan bahwa itulah yang disebut campuran mahluk dan
khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh
badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang.
Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang menjadi sama-sama
pancer kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala
hal yang ada di semesta alam)

Hubungan antara manusia dan Tuhan juga dijelaskan dalam bagian lain dari

serat uri-uri pambudi berikut ini

“...Janjining manungsa gesang wonten dunya punika dados utusaning


Pengeran, sageda amewahi asrining jagad, namung sadarni nglampahi.
106

Dados dhumawahing lalampahan begja tuwin cilaka, bingah tuwin


susah, saas tuwin sakit, sadaya wau sampun ngantos angresula sanget.
Amergi sampun sagah dene prajanjining manungsa. Gesang wonten ing
dunya punika segeda angestotaken angger-anggering Allah, dateng
asalipun piyambak-piyambak...”33

(Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk


menambah keindahan jagat raya. Dalam hubungan ini manusia harus
menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh
karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan,
sedih, dan gembira, sehat, sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan.
Sebab manusia adalah terikat pada perjanjiannya. Yang terpenting
adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu
memahami pada asal usulnya masing-masing)

Menurut Bapak Suradi ajaran spiritual Samin merupakan ajaran yang

diambil dari Kyai Samin yang berasal dari perpaduan antara ajaran Islam

dan nilai-nilai budaya Jawa. Berikut petikan wawancara dengan bapak

Suradi :

“kalau nilai-nilai yang berasal dari arab diterapkan begitu saja ya tidak
cocok, maka Mbah Samin itu memadukan nilai-nilai Islam dari Arab
dengan nilai-nilai dari kebudayaan asli sini”

Bila kita perhatikan ajaran spiritual Samin mengenai konsep manusia

sebagai utusan Tuhan yang ada dalam serat uri-uri pambudi pernyataan Pak

Suradi ada benarnya. Konsep manusia sebagai utusan Tuhan di dalam Islam

sama dengan konsep khalifah yang bisa kita temukan dalam surat Al

Baqarah ayat 30 yang artinya adalah sebagai berikut :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat;


“Sesunguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Mereka menjawab:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?”
Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengambil apa yang tidak kamu
ketahui”
107

Selanjutnya konsep ini dipadukan dengan sikap nrimo sebagai konsekuensi

atas posisi manusia yang merupakan “pesuruh Tuhan”, hingga berbagai

keadaan yang menimpa manusia harus dapat diterima begitu saja. Hal ini

tentu saja memiliki kesamaan dengan konsepsi nrimo ing pandum dalam

budaya Jawa.

Secara umum spiritualitas ajaran Samin ini menjadi salah satu faktor

yang mempengaruhi tingkah laku sosial mereka sehari-hari. Dalam tradisi

lisan masyarakat menurut penuturan Mbah Randim agama iku gaman, adam

pangucape, man gaman lanang (agama adam adalah senjata hidup).

Spiritualitas Saminisme memang dikenal dengan agama Adam.

Satu hal lainnya mengenai spiritualitas Saminisme yang sangat

penting adalah kepercayaan mereka bahwa manusia pada dasarnya tidaklah

pernah mati, karena yang mati adalah jasadnya tetapi urip adalah abadi.

Dalam masyarakat Samin mati adalah berganti pakaian atau salin

sandhangan.

D.2. Ajaran Sosial Saminisme

Saminisme dikenal tidak hanya sebagai gerakan spiritual yang

memiliki ajaran kebatinan semata, melainkan juga sebagai gerakan sosial

dan politik yang memiliki ajaran khusus dalam bidang sosial dan politik.

Dalam bidang sosial ajaran-ajaran Samin banyak berkaitan dengan tata

kehidupan individu dalam berhubungan dengan individu lainnya.


108

Berikut ini ajaran Samin Surosentiko mengenai tata aturan perilaku

sosial individu. Dalam masyarakat Samin hal-hal tersebut dikenal dengan

angger-angger pratikel, berikut petikannya :

“Tumandukipun sageda anglenggahi keleresan tuwin mawi lalapah ingkang


ajeng, sampun ngantos miyar-miyur.Tekadipun sampun ngantos keguh
dening godha rencana, tuwin sageda anglampahi sabar lair batosipun,
amati sajroning urip. Tumindak ing kelaian sarwa kuwawi anyanggi sadaya
lelampahan ingkang dhumawahing sariranipun. Sanadyan kataman sakit,
ngerakaos pagesangnipun, ketaman sok serik serta pengawon-awon saking
sanes, sadaya wau sampun ngantos ngeresula serta amales piawon,
nanging panggalihipun sageda lestari enget.”

(Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh,
sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang
godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan
mati dan hidup. Segala tindak tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima
segala cobaan yang datang padanya. Walaupun terserang sakit, hidupnya
mengalami kesulitan tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya
harus diterima tanpa gerutuan, apalagi membalas berbuat jahat, melainkan
orang harus selalu ingat pada Tuhan)

Individu dalam masyarakat Samin dituntut memiliki kesabaran, keteguhan

dan kesadaran sebagai mahluk Tuhan. Ajaran-ajaran ini hingga saat ini

masih dianggap penting oleh masyarakat hingga tetap terus dipertahankan,

meski dalam praktiknya mengalami perubahan. Ajaran sosial mengenai

saminisme ini menurut Mbah Randim adalah upaya manusia untuk menjaga

keseimbangan antara tiga unsur; manusia, alam dan Tuhan.

Hal-hal yang berkaitan dengan tata aturan juga termuat dalam hal-hal

yang harus ora dilakoni masyarakat Samin34, berikut hal-hal tersebut :

Tiyang niku kudu ora nglakoni : (orang itu harus tidak melakukan)

1. Drengki (dengki)

2. Srehi (khianat)
109

3. Dahpen (mencampuri urusan orang lain)

4. Ndromos (suka meminta barang orang lain dengan kata-kata manis)

5. Kemeren (irihati)

6. Nemu disingkiri, bila menemukan barang dikembalikan, karena yang

kehilangan pastilah bingung.

7. Colong jupuk disiriki (Jangan mengambil milik orang lain)

8. Ucapan niku sing bener (Ucapan yang benar)

Ajaran-ajaran tersebut merupakan ajaran perilaku yang telah ada

sejak Samin Surosentiko, hingga saat ini pengikut Saminisme sangat

meyakini bahwa untuk hidup selamat di dunia harus mengikuti ajaran

tersebut. Selanjutnya ajaran ini juga diyakini untuk diikuti oleh pengikut

Saminisme sebagai bekal untuk salin sandhangan (meninggal).

Ajaran mengenai perilaku individu ini juga ada dalam undaran

sebagai berikut :

Her run tumurning tumus


Winetu hing praja,
Nalar wikan reh kasudarman,
Hayu rumiyeng badra,
Nukti nuting lagon,
Wirama natyeng kewuh
Sangka-sangganing-rat

(Adapun siat-sifat kebaikan


yang layak diajarkan,
tidak lain mesti diolah oleh
pertimbangan nalar
antaranya kewaspadaan dan
bijaksana dalam berbuat sebagai pelindung,
berusaha menanamkan di setiap tempat.,
hendaknya laksana menata gending,
lagu yang bersuasana
‘mengatasi penghalang hayat’
110

yakni segala yang kita emban


sebagai tugas selaku
mahluk di jagad besar35

Ajaran yang menyerupai hal di atas juga dapat ditemukan dalam dokumen

ceramah Samin Surosentiko di lapangan Desa Kasiman pada 11 Juli 1901.

Lan lakunira saputat-saputat


Nastyasih kukuluwung,
Lagangan harah
Kadyatmikan cuwul heneng
Pambudi malatkung
Sing dingin, hakarsa
Adyatmika tanpolih.
Dwinya maneges tapi
Hakarep tumiyang
Katinempuh Gendholan
Batin, nagarah-arah
Catur mangeran ayun lweh
Dening tatasnya ngadil
Myang
Peneamangkin, sumarah
Rengkep hatikel patuh

Ceramah Samin tersebut menurut Soerjanto Sastroatmodjo menerangkan

mengenai kejatmikaan yang berjumlah lima, meliputi;

Pertama, jatmika dalam kehendak, yang berlandaskan pada usaha

pengendalian diri. Kedua, jatmika dalam ibadah suci yang disertai

pengabdian kepada sesama makhluk. Ketiga, jatmika dalam mawas diri,

menjenguk batin sendiri suatu ketika demi keseimbangan diri dan

lingkungan. Keempat, jatmika dalam mengatasi bencana, yang terjadi

lantaran cobaan Khaliq atas Mahluk-Nya. Kelima, Jatmika sebagai

pegangan budi sejati. Ajaran mengenai bagaimana sikap individu dalam

menghadapi kondisi lingkungan dan tata cara berhubungan dengan individu


111

lain juga muncul dalam tradisi lisan masyarakat pengikut Saminisme, tradisi

itu nampak dalam ucapan keseharian, seperti:

1. Aja drengki, srei, tukar padu, dahpen kemeren, Aja kutil jumput, bedhog

colong

(Janganlah mengganggu orang, jangan suka bertengkar, jangan iri hati,

jangan suka mengambil barang milik oang tanpa seizin pemiliknya)

2. Sabar lan trokal empun ngantos jrengkeisrei empun ngantos riya,

sepada empun nganti pek pinek kutil jumput bedhog colong. Napa malih

bedhog colong, napa malih milik barang, nemu barang neng dalan

mawon kula simpangi.

(Berbuatlah sabar dan trokal, janganlah menggangu orang, janganlah

takkabur pada sesama orang, janganlah mengambil barang milik orang

tanpa seijin pemiliknya. Apalagi mencuri, menemukan barang tercecer di

jalan saja itupun dijauhi.)

Di samping ajaran-ajaran tersebut di atas, ada lagi sebuah keyakinan

yang dimiliki oleh masyarakat pengikut Saminisme yang berkaitan dengan

sifat kebersamaan. Semua orang bagi masyarakat samin adalah saudara

(sedhulur), hingga masyarakat samin memanggil orang dengan panggilan

lur sedulur. Seperti dikemukakan oleh Mbah Randim “urip iku nggolek

seduluran sing okeh, menyang nduk ngendi yo nggoleh sedulur, rak kabeh

iki sedhulur”. Secara umum ajaran-ajaran mengenai pola laku individu ini

telah dipahami lama oleh masyarakat dan bagi pengikut saminisme hingga

hari ini tetaplah diperhatikan.


112

D.3. Ajaran politik Saminisme

Saminisme merupakan gerakan reaksi sosial masyarakat petani di

Blora yang mengikuti ajaran Samin Surosentiko. Gerakan ini merupakan

bentuk reaksi atas rusaknya tetanan sosial budaya lokal mereka. Kerusakan

tersebut disebabkan intervensi budaya dan politik dari kolonial Belanda dan

ketertekanan ekonomi36. Pada akhirnya muncullah keinginan untuk kembali

pada tatanan awal atau tatanan yang dibangun oleh leluhur. Maka menurut

Hamid Abdullah Saminisme merupakan gerakan revivalisme.

Saminisme tidak bisa dilihat hanya sebagai gerakan spiritual, karena

banyak ajaran dan perilaku politik dalam Saminisme yang diajarkan.

Saminisme pada tingkat tujuan berupaya menciptakan formula politik dalam

rangka mengorganisir wadah perjuangan untuk membentuk suatu

masyarakat baru yang memiliki norma sosial yang tersendiri. Gerakan ini

bersifat lokal, sederhana dan etnosentris. Bagi W.F. Wartheim dari

Universitas Amsterdam menyimpulkan bahwa saminisme adalah gerakan

escapism. Yaitu gerakan sosial yang berusaha menciptakan sebuah dunia

tersendiri yang bersifat abstrak untuk menghindari tekanan hidup yang

mereka alami dalam dunia realitas.37

Saminisme memiliki ajaran mengenai prasyarat sebuah negara

yang kuat, seperti terungkap dalam metrum dudukwuluh berikut :

Negaranta
Niskala handuga arum,
Hapraja mulwikang gati,
Gen ngaub miwah sumungku,
Nurriya haengemi ilmu,
Rukunarga tan hana
113

Blekuthu38

(Sebuah negara, akan bisa kuat sentausa


dan punya peranan yang menentukan dalam percaturan dunia
bila unsur-unsur pemerintahan,
kelompok elite yang menentukan kebijakan itu menghormati
kepercayaan-kepercayaan leluhur,
selalu ingat akan sejarah yang membentuknya, dan memelihara
perkembangan ilmu pengetahuan
secara patut. Bila demikian halnya,
rakyat akan rukun-rukun bahagia,
tiada permusuhan diantaranya)39

Terlihat jelas bahwa Saminisme juga mengatur ageman keprajan (politik

pemerintahan). Selanjutnya ajaran politik saminisme lainnya adalah

mengenai pewaris tanah Jawa berikut petikan ceramah Samin Surosentiko

pada tahun 1889 di ara-ara desa Bapangan40

Gur tameh eling bilih sira


Kebeh horal sanes turun pandawa
Lan huwis nyipati kabrokalan
Krandah majapait sakeng
Kakrage wadya musuh.
Mula sakuwit liyen kala nira
Puntadewa titip tanah Jawa
Marang hing Sunan Kalijaga
Hiku maklumat tuwila kajantaka

(Orang samin adalah tidak lain keturunan Pandawa


tepatnya Prabu Puntadewa, saudara tertua, yang berbudi luhur
dan tanpa pamrih. Kedua, pada zaman senjakala Majapahit
keturunan ini mengalami pukulan dari orang-orang Demak
yang mabuk kemenangan. Trah pandawa di Majapahit sudah tahu
siapa salah dan siapa benar. Maka sewaktu mereka tersiksa
Prabu Puntadewa menampakkan kembali ke dunia
Pergi ke Demak dan menitipkan keselamatan
Tanah Jawa kepada Sunan Kalijaga.)

Dari ceramah tersebut dapatlah dikatakan bahwa orang Samin beranggapan

merekalah yang berhak mewarisi tanah Jawa dalam arti peradaban maupun

budayanya. Pemahaman inilah yang kemudian memberi pembenaran


114

kultural cara pandang masyarakat Samin untuk menolak membayar pajak

kepada penjajah bahkan hingga setelah penjajahan.

Dalam masyarakat Samin juga dikenal istilah sangkak. Bahasa

sangkak adalah bentuk bahasa diplomasi, untuk mengecoh penjajah.41

Bahasa sangkak ini digunakan untuk berkomunikasi dengan para priyayi,

pamong desa atau bila bertemu dengan para opas. Namun, hingga kini

sangkak telah menjadi semacam kebiasaan pengikut Saminisme. Beberapa

contoh bahasa sangkak dalam kehidupan sehari-hari pengikut Saminisme

adalah sebagai berikut :

Bila ditanya “kowe arep menyang endi ?” (kamu mau pergi kemana ?)

Maka, jawabannya “arep mengarep” (mau kedepan)

Lalu, ditanya lagi “seko endi ?” (darimana ?)

Dijawab “seko mburi” (dari belakang)

Kalau ditanya “turunmu ono piro ?”(anakmu ada berapa)

Berapapun jumlah anak dari orang yang ditanya pastilah jawabannya

“turunku ono loro lanang karo whedok” (anakku ada dua, laki-laki dan

perempuan).

Secara umum demikianlah ajaran-ajaran politik utama masyarakat

Samin yang diajarkan oleh Samin Surosentiko dan murid-muridnya kepada

pengikut Saminisme. Ajaran-ajaran tersebut masih dianggap berlaku oleh

pengikut Saminisme hingga saat ini.

E. Politik Penghilangan Identitas Saminisme


115

Masyarakat Blora secara umum seringkali merasa terhina dan malu bila

diidentikkan dengan Saminisme, hal ini bisa kita lihat dari petikan wawancara

dengan beberapa orang di luar masyarakat Samin berikut ini;

“...kami khususnya saya itu kalau sedang bertemu orang dari luar kota sering
merasa malu karena dianggap orang samin, tidak hanya saya mas tapi banyak
orang yang sama. Lalu kami disini bersama-sama menghapus anggapan itu.
Pelan-pelan saminisme itu dihilangkan” (Ibu pegawai bagian referensi
perpustakaan daerah Blora –pendapat ini dikutip tanpa diketahui narasumber)

“...sekarang Samin itu sudah musnah mas, yang ada itu nyamin. Jadi kalau
penelitian tentang Samin rasanya tidak bisa lagi. Sekarang semua sudah maju,
banyak yang jadi sarjana, pegawai bahkan ada yang sudah sangat kaya,
pokoknya Samin sudah hilang dari sini” (Bpk Hadiyono, sekretaris kecamatan
Randublatung-wawancara dilakukan saat peneliti memberikan surat
pemberitahuan pra survey)

“...dulu waktu saya tugas mengajar di Blora tahun 1969-an, karena saya itu
pembina pramuka maka saya dan anak-anak sering ke daerah yang masih
kental masyarakat Saminnya, ya memang banyak anak-anak yang
takut.sayapun agak takut” (Ibu ely, warga Cepu yang pernah bertugas di
Randublatung dan bertemu peneliti di Stasiun Kereta Poncol Semarang)

“Sudah tidak adalah itu yang namanya masyarakat Samin, paling-paling itu
ada peninggalan tanah dari Samin Surosentiko di Ploso Wetan. Kalau perilaku
itu sudah sama semua, normallah” (Bpk. Hartono, Plt. Kepala Desa Kediren)

Saminisme sebagai sebuah identitas kultural dan sosial memang

mengalami penghilangan secara sengaja oleh pemerintah terutama pemerintah

daerah42. Berikut beberapa bukti penguat dari hal tersebut:

Pertama, dalam Harian Berita Nasional tertanggal 11 November 1991

dinyatakan secara resmi oleh Pemerintah Kabupaten Blora bahwa masyarakat atau

orang samin sudah tidak ada lagi43. Kedua, dalam buku Menuju dalam Perjalanan:

Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kabupaten Blora yang diterbitkan Dewan

Harian Cabang Angkatan ’45 Kabupaten Blora dituliskan dengan jelas pada

halaman 17, sebagai berikut:


116

“...Menurut dongeng, legenda ataupun cerita rakyat, konon seorang laki-laki


bernama Samin Surosentiko (Samin, nama kecil sebelum kawin, setelah
kawin ditambah Surosentiko) bertempat tinggal di desa Plosokediren,
kecamatan Randublatung...”

Dari kalimat tersebut nampak dengan jelas upaya menjadikan eksistensi pendiri

ajaran Saminisme sekedar mitos, padahal keberadaan Samin Surosentiko adalah

nyata atau empiris (lihat foto dalam lampiran, berupa foto tokoh-takoh Samin

yang diasingkan ke berbagai daerah di luar Jawa).

Ketiga, menurut Amrih Widodo kehadiran politik kebudayaan “strategi

pembangunan berwawasan jatidiri” yang dilakukan pemerintah orde baru yang di

Jawa Tengah dilaksanakan oleh H.Ismail (Mantan Gubernur Jateng), telah ikut

memberikan kontribusi bagi hilangnya identitas ke-Saminan. Hal ini disebabkan

proyek penulisan buku Sejarah Hari Jadi Blora (1987) yang berusaha melakukan

penyatuan simbol, tanaman khas, dan sebagainya termasuk menelusuri hari jadi

Blora. Hari jadi Blora ditetapkan 11 Desember 1749, yaitu bertepatan dengan

pengangkatan bupati pertama Blora (Wilatikta) oleh Sultan Yogyakarta, dengan

kondisi ini eksistensi perlawanan politik Samin dan pengikutnya tidak mendapat

tempat yang layak. Padahal kebijakan ini mengandung ironi, karena bagaimana

bisa kabupaten yang merupakan bagian dari sebuah negara berdaulat (Indonesia)

lebih dulu lahir daripada induknya. Blora dianggap ada sebagai sebuah daerah

berdaulat sejak 1749 tetapi Indonesia baru ada sejak 1945.

Keempat, pada tahun 1985 karena jengkel melihat meningkatnya jumlah


pengunjung dan permohonan penelitian mengenai saminisme, pemerintah Blora
melarang kunjungan atau penelitian tentang Samin. Bahkan bupati menyatakan
sudah tidak ada masyarakat Samin44. Hal ini sesuai dengan pernyataan carik Desa
117

Klopo Duwur Bapak Suradi yang mengatakan bahwa pada saat Blora di bawah
Bupati Soemarno, semua kegiatan tradisi Samin dilarang. Bupati Blora pada tahun
1989 seperti dikemukakan Amrih Widodo adalah Soemarno SH. Perhatikan daftar
bupati Blora dan tahun menjabatnya berikut ini:
Nama Bupati Tahun Menjabat
1. Tumenggung Wilatikta 1749 – 1762
2. Djajeng Tirtana 1762 – 1782
3. RT. Tirtakoesoema 1782 – 1812
4. RT. Prawirajoeda 1812 – 1823
5. RT. Tirtanegara 1823 – 1842
6. RT. A Tjakranegara I 1842 – 1843
7. RT. Tirtanegara 1843 – 1847
8. RT. Natawidjaya 1847 – 1857
9. RT. A Tjakranegara II 1857 – 1886
10. RT. A Tjakranegara III 1886 – 1912
11. Said Abdoel kadir Djaelani 1912 – 1926
12. Tjakraningrat 1926 – 1938
13. Moerdjana Djajadigda 1938 – 1942
14. Soediana 1942 – 1945
15. Mr. Iskandar 1945 – 1948
16. R. Wibisono 1948 – 1949
17. R. Siswadi Djojosoerono 1949 – 1952
18. R. Soediono 1952 - 1957
19. R. Soenartio 1957 – 1960
20. R. Soekirno Sastrodimedjo 1960 – 1967
21. Srinardi 1967 – 1973
22. Soepadhi Joedodarmo 1973 – 1979
23. H. Soemarno, SH 1979 – 1989
24. H. Soekardi Hardjopawiro, MBA 1989 – 2000
25. Ir. H. Basuki Widodo 2000 – sekarang
Sumber : Blora Dalam Angka Tahun 2003

Demikianlah beberapa hal penguat adanya upaya untuk memisahkan masyarakat

Samin dari identitas kultural mereka. Upaya ini tentu saja sangat berhubungan

dengan adanya pelabelan negatif tehadap masyarakat Samin, yang dianggap tidak

waras, tidak rasional, suka berdebat dan berbagai pelabelan negatif lainnya.

Menururt Amrih Widodo hal ini juga tekait dengan penulisan sejarah Samin yang

banyak dipengaruhi oleh laporan-laporan dari penulis kolonial yang melakukan


118

penelitian karena perintah dari pejabat kolonial Belanda seperti, J.E Jesper

(asisten residen Tuban) atas perintah Gubernur Jenderal atau Petrus Blumberger

dalam trilogi bukunya.45

Laporan-laporan mengenai Saminisme oleh beberapa ahli ini cenderung

mereduksi Saminisme sebagai gerakan spiritual yang melakukan perlawanan pasif

dan sering diidentikkan dengan gerakan komunisme lokal.46

F. Orientasi Politik Masyarakat Pengikut Saminisme

Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui tipe

budaya politik pengikut Saminisme, untuk itu terlebih dahulu akan dideskripsikan

mengenai orientasi politik masyarakat Samin. Meliputi, orientasi kognitif, yaitu

pengetahuan tentang sistem politik dan kepercayaan pada sistem politik, peranan

dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya. Kedua, orientasi afektif, yaitu

perasaan terhadap sistem politik, peranannya dan penampilannya. Ketiga,

orientasi evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek–obyek politik

yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan

informasi dan perasaan.

Data mengenai orientasi-orientasi politik pengikut saminisme ini diperoleh

dari wawancara yang dilakukan berulang terhadap beberapa informan, yang

berdasar pengakuan yang bersangkutan merupakan pengikut saminisme atau dari

analisa penulis terhadap pernyataan-pernyataan informan yang mengindikasikan

bahwa informan adalah pengikut saminisme ditambah dengan bantuan informasi

dari sesepuh pengikut Saminisme di dusun masing-masing.


119

Untuk mengetahui orientasi kognitif pengikut Saminisme diajukanlah

beberapa pertanyaan dengan tujuan mengetahui tingkat pengetahuan mereka

mengenai sistem politik. Pada tahap awal ditanyakan mengenai dasar negara,

lambang negara, dan wilayah negara. Selanjutnya, juga ditanyakan mengenai

sistem pemilihan umum dan kepartaian di Indonesia saat ini.

Tingkat pengetahuan pengikut saminisme mengenai hal-hal dasar dalam

sistem politik cukup beragam, kebanyakan dari mereka menghindari menjawab

pertanyaan tersebut dengan alasan takut salah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut

mengingatkan mereka pada keadaan seputar masa-masa pembersihan anggota

partai komunis Indonesia (PKI), karena kalau salah bisa dikira anggota PKI dan

bisa masuk penjara, begitu kilah mereka. Namun setelah terus menerus melakukan

komunikasi mulailah mereka mau berbicara menjawab pertanyaan-pertanyaan

tersebut.

Mengenai dasar negara sebagian besar informan mengetahui pancasila,

namun tidak bisa menjelaskan sila-sila dalam pancasila. Berikut beberapa petikan

wawancara beberapa informan mengenai dasar negara;

"..ojo takon-takon kuwi mas, aku wong tani yo ora paham, sing penting yo
pancasila, mbiyen pamong ngomong koyo kuwi. Nduk teve-teve yo okeh
soalan pancasila" (Dasuki, 62 tahun. Petani di Klopo Duwur)

(..jangan tanya-tanya itu mas, aku orang tani ya tidak mengerti, yang penting
ya pancasila, dulu pamong bicaranya begitu. Di televisi juga banyak dibahas
tentang pancasila)

keingintahuan untuk mengetahui isi pancasila juga tidak ada dalam keinginan Pak

Dasuki, baginya tidaklah penting mengetahui hal-hal yang tidak berhubungan

langsung dengan kepentingan mereka.


120

"lha wong tani ora mesti ngerti koyo kuwi, urusane pamong desa. Sing
penting ora ngelek-ngeleke pancasila. Wong ndeso ki sing penting uripe
tenang iso nggolek mangan"

(Lha petani tidak harus mengerti kayak begitu, urusannya pamong desa.
Yang penting tidak menjelek-jelekan pancasila. Orang desa yang penting
hidupnya tenang bisa mencari makan)

Jawaban serupa juga muncul saat ditanya mengenai undang-undang dasar 1945,

tapi ada penjelasan menarik dari Pak Dasuki;

"ngerti opo ora ngerti urusan-urusan politik kuwe yo ora ono gunane nggoh
kaum tani, soale sing uri-uri nasib petani yo ora ono. Biasane malah sing
disalahke yo petani"

(Mengerti atau tidak urusan-urusan politik itu ya tidak ada gunanya untuk
petani, soalnya yang memperhatikan nasib petani ya tidak ada. Biasanya
yang sering disalahkan ya petani)

dari pendapat tersebut terlihat ada kesan ketidakpedulian terhadap sistem politik.

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Rasiyo, petani di Ploso Wetan berusia

74 tahun :

"aku ngertine Bung Karno, lha pancasila iku pikirane Sukarno, sing ngerti
sak jero-jerone yo Sukarno, petani-petani nduk Ploso mung-mungan ngerti
urusan tentang pancasula opo maneh sak isi-isine"

(Aku mengerti Bung Karno, nah pancasila itu pikirannya Sukarno, yang
mengerti isinya ya Sukarno, petani di desa Ploso ya ndak mungkin mengerti
tentang pancasila apalagi dengan isinya)

Kecendrungan lebih memahami dasar negara dimiliki oleh pengikut saminisme

yang berusia di bawah 50 tahun dan berpendidikan SLTP seperti pendapat

berikut;

"Pancasila itu dasar negara yang mengatur kehidupan masyarakat


Indonesia isinya mengenai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
permusyawaratan dan keadilan. Itu yang saya tahu. Tapi terus terang saya
belum tahu benar apa gunanya pancasila untuk kehidupan" (Ngasirun,
karyawan di Ploso Wetan berusia 38 tahun
121

Pendapat lainnya yang termasuk lengkap mengenai pancasila dikemukakan oleh

Pak Suyoko, yang merupakan keturunan pengikut saminisme yang saat ini

berprofesi sebagai guru.

"Pancasila itu pandangan hidup bangsa Indonesia, yang dirumuskan oleh


pendiri bangsa, ada lima sila di dalamnya. Panca itu berarti lima dan sila
itu dasar, berarti lima dasar-dasar negara; meliputi: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia. Tapi kalau mas tanya ke masyarakat banyak yang tidak tahu,
saya yakin itu" (Suyoko, Klopo Duwur)

Dapatlah kita melihat perbandingan pendapat dan tingkat pengetahuan dari

pengikut saminisme yang telah mengalami pendidikan formal dengan yang relatif

belum bersinggungan dengan pendidikan formal tingkat lanjutan. Selanjutnya

mengenai kepemimpinan nasional beberapa informan merasa tidak mengetahui

dengan jelas, mengenai perubahan presiden juga tidak terlalu mengerti hanya

memiliki informasi yang relatif terbatas. Tetapi ada beberapa pengetahuan yang

bisa dijadikan gambaran mengenai pandangan/pengetahuan mereka mengenai

kepemimpinan nasional:

"..aku ijek kelingan zamane Sukarno kuwe, ono pemberitaan Sukarno


menyang nang Cepu lha terus masyarakat yo podo seneng, kuwe aku ijek
nom, sak teruse zaman Suharto petani-petani dibageni pupuk karo
sandangan, lha nduk teve-teve dikabarke korupsi, digenteni sing liyane,
paling ngertine Megawati" (Sukardji, petani Ploso Kediren usia 49 tahun)

(aku masih teringat zaman Sukarno itu, ada pemberitaan Sukarno pergi ke
Cepu, nah masyarakat yo pada senang. Itu aku masih muda, selanjutnya
masa Suharto, petani dibagikan pupuk dengan pakaian, selanjutnya di
televisi dikhabarkan korupsi, diganti dengan yang lain, yang lain itu paling
ya saya ketahui Megawati)
Secara umum pemberitaan media menjadi salah satu sumber utama

informasi bagi masyarakat Samin dalam mengakses pengetahuan mengenai


122

kepemimpinan nasional. Berikut ini kutipan wawancara dengan Pak Siwan, petani

72 tahun di Klopo Duwur

"Mas jare tiang sepuh, Bung Karno iku ora salin sandhangan Bung Karno
tekan sak iki yo ijek urip, sing ngawasi bangsa iki yo Bung karno" (Siwan,
72 tahun, Klopo Duwur)

(Mas kata orang tua Sukarno itu belum mati, tetapi masih hidup dan
sekarang yang mengawasi negara ini)

Sosok Sukarno bagi sebagian masyarakat pengikut Saminisme telah menjadi

semacam mitos. Berikut petikan wawancara Soewarso dengan Mbah Suro

Kuncung. 47

"Sukarno iku ora salin sandhangan, nanging isih nglayang terus momong
wong-wong Jowo. Sukarno ora iso salin sandhangan nganti jebote jaman"

(Sukarno itu tidak mati, tetapi masih mengambang dan terus menjaga orang-
orang Jawa. Sukarno tidak bisa mati sampai berakhirnya zaman)

Dua pernyataan di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya masyarakat

pengikut Saminisme menganggap bahwa sampai saat ini Sukarno memiliki peran

dalam bangsa Indonesia, sebagai orang yang menjaganya. Hal yang menyiratkan

bahwa masyarakat Samin mempercayai bahwa Sukarno tidaklah mati, juga

disampaikan oleh Mbah Randim. Ketika penulis berkunjung ke kediaman Mbah

Randim beliau berpesan agar bila penulis bertemu dengan Sukarno agar

disampaikan pada Sukarno untuk silaturahmi ke kediaman Mbah Randim.

Selanjutnya pengetahuan mengenai wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia juga terbilang rendah, hal ini tercermin dari beberapa pernyataan

berikut ini:

"Indonesia opo yo mas..? (bingung)…aku ora ngerti, sing jelas Aceh yo Aceh,
Jowo yo Jowo, mbiyen neng tanah Jowo ono Majapahit lha kuwi cikal bakale
sak iki. Wilayah Indonesia yo ora ngerti mas" (Simun, 78 tahun, Ploso Wetan)
123

(Indonesia apa ya mas ? -bingung- aku tidak mengerti, yang jelas Aceh ya
Aceh, Jawa ya Jawa, dulu di tanah jawa ada Majapahit lha itu cikal bakalnya
saat ini. Wilayah Indonesi ya tidak mengerti)

Pandangan lainnya :

"Kulo mboten ngertos asline Indonesia niku pundi-pundi mawon, lha sak
ngertose kulo Indonesia nggih mriki, Jakarta, Semarang, yo kuto-kuto niku
mas" (Siwan, 72 tahun, Klopo Duwur)

(Saya tidak mengerti aslinya Indonesia itu mana-mana saja, nah


semengertinya saya Indonesia ya sini, Jakarta, Semarnag, ya kota-kota itu
mas)

Sedangkan menurut Sumarni

"Indonesia itu terdiri dari banyak daerah kalau tidak salah sekarang ada 27
provinsi, ada yang di Sumatera, Kalimantan, juga Jawa bahkan sampai ke
ujung-ujung ada Irian"

Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan adanya pengetahuan yang tidak lengkap

yang dimiliki informan, sehingga informasi mengenai wilayah NKRI tidak terlalu

diketahui dengan baik. Bahkan ketika masalah kewilayahan ini ditanyakan pada

kami tuwo Ploso Wetan, juga tidak mengetahui dengan lengkap.

"Indonesia ya ada 27 propinsi tapi mungkin sudah ada yang baru-baru saya
tidak terlalu mengikuti yang jelas dari Sabang sampai Merauke"(Supatno,
kami tuwo Ploso Wetan)

Keadaan ini merupakan keadaan umum dari sistem pengetahuan informan

mengenai sistem politik Indonesia secara umum elemen-elemennya diketahui

namun jauh dari lengkap.

Untuk memperlengkap data mengenai keadaan pengetahuan informan

mengenai hal-hal dasar sistem politik berikut jawaban beberapa informan

mengenai pemilihan umum;


124

"Pemilu yo coblosan, milih partai-partai nek arep pemilu ono kampanye cah-
cah nom, sing sepuh paling-paling yo melu coblosan. Sak iki pemilu yo milih
presidene" (Joyo Rukiyat, buruh tani, 71 tahun. Ploso Wetan)

(Pemilu ya coblosan, memilih partai-partai. Kalau mau pemilu ada kampanye


anak-anak muda, yang tua paling-paling ya ikut coblosan. Sekarang pemilu
juga memilih presiden)

Bagi Joyo pemilu dipahami sebagai coblosan (mencoblos) partai-partai, hingga

baginya yang berusia sepuh yang penting ikut coblosan. Pendapat lainnya dari

Bapak Suyoko,

"pemilu memilih wakil rakyat dari partai-partai politik untuk di dewan


perwakilan biasanya wakil-wakil rakyat yang akan menjadi wakil-wakil kita
dalam pemerintahan" (Suyoko, 38 tahun. Klopo Duwur)

Informan lainnya berpendapat;

"Pilihan pejabat-pejabat, sing milih rakyat langsung, lha mengko wakil-wakil


rakyat ngusahake kebutuhan-kebutuhan rakyat, contone gili, listrik karo
liane" (Kastamin, 52 tahun. Klopo Duwur)

(Pemilihan pejabat-pejabat, yang memilih rakyat secara langsung, lha nanti


wakil-wakil rakyat mengusahakan kebutuhan-kebutuhan rakyat, contohnya
jalan, listrik dan yang lainnya)

Informan lainnya berpendapat :

"Pemilu untuk memilih anggota DPR, yang memilih kita semua" (Kawit, 42
tahun tinggal di Ploso Wetan)

Demikianlah pengetahuan informan mengenai pemilu yang diwakili pendapat

beberapa informan. Selanjutnya pertanyaan mengenai pemilihan ini dilanjutnya

dengan manfaat pemilihan umum menurut informan, sebagai berikut :

"wah urusan manfaate pemilu yo ora ngerti mas, wis nyoblos yo wis"
(Joko Rukiyat)

(Wah urusan manfaat pemilu ya saya tidak tahu, setelah nyoblos ya sudah)
125

"Manfaat langsung nganggeh petani kalian tiang alit niku nggih kadosipun
mboten enten" (Kawit, Ploso Wetan)

(Manfaat langsung untuk petani dan orang kecil itu ya sepertinya tidak ada)

"manfaate niku mung sebatas seneng ono keramean" (Laminah, 54 tahun,


Ploso Wetan)

(Manfaatnya itu cuma sebatas senang ada keramaian)

Semua informan yang menjawab pertanyaan ini tidak ada yang menjawab manfaat

pemilihan umum secara langsung, dapatlah dikatakan bagi mereka pemilihan

umum tidak ada manfaat langsung.

Setelah mendapat gambaran mengenai pengetahuan-pengetahuan dasar

pengikut Saminisme tentang sistem politik dan instrumen dasarnya, maka akan

dideskripsikan mengenai pengetahuan mereka mengenai cara menyampaikan

aspirasi terhadap sistem politik. Beberapa informan menjawab pertanyaan seputar

input politik ini dengan jawaban sederhana "tidak tahu”, semuanya diserahkan ke

pihak yang berhak (pamong). Namun ada tiga informan yang melihat bahwa

menyampaikan aspirasi adalah sesuatu yang jauh dari mereka, karena mereka

sebagai orang kecil tak berhak menyampaikan pendapat kepada negara.

"sing bagian usul-usul kuwi wis ono sing ngurusi, malah biasane ono neng
teve, kaum tani yo ora mungkin ngomong urusan-urusan penting kuwi mas,
mboten ngertos, mangke malah keleru" (Rasiyo, 74 tahun. Tinggal di Ploso
kediren)

(Yang bagian usul-usul itu sudah ada yang mengurus, malah biasanya ada di
televisi. Petani ya tidak mungkin membicarakan urusan-urusan penting
tersebut mas. Tidak mengertilah, malah ntar salah)

Namun, dua orang informan, Supatno dan Suyoko dapat menjelaskan bahwa

menyampaikan aspirasi bisa dilakukan oleh siapa saja, tidaklah harus seorang
126

yang berpendidikan tinggi. Cara penyampaian itupun menurut mereka beragam,

seperti menuliskan surat atau datang ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Setelah deskripsi mengenai pengetahuan dan pemahaman dasar tentang

sistem politik selanjutnya deskripsi mengenai aspek afeksi (rasa) terhadap sistem

politik. Perasaan informan terhadap sistem politik tidak diambil hanya dari

wawancara yang resmi (formal) tetapi bisa juga dari komentar-komentar ringan

informan saat berbincang hal-hal yang juga ringan. Dalam aspek ini biasanya

pertanyaan yang diberikan tidak spesifik menuju pada subyek tertentu, pertanyaan

bersifat sangat umum seperti misalnya "pripun pak keadaan negarane sak niki ?".

Informan biasanya menjawab dengan panjang lebar, hingga kadang hal-hal yang

sedianya tidak terpikirkan justru keluar dari informan.

Bagi Pak Dasuki kehidupan sebagai petani rasanya berat, tapi karena inilah

kehendak Tuhan, ya tetap harus dijalankan dengan tekun dan ikhlas. Meskipun

seringkali sebagai petani mengalami kesusahan ekonomi tetapi Dasuki melihat

pemerintah tidaklah pernah tahu kesusahannya. Pada masa Suharto Dasuki merasa

ya semua sama saja, tidak banyak berubah. Kehidupannya sebagai petani tidaklah

banyak berubah dari waktu ke waktu, berikut petikan wawancara dengan Dasuki:

"ora mungkin penggede nduk teve-teve ngerti wong tani, mbiyen jamane
Suharto podo wae, ora ono bedane. Tapi sak iki kabean larang, panen
jagung wae seringe rugi, tapi arep piye, wis keadaane koyo iki, yo dilakoni."

(Tidak mungkin pejabat di televisi mengerti petani, dulu zamannya Suharto


sama saja, tidak ada bedanya. Tetapi sekarang semua mahal, panen jagung
saja sering rugi, tapi mau bagaimana, keadaanya sudah begini ya dijalani saja)
Pada kesempatan lain Dasuki menuturkan tentang keadaan Indonesia dalam

pandangannya sebagi petani


127

"Dipikir-pikir yo mas, urip neng kene (maksudnya Ploso) kepenak, arep


nyambel, lombok iso njalok, arep ngerebus jagung iso njupuk. Nek urusane
karo wong njobo dadi angel, urusan-urusan susah, mboh koyo opo iki
negarane. Jere listrik arep mundak, minyak yo iyo. Urip sing mulane kepenak
sak iki kabean dadi angel"

(Dipikir-pikir ya mas, hidup disini enak, mau buat sambal, cabai bisa minta,
mau masak jagung bisa minta. Kalau urusandengan orang luar jadi susah.
Tidak tahu seperti apa ini negaranya. Katanya listrik mau naik, minyak juga
iya. Hidup yang awalnya enak sekarang jadi susah)

Pada kesempatan-kesempatan lain Dasuki juga seringkali merasakan

bahwa semakin lama semakin susah untuk mensekolahkan cucunya, kalau tidak

sekolah akan semakin susah, sekolah juga susah begitulah kira-kira keluhan

Dasuki. Berbeda dengan Dasuki, Mbah Hadi yang telah berusia 78 tahun

cenderung diam dan berkata mboten ngertos jika ditanya mengenai perasaannya.

Tapi sebuah petang Mbah Hadi pernah bercerita tentang tetangganya yang

kehilangan uang di Semarang saat sedang ke Semarang. Ia merasa saat ini sudah

tidak aman, ia berkata kalau dulu yang mengambil uang itu orang lain (Belanda)

tetapi sekarang saudara sendiri ya mengambil uang saudaranya, berikut

petikannya

"…mbiyen sing njupuk etung-etungan kuwi, bangsa liyo, sak iki sedulure
dewe sing njupuk etungan-etungan"

(..Dulu yang mengambil uang itu bangsa lain, sekarang saudaranya sendiri
yang mengambil -mencuri- uang)

Sedangkan bagi Kastamin menilai bahwa hidup memang tidak perlu tergantung

pada siapa yang berkuasa (negara), karena tiap orang punya urusannya, jadi

masalah kehidupan ya urusan masing-masing. Sedangkan menurut Iskuat yang

merupakan kaum muda dari pengikut Saminisme beranggapan bahwa mereka

tidak perlu pusing-pusing memikirkan keadaan negara karena sudah ada yang
128

memikirkan. Kemudian, kesusahan hidup yang kadang mereka hadapi bagi Iskuat

salah satu penyebabnya karena pemerintah yang tidak peduli pada nasib mereka.

Berikut kutipan pendapat Iskuat :

“dimana-mana sudah banyak orang yang memikirkan masalah negara mas,


dadi yo ra usah mumet-mumet mikirke kuwe. Lha pemerintah sing elek kuwi
sing nyebabke nasib petani ora apik-apik mas” (Iskuat petani di Kediren, usia
32 tahun)

Secara umum masyarakat memiliki kesadaran bahwa kondisi kehidupan

sosial ekonomi mereka dipengaruhi oleh kinerja pemerintah, hal ini nampak dari

beberapa pernyataan di atas. Selanjutnya secara khusus akan dideskripsikan

pandangan informan terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bapak Suradi menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono akan

mengalami banyak kesulitan karena saat pemilihan SBY bertepatan dengan tompo

suron yaitu pada Senin kliwon. Hingga dalam mitologi Jawa apa-apa yang dimulai

pada hari tompo suron akan berdampak banyak musibah yang datang. Disamping

itu pernyataan lainnya sebagai berikut;

"Negara kudu nduwe patokan, dadi budaya iku yo di uri-uri, presiden yo


kudune nduwe pujonggo, siji seko Islam sijine seko Jowo. Nek budaya ora di
uri-uri negara pastine bakal susah terus, tinggalane leluhur kuwe yo patokan,
nek negara ora duwe patokan yo susah"

(Negara harus punya ukuran, jadi budaya itu ya diperhatikan. Presiden


seharusnya punya pujangga, satu dari Islam satunya dari Jawa. Kalau budaya
tidak diperhatikan negara pastinya akan susah terus. Peninggalan leluhur itu
ya ukurannya. Kalau negara tidak punya patokan ya susah)

Mari kita simak perasaan informan lainnya mengenai pemerintahan SBY;

“jamane wis apik, pemerintahne juga apik. Presidene yo apik. Tur uripe wong
alit tetap koyo ngene wae mas. Pemerintahne apik, masyarakate mestine iso
apik uripe” (Rasiyo, Ploso Wetan 74 tahun)
129

(Zaman sudah baik, pemerintahnya juga baik. Presiden ya baik. Tetapi hidup
orang kecil tetap saja begini saja. Pemerintah baik seharusnya masyarakat bisa
baik kehidupannya)

“Negara saat ini tidak lebih baik dari sebelum-sebelumnya, keadaan


masyarakat semakin susah, nasib guru seperti saya malah tambah buruk.
Dulu rasanya lebih baik dari sekarang” (Suyoko, 38 tahun. Guru tinggal di
Klopo Duwur)

“..rekoso mung kudu dilakoni mas, tiyang tani yo isone koyo ngene iki, njaluk
tulung pemerintah yo piye carane, ora ngerti..sing penting rekoso-rekoso
waton ora nyolong” (Kawit 42 tahun tinggal di Ploso Wetan)

(Susah, tetapi tetap harus dijalani, petani ya bisanya seperti ini, minta tolong
pemerintah ya gimana saranya, tidak paham. Yang penting susah-susah asal
tidak mencuri)

“..sak iki opo sih mas sing ora angel, serba susah. Pemerintahne yo aku ora
ngerti kepiye-kepiye, sandangan larang, beras melu larang, kabean larang”
(Suwarni, 40 tahun)

(Sekarang apa toh mas yang tidak susah, serba susah. Pemerintahnya ya aku
tidak tahu bagaimana-bagaimana, pakaian mahal, beras ikut mahal, semua
mahal)

Petikan hasil wawancara di atas mewakili pendapat-pendapat lainnya yang

hampir serupa, pada umumnya informan merasa sangat prihatin atas keadaan

negara saat ini. Kebutuhan ekonomi yang kian meningkat tidak diikuti dengan

bantuan dari negara yang berarti. Hingga mereka merasa keadaan saat ini tidak

lebih baik dari sebelumnya (pemerintahan sebelumnya). Keadaan ini seringkali

mereka banding-bandingkan dengan keadaan di masa Suharto. Berikut ini

pendapat beberapa informan;

“biyen jamane Suharto, sandhangan isih murah, beras yo murah. Kepenak


malah mas, nek dibangding-bandingke etung-etungan sak iki sepuluh ewu ora
ono ajine” (Kastamin, 53 tahun.Klopo Duwur)
(Dulu zaman Suharto pakaian murah, beras juga murah. Enak malah mas,
kalau dibanding-bandingkan uang sekarang sepuluh ribu tidak ada
kekuatannya)
130

“Suharto digenti, karepe nasib rakyat luwih apik, lha tapi koyo ngene iki
mas...?” (Sukardji, 49 tahun. Ploso Wetan)
(Suharto diganti, harapannya nasib rakyat lebih baik, tetapi malah seperti ini
mas ?)

“Ngapunten nggih mas, masalah Suharto kulo nggih mboten ngertos, namung
pas niku nggih isih kepenak, mboten onten sing aneh-aneh” (Siwan, 72 tahun.
Tinggal di Ploso Wetan)
(Maaf ya mas, masalah Suharto ya tidak mengerti, tetapi saat itu ya masih
enak, tidak ada yang aneh-aneh)

“Memang suharto punya banyak kesalahan, tetapi kalau kita lihat-lihat,


pemerintah setelah Suharto juga tak kunjung lebih baik, nyatanya hari ini
semakin sulit. Masyarakat semakin susah, korupsi juga tidak berhenti malah
tambah jadi”(Supatno, kami tuwo Ploso Wetan)

Pendapat-pendapat informan di atas adalah menunjukkan ada semacam rasa tidak

puas dengan kondisi pemerintahan saat ini dan merasa bahwa keadaan di masa

pemerintahan Suharto lebih baik, karena beban hidup mereka tidak seberat sat ini.

Akhirnya setelah mendapat gambaran mengenai aspek kognitif dan afektif

dari orientasi politik informan, selanjutnya perlu mengetahui penilaian informan

terhadap kebijakan sistem politik. Dalam rangka mempermudah deskripsi, maka

sengaja hanya menanyakan pendapat informan mengenai rencana kenaikan harga

bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintahan SBY (saat pengumpulan data

lapangan tahap ke dua pada bulan September belum ada keputusan resmi kenaikan

BBM). Secara umum semua informan menolak rencana kenaikan BBM, namun

ada yang merasa pasrah dengan keadaan tersebut, lalu ada sebagian lain yang

ingin agar kenaikan dibatalkan. Berikut petikan wawancara dengan dua orang

informan yang dapat mewakili pendapat-pendapat lainnya.

“minyak regone mundak, alamat tambah susah uripe. Ceto-ceto wis susah,
malah ditambani meneh. Aku yo ora setuju rencana kuwi. Tapi nek umpamane
tetep diundake yo arep piye meneh, mestine ditompo, meski jane ora lilo”
(Pasno. 39 tahun, Ploso Wetan)
131

(Minyak harganya naik, alamat tambah susah hidupnya. Jelas-jelas sudah


susah, malah ditambah lagi. Aku ya tidaksetuju rencana itu. Tapi seandainya
dinaikkan ya mau bagaimana lagi, semestinya diterima, meski sebenarnya
tidak rela)

“bagaimana caranya kenaikan BBM harus dibatalkan, demo ya ndak apa-apa


mas, ini sudah kelewatan, masak di saat susah-susah begini bbm juga
dinaikkan bisa-bisa ndak makan betulan. Sekarang saja untuk beli beras
susah, apalagi kalau BBM naik” (Suyoko, 38 tahun. Klopo Duwur)

Demikianlah deskripsi mengenai orientasi politik masyarakat pengikut Saminisme

baik dari sisi pengetahuan terhadap komponen dasar sistem politik, pemahaman

dan penilaian mereka terhadap sistem politik.

G. Perilaku Memilih Pengikut Saminisme Dalam Pemilu

Setelah mendapatkan gambaran mengenai orientasi politik masyarakat

Samin berikut ini deskripsi mengenai perilaku memilih mereka dalam pemilihan

umum legislatif, pemilihan presiden dan juga pemilihan kepala daerah secara

langsung.

G.1. Pemilu 2004 di Desa Klopo Duwur

Secara umum rangkaian pemilu tahun 2004 di Desa Klopo Duwur

berlangsung normal. Tidak ada hal-hal yang bersifat gangguan berarti dalam

pelaksanaan pemilu terjadi di Klopo Duwur, meski juga sempat terganggu

masalah logistik pemilu yang terlambat. Berikut data mengenai tingkat partisipasi

dalam pemilihan presiden dan wakil presiden putaran pertama di Desa Klopo

Duwur.

Tabel 14. Partisipasi dalam Pemilu Presiden dan Wakil tahun 2004 di Desa Klopo
Duwur
132

Data Pemilih Laki-laki Perempuan Jumlah

Jumlah pemilih terdaftar yang 1354 1319 2673


menggunakan hal pilih (79,5%) (79,1%) (79,3%)

Jumlah pemilih terdaftar yang 348 348 696


tidak menggunakan hak pilih (20,5%) (20,9%) (20,7%)
Jumlah pemilih terdaftar 1702 1667 3369
(100%) (100%) (100%)
Sumber : Model D-1-PWP Milik PPS Klopo Duwur

Data yang tersedia mengenai tingkat partisipasi untuk Klopo Duwur hanya

data partisipasi dalam pemilihan presiden, sedangkan data partisipasi pemilu

legislatif tidak tersedia. Pada pemilihan presiden putaran pertama ada 696 pemilih

yang tidak menggunakan hak pilih ditambah dengan angka 39 pengguna yang

menggunakan hak pilih tetapi surat suara dinyatakan tidak sah. Total jumlah

pemilih yang tidak menggunakan hak pilih baik karena memang tidak hadir ke

lokasi pemungutan suara maupun yang hadir tetapi hak suaranya dinyatakan tidak

sah karena surat suara tidak sah berjumlah 735 pemilih yang berarti sekitar 21,8

%. Untuk melihat tingkat partisipasi di tingkat Dusun Klopo Duwur, berikut ini

data mengenai tingkat partisipasi pemilih di tingkat dusun.

Tabel 15. Partisipasi dalam Pemilu Presiden 2004 di Dusun Klopo Duwur
Data Pemilih Laki-laki Perempuan Jumlah

Jumlah pemilih terdaftar yang 239 128 367


menggunakan hal pilih (59,3%) (37,9%) (49,9%)
Jumlah pemilih terdaftar yang 164 207 371
tidak menggunakan hak pilih (40,7%) (62,1%) (50,1%)
Jumlah pemilih terdaftar 403 338 736
(100%) (100%) (100%)
Sumber : Model D-1-PWP Milik PPS Klopo Duwur


Berdasarkan data pemilih di tps 1,2 dan 3 di Dusun Klopo Duwur
133

Data di atas menunjukkan bahwa dalam pemilihan presiden dan wakil presiden di

Dusun Klopo Duwur yang terdapat tiga TPS tingkat partisipasi di bawah 50%.

Selanjutnya adalah hasil pemilu legislatif di tingkat desa;

Tabel 16. Hasil Pemilihan Umum Legislatif di Desa Klopo Duwur Tahun 2004
Nama Partai Jumlah Suara Peringkat
1. PNI Marhaenisme 74 6
2. Partai Buruh Sosial Demokrat 9 15

3. Partai Bulan Bintang 8 16


4. Partai Merdeka 4 18
5. Parta Persatuan Pembangunan 552 1

6. Partai PDK 2 20
7. Partai PIB 105 5
8. PNBK 13 14
9. Parta Demokrat 30 10
10. Partai Keadilan dan Persatuan 3 19
11. Partai Penegak Demokrasi Ind 19 12
12. Partai PNUI 5 17
13. Partai Amanat Nasional 52 8

14. PKPB 73 7
15. PKB 387 3
16. PKS 17 13
17. Partai Bintang Reformasi 31 9
18. PDIP 515 2
19. Partai Damai Sejahtera 22 11
20. Partai Golkar 216 4
21. Partai Patriot Pancasila 4 18
22. Partai Syarikat Indonesia 5 17
23. Partai Persatuan Daerah 0 22
24. Partai Pelopor 1 21
Sumber : Data PPS Desa Klopo Duwur tahun 2004
Pada pemilihan umum legislatif partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi

pengumpul suara terbanyak disusul oleh PDIP diikuti oleh Partai Kebangkitan dan
134

Persatuan Indonesia (PKPI). Selanjutnya data mengenai perolehan suara

pemilihan presiden putaran pertama di Desa Klopo Duwur

Tabel 17. Hasil Pengumpulan Suara Pemilihan Presiden Putaran Pertama Desa
Klopo Duwur
No Nama Pasangan Capres-Wapres Jumlah Suara Peringkat
1 H. Wiranto, SH dan 474
Ir. H. Salahuudin Wahid (17,9%) 3

2 Hj. Megawati Soekarnoputri dan 1115 1


KH.A. Hasyim Muzadi (42,2%)

3 Prof. DR.H.M Amien Rais dan 185


DR.Ir.H. Siswono Yudo Husodo (7%) 5

4 H. Susilo Bambang Yudhoyono 538


Dan Drs.H.M.Jusuf Kalla (20,4%) 2

5 DR.H.Hamzah Haz dan 328


H.Agum Gumelar, M.Sc. (12,4%) 4
Jumlah 2640
(100%)
Sumber : Model D1-PWP milik PPS Desa Klopo Duwur

Pada pemilihan putaran pertama ini pasangan Megawati dan Hasyim

Muzadi unggul di atas SBY dan Yusuf Kalla. Keunggulan PPP dalam pemilihan

legislatif tidak diikuti dengan keunggulan calon presiden dari PPP, Hamzah hanya

berada di atas pasangan Amien Rais, padahal dalam pemilihan legislatif PPP

unggul sebagai pengumpul suara terbanyak.

Untuk memfokuskan pada perilaku politik pengikut Saminisme berikut ini

hasil perolehan suara dalam pilpres putaran pertama di dusun Klopo Duwur yang

terdiri dari empat tempat pemungutan suara (TPS), yaitu TPS 1,2 dan 3 Berikut

data perolehan suara di Klopo Duwur:


135

Tabel 18. Perolehan Suara Pilpres Putaran 1 di Dusun Klopo Duwur


No Nama Pasangan Capres-Wapres Jumlah Suara* Peringkat
1 H. Wiranto, SH dan 81
Ir. H. Salahuudin Wahid (22,1%) 3

2 Hj. Megawati Soekarnoputri dan 193 1


KH.A. Hasyim Muzadi (52,6%)

3 Prof. DR.H.M Amien Rais dan 23


DR.Ir.H. Siswono Yudo Husodo (6,3%) 4

4 H. Susilo Bambang Yudhoyono 65


Dan Drs.H.M.Jusuf Kalla (17,7%) 2

5 DR.H.Hamzah Haz dan 5


H.Agum Gumelar, M.Sc. (1,3%) 5

Jumlah 367
(100%)
Sumber : Model D1-PWP milik PPS Desa Klopo Duwur

Di Dusun Klopo Duwur pengumpul suara terbanyak adalah pasangan Megawati

diikuti oleh pasangan SBY-Kalla kemudian Wiranto dan Salahudin Wahid.

G.2. Pemilu 2004 di Desa Kediren

Secara umum rangkaian pemilu tahun 2004 di Desa Kediren berlangsung

normal. Tidak ada hal-hal yang bersifat gangguan pelaksanaan pemilu terjadi di

Kediren, berikut data mengenai tingkat partisipasi dalam pemilihan presiden

putaran pertama di Desa Kediren.

Tabel 19. Partisipasi dalam Pemilu Legislatif tahun 2004 di Desa Kediren
Data Pemilih Laki-laki Perempuan Jumlah

Jumlah pemilih terdaftar yang 1464 1565 3029


*
Berdasarkan akumulasi suara dari tps 1,2 dan 3 yang berlokasi di dusun Klopo Duwur
136

menggunakan hal pilih (82,2%) (82,2%) (82,2%)

Jumlah pemilih terdaftar yang 316 338 654


tidak menggunakan hak pilih (17,8%) (17,8%) (17,8%)
Jumlah pemilih terdaftar 1780 1903 3683
(100%) (100%) (100%)
Sumber : Model D-1-PWP Milik PPS Kediren

Data yang tersedia mengenai tingkat partisipasi untuk Kediren hanya data

partisipasi dalam pemilihan presiden, sedangkan data partisipasi pemilu legislatif

tidak tersedia. Pada pemilihan presiden putaran pertama ada 654 pemilih yang

tidak menggunakan hak pilih ditambah dengan angka 30 pengguna yang

menggunakan hak pilih tetapi surat suara dinyatakan tidak sah. Total jumlah

pemilih yang tidak menggunakan hak pilih baik karena memang tidak hadir ke

lokasi pemungutan suara maupun yang hadir tetapi hak suaranya dinyatakan tidak

sah karena surat suara tidak sah berjumlah 771 pemilih yang berarti sekitar 18,5

%. Sebagai pembanding tingkat partisipasi, berikut data tingkat partisipasi dalam

pemilihan kepala daerah pada tanggal 27 Juni 2005. Berikut data tingkat

partisipasi pemilih di desa Kediren dalam pemilihan kepala daerah secara

langsung;

Tabel 20 Partisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kediren 2005


Data Pemilih Laki-laki Perempuan Jumlah

Jumlah pemilih terdaftar yang 1304 1489 2793


menggunakan hal pilih (71%) (77,8%) (74,5%)

Jumlah pemilih terdaftar yang 532 425 957


tidak menggunakan hak pilih (29%) (22,2%) (25,5%)
Jumlah pemilih terdaftar 1836 1914 3750
(100%) (100%) (100%)
Sumber : Model D-1-KWK Milik PPS Kediren tahun 2005
137

Data tingkat partisipasi menunjukkan bahwa pada pemilihan kepala

daerah secara langsung pada putaran pertama ada 3750 pemilih namun yang tidak

menggunakan hak suara 957 pemilih ditambah dengan pemilih yang

menggunakan hak pilih tapi dinyatakan tidak sah sebanyak 117 hingga total yang

tidak atau gagal menggunakan hak pilih sebanyak 1074 pemilih atau sekitar 28,6

persen (lebih dari satu perempat dari pemilih). Penelitian juga berhasil menelusuri

data tingkat partisipasi hingga ke tingkat dusun. Berikut data tingkat partisipasi

warga Ploso Wetan dalam pemilihan presiden putaran pertama.

Tabel 21. Partisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Ploso Wetan
Data Pemilih Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah pemilih terdaftar yang 288 296 584
menggunakan hal pilih (65,9%) (63,6%) (64,7%)

Jumlah pemilih terdaftar yang 149 169 318


tidak menggunakan hak pilih (34,1%) (36,4%) (35,3%)
Jumlah pemilih terdaftar 437 465 902
(100%) (100%) (100%)
Sumber : Model D-1-KWK Milik PPS Kediren tahun 2005

Dari data di tingkat dusun Ploso jumlah pemilih terdaftar sebanyak 902 pemilih

dan yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 318 pemilih atau sekitar 35.3 %.

Selanjutnya adalah hasil pemilu legislatif di tingkat desa;

Tabel 22. Hasil Pemilihan Umum Legislatif di Desa Kediren Tahun 2004
Nama Partai Jumlah Suara Peringkat
1. PNI Marhaenisme 68 8
2. Partai Buruh Sosial Demokrat 5 20

3. Partai Bulan Bintang 21 13


4. Partai Merdeka 12 17
5. Parta Persatuan Pembangunan 55 9

6. Partai PDK 7 19


Berdasar akumulusi jumlah pemilih di empat TPS 8,9,10 dan 11
138

7. Partai PIB 9 18
8. PNBK 263 4
9. Parta Demokrat 144 6
10. Partai Keadilan dan Persatuan 390 3
11. Partai Penegak Demokrasi Ind 52 10
12. Partai PNUI 9 18
13. Partai Amanat Nasional 49 11

14. PKPB 34 12
15. PKB 152 5
16. PKS 72 7
17. Partai Bintang Reformasi 6 20
18. PDIP 939 1
19. Partai Damai Sejahtera 3 23
20. Partai Golkar 487 2
21. Partai Patriot Pancasila 16 15
22. Partai Syarikat Indonesia 4 22
23. Partai Persatuan Daerah 13 16
24. Partai Pelopor 18 14
Sumber : Data PPS Desa Kediren tahun 2004
Pada pemilihan umum legislatif partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

menjadi pengumpul suara terbanyak disusul oleh partai Golkar diikuti oleh Partai

Kebangkitan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Selanjutnya data mengenai

perolehan suara pemilihan presiden putaran pertama di Desa Kediren

Tabel 23. Hasil Pengumpulan Suara Pemilihan Presiden Putaran Pertama Desa
Kediren
No Nama Pasangan Capres-Wapres Jumlah Suara Peringkat
1 H. Wiranto, SH dan 490
Ir. H. Salahuudin Wahid (16,2%) 3

2 Hj. Megawati Soekarnoputri dan 1007 2


KH.A. Hasyim Muzadi (33,5%)
139

3 Prof. DR.H.M Amien Rais dan 270


DR.Ir.H. Siswono Yudo Husodo (8,9%) 4

4 H. Susilo Bambang Yudhoyono 1206


Dan Drs.H.M.Jusuf Kalla (40%) 1

5 DR.H.Hamzah Haz dan 43


H.Agum Gumelar, M.Sc. (1,4%) 5
Jumlah 3016
(100%)
Sumber : Model D1-PWP milik PPS Desa Kediren

Pada pemilihan putaran pertama ini pasangan SBY dan Kalla unggul di

atas Megawati, padahal dalam pemilihan legislatif PDIP unggul jauh di atas

partai-partai lain. Pada pemilu legislatif PDIP sebagai partai pengusung pasangan

Megawati dan Hasyim Muzadi meraih 939 suara pada pemilu presiden, Megawati

meraih 1007 suara yang berarti naik 68 suara, sedangkan Demokrat dan PBB yang

merupakan pengusung SBY dan Kalla pada pemilu legislatif meraih 144 dan 21

suara yang berarti berjumlah 165 suara, kemudian pada pemilihan presiden, SBY-

Kalla meraih 1206 suara atau naik 1041 suara.

Untuk memfokuskan pada perilaku politik pengikut Saminisme berikut ini

hasil perolehan suara dalam pilpres putaran pertama di dusun Ploso Kediren yang

terdiri dari empat tempat pemungutan suara (TPS), yaitu TPS 8,9,10 dan 11.

Berikut data perolehan suara di Ploso Wetan:

Tabel 24. Perolehan Suara Pilpres Putaran 1 di Ploso Wetan


No Nama Pasangan Capres-Wapres Jumlah Suara* Peringkat
1 H. Wiranto, SH dan 71
Ir. H. Salahuudin Wahid (9,2%) 4

*
Berdasarkan akumulasi suara dari tps 8,9,10 dan 11 yang berlokasi di Ploso Wetan
140

2 Hj. Megawati Soekarnoputri dan 216 2


KH.A. Hasyim Muzadi (28%)

3 Prof. DR.H.M Amien Rais dan 112


DR.Ir.H. Siswono Yudo Husodo (14,5%) 3

4 H. Susilo Bambang Yudhoyono 364


Dan Drs.H.M.Jusuf Kalla (47,1%) 1

5 DR.H.Hamzah Haz dan 9


H.Agum Gumelar, M.Sc. (1,2%) 5
Jumlah 772
(100%)
Sumber : Model D1-PWP milik PPS Desa Kediren

Bila kita amati tidak ada perubahan berarti dari perolehan suara bila

dibandingkan dengan suara para capres dan wapres di tingkat desa, namun yang

menarik adalah pergeseran urutan ketiga dari pasangan Wiranto dan Salahudin

Wahid kepada pasangan Amien Rais dan Siswono, di tingkat desa Wiranto berada

di urutan ketiga namun di Ploso Wetan justru pasangan Amien Rais yang berada

di urutan ketiga. Untuk urutan pertama tetap diduduki oleh pasangan SBY.

Untuk data mengenai pemilihan anggota legislatif tidak terdapat data yang

memadai untuk tingkat Dusun Ploso Wetan, namun berdasarkan informasi dari

informan di empat TPS di Ploso Wetan, urutan pertama diduduki oleh PDIP,

disusul PKPI dan Golkar.

Selanjutnya, berikut pendapat dan pandangan informan mengenai alasan

mereka berpartisipasi dalam pemilu;

“ikut pemilu itu adalah melaksanakan anjuran-anjuran dari pemerintah walau saya
tidak yakin pemilu bermanfaat” (Suyoko, Klopo Duwur)

Pendapat lainnya dari Kastamin,


141

“Aku melu pemilu mung sekedar nggoh rame-rame, ora ono pikiran liane”

(Saya ikut pemilu untuk meramaikan saja, tidak ada pikiran lainnya)

Selanjutnya Bapak Ngasirun, informan dari Ploso Wetan menyapaikan

pendapatnya sebagai berikut :

“Jare wong utamane pak Carik ngomong wajib melu coblosan, masalah pilihane
opo kuwi bebas ora masalah”

(Kata orang terutama pak Carik ngomong wajib ikut pemilu, masalah pilihannya
apa itu bebas, tidak masalah)

Beberapa informan juga mengemukakan hal-hal yang menjadi alasan atau faktor

pendorong mereka dalam menentukan pilihan dalam pemilihan umum.

“Saya memilih berdasarkan keyakinan saya dalam melihat partai-partai yang


baik dan peduli pada nasib kami” (Suyoko, Klopo Duwur)

Pendapat lainnya adalah dari Ngasirun;

“Sing penting gambar karo warnane apik yo sing tak pilih mawon”

(yang penting gambar dan warnanya bagus yang saya pilih)

Berikut ini pendapat yang mencerminkan pengaruh dari nilai-nilai lama yang

diyakini oleh pengikut Samin;

“Mbiyen Mbah Engkrek berjuange karo Bung Karno, dadine sing aku ngroso
sepaham iku karo partaine anake Bung Karno, soale jelas asal turune”

(Dulu Mbah enkrek berjuang bersama Sukarno, jadinya yang saya merasa
sepaham itu dengan partai anaknya Bung karno, soalnya jelas asal keturunannya)

II. Pembahasan Hasil Penelitian

A. Tipe Budaya Politik dan Perilaku Politik Masyarakat Pengikut Saminisme

A.1. Tipe Budaya Politik

Penelitian ini berusaha untuk mengetahui tipe budaya politik dan perilaku

politik pengikut Saminisme. Sebagai dasar untuk mengetahui tipe budaya politik,
142

maka menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba (1990 : 19-20) perlu

melacak empat hal pertama, pengetahuan individu terhadap sistem politik, baik

mengenai pengertian sistem politik yang dianut di negaranya, sejarah, sifat-sifat

konstitusi dan pengetahuan umum lainnya yang menyangkut sistem politik di

negara bersangkutan.

Kedua, pemahaman individu mengenai input sistem politik, seperti

pengetahuan mengenai struktur dan peranan elit politik serta mekanisme

pengajuan-pengajuan tuntutan politik atau pengajuan kebijaksanaan politik.

Kemudian perasaan-perasaan individu mengenai struktur elite beserta proposal

kebijaksanaan yang mereka ajukan ke sistem politik.

Ketiga, pemahaman individu mengenai output sistem politik, seperti

pemahaman mengenai kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh sistem

politik. Juga mengenai mekanisme pemunculan kebijakan-kebijakan tersebut serta

mengenai perasaan mereka terhadap dampak yang dirasakan dari kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan sistem politik.

Keempat, partisipasi politik individu. Menyangkut argumentasi individu

mengenai perasaannya sebagai bagian dari sistem politik. Lalu pengetahuan

mereka terhadap hak-hak, kewajiban serta strategi-strategi individu untuk

melakukan tekanan atau mempengaruhi sistem politik.

Data penelitian yang tersedia dapat menjelaskan ke empat hal tersebut di

atas, hingga pada akhirnya dapat menentukan tipe budaya politik pengikut

Saminisme di kedua dusun lokasi penelitian berdasar tiga tipe budaya politik yang

dibuat oleh Verba dan Almond. Berikut ini data keadaan pengikut saminisme
143

(Baca hasil penelitian pada bagian orientasi politik masyarakat pengikut

saminisme) terkait dengan empat hal yang perlu dilacak berdasar pendapat

Almond dan Verba di atas;

Terkait dengan pengetahuan individu mengenai hal-hal dasar tentang

sistem politik, dapatlah kita ketahui beberapa hal ; Pertama, informan penelitian

yang merupakan pengikut saminisme di lokasi penelitian memiliki pengetahuan

dasar tersebut, hal ini diketahui dari pendapat-pendapat informan ketika ditanya

mengenai dasar negara, kewilayahan dan sebagainya. Namun pengetahuan

tersebut dapat dikatakan sangat terbatas atau sangat tidak lengkap. Deskripsi

informan bersifat sangat spekulatif (menduga-duga) dan tidak akurat. Mari kita

analisis beberapa pendapat berikut:

"..ojo takon-takon kuwi mas, aku wong tani yo ora paham, sing penting yo
pancasila, mbiyen pamong ngomong koyo kuwi. Nduk teve-teve yo okeh soalan
pancasila" (Dasuki, 62 tahun. Petani di Klopo Duwur)

"aku ngertine Bung Karno, lha pancasila iku pikirane Sukarno, sing ngerti sak
jero-jerone yo Sukarno, petani-petani nduk Ploso mung-mungan ngerti urusan
tentang pancasila opo maneh sak isi-isine"

"Pancasila itu dasar negara yang mengatur kehidupan masyarakat Indonesia


isinya mengenai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,. Itu yang saya tahu. Tapi
terus terang saya belum tahu benar apa gunanya pancasila untuk kehidupan"
(Ngasirun, karyawan di Ploso Wetan berusia 38 tahun

Dari pendapat di atas dapat kita ketahui, informan mengenal pancasila tetapi tidak

mengetahui apakah pancasila dan apa guna pencasila. Bahkan cenderung

spekulatif. Namun bila kita merujuk pada pendapat Ngasirun, ia bisa mengetahui

gambaran umum pancasila tetapi pengetahuannya tidaklah lengkap. Meski

demikian ada pendapat seorang informan yang relatif lengkap;


144

"Pancasila itu pandangan hidup bangsa Indonesia, yang dirumuskan oleh


pendiri bangsa, ada lima sila di dalamnya. Panca itu berarti lima dan sila itu
dasar, berarti lima dasar-dasar negara; meliputi: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Permusyawaratan
yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia." (Suyoko, Klopo Duwur)

Pengetahuan informan terakhir (Bapak Suyoko) dapat dikatakan mendekati

lengkap, karena informasi awal mengenai pancasila terpenuhi, hal ini dapatlah

dihubungkan dengan latar belakang informan yang berpendidikan SLTA dan

berprofesi sebagai guru.

Kemudian berikut kita perhatikan pengetahuan beberapa informan ketika

ditanya mengenai kewilayahan NKRI:

"Indonesia opo yo mas..? (bingung)…aku ora ngerti, sing jelas Aceh yo Aceh,
Jowo yo Jowo, mbiyen neng tanah Jowo ono Majapahit lha kuwi cikal bakale
sak iki. Wilayah Indonesia yo ora ngerti mas" (Simun, 78 tahun, Ploso Wetan)

"Kulo mboten ngertos asline Indonesia niku pundi-pundi mawon, lha sak
ngertose kulo Indonesia nggih mriki, Jakarta, Semarang, yo kota-kota niku
mas" (Siwan, 72 tahun, Klopo Duwur)

"Indonesia itu terdiri dari banyak daerah kalau tidak salah sekarang ada 27
provinsi, ada yang di Sumatera, Kalimantan, juga Jawa bahkan sampai ke
ujung-ujung ada Irian"(Sumarni, Klopo Duwur)

"Indonesia ya ada 27 propinsi tapi mungkin sudah ada yang baru-baru saya
tidak terlalu mengikuti yang jelas dari Sabang sampai Merauke"(Supatno, kami
tuwo Ploso Wetan)

Empat pendapat tersebut merupakan gambaran pengetahuan informan, perhatikan

pernyataan Simun yang menghubungkan Indonesia dengan keberadaan Majapahit,

hal ini memperlihatkan adanya percampuran antara pengetahuan yang bersifat

baru dengan pengetahuan yang bersifat ajaran lama (mitos). Hal ini kita ketahui

dengan menghubungkan pendapat Simun dengan ajaran politik Samin Surosentiko

(Baca hasil penelitian, bagian ajaran politik Saminisme)


145

Gur tameh eling bilih sira


Kebeh horal sanes turun pandawa
Lan huwis nyipati kabrokalan
Krandah majapait sakeng
Kakrage wadya musuh.
Mula sakuwit liyen kala nira
Puntadewa titip tanah Jawa
Marang hing Sunan Kalijaga
Hiku maklumat tuwila kajantaka

(Orang samin adalah tidak lain keturunan Pandawa


tepatnya Prabu Puntadewa, saudara tertua, yang berbudi luhur
dan tanpa pamrih. Kedua, pada zaman senjakala Majapahit
keturunan ini mengalami pukulan dari orang-orang Demak
yang mabuk kemenangan. Trah pandawa di Majapahit sudah tahu
siapa salah dan siapa benar. Maka sewaktu mereka tersiksa
Prabu Puntadewa menampakkan kembali ke dunia
Pergi ke Demak dan menitipkan keselamatan
Tanah Jawa kepada Sunan Kalijaga.)

Selanjutnya pada infomasi yang diberikan informan ketiga dan keempat (Sumarni

dan Supatno yang merupakan kami tuwo) bersifat out of date (informasi lama)

yang tidak akurat.

Kedua, untuk mengetahui pemahaman informan mengenai input sistem

politik dalam penelitian ini ditelusuri informasi yang dimiliki oleh informan

mengenai pemilihan umum dan pengetahuan informan mengenai pengajuan usul

kepada sistem politik. Berikut hasil informasi yang diperoleh dari informan;

"Pemilu yo coblosan, milih partai-partai nek arep pemilu ono kampanye cah-
cah nom, sing sepuh paling-paling yo melu coblosan. Sak iki pemilu yo milih
presidene" (Joyo Rukiyat, buruh tani, 71 tahun. Ploso Wetan)

"pemilu memilih wakil rakyat dari partai-partau politik untuk di dewan


perwakilan biasanya wakil-wakil rakyat yang akan menjadi wakil-wakil kita
dalam pemerintahan" (Suyoko, 38 tahun. Klopo Duwur)

Informan lainnya berpendapat;


146

"Pilihan pejabat-pejabat, sing milih rakyat langsung, lha mengko wakil-wakil


rakyat ngusahake kebutuhan-kebutuhan rakyat, contone gili, lustrik karo
liane" (Kastamin, 52 tahun. Klopo Duwur)

"Pemilu untuk memilih anggota DPR, yang memilih kita semua" (Kawit, 42
tahun tinggal di Ploso Wetan)

"wah urusan manfaate pemilu yo ora ngerti mas, wis nyoblos yo wis"
(Joko Rukiyat)

"Manfaat langsung nganggeh petani kaliah tiang alit niku nggih kadosipun
mboten enten" (Kawit, Ploso Wetan)

"lha nggih manfaate niku mung sebatas seneng ono keramean" (Laminah, 54
tahun, Ploso Wetan)

Pemilihan umum dalam pandangan informan menempatkan informan “sekedar”

obyek pemilu, karena mereka memahami pemilu merupakan kewajiban untuk

mencoblos. Dampak dari pilihan-pilihan mereka tidaklah terlalu menjadi

perhatian. Pemilihan umum dilihat sebagai sebuah seremoni politik negara. Satu

hal penting yang dapat ditangkap bahwa pemilihan umum cenderung bukanlah

sesuatu yang penting untuk mereka karena bagi informan pemilu apapun hasilnya

tidak berpengaruh pada nasib mereka.

Selanjutnya mari kita perhatikan pendapat mereka mengenai pengajuan

usul kepada sistem politik, sebagian informan menjnawab dengan tidak tahu,

karena yang tahu itu pamong desa, adapun pendapat lainnya

“sing bagian usul-usul kuwi wis ono sing ngurusi, malah biasane ono neng
teve, lha kaum tani yo ora mungkin ngomong urusan-urusan penting kuwi
mas, mboten ngertos, mangke malah keleru" (Rasiyo, 74 tahun. Tinggal di
Ploso kediren)

“dimana-mana sudah banyak orang yang memikirkan masalah negara mas,


dadi yo ra usah mumet-mumet mikirke kuwe. Lha pemerintah sing elek kuwi
sing nyebabke nasib petani ora apik-apik mas” (Iskuat petani di Kediren, usia
32 tahun)
147

Meski demikian, bagi Supatno dan Suyoko, dua informan yang memiliki latar

belakang pendidikan yang relatif tinggi mereka mengetahui mekanisme pengajuan

usul, yaitu melalui dewan perwakilan rakyat secara langsung maupun melalui

surat.

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa informan tidak memiliki

pengetahuan mengenai mekanisme pengajuan usul kepada sistem politik dan

cenderung acuh tehadap keadaan karena sebagai orang kecil mereka merasa tidak

pantas mengurusi hal-hal tersebut.

Ketiga, pemahaman informan mengenai output dari sistem politik.

Untuk menelusuri hal tersebut, dalam penelitian ini informan dimintai pendapat

mengenai rencana kenaikan harga bahan bakar minyak. Secara umum infoman

menolak kebijakan tersebut, karena informan merasa keadaan hidup yang sudah

berat karena desakan ekonomi akan semakin berat karena kenaikan BBM akan

berdampak pada kenaikan kebutuhan lainnya namun, penyikapan terhadap

kebijakan tersebut ada dua pendapat utama; pendapat pertama menyatakan kalau

pada akhirnya betul-betul dinaikkan mau bagaimana lagi, semua harus diterima,

karena sebagai oran kecil tidak ada daya untuk menolak kebijakan tersebut.

Namun ada juga pendapat yang menginginkan adanya upaya untuk menolak

kebijakan tersebut, dengan cara apapun termasuk dengan aksi turun ke jalan,

berikut petikan pendapat informan:

“minyak regone mundak, alamat tambah susah uripe. Ceto-ceto wis susah,
malah ditambani meneh. Aku yo ora setuju rencana kuwi. Tapi nek umpamane
tetep diundake yo arep piye meneh, mestine ditompo, meski jane ora lilo”
(Pasno. 39 tahun, Ploso Wetan)
148

“bagaimana caranya kenaikan BBM harus dibatalkan, demo ya ndak apa-apa


mas, ini sudah kelewatan, masak di saat susah-susah begini bbm juga
dinaikkan bisa-bisa ndak makan betulan. Sekarang saja untuk beli beras
susah, apalagi kalau BBM naik” (Suyoko, 38 tahun. Klopo Duwur)

Keempat, penelusuran mengenai argumentasi informan mengenai

perasaannya sebagai bagian dari sistem politik juga ditelusuri dalam penelitian ini.

Berikut ini beberapa petikan agumentasi informan;

“jamane wis apik, pemerintahne juga apik. Presidene yo apik. Tur uripe wong
alit tetap koyo ngene wae mas. Pemerintahne apik, masyarakate mestine iso
apik uripe” (Rasiyo, Ploso Wetan 74 tahun)

“Negara saat ini tidak lebih baik dari sebelum-sebelumnya, keadaan


masyarakat semakin susah, nasib guru seperti saya malah tambah buruk.
Dulu rasanya lebih baik dari sekarang” (Suyoko, 38 tahun. Guru tinggal di
Klopo Duwur)

“..rekoso mung kudu dilakoni mas, tiyang tani yo isone koyo ngene iki, njaluk
tulung pemerintah yo piye carane, ora ngerti..sing penting rekoso-rekoso
waton ora nyolong” (Kawit 42 tahun tinggal di Ploso Wetan)

“..sak iki opo sih mas sing ora angel, serba susah. Pemerintahne yo aku ora
ngerti kepiye-kepiye, sandangan larang, beras melu larang, kabean larang”
(Suwarni, 40 tahun)

"Negara kudu nduwe patokan, dadi budaya iku yo di uri-uri, presiden yo


kudune nduwe pujonggo, siji seko Islam sijine seko Jowo. Nek budaya ora di
uri-uri negara pastine bakal susah terus, tinggalane leluhur kuwe yo patokan,
nek negara ora duwe patokan yo susah" (Sujadi, Klopo Duwur)

Ada persamaan umum bahwa muncul perasaan negatif yang cukup kuat terhadap

keadaan sistem politik hari ini, terutama menyangkut penampilan, kinerja dan

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sistem politik.

Secara lebih ringkas, oreientasi informan akan dapat dilihat dari matrik

berikut ini;
149

Matrik 1. Pengetahuan Informan Mengenai Dasar Negara, Kewilayahan dan


Pemilu
No Informan Deskripsi Pengetahuan Kecendrungan

1 Dasuki  Saya petani tidak paham Memiliki pengeta-


persis pancasila, yang huan dasar tapi
penting ya pancasila sajalah, jauh dari lengkap
begitu kata pamong.
 Yang penting tidak
menjelek-jelekkan pancasila

2 Rasiyo  Aku mengerti bung karno, Pengetahuan


pancasila itu pikiran Bung dipengaruhi nilai-
Karno, yang mengerti ya nilai lama
Sukarno itu

3 Ngasirun  Dasar negara yang menga- Pengetahuan relatif


tur kehidupan masyarakat. lengkap
Isinya; ketuhanan, kemanu-
siaan, persatuan, permusya-
waratan dan keadilan sosial

4 Suyoko  Pancasila itu pandangan Pengetahuan relatif


hidup bangsa, isinya lima lenkap
(disebutkan lengkap)
 Pemilu itu untuk memilih
wakil rakyat dan juga
presiden

5 Simun  Wilayah Indonesia saya Pengetahuan dasar


150

tidak tahu. ada tapi spekulatif


 Cikal bakal Indonesia dan dipengaruhi
Majapahit nilai lama

6 Siwan  Wilayah Indonesia itu luas Pengetahuan dasar


tapi saya tidak tahu mana sangat lemah
saja

7 Sumarni  Indonesia itu ada 27 Pengetahuan dasar


Provinsi, ada di Sumatera, cukup tapi out of
Jawa, Kalimantan dan lain- date
lain

8 Supatno  Wilayah Indonesia itu 27 Pengetahuan dasar


provinsi, mungkin sudah cukup tapi out of
ada yang baru jadi berubah date
….Lanjutan Matrik 1
No Informan Deskripsi Pengetahuan Kecendrungan

9 Joyo Rukiyat  Pemilu ya coblosan untuk Pengetahuan dasar


memilih partai dan presiden ada tapi jauh dari
 Sebelum pemilu ada lengkap
kampanye bagi anak muda
 Manfaat pemilu saya tidak
tahu

10 Kastamin  Pemilu itu pemilihan wakil Pengetahuan dasar


rakyat yang milih kita cukup
semua

11 Kawit  Pemilu untuk memilih Pengetahuan relatif


anggota DPR cukup

12 Lamirah  Manfaat pemilu itu sebatas Ikut pemilu tanpa


saya senang ada keramaian dasar pengetahuan
yang cukup

Dari matrik dapat kita lihat secara umum para informan memiliki

pengetahuan tentang dasar negara, kewilayahan dan sistem pemilu. Namun,

informasi dasar tersebut jauh dari kelengkapan. Hingga pengetahuan ini hanya

bersifat sangat umum. Hal ini menunjukkan secara kognitif sesungguhnya

informan tidak berada pada titik nol, bahkan bisa dibilang mencukupi.
151

Selanjutnya, akan disajikan matrik pemahaman informan untuk mempengaruhi

sistem politik.

Matrik 2. Pemahaman Informan untuk mempengaruhi sistem politik


No Informan Deskripsi Pemahaman Kecendrungan

1 Rasiyo  Yang bagian usul-usul itu Tidak ingin terlibat


sudah ada yang mengurusi interaksi dengan
 Petani tidak pantas sistem politik
bicara/mengusulkan hal-hal dipengaruhi rasa
pentingpada pemeirntah, rendah diri sebagi
nanti malah salah petani

2 Supatno  Siapa saya bisa mengajukan Cukup punya


ke DPR keinginan berparti-
sipasi dalam sistem
politik

3 Suyoko  Usul disampaikan ke DPR Cukup memiliki


langsung atau lewat surat keinginan
dan bisa dilakukan oleh berpartisipasi dan
semua orang memahami
mekanisme

4 Dasuki  Mana mungkin usulan Tidak memiliki


petani didengarkan oleh keinginan
pejabat berpartisipasi
karena rasa pesimis

5 Iskuat  Dimana-mana sudah banyak Pemahaman lemah


orang yang memikirkan dan tidak punya
masalah negara jadi tidak keinginan
perlu pusing-pusing berpartisipasi
152

6 Kawit  Ingin minta bantu pemerin- Pemahaman lemah


tah tapi tidak tahu caranya tapi ada keininan
untuk berinteraksi
dengan sistem
politik

Matrik kedua ini menjelaskan ada kecendrungan pemahaman informan

terhadap input politik relatif sangat rendah. Hingga kecendrungan untuk

berpartisipasi mempengaruhi sistem politik relatif rendah pula. Selanjutnya akan

disajikan matrik perasaan informan terhadap sistem politik saat ini,

Matrik 3. Perasaan Informan terhadap sistem politik saat ini


No Informan Deskripsi Perasaan Kecendrungan
153

1 Suradi  Negara saat ini tidak punya Perasaan


pathokan budaya bangsa dipengaruhi nilai
tidak dipelihara. Presiden lama. Cenderung
saja tidak punya pujangga negatif terhadap
sistem politik

2 Rasiyo  Zaman sudah baik, presiden Pandangan pesimis


baik, tapi hidup orang kecil
tetap begini-begini saja

3 Suyoko  Negara tidak lebih baik dari Pandangan


sebelumnya, keadaan ma- cenderung negatif
syarakat tambah susah terhadap sistem
politik

4 Kawit  Sekarang susah, negara Pandangan negatif


tidak membantu tapi walau dan cenderung
susah tetap harus dijalani menyerah terhadap
yang penting tidak mencuri keadaan

5 Sumarni  Sekarang semua hal Pandangan negatif


menjadi susah, semua terhadap sistem
kebutuhan tambah mahal, politik terutama
negaranya tidak peduli dalam sektor
ekonomi

6 Kastamin  Hidup zaman Suharto lebih Pandangan


enak, sekarang semua cenderung negatif
mahal. Uang sepuluh ribu dan melihat masa
sekarang kecil manfaatnya orde baru lebih
baik

Matrik ketiga menunjukkan perasaan informan terhadap sistem politik,

terutama terhadap pengambil kebijakan publik (negara) terbilang negatif.

Selanjutnya akan dipaparkan matrik penilaian informan terhadap penampilan

sistem politik dalam menghasilkan output sistem politik.

Matrik 4. Penilaian Informan terhadap output sistem politik (Kenaikan BBM)


No Informan Deskripsi Pemahaman Kecendrungan
154

1 Pasno  Minyak harganya naik, Sikap menolak


maka hidup akan tambah output sistem
susah. Sudah jelas-jelas politik tetapi tidak
hidup sudah susah malah ingin melakukan
ditambah lagi kesusahannya perlawanan
 Tidak setuju dengan
kebijakan kenaikan BBM
 Kalau akhirnya dinaikkan
ya mau gimana lagi

2 Suyoko  Kebijakan kenaikan BBM Menolak output


harus dibatalkan, demo ya dan setuju
tidak apa-apa melakukan
 Pemeirntah sudah kelewatan perlawanan

3 Kastamin  Saya tidak setuju kenaikan Meolak output tapi


BBM belum memiliki
keinginan melawan

4 Sukardji  Apapun caranya kenaikan Menolak output


BBM harus dibatalkan cenderung ingin
rakyat sudah terlalu susah melawan

5 Laminah  Saya tidak tahu persoalan Tidak ada


BBM informasi lengkap

6 Siwan  Pemerintah malah buat Menolak output


susah rakyat kecil

Matrik keempat menjelaskan bahwa informan menolak kebijakan sebagai

bentuk output yang memberatkan mereka, seperti kebijakan mengurangi subsidi

BBM yang berdampak pada naiknya harga BBM.

Setelah melakukan penelusuran pada empat hal di atas, maka dapat

dikatakan informan berada dalam kecendrungan keadaan sebagai berikut :

Tabel 25. Tingkat Kecendrungan Pengetahuan Informan Mengenai Sistem Politik


Jenis Pengetahuan Tinggi Sedang Rendah
155

1. Pengetahuan mengenai hal


dasar dalam sistem politik
2. Pengetahuan hak politik
3. Pengetahuan kewajiban
politik
4. Pengetahuan mengenai input
sistem politik
5. Pengetahuan mengenai output
politik

Sumber : Data primer diolah, 2005

Tabel 26. Tingkat Kecendrungan Perasaan Informan Mengenai Sistem Politik


Perasaan Terhadap Positif Negatif
1. Kinerja sistem politik
2. Sebagai bagian sistem politik

3. input sistem politik


4. output sistem politik
Sumber : pengolahan dari hasil penelitian

Demikianlah kecendrungan pengetahuan dan perasaan informan tehadap

sistem politik. Pada tingkat perasaan informan kepada sistem politik yang ada saat

ini berkecendrungan berada pada posisi negatif. Hal ini terindikasi dari komentar-

komentar yang mempermasalahkan banyak hal dalam sistem politik saat ini. Ada

perasaan yang membuat mereka merasa terpisah jauh (terkucil) dari sistem politik

dan merasa frustrasi dengan keadaan yang dilahirkan dari sistem politik.

Selanjutnya untuk memantapkan proses analisis, perlu pula dilihat bahwa

partisipasi politik dalam pemilu yang relatif tinggi ternyata tidak diikuti dengan

patisipasi untuk mempengaruhi sistem politik. Dapat pula ditelusuri bahwa pemilu

dipahami lebih sebagai kewajiban politik bukanhak politik, hingga yang tepenting

bagi mereka adalah ikut coblosan tidak terlalu peduli dengan dampak dan

konsekuasi dari pilihan mereka. Hal ini bisa kita tangkap dari penjelasan-
156

penjelasan informan. (lihat pada hasil penelitian bagian orientasi politik). Maka

Secara teoritis partisipasi politik tersebut bersifat semu (pseudo participation),

apalagi dari penelusuran lapangan ditemukan adanya langkah-langkah penguatan

patisipasi politik melalui mobilisasi politik, terutama melalui perangkat desa.

Hingga partisipasi politik lebih dikarenakan faktor mobilisasi politik bukan

kesadaran politik.

Bila kita kita perhatikan tingkat partisipasi di Ploso Wetan yang mencapai

80% begitupun di Klopo Duwur dalam pemilihan pesiden dan legislatif

selanjutnya kita bandingkan dengan pandangan mereka mengenai pemilihan

umum, dan rata informan beranggapan bahwa pemilu tidaklah berarti secara

langsung bagi kehidupan mereka. Maka dapatlah dikatakan partisipasi politik

mereka dalam pemilu bukan dalam rangka memperbaiki keadaan tetapi lebih

karena keinginan memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Apalagi hal ini juga

bisa dihubungkan dengan trauma masa lalu mereka yang terkena steriotipe PKI

(Partai komunis Indonesia).

Data dan analisa di atas selanjutnya akan digunakan untuk menentukan

posisi tipe budaya politik pengikut Saminisme berdasarkan kategorisasi yang

ditentukan oleh Almond dan Verba. Kategori ini adalah kategori dasar tipe budaya

politik. Kecendrungan tipe budaya politik masyarakat pengikut Saminisme adalah

bertipe subyek. Dengan alasan sebagai berikut :

1. Orientasi politik kognitif yang cukup tinggi, meski bisa dikatakan

pengetahuan mereka belum cukup lengkap dan ada kecendrungan

dipengaruhi spekulasi. Namun tidak bisa dikatakan mendekati nol.


157

2. Orientasi politik afektif dan evaluatif cukup tinggi, karena informan bisa

melakukan penilaian terhadap kinerja, penampilan serta output sistem

poltik.

3. Tingkat partisipasi politik masih bersifat pasif dan dipengaruhi oleh

mobilisasi politik dan juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadpa ajaran

politik terdahulu yang kadang sulit dijelaskan scara empiris.

4. Partisipasi politik tidak bersifat kritis, partisipasi politik dipengaruhi

keinginan untuk sekedar menunaikan kewajiban. Hingga memilih dalam

pemilu ditafsirkan sebagai kewajiban.

5. Informan merasa tidak pantas untuk aktif dalam mengusahakan input

sistem politik, usulan-usulan kepada sistem politik dianggap bukan tugas

mereka, karena perasaan mereka yang merasa terbelakang.

Namun, meski tipe dasar kebudayaan politik pengikut saminisme

berkecendrungan berada pada tipe subyek karena ketegorisasi ini tidak bisa

berlaku mutlak. Ambil contoh dalam konteks budaya politik pengikut Saminisme

sesungguhnya tiga aspek politik masyarakat Samin berada pada posisi middle

(pertengahan), tetapi bila standar kuantitatif yang digunakan mereka memiliki

tingkat partisipasi politik dalam pemilu yang tinggi, namun dalam kualitas

partisipasi politik mereka rendah.

Bila menggunakan kategorisasi tipe politik kombinasi antar tipe murni

sistem politik seperti dikemukan Gabriel almond dan Verba (1990:26-27)

Menurut Almond dan Verba (1990 : 26-27) kebudayaan politik parokial, subyek

dan partisipan tidak hadir dalam bentuk yang sederhana atau murni, tetapi
158

merupakan sebuah bentuk kompleks. Terjadi interaksi antara ketiga budaya politik

tersebut. Maka ada tiga bentuk budaya politik baru yang merupakan campuran

antar tipe budaya politik murni, yaitu: Kebudayaan subyek parokial, kebudayaan

subyek-partisipan dan kebudayaan parokial-partisipan. Berikut penjelasan yang

diberikan Almond dan Verba mengenai tiga tipe kebudayaan politik campuran

tersebut. (1990 : 27-32).

a. Kebudayaan subyek-parokial

Kebudayaan subyek parokial merupakan suatu tipe kebudayaan politik

dimana sebagian besar masyarakat menolak tuntutan eksklusif masyarakat

kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan mengembangkan kesetiaan terhadap

sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur pemerintahan pusat yang

bersifat khusus. Kondisi ini biasanya runtutan sejarah peralihan dari model

kerajaan menuju pemerintahan yang tersentralisasi.

b. Kebudayaan subyek-partisipan

Cara bagaimana proses peralihan dari kebudayaan parokial menuju

kebudayaan subyek dilakukan pasti akan mempengaruhi cara bagaimana proses

peralihan dari budaya subyek meuju budaya partisipan berlangsung. Dalam proses

peralihan dari budaya subyek menuju partisipan, pusat-pusat kekuasaan parokial

dan, jika mereka memang ada akan mendukung pembangunan infrastruktur

demokratis. Dalam budaya subyek-partisipan yang bersifat campuran itu sebagian

besar penduduk telah meperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan

serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara sisa penduduk


159

lainnya terus diorientasikan ke arah struktur pemerintahan otoritarian dan secara

relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif.

Ketidakstabilan struktural yang sering menyertai kultur subyek partisipan,

tumpulnya infrastruktur demokratis dan sistem pemerintahan cenderung

menghasilkan tendensi alienatif di antara sebagian penduduk yang berorientasi

demokratik. Kebuntuan budaya politik yang bisa terjadi dalam budaya subyek

partisipan ini akan cenderung melahirkan sindrom dengan unsur-unsur aspirasi

kaum idealis dan keterasingan dari sistem politik, termasuk infrastruktur politik.

Budaya subyek partisipan yang bersifat campuran tersebut, jika

berlangsung dalam waktu lama, juga dapat mengubah karakter sub budaya

subyek. Selama perselang-selingan demokrasi itu berlangsung, maka kelompok

otoritarian yang cenderung masih harus bersaing dengan kelompok demokrat

dalam kerja demokrasi formal.

c. Kebudayaan parokial partisipan

Dalam tipe kebudayaan parokial partisipan merupakan kecendrungan

kebudayaan politik yang terjadi di negara berkembang. Karena hampir semua

negara berkembnag memiliki unsur budaya parokial yang kuat. Namun

persentuhan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan politik dunia

membuat mereka mengorientasikan budaya politik pada budaya partisipan. Maka

kondisi sistem politik dalam kebudayaan parokial partisipan ini dianalogikan oleh

Almond dan Verba seperti pemain sirkus yang berakrobat di atas seutas tali.

Kadang kala condong ke pemerintahan demokratis tapi kadang kala condong pada

pemerintahan yang otoriter. Bila kategorisasi ini yang digunakan maka pada
160

konteks saat ini masyarakat pengikut saminisme berada pada tipe pertama, yaitu

subyek parokial. Hal ini disebabkan beberapa hal :

1. Adanya upaya pengikut saminisme keluar dari anggapan bahwa mereka

adalah pengikut saminisme ortodok yang menolak perubahan dan selalu

menentang pemerintah, hingga akhirnya pengikut saminisme bersikap

patuh terhadap aturan-aturan yang datang dari negara. Kemudian dapat

pula kita telusuri bahwa sebagian besar informan merasa lebih nyaman dan

keadaan lebih baik ketika berada pada masa kepemimpinan Suharto.

Dengan demikian tepatlah bahwa pola yang tersentralisasi mereka sukai,

karena bagi mereka yang tepenting adalah tidak mengusik kebiasaan

mereka.

2. Kecendrungan tingkat partisipasi yang disebabkan karena faktor dari luar

terutama karena mobilisasi pamong desa, membuat partisipasi politik

mereka belumlah berada pada posisi partisipatif-aktif.

Kondisi ini agak berbeda dengan tipe budaya politik Indonesia secara umum

sebagai negara berkembang yang menurut Almond dan Verba berada pada tipe

parokial partisipan.

A.2. Tipe Perilaku Politik

Perilaku politik menurut Ramlan Surbakti (1992:141) dapat dilihat secara

lebih jelas dari bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan, baik bentuk

partisipasi politik langsung dalam pemilihan umum atau bentuk partisipasi lainnya

yang bertujuan mempengaruhi sistem politik. Berdasar hal tersebut maka untuk
161

melihat tipe perilaku politik pengikut saminisme digunakan data seputar

partisipasi politik pengikut saminisme dalam pemilu dan dalam bentuk lainnya.

Perilaku politik masyarakat pengikut Saminisme yang tercermin dari

perilaku memilih dalam pemilu menunjukkan bahwa perilaku mereka sangat

dipengaruhi oleh dorongan dari luar diri. Hal ini terungkap dari pernyataan-

pernyataan yang dikemukakan informan bahwa himbauan dari pamong desa dan

seruan di medialah yang membuat mereka merasa wajib mengikuti coblosan.

Selanjutnya di wilayah peran mengajukan usulan-usulan kepada sistem

politik sebagai input bagi sistem politik tidak dilakukan oleh informan seperti

terungakap dari informan bahwa, pengajuan usul keapda sistem politik bukanlah

urusan mereka. Urusan tersebut sudah ada yang mengurusi, perhatikan pernyataan

berikut;

“sing bagian usul-usul kuwi wis ono sing ngurusi, malah biasane ono neng
teve, lha kaum tani yo ora mungkin ngomong urusan-urusan penting kuwi
mas, mboten ngertos, mangke malah keleru" (Rasiyo, 74 tahun. Tinggal di
Ploso kediren)

“dimana-mana sudah banyak orang yang memikirkan masalah negara mas,


dadi yo ra usah mumet-mumet mikirke kuwe. Lha pemerintah sing elek kuwi
sing nyebabke nasib petani ora apik-apik mas” (Iskuat petani di Kediren, usia
32 tahun)

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa mereka belum berperan aktif sebagai

partisipan dalam sistem politik. Hal selanjutnya juga nampak dari ketidak aktifan

mereka dalam lembaga-lembaga yang bisa menjadi penyalur usulan-usulan

kepada sistem politik. Dari 18 informan yang merupakan pengikut Saminisme di

dua dusun tersebut hanya bapak Suyoko yang aktif di Persatuan Guru Republik

Indonesia (PGRI), sebuah lembaga profesi guru di tingkat kecamatan. Selebihnya


162

informan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa secara langsung terlibat dengan

aktifitas politik. Aktivitas politik informan baru sebatas aktivitas dalam kegiatan

seremonial politik seperti pemilihan umum.

Satu hal lagi yang menarik adalah ketidakbersediaan mereka menjadi

pelaku aktif dari upaya mendorongkan input politik disebabkan karena perasaan

terpisahkan (alienasi) dari sistem politik karena faktor latar belakang sosial

ekonomi. Informan dalam penelitian ini akan cenderung mengatakan bahwa

mereka bukanlah orang yang berhak membicarakan mengenai masalah

pemerintahan dan urusan politik lainnya apalagi jika dihubungkan dengan

aktivitas politik mereka. Bagi mereka, latar belakang sosial ekonomi mereka tidak

memungkinkan untuk menjadi partisipan dalam proses dalam sistem politik.

Di antara delapan belas (18) informan penelitian hanya seorang saja yang

aktif dalam sebuah lembaga yang memungkinkan interaksi dengan sistem politik,

yaitu Bapak Suyoko yang aktif dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Sedangkan informan yang lain sama sekali tidak memiliki aktivitas di luar

aktivitas sehari-hari mereka. Untuk mempermudah pembahasan mengenai

partisipasi politik, berikut matrik mengenai alasan informan mengikuti pemilu dan

faktor yang menjadi alasan mereka menentukan pilihan dalam pemilu.

Matrik 5. Alasan Informan Berpartisipasi dalam Pemilu


No Informan Deskripsi Alasan Kecendrungan
163

1 Suyoko  Ikut dalam pemilu untuk Kesadaran dari luar


melaksanakan anjuran diri dan pesimis
pemerintah, walau tidak dengan manfaat
tahu adakah manfaatnya pemilu

2 Kastamin  Saya ikut sekedar untuk Kesadaran


meramaikan tidak ada partisipasi lemah
pikiran lainnya dan tanpa orientasi

3 Ngasirun  Kata orang-orang terutama Kesadaran karena


pak Carik ngomong pemilu tekanan/ajakan dari
itu wajib diikuti walau luar
milihnya terserah hati saja

4  Pokoknya kewajiban ditu- Kesadaran “sekedar


Joyo Rukiyat naikan, siapa yang menang tunai” kewajiban
terserahlah

Matrik 6. Alasan Informan Menentukan Pilihan Dalam Pemilu


No Informan Deskripsi Perasaan Kecendrungan

1 Suyoko  Saya memilih berdasarkan Faktor dalam diri


keinginan saya melihat yang mempenga-
partai yang baik dan peduli ruhi namun pesimis
pada nasib kami dengan pemilu

2 Ngasirun  Yang penting gambar dan Dipengaruhi faktor


warnanya bagus, itu yang non-politik dan
saya pilih tidak memiliki
orientasi politik

3  Dulu Mbah Engkrek Faktor dari luar


Suradi berjuang bersama Sukarno, berupa keyakinan
jadi saya merasa cocok pada nilai lama
dengan partai anaknya sangat berpengaruh
Bung Karno
4  Saya milih partai yang Faktor dari luar diri
Pasno banyak rakyat kecilnya, sangat berpengaruh
kalau urusan lain saya tidak (eksistensi parpol)
tahu
5  Ya saya ikut yang Mobilisasi pihak
Rasiyo dianjurkan pamong sajalah luar sangat
berpengaruh

Kondisi-kondisi yang ada di seputar perilaku politik masyarakat pengikut

Saminisme dan didasarkan pada matrik-matrik di atas menunjukkan bahwa


164

mereka termasuk dalam kelompok subyek politik pasif atau bila menggunakan

kategorisasi dan Samuel P. Huntington dan Joan Nelson termasuk dalam

partisipasi politik yang dikerahkan (mobilizied participation). Hal ini terbukti dari

kenyataan berikut ini :

1. Partisipasi dalam pemilu masih sangat dipengaruhi oleh faktor mobilisasi

politik, bukan oleh kesadaran diri akan dampak yang ditimbulkan dari

pemilihan umum. Mobilisasi tersebut terutama tekanan dari para pamong

desa yang mengemukakan bahwa mengikuti pemilu itu adalah wajib.

2. Sangat minimnya partisipasi politik informan dalam lambaga-lembaga

atau organisasi yang memungkinkan mereka ikut mempengaruhi atau

paling tidak berinteraksi dengan sistem politik.

3. Adanya perasaan terasing dari sistem politik dikarenakan keadaan latar

belakang sosial ekonomi mereka yang minim.

Selanjutnya bila yang digunakan adalah kategorisasi yang dibuat oleh Milbrath

dan Goel yang membagi empat tipe perilaku politik berdasar partisipasi politik

dapat dikatakan pengikut saminisme di Klopo Duwur dan Ploso Wetan termasuk

dalam tipe Spektator karena memenuhi kriteria; paling tidak pernah ikut dalam

pemilihan umum.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Budaya dan Perilaku Politik

Masyarakat Pengikut Saminisme


165

Budaya politik yang terbentuk dalam masyarakat pengikut saminisme

sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Keyakinan terhadap nilai-nilai lama yang ada dalam tradisi saminisme.

Nilai-nilai tersebut terutama yang menyangkut keyakinan bahwa semua

manusia itu adalah keturunan Adam yang berarti bahwa semua saudara

atau dalam istilah masyarakat pengikut saminisme disebut kabean

sedhulur. Hingga praktik-praktik politik yang cenderung mengarah pada

kompetisi atau persaingan sulit untuk diterima oleh mereka.

2. Adanya upaya pengikut saminisme keluar dari anggapan bahwa mereka

adalah pengikut saminisme ortodok yang menolak perubahan dan selalu

menentang pemerintah, hingga akhirnya pengikut saminisme bersikap

patuh terhadap aturan-aturan yang datang dari negara.

3. Perubahan tatanan sistem politik nasional juga memberi pengaruh terhadap

pembentukan budaya politik masyarakat pengikut saminisme. Hal ini

dapat dilihat dari pandangan mereka terhadap sistem politik-sistem politik

terhadahulu.

Selanjutnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik

menurut Ramlan Surbakti (1992:132-133) ada empat faktor yang mempengaruhi

perilaku politik, yaitu

1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem

ekonomi, sistem budaya dan media massa.

2. Lingkungan sosial politik langsung. Tiap individu mengalami proses

sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat, termausk norma


166

dan nilai kehidupan bernegara dan pengalaman-pengalaman hidup pada

umumnya. Lingkungan langsung ini dipengaruhi oleh lingkungan tak

langsung.

3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Analisis

struktur kepribadian perlu dicatat tiga basis fungsional sikap, yaitu

kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan penyesuaian diri.

4. Lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang

mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan kegiatan.

Maka, bila memperhatikan keadaan seputar perilaku politik masyarakat pengikut

Saminisme dapat disebutkan beberapa hal dominan yang mempengaruhi perilaku

politik mereka:

1. Latar belakang pendidikan dan ekonomi

2. Mobilisasi dari pamong desa

3. Keyakinan yang beranjak dari tradisi

4. Sikap rendah diri

Bila kita hubungkan dengan pendapat Ramlan Surbakti maka faktor lingkungan

sosial politik tak langsung dan struktur kepribadian menjadi faktor utama yang

mempengaruhi perilaku politik masyarakat pengikut Saminisme

BAB V
167

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI


A. Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan analisis penelitian ada beerapa

hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini. Tentu saja kesimpulan ini juga

dihubungkan dengan tujuan dari penelitian ini dilaksanakan. Hal-hal yang dapat

disimpulkan dari penelitian ini adalah :

Pertama, berdasar tipologi budaya politik yang diajukan oleh Gabriel A.

Almond dan Sidney Verba maka melihat fakta seputar orientasi politik

masyarakat Samin maka budaya politik masyarakat pengikut Saminisme di Klopo

Duwur dan Ploso Kediren termasuk ke dalam tipe budaya politik subyek dan pada

kategorisasi campuran budaya politik masyarakat pengikut Saminisme termasuk

dalam tipe subyek-parokial

Kedua, perilaku politik masyarakat Samin berdasarkan partisipasi dalam pemilu

dan bentuk-bentuk partisipasi lainnya cenderung pasif karena peran mereka dalam

mempengaruhi sistem politik atau paling tidak berinteraksi dengan sistem politik

sangat kecil. Bila menggunakan kategorisasi berdasarkan pembagian yang

dilakukan oleh Milbrath dan Goel perilaku politik masyarakat Samin masuk

dalam kategori spektator, yaitu kategori partisipasi yang sekedar ikut pemilu tanpa

aktivitas politik lainnya. Sedangkan bila kategori yang digunakan berdasar

pendapat Samuel Huntington, maka masyarakat Samin masuk dalam kategori

partisipasi yang dikerahkan (mobilizied participation).

Ketiga, Budaya dan perilaku politik masyarakat Samin di lokasi penelitian

sangat dipengaruhi oleh : pemahaman yang bersifat tradisi yang diperoleh dan

ajaran-ajaran Saminisme. Ketermarjinalan secara sosial dan ekonomi juga ikut


168

berpengaruh. Selanjutnya perasaan rendah diri karena politik kebudayaan negara

yang mencoba menghilangkan identitas kesaminan juga berpengaruh pada

terbentuknya tipe budaya dan perilaku politik mereka. Kondisi-kondisi tersebut

memunculkan perasaan terpisah dari sistem politik. Maka bila merujuk pada

pendapat Ramlan Surbakti (1992 : 131-132) mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku politik maka perilaku politik masyarakat Samin

dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial politik tak langsung dan faktor struktur

kepribadian.

Keempat, sebagai sebuah paham Saminisme telah mengalami

perkembangan seiring dengan bergantinya waktu, mulai dari pertama kali

dikembangkan oleh Samin Surosentiko pada 1889 di berbagai tempat di sekitar

Blora; Ploso Kediren, Bapangan, Klopo Duwur hingga kemudian dilanjutkan

pengembangannya oleh murid-muridnya hingga ke Grobogan, Pati, Bojonegoro,

Madiun dan Kudus. Hingga akhirnya sejak pemimpin-pemimpin Samin mulai

tidak ada, maka gerakan Saminisme mengalami kemandekan pada tahun 1930.

Meski demikian Saminisme sebagai sebuah ajaran tetap dianut oleh pengikut-

pengikutnya di berbagai tempat.

Kelima, terkait dengan ajaran-ajaran Saminisme ternyata, Saminisme

bukan sekedar ajaran spiritual yang bersifat transendental belaka, lebih dari itu

saminisme memiliki ajaran sosial yang mengatur pola perilaku individu dalam

masyarakat. Ajaran-ajaran tersebut antara lain menekankan pada kolektivitas yang

bersemboyakan bahwa semua manusia itu keturunan Adam maka kita semua

bersaudara (kabean sedhulur) serta ajaran-ajaran kebajikan yang mengharuskan


169

seseorang berlaku beradab dan menghindari perbuatan dengki, iri, khianat dan

sebagainya. Selanjutnya Saminisme juga memiliki ajaran-ajaran politik yang

antara lain meyakini bahwa mereka adalah pewaris tanah Jawa yang sah dan tidak

boleh ada pihak luar yang merusak tatanan leluhur yang telah ada karena akan

mengganggu harmonitas hidup antara manusia-alam dan Tuhan. Maka mereka

menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan terhadap wong Jowo.

Selanjutnya ajaran politik samin juga menyebutkan pemerintah atau negara yang

kuat harus ditopang oleh pemahaman dan penghormatan terhadap budaya asli

(leluhur).

Keenam, Saminisme sebagai sebuah identitas kultural mendapat ancaman

dari negara, karena data menunjukkan ada upaya-upaya sistematis untuk

memisahkan masyarakat Samin dari budayanya. Hal ini disebabkan adanya

pelabelan negatif terhadap masyarakat Samin sebagai masyarakat pembangkang

dan primitif.

B. Implikasi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan implikasi-implikasi yang

bersifat konstruktif menyangkut beberapa hal :

1. Secara empiris dapat diketahui kecenderungan budaya politik masyarakat

Samin adalah Subyek-Parokial dengan tipe perilaku politik yang

dikerahkan. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi lahirnya

demokratisasi karena demokrasi membutuhkan budaya politik partisipasi

dengan perilaku politik aktif berdasar kesadaran diri (self motion). Maka
170

berdasar hasil penelitian menunjukkan ada peluang untuk lahirnya budaya

politik partisipan dan perilaku perilaku politik dengan kesadaran diri.

Peluang tersebut dapat dioptimalkan dengan mengangkat kepercayaan diri

mereka hingga merasa tidak teralienasi dari masyarakat umum dengan

mengubah pandangan negatif terhadap masyarakat Samin. Cara

selanjutnya adalah dengan meningkatkan pemahaman mereka mengenai

partisipasi politik hingga keterbatasan ekonomi tidak membuat mereka

enggan berpartisipasi berinteraksi dengan sistem politik. Yang ketiga

adalah dengan memberikan pengakuan pada identitas kultural Kesaminan

mereka tidak justru berusaha memisahkan mereka dari identitas

kulturalnya.

2. Politik kebudayaan yang berupaya menghilangkan identitas Kesaminan

yang berimplikasi memarjinalkan masyarakat pengikut Samin secara

ekonomi, sosial dan politik. Hal ini akan membangkitkan resistensi

mereka terhadap program-program dari negara (pemerintah) yang justru

harus dilakukan adalah memelihara nilai-nilai patriotik dan nilai positif

lainnya dari ajaran Samin hingga mereka merasa bangga sebagai

komunitas Samin dan mau berpartisipasi dalam sistem politik.

3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi implikasi dalam

memperkaya khzanah penelitian dengan fokus budaya politik masyarakat

marjinal dalam dunia ilmu politik Indonesia.


171

4. Hasil penelitian ini diharapkan berimplikasi pada pemerintah khususnya

pemerintah daerah yang terdapat komunitas Samin untuk tidak berupaya

memisahkan masyarakat Samin dan identitas budayanya.

5. Hasil penelitian ini diharapkan berimplikasi pada berubahnya cara

pandang masyarakat umum yang selama ini menganggap pengikut

saminisme sebagai orang yang primitif dan pembangkang menjadi cara

pandang yang lebih arif

6. Hasil penelitian ini juga diharapkan berimplikasi pada pemerintah pusat

atau pihak terkait lainnya untuk melakukan kajian mendalam mengenai

perjuangan politik Samin Surosentiko dalam melawan penjajah. Hingga

pada akhirnya Samin Surosentiko dapat dipertimbangkan menjadi salah

satu pahlawan nasional.


172

Daftar Istilah

Ampuh :
Memiliki kesaktian atau kelebihan yang bersifat magis
Kami Tuwo atau pak wo:
Sejenis dengan kepala dusun, yang biasanya menjalankan fungsi pemerintahan
desa di tingkat pedukuhan atau dusun.
Salin sandhangan:
Meninggal dunia, berasal dari bahasa Jawa berganti pakaian. Dalam saminisme
diyakini bahwa manusia tidak pernah mati, yang mati hanya jasadnya tetapi hidup
tetap akan ada.
Sangar :
Menakutkan, biasanya sering ada sebutan tanah sangar, yang mengindikasikan
bahwa di tanah tertentu menakutkan dan biasanya terkait dengan keberadaan
mahluk halus tertentu
Ndanyang :
Pergi meninggalkan jasad, tetapi tetap bisa berkomunikasi dengan dunia melalui
orang-orang tertentu.
Kebayan :
Orang yang bertugas secara khusus untuk membantu kepala dusun dalam
melakukan tugasnya. Biasanya bayan punya tugas khusus menyampaikan
pengumuman ke masyarakat di dusunnya.
Ara-ara :
Tanah lapang, yang memiliki kesamaan dengan alun-alun tetapi dalam ukuran
yang lebih kecil
Mondokan :
Rumah atau tempat tinggal
Sandhangan :
Pakaian penutup tubuh
Adang akeh
Sebutan untuk acara resepsi pernikahan dalam masyarakat Samin
173

Magangan :
Masa mengabdi seorang calon menantu di rumah calon mertua dalam waktu
tertentu, biasanya antara 3 hingga 6 bulan
Nguri-uri :
Menjaga atau merawat
Sedhulur :
Saudara, biasanya panggilan untuk orang lain menggunakan lur atau sedhulur
yang mencerminkan pandangan hidup saminisme yang mengatakan bahwa setiap
manusia itu sama
Memedi :
Hantu atau mahluk halus lainnya
Gedang setangkep dan jampi suru :
Syarat dalam pernikahan masyarakat Samn, berupa pisang raja satu tangkep dan
perlengkapan berupa perhiasan dan sebagianya.
Ngarit :
Memotong rumput menggunakan arit (alat tradisional khusus untuk memotong
rumput)
1

CATATAN

Dalam hand out kuliah, Kumpulan teori-teori Politik, FISIP Unair tahun 1994
2
Tanah peninggalan Samin Surosentiko ini menurut data desa bersertefikat atas nama Kuncung
(mengarah pada Suro Kuncung salah satu tokoh Samin yang pindah dari Kediren ke Dusun Tanduran.
Setelah itu kepemilikan dalam sertefikat dipecah menjadi milik tiga orang, yaitu atas nama Kawit, Sawi dan
Sunandar (Keterangan Kami Tuwo Ploso Wetan beradasar data dusun)
Pada hari-hari tertentu, terutama pada Bulan Suro di lokasi tanah ini banyak didatangi oleh pengikut ajaran
Samin dari berbagai daerah, antara lain ; Pati, Bojonegero, Blora, Purwodadi, Jepara, Jakarta, Semarang dan
sebagianya. Biasanya mereka dating untuk melakukan ritual tertentu. Dalam keseharian masyarakat Ploso
Wetan tanah in dikenal dengan sebutan tanah sangar. Jika di tanah tersebut ditanami telo maka isinya hanya
satu, padahal normalnya satu batang telo bisa berisi 4-10 umbi.(Keterangan Mbah Hadi dan Supatno –kami
tuwo Ploso Kediren)
3
Berdasarkan hasil wawancara dengan Mbah Randim, cucu dari Samin Surosentiko yang tinggal di
Tanduran dan berusia 109 tahun, juga hasil wawancara dengan Bapak Suradi anak Lurah Karyo (bertugas di
Klopo Duwur pada tahun 1948-1989)
4
Berdasarkan data dari Kabupaten Blora dalam Angka Tahun 2003 diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik
Kabupaten Blora.
5
Sumber Kabupaten Banjarejo dalam angka tahun 2002 terbitan BPS Kab Blora
6
Sumber Kabupaten Banjarejo dalam angka tahun 2002 terbitan BPS Kab
Blora
7
Data dari papan struktur Desa Klopo Duwur
8
Sumber : Keterangan dari Pak Suradi yang merupakan sekretaris Desa Klopo
Duwur
9
Sumber : monogradi Desa Kediren Tahuun 2005
10
Keterangan dari Bapak Kepala Urusan Pemerintahan Desa Kediren
11
Sumber : wawancara dengan Bapak Hudiyono, sekretaris camat Randublatung, yang pernah bertugas di
daerah masyarakat Samin, yaitu Kecamatan Menden selama 13 tahun
12
Wawancara dedngan Bapak Suradi, salah satu tokoh masyarakat samin di Klopo Duwur yang saat ini
menjadi carik di Desa Klopo Duwur
13
Wawancara dengan bapak Partono, pedagang sate di pertigaan Randublatung
14
Wawancara dengan ibu Ely, mantan Guru di SLPN Randublatung
15
Angka ini diperoleh dari berbagai sumber; Untuk Klopo Duwur data diperoleh dari hasil wawancara
dengan Bpk. Suradi (Sekdes Klopo Duwur) dan kami tuwo Klopo Duwur Kartono dan Bapak Suyoko,
keturunan panganut Saminisme yangs aat ini berprofesi sebagai guru SLTP. Sedangkan data untuk Ploso
Wetan diperoleh dari hasil wawancara dengan Mbah Hadi (sesepuh masyarakat penganut Saminsme di Ploso
Wetan) dan wawancara dengan kami tuwo Ploso Wetan, Bapak Supatno
16
Saat ini desanya bernama Kediren, lokasi rumah Samin Surosentiko dilahirkan ini berada di Dusun Ploso
Wetan Desa Kediren yang merupakan lokasi dalam penelitian ini.
17
Sumoroto adalah daerah kecil di daerah Kabupaten Tulungagung
18
Sumber : SSH halaman 14 dan wawancara dengan Mbah Randim dan Mbah Nyamu
19
Sumber SSH : 14
20
Sumbe SSH 14 dan SW halaman 9
21
SSH : 15 dan SW : 20
22
SSH : 15
23
SSH : 15
24
SSH : 16 dan SS: 21 dan wawancara dedngan Mbah Randim
25
SSH : 16
26
SSH : 16
27
SSH : 16. Pratikel Pasif adalah bentuk perlawanan ranpa kekerasan terutama dengan bentuk tidak
menghargai pamong pemerintahan Belanda di semua tingkatan, kemudian mencoba mengelabui Belanda
dengan menggunakan bahasa sangkak
28
SSH : 16
29
Merupakan petikan wawancara yang terdapat dalam tulisan Soewarso yang ditulis tahun 1977, namun
tidak ada data pasti mengenai tahun wawancara. Menurut data yang terkumpul lewat survey lapangan. Suro
Kuncung terakhir bermukim di Tanduran, Desa Mantren Kecamatan Kedung Tuban. Tahun kematian Suro
Kuncung menurut Suradi sekitar tahun 1980an
30
Penterjemahan ini dilakukan oleh peneliti dengan bantuan penuh dari bapak Lukito yang merupakan warga
Asli Pati yang pernah banyak bergaul dengan masyarakat Samin dan merupakan bapak kos peneliti di
Randublatung.
31
Di Ploso rumah mbahku (maksudnya Samin Surosentiko) di geledah oleh pasukan Belanda, semua di
bongkar, tapi masyarakat tidak takut, kita semua tetap saudara, tidak masalah walau pemerintah Belanda
tidak suka.
32
Arti lengkapnya dari Suripan Sudi Sutomo dalam buku Tradisi Dari Blora (1996:22)
33
“…Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah keindahan jagat raya.
Dalam hubungan ini manusia harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah.
Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan keceelakaan, sedih, dan gembira, sehat, sakit,
semuanya harus diterima tanpa keluhan. Sebab manusia adalah terikat pada perjanjiannya. Yang terpenting
adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi huukum Tuhan, yaitu memahami pada asal usulnya
masing-masing…”
34
Merupakan hasil wawancara Mbah Wirjorejo dengan Bapak Soewarno dan tercantum dalam tulisan
tangan beliau pada halaman 16
35
Dikutip dari tulisan Soerjanto Sastroatmodjo dalam buku Masyarakat Samin: siapakah mereka, 2003.
Narasi Yogyakarta, hlm. 36-37
36
Hal ini dikemukakan oleh Harry Benda dan Lance Castle: 1969 yang dikutip oleh Hamid Abdullah dalam
tulisannya berjudul Peranan Elit Pedeesaan Dalam Gerakan Sosial yang diterbitkan dalam kumpulan tulisan
Seminar Sejarah Nasional IV Sub Tema : Dinamika Perkembangan Politik Bangsa Indonesia diterbitkan
oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud RI tahun 1991.
37
Baca tulisan Hamid Abdullah (1991:589)
38
Salinan pidato Samin Surosentiko ini juga ditulis dalam sebuah layang kepek (secarik kertas pegangan)
seperti jimat dengan bahasa Jawa kuno.
39
Diterjamhkan oleh Soerjanto Sastroatmodjo (2003: 53-54)
40
Arsip dan dokumentasi ceramah Samin Surosentiko dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda semasa
Gubernuur Van des Plas, yang sampai saat ini bisa ditemui di arsip Gubernuran Jawa Timur .
41
Dalam tulisan tangan Soewarno halam 35
42
Dapat ditelusuri dari buku-buku yang diterbitkan oleh instansi atau lembaga yang ada di bawah
Pemerintah Kabupaten atau yang memiliki kepentingan mendorongkan pembangunan nasional.
43
Dapat ditelusuri melalui tulisan Amrih Widodo yang menulis artikel berjudul “Untuk Hidup Tradisi harus
Mati” dalam majalah Basis nomor 09-10 tahun ke 49 tahun 2000
44
Ditelususri dari pemberitaan Berita Nasional yang dikutip oleh Amrih Widodo dalam tulisannya di
majalah basis nomor 09-10 tahun 2000 halaman 20
45
Dua diantara tiga bukunya berjudul : De Communistce Beweging in Nederlandsch-Indie satu lagi berjudul
De Nationalistiche Beweging in Nededrlandsch-Indie
46
Baca Amrih Widodo
47
Baca Tulisan tangan Soewarso hlm.32

Anda mungkin juga menyukai