Omo Rusdiana
Sudaryanto
Iin Ichwandi
Nana Mulyana Arifjaya
Hendrayanto
Rinekso Soekmadi
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
2003
HUBUNGAN KERJASAMA INSTITUSI DALAM PENGELOLAAN DAS:
KASUS DAS CILIWUNG
PENULIS
Omo Rusdiana
Sudaryanto
Iin Ichwandi
Nana Mulyana Arifjaya
Hendrayanto
Rinekso Soekmadi
EDITOR
Hariadi Kartodihardjo
M. Buce Saleh
TATA LETAK
Kasuma Wijaya
Syamsul Budiman
ILUSTRASI SAMPUL
Kasuma Wijaya
Isu-isu penurunan kualitas lingkungan dalam pengelolaan DAS, terutama isu banjir dan
kekeringan seringkali ditanggapi sebagai isu-isu yang disebabkan oleh masalah-masalah
yang bersifat teknis semata, sehingga usulan-usulan pemecahan masalah lebih banyak
dipusatkan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis, seperti sodetan sungai, normalisasi
sungai, pembuatan resapan aliran permukaan, penanaman di daerah hulu sungai dan
sebagainya, masih jarang yang melihat prasyarat-prasyarat yang diperlukan agar kegiatan-
kegiatan yang bersiafta teknis tersebut dapat berjalan dengan baik.
Tim Kerja Fakultas Kehutanan IPB telah melakukan beberapa studi sebagai upaya untuk
mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan DAS, terutama
dalam rangka merespon isu banjir dan kegagalan Rehabilitasi Lahan. Dari hasil-hasil studi
tersebut ditemukan indikasi kuat bahwa kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis memerlukan
kegiatan-kegiatan non teknis sebagai prasyarat keberhasilan kegiatan teknis. Lemahnya
Sistem Insentif dan Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS merupakan dua hal yang
dominan yang menyebabkan munculnya isu banjir dan kegagalan rehabilitasi lahan.
Hasil dari studi tersebut ditulis dalam tiga buku, sebagai upaya untuk memberikan
tambahan pengetahuan dan bahan acuan bagi studi dan praktek pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Ketiga buku tersebut adalah:
Buku 1. Penataan Institusi Pengelolaan DAS secara garis besar berisi konsep
institusi/kelembagaan, pengalaman penerapannya di beberapa negara, permasalahan
institusi pengelolaan DAS di Indonesia, serta telaah penatanaannya.
Buku 2. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan DAS, secara garis
besar berisi konsep insentif, sejarah pengelolaan DAS di Indonesia, dan hasil studi kasus
sistem insentif yang diperlukan di DAS Ciliwung (Jawa Barat), Rokan (Riau) dan DAS
Dodokan (NTB), posisi insentif dan kebijakan rehabilitasi lahan dalam kerangka
pengelolaan DAS, serta panduan pengembangan sistem insentif.
Buku 3. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS : Kasus DAS Ciliwung,
secara garis besar berisi konsep pengelolaan DAS, karakteristik DAS Ciliwung,
permasalahan DAS Ciliwung dan pengelolaannya, kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung,
dan sintesa rekomendasi pengelolaan DAS dan pengendalian banjir di Jakarta.
Disadari bahwa dalam penulisan buku-buku ini masih belum sempurna sehingga masukan
dari pembaca sangat berguna dalam menyempurnakan isi dan penulisan buku ini. Terlepas
iii
dari kekurangan yang masih ada, diharapkan buku-buku tersebut dapat bermanfaat bagi
perbaikan pengelolaan DAS di Indonesia.
Tulisan ini tidak akan terdokumentasi dengan baik tanpa bantuan Japan International
Agency (JICA). Terima kasih untuk Hiroshi Nakata, Rika Novida dan Irma Imelda yang
dengan sabar menunggu kompilasi dokumen ini. Tanpa lupa penghargaan kami berikan
kepada tim dapur, Kasuma Wijaya dan Syamsul Budiman yang telah melakukan pekerjaan
dengan sangat baik.
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Dekan,
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
2. KONSEP PENGELOLAAN DAS
2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS), Komponen dan Pencirinya ................................. 5
2.2. Pengelolaan DAS ...................................................................................................... 9
2.3. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan DAS ................................... 10
PUSTAKA
v
vi
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
1. PENDAHULUAN
Banjir di DKI Jakarta bukan merupakan hal baru, tetapi hampir terjadi setiap tahun dengan
skala dan intensitas yang bervariasi. Di antara kasus banjir di DKI yang menimbulkan
kerugian besar telah terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Pada besaran curah hujan yang
sama dengan saat kejadian banjir tersebut, DKI Jakarta akan tetap mengalami kebanjiran
ulang, terutama bila tata lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki aliran
sungai melewati DKI Jakarta tidak diperbaiki secara serius. Dalam konteks ini, banjir di
DKI Jakarta yang telah terjadi secara berulang-ulang merupakan gejala (symptom) dari
terlampauinya kapasitas DAS-DAS untuk meregulasi debit yang aliran sungainya melewati
DKI Jakarta, yaitu: S. Ciliwung, S. Angke, S. Cakung, Cengkareng Drain, S. Mookervart, S.
Krukut, S. Buaran, S. Sunter, S. Cipinang dan S. Pasanggrahan.
Untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta, sudah banyak program dilakukan dengan curahan
dana dan usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap berulang. Banjir tersebut
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Masalah yang dihadapi
nampaknya bukan semata-mata terletak pada hal teknis, tetapi pada masalah kelembagaan
pengelolaan DAS dan lemahnya kebijakan publik, khususnya menyangkut lemahnya
pertanggung-gugatan (accountability) pengelolaan DAS dan sumberdaya air yang merupakan
sumberdaya publik. Selain itu, pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum
menggunakan DAS sebagai unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, sektoral atau
terkait dengan kewenangan wilayah administratif tertentu. Mengingat karakteristik DKI
Jakarta yang sebagian wilayahnya merupakan dataran banjir (flood plain), upaya peniadaan
banjir di wilayah tersebut jelas merupakan pekerjaan yang membutuhkan biaya dan tenaga
besar. Dari segi karakter hidrologi, prioritas perlu diberikan pada usaha-usaha yang mampu
menjamin keberhasilan jangka panjang tanpa memindahkan masalah ke wilayah lain, antara
lain dengan meningkatkan kapasitas alamiah untuk meregulasi debit DAS-DAS yang aliran
sungainya melewati DKI Jakarta.
Respons atas kejadian banjir tahun 1996 dan 2002 telah menghasilkan banyak rekomendasi
dan rumusan program yang sasarannya adalah memecahkan masalah pengelolaan DAS
terpadu dan pengendalian banjir. Hasil penelaahan atas berbagai rekomendasi dan
program-program yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan oleh para pemangku
kepentingan menunjukkan lemahnya sinergi, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat
operasional. Selain itu sebagian besar rekomendasi dan program masih bersifat makro dan
belum dikaitkan dengan tapak dimana masalah tersebut terjadi, serta belum
dipertimbangkannya secara mendalam karakteristik hulu, tengah dan hilir DAS. Akibatnya,
implementasi program dan kegiatan belum terfokus pada upaya penyelesaian masalah riil di
lapangan.
Banjir di Jakarta bukanlah bencana alam yang tidak dapat dihindarkan, tetapi merupakan
indikator kegagalan pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola
sumber daya alam yang memiliki manfaat publik. Dalam konteks tersebut, kegagalan
kebijakan dan kegagalan kelembagaan pengelolaan DAS merupakan hal penting yang harus
segera dibenahi oleh para pengambil keputusan. Secara substansi, lemahnya koordinasi
antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan lemahnya pertanggunggugatan
publik (public accountability) program-program pengelolaan DAS terpadu merupakan fokus
masalah yang harus dipecahkan bersama. Dalam hubungannya dengan otonomi daerah,
penguatan kapasitas dari para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah riil
pengelolaan DAS terpadu yang berorientasi pada tujuan jangka panjang, termasuk
mengurangi resiko banjir, merupakan agenda bersama para pemangku kepentingan yang
tidak bisa ditunda.
Koordinasi memerlukan komitmen yang tinggi dan pertukaran informasi secara intensif
untuk mengkonfirmasikan waktu, biaya, dan aktivitas yang dilakukan oleh setiap
instansi/lembaga untuk mencapai tujuan dengan ukuran kinerja yang disepakati bersama.
Hambatan koordinasi biasanya terletak di dalam struktur organisasi/lembaga masing-
masing, yaitu pertentangan antara fleksibilitas yang diperlukan dengan kekakuan tugas
pokok dan fungsi yang telah ditetapkan, dan bukan terletak pada tingkat kebijakan dan
tujuan-tujuannya. Secara riil, tantangannya terletak pada diakui dan dijalankannya kegiatan-
kegiatan yang sifatnya bukan struktural/administratif tetapi pada program yang dirumuskan
dengan tujuan yang diartikulasikan secara jelas, melalui proses pertukaran (sharing)
pengetahuan, pencarian informasi secara sistematis, serta mekanisme umpan balik (feedback)
yang terjadi di antara para pemangku kepentingan. Pertukaran informasi dan pengetahuan
akan memfasilitasi proses belajar bersama bagi seluruh pemangku kepentingan untuk
memastikan partisipasinya dalam menjalankan kegiatan dan melakukan penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan berdasarkan pada hasil penilaian masing-masing, sehingga
kinerjanya dapat ditingkatkan. Proses-proses koordinasi tersebut juga menjadi ajang
pertanggunggugatan publik bagi seluruh pemangku kepentingan dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsi masing-masing.
Keberhasilan peningkatan kapasitas alamiah DAS akan dapat dicapai, jika dan hanya jika,
pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu, baik antar pemerintah propinsi/kabupaten
maupun antar sektor, dengan dukungan partisipasi aktif dari berbagai kelompok
masyarakat. Kelembagaan yang memiliki mekanisme koordinasi yang jelas dan dapat
dipertanggunggugatkan kepada publik merupakan kebutuhan yang secara serius perlu
dipertimbangkan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Sebagai sebuah konsep,
pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, namun sebagai sebuah proses
riil, koordinasi cenderung menjadi keranjang sampah bagi kegagalan berbagai pihak dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Lemahnya ukuran kinerja keberhasilan
pengelolaan DAS yang semestinya dipertanggunggugatkan dihadapan publik memastikan
bahwa telah terjadi dis-orientasi tujuan pengelolaan DAS sebagai sumberdaya publik.
Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS terpadu sebagaimana yang diharapkan, berbagai
proses partisipatif yang bertujuan untuk membangun kapasitas bersama merupakan syarat
keharusan.
DAS Ciliwung merupakan salah satu pemasok air yang penting bagi DKI Jakarta dan bila
meluap dampak yang ditimbulkannya akan langsung mengenai jantung Ibukota dan pusat-
pusat ekonomi yang penting di DKI Jakarta. Pentingnya DAS Ciliwung bagi DKI Jakarta
dan kompleksitas masalah struktural di DAS tersebut merupakan contoh representatif
untuk membangun kapasitas dan solidaritas multipihak dalam pengelolaan sumberdaya
alam yang berwawasan lingkungan. Keberhasilan dalam membangun kapasitas multipihak
dalam pengelolaan DAS Ciliwung akan dapat direplikasikan pada DAS-DAS lain di
Indonesia.
Dalam buku ini akan mencoba membahas pengelolaan DAS Terpadu dengan contoh kasus
DAS Ciliwung, meliputi konsep pengelolaan DAS terpadu, kejadian banjir di DKI Jakarta
dan kerugian yang diakibatkannya, permasalahan-permasalahan pokok, serta upaya-upaya
penanggulangan dan proses-proses para pihak yang telah dilakukan sampai saat ini. Tulisan
ini merupakan pengembangan dari hasil Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu dan
beberapa tulisan/laporan serta proses-proses yang telah terjadi yang terkait dengan
pengelolaan DAS Ciliwung. Semoga tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu
instrumen untuk belajar bersama guna memahami “Underlying Causes” dalam pengelolaan
DAS terpadu, khususnya DAS Ciliwung.
DAS Ciliwung merupakan Urban Watershed yang perlu dikelola secara khusus dengan
pendekatan yang holistik. Sampai saat ini pengelolaan DAS Ciliwung masih bersifat
sebagian-sebagian (partial), sekalipun telah diupayakan berbagai program terpadu seperti
Program Kali Bersih (PROKASIH), Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT),
Jabotabek Water Resources Management Project (JWRM), dan Penanggulangan Ruang
Kawasan (PRK) Bopunjur. Namun demikian masing-masing sektor mengasumsikan bahwa
apa yang diputuskan dan dilakukannya secara otomatis serasi dengan program sektor
lainnya sehingga program-program tersebut tidak pernah mencapai tujuan dan sasarannya.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, agar setiap sektor dan pihak-pihak yang
terkait dalam pengelolaan DAS dapat menempatkan peran dan posisinya dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai harus dimulai dari pemahaman yang sama mengenai
DAS itu sendiri, pengelolaan DAS dan peranan pemangku kepentingan dalam pengelolaan
DAS.
Mengacu kepada pengertian DAS yang telah diterima secara luas di atas, batas permukaan
DAS menjadi jelas, dan mudah dibatasi baik di lapangan maupun di peta kontur atau peta
topografi, terutama untuk lahan-lahan bergelombang sampai bergunung. Batas permukaan
di lahan-lahan datar dan di lahan dengan sistem drainase buatan lebih sulit ditetapkan.
Pengertian DAS di atas juga menunjukkan bahwa DAS merupakan satuan (unit) sistem
hidrologi, yaitu satuan daerah pengaliran air dari mulai curah hujan jatuh di permukaan
tanah mengalir sampai di titik patusan. DAS sebagai sistem hidrologi dimana titik patusan
merupakan titik kajian hasil air (water yield) menjelaskan lebih lanjut bahwa air di titik
patusan tidak hanya berasal dari aliran di permukaan tanah (surface flow) tetapi juga berasal
dari aliran di dalam tanah, yaitu aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi
(ground water flow). Pergerakan aliran bawah permukaan dan aliran bumi dipengaruhi oleh
sifat tanah dan jenis serta struktur batuan (geologi) yang terdapat di suatu DAS. Dengan
melihat sistem hidrologi tersebut, batas suatu DAS tidak hanya batas di permukaan tanah
saja tetapi juga terdapat batas di dalam tanah, di mana batas keduanya tidak selalu
bersesuaian (coincide). Batas di bawah permukaan tanah relatif lebih sulit ditetapkan dan
cenderung bersifat dinamis, sehingga dalam kegiatan praktis, batas suatu DAS hanya
menggunakan batas di permukaan tanah, yang bersifat definitif untuk aliran permukaan dan
bersifat indikatif untuk aliran di dalam tanah dan untuk keseluruhan sistem hidrologi DAS
tersebut.
Secara grafis tiga dimensi, pemahaman pengertian DAS secara terpadu dapat dilihat pada
Gambar 2.1 dan 2.2. Sedangkan Gambar 2.3 lebih menjelaskan batas DAS pada bagian
permukaan dan bagian bawah permukaan.
Keterangan:
P : presipitasi/curah hujan
q : debit sungai
q0 : air permukaan
Gambar 2.3. Gambar Batas Permukaan dan di Bawah Permukaan suatu DAS
Ukuran DAS sangat bervariasi dari sangat kecil (beberapa hektar) sampai sangat besar
(ribuan hektar). DAS berukuran sangat kecil dicirikan oleh adanya sungai utama berhulu di
bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan laut. Sungai utamanya umumnya bersifat
intermittent, yaitu hanya berair pada saat hujan dan beberapa saat setelah hujan berhenti.
DAS sangat besar berhulu di pegunungan yang jauh dari laut. Sungai utamanya umumnya
bersifat perennial, yaitu berair hampir sepanjang tahun.
Batas (permukaan) DAS tidak selalu, bahkan sebagian besar tidak bersesuaian dengan batas
wilayah administrasi pemerintahan baik pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota.
Sesuai dengan ukuran DAS, ada DAS yang hanya mencakup satu wilayah pemerintahan
kabupaten/kota, tetapi ada juga yang mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota
dalam satu wilayah propinsi dan propinsi yang berbeda bahkan ada juga yang mencakup
wilayah negara yang berbeda. Dalam beberapa publikasi ada istilah DAS lokal yaitu DAS
yang hanya mencakup satu wilayah kabupaten/kota, DAS regional yaitu DAS yang
mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam propinsi yang sama, DAS nasional
yaitu DAS yang mencakup dua wilayah propinsi atau lebih (Ambar, 2001). Sedangkan
untuk DAS mencakup lebih dari satu wilayah negara dapat diistilahkan sebagai DAS
internasional.
Mengacu kepada pengertian DAS dalam uraian di atas, maka di dalam suatu DAS terdapat
berbagai komponen sumberdaya, baik sumberdaya alam (natural capital), yaitu udara
(atmosphere), tanah dan batuan penyusunnya, vegetasi, satwa, sumberdaya manusia (human
capital) beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital), maupun
sumberdaya buatan (man made capital) yang satu sama lain saling berinteraksi. Komponen-
komponen sumberdaya tersebut adalah khas untuk suatu DAS sehingga menjadi
karakteristik dari DAS tersebut.
Sumberdaya alam terutama udara, tanah dan batuan penyusunnya serta morfologinya
merupakan faktor yang hampir tak dapat dimanipulasi dalam jangka pendek, relatif
terhadap faktor sumberdaya manusia, sumberdaya buatan manusia serta pranata institusi
formal maupun informal masyarakat (Kartodihardjo et al., 2000). Sumberdaya alam sebagai
obyek pengelolaan dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya air, tanah dan penutup tanah
dalam bentuk vegetasi maupun non vegetasi.
Dengan memandang DAS sebagai satuan sistem hidrologi, interaksi antar komponen
sumberdaya tersebut di suatu DAS dapat digambarkan melalui siklus/pergerakan air di
DAS tersebut. Perubahan suatu komponen sumberdaya dapat dikaji dampaknya terhadap
komponen sumberdaya lainnya dengan melihat dampak perubahan tersebut terhadap
komponen proses pergerakan air dan keseluruhan siklus air. Gambaran tentang siklus air di
suatu DAS dapat dilihat dalam Gambar 2.4.
Dari sistem pergerakan air nampak jelas adanya hubungan sebab-akibat hulu-hilir. Daerah
hulu dari segi letak daerah dalam suatu DAS dan yang dipersepsikan oleh masyarakat luas
merupakan daerah paling atas sedangkan daerah hilir adalah daerah paling bawah dari suatu
DAS. Daerah hulu umumnya dicirikan oleh topografi bergunung, curah hujan tinggi dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat lokalnya kurang maju. Semakin ke arah hilir cenderung
makin landai, hujan makin kurang dan kondisi sosial ekonomi lebih baik. Dalam pengertian
lebih luas pengertian hulu-hilir tidak sebatas dalam letak suatu daerah di atas dan di
bawahnya, tetapi lebih melihat hubungan sebab-akibat, seperti halnya pencemaran udara
dimana pergerakan udara yang menentukan “hulu-hilir” suatu daerah, yang tidak selalu di
atas dan di bawahnya.
Keadaan udara dan hujan yang diistilahkan sebagai iklim, morfologi DAS, sifat jenis tanah
dan batuan, struktur batuan mencerminkan kapasitas dan kemampuan lahan alamiah
dalam mendukung kehidupan. Ukuran kapasitas dan kemampuan lahan alamiah
ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi masyarakat lokal maupun
global. Penggunaan lahan yang melampaui kapasitas dan kemampuannya akan
mengakibatkan penurunan kapasitas dan kemampuan yang akhirnya menyebabkan
kerusakan sehingga lahan tidak mampu lagi memberikan fungsi dalam mendukung
kehidupan.
Dari batasan-batasan pengelolaan DAS di atas, pengelolaan DAS pada dasarnya adalah
pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang terdapat di suatu DAS. Praktek
pengelolaan sumberdaya alam dan buatan di Indonesia dibagi atau dikelompokkan
kedalam sektor-sektor pengelolaan/pembangunan. Sebagai contoh: sektor yang terkait
dengan tanah dan batuan yang menyusunnya serta vegetasi diatasnya yaitu pertambangan,
pertanian, perkebunan, kehutanan, sektor yang terkait dengan badan air dan sumberdaya
buatan, yaitu energi, prasarana, pemukiman dan lain-lain. Pengelolaan sektoral sumberdaya
tersebut melibatkan instansi pemerintah, propinsi maupun kabupaten/kota, perusahaan
swasta atau milik negara maupun masyarakat sebagai individu maupun kelompok. Multi
sumberdaya yang dikelola oleh lembaga-lembaga sektoral pemerintahan, dan non
pemerintah menjadikan pengelolaan DAS bersifat multi/lintas sektoral dan multi
pemangku kepentingan (stakeholders).
Tujuan (goal) pengelolaan DAS yang dapat dirumuskan dari pengertian pengelolaan DAS
dan pengelolaan DAS terpadu adalah terpeliharanya :
a. kelestarian fungsi produksi
b. kelestarian fungsi lingkungan
c. kelestarian fungsi sosial-ekonomi.
Sebagai konsekuensi DAS sebagai satuan pengelolaan sumberdaya DAS maka seluruh
program dan kegiatan masing-masing komponen pengelola harus bersinergi ke arah
tercapainya tujuan pengelolaan tersebut. Kenyataan yang ada sampai sekarang, program
dan kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya DAS oleh masing-masing yang mempunyai
kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya DAS di Indonesia belum sinergis bahkan
dalam banyak kasus bertentangan atau bersifat menghambat tercapainya tiga tujuan
tersebut.
Pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan multi pemangku kepentingan
memerlukan kerangka kerja logis atau logical framework (logframe) yang disusun dengan
tujuan untuk mengukur kinerja atau hingga sejauh mana tingkat ketercapaian tujuan
pengelolaan DAS terpadu dalam suatu skema/kerangka pemikiran secara logis dan
bertahap. Dalam pentahapannya atau tingkat pencapaian tujuan, tujuan akhir (goal)
pengelolaan DAS terpadu (bersifat abstrak) dapat dicapai jika keluaran langsung (output)
program dan kegiatan bersifat lebih kongkrit/operasional, dapat diukur dan keluaran
tersebut akan bisa diperoleh jika ada asupan kegiatan (input). Pengelolaan DAS terpadu
sebagai proses dapat diketahui secara runut kinerjanya melalui indikator-indikator tersusun
dalam kerangka logis tersebut. Indikator yang tersusun harus bersifat obyektif atau disebut
juga sebagai Objective Veriviable Indicators (OVI). Artinya indikator tersebut dapat diukur
melalui serangkaian proses verifikasi dan pengumpulan data, sehingga setiap indikator
harus mempunyai instrumen verifikasi (verifier). Sedapat mungkin, verifier dapat
dikuantifikasikan sehingga penentuan tolok ukur atau ukuran nilai dapat disusun dengan
pengelompokan/klasifikasi yang lebih akurat (Murtilaksono, 2002).
Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kab.
Bogor, Kodya Bogor, Kotif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta dengan deliniasi wilayah
sebagai berikut :
a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor
(Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya Bogor
(Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan).
b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan
Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Madya Bogor (Kecamatan
Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sareal) dan
Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji).
c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi
pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu
Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi
wilayah Kota Madya Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.636 mm dengan rata-rata
hujan bulanan 303 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian hulu disajikan
dalam Gambar 3.2.
Batas musim kemarau dengan musim penghujan di bagian hulu tidak jelas, kecuali daerah
Citeko dimana musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai dengan September, dan
musim penghujan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Mei (Antoro dan Fahmiza,
2002). Debit sungai rata-rata selama periode 1989-2001 di Bendung Katulampa disajikan
dalam Gambar 3.3.
Batas musim kemarau dengan musim penghujan di bagian tengah lebih tidak jelas (Antoro
dan Fahmiza, 2002). Hujan di Depok jauh lebih rendah dibandingkan dengan hujan di tiga
stasiun hujan lainnya yang ada di bagian tengah DAS Ciliwung. Secara umum hujan di
bagian tengah lebih tinggi dibandingkan dengan hujan di bagian hilir, kecuali pada musim
penghujan (Januari-Maret) hujan di hilir lebih tinggi.
Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 2.126 mm dengan rata-rata
hujan bulanan 177 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di bagian hilir disajikan
dalam Gambar 3.5.
Di daerah hilir yang umumnya berada di Jakarta dan Tangerang batas antara musim
kemarau dan musim penghujan tampak jelas. Musim penghujan mulai jatuh pada bulan
Desember dan berakhir pada bulan Maret. Secara umum hujan di bagian hilir ini paling
kering dibandingkan dengan hujan di bagian tengah dan hulu DAS.
5-min 14.0 9.0 13.5 11.8 10.0 10.0 10.0 10.0 12.4 10.0 9.8 10.5
10-min 21.0 12.4 25.7 23.7 20.0 17.5 12.8 14.3 20.0 20.2 14.0 20.0
30-min 37.5 48.5 60.0 46.5 40.0 38.1 22.7 33.8 45.8 47.2 24.0 60.0
1-jam 78.0 81.1 89.3 60.1 58.0 58.0 41.7 66.2 65.0 66.0 40.0 72.0
6-jam 161.4 145.3 113.0 71.8 89.6 72.4 61.6 83.8 68.5 76.8 66.4 92.7
24-jam 197.0 145.7 113.0 114.2 89.6 72.4 63.1 83.8 69.5 76.8 73.0 107.0
Berdasarkan pengukuran lapang infiltrasi di DAS Ciliwung Hulu dan prediksi infiltrasi
DAS diperoleh dugaan infiltrasi kumulatif tahunan sebesar 70 sampai 74 persen dari total
curah hujan. Prediksi erosi di Ciliwung Hulu didapatkan masih lebih tinggi dari erosi yang
diperbolehkan (sebesar antara 20 – 43 ton/ha/tahun) yang terutama terjadi pada lahan
tegalan, semak dan perkebunan, yang meliputi lebih dari 50 persen dari luas Ciliwung Hulu.
bahwa nisbah banjir ini akan lebih tinggi dari bagian hulu karena terjadinya penurunan
kapasitas infiltrasi di bagian tengah dan hilir DAS (Pawitan, 1989 dalam Pawitan, 2002).
Perhitungan waktu pemusatan juga menunjukkan variasi yang besar, yaitu: 0,4 sampai 3 jam
untuk Ciliwung Hulu; 0,9 sampai 7,1 jam untuk Ciliwung Tengah; dan 1,6 sampai 15,5 jam
untuk Ciliwung Hilir. Waktu pemusatan 10 jam dinilai wajar untuk pintu air Manggarai.
3.3.2. Hidrogeologi
A. Konfigurasi Sistem Akifer
Hasil studi terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta dan LPM ITB
(2001) menunjukkan bahwa batuan-batuan sedimen di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya
membentuk sistem akifer yang sangat heterogen dan kompleks (Hutasoit, 2002).
Keheterogenan dan ke-kompleksan sistem akifer di daerah ini ditandai oleh interfingering
antara akifer dan akitar, variasi ketebalan, dan terdapatnya sesar/patahan.
Dari hasil studi tersebut diperoleh beberapa penemuan penting (Hutasoit, 2002), yaitu:
a. Diketahuinya sistem akifer-akitar di di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Secara
umum, untuk penampang utara-selatan, sistem ini menebal ke utara; untuk penampang
barat-timur, sistem ini menebal ke tengah. Adapun lapisan akifernya, secara umum,
untuk penampang utara-selatan, juga menebal ke utara; untuk penampang barat timur,
lapisan akifer ini menebal ke utara dan tengah. Kedalaman lapisan akifer ini berkisar
dari 0 – (-300) m dpl.
b. Terjawabnya pertanyaan mengenai daerah resapan air tanah Jakarta. Pemahaman
umum selama ini adalah daerah Bopunjur merupakan daerah resapan untuk air tanah
di wilayah DKI Jakarta. Daerah-daerah resapan tersebut adalah:
Gambar 3.6. Muka air tanah pada akifer kedalaman 0 – 40 m tahun 1994 (GTL, 1995)
Gambar 3.7. Muka airtanah pada akifer kedalaman 40 – 140 m tahun 1994 (GTL, 1995)
Gambar 3.8. Muka air tanah pada akifer kedalaman 140 - 250 m tahun 1994 (GTL, 1995)
Penguasaan lahan di bagian tengah seperti halnya di bagian hulu dapat dikelompokkan
menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan
hutan dikelola oleh pemerintah c.q. Perum Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi).
Lahan dalam bentuk situ dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai
Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan
milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan, dan teknis, tegalan/ladang,
pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan
sebagai kebun. Penggunaan lahan di bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up
areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam
bentuk taman (Soetarto, 2002).
Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan (land cover)- merupakan
indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan
terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi
saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau.
Kawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung bagian hulu sebagian besar merupakan hutan
lindung yang berstatus hutan negara. Kawasan hutan ini didominasi oleh vegetasi hasil
suksesi alami dan menurut data pada BRKLT Ciliwung-Cisadane (1986) dalam Anonimous
(1997), kerapatan vegetasi pada hutan lindung tersebut makin lama makin berkurang. Pada
wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah
gundul (tanah kosong) yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30 % kawasan hutan di DAS
bagian hulu merupakan hutan produksi yang didominasi oleh tanaman Pinus sp. yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan tanpa pengelolaan yang baik sehingga
keberadaan tanaman Pinus makin berkurang, penutupan hutan tersebut sebesar 25 % dari
total DAS bagian hulu. Kawasan pertanian di DAS Ciliwung bagian hulu, didominasi oleh
persawahan (25,4 %) yang hampir seluruhnya menggunakan sistem pengairan (baik teknis,
maupun pengairan sederhana) dan hanya sekitar 5 % yang menggunakan sistem tadah
hujan. Perkebunan yang ada di wilayah ini (16,2 %) didominasi oleh perkebunan teh dan
cengkeh.
Untuk DAS Ciliwung bagian tengah, lahan pertanian yang paling banyak dijumpai adalah
kebun campuran (31 %) yang merupakan kebun yang dimiliki oleh perorangan yang
fungsinya selain untuk pertanian juga sebagai tempat hunian. Meskipun demikian, lahan
pertanian untuk persawahan juga masih cukup luas (24,8 %).
Tabel 3.3. Pola Penggunaan Lahan di Wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu dan Tengah.
Sub DAS
Jenis Pemanfaatan Lahan Luas
Ha %
Hulu Kawasan Hutan 4.274 28,8
Kawasan Pertanian 9.503 63,9
• Perkebunan 2.407 16,2
• Kebun campuran 1.775 11,9
• Tegalan / ladang 1.543 10,4
• Sawah 3.777 25,4
Kawasan Pemukiman 1.099 7,4
Lain-lain 0 0
Jumlah 14.876 100
Pola pemukiman di wilayah hulu berbeda dengan pola yang ada di kawasan tengah. Pola
pemukiman di DAS Ciliwung bagian tengah membentuk akumulasi-akumulasi hunian yang
cenderung terpusat di Kotamadya Bogor, di Cibinong (sebagai ibukota Kabupaten Tk. II
Bogor) dan di Kota Administratif Depok (sebagai pusat kota baru terdekat dengan Jakarta).
Pemukiman di kawasan tengah jauh lebih tertata dan memang berfungsi sebagai tempat
tinggal. Selain untuk hunian, penggunaan lahan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung
bagian tengah juga banyak berubah fungsi menjadi kawasan industri dan kawasan
perdagangan maupun perkantoran. Di wilayah DAS bagian tengah ini terdapat akumulasi
industri yang terletak di sepanjang jalan Raya Bogor dan di sebagian pinggir Sungai
Ciliwung.
Berbeda dengan DAS Ciliwung bagian tengah, pemukiman di bagian hulu cenderung
menyebar meskipun ada juga kecenderungan memusat ke arah sepanjang jalan raya Ciawi -
Cisarua. Kawasan pemukiman di daerah hulu ini cenderung meningkat pesat dari tahun ke
tahun baik jumlah maupun jenisnya, akan tetapi kecenderungan tersebut mengarah pada
berkembangnya daerah ini menjadi kawasan wisata.
Kawasan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu tidak hanya berfungsi sebagai
tempat tinggal (hunian) tapi juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan yang hanya dihuni
pada saat-saat tertentu saja. Selain itu, sebagian pemukiman penduduk setempat masih
mencerminkan tipe pemukiman pedesaan yaitu tempat tinggal yang digabung dengan
kebun.
Dari pola penggunaan lahannya, dapat dikatakan bahwa DAS Ciliwung tengah sudah lebih
mengalami proses urbanisasi dibandingkan dengan DAS Ciliwung hulu. Pola penggunaan
lahan di Ciliwung hulu masih dapat dikatagorikan wilayah pertanian dengan fungsi khusus
sebagai daerah pariwisata dan konservasi. Perkembangan ini dapat terjadi karena adanya
pengaruh urbanisasi dari Jakarta ke arah Bogor yang dipercepat oleh jalan tol Jagorawi
(hingga Gadok). Selain itu, adanya akumulasi industri di Ciliwung bagian tengah ini juga
mempercepat terjadinya urbanisasi.
Tabel 3.4. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu dan Tengah Tahun 1981 dan 1999.
Luas Ciliwung Hulu (Ha) Luas Ciliwung Tengah (Ha)
Jenis Penggunaan Lahan
1981 1999 1981 1999
Hutan 5312 5310 108 101
Kebun Campuran/ Perkebunan 3266 3231 1837 1704
Kawasan Pemukiman 255 506 1147 1961
Sawah Teknis 2270 2227 1499 1283
Sawah Tadah Hujan 289 271 203 197
Tegalan/ladang 3490 3338 2907 2456
Sungai, situ dll 81 81 52 48
Total 14963 14964 7663 7706
Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)
Berdasarkan sumber lain, perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dan
tengah dari tahun 1981, 1985, dan 1990 ditampilkan pada Tabel 3.5. dan perubahan
tipenya pada Tabel 3.6.
Perubahan mendasar dalam pola penggunaan lahan di bagian hulu selama 10-15 tahun
terakhir terjadi terutama karena kebutuhan lahan untuk pemukiman termasuk
pertumbuhan tempat peristirahatan (hotel, motel, vila dan bungalau) yang tersebar di
kawasan hulu tersebut.
Tabel 3.5 menunjukkan urutan jenis penggunaan lahan dari yang terluas hingga tersempit
yang berlainan pada setiap tahun pengamatan. Perbedaan urutan luasan ini menunjukan
bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dan mengarah ke
penggunaan non pertanian. Hal tersebut jelas akan memberikan pengaruh terhadap
kelestarian dan produktivitas sumberdaya lahan, baik sebagai areal pertanian maupun yang
berkaitan dengan fungsi hidrologis karena merupakan bagian hulu dari DAS Ciliwung
sebagai daerah tangkapan air.
Tabel 3.5. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu pada
Kurun Waktu 1981-1985, 1985-1990 dan 1981-1990
Penggunaan Perubahan 1981-1985 Perubahan 1985-1990 Perubahan 1998-1990
No % % %
Lahan Ha Urutan Ha Urutan Ha Urutan
Perubahan Perubahan Perubahan
1 Hutan lebat belukar -316.8 -7.4 5 -354.6 16.6 8 -971.4 -22.8 9
11 Danau / situ 0 0 11 0 0 11 0 0 11
Tabel 3.6. Perubahan Tipe Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu pada
Kurun Waktu 1981-1985 dan 1985-1990
1985 – 1990
1981 – 1985
Tipe Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan
Perubahan Penggunaan Lahan
Lahan
Hlb (hutan lebat belukar) ↓ Lt, Hs, Kt, Kc ↓ Kt
Hb (hutan belukar) ↑ Lt ↑ Lt, Kc
Hs (semak) ↑ Kr, Kc, Lt, Sw, Pk, KT ↑ Kr
↑ Hlb
Kc (kebun campuran) ↓ Sw, Pk, Kr, Lt ↑ Kr, Lt
↑ Hlb, Hs ↓ Tg, Hb, Kt
Kt (kebun teh) ↑ Hlb, Sw, Hs ↑ Hlb, Kc, Lt
↓ Pk
Kr (kebun karet) ↑ Hs, Kc ↓ Kc, Hs, Kt
Pk (pemukiman) ↑ Sw, Kc, Tg, Hs ↑ Sw, Tg, Kc, Kt, Kr
Lt (lahan tebuka) ↑ Hs, Kc, Hlb, Hb, Tg ↓ Hb, Kc, Kt
Tg (tegalan) ↓ Pk, Lt, Sw ↑ Sw, Kc
↓ Pk
Sw (sawah) ↓ Pk, Kt, Tg ↓ Tg, Pk
↑ Hs, Kc
Ket : ↓ Luasan areal berkurang, terkonversi menjadi
↑ Luasan areal bertambah, berasal dari
Sumber : Anonimous (1997)
Berdasarkan data pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6, dapat dikemukakan bahwa pada kurun
waktu 1981-1985 telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup cepat, yaitu
meningkatnya areal pemukiman dan lahan terbuka serta berkurangnya areal tegalan, hutan
lebat belukar, semak dan hutan belukar.
Luas areal pemukiman meningkat sebesar 943 ha dalam DAS Ciliwung bagian hulu. Areal
pemukiman mencakup kampung dan penggunaan non-pertanian lainnya seperti sarana dan
prasarana daerah wisata. Perubahan ini terutama terjadi pada daerah-daerah dengan tingkat
aksesibilitas yang tinggi atau mempunyai sarana perhubungan yang baik. Sebelum menjadi
areal pemukiman, daerah tersebut merupakan sawah, kebun campuran, tegalan, semak dan
hutan. Lahan terbuka juga menunjukan peningkatan luas yaitu 534 ha dalam DAS
Ciliwung hulu yang sebelumnya merupakan hutan semak, kebun campuran, hutan lebat
belukar, hutan belukar dan tegalan.
Hutan lebat belukar memiliki struktur vegetasi yang baik dan penutupan yang tinggi hingga
sangat tinggi. Hutan belukar memiliki struktur penutupan vegetasi yang kurang baik
dibandingkan dengan hutan lebat belukar. Kebun campuran umumnya terdiri dari
kombinasi tanaman semusim dan tanaman keras/kayu. Tegalan umumnya diusahakan
untuk tanaman semusim. Perubahan dari hutan lebat belukar menjadi hutan belukar atau
bahkan menjadi kebun campuran maupun tegalan akan sangat mempengaruhi sistim tata
air (hidrologi) DAS Ciliwung.
Selama 1985-1990, perubahan penggunaan lahan yang cukup cepat adalah berkurangnya
areal persawahan, hutan lebat belukar dan lahan terbuka serta bertambahnya areal kebun
teh, hutan belukar dan tegalan. Areal persawahan berkurang seluas 1.734 ha terkonversi
menjadi tegalan dan pemukiman, sedangkan hutan lebat belukar berkurang seluas 654 ha
terkonversi seluruhnya menjadi kebun teh, dan lahan terbuka berkurang seluas 458 ha
terkonversi menjadi hutan belukar, kebun campuran dan kebun teh. Hal ini merupakan
indikasi adanya desakan penduduk terhadap lahan di kawasan hutan, disamping indikasi
dari upaya-upaya reboisasi yang masih belum berjalan optimal.
Dalam kurun waktu 1985-1990, kebun teh menunjukan perluasan areal yang sangat cepat
yaitu seluas 1.338 ha, berasal dari areal yang sebelumnya merupakan hutan belukar, kebun
campuran dan lahan terbuka. Di sisi lain, areal kebun teh juga sedikit terkonversi menjadi
pemukiman. Kebun teh ini meliputi areal dengan tanaman yang lebih produktif maupun
areal yang masih baru ditanami. Perubahan yang menarik dalam kurun waktu 1985-1990
adalah konversi seluruh areal kebun karet seluas 200 ha menjadi pola penggunaan kebun
campuran, hutan dan pemukiman, karena umur karet sudah tidak produktif. Penebangan
pohon karet diikuti oleh perubahan ke pola penggunaan lainnya. Kenaikan areal
pemukiman dalam kurun waktu 1985-1990 sebesar 269 ha jauh lebih kecil dibandingkan
kurun waktu 1981-1985.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan yang terjadi di
DAS Ciliwung bagian hulu mempunyai kecenderungan yang meningkat dari tahun ke
tahun kearah penggunaan yang karakteristik resapannya lebih kecil dan mengakibatkan
berkurangnya fungsi konservasi dari areal Ciliwung bagian hulu. Berkurangnya luasan
hutan menjadi areal lain terutama lahan terbuka, pemukiman dan penggunaan lain
menyebabkan fungsi hidrologis terganggu.
Perubahan tata ruang akibat perubahan penggunaan lahan sampai saat ini terus terjadi.
Berdasarkan data Neraca Sumber Daya Alam dan Spasial Daerah Kabupaten Bogor, dalam
kurun masa 1995-1999, di Kabupaten Bogor telah terjadi perubahan tata guna lahan
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Berdasarkan Tabel 3.7, selama kurun waktu 1995-1999 telah terjadi peningkatan
penggunaan lahan untuk pemukiman, baik pemukiman perkotaan maupun pemukiman
pedesaan, dimana besarnya peningkatan lahan pemukiman perkotaan seluas 3.829 Ha
(181,93%) dan pemukiman pedesaan seluas 16.228 Ha (261,38%). Peningkatan
penggunaan lahan juga terjadi untuk pertambangan terbuka (48,08%), lahan bukaan
sementara (24,17%), pariwisata (17,93%), industri (1%) dan penggunaan lain-lain (19,41%).
Secara total, selama kurun waktu 1995-1999 telah terjadi perubahan penggunaan lahan
sebesar 21.518,66 Ha atau 9,07 % dari luas total lahan Kabupaten Bogor tahun 1995 yaitu
237.122,59 Ha. Terjadinya peningkatan penggunaan lahan tersebut di atas, tentunya dengan
merubah atau mengkonversi penggunaan lahan yang lain, yaitu lahan sawah, tegalan, kebun
campuran, perkebunan besar, hutan, semak belukar, bahkan danau/situ/telaga.
Bila dilihat lebih spesifik, karakteristik penduduk di bagian hulu DAS Ciliwung (3
kecamatan di Bogor) dapat digambarkan lebih jarang (< 50 jiwa/ha) dibandingkan dengan
bagian tengah DAS Ciliwung (4 kecamatan di Bogor dan 3 kecamatan di Depok) yang
kepadatan penduduknya rata-rata diatas 50 jiwa/ha sebagaimana dapat dilihat pada Tabel
3.9.
Tabel 3.9. Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di DAS Ciliwung Bagian Hulu dan
Tengah
Penduduk
No Kecamatan Luas (Ha)
Jumlah Kepadatan
A. Wilayah Bogor
1 Ciawi 2.518 78.792 31.29
2 Cisarua 6.372 90.914 14.26
3 Megamendung 4.006 77.558 19.36
4 Cibinong 4.249 207.763 48.89
5 Sukaraja 4.202 125.658 29.90
6 Kemang 2.341 107.989 46,13
7 Bojonggede 5.561 199.544 35.88
B. Wilayah Depok
1 Pancoran Mas 2.671 156.118 58,45
2 Beji 1.614 80.377 49,80
3 Sukmajaya 3.398 216.118 63,60
4. Cimanggis 5.077 221.330 43.59
Sumber : RTRW Kab. Bogor dan Profil Kabupaten/Kota (Gramedia) dalam Anonimous (2002)
Sebagaimana diketahui sejak 3 (tiga) dekade terakhir khususnya kawasan Puncak yang
merupakan bagian dari wilayah hulu DAS Ciliwung telah berkembang begitu rupa karena
faktor udara yang sejuk, kesuburan tanah yang baik serta lokasi yang strategis dilihat dari
ibukota Jakarta, Bogor, dan Bandung, telah terjadi proses komersialisasi lahan yang agresif.
Penguasaan lahan perorangan makin meningkat menggantikan status lahan yang semula
adalah hak garap dari masyarakat petani lokal.
Semenjak timbulnya arus komersialisasi lahan yang semakin merebak, banyak masyarakat
petani lokal yang tergiur melepaskan sebagian atau seluruh lahan miliknya kepada orang
kota yang bermodal kuat. Pembelian lahan seperti itu jelas makin mempersempit lahan
usahatani masyarakat petani lokal. Pada kondisi ini sebagian masyarakat mencari pekerjaan
di sektor non-pertanian seperti menjadi tukang ojek sepeda motor, penjaga villa
peristirahatan milik orang kota, karyawan rumah makan, padang golf, dan sebagainya.
Sementara lahan yang telah mengalami perubahan kepemilikan (milik orang kota), biasanya
akan segera mengalami konversi ke penggunaan lahan yang bersifat non-pertanian. Hal ini
akan menyumbangkan pengurangan penutupan vegetasi pada permukaan lahan yang
penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan
hujan (water catchment area).
Berdasarkan temuan studi dari desa-desa di wilayah hulu DAS Ciliwung dapatlah dikatakan
bahwa pola penguasaan lahan milik yang ada cukup beragam. Paling sedikit ditemukan 4
pola penguasaan lahan yang penting sekaligus kombinasinya dengan pola pengusahaan
yang menyertainya (usaha tani) adalah sebagai berikut:
a. Lahan yang kepenguasaannya langsung di tangan warga masyarakat setempat, lahan ini
dikelola sendiri oleh warga dengan usahatani yang umumnya berupa tanaman
hortikultur.
b. Lahan yang kepenguasaannya berada di tangan orang luar desa, diusahakan oleh warga
setempat dengan status sebagai penggarap. Hasil panen sepenuhnya menjadi milik
penggarap dan bahkan pihak yang disebut terakhir masih mendapatkan upah bulanan
sebagai imbalan karena telah berjasa menjaga dan memelihara lahan/tanah tersebut.
c. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan warga setempat dengan hasil panen
menjadi milik petani. Bedanya mereka ini tidak menerima imbalan gaji.
d. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan oleh mereka sendiri dengan menggaji
buruh tani dari penduduk setempat.
Bencana banjir yang terjadi pada akhir Januari dan awal Pebruari 2002 di Jakarta dan
merata di seluruh wilayah Indonesia merupakan indikator yang sangat nyata telah
terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah
pola tata guna lahan, atau pola penutupan lahan dalam suatu DAS dapat mempengaruhi
besar–kecilnya air yang dihasilkan dari DAS. Pelanggaran terhadap Tata Ruang,
penegakan hukum yang lemah dan kerusakan hutan yang terletak di hulu-hulu sungai
secara langsung merupakan penyebab terjadinya bencana yang terjadi dewasa ini.
Banjir bulan akhir Januari 2002 dan awal Pebruari 2002 begitu luas dampak yang
ditimbulkannya, dan merupakan banjir terbesar dan terburuk yang pernah melanda ibukota
Jakarta. Permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak bisa lepas dari keberadaan 13 sungai
yang bermuara di bagian Utara Jakarta. Ketiga belas sungai itu masing-masing:
Mookervaart, Kali Angke, Kali Pasangrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat,
Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Keramat dan
Kali Cakung (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002). Ke 13 sungai tersebut ada yang bermula
dari daerah Serpong, Parung, Depok, dan Sungai Ciliwung yang merupakan sungai
terpanjang yang melalui DKI Jakarta berhulu di daerah Bogor, Puncak dan berasal dari
Gunung Pangrango.
Berdasarkan peta administratif dan batas DAS/Sub DAS 58 % (85.650 ha) berada diluar
wilayah DKI Jakarta serta 42 % (62.730 ha) berada di wilayah administratif DKI Jakarta,
sehingga dengan demikian membahas permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak terlepas
dengan perkembangan pembangunan dan perubahan tataguna lahan dan penutupan lahan
yang ada di luar DKI –Jakarta. Data sebaran luas DAS di masing-masing DAS/Sub DAS
secara lengkap disajikan pada Tabel 4.1.
Berdasarkan sebaran DAS yang mengalir ke Jakarta maka penanganan banjir di DKI
Jakarta harus dilakukan secara menyeluruh pada seluruh DAS, dan tidak hanya berasal dari
konstribusi S. Ciliwung, sehingga penataan dan penanggulangan harus dilakukan secara
komprehensif terhadap 13 sungai yang mengalir di DKI Jakarta. Perubahan penutupan
lahan akibat pemukiman dan hilangnya beberapa resapan air apabila tidak ditanggulangi
secara cepat, komprehensif dan terpadu hanya akan memperparah bahaya banjir di
kemudian hari.
Tabel 4.2. Penyebaran curah hujan di wilayah DKI dan DAS Ciliwung
No Nama Stasiun Curah Hujan 1 hari Curah Hujan 2 hari Tanggal
(mm) (mm)
1 Halim PK 107.6 185.6 1-2 Peb 2002
2 Depok 150 165 31Jan – 1Peb 2002
3 Cengkareng 88 167.5 27 – 28 Jan 2002
4 Tanggerang 83 143.5 27-28 Jan 2002
5 Tanjung priok 137.5 216.2 1-2 Pebruari 2002
6 BMG 168.1 192 1-2 Pebruari 2002
7 Pakubuwono 90 137 29-30 Jan 2002
8 Cileduk 109 132 22-23 Jan 2002
9 Darmaga 127 177.5 31 Jan -1 Peb 2002
10 Gn Mas 147 230 30 – 31 Jan 2002
11 Citeko 145.9 183.8 30-31 Jan 2002
12 Bekasi 250 295 29-30 Jan 2002
13 Kedoya 122 154 26-27 Jan 2002
Sumber: BMG, 2002 dalam Anonimous (2002)
Akibat curah hujan yang turun selama awal Januari, menyebabkan kondisi tanah telah jenuh
air, sehingga sangat sedikit air yang dapat diinfiltrasikan Pada tanggal 30 Januari terjadi
pengaruh pasang air laut yang tertinggi di pantai utara Jakarta, sehingga curah hujan yang
tinggi di bagian hulu DAS Ciliwung bersamaan dengan terjadinya pasang tertinggi. Banjir
pada akhir Januari 2002 merupakan gabungan antara kondisi pasang surut dan pola curah
hujan yang tinggi yang terjadi di bagian hulu dan hilir DAS Ciliwung serta Jakarta dan
sekitarnya. Kondisi Pasang surut secara lengkap disajikan pada Tabel 4.3.
Pada tanggal 4 Pebruari 2002 yang merupakan banjir besar dan belum juga surut, telah
menurunkan kapasitas saluran akibat banjir sebelumnya, terutama sampah dan material
telah menutupi sebagian saluran. Banyak sumbatan dan hambatan yang terjadi, tidak ada
pengaruh pasang surut, dan sebagian hujan belum berhenti, beberapa pompa tidak
berfungsi sehingga banjir masih berlangsung.
Berdasarkan pola induk yang telah dibuat tahun 1973 dan kemudian disempurnakan tahun
1997 setelah ada banjir besar yang melanda tahun 1996, nampak bahwa telah terjadi
kenaikan debit rencana pada semua badan sungai yang ada di DKI-Jakarta. Master plan
Cengkareng drain telah dinaikan dari 390 m3/det menjadi 620 m3/det, sementara sungai
Ciliwung telah dinaikan dari 370 m3/det menjadi 570 m3/det. Perubahan pola induk ini
untuk mengantisipasi kenaikan debit sungai-sungai yang ada di DKI-Jakarta akibat
perubahan tata guna lahan, khususnya kurangnya daerah resapan dan terlalu dominannya
permukiman yang hampir menutup seluruh DKI dan sekitarnya akibat pesatnya
pertumbuhan permukiman. Data debit rencana secara lengkap disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.3. Kondisi pasang surut pada akhir Januari dan awal Pebruari 2002 di Tanjung
Priok, Jakarta.
No Tanggal Tinggi Pasut di Tanjung Priok (cm)
1. 27 Januari 2002 250
2. 28 Januari 2002 250
3. 29 Januari 2002 252
4. 30 Januari 2002 260
5. 31 Januari 2002 240
6. 1 Pebruari 2002 230
7. 2 Pebruari 2002 230
8. 3 Pebruari 2002 220
Sumber: Nedeco, (2002).
Perubahan kenaikan debit ternyata tidak hanya terjadi di daerah hilir akan tetapi terjadi
juga di daerah hulu. Di sungai Ciliwung yang meliputi Ciliwung hulu di daerah Katulampa
dan Ciliwung tengah (Depok) juga terjadi kenaikan debit yang sangat signifikan terutama
sejak tahun 1980 kenaikan debit puncak sudah sangat mengkhawatirkan. Sebelum tahun
1980 debit maksimum di sungai Ciliwung hulu (Katulampa) masih berada di bawah 200
m3/det, akan tetapi saat ini kondisinya terus menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan
seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.
Indikasi kenaikan debit puncak merupakan indikator yang kuat telah terjadi perubahan tata
guna lahan yang serius di DAS Ciliwung bagian hulu. Perubahan tata guna lahan di daerah
hulu ini akan secara otomatis merubah pola induk sungai-sungai yang ada di hilir sehingga
dengan demikian perubahan ini harus diantisipasi dengan pola pengembangan DAS yang
efektif dan efisien. Perencanaan tata ruang harus berbasis DAS dan seoptimal mungkin
memasukan curah hujan ke dalam tanah.
Salah satu indikator kerusakan daerah hulu Sungai Ciliwung terlihat dari semakin
menurunnya debit rendah (base flow) pada saat musim kering dan semakin naiknya debit
puncak pada musim hujan, sehingga hal ini akan menyebabkan berkurangnya
keseimbangan neraca air di DAS Ciliwung. Kondisi ke 12 DAS lainnya yang ada di Jakarta
lebih parah dibanding Ciliwung karena prosentase penutupan lahan yang mampu
meresapkan airnya jauh lebih sedikit, sehingga rehabilitasi lahan harus dilakukan pada ke 13
sungai yang mengalir menuju Jakarta.
Apabila dilihat secara seksama debit rencana tahun 1997 sebenarnya telah terlewati akibat
banjir tahun 1996 sehingga dengan demikian banjir di DKI-Jakarta disebabkan oleh 3
faktor penentu utama yaitu:
1. Akibat perubahan kondisi di bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung sehingga terjadi
debit puncak yang tinggi melebihi kapasitas daya tampung saluran yang ada,
2. Akibat curah hujan yang turun di DKI-Jakarta sendiri yang tidak mampu diresapkan
dan dialihkan ke bagian hilir serta
3. Akibat adanya pengaruh pasang surut air laut yang menghambat laju aliran air ke laut.
Ke tiga faktor penyebab banjir tersebut harus ditangani secara komprehensif dan dengan
metode yang berbeda pula.
Berdasarkan data kejadian banjir tahun 2002 total curah hujan harian selama 3 hari
berturut-turut (29 - 31 Januari 2002) untuk Ciliwung hulu tercatat 233 mm, dan dari total
curah hujan tersebut sebesar 62,3 % telah berubah menjadi aliran permukaan dengan total
run off 145 mm dengan debit aliran maksimum sebesar 378 m3/det yang berlangsung
selama 5 jam berturut-turut. Pada tanggal 18 Januari 2002, tercatat debit maksimum
sebesar 525 m3/det yang diakibatkan oleh hujan sebesar 66 mm selama dua hari dan
berubah menjadi aliran permukaan sebesar 50 mm atau 75 % dari total curah hujan tetapi
hanya berlangsung selama 2 jam sehingga tidak menimbulkan banjir yang besar dibanding
kejadian akhir Januari 2002 seperti yang disajikan pada Gambar 4.3.
Kejadian banjir tahun 1996 yang pernah terjadi sangat berbeda dengan fenomena banjir
tahun 2002 yang lalu. Kejadian banjir tahun 1996 lebih banyak disebabkan karena
terjadinya curah hujan yang tinggi di daerah hulu, yang tidak mampu diresapkan sehingga
terjadi banjir yang hebat di daerah hilir. Berdasarkan hasil kajian hidrograf pada tanggal 6
Januari 1996 debit Sungai Ciliwung di Katulampa telah mencapai 740 m3/det, dan berada
pada kisaran diatas 400 m3/det selama lebih dari 10 jam sehingga Jakarta mengalami banjr
yang hebat, yang diakibatkan oleh kejadian hujan di hulu yang tercatat di daerah Gadog
curah hujan mencapai 250 mm. Dengan curah hujan sebesar 230 mm di tahun 1998, debit
Sungai Ciliwung di Katulampa mencapai sebesar 651 m3/det, dan tahun 1999 dengan
curah hujan 220 mm debitnya mencapai 610 m3/det. Dari data yang tersedia terlihat
bahwa kapasitas saluran sungai di Jakarta khususnya Ciliwung yang didesain hanya 570
m3/det hampir setiap 2 tahun sekali akan terlampaui, sehingga dengan demikian daerah
hulu Ciliwung perlu mendapat perhatian yang serius, karena tanpa perbaikan daerah hulu
Ciliwung, pembuatan kanal di Jakarta tidak akan mampu menanggulangi banjir yang ada.
4.3. Andil Daerah Hulu dan Tengah DAS Ciliwung Terhadap Debit dan
Volume Banjir
Perubahan pola penggunaan lahan kearah bentuk penggunaan lahan terbangun memberi
dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi perubahan
luasan pemukiman yang terjadi di Ciliwung Hulu dan Tengah, sehingga akan meningkatkan
laju limpasan permukaan yang menghasilkan banjir di kawasan hilir Ciliwung. Untuk
mengkaji andil daerah hulu dan tengah DAS Ciliwung terhadap debit dan volume banjir
daerah hilir digunakan model hidrologi HEC-1 sebagai alat untuk menduga berbagai
parameter hidrograf banjir, dengan menggunakan data penggunaan lahan yang diperoleh
dari penafsiran citra satelit Landsat 1981 dan 1999 (Singgih, 2000 dalam Pawitan, 2002).
DAS Ciliwung Hulu telah dibagi ke dalam tujuh Sub DAS, yang masing-masing dicirikan
oleh parameter masukan model yang meliputi: intensitas hujan 30-menitan, bilangan kurva
sebagai fungsi dari penggunaan lahan dan jenis tanah, luas sub DAS, kelerengan lahan,
panjang lereng, dan kharakteristik sungai yang meliputi: lebar sungai, kelerengan sungai,
dan kekasaran Manning. Keseluruhan parameter ini juga diperoleh untuk dua sub DAS di
Ciliwung Tengah. Pengujian model terhadap data masukan ini dilakukan untuk tujuh
kejadian hujan deras (> 20 mm/kejadian) tahun 1999 dengan hasil pada Tabel 4.6. Hasil
ini menunjukkan tingkat akurasi prediksi model yang dapat diterima, sehingga model
dengan parameter terkalibrasi kemudian digunakan untuk mensimulasi debit dan volume
banjir untuk kondisi tahun 1981 dan 1999, termasuk kemudian digunakan untuk
menentukan pola penggunaan lahan yang dapat menekan dampak perubahan lahan
terhadap peningkatan debit dan volume banjir.
Tabel 4.6. Perbandingan Debit dan Volume banjir hasil pengamatan dan prediksi model
HEC-1
Debit banjir (m3/det) Volume banjir (1000m3)
Tanggal Hujan
Obs. Model Obs. Model
4 Feb. 1999 79 71 929,9 1311,4
11 Feb. 1999 87 90 1399,1 1689,4
8 Mar 1999 119 125 1721,6 2275,2
16 Mar. 1999 89 90 1392,0 1891,3
30 Mar. 1999 55 51 944,3 1134,8
2 Mei 1999 72 71 1183,2 1445,3
4 Mei 1999 66 65 1079,1 1358,2
Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)
Hasil simulasi model HEC-1 untuk kondisi penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu dan
Tengah tahun 1981 dan 1999 diberikan pada Tabel 4.7. Perubahan respons hidrologi
DAS yang dinyatakan oleh debit dan volume banjir untuk berbagai sub DAS di Ciliwung
ini menunjukkan peningkatan debit antara 1,6% sampai 158% untuk subDAS-subDAS di
Ciliwung Hulu, dan total untuk Ciliwung Hulu dengan peningkatan debit dari kondisi 1981
ke 1999 sebesar 67 %, dan untuk Ciliwung Tengah debit banjir meningkat sebesar antara
18% sampai 31%, dengan gabungan sebesar 24%. Sedang untuk volume banjir,
peningkatan di Ciliwung Hulu sebesar 59 % dan di Ciliwung Tengah sebesar 17% (Singgih,
2000 dalam Pawitan, 2002)
Sedang untuk menghitung andil yang diberikan oleh kedua bagian DAS Ciliwung ini
volume aliran terhadap banjir di daerah hilir, hasil simulasi dengan HEC-1 untuk kondisi
tahun 1981 menunjukkan bahwa 43 % diberikan oleh Ciliwung Hulu dan 57% dari
Ciliwung Tengah, sedang pada tahun 1999 keadaannya sudah berubah menjadi 51% dari
Ciliwung Hulu dan 49% dari Ciliwung Tengah.
Tabel 4.7. Perubahan parameter hidrograf banjir untuk tahun 1981 dan 1999
Debit Puncak (m3/s) Vol. Limpasan (1000m3)
Sub DAS % %
1981 1999 1981 1999
Perubahan Perubahan
Tugu 6,70 16,41 144,9 147,5 287,5 95
Cisarua 2,08 5,92 148,2 76,4 132,7 74
Cibogo 2,73 5,4 97,8 71,1 81,7 15
Cisukabirus 4,54 14,25 117,9 68,1 120,2 77
Ciesek 5,67 14,40 157,9 109,6 202,8 85
Ciseuseupan 28,73 29,16 1,6 182,9 217,9 20
Katulampa 10,59 12,18 15,0 56,1 103,5 84
Ciliwung Hulu 46,53 77,65 67,3 711,5 1130,2 59
Ciliwung 22,75 29,75 30,7 533,3 620,0 16
Ciluar 31,32 37.24 18,9 402,5 479,2 19
Ciliwung Tengah 49,71 61,83 24,4 935,6 1098,5 17
Ciliwung 82,85 125,29 51,2 1647,3 2228,1 35
Sumber: Singgih (2000) dalam Pawitan (2002)
Simulasi pengelolaan lahan DAS dalam bentuk tindakan rehabilitasi dan konservasi tanah
dan air yang dilakukan menggunakan model HEC-1 dengan memodifikasi nilai parameter
model menurut skenario yang dipilih secara nyata dapat menurunkan debit dan volume
banjir sampai batas yang diinginkan. Tiga skenario yang dipilih, dibandingkan kondisi pada
tahun 1999, adalah (1) penerapan teknik konservasi tanah dan air terbatas di Ciliwung Hulu
saja; (2) sama seperti (1) ditambah tindakan yang sama untuk kawasan tengah; dan (3) sama
seperti (2) ditambah tindakan penghutanan kembali lahan kebun campuran. Hasil skenario
(1) menunjukkan penurunan 34 % debit puncak di Katulampa dan 25 % volume banjir di
Ratujaya. Andil Ciliwung Hulu terhadap debit di Ratujaya adalah 34 % dan sisanya dari
bagian tengah sendiri, dengan peran dominan dari subDAS Ciesek dan Cibogor. Hasil
skenario (2) menunjukkan peningkatan penurunan volume banjir di Ciliwung Hulu-tengah
dari 25% (skenario 1) menjadi 43%. Andil kawasan tengah sendiri turun 37% untuk
volume banjir dan penurunan 45% debit banjir. Dan skenario (3) memberi penurunan
debit dan volume banjir, masing-masing sebesar 53% dan 65% untuk Ciliwung Hulu dan
53% dan 39% untuk Ciliwung Tengah.
Sampai dengan tahun 1996 tercatat bahwa penggunaan tanah untuk budidaya non-
pertanian telah mencapai 3.807 ha (26 % dari total wilayah hulu) atau terjadi
ketidaksesuaian dengan peruntukan non-pertanian dalam RUTR (396%) dan RDTR
(101%). Tabel 4.8 memperlihatkan secara rinci rencana peruntukan lahan di DAS
Ciliwung bagian hulu dan tengah.
Tabel 4.8. Peruntukan Lahan menurut RUTR dan RDTR serta Penggunaan Lahan yang
ada di DAS Ciliwung
Penggunaan Tanah
Menurut RUTR Menurut RDTR
Sub DAS Peruntukan yang ada
Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Hulu Lindung (Hutan) 5.426 36 4.650 31 3.783 25
Bud. Pertanian 8.683 58 8.336 56 7.286 49
Bud. Non Pertanian 767 5 1.890 13 3.807 26
Jumlah 14.876 100 14.876 100 14.876 100
Tengah Lindung (Hutan) 0 0 0 0 0 0
Bud. Pertanian 1.147 8 1.174 9 8.476 62
Bud. Non Pertanian 12.616 92 12.589 91 5.287 38
Jumlah 13.763 100 13.763 100 13.763 100
Hulu & Lindung (Hutan) 5.426 19 4.650 16 3.783 13
Tengah Bud. Pertanian 9.830 34 9.510 33 15.762 55
Bud. Non Pertanian 13.383 47 14.479 51 9.094 32
Jumlah 28.639 100 28.639 100 28.639 100
Sumber : Peta RUTR dan RDTR (1996) dalam Anonimous (1997)
Berkembangnya luas lahan kawasan budidaya non-pertanian, antara lain untuk vila,
pemukiman, pariwisata dan sebagainya, terutama karena terjadi perambahan besar-besaran
terhadap kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya pertanian dan kawasan
fungsi lindung.
Hutan atau kawasan lindung di wilayah DAS bagian hulu tercatat cukup luas yaitu
mencapai 25 % dari luas wilayah bagian DAS Ciliwung bagian hulu dan keberadaannya
wajib untuk ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya. Dari segi jumlah luasan, sangat
diharapkan adanya kawasan hutan atau yang berfungsi lindung dimana luasan minimal yang
dibutuhkan dalam suatu DAS adalah 30% dari wilayah. Di dalam suatu RUTR dan RDTR,
areal hutan atau yang berfungsi lindung di wilayah hulu direncanakan di atas 30% dan luas
ini sangat berpengaruh kepada kondisi hidrologi Ciliwung.
Upaya penambahan areal lindung sampai 30% sudah dimulai yaitu dengan mengembalikan
kawasan kebun teh yang habis masa HGU menjadi kawasan hutan serta menghijaukan
lahan terbuka. Penambahan luasan ini juga disertai dengan peningkatan kualitas hutan yang
ada. Disamping itu, pengembangan hutan rakyat dapat menjadi alternatif untuk
mengembangkan luasan hutan atau kawasan yang berfungsi lindung.
Perbedaan antara kenyataan di lapangan dengan RDTR dan RUTR di bagian hulu juga
dijumpai untuk areal non-pertanian. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya kawasan
agrowisata dan sarana wisata lainnya. Hingga tahun 1996, areal non-pertanian sudah
mencapai luasan 26% dari total areal bagian hulu padahal di dalam RUTR direncanakan
hanya 5% dan di dalam RDTR seluas 13%. Di dalam RDTR direncanakan bahwa kawasan
ini mempunyai areal pertanian seluas 8.336 ha atau 56% dan di dalam RUTR seluas 8.683
atau 58%, namun kawasan pertanian hanya dijumpai sebesar 7.286 ha atau 49 %. Upaya
Kawasan hutan seluas kurang lebih 3.783 ha atau 25% dari luas DAS Ciliwung hulu
mempunyai beban yang cukup besar sebagai pendukung fungsi hidrologis, khususnya
kawasan DAS Ciliwung dan wilayah Bopunjur pada umumnya. Beban berat ini disebabkan
karena tidak adanya hutan atau kawasan yang mempunyai fungsi lindung baik di wilayah
DAS bagian tengah maupun DAS bagian hilir. Melihat peranan hutan tersebut sebagai
kawasan konservasi mencakup keseluruhan luas wilayah DAS maka jumlah luasan hutan di
atas menjadi relatif kecil atau kurang, sebab areal lindung yang ada di DAS Ciliwung hanya
sekitar 13% dari total wilayah DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah atau hanya 10% dari
total luasan seluruh DAS Ciliwung.
Luasan hutan yang ada saat ini masih relatif kecil dibandingkan dengan luasan hutan yang
diharapkan ada dalam satu DAS. Program pengembangan kawasan hutan atau kawasan
yang berfungsi lindung dapat dilaksanakan pada daerah-daerah bantaran sungai, daerah
bahaya banjir atau daerah yang tidak sesuai dan aman untuk pemukiman maupun pada
daerah ruang terbuka di tengah kota. Untuk kawasan Ciliwung bagian tengah, baik RDTR
maupun RUTR mengidentifikasikan adanya peluang perkembangan daerah perkotaan. Di
dalam RUTR dan RDTR, wilayah DAS Ciliwung bagian tengah sangat dimungkinkan
berkembang menjadi kawasan perkotaan, karena peruntukan untuk fungsi budidaya non-
pertanian menurut rencana sangat besar (RUTR mencapai 92% dan RDTR mencapai 91%)
walaupun realisasinya baru sekitar 38 %.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor juga telah membuat perencanaan alokasi ruang yang
didasarkan atas kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, yang dituangkan ke dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). Alokasi penggunaan ruang/lahan
menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000 disajikan pada Tabel 4.9. Pada tabel
tersebut terlihat bahwa pada tahun 2000 rencana alokasi lahan untuk pemukiman dan
pengembangan perkotaan meningkat menjadi lebih dari 25%. Kecenderungan ini akan
meningkat terus sejalan dengan diimplementasikannya UU No. 22/1999 pada tahun 2001,
dimana kabupaten memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi sumberdaya yang
terdapat di wilayahnya.
Selain wilayah Kabupaten Bogor, Kawasan BOPUNJUR juga memainkan peran penting
dalam kontribusinya terhadap banjir Jakarta. Hal ini karena sebagian kawasan BOPUNJUR
juga merupakan wilayah DAS Ciliwung. Data penggunaan lahan di kawasan Bopunjur
dapat dilihat pada Tabel 4.10. Kawasan lindung menyebar di bagian selatan kawasan
Bopunjur menempati lahan dengan morfologi yang bergunung dengan ketinggian lahan
diatas 1000 m dpl dan curah hujan di kawasan ini sangat tinggi. Kawasan lindung menyebar
di Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, Babakan Madang, dan Sukaraja. Sementara
kawasan budidaya menyebar di bagian tengah hingga utara dengan karakteristik lahan pada
umumnya datar, ketinggian kurang dari 1000 m dpl, dan curah hujan relatif lebih rendah.
Tabel 4.9. Alokasi Penggunaan Ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun
2000
No. Alokasi Ruang Luas (ha) Persentasi (%)
1. Kawasan Hutan Lindung 33.760 14,24
2. Kawasan Hutan Produksi 38.270 16,14
3. Kawasan Perkebunan 11.924 5,03
4. Kawasan Pariwisata 2.102 0,89
5. Kawasan Tanaman Tahunan 19.708 8,31
6. Kawasan Pertanian Lahan Kering 35.005 14,76
7. Kawasan Pertanian Lahan Basah 26.504 11,18
8. Kawasan Pengembangan Perkotaan 42.091 17,75
9. Kawasan Pemukiman Perkotaan 19.657 8,29
10. Kawasan Industri 4.004 1,69
11. Kawasan Waduk 1.849 0,79
12. Kawasan Zona Tambang 2.112 0,89
13. Kawasan Setu/Danau 106 0,04
Jumlah 237.092 100,00
Sumber: RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000 dalam Anonimous (2002)
Berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan perumahan bagi penduduk Kabupaten Bogor
merupakan isu penting dalam kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan menjadi
kawasan pemukiman. Kenyataan ini ditandai dengan diberikannya perijinan menyangkut
pendirian bangunan baru (Tabel 4.10). Meskipun kondisi perekonomian sektor riil agak
lesu, tetapi pertumbuhan perumahan cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk Kabupaten Bogor.
Ijin lokasi yang telah dikeluarkan dan dalam proses yang tercatat sampai tahun 1998 di
kawasan Bopunjur mencapai 392 buah untuk berbagai sektor/kegiatan usaha (Tabel 4.11).
Untuk kecamatan-kecamatan di wilayah DAS Ciliwung ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda
Bogor relatif sedikit. Hal ini sejalan dengan posisi dan fungsi kawasan yang umumnya
terletak di bagian hulu DAS dan berfungsi sebagai daerah resapan.
Tabel 4.11. Jenis Perijinan (IMB) di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor yang
termasuk DAS Ciliwung
2. Berubah-ubahnya rencana program secara sepihak oleh pihak aparat instansi dapat
mengacaukan dan mengecewakan perasaan warga, antara lain; janji untuk membuat
sumur resapan di desa Gunung Geulis yang ternyata hingga kini tidak terwujud, tidak
adanya upah untuk tahap perawatan tanaman (di lahan penanaman maupun di Kebun
Bibit Desa) yang akhirnya justru menjadi beban warga sendiri. Dengan demikian
pendekatan program diharapkan dapat lebih bersifat partisipatif dengan pemahaman
agar warga masyarakat mendapat akses pada pembuatan keputusan-keputusan atas
alokasi sumberdaya program, sehingga dapat lebih sesuai dengan kemauan dan
kemampuan riil yang ada pada warga masyarakat itu sendiri. Beberapa hal yang
dianggap penting dibicarakan bersama dengan masyarakat antara lain adalah berapa
jumlah bibit tanaman buah atau bibit tanaman keras (misal: Albasia, Mindi) yang harus
diadakan, berapa upah yang perlu dialokasikan, pada tahap apa saja alokasi upah perlu
diadakan, berapa orang warga masyarakat yang perlu dilibatkan dalam tahap kegiatan
program kali ini, dan seterusnya. Dalam ungkapan yang lebih singkat, program harus
berbasiskan pada komunitas warga karena mereka adalah salah satu pilar (stakeholders)
strategis DAS Ciliwung yang harus mendapatkan posisi yang memadai.
3. Program ini diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan dan sistematis
mengikuti hasil evaluasi atas tahapan kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya. Hal
ini diajukan mengingat selama ini program yang dilancarkan dirasakan lebih bersifat
sporadis dan parsial, serta tidak fokus. Selama ini pelaksanaan program dianggap
dilakukan secara mendadak dan tidak menyangkutkan diri dengan kebutuhan dan
permasalahan warga dalam konteks yang lebih komprehensif. Pertanyaan seperti
seberapa jauh program rehabilitasi lahan/penghijauan ini dapat menjadi peluang
insentif baik dalam bentuk peluang kerja atau sumber pendapatan baru, sering
dilontarkan oleh masyarakat. Pertanyaan tersebut seyogyanya dapat menjadi bahan
pantauan dan evaluasi pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses ‘duduk bersama’
yang jujur dan terbuka. Patut dicatat pada dasarnya program ini telah mendapatkan
sambutan baik dengan menjadikan warga sebagai subyek sasaran program sehingga
warga merasa telah mendapat semacam pengakuan dari pemerintah bahwa mereka
adalah ‘pemilik’ sah atas tanah garapannya. Namun program ini belum diikuti dengan
tindakan lebih lanjut yang mendudukan mereka sebagai subyek aktif dalam
penyusunan dan pelaksanaan program agar lebih merasa sebagai pemilik program itu
sendiri.
4. Banyaknya penguasaan lahan (misal: villa-villa peristirahatan) oleh orang luar jelas telah
menyulitkan pelaksanaan program, karenanya pelaksanaan kegiatan program tidak
dapat sepenuhnya dibebankan pada warga setempat/kelompok tani. Apalagi diketahui
sejak ditetapkan adanya kebijaksanaan Bopunjur ternyata pembangunan sebagian villa-
villa tetap tidak mengindahkan lingkungan dan malahan tanpa IMB. Tentu saja semua
ini berimbas pada penciptaan situasi dan kondisi yang tidak kondusif, pada derajat
tertentu warga meragukan tekad dan itikad pemerintah dalam menyukseskan program
rehabilitasi lahan/penghijauan tersebut.
5. Ada gagasan menjadikan program tersebut terpadu dengan pembangunan Hutan
Wisata, sehingga sekaligus dapat membuka peluang kerja/usaha bagi warga setempat.
Wilayah hulu DAS Ciliwung yang selama ini telah menjadi tujuan wisata untuk banyak
orang kota dan mancanegara seyogyanya dapat dilengkapi dengan suatu pembangunan
Hutan Wisata. Tentu saja gagasan ini terpulang kepada hasil kajian dan komitmen dari
semua pihak yang menjadi stakeholders DAS Ciliwung.
Tabel 4.13. Sebaran Areal dan Jumlah Penduduk yang Terkena Banjir Tahun 2002
Penduduk Luas
Jumlah
No Wilayah Terkena Luas Areal (Ha) Genangan
Penduduk
Banjir Banjir (ha)
1 Jakarta Selatan 1.784.004 785.804 14.572 731
2 Jakarta Timur 2.347.917 997.964 18.776 454
3 Jakarta Pusat 874.595 400.403 4.790 890
4 Jakarta Barat 1.904.191 874.583 12.615 2.482
5 Jakarta Utara 1.419.091 650.570 14.231 4.149
Jumlah 8.329.838 3.709.324 64.983 8.707
Sumber: NEDECO (2002)
Banjir yang ada telah menimbulkan kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian
langsung antara lain adalah pada sektor perumahan dan non perumahan. Kerugian pada
sektor perumahan permanen mencapai Rp 3,2 trilyun dan paling parah terjadi daerah
Jakarta Barat. Sedangkan pada bangunan non perumahan yang terbesar mengalami
kerugian adalah bangunan pabrik di daerah Jakarta Utara dengan kerugian lebih dari 587
milyar. Besar kerugian pada masing-masing sektor secara lengkap disajikan pada Tabel
4.14 dan Tabel 4.15.
Tabel 4.15. Kerugian pada Sektor Non Perumahan pada Banjir Tahun 2002
Kerusakan langsung (Milyar Rp)
Non Permukiman
No WILAYAH Gudang Toko, Pabrik Perkantoran Sekolah &
Restoran & tempat
Hotel ibadah
1 Jakarta Selatan 2,960 13,070 4,528 522 3,746
2 Jakarta Timur 4,390 18,556 20,560 1,040 5,144
3 Jakarta Pusat 3,776 11,051 798 392 4,423
4 Jakarta Barat 124,048 303,427 253,075 5,104 24,154
5 Jakarta Utara 48,414 95,100 587,124 2,736 18,134
Jumlah 183,590 441,202 866,084 9,794 55,601
Sumber: NEDECO (2002)
Kerusakan langsung juga terjadi pada non bangunan antara lain menimbulkan biaya pada
masalah kesehatan, infrastruktur, pertanian dan kerugian lainnya yang kisarannya antara
1,8 sampai 32 milyar, data selengkapnya disajikan pada Tabel 4.16.
Berdasarkan hasil perhitungan baik yang langsung maupun yang tidak langsung besar
kerugian yang ditimbulkan akibat banjir tahun 2002 mencapai 9,8 trilyun dimana daerah
yang paling parah terjadi di Jakarta Utara disusul kemudian daerah Jakarta Barat.
Kerusakan tidak langsung antara lain akibat banjir telah menghilangkan aktivitas ekonomi,
bahkan kegiatan bursa sempat dihentikan. Akibat banjir tersebut kerugian pada kehilangan
aktivitas ekonomi mencapai 2,5 trilyun, kehilangan sarana transportasi dan telekomunikasi
sebesar 78 milyar. Total kerusakan secara lengkap disajikan pada Tabel 4.17.
Tabel 4.17. Total Kerusakan Banjir Tahun 2002 pada Seluruh Sektor
Kerusakan (Milyar Rp)
Kehilangan Kehilangan Kerusakan Kerusakan Total
No WILAYAH aktivitas transportasi & Langsung Tidak Kerusakan
ekonomi telekomunikasi Langsung
1 Jakarta Selatan 116,228 4,562 265,598 126,007 470,010
2 Jakarta Timur 153,008 7,010 341,560 165,052 607,935
3 Jakarta Pusat 405,415 12,110 225,745 425,731 781,772
4 Jakarta Barat 818,372 29,688 2,33,363 935,127 3,923,389
5 Jakarta Utara 1,043,676 25,182 2,2212,256 1,207,945 4,104,242
Jumlah 2,536,698 78,552 5,379,523 2,859,933 9,887,347
Sumber: NEDECO (2002).
Gambar 4.7. Kondisi lingkungan pemukiman saat banjir di Jakarta tahun 2002
Dalam perjalanannya, kebijakan penataan ruang DAS Ciliwung dituangkan dalam berbagai
peraturan perundangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah (Propinsi dan
Kabupaten/Kota). Di bawah ini diuraikan beberapa peraturan perundangan yang
berkaitan dengan penataan ruang DAS Ciliwung, khususnya bagian hulu.
Adapun tujuan dari diterbitkannya Keppres 114 tahun 1999 adalah : 1) Menjamin tetap
berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan; 2)
Menjamin tersedianya air tanah, air permukaan, dan penanggulangan banjir bagi Kawasan
Bopunjur dan daerah hilirnya.
Dengan sasaran penetapan Kawasan Bopunjur sebagai konservasi air dan tanah adalah :
1. Terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna
dengan ketentuan :
a. Tingkat erosi yang tidak mengganggu;
b. Tingkat peresapan air hujan yang menjamin tercegahnya bencana banjir dan
ketersediaan air sepanjang tahun bagi kepentingan umum baik di Kawasan
Bopunjur dan sekitarnya maupun di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
c. Kualitas air yang menjamin kesehatan lingkungan;
d. Situ yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumber air baku, dan sistem
irigasi;
e. Pelestarian flora dan fauna yang menjamin pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
f. Tingkat perubahan suhu udara tetap menjamin kenyamanan kehidupan
lingkungan.
2. Tercapainya optimalisasi fungsi budidaya dengan ketentuan:
a. Kegiatan budidaya yang tidak melampaui ketersediaan sumber daya alam dan
energi;
b. Kegiatan usaha pertanian berskala besar dan kecil yang menerapkan teknologi
pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah;
b. Daya tampung bagi penduduk yang selaras dengan kemampuan penyediaan
prasarana dan sarana lingkungan yang bersih dan sehat serta dapat mewujudkan
jasa pelayanan yang optimal;
c. Kegiatan pariwisata pegunungan yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan
masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya serta membuka kesempatan
kerja dan berusaha yang optimal bagi penduduk setempat dalam kegiatan
kepariwisataan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk;
d. Tingkat gangguan terhadap lalu lintas pada jalan arteri dan pencemaran lingkungan
hidup yang serendah-rendahnya melalui penerapan baku mutu lingkungan hidup
dan baku limbah industri secara konsisten.
Dalam Keppres 114 tahun 1999, diatur pokok-pokok kebijakan penataan ruang Kawasan
Bopunjur yang meliputi arahan untuk : Perencanaan tata ruang; Pemanfaatan ruang; dan
Pengendalian pemanfaatan ruang.
Dari sejumlah kecamatan yang masuk dalam lingkup Kawasan Bopunjur diatas, diatur pola
pemanfaatan ruang yang pendeliniasiannya didasarkan pada fungsi kawasan, terdiri dari :
a. Kawasan Lindung yang terdiri atas:
− Kawasan Hutan Lindung.
− Kawasan Cagar Alam.
− Kawasan Taman Nasional.
− Kawasan Taman Wisata Alam.
− Kawasan Perlindungan Setempat, yang terdiri atas Kawasan Sempadan Sungai,
Kawasan Sekitar Mata air, dan Kawasan sekitar Waduk/Danau/Situ.
b. Kawasan Budidaya
− Kawasan pertanian lahan basah.
2 (dua) Kec. di Dati II 2 (dua) Kec. di Dati II 3 (tiga) Kec. di Dati II Kab.
Kab. Cianjur, yaitu : Kab. Cianjur, yaitu : Cianjur, yaitu :
Kec. Cugenang Kec. Cugenang Kecamatan Cugenang;
Kec. Pacet Kec. Pacet Kecamatan Pacet;
Kecamatan Sukaresmi.
1 (satu) Kec. di Dati II 1 (satu) Kec. di Dati II 3 (tiga) Kec di Daerah Kota
Kab. Tangerang, yaitu : Kab. II Tangerang, Depok, yaitu :
Kecamatan Ciputat yaitu : Kecamatan Cimanggis;
Kecamatan Ciputat Kecamatan Sawangan;
Kecamatan Limo.
Kawasan lainnya yang terdiri dari kawasan permukiman, kawasan pertanian lahan kering,
kawasan perkebunan, dan lain-lain.
Sedangkan, untuk pola pemanfaatan yang didasarkan pada fungsi kawasan dan aspek
kegiatan, terdiri atas :
Penetapan lokasi kawasan sebagaimana dijelaskan di atas, didasarkan pada kondisi geografis
dan topografi yang dimiliki Kawasan Bopunjur. Hal ini bertujuan agar tercapai
keseimbangan ekosistem pemanfaatan dan penggunaan lahan diantara bagian hulu dan
bagian hilir dari Kawasan Bopunjur. Pada bagian hulu kawasan, sebagian besar pola
pemanfaatan ruangnya merupakan Kawasan lindung, selain itu terdapat juga berberapa
kawasan yang merupakan kawasan budidaya seperti perumahan hunian rendah, pertanian
lahan basah/kering, ladang, perkebunan, peternakan, agro industri, hutan produksi, dan
industri berorientasi padat tenaga kerja. Pada bagian hilir kawasan, pola pemanfaatannya
lebih didominasi oleh fungsi kawasan budidaya, yang antara lain didominasi oleh
perumahan dengan tingkat hunian padat, kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri
ringan non polutan dan berorientasi besar. Keterkaitan antara fungsi kawasan dan dasar
dari penetapan fungsi kawasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Selain pola pemanfaatan yang ditinjau berdasarkan fungsi kawasan diatas, terdapat juga
pola pemanfaatan yang didasarkan pada fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Hal ini
dibedakan atas kawasan pedesaan dan kawasan perkotaan, dimana perbedaannya dilihat
berdasarkan tujuan dari fungsi penetapan masing-masing kawasan tersaji dalam Tabel 5.3.
Selanjutnya dalam Keppres 114 tahun 1999 ini, diatur juga pemanfaatan tata ruang yang
penekanannya difokuskan pada bagaimana suatu bentuk pemanfaatan ruang yang tidak
melanggar salah satu fungsi kawasan dikarenakan adanya bentuk kegiatan lain, seperti
adanya suatu kegiatan budidaya yang melakukan kegiatan di kawasan lindung. Untuk itu,
Pemerintah Daerah perlu melakukan rehabilitasi dan reboisasi kawasan lindung dengan
tutupan vegetasi tetap.
Namun, di luar kawasan lindung dapat dikembangkan kegiatan budidaya dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Perlu menjaga konservasi air dan tanah;
b. Tidak mengganggu kesuburan tanah, keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian
flora dan fauna, keserasian fungsi lingkungan hidup;
Dalam hal pengaturan yang terkait dengan pemanfaatan ruang kawasan lindung, kawasan
budidaya, kawasan pedesaan, dan kawasan perkotaan dikeluarkan oleh instansi pemerintah
baik di tingkat pusat maupun daerah dengan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kemudian pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah
yang berwenang berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam pengaturan tersebut
selanjutnya wajib memperhatikan :
a. Rencana rinci tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Persyaratan-persyaratan teknis yang mendukung konservasi air dan tanah.
Selanjutnya agar pola pemanfaatan ruang diatas dapat lebih terarah, maka dalam Keppres
114 tahun 1999 diatur pengendalian pemanfaatan ruang untuk Kawasan Bopunjur.
Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan
penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dan
aparat yang ditunjuk dan bertanggung jawab kepada Gubernur, sedangkan koordinator
pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh Gubernur yang bertanggung jawab kepada
Presiden yang dalam mengendalikan pemanfaatan ruang, Gubernur memperhatikan arahan
Menteri.
Tabel 5.4. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Aspek Kegiatan dengan Penataan
Ruang
FUNGSI KAWASAN DAN
PEMANFAATAN RUANG
ASPEK KEGIATAN
1. Kawasan Hutan Lindung a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam,
mengganggu kesuburan serta keawetan tanah, fungsi
hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian
fungsi lingkungan hidup;
b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan
perusakan terhadap keutuhan kawasan dan
ekosistemnya sehinggga mengurangi/menghilangkan
fungsi dan luas kawasan seperti perambahan hutan,
pembukaan lahan, penebangan pohon dan perburuan
satwa;
c. Kegiatan budidaya termasuk mendirikan bangunan
kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang
fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang
merupakan bagian dari suatu jaringan atau transmisi
bagi kepentingan umum seperti pos pengamatan
kebakaran, pos penjagaan, papan
petunjuk/penerangan, patok triangulasi, tugu, muara
kereta kabel, tiang listrik, menara televisi.
2. Kawasan Cagar Alam a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam,
mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi
hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian
fungsi lingkungan hidup;
b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan/kerusakan terhadap keutuhan kawasan
suaka alam dan ekosistemnya sehingga
mengurangi/menghilangkan fungsi dan luas kawasan
cagar alam;
c. Mengambil, menebang, memiliki, merusak,
memusnahkan, mengangkut dan memperniagakan flora
dan fauna yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup atau mati;
d. Mengeluarkan flora dan fauna yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari
kawasan cagar alam, dan memasukan jenis-jenis
tumbuhan dan satwa tidak asli ke dalam kawasan cagar
alam.
3. Kawasan Taman Nasional a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam,
mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi
hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian
fungsi lingkungan hidup;
b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan zona inti taman nasional, baik
mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti,
maupun menambah jenis tumbuhan dan satwa lain
yang tidak asli;
c. Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional.
8. Kawasan Pertanian Lahan Basah tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan lain.
9. Kawasan Perdesaan a. Mengurangi areal produktif pertanian dan wisata
alam;
b. Mengurangi daya serap air;
c. Merubah benteng alam.
Pada tingkat Pemda sendiri dapat terdiri dari dinas-dinas seperti Dinas Kehutanan dan
Perkebunan, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, dll.
Dari kelima kegiatan tersebut hanya kegiatan RLKT dan PRK Bopunjur yang sangat
berkaitan dengan masalah erosi dan kuantitas debit air sungai dalam rangka mengantisipasi
banjir di Jakarta, sedangkan ketiga lainnya berkaitan dengan penanganan masalah kualitas
air.
Berdasarkan data kegiatan pengelolaan DAS Ciliwung, selama ini timbul kesan bahwa
hanya DAS Ciliwung Hulu yang dianggap sebagai penyebab utama secara kuantitatif banjir
di bagian hilir. Sedangkan faktor lainnya yang sebenarnya lebih menyumbangkan banjir di
Jakarta belum ditangani secara intensif melalui program-program yang terpadu. Faktor-
faktor tersebut antara lain intensitas hujan yang tinggi di Bagian Tengah maupun Hilir,
kecilnya daya peresapan air di DAS Ciliwung Tengah dan Hilir, dan ketersediaan serta
kondisi drainase. Dengan demikian tidak proporsional terlalu membebankan fungsi
konservasi air dan tanah hanya pada wilayah hulu untuk mencegah banjir dan sedimentasi
di bagian hilir.
Sementara itu, sesuai dengan SK Ketua Bappenas No. 016/Ket/4/1996, DAS Ciliwung
termasuk dalam pengelolaan ruang kawasan Bopunjur yang penanganannya dibantu oleh
Satgas/Pokja Bopunjur.
Pokja Bopunjur yang pernah dibentuk diketuai oleh Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan dahulu memiliki anggota yang melibatkan
instansi lintas sektoral yaitu Ditjen Pengairan PU, Ditjen Cipta PU, Badan Pertanahan
Nasional, Ditjen Bangda Depdagri, Ditjen RRL Dephut, Ditjen Perkebunan Deptan,
Ditjen Pariwisata Deparpostel, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Bakosurtanal,
Pemda Tk I Jawa Barat dan Tingkat II Bogor, Cianjur dan Tangerang. Dalam
pelaksanaannya yang lalu, tugas Pokja PRK Bopunjur membentuk Satgas Bopunjur yang
bertugas melakukan kegiatan program di lapang.
Dengan demikian hanya kegiatan Pokja PRK Bopunjur yang secara langsung menangani
permasalahan tingginya laju perubahan peruntukan lahan, dari peruntukan pertanian
menjadi non pertanian atau berkurangnya daerah hijau/resapan. Namun demikian,
pelaksanaannya belum tuntas benar, berkurangnya wewenang Bappenas dan perubahan
organisasi di setiap Departemen, maka pengelolaan kawasan Bopunjur menjadi luntur atau
kabur lagi. Alhasil, peraturan perundangan yang masih bisa dijadikan pegangan lebih
dititikberatkan pada Peraturan Daerah, baik itu Pemerintah Daerah Tingkat I maupun
Tingkat II.
Permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh Tim yang bersifat sektoral ini ternyata
muncul di Pokja Bopunjur ini. Aspek koordinasi merupakan rantai yang terlemah.
Masing-masing sektor mengasumsikan bahwa apa yang diputuskan dan dilakukannya secara
otomatis serasi dengan program sektor lainnya. BKSP Jabotabek diharapkan tidak
menghadapi permasalahan klasik tersebut dan mengulangi kesalahan yang pernah ada di
Pokja Bopunjur.
Program dan kegiatan yang pernah, sedang dan akan dilakukan di wilayah DAS Ciliwung
sudah cukup banyak, namun demikian persoalan pengelolaan DAS terpadu yang antara lain
dicirikan dengan terkendalinya banjir belum terjadi sebagaimana yang diharapkan. Rincian
program dan kegiatan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan
DAS Ciliwung pada periode 1993-2002 dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.6. Tugas Pokok Pokja Bopunjur yang telah Pernah Tersusun
Deputi/
Lembaga Tugas
Direktorat
Dalam Negeri DitJen • Mengarahkan Pemda Tk I dan II dalam mengkaji
Pembangunan ulang Perda tentang RUTR dan RDTR
Perkotaan • Membina dan memantau perkembangan
pembangunan agar sesuai dengan RUTR
• Mengkoordinasi pembangunan dan
mendayagunakan kerjasama pembangunan
berwawasan lingkungan
• Membina dan mengarahkan Pemda Tk II dalam
menetapkan pengawasan dan penindakan
terhadap pelanggaran IMB
Agraria/ Deputi Bid. • Tidak mengeluarkan ijin lokasi baru dan kerjasama
Badan Pengaturan dan dengan Dep. Kehutanan meningkatkan fungsi
Pertanahan Pengusahaan Tanah kawasan lindung
Nasional • Seluruh kawasan budaya harus dilengkapi dengan
sumur resapan dan pembatalan ijin lokasi yang
menguruk situ
• Mengembalikan dan meningkatkan fungsi situ
• Menyempurnakan RUTR menjadi RTR kawasan
tertentu
Pekerjaan DitJen Pengairan • Meningkatkan pengelolaan tata air melalui
Umum dan Dit Jen Cipta penyusunan juknis pembuatan sumur resapan,
Karya pembuatan check dam, mengembalikan fungsi situ
pengamanan bantaran sungai dan pencegahan
pembuangan sampah
• Menetapkan sarana dan prasarana penerapan
KDB bekerjasama dengan Pemda
• Menyusun pengembangan kawasan wisata di luar
Jabotabek
Lingkungan Asmen Bid. • Melakukan pengkajian dampak lingkungan
Hidup/ Pengembangan • Meningkatkan kesamaan persepsi dan kesadaran
Bapedal Pengawasan dan masyarakat
Pengendalian • Memantau pelaksanaan pembangunan dan
membantu upaya penegakan hukum
Kehutanan DitJen Reboisasi dan • Melaksanakan rehabilitasi kawasan lindung dan
Rehabilitasi Lahan penyangga bekerjasama dengan Pemda
• Memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat
dan menyediakan bibit tanaman
• Bekerjasama dangan PU memberikan bimbingan
teknis kepada Pemda Tk II dalam pembuatan dam
pengendalian dan terasering serta menentukan
juknis sumur resapan
• Memberikan penyuluhan pembuatan terasering
sumur dan penanaman pohon oleh masyarakat
Program dan kegiatan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan
DAS yang diamati adalah pada periode 1993-2002. Pada umumnya program dan kegiatan
tersebut menggunakan pendekatan komoditi dan sektoral serta terkotak-kotak dalam
wilayah administrasi sehingga tujuan utama dari pengelolaan DAS Ciliwung belum terarah.
Dari segi substansi, hampir semua program dan kegiatan tersebut berada pada tahapan
perencanaan, belum terlihat tindakan dan hasil nyata di lapangan. Secara sederhana,
program dan kegiatan di DAS Ciliwung sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.1.
Kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu merupakan kebijakan lintas sektoral dan lintas batas
wilayah administrasi, yang menyangkut kepentingan banyak pihak dan melibatkan berbagai
institusi dan unsur masyarakat. Permasalahan dasar yang harus dipahami dan disepakati
secara bersama oleh berbagai pihak dalam pengelolaan DAS Ciliwung secara terpadu ini
adalah:
1. Bagaimana mengintegrasikan berbagai kepentingan ke dalam suatu program kegiatan
pengelolaan DAS yang optimal.
2. Bagaimana program kegiatan tersebut dapat didistribusikan, ke dalam pokok-pokok
kegiatan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, sehingga jelas siapa, berbuat
apa.
3. Bagaimana para pihak ini dapat berkoordinasi dan dikoordinasikan dalam suatu sistem
kelembagaan, sehingga penyelenggaraannya dapat berlangsung secara efisien dan
efektif.
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
Fokus dan Hukum Lingkungan 1 Program Kegiatan Peningkatan Kerjasama Institusi 2002 Ditjen SDA √ √
Efisiensi Pusat dalam rangka Manajemen Lingkungan.
Pengelolaan DAS 3 Pola umum standar dan kriteria RHL KepMen 2001 Menhut, Ditjen √ √
20/II/2001 RLPS
Pengelolaan Sungai 5 Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air 2001 Ditjen SDA √ √ √
(Keppres 123/2001)
Organisasi/Proses Kepedulian Masyarakat 7 Usulan Pembentukan Lembaga Koordinasi 2002 ? Dinas TRL √ √ √
Pendukung Penertiban Bangunan dan Pembentukan Lembaga Kab Bogor,
Otorita Pengelolaan DAS (Pusat) Pemkot Bogor
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
67
68
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
Hukum Lingkungan 11 Evaluasi Pembangunan Perumahan dan 2002-2003 Dinas TRL Kab √ √ √
Permukiman (Perijinan, Perolehan Tanah, Bogor
Pembangunan Fisik, AMDAL, UKL/UPL, PIL
dan Dampak Banjir)
Penataan Ruang 14 Pembuatan Foto Udara Kawasan Bopunjur di 2003 Dinas TRL Kab √ √
Kabupaten Bogor Bogor
DKI
Pengelolaan DAS 19 Studi dan Pembangunan Waduk/Kolam Refensi 2002-2003 Dinas TRL Kab √ √
Pengendali Banjir di Kecamatan Ciawi Bogor
Pengelolaan Sungai 21 Kajian Penataan Ulang Daerah Sempadan Sungai 2002 Ditjen SDA √ √ √
Ciliwung Untuk Optimalisasi Kapasitas Sungai
69
70
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
Instrumen Kepedulian Masyarakat 26 Segala bentuk kerusakan/kerugian masyarakat 2002- ? Pemkot Bogor √
Kebijakan menjadi tanggung jawab sepenuhnya proyek (dalam
rangka sodetan)
Hukum Lingkungan 28 Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) Kawasan 2003-2004 Dinas TRL √ √
prioritas Kab Bogor
Kab
Bogor,Ditjen
Penataan
Ruang, Pemda
DKI, Pemkot
Bogor
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
34 Penyusunan Rencana Teknis Tata Ruang Kawasan 2002 Dinas TRL √ √
Kab Bogor
Pengembangan 35 Review Kriteria Lokasi dan Standar Teknis 2002 Dinas TRL √ √
Pemukiman Pemanfaatan Ruang dan Penyusunan PBS Kab Bogor
Pengembangan Sarana 36 Penyusunan Master Plan Sistem Drainase 1991 Ditjen TPTP √ √
Kota
71
72
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
42 Program Kali Bersih Sungai Ciliwung, 2002-2004 Dinas TRL √ √ √
Kab Bogor
Akuntabilitas Kepedulian Masyarakat 43 Publik Campaign (dalam rangka rumah susun) 2002 Ditjen √ √ √
Publik Penataan
Ruang, Meneg
LH
Penguatan Kepedulian Masyarakat 47 Sosialisasi dan Pelatihan Teknik Pengolahan Lahan 2002 Dinas TRL √ √
Kelembagaan pertanian Berlandaskan Kaidah Konservasi Alam Kab Bogor
Daerah
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Hukum Lingkungan 50 Peningkatan Penyidik Pegawai Negeri sipil Bidang 2007 Dinas TRL √
Lingkungan Hidup Kab Bogor
Kegiatan Hukum Lingkungan 54 Penertiban Kegiatan Penambangan Tanpa Ijin 2002 Dinas TRL √
Operasional (PETI) Benahan Galian golongan “C” di Bopunjur Kab Bogor
Daerah
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
73
74
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
Pengembangan Pemukiman 57 Penertiban Tanah Milik Sungai (Pengukuran, 2003-2006 Dinas TRL √ √
Pematokan, Sertifikasi dan Penertiban Bangunan Kab Bogor
Liar diatasnya)
58 Relokasi Bangunan dan Bantaran Sungai dan Situ 2003-2006 Dinas TRL √ √ √
(Obyek Penertiban) serta dari Daerah Rawan Kab Bogor
Bencana
2002 Ditjen PP
Dinas TRL
Kab Bogor
75
76
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
71 Pembangunan Saluran Diversi 2001 Dinas TRL √ √
Kab Bogor,
Dishutbun
Kab. Bogor,
82 Evaluasi Sungai dan Anak Sungai DAS Ciliwung 2003-2004 Dinas TRL √ √
Kab Bogor
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Pengelolaan Sungai 84 Pembuatan DAM Penahan dan Dam Pengendali Pelita V, Dishutbun √ √
1994-2004 Kab. Bogor,
Dinas TRL
Kab Bogor,
Pemkot Bogor
77
78
Periode Penanggung
Issue Bahasan Klasifikasi Program Program/Proyek Hulu Tengah Hilir
Waktu Jawab
85 Perlindungan Tebing Sungai Pelita V Dishutbun √ √
Kab. Bogor,
Pemkot Bogor
95 Penertiban Bangunan dan Tanah Badan Sungai dan 2002- ? Pemda DKI, √ √ √
Pembuatan Button Control sungai Ciliwung Dinas TRL
Kab Bogor,
Pemkot Bogor
Pengelolaan Kualitas Air 99 Solid Waste Manajemen (SWM) dan Pengelolaan 1991-2002 Ditjen TPTP √ √ √
Limbah
79
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Dengan permasalahan DAS Ciliwung yang begitu kompleks dan menyangkut banyak
pihak, baik secara sektoral maupun cakupan wilayah administrasinya, saat ini
penanganannya dilakukan pada tingkat nasional dan dikoordinasikan oleh Kementerian
Kimpraswil. Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung tersebut
dibentuk berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 20/kpts/M/2002 tanggal 31 Januari 2002.
Kelompok kerja ini melibatkan sekaligus institusi pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota
baik perencana, pelaksana dan pengawas. Program kerja yang berupa Rencana Kegiatan
disusun oleh masing-masing satuan tugas melalui pembahasan pada Kelompok Kerja I, II
dan III. Rencana kegiatan tersebut secara garis besar meliputi :
Berdasarkan hasil pengumpulan informasi yang berupa dokumen program dan audiensi di
berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan Sungai Ciliwung dapat disintesakan
sebagai berikut :
1. Sesuai dengan program Tim Koordinasi Kimpraswil, maka program-program yang
disusun oleh masing-masing instansi yang terkoordinasi dalam Kelompok Kerja tetap
mengacu pada Kimpraswil
2. Instansi teknis yang tidak terkoordinasi dalam kelompok kerja tersebut, seperti Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor, mengacu pada program pembangunan
Pemerintah Kabupaten, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Direktorat
Jenderal RLPS, Departemen Kehutanan.
Jumlah program dan kegiatan yang telah, sedang dan akan berjalan di wilayah DAS
Ciliwung terdapat ± 102 program/kegiatan. Jumlah masing-masing program berdasarkan
kelompok program dan aspek kajian disajikan dalam Tabel 5.8.
Dari hasil pengelompokkan tersebut dapat dilihat bahwa program dan proyek yang
memperhatikan aspek akuntabilitas publik sangat kurang. Perhatian semua pihak masih
pada upaya untuk dapat melakukan sendiri kegiatan operasional di daerah. Padahal disisi
lain, program/kegiatan yang berupaya meningkatkan penguatan lembaga daerah masih
sangat kurang.
Tabel 5.8. Klasifikasi Program/Kegiatan Penanganan DAS Ciliwung dan Banjir di DKI
Jakarta
Pada tingkat kegiatan operasional program dan kegiatan nampak belum sinkron antara
Depkimpraswil dengan Dinas Teknis terkait dibawah pemerintah daerah. Hal ini
disebabkan oleh karena masih adanya perbedaan pemahaman atas wilayah pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang mempunyai dimensi
berbeda.
Dari penjelasan terhadap program dan proyek di DAS Ciliwung dapat dilihat bahwa
persyaratan-persyaratan yang harus dibenahi terlebih dahulu atau paling tidak dilaksanakan
secara berbarengan belum tercermin. Persyaratan tersebut adalah kesiapan di lapangan yang
meliputi penyelesaian konflik hak-hak pemanfaatan sumberdaya alam, alih fungsi lahan,
perambahan areal perkebunan, kehutanan, dan tanah negara lainnya, persoalan struktural,
serta keterlaksanaan penyelesaian pendekatan sipil teknis. Secara normatif hal-hal tersebut
memang sudah dapat dilihat dalam penentuan dan pemilihan program yang ada. Namun
belum diikuti oleh kegiatan operasional yang kini sedang dan akan dijalankan.
Secara garis besar sumberdaya alam suatu DAS dapat dikelompokkan menjadi sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial (institusi) yang
masing-masing saling pengaruh-mempengaruhi. Pengelolaan DAS dalam kerangka
pengelolaan sumberdaya alam tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi
sumberdaya alam tersebut bukan memaksimalkan salah satu fungsi dengan mengabaikan
fungsi lainnya.
Dalam konteks pengelolaan DAS Ciliwung, dari uraian karateristik DAS bagian hulu,
tengah dan hilir nampak bahwa masing-masing bagian mempunyai karakteristik
sumberdaya sendiri-sendiri sehingga memerlukan tindakan yang spesifik untuk masing-
masing bagian DAS. Bentuk DAS Ciliwung dan karakteristik pengelolaannya disajikan
dalam Gambar 6.1.
Sebagaimana profil memanjang Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir yang disajikan dalam
Gambar 6.2, berbagai upaya yang dilakukan di wilayah hulu pada prinsipnya ditujukan
untuk menghambat aliran air, sedangkan berbagai upaya yang dilakukan di bagian hilir
ditujukan untuk mempercepat aliran air ke laut.
Dalam hal kewenangan pengelolaan sumberdaya alam yang ada sekarang, di DAS Ciliwung
melibatkan multi-pemerintahan dan sektor. Terdapat dua pemerintahan propinsi yang
terkait, yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta, tujuh pemerintah kabupaten/kota yaitu 3 di
Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok) dan 4 di DKI Jakarta
(Kota Jakarta Selatan, Pusat, Barat dan Utara). Selain itu paling tidak tiga instansi teknis
pemerintah yang terkait erat yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Pemukiman dan
Prasarana Wilayah, serta Badan Pertanahan Nasional. Instansi lain yang terlibat langsung
dalam penanganan sektoral paling tidak terdapat sektor pertanian, perkebunan, dan
pertambangan.
Dalam menanggulangi kelebihan air di badan air yang dapat menyebabkan banjir dapat
dilakukan pendekatan teknologi yang memungkinkan, yaitu:
1. Pendekatan dengan membangun bangunan-bangunan pencegah banjir (structural
measure)
2. Pendekatan dengan tidak membangun bangunan pencegah banjir (non structural measure)
Upaya teknis yang dilakukan untuk mengatur kelebihan air di badan sungai dapat dilakukan
dengan penerapan prinsip pengaturan jumlah air di badan sungai dan mencegah air sampai
di badan sungai. Pendekatan konservasi air dengan cara memasukan sebanyak mungkin
jumlah curah hujan ke dalam tanah merupakan pendekatan yang ramah lingkungan dan
murah. Konsep pengaturan air di dalam suatu DAS dapat dilakukan pada 3 tahap proses
yaitu:
1. Kelebihan air hujan ditahan oleh pohon/vegetasi (intersepsi, stem flow dan
evapotranspirasi)
2. Kelebihan air hujan ditahan oleh tanah (melalui proses infiltrasi dan perkolasi dan
ditampung di aquifer)
3. Kelebihan air hujan ditahan oleh badan air (mengendalikan jumlah aliran
permukaan/run off, bendungan, cekdam, sumur resapan, dll)
Penerapan teknologi dalam pencegahan dan penurunan laju dan jumlah aliran permukaan
dapat dilakukan dengan kegiatan: 1) pengaturan tata guna lahan (land use mangement) dan 2)
pengaturan dan pemanfaatan air (water management).
Berdasarkan zone drainase, pengembangan drainase DKI Jakarta di bagi kedalam enam
zone dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Di daerah DKI Jakarta terdapat beberapa sungai yang perlu dinormalisasi antara lain: S.
Kamal, S. Tanjungan, Kali Gede, Saluran Cengkareng, S.Padongkelan, Kali Semenan,
S.Kreo, S.Pasanggrahan Bawah, S. Kedaung, S.Cilawe, S.Mampang, S.Cideng, Kali Bata,
Kali Sentiong, S. Kebon Bawang, S. Lagoa Tinggiri, S.Rawa Badak, S.Jati Bening, S.
Cakung Lama, S. Cakung Merunda, dan Kali Sepak.
B. Instalasi IPAL
Daerah DKI Jakarta juga selain mengalami masalah kelebihan air sehingga menyebabkan
banjir juga mengalami masalah kualitas air terutama pencemaran akibat limbah domestik
sehingga memerlukan pembuatan sarana Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Sarana
IPAL yang diperlukan berdasarkan kepadatan penduduk wilayah DKI Jakarta dibedakan
menjadi:
1. Kawasan kepadatan tinggi (> 300 orang/ha)
Luas areal 166 km2, penduduk 6,4 jiwa. Jumlah limbah 101 ton/hari fasilitas IPAL
baru dapat melayani 2 % (560 ha).
2. Kepadatan sedang (100-300 org/ha)
Luas areal 274 km2 dengan penduduk 5 juta, pengolahan limbah setempat (septictank)
dan diolah di Pusat Limbah Terpadu Pulo Gebang
3. Areal dengan kepadatan kurang (<100 org/ha), seluas 211 km2 dengan penduduk 1,5
juta jiwa.
Menurut Master Plan air limbah tahun 1991, Zona barat IPAL direncanakan di jalur hijau
Kelurahan Rembangan, Zone tengah IPAL Induk Pluit dengan sistem modular di kawasan
Grogol, Waduk Grogol, Siantar dan Kali Ancol, serta Zone Timur di Waduk Sunter Timur
II. Tahun 2001 dibuat detail enginering desain (DED) yang terbagi Phase I dan Phase II.
Phase 1
Phase 2
1. Pembangunan perpipaan sepanjang Thamrin, Gajah Mada, Pantai Mutiara sepanjang
8500 m dengan luas pelayanan 1.050 ha
2. Pembangunan IPAL Setiabudi Barat dengan beban limbah 40,000 m3/hari
3. Pembangunan IPAL di Muara Baru dengan kapsitas 62,00 m3/hari
Alternatif 3 yang paling memungkinkan karena alternatif 1 sulit dilakukan karena di sekitar
kanal barat sudah terdapat infrastruktur yang sangat vital sehingga akan terganggu.
Pembuatan bendungan di Ciawi sedikit pengaruhnya terhadap pengendalian banjir Jakarta
(Dokumen Sodetan Ciliwung-Cisadane).
Pada tahun 1996 Ciliwung mengalami banjir besar, sedangkan S. Cisadane tidak. Debit
rencana 50 tahun S. Cisadane tanpa pengelak S. Ciliwung adalah 1.600 m3/det, sehingga S.
Cisadane hilir perlu dinormalisasi. Dengan ditambah debit pengelak S. Ciliwung sebesar
600 m3/det, maka sungai Cisadane menjadi 1.900 m3/det walaupun debit pengelak banjir S.
Ciliwung 600 m3/det, hal ini disebabkan karena perbedaan waktu konsentrasi dan efek
kemampuan tampung S. Cisadane.
Luas wilayah Cisadane di bendung di Pasar Baru 1.248 km2 dan Ciliwung hanya 154 km2
sampai di inlet saluran pengelak banjir. Bangunan pengelak banjir yang akan dibuat berupa
2 buah terowongan dengan kapasitas masing-masing 300 m3/det untuk periode ulang 100
tahun. Pekerjaan ini akan dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama perencanaan detail,
normalisasi Cisadane hilir, pembangunan terowongan 1 dan pemasangan peringatan dini
banjir. Tahap kedua normalisasi Cisadane hilir, dan pengalihan debit Ciliwung, serta
pembuatan terowongan 2 Ciliwung-Cisadane. Debit sungai yang dapat dialirkan 600
m3/det dengan panjang saluran 900 m diameter 8 m yang terletak 20 m dibawah
permukaan tanah yang terletak di inlet Sukasari Bogor, outlet Pasir Jambu Empang di S.
Cisadane.
Berdasakan hasil audiensi dengan Dirjen SDA Kimpraswil pada tanggal 22 April 2002
diperoleh keterangan bahwa terowongan yang akan di buat hanya 1 buah dengan kapasitas
300 m3/det, dan melakukan normalisasi di Cisadane hilir. Akan tetapi rencana tersebut
belum mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Kabupaten dan Kota Tanggerang,
Propinsi Banten. Alternatif lain adalah membuat bendungan di daerah Ciawi dan Genteng
di dalam aliran S. Ciliwung. Akan tetapi alternatif ini prosesnya belum banyak diketahui.
Berdasarkan karakteristik DAS Ciliwung dengan bentuk DAS yang menyerupai corong,
sehingga luas di daerah hulu lebih dominan, menyebabkan untuk menghindari banjir di
DKI Jakarta harus dilakukan pendekatan yang komprehensif terutama rehabilitasi di daerah
hulu.
Analisis terhadap pengaruh faktor bentukan manusia (penggunaan lahan) di bagian hulu
dan tengah terhadap debit sungai dengan menggunakan data perubahan lahan di bagian
hulu dan tengah DAS Ciliwung dan model HEC-1 menunjukkan bahwa perubahan
penggunaan lahan Tahun 1981 menjadi penggunaan lahan Tahun 1999 meningkatkan debit
S. Ciliwung Hulu sebesar 67% dan S. Ciliwung Tengah 24% dan meningkatkan volume
banjir di hulu sebesar sebesar 59% dan di tengah sebesar 17%. Sedang andil yang
diberikan oleh kedua bagian DAS Ciliwung ini terhadap banjir di daerah hilir untuk kondisi
tahun 1981 menunjukkan bahwa 43 % diberikan oleh Ciliwung Hulu dan 57% dari
Ciliwung Tengah, sedang pada tahun 1999 keadaannya sudah berubah menjadi: 51% dari
Ciliwung Hulu dan 49% dari Ciliwung Tengah (Pawitan, 2002).
Simulasi pengelolaan lahan di hulu dan tengah DAS dalam bentuk tindakan rehabilitasi dan
konservasi tanah dan air yang dilakukan menggunakan model HEC-1 dengan memodifikasi
nilai parameter model menurut skenario yang dipilih secara nyata dapat menurunkan debit
dan volume banjir sampai batas yang diinginkan. Tiga skenario yang dipilih, dibandingkan
kondisi 1999, adalah (1) penerapan teknik konservasi tanah dan air terbatas di Ciliwung
Hulu saja; (2) sama seperti (1) ditambah tindakan yang sama untuk kawasan tengah; dan (3)
sama seperti (2) ditambah tindakan penghutanan kembali lahan kebun campuran. Hasil
skenario (1) menunjukkan penurunan 34 % debit puncak di Katulampa dan 25 % volume
banjir di Ratujaya. Andil Ciliwung Hulu terhadap debit di Ratujaya adalah 34 % dan sisanya
dari bagian tengah sendiri, dengan peran dominan dari sub DAS Ciesek dan Cibogo. Hasil
skenario (2) menunjukkan peningkatan penurunan volume banjir di Ciliwung Hulu-tengah
dari 25% (skenario 1) menjadi 43%. Andil kawasan tengah sendiri turun 37% untuk
volume banjir dan penurunan 45% debit banjir. Dan skenario (3) memberi penurunan
debit dan volume banjir lebih lanjut untuk Ciliwung Hulu dan Tengah, masing-masing
sebesar 53% dan 65% untuk Ciliwung Hulu dan 53% dan 39% untuk Ciliwung Tengah
(Pawitan, 2002).
Berdasarkan data rata-rata debit dan curah hujan dari tahun 1981 - 2001, terlihat bahwa
debit Ciliwung hulu adalah 2.363 mm/th dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar
3.519 mm/th ternyata koefisien run off tahunan telah mencapai 67 % dengan demikian
baik koefisien tahunan maupun kejadian hujan tunggal tidak jauh berbeda. Dari data
hidrograf tersebut terlihat bahwa koefisien aliran permukaan di Ciliwung hulu berkisar
antara 60-75 % dari total curah hujan, sehingga memerlukan perhatian yang serius,
terutama harus ada upaya penerapan teknologi untuk menurunkan koefisien aliran
permukaan.
Berdasarkan dokumen pola induk debit rencana Ciliwung hilir didesain pada tahun 1973
sebesar 370 m3/det, kemudian dalam pola induk 1997 telah berubah menjadi 570 m3/det.
Pola induk tersebut semuanya telah terlewati sebab pada kejadian banjir 1996 debit di
Katulampa telah mencapai 740 m3/det, sehingga dengan terus menaiknya debit puncak
menggambarkan tingkat kerusakan yang signifikan antara tahun 1973 – 2002. Dengan
demikian rehabilitasi DAS bagian hulu dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air di
bagian hulu menjadi salah satu kunci penaggulangan banjir di Jakarta. Berdasarkan sebaran
maksimum debit puncak yang ada maka debit rencana periode ulang 100 tahun di Stasiun
Katulampa telah menjadi 1.100 m3/det, sehingga dengan demikian dalam jangka panjang
pembangunan bangunan pencegah banjir yang tidak diimbangi dengan tindakan konservasi
tanah dan air di bagian hulu akan sia-sia.
Dari uraian di atas nampak bahwa pengelolaan lahan di hulu dan tengah DAS Ciliwung
melalui rehabilitasi lahan baik secara vegetatif maupun sipil teknis (soil conservation measures)
memberikan kemungkinan besar dalam pengendalian banjir di hilir. Tindakan
pengendalian banjir di tengah dan hilir melalui pembuatan saluran pengendali di bagian
tengah DAS dan normalisasi badan sungai dan saluran drainase juga memberikan
kemungkinan pengurangan debit banjir di hilir (Kimpraswil, 1998).
Untuk memasukkan air kedalam akifer tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
(Hutasoit, 2002):
Selain hal tersebut di atas, terdapat suatu pandangan yang menarik mengenai daerah
resapan ini. Pemahaman umum selama ini adalah bahwa airtanah di daerah resapan adalah
tidak boleh dimanfaatkan karena akan mengganggu ketersediaan cadangan airtanah. Dilihat
dari sudut pandang ruang, sebenarnya pengambilan airtanah ini justru akan mengakibatkan
tersedianya ruang penyimpan yang semakin besar. Hal ini berarti semakin banyaknya
airtanah yang dapat masuk. Selain itu, berdasarkan kemudahan pengisian kembali,
pengambilan di daerah resapan jauh lebih mudah terisi kembali dibandingkan dengan
pengambilan di daerah luahan. Hal ini diakibatkan airhujan, yang merupakan sumber
airtanah, tidak perlu melalui lintasan akifer untuk mengisi daerah resapan dan sebaliknya
untuk mengisi daerah luahan.
B. Imbuhan buatan.
Teknologi ini dapat berupa sumur resapan, paritan, dan kolam untuk akifer tidak terkekang
(unconfined aquifer) dan singkapan (daerah resapan akifer terkekang) serta sumur injeksi
untuk akifer terkekang (confined aquifer). Untuk keefektifan teknologi imbuhan buatan ini,
diperlukan pengetahuan mengenai parameter akifer dan kondisi muka airtanahnya.
Pada akifer bebas, penurunan muka airtanah berarti dewatering/groundwater mining, yaitu
berkurangnya volume airtanah yang terdapat di akifer (Gambar 6.3). Hal ini secara
otomatis akan mengakibatkan terdapatnya ruang kosong di akifer yang dapat diisi oleh
airtanah. Imbuhan airtanah (sumur resapan, paritan, dan kolam) pada akifer ini dapat secara
langsung (sistem gravitasi) dilakukan jika terjadi penurunan muka airtanah.
Gambar 6.3. Penurunan Muka Air Tanah Pada Akifer Tidak Tertekan
Berbeda dengan akifer tidak tertekan, penurunan muka airtanah pada akifer tertekang
belum tentu terjadinya dewatering, tetapi yang pasti terjadi adalah penurunan tekanan
airtanah (Gambar 6.4). Imbuhan airtanah, yang berupa sumur injeksi, pada sistem akifer
ini, harus dilakukan dengan mempertimbangkan tekanan air tanah tersebut. Airtanah dapat
diimbuhkan kedalam sistem akifer ini jika tekanannya lebih besar dari tekanan air tanah
yang terdapat pada akifer tertekan ini.
Dengan pertimbangan ini, daerah-daerah yang telah memiliki penurunan muka airtanah
yang besar (yang telah membentuk kerucut) akan lebih mudah dijadikan daerah imbuhan
buatan.
Dalam melakukan kajian kebijakan peningkatan pengelolaan DAS, kita tidak hanya
dihadapkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang diambil – yang biasanya dilakukan dengan
pertimbangan layak-tidak layak, atau kegiatan mana yang paling minimal biaya dan
pengorbanannya, atau yang paling besar manfaatnya – melainkan melakukan perubahan
dari kondisi status quo. Faktor penentu perubahan tersebut bukan lagi masalah benar-
salah (pertimbangan logika), baik-buruk (pertimbangan moral atau etika), serta prioritas-
bukan prioritas (pertimbangan kepentingan dengan keterbatasan anggaran) dari kegiatan
yang akan dilakukan, melainkan insentif atau disinsentif apa yang dihadapi oleh para
pengambil keputusan. Para pengambil keputusan yang rasional akan menjalankan aktivitas
yang dibutuhkan publik hanya apabila mereka mendapat insentif dari aktivitas tersebut, dan
sebaliknya.
Penilaian tentang insentif atau disinsentif, bagi para pengambil keputusan, sangat
tergantung pada persepsi, kepentingan, serta informasi, pengetahuan dan keyakinan tentang
apa yang akan dikerjakan. Seringkali seseorang pengambil keputusan menganggap bahwa
apa yang akan dikerjakan dapat memberi insentif bagi dirinya, tetapi bagi pengambil
keputusan lainnya, tidak. Hal demikian semata-mata dapat disebabkan oleh perbedaan
informasi, pengetahuan yang dimiliki, serta posisi dan dukungan dari pihak lain, yang pada
akhirnya menentukan perbedaan keyakinan diantara para pengambil keputusan tersebut.
Maka, dalam hal ini, adanya kelengkapan informasi, pengetahuan, dan dukungan, akan
meyakinkan seseorang pengambil keputusan untuk menjalankan suatu kegiatan yang
diinginkan publik, dan sebaliknya.
Disamping itu perbedaan keputusan juga disebabkan oleh adanya kepentingan dan agenda
tertentu. Para pengambil keputusan yang mempunyai tujuan politik dan tujuan politik
tersebut tidak sejalan dengan terlaksananya suatu kegiatan yang diinginkan publik, pastilah
mereka tidak mendukung pelaksanaan kegiatan yang diinginkan publik tersebut. Ada
kalanya para pengambil keputusan tidak mempunyai kaitan dengan tujuan-tujuan politik
yang luas, tetapi mempunyai kaitan dengan materi yang akan diperoleh untuk kepentingan
dirinya sendiri. Maka suatu kegiatan yang penting bagi publik tidak akan dijalankannya
apabila kegiatan tersebut menghilangkan atau mengurangi apa yang akan dapat diperoleh
untuk kepentingan dirinya sendiri.
Langkah dan strategi yang diperlukan dalam upaya pengendalian banjir diantaranya:
1. Pembentukan landasan hukum untuk pengelolaan DAS
2. Melakukan perlakuan dan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu
3. Menerapkan sistem monitoring pemanfaatan dan perubahan penggunaan lahan
dengan menggunakan citra satelit.
95
Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS
Aksi dan penerapan teknologi yang mungkin dilakukan dalam upaya mencegah dan
menurunkan resiko banjir diantaranya :
1. Menyimpan dan memasukan air sebanyak-banyaknya kedalam tanah melalui :
a. Pembangunan taman resapan air hujan di setiap komplek pemukiman dan ruang
terbuka hijau
b. Mengaktifkan daerah resapan air yang sudah ada
c. Merubah pola penutupan lahan ke yang lebih mampu meresapkan air
d. Penghijauan dan penghutanan daerah gundul
e. Membuat taman resapan
f. Membuat sumur resapan
g. Membangun bangunan cekdam, embung di daerah hulu dan tengah
2. Memperlambat aliran air di badan sungai
3. Kegiatan konservasi harus dilakukan pada tingkat pohon, tanah melalui penerapan
tindakan konservasi tanah dan air di bagian hulu dan tengah
4. Melakukan pembenahan tata ruang diantaranya melalui kegiatan :
a. Membuat rencana tata ruang Jabotabek dimana banjir menjadi bahan
pertimbangan dan faktor pembatas penggunaan lahan dan penataan ruang
b. Memelihara dan meningkatkan kemampuan DAS dalam menyimpan air
c. Gunakan dan tegakan sistem perijinan yang disesuaikan dengan rencana
pengembangan tata ruang
d. Hentikan konversi lahan dari yang dapat meresapkan air ke bentuk yang tidak
meresapkan air
e. Berikan ruang gerak air dalam badan sungai secara utuh
f. Tingkatkan kemampuan lahan dalam meresapkan air di bagian hulu, tengah dan
hilir
5. Membuat prakiraan debit banjir
a. Membuat sistem peringatan dini bahaya banjir
b. Meningkatkan waktu periode ulang
6. Model kerjasama yang menguntungkan dan melibatkan semua pihak
7. Koordinasi antar sektor dan wilayah
8. Dukungan politik dan masyarakat
9. Pendekatan terpadu
10. Tranparansi
11. Tujuannya jelas dan terarah
12. Melibatkan semua stakeholder
13. Solidaritas
1. Identifikasi masalah yang telah dilakukan baik dari hasil seminar/lokakarya, Tim
Koordinasi Pengelolaan Sungai Ciliwung, maupun oleh instansi pemerintah daerah,
pada umumnya masih bersifat umum/makro dan belum dikaitkan dengan lokasi-lokasi
dimana masalah tersebut berada, serta karakteristik hulu, tengah dan hilir DAS. Akibat
dari kondisi yang demikian, maka implementasi program dan kegiatan belum terfokus
pada upaya penyelesaian masalah di lapangan.
2. Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung yang dibentuk
berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 20/Kpts/M/2002 dapat menjadi motor
penggerak koordinasi bagi seluruh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat yang
terlibat. Kecuali untuk pelaksanaan kegiatan sipil teknis, berbagai kegiatan yang
dikoordinasikan oleh Tim ini diharapkan dapat secara langsung dikaitkan dengan
permasalahan di lapangan. Hambatan struktural yang berkaitan dengan hak
penguasaan lahan serta alih fungsi lahan/kawasan hutan, sangat terkait dengan
kebijakan nasional. Oleh karena itu dapat menjadi fokus dari Tim ini.
3. Untuk kawasan hulu dan tengah DAS, kemampuan untuk menangani permasalahan
pengelolaan DAS sangat terkait dengan kemampuan pemerintah daerah. Inisiatif
pemerintah daerah untuk melengkapi Perda yang berkaitan dengan pengendalian
kerusakan sempadan sungai, konservasi situ, dan perlindungan serta rehabilitasi
kawasan lindung pada umumnya perlu dipacu. Dalam kaitan ini diperlukan
peningkatan peran interest groups serta peningkatan akuntabilitas publik dalam
perancangan dan implementasi program dan kegiatan pengelolaan DAS.
4. Pada tingkat kegiatan operasional program dan kegiatan nampak belum sinkron antara
Depkimpraswil dengan Dinas Teknis terkait dibawah pemerintah daerah. Hal ini
disebabkan oleh karena masih adanya perbedaan pemahaman atas wilayah pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang mempunyai
dimensi berbeda.
5. Dari penjelasan terhadap program dan proyek di DAS Ciliwung dapat diketahui bahwa
persyaratan-persyaratan yang harus dibenahi terlebih dahulu atau paling tidak
dilaksanakan secara berbarengan belum tercermin. Persyaratan tersebut adalah
kesiapan di lapangan yang meliputi penyelesaian konflik hak-hak pemanfaatan
sumberdaya alam, alih fungsi lahan, perambahan areal perkebunan, kehutanan, dan
tanah negara lainnya, persoalan struktural, serta keterlaksanaan penyelesaian
pendekatan sipil teknis.
Tantangannya terletak pada diakui dan dijalankannya kegiatan-kegiatan yang sifatnya bukan
struktural/administratif, yang berjalan berdasarkan tujuan yang diartikulasikan secara jelas,
didasarkan pada sharing pengetahuan, pencarian informasi secara sistematis, pertukaran,
serta proses feedback. Pemrosesan informasi yang dikaitkan dengan sharing pengetahuan
akan mengantarkan seluruh organisasi/lembaga dapat belajar bersama dalam
keikutsertaannya menjalankan kegiatan, dan melakukan penyesuaian kegiatan-kegiatan yang
didasarkan pada hasil assesment masing-masing.
PUSTAKA
Hewlett. 1982. Principles of Forest Hydrology. The University of Georgia Press, Athens.
USA
Hutasoit, Lambok. 2002. Hidrogeologi Daerah DKI Jakarta dalam Kaitannya dengan
Penanganan Banjir di Wilayah DKI Jakarta. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan
DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam
Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan
Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
Kartodihardjo, H. dkk. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah.
Kelompok Pengkajian Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor
Linsley, R. K., M.A. Kohler, and J. L. H. Paulhus. 1982. Hydrology For Engineers.
McGraw-Hill. New York
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2002. Banjir: Tanggung jawab negara. Asasi
News Letter edisi Maret-April 2002. http://www.elsam.or.id/text/asasi/
2002_0304/ 01.html (21 Juli 2003)
Manan, Syafei. 1976. Pengaruh Hutan dan Pengelolaan DAS, Proyek Peningkatan
Perguruan Tinggi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Muliastuty, W.A. 2001. Pendugaan Limpasan Langsung dalam Penelusuran Banjir di DAS
Ciliwung. Skripsi Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknik Pertanian IPB. Bogor
Massachusetts Executive Office of Environmental Affair (EOEA). 2001. Massachusetts
Watershed Inisiative. http://www.state.ma.us/envir/mwi/watershed.html (21 Juli
2003)
Murtilaksono, Kukuh. 2002. Kerangka Logis (Logical Framework) Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Terpadu. Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era
Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir
DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo
Strategic Consulting. Jakarta
NEDECO. 2002. What happened in January/February 2002. Hand out presentation in
Workshop on dissemination of result of Quick Reconnaissance Study Flood Jakarta
2002, june 6, 2002. Jakarta
Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Direktorat Jenderal
Pengairan, DPU. 1999. Rencana Pembangunan Sistem Pengendalian Banjir Sungai
Ciliwung-Cisadane. Makalah Rapat Koordinasi Panitia Pengadaan Tanah
Kotamadya Bogor. Bogor
Pawitan, Hidayat. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya terhadap Banjir Jakarta.
Makalah untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah:
Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei
2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic
Consulting. Jakarta
Soetarto, Endriatmo. 2002. Politik Agraria: Antara Regulasi dan Implementasi. Makalah
untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan
Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang
diselenggarakan oleh LP-IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
Tim Deputy Survey Dasar dan Sumberdaya Alam Bakosurtanal. 2002. Kajian Keruangan
Banjir di Kawasan Jakarta dan sekitarnya. Bakosurtanal. Bogor
Tim IPB. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung Untuk Pengendalian
Banjir di Ibukota Jakarta. Makalah Sintesa untuk Lokakarya Pengelolaan DAS
Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam
Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB dan
Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta
University of Michigan. 2000. The Water Cycle. http://www.windows.ucar.edu/earth/
images/watercycle.gif (21 Juli 2003)
US Embassy Jakarta Home Page. 2002. Pictures From US Relief in Jakarta, Januari 2002.
http://usembassyjakarta.org/fotobjr.html (21 Juli 2003)
Ubaidilillah, R. Maryanto, I. et all. 2003. Manajemen Bioregional Jabotabek: Tantangan
dan Harapan. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Bogor. Januari 2003
Viessman, W., J.W. Knapp, G.L. Lewis. 1989. Introduction to Hydrology. Harper &
Row Publisher. New York