Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
HUKUM ISLAM
Disusun oleh:
Kelas 2B
ILMU PENGETAHUAN
1
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami. Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Hukum Islam” dengan baik dan lancar.
Tak lupa shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya. Amien.
Ucapan terimaksih kami berikan kepada semua pihak yang ikut andil
dalam terselesainya makalah ini. Pak Abidin, selaku dosen Pendidikan Agama
Islam. Dan semua teman-teman yang tak mungkin kami sebutkan namanya satu
per satu.
Kami menyadari bahwa makalah inimasih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu, kami mengharapkan kritik, saran serta masukan yang membangun dari
para pembaca guna penyempurnaan di lain waktu. Sedikti yang kami harapkan,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Terimakasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB II HUKUM ISLAM
Menumbuhkembangkan Kesadaran Untuk Taat Hukum.............................6
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………25
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………27
3
BAB I
PENDUHULUAN
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali
pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan
dengan tanggal 6 Agustus 610 M.1 Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah
mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke
tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak
seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat
Jahiliyyah.2 Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan
membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur
relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara
prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran
egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyyahan
yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama system hukumnya, dengan
wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.3
1 Muhammad Ridho, Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V
(Kairo: Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H) hlm. 59.
2 Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World
Civilization, Vol. I The Classical Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), hlm.
174.
3 Robert Roberts, The Social Laws of the Qur'an: Considered and Compared with Those
of the Hebrew and other Ancient Codes, cet. I (London: Curzon Press, 1990), hlm. 2.
4 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, cet. II (Oxford: Oxford University
Press, 1964), hlm. 1.
4
Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam
yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.6
Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Makkah, hukum Islam
dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di dalam
masyarakat. Namun kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad
Hamidullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur'an) dan sunnah Nabi
Muhammad saw, system hukum yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat
Jahiliyyah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan
system hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga
tahun.
5 S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The
Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960), hlm. 23.
6Schacht, An Introduction…, hlm. 1.
5
BAB II
HUKUM ISLAM
Menurut ahli ushuf fiqih, hukum islam adalah ketentuan Allah yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf yang mengandung tuntutan, pilihan
atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya
sesuatu yang lain.
Menurut ahli fiqih, hukum syar’i (Islam) adalah akibat yang timbul dari
perbuatan orang yang mendapat beban Allah swt, dan dibagi menjadi 2 yaitu:
• Hukum Taklifi
• Hukum Wad’i
a. Hukum Taklifi
Artinya:
6
“…Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.” (Q.S. An-Nisaa’:103)
Artinya:
7
• Perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan atau ditinggalkan
yaitu mubah (kebolehan)
Petunjuk:
Artinya:
8
Artinya:
[283] ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An
Nisaa' ayat 23 dan 24.
9
[284] ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali
maskawin yang Telah ditetapkan.
Artinya:
10
Petunjuk:
- Q.S.Al-Baqarah:282
- Q.S.Al-Baqarah:283
Petunjuk:
- QS.Al-Isra: 32
- QS.Al-Hijr: 30
- QS.An-nur: 4
- QS.An-Nisaa’:10
11
2. Haram karena adanya sesuatu dari luar (liaridhih), yaitu sesuatu yang
tidak ditetapkan keharamannya, namun ada penyebab yang
menyebabkan haram. Misalnya: jual beli minuman keras.
Petunjuk:
- QS.An-Nahl: 43
- QS.Al-Maidah: 101
Petunjuk:
- QS. An-Nur: 61
12
- Ditetapkan kebolehan melakuakn suatu perbuatan dengan bara’atul
ashliyah (bebas menurut aslinya).
b. Hukum Wad’I
Misalnya:
Hukum islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya
yang kini terdapat dalam Al-Quran dan dipertegas oleh Nabi Muhammad
sebagai Rasul-Nya, melalui sunahnya yang terhimpun dengan baik dalam kitab
Hadits.
Hukum islam dalam pengertian secara syariat ataupun fiqih dibagi menjadi 2,
yakni:
1. Bidang Ibadah
2. Bidang Muamalah
Tujuan hukum islam adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan
mendatangkan mashlahat bagi mereka, mengarahkan kepada kebenaran utnuk
mencapai kebaikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dengan perantara
segala yang bermanfaat serta menolak yang mudharat dan tidak berguna bagi
kehidupan manusia.
Lima tujuan Hukum Islam menurut Ishaq al-Shatibi dalam “Maqashid al-
Khamsah”
13
Artinya menjaga agama dengan pemahaman dan perilaku yang toleran
(tasamuh) karena hidup di Negara majemuk.
Artinga menjaga akal sebagai anugerah Allah yang harus dijaga dan
dikembangkan serta dilindungi, karena dengan akal manusia dapat meraih
kemajuan.
Artinya menjaga harta untuk memacu supaya mental kuat utnuk mau
bekerja keras, supaya tidak miskin, karena kemiskinan merupakan
kesengsaraan hidup.
Artinya keturunan yang baik agar tidak menjadi keluarga lemah baik
ekonomi, iman, mental pendidikan dan fisik.
14
Menurut Al-Quran setiap muslim wajib taat kepada Allah, Rasul dan ulil
amri yaitu penguasa.
Bila seseorang telah mengamalkan semua titah Allah baik berupa tuntutan,
larangan, maupun pilihan maka orang tersebut akan menolak perbuatan
zalim terhadap sesame manusia maupun sesame makhluk hidup.
Syariat sebagai sesuatu yang bersumber dari naas tidak akan berubah dan
bergeser, yang berubah dan bergeser adalah interpretasi fuqaha dalam
memahami dan menganalisa doktrin syariat dan inilah penyebab perbedaan
(al ikhtilaf)
c. Fungsi zawajir
15
Sudah barang tentu kaidah atau aturan yang mengikat, tidka akan
dapat berjalan dengan baik kecuali bila disertai sarana kekuatan untuk
memelihara dan membantu agar tetap hidup, dihormati dan berjalan lancer,
sebagaimana firman Allah SWT:
16
B. Peranan Agama dalam Perumusan dan Penegakan Hukum yang Adil
17
BAB III
18
diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula
pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para
kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu
tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan
hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu
dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam
pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah
para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa,
budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula
komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di
samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang
ini.
19
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam
itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum
Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin
sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di
kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di
kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada
penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita
merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh
Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus
berdasar atas “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni
1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita
merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat
mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun
sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi
politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak
pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
20
Syariat, Fikih dan Qanun
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat
al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di
dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai
norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan
santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat
Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik
di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak
jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat
dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau
sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah
hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan
demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap
sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang
hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya
terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
21
Kalau kita menelaah hadits-hadits Rasulullah, secara umum kitapun dapat
mengatakan bahwa hadits-hadits hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak.
Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits syar’ah
telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah
yang melahirkan fikih Islam. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan
para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula
dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma
syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan
atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang
dikenal dengan istilah Qanun itu.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara
pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung
abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah
mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum
dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam
konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada
umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan
ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya
intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka
22
menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah
canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang
bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut
Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima
23
fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan
seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas
“pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole
Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa
menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islam dalam
kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana
dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu
dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang
secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya.
Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan
sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini,
banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada
sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain
hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk
24
perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap
kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan
deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan
keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo
Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
25
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail
Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam
masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum
pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik
pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki
kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya
tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP
Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil
rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP
Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih
Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat
Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum
keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai
hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain
yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka
itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya,
seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan
kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari
hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu
26
sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka
biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum
nasional.
BAB IV
KESIMPULAN
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang
dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial
Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi
kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam
merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan,
maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber
hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan
sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam
perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara
Islam. Selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga
dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi kita belum pernah mendengar orang
mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok
Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan
kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang kita juga belum pernah
mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
27
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh
agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu
terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara
sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum
India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap
hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga
melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama
Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin
mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum
positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri.
Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita
akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada
rakyatnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah:
The Saudi Publishing House.
29
30