Proposal Penelitian:
Perancangan Capability
Maturity Model untuk
Sustainable Manufacturing
Disusun oleh:
Akhmad Guntar | 2509.205.002
Mei 2010
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Maksud dan Signifikansi Riset.....................................................................................2
1.3 Pertanyaan Riset...........................................................................................................2
1.4 Lingkup dan Batasan....................................................................................................2
1.5 Kontribusi Potensial......................................................................................................2
1.6 Sistematika Penulisan...................................................................................................2
BAB II METODOLOGI PENELITIAN....................................................................................3
2.1 Pengungkapan Gap, Kebutuhan dan Peluang...............................................................3
2.2 Perancangan Model Melalui Kajian Literatur dan Model............................................3
2.2.1 Alternatif Perancangan CMM................................................................................3
2.2.2 Perancangan SMCMM...........................................................................................4
2.2.3 Pengkajian Maturity Model for Green Industry.....................................................4
2.2.4 Pengadopsian Konsep SD ke dalam Area Proses..................................................4
2.2.5 Uji Kongruensi dan Koherensi Model...................................................................4
2.3 Studi Kasus...................................................................................................................5
2.4 Analisa, Kesimpulan dan Rekomendasi.......................................................................5
BAB III TINJAUAN CMM UNTUK SUSTAINABILITY MANUFACTURING.....................6
3.1 Motif dan Prinsip Dasar Pengembangan Model...........................................................6
3.2 Konstruksi Model SMCMM: Pilihan Representasi......................................................7
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11
DAFTAR GAMBAR
1
lunak, akuisisi perangkat lunak, pengembangan dan manajemen tenaga kerja, serta pengembangan proses dan
produk terintegrasi.
2
memvalidasi model dalam bentuk studi kasus di dua kategori industri; besar dan kecil. Bab VI akan
mendiskusikan analisa model atas studi kasus, yang akan diakhiri dengan Bab VII dalam bentuk paparan
temuan, simpulan dan rekomendasi.
2 BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Popularitas CMM ditunjukkan dengan bukti bahwa saat ini jumlah maturity model telah berada dalam
kisaran 100 hingga 200 [ CITATION Rob08 \l 1057 ]. Dengan demikian, ada banyak maturity model yang bisa
dijadikan inspirasi dalam hal bagaimana model bersangkutan dibangun. Di satu sisi ini menjadi hal yang
terbilang baik, namun di sisi lain pengadopsian dari beragam model secara acak dan tak terarah hanya akan
menjadikan model turunan yang hendak dibangun menjadi lemah secara konstruksi. Oleh karenanya, peninjauan
literatur harus sejak awal didasarkan pada kerangka yang tajam dan kuat.
Studi ini dibangun melalui metodologi sebagai berikut:
3
awareness terhadap ulasan ini masih cukup rendah, sehingga penggunaan survei untuk merumuskan konstruksi
dasar dari SMCMM tidak akan membawa hasil efektif.
4
2.3 Studi Kasus
Studi kasus adalah sebuah studi yang memilih sebuah atau beberapa saja kasus dalam konteks kehidupan
nyatanya masing-masing, yang darinya bisa didapat skor untuk dianalisa secara kualitatif [ CITATION Jan07 \l
1057 ]. Apa yang dimaksud dengan "studi" di sini adalah proyek riset yang berorientasi pada teori maupun
praktek, dan "kasus" di sini berarti satuan obyek studi. Sementara itu "konteks kehidupan nyata" berarti obyek
satuan studi bersangkutan terjadi di kenyataan tanpa adanya manipulasi (sang peneliti). Dalam studi bisnis,
studi kasus telah lumrah digunakan untuk mendapatkan pencerahan dari suatu perkara, situasi manajemen, dan
juga teori baru. Studi kasus merupakan method yang bermanfaat untuk wilayah riset yang masih baru dan juga
untuk pengembangan teori [ CITATION Reb04 \l 1057 ]. Oleh karenanya, studi kasus ini merupakan cara yang
sesuai untuk digunakan dalam pengembangan CMM di ranah SD.
Bagaimana memilih kasus yang tepat adalah salah satu perihal terpenting dalam method studi kasus.
Kriteria pemilihan studi kasus sebagaimana yang disampaikan oleh Marschan-Piekkar et al. (2004): (1)
putuskan target populasi, (2) pastikan populasi tersebut bisa diakses oleh peneliti, (3) pastikan populasi yang
dipilih secara konsisten bersesuaian dengan kriteria permasalahan riset, kerangka teoritis dan variabel yang
digunakan, (4) pertimbangkan ketersediaan sumberdaya seperti uang dan waktu.
Dalam penelitian ini, studi kasus untuk SMCMM dilakukan terhadap dua kategori industri: besar dan
kecil. Mewakili industri besar adalah Pembangkit Jawa Bali Unit Pembangkit Brantas (UP Brantas) di
Karangkates yang mengoperasikan seluruh pembangkit listrik tenaga air di Jawa Timur. Perusahaan ini dipilih
karena kematangan proses bisnisnya dan juga karena telah menerapkan framework pengukuran performa
Balanced Scorecard dengan indikator performa terkait inisiatif SD di dalamnya. Selain itu, UP Brantas juga
memiliki nilai ramah lingkungan yang terformalkan dalam budaya perusahaan. Mewakili industri kecil adalah
usaha kerajinan batik “Kampung Batik Laweyan” di Solo. Industri ini dipilih karena telah menjalankan inisiatif
pelestarian lingkungan dalam bentuk semisal penggunaan bahan pewarna alam dedaunan dan juga pembuatan
instalasi pengolahan air limbah [ CITATION KBR \l 1057 ].
Selain memenuhi kriteria yang disampaikan Marschan-Piekkar et al. (2004), kedua perusahaan tersebut
dipilih karena telah memiliki awareness terkait SD dan telah melakukan rangkaian inisiatif SD dalam rentang
waktu lebih dari setahun. Di satu sisi, studi kasus akan melakukan pencocokan (matching) antara satuan area
proses SMCMM dengan apa yang sudah terdapat di perusahaan bersangkutan. Ini adalah sebagaimana layaknya
proses assessment yang dilakukan dalam pengadopsian CMM dan CMMI. Di sisi lain, SMCMM juga akan
menerima masukan satuan area proses dari perusahaan bersangkutan yang belum tercakup di dalam model, yang
mana cara ini tentu sangat berguna bagi pengembangan sebuah model baru. Oleh karenanya, dengan
pertimbangan tersebut, studi kasus dalam studi ini tidak dikenakan pada perusahaan yang masih belum aware
terkait SD dan juga belum melakukan inisiatif SD.
5
3 BAB III
TINJAUAN CMM UNTUK
SUSTAINABILITY MANUFACTURING
3.1 Motif dan Prinsip Dasar Pengembangan Model
Para peneliti telah menyadari bahwa penerapan framework maturity model di ranah selain perangkat
lunak membutuhkan beberapa penyesuaian. Pendekatan “one-size-fits-all” tidaklah berlaku mengingat setiap
kondisi yang menjadi konteks implementasi maturity model biasanya berbeda, demikian juga dengan dampak
yang dimungkinkan darinya[ CITATION Jam06 \l 1057 ]). Dalam maksud untuk merancang maturity model
untuk SM, hal ini menjadi amat penting untuk dipertimbangkan, karena motif dan prinsip dasar pengembangan
maturity model untuk SM berbeda dengan pengembangan maturity model pada umumnya.
Secara umum, pengadopsian CMM harus terlebih dahulu melalui penginterpretasian dan penyesuaian
berdasarkan keunikan kultur dan konteks organisasi [ CITATION Jud97 \l 1057 ]. Lebih jauh lagi, dalam
Capability Maturity Model Integration (CMMI), model pengembangan dari CMM, asumsi yang mendasari
adalah bahwa organisasi telah memiliki sendiri standar, proses dan prosedurnya masing-masing. Apa yang ada
di dalam CMMI dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh standar, proses dan prosedur yang telah ada, dan
bukannya untuk mendefinisikan yang baru [ CITATION Mar031 \l 1057 ]. CMMI dimaksudkan untuk
membantu organisasi meningkatkan kapabilitasnya agar mampu secara konsisten menghantarkan produk dan
jasa kepada pelanggan sebagaimana mereka menginginkannya, pada waktu yang mereka minta, dan harga yang
mereka perkenan untuk bayarkan (Entinex, 2009). Dalam konteks perancangan maturity model untuk SM, perlu
dicatat bahwa sejak awal motif dasarnya bukanlah berkisar di perihal penghantaran produk dan jasa; setidaknya
tidak sesederhana itu. Apa yang menjadi kepedulian di sini adalah bagaimana menghantarkan produk dan jasa
sedemikian rupa dalam cara-cara yang aman dan ramah lingkungan. Oleh karenanya, perlu dipahami juga
semenjak awal bahwa inisiatif SM tidak selalu berimbas positif pada peningkatan nilai sebuah produk/jasa.
Sementara itu, beragam maturity model dalam konteks sumber daya manusia [ CITATION Cur09 \l
1057 ], industri konstruksi [ CITATION Sar99 \l 1057 ], marketing [ CITATION Hut99 \l 1057 ], manajemen
proyek (Williams, 2000), dan optimasi proses bisnis (Susan & Matthew, 2008; Doss & Kamery, 2006);
semuanya didasarkan atas keyakinan yang sama: bahwa pengadopsian maturity model akan memberi imbalan
positif pada peningkatan profit organisasi, baik secara langsung ataupun tidak. Oleh karenanya, kesadaran untuk
mengimplementasikan best practice yang terkandung dalam maturity model telah terbentuk.
Dalam konteks maturity model untuk SM, kondisinya berbeda: inisiatif SM belum secara merata
dianggap sebagai suatu inisiatif yang menarik untuk diadopsi [ CITATION Org09 \l 1057 ] atau dengan kata
lain masih terdapat keengganan (atau ketidakpedulian) luar biasa bagi industri untuk mengimplementasikan
inisiatif SM. Bahwa inisiatif SM tidak lantas miliki imbas positif pada peningkatan profit organisasi, hal itu
memang menjadi salah satu penyebab. Namun kurang terinformasikannya pihak industri terkait inisiatif SM ini
juga perlu menjadi catatan tersendiri. Dalam maksud untuk membuat rancangan maturity model untuk SM,
perbedaan dalam hal motif dasr dan tingkat awareness ini kemudian menjadi faktor pertimbangan dalam
mengevaluasi beragam maturity model turunan. Implikasi langsung yang perlu dipertimbangkan adalah dalam
perihal fungsi CMM sebagai perangkat evaluasi.
CMM yang merupakan cikal bakal dari CMMI pada awalnya dimaksudkan sebagai perangkat evaluasi
obyektif atas kemampuan kontraktor pemerintah (departemen pertahanan) dalam menangani proyek perangkat
lunak berskala besar. Kondisi yang melatarbelakangi adalah proyek pengembangan perangkat lunak yang
menjadi kian kompleks, sementara begitu banyak proyek yang gagal karena belum berpengalamannya para
personil secara profesional. Latar belakang ini menunjukkan bahwa maturity pada level tertentu menjadi
prasyarat bagi perusahaan untuk terbilang layak untuk melakukan inisiatif bisnis tertentu.
Bamberger (1997), penggagas konsep CMM, menyatakan bahwa tidaklah kemudian perusahaan harus
berada di level tertentu terlebih dahulu untuk membuat pihak lain berkenan berbisnis dengannya. Namun pada
faktanya, kelahiran maturity model dipicu oleh adanya kebutuhan untuk menyaring perusahaan berdasarkan
tingkat kematangan prosesnya. Dengan kata lain, kondisi maturity sebuah perusahaan bisa dijadikan dasar untuk
menilai apakah perusahaan pantas untuk sekedar dipertimbangkan dan lebih jauh lagi lebih dipilih dari sekian
banyak yang lain.
Terry Hill (2000) menyatakan bahwa terdapat dua grup kriteria bagi perusahaan untuk bisa bersaing di
pasar yaitu order qualifiers dan order winners. Kedua kriteria ini berlaku untuk produk atau jasa keluaran,
namun bisa dikontekskan ke dalam proses penciptaan produk/jasa. Sehingga, order qualifiers bisa didefinisikan
sebagai karakteristik proses penghasil produk atau jasa yang dibutuhkan untuk membuat produk atau jasa
6
bersangkutan sekedar dilirik dan dipertimbangkan oleh konsumen. Sementara itu, order winners adalah
karakteristik proses yang bisa membuat produk atau jasa bersangkutan lebih dipilih daripada yang lain.
Sehingga minimal, perusahaan harus berhasil memenuhi order qualifiers untuk bisa sekedar bertahan di pasar.
Dalam konteks SM, kemampuan perusahaan untuk membuat suatu proses yang ramah lingkungan bisa dianggap
sebagai suatu order winners, terbukti bahwa konsumen–khususnya di negara maju—semakin miliki preferensi
kuat terhadap perusahaan yang memiliki produk dan proses yang ramah lingkungan [ CITATION Mic07 \l 1057
]. Hal semacam ini lah yang perlu disorot terang untuk dijadikan penarik perhatian dan memancing kemauan
perusahaan dalam menerapkan inisiatif SM.
Bamberger (1997) menyebutkan bahwa dua pertanyaan utama CMM adalah: (1) aspek enable:
bagaimana organisasi membuat tindak pola yang baik menjadi mungkin terjadi? (2) aspek evaluate: bagaimana
organisasi lakukan evaluasi terkait pola tindak yang baik tersebut? Maka inilah yang menjadi inti dari
kebanyakan fitur maturity model: adanya para enabler dan evaluator yang siap membantu untuk memastikan
bahwa apa-apa yang perlu dilakukan memang benar-benar dilakukan dan dilakukan dengan benar sejak awal
serta senantiasa dilakukan untuk seterusnya. Hal senada juga disampaikan oleh Kan (1995), dengan penekanan
bahwa CMM memiliki peran signifikan dalam mengarahkan SDM pada proses yang betul-betul penting. Maka
motif ini perlu diadopsi secara kuat dalam maturity model untuk SM; area proses, goal umum dan spesifik yang
terdapat dalam SMCMM harus miliki fungsi enable dan juga evaluate, serta membantu mengarahkan seluruh
personil perusahaan ke dalam proses yang betul-betul penting.
SMCMM didesain dengan premis bahwa tindak pola SM tidak akan berlangsung baik kecuali melalui
perubahan perilaku organisasi dalam maksud untuk mendukungnya. Dalam hal ini, SMCMM akan menyediakan
semacam roadmap untuk secara berkesinambungan mentransformasi organisasi dengan meningkatkan performa
tindak pola SM.
Pada umumnya, CMM dalam beragam konteksnya bisa dimanfaatkan sebagai framework yang terpisah
dari framework yang sudah ada atau berfungsi sebagai pelengkap (Doss et al, 2006). SMCMM, di sisi yang lain,
akan bisa berintegrasi dengan baik dengan framework semacam ISO dan Six Sigma.
Terhadap ISO 14000, SMCMM akan bersifat melengkapi. Dalam framework ISO, organisasi
dipersyaratkan untuk memiliki Standard Operating Procedure (SOP). Namun di sana tidak dipersyaratkan
bagaimanakah isi dari SOP-nya tersebut. Sementara itu, SMCMM akan mengatur SOP semacam apa yang harus
ada, yakni dalam bentuk required components dan expected components. Dalam ranah SM, rumusan semacam
ini menjadi amat penting justru untuk memberi gambaran bagi organisasi yang sama sekali belum pernah
menjalankan inisiatif SM. Sementara organisasi yang telah memiliki SOP bisa langsung menyesuaikan SOP
tersebut dengan kisi-kisi yang disediakan oleh SMCMM.
Terhadap Six Sigma, SMCMM memiliki sifat komplementer; dengan menawarkan pendekatan
kuantitatif untuk semisal mengukur tingkat cacat yang ada sehingga buangan bisa terkurangi. Lebih jauh lagi,
SMCMM akan memungkinkan adanya aktivitas pengujian yang bersifat rigorous sehingga bisa didapat data
metrik untuk digunakan sebagai input kuantitatif bagi Six Sigma.
7
secara kuantitatif sebagaimana yang terdapat di CMM, mengingat area proses yang diadopsi dari ranah SD akan
lebih banyak bersifat daftar periksa. Namun studi ini tetap mempertimbangkan level tersebut sebagai model
alternatif dengan implikasi naiknya jumlah level keseluruhan SMCMM dari yang awalnya lima menjadi enam.
Dalam representasi bertahap atau yang lebih dikenal sebagai maturity model, pengembangan proses
dilakukan secara berangkai berdasarkan tingkat kematangannya yang kemudian diwakilkan dalam bentuk
angka. Sebuah tingkat kematangan terdiri dari tindak pola generik dan spesifik untuk serangkaian area proses
tertentu yang berimbas baik pada performa organisasi secara keseluruhan, yang dalam hal ini tentu diarahkan
pada konteks SM. Terkait apakah seluruh level harus terpenuhi oleh organisasi, cara pandang Susan (2008)
dalam maturity model untuk pengembangan proses bisnis baik untuk diadopsi: bahwa level tertinggi dari
maturity tidaklah harus diraih oleh organisasi. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kondisi unik dari
organisasi, yakni kecukupan sumberdaya di saat tertentu sedemikian rupa menghasilkan diminishing returns
ketika masuk ke level tertentu. Manakala SMCMM diadopsi oleh pemerintah untuk kemudian dikenakan pada
industri, cara pandang yang digagas oleh Susan (2008) ini baik sekali untuk diadopsi. Dengannya, perusahaan
bisa memilih untuk –setidaknya untuk sementara—bercukup diri dengan semisal level 3 dan tidak memenuhi
seluruh area proses yang terdapat di level di atasnya melainkan cukup beberapa yang feasible saja.
Sebagaimana umumnya sebuah model capability and maturity, SMCMM memiliki lima level kematangan
atau tingkatan bersifat evolutif, yang menunjukkan perkembangan tindak pola organisasi dalam hal proses SM.
Di setiap tingkat kematangan, sistem tindak pola baru ditambahkan di atas pijakan tindak pola dari tingkatan
sebelumnya. Dari cara pandang SMCMM, kematangan organisasi dibentuk dari tindak pola SM yang secara
rutin dilakukan di proses internal, dan tingkatan sampai seberapa jauh tindak pola tersebut telah diintegrasikan
ke dalam proses formal untuk meningkatkan kapabilitas organisasi.
Untuk level kematangan, untuk level 1 hingga 4, SCMM memiliki definisi yang sama dengan CMM.
Perbedaannya, SCMM memulai pelevelan dari 0, yang mencirikan tidak adanya inisiatif SM yang
diimplementasi. CMM dibangun dengan premis mendasar bahwa organisasi yang paling kacau sekalipun pasti
memiliki proses yang bisa diukur tingkat kematangannya [ CITATION Sus08 \l 1057 ]. Namun tidak lantas
inisiatif SM menjadi bagian dari proses bisnis yang telah ada. Oleh karenanya, level SMCMM harus dimulai
bukan dari “bagaimana” suatu proses SM dilaksanakan, melainkan “apakah” proses tersebut sudah
dilaksanakan.
Khusus dalam representasi bertahap, salah satu ulasan pentingnya adalah dalam hal konsiderasi
pelevelannya. Secara umum, SMCMM memiliki ciri yang sama dengan CMM: semakin rendah level
8
kematangan mengindikasikan inisiatif SM yang kian reaktif; semakin tinggi levelnya mengindikasikan inisiatif
SM yang kian preventif dan terukur.
Pelevelan ini sendiri bisa didasarkan dari banyak aspek. Semisal saja, empat aspek yang terdapat pada
The Integrated Assessment Model [ CITATION Ani09 \l 1057 ] dapat digunakan sebagai basis untuk
pelevelan;
Aspek ekonomis: semakin rendah, semakin rendah biaya investasi yang dibutuhkan.
Aspek teknis: semakin rendah, secara tata cara, inisiatif SM semakin mudah untuk diimplementasikan.
Aspek lingkungan: semakin rendah, dampak/kemanfaatan bagi lingkungan kian kurang krusial.
Aspek sosial: semakin rendah, secara perseptif inisiatif SM semakin dianggap tidak krusial oleh
masyarakat.
Selain keempat aspek di atas, yang berikut ini juga dapat digunakan sebagai dasar pelevelan;
Aspek Teknologi: semakin rendah, semakin sederhana (non-sophisticated) teknologi yang dibutuhkan.
Aspek Infrastruktur: semakin rendah, semakin tidak dibutuhkan investasi dalam bentuk infrastruktur.
Aspek Prosedur: terkait dg telah ada/tidaknya SOP terkait inisiatif SM. Semakin rendah, semakin tidak
terdapat SOP terdefinisi.
Aspek Fasilitasi/Formalisasi: terkait telah ada/tidaknya badan internal yang menangani inisiatif SM.
Semakin rendah mengindikasikan tidak adanya dukungan dalam bentuk penginstitusian formal.
Secara umum, pelevelan dalam maturity model didasarkan pada aspek yang dapat digradienkan, dalam
tingkatan paling tidak signifikan hingga paling signifikan. Dalam setiap inisiatif yang diadopsi dari model SD
untuk representasi bertahap SMCMM, akan ada panduan untuk beranjak ke level berikutnya, sebagaimana
maturity model untuk manajemen perubahan [ CITATION Pro04 \l 1057 ].
Jikapun pelevelan tidak/belum bisa dilakukan, apa yang penting adalah adanya pengelompokan atas
dasar kesamaan atribut tertentu. Cara ini semisal saja digunakan oleh Susan (2008) dalam merancang maturity
model untuk pengembangan proses, di mana dia membuat istilah "discipline" untuk delapan aspek maturity
dalam modelnya. SMCMM pun bisa membuat discipline semacam ini dengan mengadopsi model yang telah ada
di ranah SD; semisal saja model Basis Requirement for a Sustainable Urban Environment (Smith 1998;
Williams, Burton & Jenks 2000). Karena SMCMM juga dimaksudkan untuk diaplikasikan dalam representasi
berkelanjutan, maka model yang tidak secara gamblang tersusun dalam bentuk pemeringkatan juga bisa
diadopsi. Dalam hal ini, semisal saja Design for Environmental Checklists (Graedel, 2002). Model-model
tersebut kemudian akan tampak di SMCMM dalam bentuk rangkaian area proses.
Komponen area proses dalam model CMM biasanya diawali dengan deskripsi pernyataan tujuan, catatan
pengantar, dan area proses terkait. Pernyataan tujuan menjabarkan tujuan dari area proses bersangkutan, dan
catatan pengantar menginformasikan konsep utama yang tercakup dalam area proses tersebut. Dalam SMCMM,
hal ini perlu dilengkapi dengan penjelasan terkait bagaimana area proses bersangkutan berkontribusi dalam
inisiatif SD. Hal ini bisa ditunjukkan dalam bentuk hasil konkrit yang dihasilkan di aspek hilir ataupun
bagaimana posisinya dalam semesta proses penciptaan nilai bagi pelestarian lingkungan. Dengan kata lain, apa
yang coba diupayakan adalah mengkomunikasikan signifikansi dari area proses bersangkutan untuk membangun
buy-in lebih besar dari seluruh personil di organisasi.
100%
Optimizing
(Level 5)
90%
Defined 80%
(Level 4)
70%
Managed
Skor Maturity
(Level 3) 60%
50%
Performed
(Level 2)
40%
Incomplete
30%
(Level 1)
20%
Primeval
(Level 0) 10%
Area Proses Proses 1 Proses 2 Proses 3 Proses 4 Proses 5 Proses 6 Proses 7 Proses 8 Proses 8 Proses 9 HASIL
9
Gambar 1. Konstruksi SMCMM didasarkan atas PM3 (Saco, 2008)
Terkait konstruksi utama dari representasi bertahap, SMCMM mengadopsi konstruksi PM3 [ CITATION
Rob08 \l 1057 ] sebagaimana ditunjukkan di Gambar 1. Dalam model ini, area performa inisiatif SM akan
dikaitkan pada serangkaian klaster yang di dalamnya terdapat area proses. Area proses adalah kumpulan tindak
pola di suatu area yang manakala secara kolektif diimplementasikan, akan memenuhi serangkaian target yang
penting untuk membuat perubahan signifikan di area bersangkutan. Sebagaimana PM3 [ CITATION Rob08 \l
1057 ], setiap area proses tersebut akan ditaksir skornya berdasarkan panduan scoring dari Baldrige. Di sini,
setiap fitur akan mendapatkan skor (0 hingga 100 persen) dan keseluruhan proses akan mendapatkan weighted
score sebagai nilai hasil.
Terkait elemen penaksiran atau dasar penentuan nilai, SMCMM akan mengadopsi cara yang digunakan
oleh Hutchinson (1999) dalam merancang SPICE: yakni dengan melalui pengisian kuesioner, wawancara
dengan para personil kunci, serta review terhadap dokumen. SMCMM tidak mengadopsi elemen penaksiran dari
PM3 karena cara yang digunakan model ini masih bersifat sedemikian subyektif, yakni sekedar melalui
wawancara terhadap personil kunci tanpa adanya indikator pengarah. SMCMM juga tidak menggunakan elemen
penaksiran dari CMM ataupun CMMI; karena meskipun pada dasarnya sama dengan SPICE, namun cara yang
digunakan kedua model tersebut masih terlalu kompleks untuk sebuah model yang masih baru dikembangkan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Bamberger, J., 1997. Essence of the Capability Maturity Mode. Software Realitie, IEEE Computer Society,
p.112.
Carnegie Mellon, 2010. CMMI Overview. [Online] Available at: http://www.sei.cmu.edu/cmmi/index.cfm
[Accessed 4 April 2010].
Chrissis, M.B., Konrad, M. & Shrum, S., 2003. CMMI®: Guidelines for Process Integration and Product
Improvement. Boston: Addison Wesley.
Curtis, B., Hefley, W. & Miller, S., 2009. People Capability Maturity Model version 2.0. Software Engineering
Process Management.
Doss, D.A. & Kamery, R.H., 2006. Adapting The Capability Maturity Model [CMM] To Unrelated Industries
As A Process Maturity Framework. In Allied Academies International Conference. New Orleans, 2006.
Academy of Educational Leadership.
Dul, J. & Hak, T., 2007. Case Study Methodology in Business Research. Elsevier.
EOCD, 2009. Sustainable Manufacturing and Eco-innovation: Towards a Green Economy. Policy Brief. EOCD
Observer.
Fearn, B., 2009. Behind the green façade – UK development and sustainability. [Online] (1) Available at:
http://www.estatesreview.com/news/environment/sustainability/article498.html [Accessed 7 May 2010].
Harrington, H., 1991. Business process improvement: The breakthrough strategy for total quality, productivity,
and competitiveness. New York: McGraw-Hill Publishing.
Horne, R., Verghese, K. & Grant, T., 2009. Life Cycle Assessment: Principles, Practice and Prospects.
Collingwood: CSIRO Publishing.
Hutchinson, A. & Finnemore, M., 1999. Standardized process improvement for construction enterprises. Total
Quality Management, p.p.S576.
Ibbs, C.W. & Kwak, Y.H., 2000. Assessing project management maturity. Project Management Journal, p.32.
ISO, 2010. ISO 14000 essentials. [Online] Available at: http://www.iso.org/iso/iso_14000_essentials [Accessed
18 Mei 2010].
Kan, S., 1995. Metrics and models in software quality engineering. New York: Addision-Wesley.
KBR, 2009. Radio Nederland Wereldomroep. [Online] Available at: http://www.rnw.nl/bahasa-
indonesia/article/revolusi-industri-batik-solo [Accessed 22 Mei 2010].
Maria, A., 2009. An Integrated Assessment Model for Reuse Strategy: Technical, Social, Environmental and
Economic Aspects. Deutschland: VDM Verlag.
Marschan-Piekkar, R. & Welch, C., 2004. Handbook of qualitative research methods for international business.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing.
Mary Beth, C., Mike, K. & Sandy, S., 2003. CMMI®: Guidelines for Process Integration and Product
Improvement. Boston: Addison Wesley.
Muthu, S., Whitman, L. & Cheraghi, S.H., 1999. Business Process Reengineering: A Consolidated
Methodology. In The 4th Annual International Conference onIndustrial Engineering Theory, Applications and
Practice. San Antonio, 1999.
Persse, J.R., 2006. Process Improvement Essentials. Sebastopol: O'Reilly.
Prosci, 2004. Prosci’s Change Management Maturity Model. Colorado: Prosci.
S.Takta, F.Kimura, Houten, F.J.A.M.V. & E.Westkamper, 2004. Maintenance: Changing Role in Life Cycle
Management. CIRP, 53(2).
Saco, R.M., 2008. Maturity Models. Industrial Management, p.11.
Sarshar, M., Finnemore, M., R.haigh & J.goulding, 1999. SPICE: Is a Capability Maturity Model Applicable In
The Construction Industry? Durability of Building Materials and Components, pp.2836-43.
Susan, L. & Matthew, H., 2008. Maturity Model Overview: Application Organizations. Gartner.
Wilson, M., 2007. Growth Trends in The Green Maintenance Movement. SCA Tissue.
11