Anda di halaman 1dari 23

c  c 


   

  
  c c p
p

Abstrakp

Penemuan kelemahan dan kekurangan BPSK tanpa dibarengi pemecahan masalah


sebenarnya bisa berakibat timbulnya ketidak percayaan pada Lembaga BPSK, bahkan
meragukan keberadaanya dan masa depannya sebagai suatu lembaga penyelesai sengketa
konsumen. Kita juga mesti sadari BPSK merupakan lembaga baru sebagai suatu lembaga
penyelesaian alternatif di luar pengadilan terhadap sengketa konsumen dengan pelaku usaha
yang keberadaanya diakui oleh undang-undang. Apapun ceritanya yang jelas dengan adanya
lembaga yang bernama BPSK ini merupakan suatu langkah positif bagi perlindungan akan hak-
hak konsumen karena konsumen yang merasa dirugikan hak-haknya bisa memilih alternatif
penyelesaian sengketa yang dihadapinya. Tinggal saja kini tergantung pada diri BPSKnya
sendiri apakah lembaga ini akan ditempatkan dihati konsumen sebagai pahlawan sejatinya atau
akan dikenang sepanjang masa sebagai pengkhianat terhadap perlindungan konsumen itu
sendiri.p

ccc !"#cp

$#p

BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dibentuk atas dasar Ketentuan


Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen atau dikenal dengan
sebutan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang untuk pertama sekali
pembentukannya berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun
2001. Berlandaskan Keputusan Presiden tersebut dibentuklah BPSK ini di beberapa kota di
Indonesia, yaitu: Kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Kota Makasar.p

Menindak lanjuti pembentukan BPSK tersebut sesuai dengan amanat Keputusan


Presiden Nomor 90 Tahun 2001 itu, keluarlah Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
Dengan terbentuknya BPSK itulah timbul wacana eksistensi dan prospek BPSK sebagai
lembaga penyelesai Sengketa Konsumen. Masyarakat (konsumen) yang selama ini selalu
menjadi objek pelaku usaha, mulai berharap banyak terhadap BPSK ini, harapan yang timbul
adalah bahwa BPSK ini dapat diandalkan sebagai suatu lembaga yang bisa menyelesaiakan
sengketa Konsumen yang terjadi dengan pelaku usaha, dengan asumsi hak-hak konsumen
yang selama ini diabaikan bisa diperhatikan dan diperjuangkan.p

Akan tetapi khalayak sepertinya lupa bahwa BPSK merupakan lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Konsumen di luar pengadilan, meskipun lahir dari amanat sebuah
Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
akan tetapi sesungguhnya UUPK ini hanyalah merupakan salah satu sarana hukum yang
menjadi landasan penyelesaian masalah keperdataan, karena masih banyak lagi Instrumen
hukum lain yang mengatur tentang penyelesaian hubungan keperdataan antara individu dengan
individu atau individu dengan kelompok tertentu.p

Karena itu tepatkah penyelesaian sengketa konsumen hanya dibebankan kepada


lembaga yang bernama BPSK ini?.p

$ ! c !p

Aktivitas sehari-hari yang dilakukan setiap orang selalu melakukan hubungan dengan
orang lain, terkadang hubungan yang mereka lakukan tidaklah berlangsung langgeng
sebagaimana yang diharapkan, ketidak langgengan hubungan tersebut akan membawa
dampak bagi hubungan mereka, yaitu perlu adanya penyelesaian sehingga tidak menjadi
berlarut-larut.p
Ketidak sesuaian antara realita dengan keinginan saat mereka melakukan hubungan
hukum tersebut berarti telah terjadi masalah, bahkan masalah ini bisa meruncing kepada suatu
hal yang kurang harmonis, ketidak harmonisan ini lazim dinamakan perkara atau sengketa,
yang kesemuanya timbul akibat ketidak puasan salah satu dan/atau masing-masing pihak.p
Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi lazimnya para pihak yang bersengketa
memperhatikan hukum yang ada, hukum bukanlah sekedar pedoman uantuk di baca, dilihat
atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan dan ditaati. Hubungan hukum yang di
laksanakn sebelum terjadi sengketa lazimnya berpedoman kepada hukum pedata materiil,
namun jika dalam hubungan hukum tersebut terjadi masalah maka untuk menyelesaiakannya
berpedoman kepada hukum perdata formil atau hukum acara perdata.p

Hukum acara perdata (hukum perdata formil) hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya
hukum materiil perdata. Pengunaan hukum formil dalam penyelesaian semgketa dimaksudkan
sebagai pedoman untuk menyelesaiakan masalah yang ada, dimana dalam menyelesaiakan
masalah tersebut biasanya mereka meminta bantuan pengadilan untuk menyelesaikannyap

Sengketa Konsumen sesungguhnya bukanlah suatu sengketa yang sederhana, karena


sengketa konsumen ini sebenarnya sangat luas cakupannya, walaupun berdasarkan
pengertian, sengketa konsumen diartikan sebagai: ³Sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen karena telah terjadi tindakan yang tidak diinginkan oleh konsumen. Yang pada
akhirnya timbul niat untuk menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang
menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa´ p

Sementara Az. Nasution memaknai sengketa konsumen adalah: ³Setiap perselisihan


antara konsumen dengan penyedia produk konsumen (barang atau jasa konsumen) dalam
hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu.p

UUPK tidak menjelaskan secara khusus pengertian sengketa konsumen. Rumusan


sengketa konsumen ditemui pada Pasal 1 angka 8 Keputusan Menperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, yang menyatakan bahwa ³Sengketa konsumen adalah sengketa antara
pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran
dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa´.p

Sedangkan Shidarta, menjelaskan mengenai sengketa konsumen sebagai sengketa


berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum,
baik keperdataan, pidana maupun tata negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah
µsengketa transaksi konsumen¶ karena yang terakhir ini berkesan lebih sempit, yang hanya
mencangkup aspek hukum keperdataan. p

Sengketa yang dapat juga diartikan dengan perselisihan terjadi berawal dari adanya
hubungan hukum yang dilakukan antara konsumen dengan pelaku usaha, dimana timbulnya
sengketa tersebut jika salah satu pihak mengingkari atau mencederai hubungan hukum yang
telah mereka lakukan tersebut, semisal konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dibelinya dari pelaku usaha tidaklah sesuai dengan yang mereka perjanjikan.p

Mengingat pada dasarnya terjadinya hubungan hukum diawali karena adanya perjanjian
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu, dan jika kesepakatan itu dilanggar oleh salah satu pihak maka terjadilah
sengketa, karena realita yang diharapkan dari perjanjian tersebut tidak terjadi dikarenakan ada
unsur kesengajaan atau kelalaian.p

Berkaitan dengan terjadinya sengketa konsumen tidak hanya disebabkan karena


terjadinya pelanggaran perjanjian yang dilakukan salah satu pihak, akan tetapi lebih dari pada
itu hal ini dikarenakan tidaklah selalu hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha
diawali dengan perjanjian terlebih dahulu. Sehingga dalam praktek bentuk engketa konsumen
tersebut sangat berpariasi, tidaklah sesederhana seperti orang melakukan wanprestasi dalam
hubungan hukum perjanjian saja.p

Implikasi dari sengketa konsumen adalah akibat pelanggaran yang dilakukan oleh
pelaku usaha dan hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek hukum, dimana UUPK sendiri
menggambarkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut bisa menjerat
pelaku usaha kepada pengenaan sanksi lain. Dengan pengertian bahwa tindakan yang
dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen tidak hanya pengenaan sanksi perdata
belaka, tetapi bisa merambah ke pengenaan sanksi administratif, bahkan sanksi pidana.p

Luasnya lapangan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa konsumen


dan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen lebih dikarenakan pengaturan hak-hak
konsumen juga terdapat pada berbagai undang-undang di luar UUPK.p

Sehingga di samping penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK, terdapat


juga beberapa sengketa konsumen yang pengaturannya menggunakan instrument hukum di
luar UUPK misalnya, Undang-undang Arbitrase yang penerapannya merupakan penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh berdasarkan kehendak para pihak, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPdt), dalam hal ini penerapannya berupa sanksi perdata karena proses
penuntutan ganti kerugian yang kelazimannya diselesaiakan melalui pengadilan, dan juga
Hukum Administrasi yang dampaknya pemberlakuan sanksi administrasi, yang berarti dalam
hal terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yang kewenangan mengadilinya
bukan terletak pada BPSK, akan tetapi merupakan pekerjaan dari lembaga/instansi yang
mengeluarkan perijinan terhadap suatu perusahaan seperti Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, dan
instansi perizinan terkait lainnya, demikian pula jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh
pelaku usaha terindikasi pidana maka hal ini merupakan kewenangan mutlak aparat penegak
hukum untuk mengatasinya yang berarti merupakan kompetesi pengadilan negeri untuk
menanganinya.p

Walaupun tidak menjelaskan secara khusus pengertian sengketa konsumen, UUPK


mengatur tentang penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang secara
umum tertuang pada Pasal 45 dan Pasal 46 UUPK. Penyelesaian sengketa antara konsumen
dan pelaku dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa tersebut
melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.p
Pasal 45 UUPK, menyatakan sebagai berikut:p

(1)p Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada dalam lingkungan peradilan umum. p

(2)p Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.p

(3)p Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang,p

(4)pApabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. p
Penjelasan Pasal 45 ayat (2) UUPK, adalah sebagai berikut: ³Penyelesaian sengketa
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian
damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan
penyelesaian damai oleh kedua pihak yang bersengketa´.p
Maksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh
kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan
atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan denga undang-undang
perlindungan Konsumen.p
Sedangkan Pasal 46 UUPK, menyatakan sebagai berikut:p

(1)pGugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:p


a.pSeorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;p

b.pSekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;p

c.p Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;p

d.p Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.p

(2)p Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyrakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf
d, diajukan kepada peradilan umum;p

(3)p Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.p
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa untuk
menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan, yaitu: p
1. melalui Peradilan umum dan p
2. melalui lembaga di luar Peradilanp
Sedangkan dari ketentuan Pasal 46 UUPK dapat diketahui bahwa hanya konsumen
yang dirugikan atau ahli warisnya yang dapat mengajukan gugatan melalui peradilan umum
atau melalui lembaga penyelesaia sengketa di luar peradilan. Bagi sekelompok konsumen,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyrakat dan pemerintah hanya dapat
mengajukan gugatan melalui peradilan umum.p

#$%&!"#!!p

Undang-undang kekuasaan kehakiman dengan tegas menyatakan bahwa


penyelenggaraan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan dilakukan oleh
sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawah mahkamah agung dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. p
Undang-undang peradilan umum, menentukan ada tiga jenis pengadilan umum, yaitu: p

a.p Pengadilan Negeri, untuk memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana pada tingkat
pertama.p

b.p Pengadilan Tinggi, untuk memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana pada tingkat
kedua dan tertinggi.p

c.pMahkamah Agung, untuk pemeriksaan tingkat kasasi.p

Pengajuan penyelesaian sengketa konsumen secara gugatan perdata melalui peradilan


umum (pengadilan negeri) oleh konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya atau yang diajukan
oleh sekolompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan/atau
pemerintah adalah tetap memperhatikan hukum acara yang umum berlaku selama ini, seperti
 et  erziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg)
dan/atau ketentuan-ketentuan pengajuan gugatan secara class action serta legal standing.p

Terhadap penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui


pengadilan negeri hanya dimungkinkan apabila para pihak belum memilih upaya penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, dan/atau upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut
belum dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. p

#$'&# "#p

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dilakukan berdasarkan sukarela


dari para pihak berperkara yang diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak
terulangnya kerugian yang di derita konsumen dan adapun lembaga yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan adalah BPSK. p

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan
alternative dispute resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. ADR tersebut dapat
berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference serta
bentuk lainnya. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), arbitrase dibedakan dari alternatif
penyelesaian sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli.p

X$c( !(&")p

Jika dicermati filosofi dibentuknya lembaga penyelesaian sengketa yang bernama BPSK
ini sebenarnya merupakan langkah taktis untuk mengalihkan sebahagian permasalahan
keperdataan yang selama ini selalu bermuara ke pengadilan negeri, yang akhirnya akan
mengurangi terjadinya penumpukkan perkara yang harus diselesaiakan melalaui jalur peradilan.p

Mungkin juga sebagai pelampiasan kejenuhan masyarakat terhadap kinerja pengadilan


yang selama ini terkesan lamban dan memakan biaya tinggi. Padahal Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, sebagai mana telah diubah dengan undang-undang Nomor 35 Tahun 1999,
dan kini menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Kekuasan Kehakiman sudah
mengamanatkan bahwa peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan p

Secara yuridis proses penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi dapat dilakukan
melalui beberapa saluran alternatif, sebagaimana ketentuan Pasal 45 ayat (2) UUPK yang
menyatakan:p

(1)p Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaiakan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umump

(2)p Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.p

(3)p Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam ndang-undang.p

(4)p Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak yang bersangkutan.p
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, jika terjadi kerugian atas diri konsumen
akibat ulah pelaku usaha maka konsumen dapat melakukan tuntutan atas kerugian yang
dideritanya, jika diperhatikan lebih lanjut ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen jelas dinyatakan bahwa: ´Pemerintah membentuk BPSK
di daerah tingkat II (sekarang kota/kabupaten) untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
peradilan´. p

Dasar pembentukan BPSK sebenarnya adalah: Untuk menyelesaiakan setiap sengketa


konsumen dengan pelaku usaha dengan prinsip cepat, murah dan mudah. p

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa luar peradilan dalam wacana hukum lebih
dikenal dengan sebutan åAlternatif Dispute Resolution¶ atau disingkat dengan ADR. Dari prinsip
ADR inilah untuk konteks Indonesia model penyelesaian sengketa Alternatif mulai
dikembangkan, dengan berbagai jenis modifikasi dalam pelaksanaanya, dan diakomodir dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada termasuk dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Dimana Alternatif penyelesaian sengketa
dimaksudkan sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak p

Penafsiran konsep ADR sendiri Philip D Bostwick menyatakan bahwa ADR merupakan
serangkaian praktik hukum yang ditujukan untuk:p

a.p memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan dilura peradilan, untuk keuntungan


dan kebaikan para pihak yang bersengketa sendiri;p

b.p mengurangi biaya dan keterlambatan kalau sengketa tersebut ditempuh melalui litigasi
konvensional;p

c.pmencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan. p

Berdasarkan pemahaman konsep ADR yang dikemukakan di atas jelas bahwa tujuan
dilakukannya proses penyelesaian sengketa di luar peradilan agar masalah yang terjadi
dioptimalkan tidak masuk kepengadilan, cukup diselesaiakan dengan jalur luar pengadilan saja. p

Pendapat lain menyatakan bahwa sebenarnya konsep ADR ini merupakan sebuah konsep yang
mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari proses peradilan melalui cara-
cara yang sah menurut hukum baik berdasarkan pendekatan konsensus atau tidak berdasarkan
pendekatan konsensus.p

Secara yuridis formal pranaya penyelesaian sengketa alternative di Indonesia


dikenalkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
penyelesaian Sengketa, yaitu terdiri dari: 1) Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh
para pihak yang bersengketa; 2). Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui
(meminta bantuan) pihak ke tiga yang netral diluar para pihak yang bersengketa, yaitu dalam
bentuk mediasi; 3). Penyelesaian melalui arbitrase.p

Dari beberapa pendapat di atas sebenarnya mekanisme penyelesaian sengketa


alternatif di luar lembaga peradilan (non litigasi) dengan menggunakan pola pendekatan
konsensus maupun non konsensus dengan maksud untuk mempercepat penyelesaian
sengketa serta memperingan biaya perkara yang jika melalui lembaga litigasi terkesan berbelit-
belit dan memakan biaya yang tidak sedikit. Yang pada intinya ADR ini merupakan payung
hukum dalam proses penyelesaian sengketa yang di dalamnya mencakup antara lain:
Negosiasi, Mediasi, Arbitrase.p

Model penyelesaian sengketa yang ada di dalam Undang-undang Arbitrase dan


Alternatif penyelesaian sengketa inilah yang dalam praktek BPSK dipergunakan, dimana jika
terdapat sengketa yang terjadi atara konsumen dan pelaku usaha mereka yang sepakat
menyelesaiaknnya melalui BPSK akan ditawai model penyelesaian alternative tersebut. p

Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK hanya
memperkenalkan 3 (tiga) macam cara, yaitu; arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan
bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan sebagai tugas BPSK. Ketiga cara
penyelesaian sengketa tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak dan
bukan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang yang diharapkan dapat berdaya guna
(efisien) dan berhasil guna (efektif). Instrumen hukum lain dapat ditempuh konsumen tanpa
terlebih dahulu melalui instrumen hukum BPSK, dan jika telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa melalui BPSK maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh bila upaya itu
µdinyatakan tidak berhasil¶ oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. p
Menurut Shidarta, tidak jelas maksud dari kata-kata µdinyatakan tidak berhasil¶ dalam
Pasal 54 ayat (4) UUPK. Secara redaksional, juga tidak jelas apakah yang dimaksud dengan
istilah µpenyelesaian di luar pengadilan¶ ini adalah upaya perdamaian diantara mereka atau juga
termasuk penyelesaian melalu BPSK. Jika yang dimaksud dengan penyelesaian di luar
pengadilan ini termasuk juga penyelesaian melalui BPSK, tentu saja tidak mungkin ada kesan
bahwa salah satu pihak atau para pihak dapat menghentikan perkaranya di tengah jalan
sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Kata-kata µdinyatakan tidak berhasil¶ pun tidak mungkin
dapat dilakukan begitu saja oleh salah satu pihak atau para pihak disebabkan para pihak telah
memutuskan untuk memilih penyelesaian melalui BPSK sehingga terikat untuk menempuh
proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusan. Jika para pihak tidak dapat menerima
putusan itu, barulah mereka diberi hak melanjutkan penyelesaiannya di pengadilan Negeri. p
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan melalui BPSK yang diperkenalkan
oleh UUPK dengan 3 (tiga) macam cara tersebut dapat diuraikan, adalah sebagai berikut:p

a.pKonsiliasip

UUPK tidak memberi pengertian kata konsiliasi. Pengertian kata konsiliasi dalam
penyelesaian sengketa konsumen ditemukan pada ketentuan umum Keputusan Menperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu Pasal 1 angka 9 yang menyatakan ³konsialiasi adalah
proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk
mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para
pihak´. p

Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, setelah BPSK


menerima permohonan konsumen atau ahli warisnya maka selanjutnya Majelis BPSK akan
memanggil pihak-pihak yang bersengketa, dan saksi-saksi yang diperlukan serta menyediakan
forum bagi para pihak yang bersengketa dan menjawab segala pertanyaan para pihak perihal
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. Dalam proses ini Majelis betindak pasif,
artinya menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa pada para pihak, dan
selanjutnya menerima hasil musyawarah para pihak serta mengeluarkan putusan. p

Menurut Oppenheim, ³konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan


menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk
menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan
mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan untuk
suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat´. p
Sejalan dengan pendapat Oppenheim tersebut, maka seorang konsiliator akan
mengklarifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak,
tetapi kurang aktif dibandingkan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options)
penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan
para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan bergerak mendekat (moving closer)
dan selanjutnya dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak (a measure of
goodwill). p

Konsiliasi tersebut menyatakan secara tidak langsung kebersamaan pihak-pihak yang


bersengketa yang dahulunya berkawan, kini mereka berselisih/bertengkar. Pandangan-
pandangan yang berbeda coraknya diantara para pihak harus dipertemukan dengan teliti. Jika
dihubungkan dengan pengertian konsiliasi penyelesaian sengketa konsumen maka konsiliator
dimaksud adalah Majelis BPSK.p

b.pMediasip

UUPK juga tidak memberi pengertian kata mediasi. Pengertian kata mediasi dalam
penyelesaian sengketa konsumen ditemukan pada ketentuan umum Keputusan Menperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu Pasal 1 angka 10 yang menyatakan ³Mediasi adalah
proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK
sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak´.p

Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi sama dengan cara konsiliasi,
namun Majelis BPSK dalam hal ini bertindak secara aktif, yakni berusaha mendamaikan para
pihak serta secara aktif memberikan saran, petunjuk dan anjuran dalam penyelesaian sengketa
tersebut. p

Gary Goodpaster mengemukakan bahwa mediasi adalah proses negosiasi pemecahan


(impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka
memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter,
mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak. Namun,
dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka
menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan
mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi
kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau
informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif, dan dengan demikian
membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang disengketakan´. p

Mengikuti pemikiran Gary Goodpaster tersebut, maka pada dasarnya mediasi adalah
suatu proses di mana pihak ketiga (a third party), suatu pihak luar yang netral (a neutral
outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian
sengketa yang disepakati. Sesuai dengan batasan tersebut mediator berada ditengah-tengah
dan tidak memihak pada salah satu pihak. Sesuai dengan sifatnya, mediasi tidak dapat
diwajibkan (compulsory), tetapi hanya dapat terjadi jika kedua belah pihak secara sukarela
(voluntary) berpartisipasi. p

Peran utama mediator adalah memantapkan garis-garis komunikasi dan dialog (lines of
communication and dialogue) diantara kedua belah pihak, yang akan mengantarkan
pemahaman kebersamaan yang lebih besar (greater mutual understanding). Pada akhirnya
suatu kesepakan akan tercipta tanpa cara-cara merugikan (nonviolent means), setidaknya
suatu hubungan baik (relationship) tercipta tanpa konflik. Pada mediasi penyelesaian sengketa
konsumen bertindak selaku mediator adalah Majelis BPSK yang berperan sebagai penasihat
para pihak yang bersengketa.p

c.pArbitrasep

UUPK sendiri tidak memberi pengertian arbitrase. Pengertian arbitrase dalam


penyelesaian sengketa konsumen ditemukan pada ketentuan umum Surat Keputusan
Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu Pasal 1 angka 11 yang menyatakan
³Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal
ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada
BPSK´.p

Dalam arbitrase konsumen para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada BPSK untuk
memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Pada prinsipnya arbitrase
merupakan suatu metode penyelesaian sengketa dalam masalah-masalah perdata (civil
matters) yang disetujui oleh kedua belah pihak, yang mengikat (binding) dan dapat
dilaksanakan atau ditegakkan. p

Para pihak diwajikan untuk pergi ke arbitrase atas suatu masalah tertentu sebagai
bagian dari suatu perjanjian tentang prosedur penyelesaian sengketa (dispute resolution
procedures) yang telah disepakati para pihak terdahulu. Sebelum para pihak terlibat dalam
proses, hasil keputusan arbitrase (the status of the outcome of arbitration) harus disetujui para
pihak tersebut. Prinsip putusan arbitrase yang bersifat final dan binding mempunyai arti
langsung menjadi putusan tingkat pertama dan terakhir serta dapat dilaksanakan. Namun
demikian, dengan alasan yang sangat eksepsional dapat diajukan perlawanan atau åplea¶ dalam
bentuk permintaan annulment atau µpembatalan¶ putusan.p

Penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase terlebih dahulu dimulai dengan


memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari pelaku usaha dan konsumen sebagai
anggota Majelis sedangkan arbitor sebagai ketua Majelis dipilih dari anggota BPSK yang
berasal dari unsur pemerintah. Dalam persidangan Majelis wajib mendamaikan para pihak yang
bersengketa, dan memberikan petunjuk kepada para pihak mengenai upaya hukum yang
digunakan oleh para pihak serta pemeriksaan dilakukan dengan jawab menjawab. Sedangkan
hasil penyelesaian sengketa tersebut dibuat dalam bentuk putusan Majelis yang ditandatangani
oleh Ketua dan Anggota Majelis.p

$" * !(c(&c !p

Tugas pokok BPSK sebenarnya sudah jelas diatur dalam Keputusan Menperidang
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang mana berdasarkan Pasal 2 Kepmenperindag tersebut
dinyatakan: ³BPSK berkedudukan di ibu kota daerah Kabupaten atau daerah Kota yang
berfungsi untuk menangani dan menyelesaikan sengkleta konsumen di luar pengadilan´p

Berdasarkan fungsi tugasnya tersebut Lembaga yang bernama BPSK ini memiliki
wewenang dan tugas yang sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 3 Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 yaitu:p

a.p Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi,
Mediasi, dan Arbitrase;p

b.pMemberikan konsultasi perlindungan konsumen;p

c.pMelakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;p

d.p Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;p
e.p Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;p

f.pMelakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumenp

g.p Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumenp

h.p Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.p

i.p Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap
orang yang dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
BPSK;p

j.pMendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan
dan atau pemeriksaan;p

k.pMemutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen;p

l.p Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;p

m.p Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.p

Hal di atas merupakan tugas dan wewenang dari BPSK yang jika kita cermati
sesungguhnya bahwa BPSK bukanlah sebagai penjaga gawang dalam memperjuangkan hak-
hak konsumen akan tetapi BPSK diharapkan sebagai pemain yang handal yang mampu
menguasai bola untuk mencetak gol demi kemenangan yang bernama perlindungan konsumen,
atau dengan kata lain tugas BPSK harus lebih dari hanya sekedar menunggu pengaduan
konsumen yang datang kepadanya melainkan BPSK diharapkan berperan aktif untuk
melakukan kegiatan-kegiatan kongkrit dalam rangka terwujudnya perlindungan konsumen
sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. p
Dalam perjalanannya melindungi dan membela kepentingan konsumen, tugas BPSK tidaklah
berjalan mulus. Sebagaimana yang telah diprediksi oleh banyak kalangan, bahwa BPSK akan
menemui berbagai kendala. Dimana kendala tersebut boleh jadi merupakan cacat bawaan
sejak lahirnya UUPK, di samping kendala lainnya yang ditemui di lapangan. Cacat bawaan
yang dimaksud misalnya pilihan bentuk penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang
diragukan karena tidak sesuai dengan filosofi perlindungan konsumen, filosofi sistem peradilan
dan sistem penyelesaian sengketa. p

Dari berbagai kajian normatif terhadap hukum positif yang mengatur perlindungan konsumen,
ditemukan berbagai ketentuan dalam pasal-pasalnya yang tidak sejalan. Bila disandingkan
dengan ketentuan terkait, maka terlihat berbagai ketidakharmonisan ataupun
ketidakkonsistenan dalam pengaturan perlindungan konsumen.p

Dalam mengatasi berbagai masalah yuridis yang ada akibat kekurang sempurnaan
UUPK diperlukan langkah politik hukum dari pemerintah. Politik hukum merupakan
perancangan suatu kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan, baik yang inovatif maupun yang bersifat revisi, menyesuaikan dengan kebutuhan
kekinian, serta pelaksanaan dan ketentuan hukum tersebut dalam institusi dan oleh aparatur
penegak hukum p

Proses perancangan materi peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk membuat


aturan baru terhadap berbagai aktivitas BPSK yang secara tegas. Perancangan materi juga
dilakukan dalam bentuk pembaharuan terhadap berbagai ketentuan yang berpotensi me-
nimbulkan problem yang menghalangi anggota BPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Proses ini berkaitan dengan kegiatan memformulasikan materi hukum yang memenuhi aspek
kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Berkaitan dengan upaya pemerintah dalam merancang
hukum, kiranya perlu keterlibatan para stakeholder seperti Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM), akademisi dan anggota BPSK dalam memformulasikan
kebijakan yang akan dikeluarkan.p

Dari berbagai kasus yang ada setelah dilihat baik yang normatif, sosiologis, maupun empiris,
dan perjalanan BPSK setelah dibentuk dapat dipetakan problem yang dihadapi oleh BPSK.
Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK yang menyatakan bahwa ³putusan majelis bersifat final dan
mengikat´. Pernyataan ini mengandung maksud bahwa apabila para pihak sepakat memilih
penyelesaian sengketa melalui BPSK, telah ada kesepakatan mengenai bentuk tindakan
dan/atau ganti kerugian dari para pihak, dan keputusan telah diambil oleh majelis yang di-
tuangkan ke dalam suatu perjanjian, maka keputusan tersebut harus diterima, tidak ada upaya
hukum lain bagi para pihak untuk menyatakan keberatan atau banding, dan kasasi.p

Substansi Pasal 54 ayat (3) UUPK diambangkan dengan ketentuan pasal berikutnya, dimana
dalam Pasal 56 ayat (2), yang menyatakan bahwa µpara pihak dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut´. Secara teoritis, keputusan dari lembaga yang melaksanakan
mekanisme alternative dispute resolution dapat langsung dieksekusi, tidak memerlukan
penetapan dari pengadilan. Namun karena di dalam ketentuan UUPK sebagaiman yang
dinyatakan dalam Pasal 57 bahwa setiap ³putusan majelis BPSK dimintakan penetapan
eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan´, maka terbukalah
kesempatan bagi pelaku usaha untuk mengajukan keberatan.p

Kelemahan normatif terhadap keberatan yang diajukan ke pengadilan negeri jelas-jelas telah
menghilangkan makna filosofis penyelesaian sengketa melalui BPSK. p

Meskipun selanjutnya Pengadilan Negeri memiliki kewajiban mengeluarkan putusan atas


keberatan yang diajukan para pihak atas putusan majelis BPSK sebagaimana yang
diamanatkan oleh Pasal 58 ayat (1) UUPK, akan tetapi dalam implementasinya di lapangan,
upaya hukum keberatan dari para pihak ternyata belum memperoleh nomor register khusus di
Pengadilan Negeri, sehingga Pengadilan Negeri cenderung menolak keberatan tersebut atau
mendaftarkannya sebagai perkara perdata biasa. Hal ini dilakukan dengan alasan belum
adanya ketentuan teknis yang mengatur mekanisme pengajuan keberatan atas putusan BPSK
di lingkungan Pengadilan Negeri.p

Selain itu, para hakim di lingkungan Pengadilan Negeri tampaknya masih banyak yang belum
mengetahui dan memahami tentang keberadaan, tugas dan fungsi BPSK, serta kaitan proses
dan prosedur penyelesaian sengketa antara BPSK dengan lembaga Pengadilan Negeri,
menurut ketentuan UUPK. p

Berkaitan dengan penolakan hakim di pengadilan negeri untuk memberikan keputusan atas
keberatan yang diajukan para pihak atas putusan majelis BPSK, merupakan dilandasi dari
penafsiran yang tidak berdasar sama sekali, karena mereka menafsirkan dan memberikan
alasan bahwa permohonan keberatan sama halnya dengan pendaftaran gugatan perdata biasa
yang diproses sesuai dengan prosedun hukum acara perdata di Pengadilan Negeri. Juga
penolakan para hakim pengadilan negeri ini sebagian didasarkan atas tidak diakuinya lembaga
BPSK dalam sistem peradilan di Indonesia.p

Dasar hukum beracara di BPSK adalah keputusan Memperindag No. 350/-MPP/Kep/12/2001.


Pengaturan terhadap tatacara pelaksanaan dari pilihan-pilihan metode dalam prosedur penyele-
saian sengketa, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase banyak yang tidak singkron. Bila dikaitkan
dengan UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesain
Sengketa, maka akan terlihat betapa tidak singkronnya tatacara dan syarat-syarat dari masing-
masing metode. Boleh jadi hal ini terjadi karena Undang-undang yang mengatur tentang
arbitrasi dan alternatif penyelesaian sengketa lebih belakangan diundangkan daripada UUPK itu
sendiri. Atau karena pihak legislatif yang merancang kedua UU tersebut memang berbeda.
Kalau benar demikian maka pada saat diberlakukannya UUPK (satu tahun setelah
diundangkan) ketentuan di dalamnya menjadi tidak efektif lagi.p

Beberapa kasus yang telah diputus oleh majelis BPSK yang mengabulkan tuntutan konsumen,
pelaku usaha mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri. Dalam surat gugatannya,
pelaku usaha menempatkan anggota majelis BPSK sebagai pihak yang tengugat. Dari kasus ini
memunculkan gambaran pengaturan yang kurang jelas terhadap posisi anggota majelis.
Kemudian kasus lain yang terjadi terdapat, dimana pelaku usaha mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri, yang dalam gugatan atas putusan BPSK konsumen dijadikan
tergugat, hal ini tercermin dengan dikeluarkannya putusan majelis BPSK Nomor 28 Tahun
2003. p

Mencermati kejadian tersebut kiranya diperlukan satu lagi klausula dalam peraturan perundang-
undangan yang menjamin bahwa terhadap anggota BPSK tidak dapat dijadikan tergugat
maupun sebagai penuntut, demikian juga perlu penegasan bahawa dalam hal ini konsumen
tidak dapata dijadikan tergugat atas putusan yang dikeluarkan oleh majelis BPSK.p

Dalam lain hal UUPK juga belum mengatur tentang sanksi terhadap pelaku usaha yang tidak
bersedia hadir di persidangan BPSK. Karena majelis BPSK tidak dapat memaksa dan atau
memberi sanksi. Padahal pemberian sanksi bagi pelaku usaha yang tidak mau hadir memenuhi
panggilan Majelis sangat diperlukan untuk mengefektifkan proses penyelesaian sengketa
sesuai waktu yang ditentukan. p
Demikian juga halnya berkaitan dengan pelarangan kehadiran pengacara dalam mendampingi
para pihak dalam proses penyelesaian sengketa konsumen, padahal fungsi pengacara adalah
orang yang dapat meluruskan dan memperlancar jalannya proses pemeriksaan perkara dalam
penyelesaian sengketa, karena yang kita ketahui sebagian besar konsumen kita adalah pihak
yang tidak begitu faham akan hukum . Padahal status para pengacara adalah orang yang diberi
kuasa oleh para pihak untuk mewakili mereka di persidangan, dengan demikian mereka juga
adalah bagian dari para pihak yang bersengketa tersebut. Kehadiran pihak yang diberi kuasa
ataupun pengacara di satu sisi dipandang hanya akan menguntungkan pelaku usaha dan me-
miliki motif-motif ekonomis untuk membuat perkara menjadi lebih rumit. Sementara di sisi lain
dipandang akan merugikan kedudukan konsumen yang lemah. p

$*p

Membuat suatu yang baru atau memperbaharui suatu Undang-undang tidaklah mudah seperti
membalikkan telapak tangan karena membutuhkan banyak waktu dan biaya. Di sisi lain, banyak
kasus-kasus persengketaan antara pelaku usaha dan konsumen yang perlu segera diselesai-
kan oleh BPSK. Oleh karena itu diperlukan langkah yang cepat berupa politik hukum untuk
menerapkan hukum perlindungan konsumen secara utuh agar lebih efektif. Penerapan hukum
ini dilakukan dengan dua tahapan penting, yaitu penjatuhan sanksi yang lazim disebut tahap
aplikatif atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan putusan yang disebut tahap administnatif atau
tahap eksekutif. p

Dalam tahap aplikatif, realitasnya saat ini BPSK sangat membutuhkan dukungan sumberdaya
manusia yang profesional dan sumber dana yang operationable. BPSK juga tidak semata-mata
digunakan represif, sebagai pengadilan konsumen, tetapi juga menjalankan fungsi preventif de-
ngan menjalankan pengawasan, penelitian, dan upaya konsultatif. Yang perlu dioingat
sesungguhnya keberadaan Majelis BPSK sesungguhnya bukanlah untuk memutuskan penkara-
nya tetapi menyelesaikan sengketanya.p

Karena itu untuk mencegah purbasangka yang tidak semestinya tentang eksistensi dan
prospek BPSK sebagai lembaga penyelesai sengketa konsumen di Indonnesia, marilah kita
berwacana dan bersumber pada keterbukaan, mengalir pada lembah keakraban dan bermuara
pada pantai keterpaduan sikap mencari solusi demi kesejahteraan masyarakat bangsa dan
negara yang kita cintai ini. p
Atau dengan kata lain untuk tidak cepat-cepat berfikir negatif tentang keberadaan dan
kiprah BPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diharapkan kita berfikir positif, tidak
terjebak pada sikap skeptis yang pada akhirnya tidak menerima segala sesuatu yang telah
dilakukan oleh BPSK meskipun sesungguhnya benar. p

Sebenarnya penilaian negatif kepada Lembaga BPSK muncul karena kurangnya


keterbukaan dan keakraban diantara pencari keadilan baik itu konsumen maupun pelaku
usaha, ditambah lagi aparat penyelesai yakni majelis dalam BPSK yang tidak pernah berpihak
kepada kebenaran dan rasa keadilan masyarakat (konsumen).p

Dalam hal sengketa konsumen yang dapat diselesaikan oleh BPSK, UUPK sudah
membatasi sengketa konsumen yang menjadi kewenangan BPSK yaitu jika ada sengketa yang
terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha dikarenakan adanya tuntutan oleh konsumen
berupa ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita kerugian akibat
mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.p

Hal ini sebenarnya sudah sangat jelas bagi BPSK siapa yang harus diperhatikan dalam
penyelesaian sengketa di lembaga tersebut, karena lahirnya sengketa berdasarkan
pemahaman ini disebabkan adanya keluhan yang disampaikan konsumen yang sudah
dipastikan merugikannya walaupun tetap tidak mengabaikan proses pembuktian yang berlaku
untuk mencari kebenaran dan keadilan dalam menyelesaikan permasalahan atau sengketa
tersebut.p

)"p

$p

Abdulkadir Muhammad, 1982,  ukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandungp

Ahmad Miru & Sutarman Yodo, 2004,  ukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakartap

AZ. Nasution, Konsumen dan  ukum, Pustaka Sinar harapan, Jakartap

Gunawan Widjaja, 2001,  ukum Arbitrase, Jakarta, Raja Grafindo Persadap

Hadimulyo, 1997, ³Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar


Peradilan´, ‘lsam, Jakarta.p
´´´´´´´´´´´& Ahmad Yani, 2001, Seri  ukum Bisnis:  ukum Arbitrase, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta,p

M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandungp

Priyatna Abdurrasyid, 2000, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, PT.
Fikahati Aneska, Jakartap

Rachmadi Usman, 2002,  ukum Arbitrase Nasional, PT. Grasindo, Jakarta.p

Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000, Pokok-Pokok  ukum ‘konomi dan Bisnis, Citra Aditya
Bhakti, Bandungp

Shidarta, 2000,  ukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakartap

$+",,"p

As¶ad Nugroho, ³BPSK Darah Segar Perlindungan Konsumen´, Buletin Rambu Konsumen,
Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ)-PIRAC, Jakarta. Edisi pertama, tahun 1, November
2003p

R. F saragih, ³Fungsionalisasi ADR dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup´, èurnal


 ukum UII, Nomor 13, Vol: 77, 2000, p

Somi Awan, ³Langkah politik Membangun BPSK´, Buletin Rambu Konsumen, Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ)-PIRAC, Jakarta, Edisi kedua, tahun, 1, Januari, 2004,p

X$""-*""p

Kitab Undang-undang Hukum Perdatap

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumenp

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakimanp

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS)p

Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK p

Abdulkadir Muhammad, 1982,  ukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, hlm 16p

Pasal 1 ayat (8) Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK p

AZ. Nasution, Konsumen dan  ukum, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 1995, hlm. 178.p

Shidarta, 2000,  ukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 135.p
Pasal 1233 jo. Pasal 1234 KUH Perdatap

Pasal 2, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakimanp

Abdulkadir Muhammad, Ôp. Cit, hlm. 26.p

Pasal 48 UUPK, berbunyi, ³Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan
tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45´.p

Bandingkan Ahmad Miru & Sutarman Yodo, dalam  ukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 231., dikatakan, ³Pasal 45 ayat (2) dan penjelasannya sangat rancu, karena
penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sebenarnya tidak berdasarkan pilihan sukarela
para pihak, tetapi berdasarkan pilihan konsumen, kecuali kalau penyelesaian sengketa diluar pengadilan dilakukan
oleh lembaga lain diluar BPSK, barulah kesepakatan para pihak yang dimaksud dapat terjadi, itupun seharusnya
dijelaskan kemungkinannya berdasarkan Pasal 45 ayat (1) karena pasal ini tidak memberikan kemungkinan bagi
pelaku usaha untuk menolak pilihan konsumen´. p

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, PT. Fikahati Aneska,
Jakarta, 2000, hlm.11, menyebutkan, ³Alternative Disputes Resolution (ADR), atau Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)´.p

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hlm.186.p

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Ôp. Citp

As¶ad Nugroho, ³BPSK Darah Segar Perlindungan Konsumen´, Buletin Rambu Konsumen, Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ)-PIRAC, Jakarta. Edisi pertama, tahun 1, November 2003, hlm. 1p

Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok  ukum ‘konomi dan Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000,
hlm. 116p

R. F saragih, ³Fungsionalisasi ADR dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup´, èurnal  ukum UII,
Nomor 13, Vol: 77, 2000, hlm. 140p

Hadimulyo, ³Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan´, ‘lsam,
Jakarta, 1997, hlm.2p

Gunawan Widjaja,  ukum Arbitrase, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 27.p

Sanusi Bintang dan Dahlan, Loc. Citp

Pasal 4 jo. Pasal 2, Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Ôp. Citp

Shidarta, Op.Cit, hlm. 143.p

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri  ukum Bisnis:  ukum Arbitrase, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2001, h.35. dikatakan, ³bahwa Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang
eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahkan tidak dapat kita temui satu ketentuanpun dalam Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga
alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 Penjelasan
Umum Undang-undang tersebut´.p

Pasal 28 jo. Pasal 29 Keputusan Menperindag, Op.Cit. p


Runtung Sitepu, Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution), Diktat Kuliah, Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004, hlm. 54., dikutip dari: Huala Adolf, 1994, hlm. 186. p

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Ôp. Cit, hlm.35. dikatakan, ³pengaturan mengenai mediasi dapat
ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. ketentuan
mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari
gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2)´p

Pasal 30 jo. Pasal 31 Keputusan Menperindag Ôp. Cit p

Runtung Sitepu, op.cit, h. 34., dikutip dari: Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h.23.p

Bandingkan Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit, hlm. 34. dikatakan, ³Mediasi merupakan suatu proses damai
dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang
mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa
membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang
bersengketa secara sukarela dan beritikad baik´.p

Rachmadi Usman,  ukum Arbitrase Nasional, PT. Grasindo, Jakarta, 2002, h.1. dinyatakan, ³kata arbitrase
berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), Schiedspruch (Jerman), dan arbitrage
(Perancis) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter
atau wasit´.p

Bandingkan pengertian arbitrase menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa: ³arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa´.p

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.Cit, h. 166, dinyatakan, ³pengaturan mengenai pembatalan putusan
arbitrase ini diatur tersendiri oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS dalam satu bab
khusus yaitu Bab VII yang terdiri dari 3 pasal, yaitu Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72.p

Somi Awan, ³Langkah politik Membangun BPSK´, Buletin Rambu Konsumen, Lembaga Konsumen Jakarta
(LKJ)-PIRAC, Jakarta, Edisi kedua, tahun, 1, Januari, 2004, hlm. 1p

Shidarta, Ôp. Cit, hlm. 143p

Putusan majelis BPSK yang dimintakan eksekusi melalui pengadilan negeri dimaksud adalah putusan
majelis BPSK yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu putusan yang telah melampaui batas waktu untuk
diajukan keberatan ke pengadilan negeri, yaitu masa paling lambat 14 hari kerja, sehingga putusan tersebut sudah
bersifat final dan mengikat.p

Anda mungkin juga menyukai