Anda di halaman 1dari 4

Hukum di Internet: Mau ke mana ?

    "Mahasiswa Tertangkap di Semarang: Pembobolan Kartu Kredit Makin Marak".


(Viva Viva Indonesian Carder !!  GOD bless you my friend !!!) Membaca judul
artikel pada salah satu surat kabar di Indonesia tersebut, mungkin membuat sebagian
user langsung ketar-ketir alias cemas. Tidak sedikit memang di antara kita yang sudah
sering memanfaatkan media elektronik, terutama Internet untuk kepentingan transaksi
perniagaan yang kerap disebut e-commerce ini.

   Sejak pertama kali dikembangkan, hingga saat ini, teknologi internet telah menjadi
media teknologi yang memberikan dampak perubahan yang cukup fenomenal kepada
masyarakat. Dengan teknologi ini kita diberikan kemudahan dalam hal
berkomunikasi, memperoleh informasi, atau bahkan bertransaksi.

   Internet yang menggunakan akses melalui jaringan publik (public network) jelas
memiliki keuntungan yang cukup menarik. Diantaranya adalah mudah, murah, cepat,
dan bersifat global tak terbatas pada ruang, tempat, dan waktu. Bandingkan dengan
jaringan privat yang jauh lebih mahal.

   Sejalan dengan keunggulannya, teknologi Internet juga memiliki kelemahan.


Diantaranya adalah tingkat kerawanannya yang tinggi. Inilah konsekuensi dari
penggunaan jaringan publik yang digunakan beramai - ramai untuk keperluan akses
internet. Ini jelas mengundang tingkat kerawanan dan beresiko tinggi bagi keamanan.

IMPLIKASI HUKUM.

   Internet, dunia maya, cyberspace, atau apalah sebutannya memang jelas telah
mengubah pola kehidupan manusia. Rasanya tidak perlu membuat satu uraian yang
panjang lebar untuk membuktikan dan menjelaskan hal ini. Sebab memang telah
banyak cerita, artikel, atau uraian yang secara gamblang menceritakan `kedahsyatan`
teknologi ini. Hampir sebagian besar sisi kehidupan manusia telah tersentuh oleh
teknologi yang satu ini. Mulai dari urusan bisnis penting di kantor, tugas - tugas yang
memusingkan di sekolah, sampai hal - hal yang sangat intim seperti urusan di ranjang.
Seluruh aktivitas ini memang tidak membutuhkan kontak fisik secara langsung dan
tampaknya dilakukan hanya melalui medium perantara `perangkat komputer`. Akan
tetapi sesungguhnya di sini terjadi interaksi antarindividu, yaitu antarsesama
pengguna ruang publik tersebut. Interaksi tersebut telah menciptakan satu lingkungan
masyarakat (cyber society) yang sebenarnya tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia.
   Seperti layaknya dalam kehidupan nyata, kehidupan virtual ini bukan berarti
berjalan tanpa hukum. Seperti bunyi adagium Latin : Ubi Societas Ibi lus, di mana ada
masyarakat (manusia) disitu ada hukum. Seluruh aktivitas kita sebagai netizen atau
netter tetap memiliki implikasi hukum dan harus tunduk pada suatu sistem hukum.

   Transaksi di ruang cyber mungkin mencemaskan karena adanya potensi tindak


kejahatan yang mungkin timbul dari transaksi tersebut. Pembobolan kartu kredit yang
kian marak merupakan satu bukti nyata yang terkait dengan aspek Hukum Pidana
(Criminal Law). Ini hanyalah salah satu kasus yang muncul dari suatu aktivitas di
Internet. Beberapa aspek hukum lain yang terkait misalnya Hukum Perikatan
(Perjanjian), Hukum Kontrak Perdagangan Internasional, Hukum Perlindungan
Konsumen, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Hukum Pembuktian, dan
lain - lain.

   Perkembangan teknologi internet tidak hanya membuat para pakar komputer


memutar otak untuk terus berkreasi dan berinovasi. Tetapi juga membuat para ahli
hukum ikut memikirkan persoalan ini secara lebih jauh. Contohnya dalam hal
perdagangan (perniagaan) lewat internet yang lebih dikenal dengan e-commerce.
Aktivitas ini sebenarnya menurut beberapa ahli hukum tidak menimbulkan substansi
baru dari segi hukum. Akan tetapi persoalan yang muncul lebih terfokus pada cara
atau mekanisme transaksi itu sendiri.

   Kita bisa melihat ilustrasi berikut: Pada setiap transaksi, lazimnya suatu kesepakatan
dilakukan secara tertulis (paper based) dan sah bila sudah ditandatangani oleh pihak -
pihak yang terkait. Tetapi tidak demikian halnya dengan transaksi di internet.
Persoalan semacam ini membutuhkan kerjasama yang erat antara praktisi TI dan
praktisi hukum. Pada akhirnya dapat ditemukan pemecahannya, apakah cukup dengan
memperkenalkan mekanisme electronic (digital) signature atau masih diperlukan cara
lain lagi.

   Masalah lainnya adalah soal perlindungan konsumen. Misalnya, bagaimana bila


barang yang dikirim tidak sesuai dengan penawaran atau sejauh mana
pertanggungjawaban penyedia jasa atas setiap layanannya. Pada masalah
perlindungan HAKI, munculnya situs - situs yang memungkinkan pertukaran file - file
musik seperti Napster.com juga memunculkan suatu persoalan baru. Tuntutan yang
diajukan grup musik Metallica dalam kasus `Napster.com versus Metallica` dan kasus
lainnya, paling tidak bisa menggambarkan keruwetan dalam hal jaminan perlindungan
dan kepastian hukum di bidang HAKI.

CYBER LAW. Perkembangan pesat teknologi informasi yang tumbuh saat ini
menimbulkan implikasi yang sangat luas pada bidang hukum. Namun, apabila
perkembangan TI tumbuh begitu pesat, tidak demikian halnya dengan bidang hukum.
Merumuskan ketentuan hukum untuk satu bidang yang selalu berubah begitu cepat,
sungguh bukan persoalan mudah. Terkadang hukum jadi terkesan kuno manakala
mengatur bidang - bidang yang mengalami pertumbuhan pesat. Sehingga seolah
timbullah kekosongan hukum.

   Sampai disini, netter yang gemar bertransaksi memakai kartu kredit lewat media
online bisa jadi tambah ketar-ketir. Seperti apakah perlindungan hukum yang
diberikan kepada pengguna media online ?  Apakah memang tidak ada hukum yang
dapat mengatur aktivitas ini sehingga tidak ada jaminan kepastian hukum ?  Bukankah
yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan saja masih bisa bebas berkeliaran ? 
Apalagi yang belum memiliki dasar hukum yang jelas seperti aktivitas di dunia cyber.

   Faktanya, memang saat ini di Indonesia belum ada Undang - Undang (UU) atau
peraturan yang khusus mengatur aktivitas di dunia cyber. Belum ada pengaturan
semacam cyberlaw atau Hukum Telekomunikasi dan Informatika (Telematika).
Realita ini terasa semakin pahit bila kita bandingkan dengan Amerika Serikat yang
telah memiliki `Uniform Computer Information Transactions Act` dan `Uniform
Electronic Transaction Act`. Demikian pula Belanda yang telah memiliki `de Code of
Conduct Voor Electronisch Zakendoen`. Bahkan negeri tetangga, Singapura telah
memiliki `Electronic Transaction Act` dan `The National Computer Board Act`.

UU TELEMATIKA. Ketiadaan hukum yang mengatur aktivitas di Internet tersebut


tetap tidak bisa menjadi alasan pembenaran bagia siapapun yang melakukan tindak
kejahatan. Meski terjadi kekosongan hukum, suatu usaha interpretasi peraturan
perundang - undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha analogi terhadap
hukum positif yang ada, bisa diterapkan pada setiap kasus yang berkaitan dengan
aktivitas di Internet.

   Di sisi lain, para penegak hukum dan hakim harus berani menegakkan hukum dan
keadilan. Terutama manakala terjadi sengketa atau perselisihan yang timbul akibat
aktivitas di Internet, walaupun perangkat legislatif khusus di bidang itu belum ada.
Perkembangan hukum melalui putusan - putusan hakim inilah yang sebenarnya
merupakan salah satu faktor penting demi tegaknya supremasi hukum.

   Satu hal yang terpenting adalah perlunya perhatian pemerintah (eksekutif) dan
legislatif untuk segera membuat undang - undang (UU) atau peraturan yang khusus
mengatur tentang hal ini. Adanya UU Telematika yang khusus mengatur tentang hal
ini akan menjadi satu modal penting bagi bangsa kita untuk siap memasuki millenium
ke tiga dan siap bersaing di era persaingan bebas (pasar global) di masa mendatang.
Masyarakat informasi dan bisnis Indonesia melihat ini sebagai suatu kepentingan yang
sangat mendesak. (cyberlaw@kompascyber.com , pc40)

Anda mungkin juga menyukai