O l e h:
Prof. Dr. H. Mukhtar, MPd.
Rektor IAIN Sulthan Thaha Saifudin Jambi
DEPARTEMEN AGAMA RI
STAIN, IAIN DAN UIN INDONESIA
TAHUN
2007
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul ................................................................... 1
Daftar Isi ............................................................................. 2
A. Dasar Pemikiran PGMI .................................................. 3
B. Dasar Hukum PGMI ....................................................... 15
C. Selayang Pandang Kurikulum Nasional dan PGMI ....... 17
D. PGMI dalam Sistem Pendidikan Nasional ..................... 30
E. Kompetensi Dosen PGMI .............................................. 41
F. Kompetensi Sarjana PGMI ............................................. 46
G. Standar Sarjana PGMI PTAI ......................................... 48
H. Kurikulum PGMI ............................................................. 51
I. Penutup ........................................................................... 67
DAFTAR BACAAN ............................................................. 69
2
A. DASAR PEMIKIRAN PGMI
Perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan (centre of excellence)
diharapkan mampu menggali dan menumbuhkembangkan, sekaligus
menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada peserta didik (mahasiswa). Hal ini
merupakan sebuah tanggung jawab ilmiah dan akademik. Upaya ini harus
diorientasikan atas kepentingan peserta didik dan masyarakat pengguna jasa
pendidikan (stakeholder).
Dalam konteks era global, pendidikan mau tidak mau akan memasuki
globalisasi pendidikan, dengan globalisasi ini, menuntut perguruan tinggi untuk
lebih terbuka dan transparan serta melakukan daya banding dan daya saing
(benchmark) di tengah lingkungannya, baik dalam skala lokal maupun global.
Antisipasi ke arah ini, telah dituangkan dalam PP. No. 19 tahun 2005, secara tegas
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang ditetapkan, pada dasarnya
memacu praktisi pendidikan, pengelola pendidikan, para dosen, guru dan
masyarakat untuk lebih serius membenahi pendidikan. Persoalannya, di tengah
tuntutan pada era globalisasi pendidikan, justru kita tengah menghadapi kesulitan
dalam mendesain kurikulum pendidikan, pemenuhan sumber belajar, SDM dan
kompetensi Dosen, mutu output/outcome pendidikan, pembiayaan pendidikan,
lemahnya sistem rekrutmen, bahkan SDM pimpinan. Kenyataan ini semua, turut
mempersulit lembaga PTAI se-Indonesia untuk melakukan inovasi kurikulum,
pembaharuan dan pengembangan menjadi perguruan tinggi yang berkeunggulan
berbasis stakeholder.
Upaya untuk mewujudkan perguruan tinggi yang demikian, sebenarnya
menuntut keterlibatan semua pihak, termasuk sarana dan fasilitas lembaga yang
ada. Bagaimanapun baiknya mutu raw input (mutu mahasiswa yang masuk), dosen
yang profesional dan berprestasi, sarana dan fasilitas yang menunjang pengajaran
yang baik, akan tetapi tidak didukung oleh masyarakat, maka tidak akan banyak
memberikan andil dalam mewujudkan perguruan tinggi yang berkeunggulan.
Rendahnya mutu lulusan, lemahnya kebijakan di bidang pendidikan, kurang
memadainya sarana dan prasarana pembelajaran, sampai kepada rendahnya
jenjang pendidikan guru dipandang ikut memperlemah kompetensi dan
profesionalitas pelayanan pendidikan. Kelemahan ini menunjukkan kegagalan
pendidikan dalam melahirkan sarjana di perguruan tinggi, dan hal ini berarti
3
kegagalan perguruan tinggi dalam menyiapkan kebutuhan pasar bagi output
pendidikan. Padahal seharusnya mesti ada sinergisitas antara perguruan tinggi
dengan ”
pasar”
dalam menyerap tenaga kerja.
Belum lagi perguruan tinggi dihadapkan pada perkembangan masyarakat
yang semakin cerdas, baik karena hasil dari produk pendidikan maupun karena era
keterbukaan dengan akses teknologi yang semakin mudah. Karena itulah dalam
menyiasati keberadaan guru khususnya guru MI/SD perlu dilakukan
pengembangan melalui program PGMI.
Dalam kaitan dengan guru, Syafruddin Nurdin (2002), menyatakan bahwa
profesi (jabatan) guru telah cukup lama ada di negara kita tercinta ini, meskipun
hakikat, fungsi, latar tugas, dan kedudukan sosiologisnya telah banyak mengalami
perubahan. Bahkan ada yang secara lugas mengatakan bahwa sosok guru telah
berubah dari tokoh yang digugu dan ditiru, dipercaya dan dijadikan panutan,
diteladani, agaknya menurun dari tradisi latar padepokan menjadi oknum wagu kan
luru, kurang pantas dan kurus, di tengah-tengah pelbagai bidang pekerjaan dalam
masyarakat yang semakin terspesialisasikan.
Jika di lihat dari sisi profesi, maka menurut Lester R. Bittel (1985), guru
profesional adalah guru yang pekerjaannya memerlukan pelatihan dan
pengalaman khusus yang lebih tinggi, tanggung jawab yang sah secara hukum
seperti lisensi untuk melakukan pekerjaan dan menentukan prestasi etika standar.
Seorang guru profesional akan memiliki standar tersendiri terhadap kemajuan
profesinya. Karenanya, pekerjaan guru mengharuskan dan meyakinkan bahwa
mereka lebih layak memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan status/prestise
yang terhormat. Pada hakekatnya, Guru profesional menempatkan nilai yang
kurang terhadap gaji dibandingkan dengan kepuasan hasil pekerjaannya. Namun
demikian, gaji atau upah merupakan ukuran bagi level profesionalitas yang ia miliki.
Menurut George Strauss (1972), Guru sebagai profesional sejati selalu bekerja
keras, mereka mendorong diri sendiri, dan tidak bisa beristirahat sejenak manakala
pekerjaannya belum tuntas. Pekerjaan dalam bidangnya merupakan suatu proses
melakukan perubahan sebagai pengetahuan baru yang ditemukan. Karenanya,
pada seorang guru profesional tidak pernah ada istilah berhenti belajar. Inovasi dan
pengembangan pengetahuan sebagai pengaruh positif dari motivasi belajar guru
seperti ini dapat meningkatkan kualitas transfer pengetahuan (transfer of
knowledge) bagi peserta didik. Selama ini, kelihatannya secara umum profesi guru
4
dalam sejarah perkembangannya, sedikit banyaknya telah mengalami pergeseran
nilai, serta makna di tengah masyarakat.
Pada awalnya, profesi guru dianggap sebagai pekerjaan yang terhormat dan
mulia, karena dengan profesi ini, peserta didik dapat memperoleh sejumlah
pengetahuan, di samping memperoleh didikan moral (akhlak) serta dapat
menumbuhkan gairah serta motivasi untuk bekerja (berbuat). Saat ini, nilai-nilai
penghormatan masyarakat di samping peserta didik terhadap gurunya semakin
luntur. Pergeseran ini disebabkan adanya apresiasi serta pandangan yang berubah
dari masyarakat. Di antara pergeseran nilai yang terjadi selama ini secara filosofis,
guru dipandang lemah dalam menanamkan serta mengembangkan nilai-nilai
moralitas (akhlak) kepada peserta didik, di samping rendahnya pengakuan
terhadap profesi guru yang antara lain diindikasikan oleh rendahnya penghargaan
(reward), sehingga tidak jarang lembaga pendidikan diharapkan mampu mencetak
generasi yang qur’
ani, justru yang muncul adalah generasi yang keras, biadab, dan
cenderung bertindak secara tidak manusiawi, sedangkan pergeseran makna
diindikasikan oleh adanya pilihan bahwa profesi guru cenderung dinilai kurang
terhormat dan bergengsi secara ekonomis, karena penghidupan serta profesi guru
kurang memberikan masa depan yang lebih prospek dan memadai.
Sebagai konsekuensinya, kepribadian peserta didik menjadi rapuh, kurang
terbina dengan baik, di mana-mana orang tua dan masyarakat selalu dirisaukan
oleh munculnya gejala kenakalan remaja pada masa usia sekolah.
Dalam konteks ini, maka dampak globalisasi pada adanya kecenderungan
rusaknya nilai-nilai moral (akhlak) anak bangsa, diperlukan adanya perlindungan
atau proteksi (protection) terhadap dampak globalisasi di bidang moral, flight SDM,
hilangnya akar budaya masyarakat setempat (lokal) meskipun pengaruh globalisasi
sangat gencar dan cenderung lebih modern. Dengan kata lain, diperlukan adanya
kemandirian SDM bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Untuk tujuan ke arah ini, maka tidak ada pilihan lain kecuali mereposisikan
kembali peran guru dalam pembangunan sumber daya manusia. Artinya, di satu
sisi daerah harus menganggap penting bahwa pembangunan sumber daya
manusia yang tangguh dan bermoral hanya dapat dibangun melalui tersedianya
guru yang berkualitas dan memadai di daerah, dan di sisi lain guru yang ada dan
diangkat oleh daerah harus pula memahami bahwa sumbangan pemikiran,
keilmuan dan moral yang diberikan akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.
5
Karena itu, guru harus mampu menempatkan diri sebagai sosok yang patut
dicontoh dan ditiru utamanya bagi para peserta didik dan masyarakatnya.
Keberadaan guru hari ini patut diakui ternyata masih dihadapkan pada
realitas yang tidak berimbang. Di satu sisi, guru memiliki tugas serta beban yang
sangat berat dalam kerangka mencetak anak shaleh, sementara di sisi lain, guru
belum mendapat reward yang sepadan dengan tugasnya, bahkan profesi yang
disandangnya cenderung dinilai sebagai profesi kelas dua, hal ini terbukti dari
masih kurangnya apresiasi terhadap profesi tersebut secara memadai.
Bahkan yang tidak kalah menariknya, tingginya tingkat kebutuhan terhadap
guru di daerah ternyata kurang diimbangi dengan peluang kerja (penerimaan
tenaga guru). Pada sisi lain ternyata guru kita hari ini juga ternyata belum diimbangi
dengan sejumlah kompetensi dan profesionalitas, sehingga harapan untuk
mewujudkan anak shaleh sebagai output pendidikan rasanya jauh dari harapan
belum lagi jika harapan ini dihadapkan pada gencarnya arus destruktif yang
dihadapi oleh peserta didik tersebut.
Bahkan ironisnya guru kita sampai hari ini juga kurang kompetitif bila
dihadapkan dengan profesi lainnya dalam pasaran kerja dan rekayasa sosial dan
pekerjaan. Pada sisi tertentu kultur guru kita juga memiliki sikap yang kurang
adaptif (tidak mampu beradaptasi secara lebih luas sehingga mampu memberikan
warna dalam kehidupan).
Percepatan pembangunan dalam tataran nasional. lokal atau daerah hanya
dapat dilakukan apabila didukung oleh tersedianya sumber daya manusia (SDM)
yang memadai baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Medium yang paling tepat
dalam mencetak SDM adalah tersedianya guru secara memadai. Karena itulah
dalam kerangka pembangunan tersebut, posisi guru sangat penting utamanya
dalam menghadapi kemungkinan tumbuhnya arus globalisasi yang sedemikian
cepat, transparan, dan cenderung bersifat destruktif.
Pengaruh serta ketergantungan kita dengan dunia yang mengglobal tidak
dapat dielakkan, karena memang kita berada dalam bingkai masyarakat global.
Karena itu, yang perlu dilakukan adalah kemampuan untuk berkompetisi dalam
berbagai bidang termasuk di bidang pendidikan, bahkan diperlukan penguatan
budaya lokal dengan membangun struktur guru yang mengakar di tengah
masyarakat, sehingga budaya global dapat dibendung.
Pada posisi ini peran guru menjadi sangat strategis manakala dihadapkan
pada pola kehidupan yang bersifat antropocentris yang mengklaim dunia menjadi
6
serba aku, serba bebas dengan gaya dan cara sendiri, serta sikap masa bodoh
dengan orang lain.
Nana (1989) menyatakan, kehadiran guru dalam proses pembelajaran atau
pengajaran masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses
pengajaran ini belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun
oleh komputer yang paling modern sekalipun, masih terlalu banyak unsur-unsur
manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain
yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran tidak dapat dicapai
melalui alat-alat dan teknologi yang canggih.
Karena itu, guru merupakan posisi kunci dalam membekali peserta didik
dengan sejumlah kompetensi. Menurut Stiggin (1994), Profesionalitas guru yang
ditandai dengan efektivitas kinerja seorang guru yang berprestasi dalam mengajar,
akan mengantarkan peserta didik pada upaya pembekalan kompetensi dasar yang
harus dimiliki pada masing-masing tingkatan.
Karena itu, dengan hadirnya Program PGMI menjanjikan harapan yang
besar bagi peningkatan peran pendidikan khususnya bagi guru madrasah
Ibtidaiyah. Melalui program PGMI ini, maka desain dan format pendidikan dibangun
melalui rekonstruksi kurikulum yang meliputi bangunan filosofi kurikulum, desain
kurikulum, uji kelayakan, dan pembentukan silabus PGMI yang mengarah pada
kompetensi tamatan, kompetensi rumpun (hasil belajar, kompetensi PTAI) dan
kompetensi mata pelajaran.
Hadirnya Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) secara
institusional ini, paling tidak telah memberikan ruang gerak, arah, kebijakan serta
strategi dalam kerangka menyiapkan kompetensi keguruan kepada calon guru agar
menjadi ahli dan profesional secara akademik, serta memiliki sejumlah
pengetahuan keguruan yang menjadi modal dasar untuk menjadi tenaga pendidik
yang layak, kompeten, serta terikat dengan sejumlah kode etik keguruan pada
tingkatan madrasah Ibtidaiyah. Program PGMI ini menjanjikan sejumlah harapan
kepada calon guru MI dengan bekal legalitas sarjana sebagai tenaga pengajar
pada MI dengan sertifikasi untuk mengajar di MI.
Program PGMI yang diselenggarakan akan memberikan sejumlah
kematangan bagi seorang sarjana agar memiliki karakteristik dan profil sebagai
tenaga pendidik sesuai dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki pada jenjang
pendidikan yang dilalui.
7
Penyelenggaraan program PGMI, menjanjikan harapan yang besar bagi
output pendidikan ke depan. Entry point kurikulum PGMI ini bertumpu pada dua
hal, yaitu legal dan performance kompetences. Legal kompetence diarahkan
peserta didik (calon guru MI) kepada kepantasan dan kelayakan seorang sarjana
yang siap untuk mengajar, mendidik dan melatih serta membimbing siswa, dengan
kata lain siap menjadi guru MI yang ditandai dengan adanya sertifikasi ijazah yang
dimiliki. Dengan sertifikasi ini, diharapkan menjadi bukti kualifikasi keilmuan dan
kompetensi, sehingga benar-benar dapat memperlihatkan sosok guru yang
diperlukan sesuai bidangnya.
Sedangkan performance kompetetence diarahkan pada layaknya seorang
sarjana menjadi guru MI, didasarkan atas kepemilikan seperangkat kecakapan,
kemampuan serta profesionalitas. Seorang yang profesional, ia ahli dalam ilmu dan
terampil dalam berbuat (basthatan fil ’
ilmi wal jism). Dengan seperangkat
performance itulah dia berhak menyandang profesi guru MI.
Atas dasar pemikiran ini, maka PGMI dirasakan sangat penting dan
strategis. Dikatakan penting, karena melalui PGMI dapat dijadikan awal dan
kesempatan bagi penyiapan guru yang profesional dan ahli pada tingkatan MI serta
dapat melahirkan lulusan MI dengan SDM yang baik pada tingkatan lokal dan
nasional. Penyiapan SDM lulusan PGMI yang baik ini, diharapkan pada akhirnya
akan memberikan konribusi positif bagi percepatan pembangunan nasional.
Karena itulah, melalui program PGMI ini, paling tidak sasaran PGMI
seharusnya diarahkan pada pencapaian sasaran, yaitu:
1) Memberi sejumlah kompetensi keguruan pada guru MI; Kompetensi yang
dimaksud adalah a) kompetensi pedagogik, b) kompetensi kepribadian, c)
kompetensi sosial, dan d) kompetensi profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi, yakni sebagai guru MI/SDI melalui program PGMI,
2) Mewujudkan kinerja (performance) pembelajaran guru secara optimal melalui
PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); kinerja
demikian diharapkan memberikan penyegaran terhadap proses pembelajaran
(instructional) dengan lebih menekankan pada pembelajaran berbasis siswa
sebagai sasaran (subyek) belajar melalui interaksi pembelajaran,
3) Penguasaan atas materi (content) kurikulum SD/MI dengan baik; yang ditandai
dengan kemampuan untuk menguasai kurikulum berupa komponen institut,
fakultas dan jurusan.
8
4) Memberikan kesempatan kepada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di
daerah secara nasional untuk bersama-sama dan berkompetisi melakukan
percepatan pendidikan dan perbaikan mutu pendidikan guru pada tingkatan
SD/MI di sekolah/madrasah secara nasional, antara lain melalui: Lembaga
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Agama (LPTKA), PGMI, akreditasi, dan
sertifikasi,
5) Menyiapkan calon guru SD/MI yang profesional, yang ditandai dengan
kemampuan teoritis-ilmiah, dan kemampuan aplikatif dengan program magang,
microteaching, PKLT, Kukerta, dan program lain.
6) memenuhi kekurangan guru MI/SD secara nasional; kekurangan ini terjadi
sebagai akibat pertambahan angka usia sekolah (usia SD/MI), maupun karena
faktor-faktor lain seperti pertambahan jumlah penduduk, penyebaran
masyarakat dan pendidikan, pensiun, meninggal, dan sebagainya, sehingga
membutuhkan guru tidak saja secara kualitas tetapi juga kuantitas yang
memadai dan berimbang untuk memenuhi diseminasi pendidikan bagi
kebutuhan guru MI/SDI.
7) Memperkuat kebijakan pemerintah di bidang peningkatan SDM guru melalui
program penghapusan D2/D3 menjadi S1 bagi semua guru pada berbagai
tingkatan dan jenis pendidikan; hal ini dilakukan sebagai komitmen untuk
memperkuat pelayanan dan mutu pendidikan bagi setiap peserta didik,
sehingga tidak ditemukan lagi guru yang mengajar hanya bebekal pendidikan
D2 dan D3 secara nasional.
9
B. DASAR HUKUM PGMI
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan tenaga
pendidik yang profesional dan berkualitas, khususnya pada tingkatan Madrasah
Ibtidaiyah (MI), maka dalam penyelenggarannya, Program Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) haruslah didukung oleh dasar hukum mengenai izin
penyelenggaraan atau operasional pendirian PGMI di perguruan tinggi.
Dalam penyelenggaran tersebut, yang menjadi landasan atau dasar hukum
Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional,
2. Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 60 tahun 1999 tentang
Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
4. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP),
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2007 tentang perubahan
keenam atas Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 10 tahun 2005
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia,
6. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 394 tahun 2003 tentang
Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam,
7. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 156 tahun 2004 tentang
Pedoman Pengawasan, Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma,
Sarjana dan Pascasarjana pada Perguruan Tinggi Agama Islam,
8. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 353 tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Agama Islam,
9. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 387 tahun 2004 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Program Studi pada Perguruan Tinggi
Agama Islam,
10. SK Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor Dj.I/257/2007, tanggal 10 Juli
2007 tentang Izin Penyelenggaraan Program Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah (PGMI) jenjang Strata Satu pada Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI).
10
Dari dasar hukum ini, maka mendesak untuk didirikan dan diselenggarakan
Program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) bagi 62 perguruan tinggi
Agama Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terdapatnya sebahagian
besar guru pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) di daerah di Indonesia yang belum
mengenyam pendidikan Strata Satu (S1).
11
pendidikan yang telah dilaksanakan pada masa kolonial penjajahan di negeri ini.
Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa kita tidak dapat bangkit untuk
membenahi sistem pendidikan persekolahan kita hari ini.
Bagi kita, ada sejumlah agenda pendidikan yang perlu dibenahi dalam
usaha untuk memberikan pendidikan bagi mahasiswa khususnya melalui program
PGMI ini, antara lain, yaitu:
1. Lamanya Waktu Pendidikan, meliputi kuota semester yang memiliki durasi yang
cukup banyak pada setiap semester, waktu tempuh pendidikan pada setiap
jenjang yang relatif lama, kurikulum yang banyak, pelayanan pendidikan yang
bertele-tele dan memakan waktu yang panjang, manajemen yang tidak
customer focused, birokrasi yang tumpang tindih, dan sistem pembiayaan yang
kurang memadai bagi peningkatan kualitas pelayanan pendidikan kepada
peserta didik (mahasiswa).
2. Mendesain pendidikan program PGMI agar mampu memberikan karakteristik
ideal yang menjanjikan, dengan upaya membekali mahasiswa program PGMI
dengan sejumlah kompetensi melalui tawaran kurikulum dan kemampuan
berkompetisi, selain membekali content teoretis juga profesional empiris sesuai
dengan kebutuhan.
Secara nasional, jika dilihat pendidikan di tanah air telah memberikan bukti
nyata akan peran sertanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbarengan
dengan itu, tuntutan reformasi telah merambah ke berbagai tatanan kehidupan
termasuk di dalamnya pendidikan. Selain dari itu, pendidikan telah melahirkan
sejumlah besar lulusan, meskipun tidak sebanding dengan inovasi yang dilakukan
dalam lembaga pendidikan itu sendiri. Akibatnya, pendidikan kita dihadapkan pada
krisis SDM khususnya guru, baik dilihat dari jenjang pendidikan yang dimiliki,
maupun bila dilihat dari sisi kompetensinya.
Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk bagaimana penghapusan status
penyelenggaraan pendidikan melalui jalur D2 dan D3 yang diganti menjadi program
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiah (PGMI). Lahirnya PGMI juga berarti pelunya
didesain format penyelenggaraan PGMI, sebagai penguatan pendidikan yang
diperuntukkan bagi Pendidikan calon guru madrasah Ibtidaiyah, termasuk dalam
hal ini desain kurikulumnya dalam konteks kurikuum nasional. Kebijakan
pendidikan yang dibarengi dengan perubahan kurikulum telah menjadi landasan
epistemologi keilmuan yang dikembangkan oleh PTAI se-Indonesia akan sedikit
berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan selama, hal ini disebabkan karena
12
kurikulum PGMI seharusnya mengintegrasikan kurikulum nasional dan kurikulum
PGMI itu sendiri dengan tawaran sejumlah keunggulan yang dikembangkan.
Nizar (2002) mengatakan, secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa
Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus
ditempuh oleh pelari. Istilah kurkulum ini kemudian berkembang, hingga pada
akhirnya kurikulum dapat dipahami sebagai landasan yang digunakan pendidik
untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan
melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental.
Sedangkan Webster Dictionare (1955), mendefinisikn sebagai: ”
a course,
especially a specified fixed course of study, as in a school or college, as one
leading to a degree”Pada definisi ini terkandung makna bahwa kurikulum
merupakan sejumlah mata pelajaran di madrasah/sekolah atau akademi/college
yang harus ditempuh oleh siswa atau mahasiswa untuk mencapai suatu degree
(tingkat) atau ijazah, bahkan ada yang mendefinisikan bukan hanya terbatas pada
mata pelajaran saja, tetapi meliputi aktivitas dalam rangka mempengaruhi belajar
peserta didik di lembaga pendidikan, bahkan yang tidak kalah pentingnya
kurikulum didesain untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sejarah perkembangan psikologi khususnya psikologi belajar, Langgulung
(2003), mangatakan, bahwa proses pemindahan (transmission) itu tidak mudah,
memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar proses belajar itu bisa berlaku.
Syarat tersebut adalah perangsang (stimulus), adanya gerak balas (response), dan
gerak balas harus diberi peneguhan (reinforcement), ketiganya dapat dibangun
melalui kurikulum yang ditawarkan kepada peserta didik.
Makna lain kurikulum, dikemukakan Djamarah (1995), merupakan perangkat
pembelajaran yang dapat menjadi indikator dalam proses dan menilai
pembelajaran. Belajar terkait dengan mengajar. Belajar mengajar adalah suatu
kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara
guru dengan anak didik. Keberhasilan pembelajaran yang ditawarkan oleh
kurikulum sebenarnya sangat tergantung dari media, strategi serta metode
pembelajaran. Meskipun demikian, desain kurikulum menjadi keharusan dalam
perguruan tinggi, dalam menentukan arah dan tingkat capaian peserta didik dalam
belajar. Tanpa kurikulum yang baik, maka dapat dipastikan akan menyebabkan
peserta didik (mahasiswa) akan menjadi alumni yang tidak berkualitas.
Itulah sebabnya, desain kurikulum haruslah berangkat dari Visi, misi
perguruan tinggi, pengembangan fakultas/jurusan/prodi, aspek potensi peserta
13
didik, aspek pengembangan sikap mental, aspek pengembangan potensi dasar
peserta didik, aspek tagihan belajar, aspek kebutuhan dan lapangan kerja. Apabila
kita melihat realitas kondisi kurikulum pendidikan kita hari ini, maka
mengindikasikan lemahnya pengembangan aspek-aspek utamanya yang
mengarah pada pemenuhan kebutuhan stakeholder.
Dari sisi atau aspek kepemimpinan, perlu dipahami dan dikritisi komponen-
komponen yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, dalam
arti perlunya menggali secara terus-menerus pertanyaan-pertanyaan mendasar
serta berusaha mencari alternatif jawabannya mengenai hal-hal yang terkandung
dalam masing-masing komponen diungkapkan oleh Muhaimin (2003), sebagai
berikut:
1. Komponen dasar; yang meliputi dasar-dasar filosofis, sosiologis, kultural,
psikologis, orientasi, tujuan pendidikan, prinsip-prinip kurikulum yang dianut dan
fungsi kurikulum.
2. Komponen pendidik; yang meliputi kode etik pendidik/dosen, kualifikasinya,
pengembangan tenaga pendidik, seperti pendidikan prajabnas, pre house
training, in service training, on house training, penataran, dan sebagainya
3. Komponen materi; meliputi jenis, ruanglingkup materi, urutan sistematika atau
sekuensinya dan sumber acuannya
4. Komponen penjenjangan; meliputi graded atau non-graded system, tahun
penjenjangan, terminasi, sistem SKS atau paket, dan penjurusan
5. komponen sistem penyampaian (delivery system); meliputi strategi dan
pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas, dan pemanfaatan
media pendidikan
6. sistem evaluasi; meliputi konsep dasar tentang kriteria keberhasilan, sistem
penilaian, macam evaluasinya, masalah tes atau bentuknya,
inspeksi/supervisi/pengawasan.
7. Komponen peserta didik (input); meliputi persyaratan masukan (rekrutmen),
kualitas peserta didik yang diharapkan, kuantitas peserta didik, latar belakang
peserta didik: pendidikan, sosial, budaya, agama, pengalaman hidup, potensi,
minat, bakat, dan inteligensinya.
8. Komponen proses pelaksanaan; meliputi pola belajar mengajarnya: presentasi,
independent study, interaksi (Kemp, 1977); expository approach, inquiry
aproach (Gerlach & Elly, 1971), intensitas dan frekuensinya, interaksi pendidik-
14
peserta didik, dan /atau antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan tatap
muka, pengelolaan kelas dan penciptaan suasana di dalam kelas.
9. Komponen keluaran output (tindak lanjut); meliputi kualitas output atau keluaran
yang berhasil, organisasi alumni sebagai media pendidikan lanjut antara
pendidik dan peserta didik, bimbingan lanjut melalui buletin, reuni, dan
sebagainya.
10. Komponen organisasi kurikulum; meliputi sentralisasi atau desentralisasi, pola
organisasi kurikulum, real curriculum, hidden curriculum, open-ended
curriculum, kegiatan intra/ekstra kurikuler.
11. Komponen bimbingan dan penyuluhan; meliputi strategi pedekatan (tradisional,
developmental, atau neo-tradisional), pengorganisasian, dan proses layanan.
12. Administasi pendidikan, meliputi manajemen kelembagaan, ketenagaan,
hubungan antara orang tua dan masyarakat
13. Komponen sarana dan prasarana; meliputi buku teks, perpustakaan,
laboratorium/studio, perlengkapan kelas, media pendidikan atau pengajaran
dan gedung pendidikan
14. Komponen usaha pengembangan; meliputi adanya evaluasi dan inovai
kurikulum,penelitian, perencanaan pengembangan jangka pendek, menengah,
dan panjang, seminar, diskusi, simposium, lokakarya, penerbitan, kerjasama
dan hubungan luar.
15. Komponen biaya pendidikan; meliputi sumber biaya dan alokasinya,
perencanaan dan pembiayaan pendidikan, sistem pertanggungjawaban
keuangan dan pengawasan.
16. Komponen lingkungan;meliputi suasana kelas, peguruan tinggi, di sekitar
perguruan tinggi, suasana di daerah stempat (lokal), regional, nasional dan
global.
Hingga saat ini, pendidikan nasional telah mengalami beberapa kali
perubahan kurikulum, sebagai bukti kuat adanya keinginan pemerintah untuk
membenahi kualitas dan sistem pendidikan nasional. Inovasi kurikulum memang
menjadi core pendidikan, karena dengan kurikulum yang memadai akan
melahirkan lulusan pendidikan yang baik dan berkualitas. Hanya kita berharap
jangan lagi tiap ganti menteri ganti kebijakan kurikulum. Setiap penggantian
kurikulum, lagi-lagi yang dibebankan adalah orang tua dan masyarakat.
Dalam sejarah pendidikan di tanah air, telah mengalami beberapa kali
perubahan kurikulum, dan yang terakhir adalah, Kurikulum Berbasis Kompetensi
15
(KBK) tahun 2004 yang memberikan penekanan pada proses pendidikan,
kemudian diperkuat lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang memberikan penekanan pada hasil pendidikan (output/outcome).
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan suatu perangkat rencana
dan pengaturan yang antara lain berisi kompetensi dan hasil belajar yang harus
dicapai oleh mahasiswa, strategi pembelajaran dan penilaian secara umum, serta
pemberdayaan sumber daya pendidikan secara optimal.
Jika dilihat dari tawaran KBK tahun 2004, paling tidak didasari oleh
beberapa hal, antara lain:
1. Output dan outcome/lulusan pendidikan belum mengarah pada kompetensial
dan profesional,
2. KBK merupakan perubahan orientasi mutu pendidikan sejalan dengan
semangat reformasi di bidang pendidikan nasional,
3. Menghadapi globalisasi SDM dan franchise pendidikan,
4. Tujuan pendidikan selama ini belum terjawab melalui proses pembelajaran
(instruksional),
5. Beban content kurikulum terlalu banyak dan tidak menggiring peserta didik ke
arah kompetensi lulusan,
6. Minimnya pengalaman lapangan (field experience), peserta didik lebih diperkuat
pada aspek kognitif (makin tinggi pendidikan makin akademistis),
7. evaluasi hanya mengandalkan tes formatif dan sumatif yang hanya menyentuh
aspek kognisi peserta didik (aspek afeksi dan psikomotor terabaikan).
Dilihat dari tawaran KBK tahun 2004 ini, kelihatan bahwa ada beberapa ciri
khas yang menjadi keunggulan KBK ini, antara lain terlihat pada:
1. Adanya penambahan jam belajar dalam kaitan bidang studi kompetensi,
2. Adanya pengurangan isi (content) kurikulum yang tidak mendukung
kompetensi,
3. Menekankan pemberdayaan sumber belajar dan pendidikan,
4. Memfokuskan pada kemahiran berkomunikasi melalui bahasa lisan dan tulisan
dan kemahiran bekomunikasi dengan angka (literasi dan numerasi),
5. Memuat standar kompetensi yang jelas,
6. Menekankan keseimbangan antara pengembangan sikap/perilaku/moral,
kompetensi akademik, keterampilan hidup, seni dan karya,
7. Menyadari pentingnya teknologi informasi dan komunikasi,
16
8. Memberikan contoh-contoh kongkrit bagi tenaga pengajar terutama pada
indikator hasil belajar, serta
9. Memberikan keluwesan yang memadai.
KBK dianggap relevan untuk pengembangan pendidikan saat ini, karena
KBK memiliki fungsi antara lain, 1) menentukan kompetensi dan hasil yang harus
dicapai peserta didik yang meliputi kompetensi lulusan, kompetensi lintas
kurikulum, kompetensi rumpun pelajaran, dan kompetensi dasar mata pelajaran, 2)
menetapkan/penyusunan silabus yang dikembangkan pada tingkat PT atau
daerah.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kompetensi adalah pengetahuan,
keterampilan, sikap/perilaku dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Kompetensi juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat
tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat
untuk dianggap mampu hidup di masyarakat.
Apabila digambarkan maka aspek bangunan tujuan KBK tersebut adalah
sebagai berikut:
Kompetensi Tamatan
Kompetensi Rumpun
18
perkembangan ilmu sosial sangat berbeda dengan perkembangan ilmu alam. Jika
ilmu alam berkembang secara evolusi dan akumulatif, maka ilmu sosial
berkembang secara revolusi dan tidak secara akumulatif. Dalam menjelaskan
perbedaan perkembangan itulah, Kuhn menggunakan konsep paradigma, yaitu
bahwa dalam masa tertentu, ilmu sosial dikuasai oleh suatu paradigma, kemudian
paradigma itu merosot, dan digantikan oleh paradigma baru yang tidak ada
kaitannya dengan paradigma lama yang digantikannya. Itulah sebabnya
perkembangan ilmu sosial, terjadi secara revolusi.
Reformasi dalam pendidikan dan bahkan dalam semua bidang sosial dan
politik, pada dasarnya adalah revolusi dan penjungkirbalikan, yaitu perubahan yang
mendasar, terhadap pokok persoalan nasional dan bidang sosial dan politik.
Tuntutan reformasi yang amat penting adalah demokratisasi, yang dapat
ditanggapi melalui dua segi, yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan
pemerintah daerah (otonomi daerah). Dalam konteks pendidikan, untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu, maka pemerintah (pusat) dan
pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan tenaga pendidik
dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 1-2 dan pasal 44 ayat 1-
3).
Pendidikan Islam sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional di
Indonesia. Rahim (2001) mengatakan, merupakan warisan peradaban Islam dan
sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia
merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam
dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di
berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata
dan mengelolanya, sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam dua
perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian
kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Secara makro, pendidikan Islam di Indonesia bersentuhan dengan sistem
pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan secara mikro,
pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif
sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, menurut
Steenbrink (1999) dalam berbagai bentuk dan coraknya, merupakan upaya
pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai munculnya pesantren,
lembaga pendidikan di Indonesia sebelumnya cenderung bersifat sangat eksklusif.
19
Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat
mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan,
sekolah-sekolah pada mulanya didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum
penjajah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan
kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan
pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka. Hal ini berbeda dengan
pendirian madrasah dan sekolah-sekolah Islam yang sejak mula bersifat terbuka
bagi masyarakat luas..
Uraian di atas, pada dasarnya menjelaskan bahwa eksistensi dan
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi
Islam dengan tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal-pra Islam
telah melahirkan pesantren. Meskipun pandangan ini masih kontroversial, tetapi
pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari proses
akulturasi Islam dalam konteks budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi
pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan
lembaga madrasah, dan ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia
Belanda telah membuahkan lembaga sekolah Islam.
Dalam perjalanan yang panjang tersebut, pendidikan telah memberikan
andil besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas SDM
di tanah air, meskipun sejumlah agenda penting terus dilakukan untuk
menyelaraskan kebutuhan pendidikan yang berkualitas dengan perkembangan
zamannya. Untuk mewujudkan pendidikan ke arah sesuai yang diinginkan,
diperlukan suatu keberanian dan langkah yang kongkrit dalam menyikapi sejumlah
persoalan pendidikan kita selama ini, yang pada prinsipnya sangat membutuhkan
pembenahan sistem dan pembelajaran.
Pembenahan dari sistem dan pembelajaran ini tersebut makin dirasa perlu
untuk ditingkatkan mengingat tantangan masa depan yang jauh lebih kompleks dari
sekarang. Karena itu, pendidikan di madrasah (MI) hendaklah dilakukan secara
terbuka dan dirumuskan secara jelas, agar pendidikan di MI tersebut memberikan
ruang gerak yang elastis, terarah, holistik, dan tidak diskriminatif dalam
memperlakukan setiap anak bangsa menuju proses pendidikan sekolah yang
mandiri, profesional, dan kompetitif.
Untuk itu, ada sejumlah tawaran yang dihadapkan kepada pendidikan di
madrasah (MI) yang perlu disikapi terutama menyangkut sistem dan kinerja
madrasah, antara lain:
20
1. Pendidikan haruslah mampu membebaskan peserta didik dari pengaruh sistem
pendidikan kolonial yang selama ini mengungkung sistem pendidikan kita
menuju kemandirian, sistem pendidikan yang kaku, dan sistem pendidikan
yang diskriminatif.
2. Efisiensi waktu dan usia belajar di sekolah.
3. Mengarahkan pendidikan kepada prediksi masa depan yang lebih baik
(menjanjikan).
4. Mempercepat dan memperjelas arah pencapaian visi, misi, pendidikan.
5. Mewujudkan kebermaknaan pendidikan kepada masa depan yang lebih pasti
bagi peserta didik, orang tua, dan masyarakat secara lebih luas terutama yang
berorientasi kepada lapangan kerja.
6. Memberikan jaminan atas praktek-praktek pendidikan yang tidak manusiawi.
7. Memperlakukan peserta didik secara adil tanpa melihat ras, daerah, kelebihan
dan status sosial.
8. Memberikan komitmen yang kuat atas kesadaran bersama untuk kemajuan
pendidikan.
9. Pendidikan sudah seharusnya menyediakan sarana informasi kepada
masyarakat tentang pendidikan yang ada dan disediakan oleh madrasah.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan
dan praktek pendidikan yang dinilai memberikan proporsi pelayanan, manajemen,
birokrasi, pembiayaan dan sistem yang tidak efektif, yaitu:
a. Pendidikan yang dilaksanakan di madrasah (MI) haruslah dapat dipahami
sebagai investasi,
b. Pendidikan haruslah menjamin hak setiap peserta didik untuk mengenyam
pendidikan,
c. Pendidikan haruslah dapat diorientasikan kepada sifting paradigm,
d. Pendidikan kita harus bersih dari ajang bisnis, dan
e. Pembenahan dualisme keilmuan dan birokrasi.
23
c. Pendidikan Berorientasi kepada Kualitas dan Pemberian Peluang bagi Peserta
Didik
Orientasi pelayanan dan mutu pendidikan sekolah, merupakan dua mata
rantai yang belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Lemahnya
orientasi ini, menyebabkan pendidikan sekolah belum memberikan hasil yang
cukup memuaskan bagi peningkatan tarap dan bekal hidup bagi anak bangsa,
bahkan melek huruf pun masih banyak yang luput dari jangkauan pendidikan
sekolah.
Luputnya, dari jangkauan pendidikan sekolah ini, boleh jadi disebabkan oleh
kondisi ekonomi yang tidak merata, persoalan sikap mental, atau justru disebabkan
persaingan prestise pendidikan sekolah yang didominasi oleh kelas yang berada,
sehingga memperpuruk kesempatan.
Karena itu, pendidikan sekolah bagi anak bangsa ini, harus mampu
membuka jaringan yang lebih luas, baik antar sekolah, maupun daerah untuk
memberikan peluang yang lebih besar kepada setiap anak bangsa agar dapat
menikmati pendidikan, sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa.
Jaringan atau kerjasama bagi pendidikan ini, sangat diperlukan untuk
mengukur tingkat kualitas, distribusi peserta didik, kesempatan, peluang, perluasan
dan pengembangan pelayanan pendidikan di madrasah.
Persaingan yang ketat, juga menuntut madrasah kita untuk melakukan
terobosan dalam menyikapi sejumlah persoalan seperti rekrutmen peserta didik,
pemunculan prestasi, penciptaan image melalui media, seringnya melakukan
kontrol mutu dengan standar tertentu, serta penciptaan jaringan bagi perluasan
kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan madrasah.
25
(S2), memiliki kepribadian menarik, memiliki jiwa keguruan, dan memiliki
kompetensi keguruan. Yakni, kompetensi pedagogis, kompetensi personal,
kompetesi sosial dan kompetensi profesional.
Menurut Ahmad Tafsir (2003), jika dipersoalkan tentang siapakah
sebenarnya yang bertanggung jawab dan paling berkepentingan terhadap
keberhasilan pendidikan anak (peserta didik) dalam mengantisipasi perubahan
masa depan, maka sudah tentu adalah secara khusus adalah sekolah, guru dan
orang tua, akan tetapi secara umum adalah pemerintah.
Patut diakui bahwa guru selama ini telah memberikan kontribusi besar
dalam menanamkan nilai-nilai agama bagi perkembangan pribadi anak, akan tetapi
besarnya tanggung jawab guru tersebut tidak sebanding dengan derasnya arus
globalisasi. Keberhasilan pembangunan khususnya di bidang pendidikan agama
baik berskala nasional maupun lokal akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam
mengelola pendidikan agama. Di mana di dalamnya guru menempati posisi utama
dan penting. Memang harus diakui dan tidak dapat disangkal, selama ini peran
guru diperlakukan kurang taat asas dalam arti dinyatakan sebagai sosok yang
teramat penting dalam tatanan pendidikan,
Selama ini ada anggapan bahwa potensi SDM guru merupakan potensi
yang sulit untuk diaktualisasikan dalam realitas empirik, karena bidang sentuhan
bagi guru adalah mata pelajaran keagamaan, yang tendensinya lebih banyak
mengarah pada nilai-nilai ukhrawi. Bahkan lebih parah lagi, ternyata guru yang ada
tidak mampu memberikan sebuah upaya pencerahan. Potensi SDM guru
sebenarnya sangat luas yang meliputi beberapa kecerdasan seperti kecerdasan
intelektual, emosional, kinestetik, dan adversity.
Di samping itu, potensi guru juga meliputi kemampuan
profesional/kompetensi, serta adanya sejumlah pengetahuan teknologi yakni
kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang tidak kalah
pentingnya dan sekaligus menjadi ciri khas guru adalah dimilikinya akhlak yang
luhur, sehingga diharapkan dengan akhlak yang luhur ini dapat melahirkan anak
shaleh, masyarakat dan bangsa yang shaleh. Dalam kerangka tugas guru, peserta
didik juga dibekali dengan penguatan agama alternatif baik melalui jalur sekolah
maupun luar sekolah.
Dalam konteks profesi sebagai guru di madrasah, Shaleh (2000)
mengatakan, jabatan guru adalah pelaksanaan tugas profesionalisme dan jabatan
tersebut melekat pada orangnya, sehingga di dalam masyarakat seorang guru dan
26
juga seorang guru lembaga agama dimanapun selalu diberi panggilan Pak guru,
Pak Guru Agama atau Pak Ustadz.
Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disapkan untuk itu
dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat atau
tidak memperoleh pekerjaan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang dipersiapkan melalui proses
pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang harus
dipenuhinya, maka semakin tinggi pula derajat profesi yang diembannya. Tinggi
rendahnya pengakuan profesionalisme sangat bergantung kepada keahlian dan
tingkat pendidikan yang ditempuhnya.
Permasalahan pokok dalam jabatan profesi adalah pelaksanaan dan
konsekuensi jabatan tersebut terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Dalam
hubungan itu sekurang-kurangnya terdapat tiga tugas dan tanggung jawab guru,
termasuk guru MI yaitu:
1. Tugas dan tanggung jawab sebagai pengajar,
2. Tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik dan
pembimbing
3. Tugas dan tanggung jawab sebagai administrator kelas.
Ketiga tugas tersebut merupakan tugas pokok profesi guru. Guru sebagai
pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan
melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat
pengetahuan dan keterampilan teknik mengajar, di samping menguasai ilmu atau
bahan pengajaran yang akan diajarkannya.
Sementara itu tugas dan tanggung jawab guru menurut Shaleh (2000)
mengungkapkan bahwa, tugas dan tanggung jawab guru meliputi: 1) upaya
pengembangan kurikulum, 2) tanggung jawab dalam pengembangan profesi, dan
3) tanggung jawab dalam membina hubungan dengan masyarakat.
Strategi penyiapan guru PGMI ke depan dapat dilakukan melalui paling
tidak dua paradigma, yaitu paradigma kelembagaan dan potensi SDM guru.
Secara kelembagaan, lembaga pendidikan agama yang ada selama ini bersifat
konvensional, dan pendidikan yang diselenggarakan bersifat holistik, serta
lulusannya pun memiliki kompetensi yang sama untuk dipersiapkan menjadi guru
pada setiap jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, akibatnya
27
profesionalitas, kompetensi serta kemampuan daya nalar kognitif, afeksi serta
psikomotorik dalam interaksi pembelajaran relatif sama.
Kompetensi, profesionalitas, serta kemampuan daya nalar belum didekati
secara spesifik melalui pendekatan didaktik metodik, pendekatan profesi keguruan,
serta pendekatan integratif melalui seperangkat nilai melalui tawaran kurikulum
yang khas.
28
Setiap lembaga penyelenggara pendidikan nasional hari ini mesti memiliki
standar nasional pendidikn (SNP). Hal ini selain amanat PP No.19/2005, juga
tagihan dari kompetisi SDM lokal, nasional dan Global. Terlebih dengan makin
leluasanya franchise pendidikan yang telah dan akan terus merambah di seantero
nusantara. Disadari atau tidak secara cepat atau lambat akan menggusur kearah
marginalisasi pendidikan nasional.
Setiap lembga pendidikan yang memiliki akuntabilitas, dia harus peka dan
punya standar yang sekaligus sebagai jaminan bagi output dan outcome yang akan
hasilkan. Dengan adanya standar pendidikan, lembaga dan sivitas akademika
serta karyawan akan berpacu mengejar target bagi capaian standar yang telah
ditetapkan. Standar lembaga pendidikan dapat pula diartikan dengan adanya
jaminan lembaga terhadap kualitas pendidikan (quality assurance).
Banyak kasus pendidikan di negara maju maupun di Indonesia
membuktikan, bahwa pendidikan yang memiliki standar mutu justru dikejar dan
diminati oleh masyarakat, walaupun masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih
untuk mendapatkan pendidikan yang outputnya terstandar. Sebaliknya, malah
banyak pendidikan yang murah dan tidak punya standar, maka tidak dilirik oleh
masyarakat, dan pendidikan tersebut melaksanakan pendidikannya hanya sekedar
gugur kewajiban.
Terlepas pendidikan tersebut mahal atau murah, yang jelas masyarakat hari
ini sangat memahami akan pentingnya pendidikan berkualitas. Persoalan
keterjangkauan ekonomi masyarakat sangat relatif, karena cukup banyak peluang
pembiayaan bagi masyarakat yang kurang mampu untuk dapat menikmati
pendidikan pada semua tingkatan hari ini. Pemerintah dan swasta sudah sangat
sungguh memberikan kepedulian bagi biaya pendidikan, utamanya melalui peluang
bea siswa, belum lagi bantuan langsung maupun tidak langsung kepada
masyarakat pendidikan dan masyarakat umumnya.
Berdasarkan tagihan masyarakat dan stakeholder yang kian ketat dan tinggi
terhadap output pendidikan, maka sudah selayaknya lembaga pendidikan tinggi
agama Islam pun berbenah menyiapkan standar output dan outcomenya. Standar
mutu sarjana PTAI ini harus bersifat institutif, agar terukur secara komprehensif.
Beberapa standar minimal yang harus dimiliki oleh sarjana PTAI adalah:
29
1. Minimal Hafidz dan hafizdah Juz Amma
Tagihan sarjana PTAI dalam konteks ini adalah penguasaan dan pemahaman
surat pendek Juz Amma (mulai dari surat (al-Naba s/d al-Nas), atau 37 surat
pendek) yang dibuktikan dengan selembar sertifikat.
2. Menguasai dan hafal minimal 40 ayat dan 40 Hadits yang terkait dengan:
Tauhid, Ibadah, Muamalah dan Akhlaq
Ayat dan Hadits yang ditagih terkait dengan epistemologi kemengapaan dan
bukan epistemologi kebagaimanaan, karena itu adalah tagihan fakultas dan
jurusan.
3. Menguasai teknologi Komputer dan informatika
Penguasaan media visual dan audio visual melalui program aplikasi minimal:
Word, Powerpoint, Excel, Website/internet (e-Learning). yang dibuktikan
dengan sertifikat dari Pusat atau lembaga Komputer.
4. Penguasaan Bahasa Asing: Arab dan Inggris
Penguasaan bahasa Inggris dan Arab dibuktikan dengan perolehan skor
(TOEFL untuk bahasa Inggris dan TOAFL untuk bahasa Arab minimal 400),
yang dibuktikan dengan sertifikat dari Lembaga Bahasa yang terstandar.
5. Skill Praktek Ibadah
Skiil dan praktek ibadah ditunjukkan dengan kecakapan menjadi Khatib Jumat,
Penceramah, Imam, Bilal, mengurus Jenazah, mengucapkan dan menulis al-
Qur’
an secara benar dan membacanya secara tartil yang dibuktikan dengan
sertifikat
6. Mampu membaca serta memahami kitab kuning (turats), minimal secara pasif
7. Setiap sarjana PTAI harus selesai memiliki IPK minimal 3,25.
Masih terdapat standar mutu yang lain, yang dapat ditagih sesuai dengan
kompetensi Fakultas, jurusan, prodi atau kosentrasi msing-masing. Prinsipnya
standar yang dikemukakan adalah standar Institusi dan harus berlaku secara
konprehensif, bagi seluruh sarjana yang berasal dari jurusan dan fakultas
apapun di sebuah lembaga PTAI.
H. KURIKULUM PGMI
Kurikulum PGMI yang disusun, merujuk kepada dimensi yang dikemukakan
oleh bapak Kurikulum yakni, Ralp W. Tyler (1949), dalam bukunya Basic Principles
of Curriculum and Instruction. Tyler mengemukakan ada empat dimensi yang dapat
dikembangkan dalam sebuah kurikulum, yaitu: Pertama, Tujuan Pendidikan dan
30
pembelajaran. Kedua, Materi Ajar/Mata Kuliah (Content). Ketiga, Pengalaman
Belajar/Proses Pembelajaran (Experience). Keempat, Evaluasi. Berikut diuraikan
keempat dimensi tersebut ke dalam deskripsi dan indikator kurikulum.
1. TUJUAN PGMI
Tujuan PGMI adalah melahirkan sarjana calon guru kelas yang memiliki
kemampuan berpikir akademis, ahli dalam ilmu pendidikan dan pengajaran serta
terampil menerapkan kompetensi keguruan secara Islami dalam pengabdian
Dari tujuan PGMI itu terdapat empat dimensi, yaitu: Pertama; dimensi
kemampuan berpikir kademis. Kedua; dimensi keahlian dalam ilmu pendidikan dan
pengajaran. Ketiga; dimensi keterampilan menerapkan kompetensi keguruan.
Keempat; dimensi Islami dalam pengabdian. Masing-masing dimensi ini dijabarkan
ke dalam indikator sebagai berikut:
31
b. Menguasai model-model, metode dan stratgegi, media pembelajaran yang
mutakhir serta evaluasi yang komprehensif
c. Menguasai tentang bagaimana mendidik personaliti, karakter dan akhlaq calon
guru dengan baik
32
2. CONTENT (Materi pembelajaran PGMI)
25%
Ins/Un
35 %
Fakultas
40 %
Jurusan/Prodi
33
studi/jurusan mengambil porsi terbesar yakni 40 %, atau sejumlah 64 SKS. Total
secara keseluruhan dari 160 SKS yang ditawarkan untuk program PGMI ini
terdapat sejumlah 62 mata kuliah, dengan sebarannya sebarannya berikut:.
34
37. Bahasa Arab 2 2 2 TAR.118
38. Bahasa Inggris 1 2 1 TAR.119
39. Bahasa Inggris 2 2 2 TAR.120
40. Microteaching (Labor) 3 5 TAR.121
42. Prak. Peng. Lapangan Terpadu 3* 6*/7* TAR.122
43 Bimbingan Skripsi 2 6 TAR.123
44 Skripsi 6 7/8 TAR.124
45. Pendidikan IPA 1 2 3 MI.101
46. Pendidikan IPA 2 2 4 MI.102
47. Pendidikan IPA 3 2 5 MI.103
48. Pendidikan Olah Raga 3 4 MI.104
49. Pendidikan Kesenian 3 4 MI.105
50. Pendidikan Kewarganegaraan 1 2 4 MI.106
51. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 5 MI.107
52. Pendidikan MTK 1 2 3 MI.108
53. Pendidikan MTK 2 2 4 MI.109
54. Pendidikan MTK 3 2 5 MI.110
55. Pengemb Bkt & Kreat. Anak 2 6 MI.111
56. Kecerdasan Emosional Guru 2 6 MI.112
57. Psikologi Anak 2 5 MI.113
58. Ktp. Menulis & Menggambar 2 5 MI.114
59. Adat Istiadat & Bud. Daerah 2 6 MI.115
60. Qiraatul Qur’an dan Imla 2 1 MI.116
35
Proses pembelajaran sangat menentukan bagi tercapainya materi yang
diajarkan. Mengingat peserta didik yang dihadapi adalah mereka yang relatif
memasuki usia dewasa, maka selain menggunakan pendekatan andragogis juga
menerapkan pendekatan pedagogis. Pendekatan andragogis lebih diarahkan bagi
kematangan peserta didik dalam akademis, keilmuan dan keterampilan.
Pendekatan pedagogis dimaksudkan agar calon guru memahami karakteristik
peserta didik di MI adalah masih anak-anak.
Sebagai calon sarjana PGMI, harus memahami bahwa mereka justru akan
menjadi calon guru MI dan bukan menjadi guru bagi anak yang sudah remaja atau
dewasa. Kedua pendekatan ini harus dikuasai oleh peserta didk dengan baik.
4. EVALUASI PEMBELAJARAN
Evaluasi pembelajaran adalah usaha untuk mengukur ketercapaian standar
yang ditetapkan bagi peserta didik PGMI. Evaluasi harus lebih mengandalkan
evaluasi menyeluruh, yaitu: evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi alternatif,
evaluasi komprehensif dan portfolio.
Selain evaluasi yang sudah populer yakni formatif dan sumatif, sebaiknya
menggunakan evaluasi dalam bentuk lain yang dikenal dengan evaluasi alternatif
dan komprehensif. Evaluasi ini digunakan lebih untuk melihat aspek lain, selain
aspek kognitif. Sebagaimana diketahui, bahwa penilaian dengan menggunakan
tes formatif dan sumatif, hanya dapat mengukur kemampuan peserta didik dari
ranah kognitif atau pengetahuan. Sementara ranah afektif dan psikomotor, relatif
belum tersentuh melalui tes-tes tersebut. Untuk itulah berkembang pandangan,
dengan memberikan alternatif evaluasi dalam bentuk lain yaitu alternatif dan
komprehensif.
1. Evaluasi Alternatif
Evaluasi alternatif, lebih difokuskan pada pemberian berbagai aktivitas
melalui tagihan belajar baik di kelas maupun di luar kelas. Tagihan belajar yang
dievaluasi harus sesuai dengan topik materi yang di ajarkan. Hal ini, penting
diperhatikan, karena kalau tagihan belajar yang dievaluasi tidak sesuai dengan
materi, maka tidak akan memberikan kontribusi bagi peserta didik untuk
pencapaian kompetensinya. Oleh karena itu, evaluasi alternatif juga adalah alat
ukur bagi ketercapaian kompetensi seseorang.
Beberapa jenis evaluasi alternatif yang dapat dilakukan oleh seorang guru di
antaranya:
36
a. Resume buku
b. Kliping koran/majalah
c. Paper/makalah
d. Tugas keterampilan
e. Tugas hapalan (harus di setor dikelas)
f. Tugas olah raga
g. Pekerjaan rumah (PR/takehome)
h. Tugas kesenian
i. Kinerja
j. Kompetensi
k. Partisipasi
l. Kehadiran
m. dll.
Evaluasi alternatif ini, oleh Hisyam Zaini, dkk., (2002) dirangkum ke dalam
sepuluh hal, yang dikenal dengan “
10 P”
, yaitu:
a. Paper (makalah)
b. Presentation (presentasi)
c. Participation (partisipasi)
d. Project (proyek atau penelitian)
e. Practice (praktek)
f. Performance (performa atau kinerja)
g. Pre-test (pre-tes)
h. Proposal Writing (penulisan proposal)
i. Portofolio (portopolio), dan
j. Precence (kehadiran)
Semua tugas yang dievaluasi ini, ada yang dapat dilakukan langsung oleh
peserta didik di sekolah dan ada juga yang harus di bawa pulang, dan atau harus
mengumpulkan dari berbagai sumber seperti: buku, koran, majalah, labor,
perpustakaan, museum, kebun binatang dan sebagainya.
Semua tugas yang diberikan, harus dibaca dan dinilai oleh guru dengan
teliti dan sungguh-sungguh, agar tidak salah dalam melakukan evaluasi atas hasil
pekerjaan peserta didik. Ada saja kemungkinan, bagi guru yang malas, setiap
tugas yang dikumpulkan hanya dilihat covernya saja, lalu dicatat dan nilai diberikan
asal-asalan. Bagi cover tugas yang bagus, nilainya dikasih bagus, dan sebaliknya
bagi covernya yang jelek, maka jelek pula nilainya. Kebiasaan jelek seperti ini,
37
harus ditinggalkan oleh seorang guru. Karena dalam menilai, ada tanggung jawab
dipundak kita yakni tanggung jawab profesional, pedagogis dan moral.
Dalam menilai hasil belajar dengan alternatif ini, maka seorang guru harus
membuat standar dari tugas yang diberikan. Standar ini, dibuat melalui sistem
patokan, misalnya:
Ø Memuaskan = 85 –
100 (A)
Ø Sangat Baik = 80 –
84 (A-)
Ø Baik = 75 -79 (B+)
Ø Sedang = 70 –
74 (B)
Ø Cukup = 65 –
69 (C+)
Aspek yang dinilai, juga harus dibuat standarnya. Hal ini untuk menghindari
penilaian subjektif dan bias terhadap peserta didik. Penilaian yang bias, selain
merugikan peserta didik juga mengaburkan capaian kompetensi hasil belajar yang
telah ditetapkan. Seorang guru, harus konsisten dalam menarik patokan dan
standar nilai ini. Bagi guru yang malas, tentu saja penilaian semacam ini, sangat
rawan, ke arah merugikan peserta didik.
2. Evaluasi Komprehesif
Penilaian komporehensif adalah evaluasi yang lebih menekankan pada
aspek kemampuan peserta didik secara keseluruhan. Penilaian ini didasarkan atas
kinerja yang dicapai baik dikelas maupun di luar kelas. Penilaian komprehensif
biasanya dilengkapi dengan lembar atau buku portfolio peserta didik. Penekanan
utama penilian komprehensif diutamakan berbasis kelas, karena dalam konteks
penilaian ini seorang guru langsung merekam setiap perkembangan belajar
peserta didik, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian, sisi mana
yang dipandang guru masih lemah, maka guru melakukan perbaikan dalam
pembelajaran.
Berikut disajikan format penilaian komprehensif yang dapat digunakan dan
atau dikembangkan dalam pembelajaran.
38
LEMBAR PROGRESS RECORD
KOMPETENSI PESERTA DIDIK (EVALUASI BERBASIS KLS)
Nama/NIM :
Semester :
Mata Pelajaran :
Prodi/Jurusan :
TATAP MUKA
NO PROGRESS ASPEK Jlh KET
RECORD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
39
1. Teknik Tes untuk Ranah Kognitif
Level Ranah Multiple True/ Matching Short Eassy Oral Checklist Rating Comments
Choice False Answer Test Test Scale Anecdotal
Knowledge Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Boleh Tidak Boleh
Comprehension Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Boleh Tidak Boleh
Aplication Ya Tidak Tidak Ya Boleh Boleh Boleh Boleh Ya
Analysis Boleh Tidak Tidak Boleh Ya Ya Tidak Boleh Ya
Syntesis Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Boleh Ya
Evaluation Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Boleh Ya
Keterangan:
Ya = Selalu cocok
Boleh = Boleh dalam situasi tertentu
Tidak = Tidak cocok sama sekali
40
I. PENUTUP
Demikianlah desain kurikulum Pendidikan Guru MI (PGMI) ini dirancang,
untuk mendukung optimalisasi dan produktivitas serta efektivitasnya
penyenggaraan program PGMI di PTAI se-Indonesia. Pemikiran ini dirasakan
masih terdapat kekurangan di sana-sini, namun setidaknya pokok-pokok gagasan
ini diharapkan dapat membantu dalam pengembangan PGMI yang baru ditetaskan
sebagai sebuah kebijakan nasional oleh pemerintah secara kolektif di 62 lembaga
PTAI se-Indonesia, tahun 2007.
Semoga PGMI dapat berdaya melahirkan guru-guru kelas MI/SD yang
terstandar dan berkualitas ke arah yang lebih baik dalam konteks kini dan ke
depan. Semoga Allah memberkahi usaha dan pengabdian ikhlas kita, amin.
41
DAFTAR BACAAN
Abdul Rachman Shaleh. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi.
Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000.
Hisyam Zaini, dkk. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Centre for Teaching
Staff Development (CTSD). IAIN Sunan Kalijaga. Jogyakarta. 2002.
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
Lester R. Bittel, What Every Supervisory Should Know: The Basics of Supervisory
Management, 5th edition, New York: Greg Division McGraw Hill Book
Company, 1985,
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung, Sinar Baru, 1989.
PP. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.
Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
42
Stiggin, Richard J. Student Centered Classroom Assessment. New York:McMillan
College Publishing Company, Inc, 1994.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar, Bandung:
Rineka Cipta, 1995.
43